Penatalaksanaan Trauma Thorax

41
PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAX Prinsip Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary survey) Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa. Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma. Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support). Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya

Transcript of Penatalaksanaan Trauma Thorax

Page 1: Penatalaksanaan Trauma Thorax

PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAX

Prinsip

Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary

survey - secondary survey)

Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)

Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah :

portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan

melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.

Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk

menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan

nyawa.

Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau

setelah melakukan prosedur penanganan trauma.

Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki

sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).

Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)

merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya

setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks

kardiovaskular.

2.1 Definisi

Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru yang

menyebabkan paru kolaps.

Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura.

Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa

mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :

Page 2: Penatalaksanaan Trauma Thorax

1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari

alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut sebagai

closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi sebagai

katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum

pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak

sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan

terjadinya tension pneumotoraks.

2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara

kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari

2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut

dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan

dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura

lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi,

tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar

melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks

(Berck, 2010).

2.2 Epidemiologi

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan

traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba

tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini

dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang

mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).

Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria

lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko

pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non perokok.

Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada

dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).

Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma

langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi

iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe

pneumotoraks yang sangat sering terjadi (Berck, 2010).

Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun

Seks : Lebih sering pada pria

Page 3: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Pneumotoraks spontan primer

Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30 tahun

Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun pada

laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan

Pneumotoraks spontan sekunder

Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000

orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada

perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik per

tahun (McCool FD, 2008)

Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per tahun dan 6

per 100.000 perempuan per tahunnya.

Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan primer jarang

terjadi di atas usia 40.

Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.

Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk pneumotoraks

spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000 orang per tahun dan 5,8 per

100.000 perempuan per tahun.

Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder pneumotoraks.

Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam waktu 3 tahun. (Korom S,

2011)

2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian

2.3.1 Pneumotoraks spontan

2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer

Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang sehat

dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian pneumotoraks spontan

primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun

(Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi,

kurus, dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP

adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang

terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan

radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit paru-

paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok

meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).

Page 4: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah terdapat

sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas

menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan emfisematous paru-paru.

Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien

tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru

orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses

pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).

PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak

adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian

besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam.

Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume

hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan

absorpsi sampai dengan empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam

terapi yang dapat dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal

dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner

and Huggins, 2004).

Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS) dan

American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besar-kecilnya

pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP simtomatik yang stabil di

antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007). Berikut adalah ringkasan gabungan panduan

terapi menurut BTS dan ACCP (Mackenzie and Gray, 2007).

a. Clinically stable small pneumotoraks

Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan pneumotoraks

kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal adalah dengan

melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan

dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan

dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari

berikutnya.

b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks

Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS

merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada PSP

luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan

setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak

ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang

Page 5: Penatalaksanaan Trauma Thorax

dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah

lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan drain

interkostal harus dilakukan.

c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks

Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan

pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat

mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap

24 jam.

d. Surgical intervention

Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran udara

persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi

dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua,

pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti

penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani

tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan

seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan

open thoracostomy (Mackenzie and Gray, 2007)

Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak mempengaruhi

efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi antara ukuran drain dan

tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun kateter dengan diameter

kecil tidak dapat digunakan apabila terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan

adanya kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat

dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko terjadinya

edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS

merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm

H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV.

Pengekleman drain dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan

angka keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila

terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension

pneumotoraks.

2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder

PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang

mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis,

Page 6: Penatalaksanaan Trauma Thorax

pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit intersisiel

paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and

tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli

yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya

kondisi komorbid.

Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat. Apabila

pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif muncul dan biasanya

bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk mortalitas

pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan

empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis

tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).

Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk

setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegaj rekurensi.

Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe dan kateter untuk

pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari ringan. Sebagian besar

pasien membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah

terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan

terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan

mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).

2.3.2 Pneumotoraks Traumatik

2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik

Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan

rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif dilakukan . Tindakan

seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru perkutan,

bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif

dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit

(Yilmaz, et al, 2002).

Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi jarm halus

transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan kedalaman lesi.

Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks meningkat. Penyebab kedua

terbanyak adalah pemasangan kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur

transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma,

2009).

Page 7: Penatalaksanaan Trauma Thorax

2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik

Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak

pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke

rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju pleura viseralis melalui cabang-

cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru

perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di

dada akibat benda ajam (Sharma, 2009).

Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek oleh

fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan

alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke

rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks

terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga

pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus

paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten dengan chest

tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).

Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat barotrauma. Pada

suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga apabila

ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat

1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut,

udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks.

Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang

terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan

barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang

terdapat di paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya

2.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding

dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga

pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena

diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami

reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah

kembali negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga

Page 8: Penatalaksanaan Trauma Thorax

pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan

nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura

negatif (Alsagaff, 2009).

2.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga

pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar karena terdapat luka

terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara

luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini

sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat

inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi

positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada

saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking

wound) (Alsagaff, 2009).

2.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan

makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat

ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya

dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara

di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura

makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam

rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas

(Alsagaff, 2009).

2.5 Patofisiologi Pneumotoraks

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik.

Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks

iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic ataupun terapeutik.

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang

mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan

pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted

thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer sering

dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula subpleural,

namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa

Page 9: Penatalaksanaan Trauma Thorax

89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah

bukan perokok.

Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori

menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang

kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan

ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-antioksidan serta menginduksi

terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan

alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan

menyebabkan pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura

parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.

Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara

akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan

tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil

dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya

sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam

patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan

primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria,

serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah

ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang

melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju

hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui

pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks.

Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah:

Penyakit saluran napas

o PPOK

o Kistik fibrosis

o Asma bronchial

Penyakit infeksi paru

o Pneumocystic carinii pneumonia

o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif atau

staphylokokus)

Page 10: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Penyakit paru interstitial

o Sarkoidosis

o Fibrosis paru idiopatik

o Granulomatosis sel langerhans

o Limfangioleimiomatous

o Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung

o Artritis rheumatoid

o Spondilitis ankilosing

o Polimiositis dan dermatomiosis

o Sleroderma

o Sindrom Marfan

o Sindrom Ethers-Danlos

Kanker

o Sarkoma

o Kanker paru

Endometriosis toraksis

Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun non-

penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan

pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan

ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan

pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan

pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada

bagian yang mengalami pneumotoraks.

Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau

bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic needle

aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan positif (positive

pressure mechanical ventilation).Angka kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila

dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman.

Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada parenkim

paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini mengakibatkan udara

bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara

tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat menyebabkan

Page 11: Penatalaksanaan Trauma Thorax

terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa

adanya aliran udara balik.

Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura

sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal

ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena

venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran

udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan

turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal

jika tidak ditangani secara tepat.

2.6 Diagnosis Pneumotoraks

2.6.1 Keluhan

a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya

padasaat bernafas dalam atau batuk.

b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila

sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali

c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.

d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen (cyanosis)

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas, tertinggal

pada sisi yang sakit

b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar, iktus jan-

tung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau menghi-

lang.

c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar, batas jantung

terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi

d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik apabila

ada fistel yang cukup besar

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

a) Radiologis:

1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general

2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi avaskuler.

Page 12: Penatalaksanaan Trauma Thorax

3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari

paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih

padat dengan densitas seperti bayangan tumor.

4. Biasanya arah kolaps ke medial

5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada jantung

misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal sebagai tension

pneumothorax

6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.

b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks

2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks

Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabiisasi leher

hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara memasang cervical

collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien

dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).

Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila

dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift dilanjutkan

dengan membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari telunjuk,

mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan

pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon,

2008).

Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan secara

bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada asimetris, deviasi

trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada

perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan

tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).

Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan memeriksa

capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi perdarahan masif

dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid (Boon, 2008).

2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan intecostal

chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya yang hanya terlihan

dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi berdasarkan status klinis

Page 13: Penatalaksanaan Trauma Thorax

pasien prosedur yang direncanakan berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus

yang terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau

pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension

pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan

bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan chest

tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumotoraks adalah menutup luka

dan segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004).

Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa melakukan

terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga sisinya. Secara

teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan udara keluar dari

pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit

bila dilakukan pada luka yang luas dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest

drain harus dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004).

2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax

2.7.4.1 Needle Thoracostomy

Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada emergensi

dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal Space (ICS)

II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui

spuit yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara.

Udara yang keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax.

Manuver ini mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).

2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube

Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension pnemothorax.

Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan pemasangannnya biasanya

cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik untuk blind needle thoracostomy. Hal ini

menyebabkan status respiratori dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit

tambahan untuk melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi

tumpul), tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa

terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual dengan tekanan

positif (Brohi, 2004).

Page 14: Penatalaksanaan Trauma Thorax

2.8 Komplikasi Pneumotoraks

Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah

pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga

tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur

alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler menuju daerah hilus dan

akhirnya udara mencapai mediastinum. Pneumomediastinum jarang menyebabkan

komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum

dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung

terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah

jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara

pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan

jantung (Carolan, 2010).

Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks

tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri.

Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan

selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema subkutis terjadi

akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan

tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema

subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat

memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas.

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan

pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

Page 15: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Klasifikasi Pneumothorax

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (2), (3)

:

1. Pneumotoraks spontan

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini

dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba

tanpa diketahui sebabnya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan

didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya

fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,

dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik,

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma

penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun

paru.

Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :

a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena

jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.

b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat

komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan

menjadi dua, yaitu :

1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental

Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis

karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada

parasentesis dada, biopsi pleura.

2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)

Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara

mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini

dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan

tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan

paru.

Page 16: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga jenis, yaitu (4) :

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam

rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif

karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum

mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di

dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan

udara di rongga pleura tetap negatif.

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),

Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan

bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).

Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada

pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai

dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).

Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan

menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,

tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang

terluka (sucking wound) (2).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama

makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada

waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan

selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di

dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura

makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul

dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal

napas (2).

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :

Page 17: Penatalaksanaan Trauma Thorax

1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru

(< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>

50% volume paru).

Pemeriksaan Penunjang Pneumothorax

1. Foto Röntgen

Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara

lain (6):

a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan

tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak

membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.

b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang

berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.

Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang

dikeluhkan.

Page 18: Penatalaksanaan Trauma Thorax

c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals

melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan

jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi

pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai

berikut (3):

1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,

mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel

mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di

mediastinum.

2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.

Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara

yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju

daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat

banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila

jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan

ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.

3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak

permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah

merupakan bagian paru yang kolaps

Page 19: Penatalaksanaan Trauma Thorax

2. Analisa Gas Darah

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada

kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang

berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

3. CT-scan thorax

CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa

dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan

untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada fraktur klavikula biasanya penderita datang dengan keluhan jatuh atau

trauma. Pasien merasakan sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan lengan. Fraktur

klavikula sangat mudah didiagnosa dengan pemeriksaan fisik karena jaringan subkutis yang

sangat tipis. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur dan

kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang

menonjol akibat desakan dari fragmen fraktur. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai

perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang

mengikuti fraktur. Trauma pada pleksus brakhial yang berhubungan dengan fraktur klavikula

dapat terjadi. Kerusakan vaskular walaupun jarang tetapi dapat terjadi terutama pada arteri

subklavia.

Klasifikasi

1. Fraktur mid klavikula ( Fraktur 1/3 tengah klavikula)

paling banyak ditemui

terjadi medial ligament korako-klavikula ( antara medial dan 1/3 lateral)

Page 20: Penatalaksanaan Trauma Thorax

mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung ( dari lateral bahu)

2. Fraktur 1/3 lateral klavikula

fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi:

type 1: undisplaced jika ligament intak

type 2 displaced jika ligamen korako-kiavikula rupture.

type 3 : fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis. Mekanisme trauma pada

type 3 biasanya karena kompresi dari bahu.

3. Fraktur 1/3 medial klavikula

Insiden jarang, hanya 5% dan seluruh fraktur klavikula. Mekanisme trauma dapat berupa

trauma langsung dan trauma tak langsung pada bagian lateral bahu yang dapat menekan

klavikula ke sternum. Jatuh dengan tangan terkadang dalam posisi abduksi.

Pemeriksaan Radiologi Fraktur Clavicula

a. Plain Photo

Mid clavicula

Evaluasi pada fraktur clavicula yang standar berupa proyeksi anteroposterior

(AP) yang dipusatkan pada bagian tengah clavicula. Pencitraan yang dilakukan harus

cukup luas untuk bisa menilai juga kedua AC joint dan SC joint. Bisa juga digunakan

posisi oblique dengan arah dan penempatan yang baik. Proyeksi AP 20-60° dengan

cephalic terbukti cukup baik karena bisa meminimalisir struktur toraks yang bisa

mengganggu pembacaan.

Karena bentuk dari clavicula yang berbentuk S, maka fraktur menunjukkan

deformitas multiplanar, yang menyebabkan susahnya menilai dengan menggunakan

radiograph biasa. CT scan, khususnya dengan 3 dimensi meningkatkan akurasi

pembacaan.

Page 21: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Medial clavicula dan SC joint

Proyeksi standar untuk menilai SC joint adalah posteroanterior (PA), lateral

dan oblique. Fraktur medial clavicula dan cedera pada SC joint biasanya sulit dinilai

dengan pencitraan yang biasa karena adanya overlap clavicula dengan sternum dan

costa pertama. Sebagai catatan penting, ossifikasi sekunder pada bagian proksimal

clavicula tidak akan nampak pada usia sebelum 12 tahun dan mungkin sampai umur

25 tahun. Sehingga pada gambaran radiograph biasa akan sulit membedakan antara

suatu fraktur dengan dislokasi pads SC joint.

Lateral clavicula dan AC joint

Pemeriksaan radiologi pada sisi yang mengalami cedera kadang-kadang cukup

sulit, namun beberapa pemeriksaan membandingkan penampakan pada daerah cedera

tersebut. Proyeksi  AP pada AC joint digunakan 15° inclinasi cephalic, sepanjang

tulang scapula. Normal alignment pada sendi dengan proyeksi AP apabila ukuran

celah sendi kurang dari 5 mm dan facies bagian bawah akromion dan distal clavicula

tidak terputus-putus.

b. CT Scan

Medial clavicula dan SC joint

CT scan memegang peranan yang penting dalam mendiagnosa fraktur

clavikula bagian medial dan cedera pada SC joint. CT scan seharusnya digunakan

dengan mencakup SC joint dan secara otomatis setengah dari kedua clavicula untuk

membandingkan satu sisi dengan sisi yang lain.

Jika didapatkan ada kelainan pada vascular, bisa kita nilai dengan

menggunakan intravenous contras..

Lateral clavicula dan AC joint

CT scan merupakan salah satu alat pencitraan di bidang radiologi yang cukup

sensitif dalam menegakkan diagnosa. CT scan kadang-kadang digunakan untuk

mendiagnosa fraktur intra-artikular atau stress fraktur pada AC joint. Meskipun

Page 22: Penatalaksanaan Trauma Thorax

demikian CT scan terbatas untuk menilai sekitar jaringan lunak termasuk kapsula,

ligament dan sendi sinovial.

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

p. 1063.

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27;

cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :

Airlangga University Press; 2009. p. 162-179

Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press;

2007. p. 56

Page 23: Penatalaksanaan Trauma Thorax

1. Pemeriksaan radiologi untuk fraktur costae dapat dilakukan foto thorak AP lateral dan

yang paling baik dilakukan CT Scan akan tetapi lama dalam menunggu hasil pemerik-

saannya. Dapat juga dilakukan analisa gas darah. Pada frakur clavicula CT Scan diu-

tamakan karena spesifitas dan sensitifitas yang 100%.

2. Jenis pneumothorak :

a. Pneumothorak terbuka atau sucking chest wound karena luka besar dinding dad

ayang terbuka maka tekanan intrapleura akan sama dengan tekanan lingkungan se-

hingga tidak ada pertukaran udara sehingga ventilasi terganggu yang dapat terjadi

hipoksia dan hiperkabnia.

b. Tension Pneumonia atau one way valve atau fenomena ventil, terjadi seperti pentil

yang saat ada luka, maka udara cenderung masuk dan terjebak tidak bisa keluar,

sehingga ada penumpukan udara di dalam dada. Hal ini dapat menekan paru dan

mediastinum sehingga dapat terjadi kolaps paru dan menghambat aliran darah

vena ke cor. Gejala yang sering terjadi jika nyeri dada, sesak nafas, takikardi,

hipoventilasi, hipotensi, deviasi trakea, hilang suara nafas satu sisi, perkusi hiper-

sonor, hilang suara nafas vesikuler.

3. Indikasi operasi pada fraktur clavicula salah satunya yaitu malunion (bentuknya tidak

menyatu dengan semestinya sehingga lebih pendek maupun mengalami angulasi) dan

nonunion (jika selama 4-6 minggu secara radiologi tulang tidak menyambung karena

imobilisasi tidak adekuat).

4. Trauma tumpul thorak dapat ditatalaksana awal dengan prinsip mengistirahatkan,

imobilisasi, dapat diberi aspirin untuk menghilangkan rasa sakit pada dada, jika tidak

sadar dan susah bernafas dapat diberi ventilasi dan sirkulasi. Sedangkan jika terjadi

trauma tembs jangan digerakin dan diberi infus untuk menyeimbangkan perdarahan

yang terjadi.

5. Crossmatch adalah pemeriksaan serologi untuk menetapkan sesuai atau tidak darah

donor dan resipien sebelum dan selama donor. Ada 2 cara pemeriksaan yaitu :

a. Crossmatch mayor jika mencampur eritrosit/aglutinogen donor dengan serum/

aglutinin resipien.

b. Crossmatch minor jika mencampur serum/aglutinin donor dengan eritrosit/

aglutinogen donor.

Jika terjadi aglutinasi maka darah tidak cocok. Jika crossmatch minor mengalami aglutinasi

dapat.

Page 24: Penatalaksanaan Trauma Thorax

Pemeriksaan penunjang untuk pneumotoraks adalah pemeriksaan radiologi postero anterior

yang menunjukkan area hiperlusen avaskuler pada hemitoraks yang sakit, gambaran pleural

line, paru yang kolaps, dan terdorongnya mediastinum ke arah yang berlawanan

http://leman.or.id/2007-martin-wsd-medika-nov07.pdf

A. TRIAGE

Triage adalah suatu proses untuk menentukan pasien mana yang harus ditangani terlebih

dahulu berdasarkan seberapa parah atau serius trauma yang terjadi. Berdasarkan “CDC

Guideline for Field Triage of Injured Patients” pada tahun 2011, triaging dibagi menjadi 4

tahap:

1. Step 1: kriteria fisiologi.

Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara cepat pasien trauma yang kritis

dengan menilai level kesadaran (Glasgow Coma Scale [GCI]) dan mengukur tanda

vital (systolic blood pressure [SBP] dan respiratory rate [RR]).

2. Step 2: kriteria anatomi

Pada tahap ini, dilakukan penilaian mengenai cedera anatomi yang mungkin

memerlukan perawatan yang intensif pada beberapa pasien yang pada presentasi awal

memiliki fisiologi normal. Transport ke fasilitas yang menyediakan level tinggi

perawatan trauma harus dilakukan apabila ditemukan cedera anatomi (gambar 1).

3. Step 3: mekanisme trauma

Pasien yang tidak memenuhi kriteria pada step 1 dan 2 harus dievaluasi tentang

mekanisme terjadinya trauma untuk menentukan apabila trauma mungkin parah akan

tetapi tidak terlihat.

4. Step 4: special consideration

Menentukan apakah pasien yang tidak masuk kriteria fisiologis, anatomic, atau

mekanisme trauma memiliki kondisi yang mendasari atau faktor-faktor komorbid

yang menyebabkan pasien dalam risiko tinggi mengalami cedera atau yang membantu

mengidentifikasi pasien yang cedera parah.

Label warna pada triage

Page 25: Penatalaksanaan Trauma Thorax

1. Merah: merupakan prioritas utama, perlu pengobatan yang segera karena dalam kon-

disi yang sangat kritis yaitu tersumbatnya jalan nafas, dyspnea, pendarahan, syok, hi-

lang kesadaran.

2. Kuning: bisa menunggu pengobatanpengobatan dapat ditunda untuk beberapa jam dan

tidak akan berpengaruh terhadap nyawanya, dan tanda-tanda vital stabil.

3. Hijau: dapat dilakukan rawat jalan.

Hitam: korban sudah meninggal dunia atau tanda vital menghilang

Prinsip Pemeriksaan Radiologis pada Fraktur

Pemeriksaan penunjang pada fraktur yang harus dilakukan adalah pemeriksaan

radiologis. Pemeriksaan radiologis ini menganut aturan yang disebut Rules of Two.

Rules of Two merupakan seperangkat guideline sederhana. Beberapa hal dari Rules of

Two harus dipatuhi, dan beberapa di antaranya hanya berlaku pada kasus tertentu saja.

Prinsip-prinsip umum ini tentunya berguna untuk membantu menghindari kesalahan

dalam interpretasi hasil radiografi dan manajemen pasien.

Rules of Two mencakup 10 hal yaitu:

a. Two views (dua tampilan): sebaiknya dilakukan secara anteroposterior (AP) dan lateral,

kecuali pada radiologis thorax, abdomen, dan pelvis.

b. Two joints (dua sendi): menampilkan gambaran sendi di atas dan di bawah tulang pan-

jang, terutama pada fraktur bagian antebrachii dan cruris.

c. Two sides (dua sisi): membandingkan kedua sisi terutama pada anak-anak.

d. Two abnormalities (dua kelainan): cobalah mencari kelainan lain yang menjadi faktor

predisposisi fraktur, misalnya pada fraktur patologis, ditemukannya “bone island”.

e. Two occasions: periksalah dengan film atau pemeriksaan radiologis terdahulu, hal ini

dapat membantu pada foto thorax ataupun pada kasus misalnya osteomyelitis, septic

arthritis, dll.

f. Two visits (dua kunjungan): diperlukan pemeriksaan radiologis ulang terutama setelah

operasi, tindakan immobilisasi tulang, mengurangi dislokasi, atau pengambilan benda

asing, untuk melihat apakah kelainan telah membaik, tidak berubah, atau bahkan mem-

buruk.

Page 26: Penatalaksanaan Trauma Thorax

g. Two opinions (dua pendapat): dapat digunakan untuk meyakinkan kelainan yang ter-

jadi, dapat menggunakan Red Dot System (memberikan titik merah pada kelainan yang

terjadi, biasanya sistem ini digunakan pada instalansi gawat darurat.

h. Two records (dua catatan): menyalin hasil temuan pemeriksaan radiografi pada rekam

medis.

i. Two specialists (dua spesialis): semua film harus dilihat dan dilaporkan secara resmi

oleh seorang ahli radiologi.

j. Two examinations (dua pemeriksaan): terkadang diperlukan pemeriksaan penunjang

lain untuk menegakkan diagnosis, seperti: Ultrasonography, Computed Tomography,

Magnetic Resonance Imaging, dan Isotope Bone Scanning.

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2014).Informed consent.www. cancer. org,

American College of Surgeons. 1997.  Advanced Trauma Life Support . United States of

America: First Impression.

Ayush Goel, Martin Gorrochategui, et al. Pneumothorax

http://radiopaedia.org/articles/pneumothorax

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.

Ersoy N, Senses OM, Aydin ER. (2010). Informed consent in emergency medicine.

UlusTravmaAcilCerrahiDerg. 16(1): 1-8

https://ml.scribd.com/doc/225528078/Informed-Consent-pada-Kegawatdaruratan diakses

pada tanggal 26 April 2015

FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.

Otto Chan, Robin Touquet, General Principles: How to Interpret Radiographs

https://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/

Sample_chapter/9780727915283/9780727915283_4_001.pdf

Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Mosby

Philadelphia.

Page 27: Penatalaksanaan Trauma Thorax

RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS

Bandung.

Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiadi S. (eds). Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jilid II edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syamsu H.R. dan Jong, Wim De (1995). Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran, EGC.

Tim Skills Lab FK UNS. (2015). Pedoman Keterampilan Klinis Semester VI. Surakarta: FK

UNS.

Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.