DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

42
DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TESIS OLEH: ARI NURHAQI 2012821015 Pembimbing 1: Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M. Pembimbing 2 : Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG JANUARI 2017

Transcript of DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

Page 1: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

DISKRESI POLISI

DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK

PIDANA

TESIS

OLEH:

ARI NURHAQI

2012821015

Pembimbing 1:

Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M.

Pembimbing 2 :

Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG

JANUARI 2017

Page 2: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

HALAMAN PENGESAHAN

DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

TINDAK PIDANA

Oleh

ARI NURHAQI

2012821015

Disetujui Untuk Diajukan Sidang Dalam :

Sidang Ujian Hari/Tanggal : Senin, 16 JANUARI 2017

Pembimbing 1

Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M.

Pembimbing 2

Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG

JANUARI 2017

Page 3: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

Pernyataan

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya dengan data diri sebagai berikut:

Nama : Ari Nurhaqi

Nomor Pokok Mahasiswa : 2012821015

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Pascasarjana

Universitas Katolik Parahyangan

Menyatakan bahwa Tesis dengan Judul :

“ Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana ”

Adalah benar-benar karya saya sendiri di bawah bimbingan Pembimbing dan saya

tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai

dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan

dalam karya saya atau jika ada tuntutan formal atau non formal dari pihak lain

berkaitan dengan keaslian karya saya ini, saya siap menanggung resiko, akibat dan

atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya, termasuk pembatalan gelar akademik yang

saya peroleh dar Universitas Katolik Parahyangan.

Dinyatakan : Bandung

Tanggal : 1 Januari 2017

Ari Nurhaqi

Page 4: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

TINDAK PIDANA

ARI NURHAQI (NPM: 2012821015)

Pembimbing I : Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH.LLM.

Pembimbing 2 : Dr. W.M.Herry Susilowati, SH. Mhum.

Magister Hukum

Bandung

Nopember 2016

ABSTRAK

Diskresi polisi adalah kebebasan bertindak atas wewenang menurut penilaiannya sendiri

sejalan situasi kondisi tertentu. Hal ini menempatkan polisi pada pilihan untuk melakukan tafsir

hukum dalam menjalankan perannya sebagai aparat penegak hukum pada saat ketentuan dalam

perundang-undangan akan dilaksanakan, Namun demikian dalam tataran praktik acapkali acapkali

terjadi kesenjangan pemikiran antara penegak hukum (Polisi) dengan Advokat dan masyarakat

pencari keadilan. Adapun spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis.

Sedangkan metode pendekatan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis.

Adapun teknik pengumpulan data digunakan studi dokumen, Wawancara dan pengamatan. Hasil

penelitian menunjukan hakikat diskresi Polisi diperlukan agar polisi dapat menjalankan fungsinya

secara dinamis dalam proses penegakan hukum, sehingga hal yang sifatnya penting dan mendesak,

polisi atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak dengan berpijak pada asas kebijaksanaan,

sehingga diperoleh keefektifan tercapainya suatu tujuan demi tercapainya keselarasan antara

kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Implementasi diskresi polisi terhadap tindak pidana

belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum, Indikatornya diskresi

dipahami penyelesaian perkara tanpa prosedur hukum, diskresi diterapkan tanpa memperdulikan

sifat melawan hukumnya perbuatan. Terjadinya hal tersebut dipengaruhi kondisi sosial masyarakat

sendiri yang tidak tahu hukum, juga didukung oleh sumber daya manusia petugas kepolisian

sendiri. Pola Mekanisme penerapan diskresi saat ini didahului permohonan dari pihak korban ke

polisi, kemudian atas permohonan korban tersebut polisi mempertimbangkan dan untuk kemudian

mempertemukan antara pihak pelaku dan korban. Apabila kesepakatan antara pelaku dan korban

tercapai, maka kedua belah pihak membuat surat pernyataan yang pada intinya pihak pelaku akan

mengganti semua kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya dan pihak korban menyanggupi

untuk tidak lagi mempersoalkan kasus ini secara hukum. Pola Mekanisme diskresi ke depan perlu

dukungan polisi profesional, memiliki pemahaman : a) dasar keberlakuan dan tujuan diskresi; b)

standar, baik dilihat dari aspek yuridis maupun dari aspek sosial. Pola penerapan diskresinya,

secara berjenjang (institusional), individu polisi dilaporkan kepada atasan langsung, Kanit, Kasat,

Kapolres menyertakan dasar-dasar pertimbangan. Kemudian berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut

Umum (JPU) untuk persetujuan sehubungan dengan tidak dilakukannya penuntutan atas kasus

tersebut. Kemudian polisi atas wewenang diskresi merumuskan persyaratan tertentu (teguran

keras, kompensasi, minta maaf) dan menyusun proses verbal singkat, baik berbentuk hasil

penyidikan maupun dalam bentuk Surat Penghentian penyidikan (SP3).

Page 5: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

THE POLICE DISCRETION IN IMPLEMENTING THE LAW THROUGH

CRIMINAL

ARI NURHAQI (NPM: 2012821015)

Guidance of 1 : Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH.LLM.

Guidance of 2 : Dr. W.M.W.Herry Susilowati, SH. Mhum.

Masters Degree of Law

Bandung

November 2016

ABSTRACT

The police discretion is deliberacy of take steps on the authority according to own

assessment in the line of certain condition. It puts the police to the selection to make law

exclamation in performing the role as apparatus while the stipulation will be implemented.

Nevertherless in practical rank often there is thingking gap between apparatus (police) and

Advocate as well as the community as seeker of the justice. As for the research specification ijn

this study is sociological juridical. While used approach method is qualitative approach with

analitical descriptive method. And used collecting data is document study, Interiew and

observation.The study result shows that the police discretion is required in order to implement the

dynamic function in law enactment, so that important and urgently, the police can control directly

based on prudence principle, so that obtained effectively purpose for the sake of the law certain,

justice and benefit. Discretion police implementation through the criminal not yet fully can be

responsible moral and law, it can be comprehended as case without the law procedure, it is

applied regard to conflict with law. Such problem can be influenced by community social

condition which does not know the law and supported by human resources from their apparatus.

Discretion mechanism recent from the victim to police, then based on the report , police considers

and furthermore meet both of them. When the agreement between subject will change all suffer

that emerged because of doer and the victim agrees for not questioning the law case.

Future it might require the police support professional, has comprehension : a) validity base and

discretion purpose; b) standard, both viewed from juridical aspect or social aspect. It is gradually

(institutional), individuality police can be reported to top managing directly, Kanit, Kasat,

Kapolres declares the consideration bases in regard because the case is not demanded. Then the

police based on discretion authority formulates certain requirement (warning, compensation,

apologize) and compiling verbal process shorly both police investigation and Investigation Cassing

Letter.

Page 6: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

i

KATA PENGANTAR

Berkat dan Rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan Tesis

berjudul

DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

TINDAK PIDANA

Tesis ini mengupas peranan Polisi sebagai salah satu komponen penegakan

hukum diantara penegak hukum lainnya, sebagai pemegang posisi terdepan dari

lapisan Sistem peradilan Pidana (Criminal Justice System). Dalam kapasitas yang

demikian Polisi selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk melakukan

penafsiran dalam menentukan ketentuan hukum yang relevan. Pilihan-pilihan atas

hukum dalam menjalankan perannya sebagai penegak hukum berorientasi pada

rentang hasil atau keluaran dilakukannya tindakan berupa keputusan diskresi

terhadap kasus tindak pidana sejalan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Penelitian ini terfokus pada praktik penyelesaian tindak pidana yang acapkali

dilakukan tindakan berupa keputusan diskresi oleh Polisi dan sekaligus

menawarkan pola mekanisme penerapannya di masa datang, untuk kemudian

digunakan bagi pengembangan teoritik maupun pelaksanaan praktik penegakan

hukum diskresi Polisi. Namun demikian, disadari bahwa penelitian ini belumlah

sempurna, untuk itu segala kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan menuju

kesempurnaannya.

Disamping itu sepenuhnya disadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini telah

banyak pihak yang ikut membantu, sehingga dapat diselesaikan. Dan permohonan

Page 7: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

ii

maaf tidak dapat diutarakan satu persatu, karena terlalu banyaknya pihak yang

terlibat, semoga Tuhan YME dapat memberikan balasan yang setimpal. Amin.

Oleh karena itu dengan segala hormat dalam kesempatan yang berbahagia ini,

penulis mengucapkan terima kasih yang secara khusus ditujukan kepada :

1. Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M. selaku Pembimbing 1, dengan segala

gagasan-gagasan cemerlangnya, ketika penulis melakukan bimbingan telah

bermakna motivasi, inspirasi bagi kesempurnaan penulisan Tesis ini;

2. Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH, selaku pembimbing 2, atas perkenannya

mendiskusikan dan memberikan masukan demi kebaikan dan kesempurnaan

Tesis ini.

3. Prof.Dr. B. Koerniatmanto Soetoprawiro, SH.Dr. MH. Selaku Penguji atas

perkenannya memberikan masukan ketika pelaksanaan ujian berlangsung;

4. Dr. Liona N. Supriatna, SH.MH. Selaku Penguji atas perkenannya

memberikan masukan ketika pelaksanaan ujian berlangsung;

5. Ketua Program Magister ilmu Hukum, Dr. Sentosa Sembiring, SH.MH. atas

kesempatan dan perhatiannya selama mengikuti perkuliahan.

6. Rekan-Rekan Polisi, Bapak Iptu 1 Komar, Bapak Iptu Abdul Majid, Bapak

Gali Wardani, Kanit Reskrim Polres Kota,

7. Rekan– Rekan Advokat, Bapak Novi Baskoro, Egi Gilang Agurtan dan

Hendra Pratama serta masyarakat pencari keadilan, atas kerjasamanya sampai

selesainya penulisan Tesis ini.

8. Semua pihak yang telah memberikan fasilitas dan dorongan sampai

selesainya penulisan Tesis ini.

Bandung, 2 JANUARI 2017

Penulis,

ARI NURHAQI

2012821015

Page 8: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

I.1. Latar Belakang Penelitian .......................................................................... 1

I.2. Perumusan Masalah ................................................................................. 8

I.3. Tujuan dan Kontribusi Penelitian .............................................................. 9

I.4. Kerangka Pemikiran ................................................................................ 10

I.5. Metode Penelitian .................................................................................... 18

I.5.1. Metode Pendekatan ......................................................................... 18

I.5.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .............................................. 21

I.5.2.1. Jenis Data .......................................................................... 21

I.5.2.2. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 23

I.5.3. Teknik Analisa Data ....................................................................... 25

I.6. Sistematika Penulisan ................................................................................ 28

BAB II HAKIKAT DISKRESI POLISI DAN HAM ................................ 31

II.1. Hakikat Diskresi Polisi ............................................................................. 31

II.1.1.Makna Diskresi Polisi .................................................................. 35

II.1.2. Tujuan Diskresi .......................................................................... 35

II.1.3. Hakikat Diskresi Polisi ................................................................. 36

II.1.3.1.Sumber Hukum Diskresi ..................................................... 37

Page 9: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

iv

II.1.3.2. Asas-Asas Diskresi ........................................................... 42

II.1.4. Faktor-Faktor Penerapan Diskresi Polisi .................................... 48

II.2.. Diskresi Polisi dan Relevansinya Dengan Tugas Kepolisian ................ 63

II.2..1. Tugas Pokok Kepolisian ............................................................ 63

II.2..2. Kewenangan Diskresi Polisi ...................................................... 65

II.2..3. Instruksi Kapolri Terkait Diskresi Polisi Dalam Tindak

Pidana ........................................................................................ 71

II.3. Hak Asasi Manusia dan Diskresi .............................................................. 92

II.4. Perkembangan Penggolongan Tindak Pidana ........................................ 97

II.4.1. Pengertian Tindak Pidana .............................................................. 97

II.4.2. Pengertian Tindak Pidana Ringan ............................................... 99

II.4.3. Penggolongan Tindak Pidana Dalam KUHP .............................. 104

II.4.4. Penggolongan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP .............. 107

II.4.5. Perbedaan Acara Pemeriksaan Biasa, Singkat dan Cepat ............. 110

BAB III IMPLEMENTASI DISKRESI POLISI DAN PENEGAKAN

HUKUM PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA .................................................................................... 113

III.1. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ................................................... 113

III.1.1. Makna Sistem Peradilan Pidana .................................................. 113

III.1.2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana.................................................. 115

III.2. Diskresi Polisi dan Penegakan Hukum Pidana Dalam Sistem

Peradilan Pidana ...................................................................................... 118

III.2.1. Kepolisian dan Komponen Sistem Peradilan Pidana .................. 118

III.2.2. Diskresi dan Relevansinya dengan Tugas Pokok

Kepolisian ................................................................................... 122

III.2.3. Diskresi Polisi dan Penegakan Hukum dalam Kontek Sistem

Peradilan Pidana .......................................................................... 128

III.3. Implementasi Diskresi dan Penegakan Hukum Pidana ........................... 133

III.3.1. Diskresi dan Hak Asasi Manusia .............................................. 133

III.3.2. Diskresi Polisi Dan Realitas Penegakan Hukum Terhadap

Page 10: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

v

Tindak Pidana.............................................................................. 143

III.3.3. Implementasi Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana ............................................................. 155

BAB IV DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP TINDAK PIDANA DI MASA MENDATANG .. ................. 161

IV.1. Pemidanaan Dalam Rancangan KUHP Memungkinkan

Diberikannya Diskresi ............................................................................. 161

IV.2. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi Polisi Dalam Penegakan

Hukum Terhadap Tindak Pidana di Masa Mendatang ............................ 167

IV.2.1. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi Terhadap Tindak

Pidana dalam Praktik................................................................... 167

IV.2.2. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi Terhadap Tindak Pidana

di Masa Datang ........................................................................... 175

IV.2.2.1. Standar Penerapan Diskresi ........................................ 182

IV.2.2.2. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi

Institusional ................................................................ 186

IV.2.2.3. Profesionalisme Polisi ................................................ 191

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 195

V.1. Simpulan .................................................................................................. 195

V.2. Saran-saran ............................................................................................. 198

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 201

Page 11: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

vi

DAFTAR TABEL

HALAMAN

TABEL 1 : Jenis Perbuatan Pidana Dan Diskresi ......................................... 145

TABEL 2: Rekapitulasi Data Hasil Penindakan Tipiring Bulan Januari S/d

Desember 2015 Sat Reskrim Polresta Cirebon ..............................................146

TABEL3: Rekapitulasi Data Hasil Penindakan Tipiring Bulan Januari S/d

Desember 2015 Sat Reskrim Polres Cirebon .................................................147

Page 12: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

vii

LAMPIRAN – LAMPIRAN

HALAMAN

Pedoman Wawancara Penyidik ..................................................................213

Pedoman Wawancara Advokat ................................................................. 215

Page 13: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penelitian.

Sebagai negara berdasarkan hukum, menghendaki setiap tindakan

pemerintahan harus berdasarkan atas hukum1, karena dalam negara

terdapat prinsip Wetmatigheid van Bestuur atau asas legalitas2. Asas ini

menentukan tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka setiap aparat

pemerintahan tidak akan memiliki wewenang yang dapat

mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga

masyarakatnya.

Berdasar atas pemahaman tersebut, bahwa tidak selalu setiap

tindakan pemerintahan tersedia peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Dapat terjadi dalam kondisi tertentu, ketika pemerintah

harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkrit dalam

masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam

kondisi yang demikian, kepada pemerintah diberikan diskresi

(discresionare power), yaitu sebagai salah satu sarana yang

memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi

1 Dalam Negara Hukum perlindungan terhadap hak asasi warga negara merupakan prinsip utama

yang harus ada dan ditegakkan. Implementasi dari itu terwujud dengan adanya suatu asas hukum

bahwa semua orang sama di hadapan hukum, dengan perkataan lain bahwa hukum

memberlakukan semua orang tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama,

kedudukan sosial dan kekayaan. (Equality before the law). 2 Asas legalitas menurut Syahran Basah berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis

antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip

monodualistik selaku pilar-pilar yang hakikatnya konstitutif.

Page 14: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

2

negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada

undang-undang.

Menurut Bagir Manan, dengan diskresi menimbulkan implikasi

dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif

untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan

UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan

dalam negara hukum yang derajatnya di bawah UU. 3

Selanjutnya dikatakan bahwa, kewenangan pemerintah untuk

membentuk peraturan perundang-undangan, karena beberapa alasan

yaitu; pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada

perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi

pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi

penyelenggaraan pemerintahan; kedua, dalam negara kesejahteraan

pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan

kesejahteraan umum; ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat

yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan. 4

Salah satu komponen administrasi negara dan atau alat

perlengkapan negara yang menjalankan sebagian dari fungsi

pemerintahan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

3 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung,

1997, halaman 49 4 Ibid, 56

Page 15: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

3

diberikan suatu kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri

(Discretion), guna menyelesaikan pelbagai permasalahan pelik yang

membutuhkan penanganan secara cepat dan sekaligus berperan sebagai

pembaharu hukum.

Dalam realitasnya menunjukkan upaya untuk mewujudkan peran

sebagai pembaharu hukum untuk merespon kebutuhan kehidupan

masyarakat akan nilai-nilai keadilan masyarakat ternyata tidak terwujud

sebagaimana yang diharapkan.

Sebagai gambaran diberlakukannya penegakan hukum pidana

terhadap kasus-kasus tindak pidana ringan, sebagai berikut:

1. Dugaan pencurian kayu yang dilakukan oleh seorang nenek

bernama Asyani yang terjadi di daerah Situbondo. Dalam

kasus tersebut, sang nenek dituduh mencuri kayu jati dari

lahan Perhutani, namun berdasarkan pengakuan Nenek

Asyani dan warga di desa tempatnya tinggal mengatakan

bahwa kayu-kayu tersebut adalah kayu yang sudah lama

disimpan oleh Nenek Asyani. Pada Maret 2015 nenek Asyani

ditahan selama tiga bulan akibat dituduh mencuri tujuh batang

kayu milik Perhutani. Meskipun membantah mencuri kayu

tersebut, kasusnya tetap dilanjutkan hingga ke pengadilan.5

2. Rasminah ditahan selama empat bulan di Lapas Wanita

Tangerang dan menjalani proses persidangan. Gara-gara

dituduh mencuri 6 buah piring dan sop buntut milik majikan

pada November 2010. 6

Penegakan hukum atas kasus tersebut melahirkan pro kontra7,

dimana menurut masyarakat seharusnya tidak perlu diproses secara

Hukum, karena disamping mencederai rasa keadilan masyarakat kecil,

5 Harian Kompas, 3 Oktober 2015 6 Republika on line, Senin 11 Oktober 2010 7 Harian, Kompas, 4 Oktober 2015

Page 16: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

4

dalam arti banyak kasus-kasus besar seperti kasus korupsi begitu

sulitnya mereka dijerat tuntutan hukum dan juga terkesan prosesnya

tebang pilih dan memakan jangka waktu lama dan oleh karena itu

terjadinya hal yang demikian bersinggungan dengan hak asasi

manusia.8

Inilah inti persoalannya, dimana perlu tidaknya kasus dapat

dilakukan tindakan berupa keputusan diskresi Polisi pada dasarnya

merupakan kebebasan atas dasar wewenang dalam bertindak menurut

penilaiannya sendiri dalam menyelesaikan suatu persoalan sesuai

dengan syarat-syarat penerapan diskresi, bagaimana seharusnya

diskresi dilaksanakan, namun dalam realitas praktik tidak semudah

yang digambarkan.

Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana

berkaitan dengan perlu tidaknya suatu kasus dilakukan tindakan berupa

keputusan diskresi, bisa saja terjadi perbedaan persepsi diantara

penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Persoalannya

mengapa hal ini bisa terjadi ?

Kepolisian adalah penegak hukum yang langsung berhadapan

dengan masyarakat. Polisi pada hakikatnya adalah hukum yang hidup,

karena ditangan polisi hukum dapat diwujudkan khususnya dalam

bidang hukum pidana. Salah satu tujuan hukum yaitu menciptakan

8 Asas persamaan di hadapan Hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu

asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 45

menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan

pemerintahan wajib menjunjung tinggi tanpa ada pengecualian

Page 17: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

5

ketertiban dalam masyarakat, yang antara lain dilakukan melawan

kejahatan. Polisilah yang akan menentukan secara konkrit penegakan

ketertiban yaitu siapa yang harus ditundukkan dan siapa yang harus

dilindungi. Melalui polisi, hukum yang bersifat abstrak

ditransformasikan menjadi nyata.

Kondisi demikian sudah barang tentu menempatkan polisi pada

pilihan untuk melakukan tafsir hukum dalam menjalankan perannya

sebagai aparat penegak hukum Salah satu institusi untuk mewadahi

perilaku memilih tersebut adalah kekuasaan untuk melakukan diskresi

(discretionary power).9 Untuk itu polisi yang pekerjaan sehari-harinya

melakukan penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari kegiatan

menafsirkan hukum. Menafsirkan hukum menjadi jembatan antara

hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang diinginkan. Penafsiran hukum

juga memungkinkan diatasinya konflik antara hukum dan ketertiban.

Seorang polisi, misalnya tidak akan melaksanakan suatu ketentuan

hukum, kalau pelaksanaannya justru akan menimbulkan ketidaktertiban

dalam masyarakat.

Hukum memang tidak terlepas dari apa yang dilakukan

masyarakat terhadapnya. Demikian pula halnya dengan apa yang

dilakukan polisi terhadap hukum. Tidak dapat dipungkiri, bahwa

9 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002,

hal. 32.

Page 18: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

6

hukum itu sendiri tidak steril, murni dan bersih dari segala bentuk

penafsiran, ketika diterapkan dalam proses penegakan hukum.10

Sehubungan dengan hal tersebut beberapa pakar hukum

mengatakan bahwa diskresi merupakan suatu kebijakan yang bersifat

kompromis demi terlaksananya ketentuan dalam perundang-undangan11

dan bahkan dengan diskresi demi terlaksananya ketentuan dalam

perundang-undangan tidak jarang dalam pelaksanaannya menyimpang

dari ide dasar yanng terdapat dalam rencana akademis12. Oleh karena

itu persoalannya kemudian, apakah sebenarnya makna diskresi polisi

itu sendiri ?

Namun demikian persoalannya bukan hanya sebatas itu, diakui

menghadapi kenyataan riil penegakan hukum diskresi polisi di

lapangan ternyata lebih sulit dalam kaitannya dengan implementasi

diskresi, persoalannya apakah terletak pada sumber daya manusia polisi

itu sendiri atau karena kurangnya pemahaman polisi terhadap

wewenang diskresi atau tidak jelasnya aturan diskresi Polisi atau

faktor-faktor lain yang menyertai, ketika diskresi diterapkan terhadap

kasus konkrit di masyarakat.

Mempersoalkan penegakan hukum diskresi polisi sejatinya bukan

hanya sekedar pilihan bagi polisi, namun merupakan bagian penting dan

10 Erlyn Indarti, Diskresi Polisi, UNDIP, Semarang, 2000. Hal. 2. 11 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum dan Pembangunan

Dalam rangka Catur Windu Fakultas Hukum Undip, 20 Desember 1998, haln 8 12 Loebby Lukman, Peranan Hukum tertulis Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, dalam

karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung,

1995, hal 67.

Page 19: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

7

tidak dapat dihindarkan dalam melakukan penegakan hukum. Penegakan

hukum sebagai suatu proses pada hakekatnya merupakan penerapan

diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat

terikat oleh kaidah-kaidah hukum dan melibatkan usaha dan tindakan

manusia.

Sehubungan dengan diskresi sebagai salah satu wujud usaha dan

tindakan manusia dalam proses penegakan hukum, ketika berhadapan

dengan kasus konkrit di masyarakat, selalu dimungkinkan untuk

menyisakan banyak persoalan, seperti: kasus Asyani dan Rasminah

sebagaimana diuraikan sebelumnya, telah mengusik rasa keadilan

masyarakat di Indonesia, walaupun hasil akhir dalam sidang pengadilan

telah memberikan keputusan yang terbaik kepada pelaku.

Namun demikian penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak

Kepolisian, kemudian mendapat sorotan tajam dari para ahli. Sosiolog

dari Universitas Indonesia, Imam Prasojo, mengemukakan bahwa

hukuman yang diberikan kepada nenek Minah menggambarkan proses

hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri, karena hanya mengikuti

aturan formal dan tidak memperhitungkan substansi dan hati nurani.13

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dimana pelaksanaan

penegakan hukum diskresi Polisi masih menjadi bahan perdebatan,

maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut perihal tersebut, bagaimana

13 Kejamnya Keadilan Sandal Jepit, dalam www.nasional.kompas.com, diakses, 7 Desember 2016

Page 20: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

8

seharusnya penerapan diskresi dilaksanakan dan bagaimana

pengaturannya di masa mendatang,, agar diskresi dalam tataran

pelaksanaannya sejalan dengan keberadaannya sebagai teks normatif

dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisaan Negara Republik

Indonesia.

.2 Perumusan Masalah.

Membicarakan persoalan menyangkut wewenang diskresi polisi

masih menjadi perdebatan berkepanjangan, baik di lingkup polisi

sendiri, para pakar hukum maupun masyarakat umum lainnya. Disadari

bahwa kekhawatiran adanya penyimpangan dengan diberikannya

wewenang diskresi polisi memang dapat saja menjadi kenyataan, tetapi

tanpa wewenang diskresi pun polisi dapat saja melakukan tindakan

pelanggaran hukum, karena manusia dengan baju kekuasaannya

cenderung untuk menyalahgunakannya.

Untuk itu persoalan yang harus dicarikan pemecahannya bukan

bagaimana menghilangkan wewenang diskresi, melainkan adalah

bagaimana memelihara dan menggunakan diskresi tersebut dalam

praktik pelaksanaannya, agar tercipta penegakan hukum yang

berkeadilan.

Page 21: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

9

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian “ Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana. Adapun permasalahan yang timbul adalah

sebagai berikut:

1. Apakah hakikat diskresi polisi dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana?

2. Bagaimanakah implementasi diskresi polisi dan penegakan hukum

pidana dalam Sistem peradilan Pidana Indonesia ?;

3. Bagaimanakah diskresi polisi dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana dimasa mendatang ? 14

I.3 Tujuan dan Kontribusi Penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hakikat

diskresi polisi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana dan

implementasi diskresi polisi dalam penegakan hukum pidana menurut

Sistem peradilan Pidana di Indonesia serta konsep ideal diskresi polisi

dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana dimasa mendatang

Apabila tujuan penelitian sebagaimana diharapkan tercapai,

maka akan memberikan arti penting (manfaat) antara lain: 14 Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk adanya keadilan , kepastian

dan kegunaan . Lihat Satjipto Rahardjo, Ibid, hal. 15, Lihat pula Utrech, Op. Cit. hal. 25, Theo

Huijbers, Filsafat hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogjakarta, 1982, hal 163.

Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya

diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama adalah

keadilan dalam arti sempit, keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan

pengadilan. Aspek yang kedua adalah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi

hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang

ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi

sebagai peraturan yang harus ditaati.

Page 22: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

10

1. Memberikan masukan yang berguna berupa pemahaman atas hakikat

dan implelmentasi diskresi polisi serta penawaran konsep ideal di

masa mendatang terkait implementasi diskresi polisi dalam

penegakan hukum terhadap tindak pidana. Informasi yang berhasil

ditemukan tersebut akan bermanfaat dalam pembangunan proses

penegakan hukum, khususnya kearah penegakan hukum Polisi yang

profesional.

2. Memberikan masukan, kepada para pengambil kebijakan di bidang

hukum, para penegakan hukum pada umumnya dan pihak Kepolisian

pada khususnya untuk menetapkan kebijakan-kebijakan sesuai

hukum, ketika implementasi diskresi polisi dalam penegakan hukum

terhadap tindak pidana

I.4. Kerangka Pemikiran.

Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan sebagai

Lembaga Khusus negara yang langsung dibawah Presiden, 15 sebagai

penguasa eksekutif. 16. Dalam struktur ini sejajar dengan Departemen-

departemen lainnya, namun tidak dipimpin oleh seorang Menteri,

sehingga tidak akan terpengaruh oleh pergantian pimpinan pemerintah.

15 Lihat Pasal 8 (1) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden sebagai

penguasa eksekutif. 16 Pasal 4 UUD 1945 : Presiden memegang kekuasaan pemerintah.

Page 23: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

11

Kepolisian Negara merupakan salah satu komponen administrasi

negara 17 dan atau alat perlengkapan negara yang menjalankan sebagian

dari fungsi pemerintahan 18 sebagai realisasi politik negara yang telah

ditentukan, yakni sebagai penjaga keamanan, ketertiban masyarakat

dan sebagai penegak hukum serta memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.19. Hal tersebut secara

lebih spesifik direalisasikan yang dalam hal ini oleh pejabat kepolisian

beserta aparaturnya20 dalam bentuk melayani (service) dan menangani

(handling) orang-perorangan (individu) beserta kasus-kasus yang

terjadi di masyarakat.

Dengan demikian Kepolisian sebagai bagian integral fungsi

pemerintahan memiliki fungsi dan tugas yang sangat luas, tidak sekedar

aspek represif dalam kaitannya dengan proses pidana saja, tetapi

mencakup pula aspek preventif berupa tugas-tugas yang melekat pada

17 Kepolisian sebagai komponen administrasi negara, Lihat Penjelasan UU No. 28 tahun 1997

tentang Polri. Administrasi negara dimaksudkan alat perlengkapan negara (tingkat pusat dan

daerah) yang menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan

pemerintahan. Sjachran Basah, Perlindungan terhadap sikap tindak administrasi Negara,

Alumni, Bandung, 1986, hal 2 18 Fungsi pemerintahan adalah fungsi politik, dan pemerintahan sama dengan penegakan

(handhaving) dan / atau penggunaan (aanwending) dari wibawa (gezag) dan atau kekuasaan

(macht) negara 19. Lihat Pasal 13 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia. 20 Keputusan-keputusan pemerintah diselenggarakan, direalisasikan oleh administrasi negara.

Administrasi negara adalah “ semua jabatan kenegaraan yang dijabat oleh pejabat di dalam

fungsinya sebagai eksekutif. Lihat Sjachran Basah, eksistensi Op. Cit. hal. 219. Bandingkan

Administrasi Negara tingkat pusat maupun Daerah, dapat merupakan seorang petugas/ pejabat

(fungsionaris) maupun Badan (lembaga) Pemerintah. Syarat mutlak yang harus dipenuhi, bahwa

mereka diberikan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk

merealisasikan kehendak atau tujuan pemerintah. Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan

Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan administrasi negara, Alumni bandung, 1978, hal.

42.

Page 24: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

12

fungsi utama administrasi negara, mulai dari bimbingan dan pengaturan

sampai tindakan-tindakan kepolisian yang bersifat administratif.

Mengacu pada luasnya cakupan fungsi dan tugas kepolisian

tersebut dan agar mendukung tercapainya hasil maksimal dari tujuan di

atas, maka kepada polisi sebagai komponen administrasi negara,

diberikan suatu kemerdekaan untuk bertindak atas penilaian sendiri 21,

guna menyelesaikan pelbagai permasalahan pelik yang membutuhkan

penanganan secara cepat.

Dengan diberikannya Diskresi kepada polisi baik sebagai

seorang petugas/ pejabat (fungsionaris) maupun Badan (lembaga),

dapat menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan

kepentingan umum, sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya

penting dan mendesak atas inisiatifnya sendiri dapat langsung

mengambil tindakan berdasar asas kebijaksanaannya tanpa menunggu

instruksi dan sifatnya adalah spontan.

Diskresi menurut Walker. S di dalam bukunya The Police in

America, menyatakan Diskresi didefinisikan sebagai “wewenang yang

diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan

penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri “.22

21 Lihat Penjelasan Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang

antara lain mengatakan setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki

kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan

penilaian sendiri. 22 Walker. S. “The Police in America “, New York : Mc Graw- Hill, 1983, hal. 54.

Page 25: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

13

Menurut Stanley de Smith Diskresi diartikan sebagai : “ …..

implies power to choose between alternative courses of action “. 23

Fockema Andreae, 24 Pouvoir discretionnaire atau yang disebut

discretionair adalah menurut kebijaksanaan, menurut wewenang atau

kekuasaan; yang tidak seluruhnya terikat pada Undang-undang.

Mengacu pada batasan diskresi sebagaimana dipaparkan di atas,

maka Diskresi polisi dimaksudkan kemerdekaan atas otoritasnya

(seseorang, sekelompok orang, suatu institusi) yang secara bijaksana

dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat

keputusan atau mengambil tindakan ( tertentu) yang dipandang paling

tepat.

Adapun tujuan keberadaan diskresi yang antara lain mewujudkan

terpeliharanya keadilan masyarakat (sebagai publik service terhadap

warga negara) dapat ditingkatkan dan agar keseimbangan antara

kepentingan umum dan kepentingan perseorangan dapat terjalin

sempurna, akan lebih memudahkan dalam mengantisipasi setiap

perubahan dan perkembangan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat. Kiranya perwujudan diskresi tersebut tidak bertentangan

dan bahkan menjadi sumber pembaharuan hukum.

23 Stanley de Smith, Constitutional And Administrative Law , Penguins Books, London, 1989,

hal. 571. 24 Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum (Belanda- Indonesia), Bina Cipta, Bandung, 1983.

hal. 98.

Page 26: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

14

Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, penegak hukum

dengan tindakan diskresi boleh seenaknya melanggar atau menerobos

ketentuan undang-undang, melainkan ada batas-batas toleransi yang

harus diperhatikan. Pembatasan-pembatasan yang dimaksud adalah

sebagai berikut :25

a. Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku

(kaidah hukum positif)

b. Hanya ditujukan untuk kepentingan umum.

Sementara Sjach ran Basah secara tersirat berpendapat bahwa

pelaksanaan freies Ermessen tersebut harus dapat dipertanggung

jawabkan “secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan

keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan

bersama.26

Untuk tercapainya rasa tanggungjawab tersebut Pasal 24

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan menyatakan bahwa Pejabat Pemerintahan yang

menggunakan wewenang diskresi harus memenuhi syarat:27

25Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan

Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm 27-28 26 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 133 27 Pasal 22 ayat (2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:

a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

b. mengisi kekosongan hukum;

c. memberikan kepastian hukum; dan

Page 27: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

15

a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 22 ayat (2);

b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

c. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik

(AUPB);

d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;

e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan

f. dilakukan dengan iktikad baik.

Dengan demikian penerapan diskresi harus dilakukan dengan

prinsip kehati-hatian, dalam arti dalam hal undang-undang sudah

mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu

berpegang pada undang-undang. Dengan kata lain, para penegak

hukum (Polisi) didorong untuk menggali rasa keadilan substantif

(substantive justice) di masyarakat dari pada terbelenggu ketentuan

undang-undang (procedural justice). 28

ntuk itu tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada

pertimbangan pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan

prinsip kelembagaan sebagai berikut:

a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan

kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah

melakukan kejahatan;

b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan institusional dari polisi

akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan

d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan

kepentingan umum.

28 Satjipto Raharjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002,

Op. Cit. hal. 34.

Page 28: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

16

dengan kaku, sehingga menimbulkan rasa tidak suka

dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.29

Dengan demikian, pertimbangan moral dan kelembagaan

menjadi dasar dan sekaligus penting untuk diperhatikan dalam

penerapan diskresi polisi. Disamping itu hal yang tidak kalah

pentingnya untuk diperhatikan bahwa dalam penerapan diskresi harus

sejalan dengan Sistem Peradilan Pidana.

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) sebenarnya

merupakan suatu keseluruhan yang terangkai yang terdiri dari unsur-

unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Unsur-unsur yang

terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan

dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem peradilan pidana

tersebut terdiri dari unsur-unsur yang masing-masing merupakan sub-

sistem dari sistem peradilan tersebut, yang terdiri dari sub-sistem

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dan

advokat.

Menurut Ali Said penggunaan kata “sistem“ dalam istilah

“Sistem Peradilan Pidana“ berarti, bahwa kita menyetujui pendekatan

sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana

29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991: 112

Page 29: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

17

kita. Ini berarti perlunya ada keterpaduan dalam langkah dan gerak

masing-masing sub-sistem kearah tercapainya tujuan bersama…… “30

Sejalan dengan hal tersebut Muladi juga mengatakan sebagai

berikut :

“ bahwa sebagai suatu sistem, peradilan pidana dengan perangkat

struktur atau sub-sistem, seharusnya bekerja secara koheren,

koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan

efektifitasnya yang maksimal. Kombinasi antara efisiensi dan

efektifitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu

efisien masing-masing sub-sistem, dengan sendirinya

menghasilkan efektifitas. Fragmentasi fungsional pada sub-

sistem akan mengurangi efektifitas sistem tersebut, bahkan

sistem tersebut secara keseluruhan disfungsional.” 31

Untuk itu dalam sistem peradilan pidana terpadu menghendaki

adanya satu tujuan dan keterpaduan dari semua komponen sub-sistem

yang ada dalam proses penanganan perkara, menuju lahirnya suatu

sistem peradilan pidana yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut

penerapan diskresi polisi dalam penyidikan harus memperhatikan

pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi

peradilan pidana terpadu32, agar ada keterpaduan dalam langkah dan

30 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, UI, Jakrata, 1994, hal.

145. 31 Muladi, Kapita Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, halaman 4 32 Manajemen administrasi peradilan pidana terpadu yang mencakup penanganan perkara

ditingkat penyidikan menghendaki Penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, maka

penyidik memberitahukan kepada Kejaksaan Pasal 109 ayat (1) KUHAP.. Surat pemberitahuan

ini biasanya disingkat dengan SPDP. Setelah SPDP diterima Kejaksaan Negeri (Kepala

Kejaksaan Tinggi, jika SPDP dari Polda), maka selanjutnya SPDP dikelola oleh Kasi Pidum

atau Pidsus untuk pidana khusus. Kasi Pidum dan atau Pidsus kemudian mempersiapkan

penunjukan Jaksa peneliti.-, yang bertugas untuk mengikuti perkembangan penyidikan

sebagaimana tersebut dalam SPDP. Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana,

Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 291.

Page 30: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

18

gerak masing-masing sub-sistem kearah tercapainya tujuan bersama.

Oleh karena itu ketika polisi melakukan tindakan diskresi ditingkat

penyidikan, maka penyidik memberitahukan atau berkoordinasi

dengan pihak Kejaksaan.33

Kiranya dengan pola penerapan diskresi yang demikian, maka

akan diperoleh manfaat berupa fungsi kritis perlunya diskresi polisi

dalam proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana,

demi terselenggaranya penegakan hukum berkepastian, berkeadilan,

bermanfaat, yang selama ini didambakan oleh setiap komponen bangsa.

I.5. Metode Penelitian.

I.5.1 Metode Pendekatan.

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, artinya

suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau

lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan

fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada identifikasi (problem-

33 Pasal 109 ayat (1) KUHAP.. Surat pemberitahuan ini biasanya disingkat dengan SPDP. Setelah

SPDP diterima Kejaksaan Negeri (Kepala Kejaksaan Tinggi, jika SPDP dari Polda), maka

selanjutnya SPDP dikelola oleh Kasi Pidum atau Pidsus untuk pidana khusus. Kasi Pidum dan

atau Pidsus kemudian mempersiapkan penunjukan Jaksa peneliti.-, yang bertugas untuk

mengikuti perkembangan penyidikan sebagaimana tersebut dalam SPDP. Leden Marpaung,

Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 291.

Page 31: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

19

identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah

(problem-solution).34

Sedangkan metode pendekatan yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif dengan metode

deskriptif analitis yaitu memberikan gambaran dan menganalisa

bagaimanakah model penegakan hukum Diskresi polisi dalam

penyidikan tindak pidana yang terjadi selama ini, serta memberikan

gambaran dan menganalisa strategi pengembangan mekanisme

penerapan diskresi dalam penyidikan yang sesuai dengan pola pikir

sistem peradilan pidana.

Penelitian kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan serta dokumentasi dari

individu dan komunitas polisi dalam penerapan diskresi polisi sebagai

perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan

individu tersebut secara utuh (holistik).

Adapun sifat deskriptif dari penelitian kualitatif membuat

deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta, sifat dan hubungan antar fenomena atau gejala yang diteliti

sambil menganalisisnya, yaitu mencari sebab akibat dari suatu hal dan

34 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 10

Page 32: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

20

menguraikannya secara konsisten dan sistematis serta logis35, dimana

data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil

pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di

lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.

Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya informasi,

mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data

aslinya (tidak ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil analisis data

berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam

bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan data pada umumnya

menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu

penerapan diskresi dilakukan.

Disamping itu Penelitian kualitatif menggunakan analisis data

secara induktif, dimana penelitiannya tidak dimulai dari deduksi teori,

tetapi dimulai dari lapangan yakni fakta empiris, dimana peneliti terjun

ke lapangan, mempelajari suatu proses atau penemuan yang terjadi

secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan serta

menarik kesimpulan-kesimpulan dari penerapan diskresi. Oleh karena

itu temuan penelitian dalam bentuk konsep, prinsip, hukum, teori

dibangun dan dikembangkan dari lapangan bukan dari teori yang telah

ada. Prosesnya induktif yaitu dari data yang terpisah namun saling

berkaitan.

35 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 63, 72, 405, 406 & 427;

Lihat pula Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu

Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 98.

Page 33: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

21

I.5.2. Jenis Dan Teknik Pengumpulan Data.

1.5.2.1. Jenis Data.

Data adalah catatan atas kumpulan fakta, data adalah sesuatu

yang belum mempunyai arti dan masih memerlukan pengolahan.

Data diterima secara apa adanya dan bentuknya dapat berupa angka,

kata-kata, gambar, simulasi, konsep dan lain-lain. Dalam penelitian,

fakta dikumpulkan untuk menjadi data.

Berdasarkan sumbernya, data penelitian dapat dikelompokkan

dalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh

peneliti secara langsung dari sumber datanya Data primer disebut

juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to

date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus

mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat

digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain

pengamatan, wawancara.

Oleh karena itu dalam penelitian ini data primer berupa

pengamatan, wawancara, diskusi dengan para penyidik

(Reskrim) yang menangani secara langsung kasus-kasus kriminal

yang terjadi, Kapolres sebagai pemangku kebijakan terfokus

Page 34: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

22

terkait model dan mekanisme penerapan diskresi polisi dalam

penyidikan tindak pidana.

2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai

tangan kedua). Data sekunder tersebut meliputi bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.36

a). Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini

terdiri dari KUHP, KUHAP, dan UU no.2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b). Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian

ini antara lain terdiri dari buku-buku tentang hukum

Administrasi Negara, hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum,

catatan ataupun dokumentasi penanganan kasus Diskresi

Kepolisian makalah seminar;

c) Bahan hukum tertier yang terdiri dari Black’s Law Dictionary,

dan kamus hukum lainnya.

Selanjutnya berdasarkan tipe penelitian data37 yang digunakan

adalah data kualitatif, dimana fakta dan fenomena yang diamati

36 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),

Rajawali Pers, Jakarta, 2001. Hlm 13. 37 Berdasarkan tipe penelitian, data dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu data kualitatif dan

data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang dapat mencakup hampir semua data non-

numerik. Data ini dapat menggunakan kata-kata untuk menggambarkan fakta dan fenomena

Page 35: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

23

terkait model dan mekanisme penerapan diskresi dalam penyidikan

tindak pidana oleh pihak kepolisian, Peneliti melakukan wawancara,

analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi.

Pemahaman terhadap kedua jenis data sebagaimana dipaparkan

di atas, diperlukan sebagai landasan dalam menentukan teknik serta

langkah-langkah pengumpulan data penelitian.

1.5.2.2. Teknik Pengumpulan Data.

Dalam penelitian, teknik pengumpulan data merupakan faktor

penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan

bagaimana cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat

yang digunakan. Oleh karena itu Metode Pengumpulan Data

merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan

data.

Sumber utama atau subjek yang akan dijadikan fokus

penelitian adalah petugas polisi yang sesuai kewenangan

pekerjaannya memiliki potensi untuk melakukan diskresi. Untuk itu

penelitian akan diarahkan pada polisi yang secara yuridis berperan

selaku penyidik (reserse), yang secara khusus menangani secara

yang diamati yang diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya

wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi yang telah dituangkan dalam

catatan lapangan (transkrip). Bentuk lain data kualitatif adalah gambar yang diperoleh melalui

pemotretan atau rekaman video. Data Kuantitatif adalah data yang dapat diinput ke dalam skala

pengukuran statistik. Fakta dan fenomena dalam data ini tidak dinyatakan dalam bahasa alami,

melainkan dalam numerik.

Page 36: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

24

langsung kasus-kasus kriminal yang terjadi yang kemudian

diselesaikan dengan menggunakan wewenang diskresi.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai

berikut :

a) Studi dokumen, yakni penelitian terhadap berbagai data-data di

Kepolisian, terkait penanganan kasus-kasus yang terjadi,

kemudian diselesaikan dengan menggunakan wewenang

diskresi, di mana data tersebut dinilai akurat dan sekaligus

sebagai cerminan situasi atau kondisi yang sebenarnya. Terhadap

data tersebut kemudian akan dilakukan pemilahan secara

signifikan. agar dapat dipertanggungjawabkan validitasnya atau

kesahihannya.

b) Wawancara, hal ini dilakukan untuk mengumpulkan data atau

informasi langsung kepada para petugas polisi yang secara

yuridis berperan selaku penyidik (reserse), yang secara khusus

menangani secara langsung kasus-kasus kriminal yang terjadi

kemudian diselesaikan dengan menggunakan wewenang diskresi

dan pihak Kapolres sebagai pemangku kepentingan.

c) Pengamatan/Observasi, dilakukan untuk menunjukkan

gambaran apa adanya secara netral dan dilakukan secara

sistematis terkait model dan mekanisme penerapan diskresi polisi

dalam penyidikan tindak pidana, dengan mengidentifikasikan

semua peristiwa penting yang mempengaruhi proses

Page 37: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

25

dilakukannya diskresi. Hal ini perlu dilakukan agar peneliti dapat

memahami tindakan diskresi polisi dari dalam, sehingga

menghindari asumsi memasuki pikiran polisi secara misterius.

I.5.3. Teknik Analisa Data.

Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian

dasar.38

Pendapat di atas pada intinya menghendaki bahwa analisis data

bermaksud pertama- tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul

banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti,

gambar, foto, dokumen, berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya.

Pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberikan kode, dan mengategorikannya.

Selanjutnya setelah dilakukan penelaahan terhadap seluruh data

yang diperoleh dari pelbagai sumber, yaitu dari wawancara dan

pengamatan (observasi) di lapangan, dokumen, untuk kemudian

dilakukan reduksi data39 display data dan berakhir dengan simpulan.

Di dalam praktiknya analisis akan mengikuti prosedur berpikir

analitis dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) data primer maupun

sekunder yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan

analisis kualitatif dan diarahkan kepada informasi seputar realitas

38 J. Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, halaman

103 39 Mattew B Miles dan A Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta, UI Press, 1992,

hal 16.

Page 38: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

26

terfokus terkait model dan mekanisme penerapan diskresi polisi dalam

penyidikan tindak pidana yang bertolak pada data yang diperoleh dari

pelbagai sumber, baik individu polisi, Kapolres sebagai pemangku

kepentingan (2) realitas yang berhasil dideskripsikan secara padat dan

akurat akan diinterpretasikan, dengan mempertimbangkan pemikiran

yang berkembang saat ini dan pemahaman masyarakat tentang hukum

dan keadilan,.sehingga diharapkan dapat dicarikan/ ditemukan pola-pola

baru terkait dengan realitas penegakan hukum diskresi polisi.

Untuk menetapkan keabsahan.(trustworthiness) data dilakukan

dengan triangulasi.40 Triangulasi data tersebut meliputi : 41

1) Triangulasi sumber, artinya data dikumpulkan dari tahun 2015,

2016, baik yang diperoleh di tingkat Kepolisian, Pengacara dan

masyarakat pencari keadilan, dengan jalan :

a) Membandingkan hasil data pengamatan dengan data hasil

wawancara;

b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum

dengan apa yang dikatakannya secara pribadi;

c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang dalam situasi

penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu;

40 Triangulasi atau juga dikenal dengan multi-metode adalah suatu upaya untuk mendapatkan

pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti. Triangulasi

bukanlah alat atau strategi untuk pembuktian, tetapi hanyalah suatu alternatif terhadap

pembuktian. 41. J. Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.

178.

Page 39: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

27

d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan seperti rakyat biasa, orang

yang berpendidikan, orang berada dan sebagainya;

2) Triangulasi metode, membandingkan hasil wawancara dengan isi

suatu dokumen yang berkaitan pemeriksaan. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu meliputi:

derajat kepercayaan (credibility), keteralihan

(transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian

(confirmability). 42

3) Triangulasi teori, artinya fakta-fakta yang diperoleh dari hasil

penelitian akan diperiksa derajat kepercayaan dengan beberapa teori

hukum.

Setelah seluruh data dianggap valid dan dijamin realibilitasnya,

kemudian dilakukan analisis secara kualitatif untuk menjawab

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

Dengan langkah demikian diharapkan dapat memberikan

perspektif yang lebih komprehensif tentang diskresi polisi untuk

kemudian perlunya dicarikan alternatif pemikiran yang lebih baik agar

realitas model penegakan hukum diskresi polisi terhadap tindak pidana

sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan masyarakat.

42 bid. hal. 178

Page 40: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

28

I.6. Sistematika Penulisan.

Judul Penelitian Tesis : Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana

Secara garis besar tesis ini terdiri dari 5 (lima) Bab terbagi dalam

beberapa sub bab. Adapun sistematikanya secara lengkap sebagai

berikut:

Bab 1 Pendahuluan.

Bab ini membahas Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan

dan kontribusi Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

Bab II Diskresi Polisi dan Hak Asasi Manusia

Dalam Bab II. A. diuraikan tentang ruang lingkup diskresi yang terdiri

dari pembahasan makna diskresi polisi, tujuan Diskresi, Hakikat diskresi

Polisi, dan faktor-faktor diskresi polisi dan II. B Diskresi dan

relevansinya dengan tugas pokok Kepolisian terdiri dari Tugas pokok

Kepolisian, kewenangan diskresi polisi, Instruksi Kapolri Terkait

Diskresi Polisi Dalam Tindak Pidana. Selanjutnya II. C. dibahas pula

tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Diskresi yang pada intinya

membahas keterkaitan Diskresi dan Hak Asasi Manusia.

Page 41: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

29

II. D. perkembangan Penggolongan tindak Pidana yang membahas

Penggolongan tindak Pidana baik dalam KUHP maupun dalam R

KUHP.

Bab III Implementasi Diskresi Polisi Dan Penegakan Hukum

Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Pada Bab ini terdiri dari tiga sub bahasan ,yaitu: Sistem Peradilan

Pidana Indonesia Dan Diskresi Polisi dan Penegakan Hukum Pidana

Dalam Sistem Peradilan Pidana serta Implementasi Diskresi dalam

Penegakan Hukum Pidana.

Bab IV Diskresi Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak

Pidana dimasa Mendatang.

Dalam bab ini terdiri dari 3 sub bahasan yaitu: Pemidanaan dalam

Rancangan KUHP yang memungkinkan diberikan diskresi dan Pola

mekanisme penerapan diskresi polisi dalam penegakan hukum tindak

pidana di masa mendatang terbagi dalam 2 (dua) sub bahasan pola

mekanisme penerapan diskresi polisi dalam Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana di masa mendatang terbagi dalam 3 sub

bahasan :Standar penerapan diskresi dan pola mekanisme penerapan

diskresi Institusional. Terakhir dibahas pula tentang profesionalisme

Polisi.

Page 42: DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

30

Bab V Simpulan Dan Saran

Dalam bab ini akan diuraikan simpulan-simpulan yang diperoleh dari

hasil penelitian dan kemudian ditindak lanjuti dengan saran-saran

menuju profesionalisme Penyidik Kepolisian dalam penerapan Diskresi

terhadap Tindak Pidana.