Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Head Injury - Copy

45
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neuorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. 1 Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian. 2 Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala. 3 Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 1

description

gawat

Transcript of Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Head Injury - Copy

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangCedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neuorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital.1 Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian.2 Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala.3 Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.4Di Indonesia, insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus.5

1.2. Rumusan MasalahLaporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi, dan penanganan kegawatdaruratan pada trauma kepala.

1.3. Tujuan Penulisan1. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi, dan penanganan kegawatdaruratan pada trauma kepala.2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Trauma Kapitis2.1.1.Definisi Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.62.1.2. EtiologiMenurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala.72.1.3. PatofisiologiPada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.8Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.9Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).8Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.102.1.4. Jenis Trauma Kapitisa.FrakturTerdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior.11Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.11b.Luka Memar (kontusio)Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran.11c.Geger otak (komosio)Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak, termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.11d.Laserasi (luka robek)Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.11e.AbrasiLuka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.11f.AvulsiLuka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.11g.Cedera Otak DifusMulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.112.1.5.Jenis Perdarahan pada Truma Kapitisa.Perdarahan EpiduralPerdarahan epidural adalah perdarahan pada antara tulang kranial dan duramater. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.11 b.Perdarahan SubduralPerdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arakhnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena.c.Perdarahan SubarakhnoidPerdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.

d.Perdarahan IntraventrikulerPerdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.e.Perdarahan IntraserebralPerdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon.2.1.6. Diagnosisa.Pemeriksaan KesadaranPemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.12 GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi : GCS < 8 : pasien koma dan cedera kepala berat GCS 8 12 : cedera kepala sedang GCS 13 - 15 : cedera kepala ringan Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.12b.Pemeriksaan PupilPupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala. 12

c.Pemeriksaan NeurologiPemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.12d.Pemeriksaan Scalp dan TengkorakScalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman laserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar. 12e.Pemeriksaan Penunjang Foto X-Ray TengkorakPeralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.12 Computed Tomography Scan (CT-scan)Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk. 12 Magnetic Resonance Imaging (MRI)Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan. 122.1.7.Komplikasi Trauma Kapitisa.Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)Pada trauma kapitis tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan selaput otak (hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma subaraknoidal), perdarahan di dalam jaringan otak (kontusio serebri berat, laserasio serebri, hematoma serebri besar, dan perdarahan ventrikel), dan kelainan pada parenkim otak (edema serebri berat). Tekanan pada vena jugularis menaikkan TIK yang berlangsung sementara saja. Demikian pula batuk, bersin, mengejan yang mengakibatkan tekanan di dalam sistem vena meningkat. Pada hipoksia terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan volume darah di otak dengan akibat TIK meningkat pula. Pada Trauma kapitis yang dapat meningkatkan TIK adalah hematoma yang besar (lebih dari 50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan perdarahan subarakhnoidal yang mengganggu aliran cairan otak di dalam ruangan subarakhnoidea. Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi cairan otak meningkat kemudian bagian-bagian sinus venosus di dalam dura meter tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri pia-arahnoidea melebar. Bila autoregulasi baik aliran darah akan dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah otak bertambah. Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan menurun dan TIK akan tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila kenaikannya sangat lambat seperti pada neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena selain penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami atrofi ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang yang bertambah.13b.InfeksiKemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat bila durameter robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya berdekatan dengan sinus-sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini jug bisa terjadi bila ada fraktur basis kranii.13c.Lesi tingkat selLesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel-sel yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak, maka seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat mengenai percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsisnya, dapat pula mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan demikian. 13d.Epilepsi paska trauma kapitisPada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang. Serangan ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula timbul terlambat berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi terlambat cenderung terjadi pada pasien yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut. Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi fokal. 13e.AspirasiPada keadaan koma, refleks batuk dapat menurun. Bila pasien muntah, muntahan mungkin terhirup ke dalam trakea dan menimbulkan aspirasi. Isi perut yang masuk ke dalam bronki akan menimbulkan edema, perdarahan, dan bronkospasme. Isi perut yang masuk ke dalam bronki harus diusahakan dihisap keluar melalui trakeostomi. 13

2.1.8.Tatalaksana Trauma KapitisTrauma kapitis merupakan salah satu kondisi yang emergensi sehingga tatalaksana yang digunakan juga berbasis emergensi yang terdiri dari : 14a.Resusitasi KardiopulmonerAirway : jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan. Breathing : akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.Circulation : Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan kristaloid, koloid atau darah. 14b.Terapi DiuretikDiuretik Osmotik (Mannitol 20%) : Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.14Loop Diuretik : Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv. 14

c.Terapi Barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari. 14d.Posisi KepalaPenderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.14

2.2.Penilaian Awal (Primary Survey)Primary survey merupakan suatu penilaian dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Proses ini merupakan tahap awal penanganan trauma dan usaha untuk mengenali keadaaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan ketentuan mengikuti urutan yang diawali oleh A (Airway) yaitu menjaga airway dengan kontrol servikal, kemudian B (Breathing) yaitu menjaga pernapasan dengan ventilasi, C (Circulation) yaitu dengan kontrol perdarahan, D (Disability) yaitu dengan menilai status neurologis pasien, dan E (Exposure/environmental control) dilakukan dengan membuka pakaian penderita, tetapi cegah hipotermi.152.2.1.Airway, dengan kontrol servikal (cervical spine control)15,16Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebrae cervical. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan napas bersih. Nilai: suara stridor dan/atau disfonia jika ada maka dicurigai adanya cedera trakea atau struktur di dekatnya Nilai: pasien agitasi, sianosis dan obtundation (apatis) secara tidak langsung menunjukkan adanya gangguan ventilasi atau oksigenasi yg tidak adekuat pada pasien yg menyebabkan hipoksia atau hiperkarbia Nilai: fraktur wajah dapat menyebabkan perdarahan atau obstruksi jalan nafas Tentukan: apakah ada deviasi trakea Buka mulut pasien cari adanya abnormalitas seperti: perdarahan dan pembengkakan (bisa juga dengan menggunakan blade lidah). Tanda adanya cedera servikal:1) multi-system atau major trauma2) gangguan kesadaran3) blunt injury di atas klavikula4) nyeri leher, ekimosis atau deformitas5) defisit neurologisSemua pasien trauma dgn atau tanpa cedera pada wajah harus dicurigai mengalami cedera servikal sampai bukti adanya cedera servikal dapat ditemukan atau disingkirkan.Penanganana. Masalah sering karena lidah sehingga timbul obstruksi pada pasien dengan posisi supinasi dan tidak sadar dapat dilakukan manuver seperti Chin-Lift atau Jaw Thrust atau menggunakan peralatan nasofaringeal atau orofaringeal.b. Resusitasi dengan BMV (bag-valve mask) = ambu bagc. Intubasi endotrakeald. Transtracheal jet ventilatione. Krikotiroidostomi2.2.2.Breathing, menjaga pernapasan dengan ventilasi16,11Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspirasi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.Untuk menilai seberapa baik ventilasi dan oksigenasi pasien: Periksa kesimetrisan suara nafas dgn auskultasiSuara nafas yg rendah pada salah satu sisi mengindikasikan adanya pneumothoraks atau hemothoraks Cari tanda Tension Pneumothoraks seperti: deviasi trakea, distensi vena, penurunan suara nafas pada sisi yg terkena, dan hipotensi Perkusi membedakan pneumothoraks dan hemothoraks. Palpasi thoraks temuan krepitasi akan mengarah pada pneumothorax Jika ada Gerakan Nafas yg Paradoks curiga ada Flail Chest Jika ada cedera toraks maka dapat terjadi Tension PneumothoraksPenanganan Pada saat menangani pasien trauma maka perlu diingat kemungkinan terjadinya keadaan seperti hipoksia, tension penumothoraks, open pneumothoraks, flail chest, massive hemothoraks dan tracheo-bronchial tree disruption. Alasan pemberian oksigen pada pasien trauma jika terdapat kecurigaan adanya trauma berat serta kecurigaan terhadap syok dan ini merupakan suatu alasan empiris untuk terapi oksigen Terdapat beberapa alat yg bisa digunakan dalam pemberian suplai oksigen diantaranya sebagai berikut:a. Dual-prong nasal cannules, Alat ini banyak digunakan karena sifatnya yg portable. Penggunaan alat ini jika pasien akan diberikan terapi oksigen aliran rendah dengan perkiraan aliran 0,5-1,0 L per menit dengan volume efektif yg dapat diterima pasien yaitu 0,24 L per menit. Maksimal aliran yg harus diberikan dengan alat ini yaitu kuran dari 4 L per menit agar udara yg dialirkan dapat dilembabkan terlebih dahulu.b. Simple oxygen maskDengan menggunakan alat ini, keefektifannya hanya 0,35-0,50% dari 5 liter aliran per menitnya. Pemberiannya harus dengan kekuatan aliran lebih dari 5 liter per menit agar memaksimalkan saturasi oksigen yg diberikan. c. Mask with reservoir bag/ ambubagDiberikan pada pasien tanpa kemampuan bernapas atau bernapas parsial. Konsentrasi oksigen yg dihasilkan sekitar lebih dari 0,5 liter tiap kali hembusan.d. Venturi-type maskMemberikan suplai aliran oksigen tinggi dan dapat mengirimkan konsentrasi oksigen 0,5 liter melalui trakhea.2.2.3.Circulation, dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)11,17a. Volume darah dan cardiac output. Terdapat 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik, yaitu tingkat kesadaran, warna kulit, dan nadi.1) Tingkat kesadaranBila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran.2) Warna kulitWarna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.3) NadiNadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan oleh keadaan yang lain. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda dilakukannya resusitasi segera.b. Perdarahan. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi traumatik.

Penanganan a) Stop PerdarahanPemberian cairan intra vena dapat dilakukan untuk penggantian cairan, terutama karena perdarahan. Tipe cairan kristaloid seperti RL dapat dijadikan pilihan terapi. Bila pasien ditemukan dalam kondisi syok maka dapat diarahkan pada syok karena perdarahan dan harus dibantu dengan pemberian transfusi darah.Bila ditemukan indikasi dilakukannya tindakan pembedahan maka dapat segera dilakukan laparotomy. b) Akses vena untuk cairan, dllc) Resusitasi cairan

Tabel 2.1. Tabel kelas perdarahan

2.2.4.Disability, status neurologis15,18Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat (level) cedera spinal.Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/ dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.

Tabel 2.2. Glasgow Coma Scale

`Penanganan a) Hal yg perlu diperhatikan adalah timbulnya keadaan hipoksia dan hipotensi akibat adanya trauma otak.b) Jika GCS pasien 2 Perfusi perifer menurun t/v kurang TD = tidak terukur HR = 40 X/I

Syok ec hipovolemik dd neurogenik

Passive leg raising

Pasang 2 IV line 18 G dan diberi cairan R Sol hangat 2000 CC dalam 60 menit

TD = 170/80HR = 125 X/I

dijumpai perbaikam

D (Dissability)Sens : Unresponsive

Penurunan Kesadaran

Perbaiki delivery oxygen

keep A-B-C clear

Pasien compos mentis

E (Exposure)Pasien Luka berdarah pada (R) wrist joint dan excoriated wound pada wajahPasien traumaMembuka keseluruhan pakaian pasien, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung pasien dengan cara log roll. Selanjutnya diselimuti untuk mencegah hipotermiDitemukan:Excoriated wound pada (L) Shoulder, (R) Abdomen

3.3.Secondary Survey B1 (Breath): Airway : clear, gurgling/snoring/crowing: -/-/-, RR: 40 x/mnt , SP: vesikular, ST: -, Mallampati : 1, JMH (Jarak Mentum Hyoid): >6 cm, GL (Gerakan Leher) bebas , Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-). B2 (Blood) : Akral : D/P/B, TD : 170/80 mmHg, HR : 125 x/mnt, reguler, t/v lemah/kurang. Temp : 37,1C B3 (Brain) : Sens : CM, Pupil: isokor 3 mm / 3mm, RC +/+, pusing (-), kejang (-), mata kabur (-) B4(Bladder) :UOP : BAK (-), kateter terpasang B5 (Bowel) : Abdomen: Inspeksi: simetris, excoriated wound pada (R) abdomen (+) Palpasi: dinding abdomen soepel, Perkusi: timpani, Auskultasi: suara usus (+) B6 (Bone) : Fraktur (-), Edema (-)

3.4. Pemeriksaan penunjang1. Laboratorium Darah LengkapHb : 11,30 gr/dlLeukosit : 17.450 /mm3Ht : 32,4%Trombosit : 186.000/mm3 Analisa Gas DarahpH : 7,368pCO2: 13,2 mmHgpO2: 130 mmHgHCO3: 6,2 mmol/LTotal CO2: 6,6 mmol/LKelebihan Basa: -18,9 mmol/LSaturasi 02: 98,1% Faal HemostasisPT: 17,7 (13,50)APTT: 32,2 (34,5)TT: 15,6 (16,9)INR: 1,33 Metabolisme KarbohidratKGD (sewaktu): 179 mg/dL Fungsi GinjalUreum: 15 mg/dLKreatinin:0,94 mg/dL

ElektrolitNatrium: 135 mEq/LKalium: 3,4 mEq/LKlorida: 110 mEq/L

2. Radiologia. Foto Schedel

Kesimpulan: dalam batas normal

b. Foto Cervical

Kesimpulan: dalam batas normal

c. Foto Thoraks

Kesimpulan: dalam batas normal

d. Foto Pelvis

Kesimpulan: dalam batas normal

e. Foto Antebrachii

Kesimpulan: dalam batas normal

f. Foto Wrist Joint

Kesimpulan: dalam batas normal

3. CT Scan

Kesimpulan: Brain: tidak ditemukan kelainanBone: Intak

4. USG FAST

Kesimpulan: tidak ditemukan adanya collecting fluid

Monitoring Tanda Vital di IGDJamSO2 (%)RR (x/menit)HR (x/menit)TD (mmHg)Kesadaran

09.3086Napas spontan (-)40Tidak terukurUnresponsive

09.509038140160/80Sopor

09.559230137170/80Sopor

10.009926130170/80CM

10.159937125170/80CM

10.309930120170/80CM

13.00ARREST

3.5.PermasalahanMasalah yang dihadapi dalam kasus ini adalah seorang laki-laki mengalami kecelakaan lalu lintas dan mendapati trauma di bagian kepala.3.6.PembahasanPada kasus ini, hal pertama yang perlu kita nilai adalah kesadaran pasien. Penilaian kesadaran pada setingan kasus emergensi atau kegawatdaruratan dapat dilakukan dengan cara : A : allert (sadar penuh)V : verbal (respon bila dipanggil atau diajak bicara)P : pain (respon bila diberikan rangsang nyeri)U : unresponsive (tidak respon dengan rangsang apapun)Pada pasien ini, kesadarannya yaitu U (unresponsive) karena pasien tidak respon saat diberi rangsang nyeri dengan cara menekan dada pasien di daerah sternum berkali-kali.Selanjutnya, hal yang perlu kita lakukan adalah primary survey yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu:A : airway, menilai patensi jalan nafas, lihat apakah ada sumbatan (obstruksi) jalan nafas. Bila ada tentukan jenis obstruksinya apakah parsial atau total. Pada obstruksi total, kita tidak dapat mendengar suara nafas, tetapi kita dapat melihat gerakan dada dan perut naik turun dengan cepat yang disebut pernafasan jungkat-jungkit (seasaw breathing). Pada obstruksi parsial, terdapat suara nafas dan suara nafas tambahan seperti suara orang mengorok (snoring), suara seperti berkumur-kumur (gurgling), dan crowing akibat oedem laring. Suara seperti orang mengorok disebabkan oleh jatuhnya pangkal lidah sehingga menutupi faring, sedangkan gurgling terjadi akibat adanya cairan atau darah di mulut dan faring. Setelah mengetahui penyebab dari obstruksi maka kita bebaskan jalan nafas dengan cara triple airway maneuver, yaitu head tilt, chin lift, dan jaw thrust. Akan tetapi pembebasan jalan nafas dengan cara di atas hanya bersifat sementara, oleh sebab itu kita dapat menggantikannya dengan memasang pipa orofaring atau nasofaring, dan dengan melakukan intubasi. B : breathing, menilai apakah pasien bernafas spontan atau tidak, pola pernafasan apakah teratur atau tidak, menilai laju pernafasan apakah cepat atau tidak. Jika pasien tidak dapat bernafas spontan, maka kita bantu memberikan nafas bantuan dengan menggunakan resusitasi bag. Apabila terdapat peningkatan laju nafas (takipnu) maka dapat diberikan terapi oksigen menggunakan nasal kanul, simple mask, reservoir mask sesuai dengan kebutuhan pasien.C : circulation, menilai apakah ada tanda-tanda kekurangan cairan atau volume tubuh. Penyebab kekurangan cairan tubuh yang utama adalah perdarahan dan dehidrasi. Jika terdapat perdarahan maka segera hentikan perdarahan dan ganti kekurangan cairan dengan meresusitasinya dengan cairan dimulai dari kristaloid, koloid dan darah.Pada kasus ini, pasien dibebaskan jalan nafasnya dengan triple airway maneuver, lalu dilakukan pemasangan pipa orofaring dan direncanakan untuk pemasangan intubasi. Setelah jalan nafas dibebaskan dengan triple airway maneuver dan pipa orofaring, terdapat peningkatan yang ditandai dengan saturasi oksigen pasien menjadi 99% dan tindakan intubasi tidak dilakukan. Pasien juga diberikan terapi oksigen sebanyak 10-12 liter/menit dengan bag valve mask dan dilanjutkan dengan non-rebreathing mask 6-8 liter/menit. Untuk cairan diberikan kristaloid yaitu ringer solution sebanyak 4 flash (2 liter) untuk mengganti cairan yang hilang akibat trauma.Setelah dilakukan primary survey, pasien yang mengalami trauma kapitis atau kepala perlu dilakukan head CT-scan untuk menilai apakah ada perdarahan di otak dan foto polos kepala untuk menilai apakah ada fraktur tengkorak yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien. Jika terdapat perdarahan yang hebat di otak, maka perlu kita perhatikan apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial. Adanya peningkatan tekanan intra kranial akan memperburuk prognosa dan meningkatkan sekuele dari trauma kepala pasien tersebut.Pada pasien ini, setelah dilakukan head CT-scan, hasilnya bersifat normal dan tidak dijumpai adanya perdarahan di kepala, namun pasien masih mengalami penurunan kesadaran. Oleh sebab itu, kami menduga ini merupakan suatu cedera kepala difus. Cedera kepala difus biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tobing, HG. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf Departemen Bedah Saraf FK UI-RSCM. Jakarta: Sagung Seto2. CDC. 2010. Traumatic Brain Injury in the United States: Emergency Department Visits, Hospitalizations and Deaths 2002-20063. Karbakhsh M, Zandi NS, Rouzrokh M, Zarei MR. Injury Epidemiology in Kermanshah: the National Trauma Project in Islamic Republivc of Iran., East Mediterr Health J, 15(1): 57-644. CDC. 2005. The CDC Traumatic Brain Injury Surveillance System: Characteristics of Persons aged 65 years and Older Hospitalized with a TBI. J Head Trauma Rehabil, 20 (3): 215-2285. Akbar. 2008. Distribusi Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat RS Cipto Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 6. Asrini, S. 2008. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan Sedang. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6415. [Accessed 10 Februari 2015]7. Brain Injury Association of Michigan. 2005. Traumatic Brain Injury Provider Training Manual. Michigan Department Of Community Health8. Israr, YA., Christopher, AP., Julianti R., Tambunan R., Hasriani A. 2009. Cedera Kepala dan Fraktur Kruris. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Available from : http://www.Files-of-DrsMed.tk. [ Accessed 10 Februari 2015 ]9. Mardjono, M., dan Sidharta, P.,2008. Mekanisme Trauma Susunan Saraf Pusat. Dalam : Mardjono, M., dan Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 250 - 260.10. Lombardo, M.C.,2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A., dan Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.11. Japardi, I.,2004. Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.12. Greaves, I., and Johnson, G., 2002. Head And Neck Trauma. Dalam : Greaves, I., and Johnson, G. Practical Emergency Medicine. Arnold, 233 245.13. Kirby S, Wang SJ ed. 2010. Headache associated with intracranial neoplasms, preview clinical summary. Available from : http://www.medlink.com/medlinkcontent.asp [Accessed : 10 Februari 2015]14. Olson DA. 2014. Head Injury. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/article/1163653. Diakses: 10 Februari 201515. American Collage of Surgeon Committee on Trauma. Advance Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 7th Ed. Student Course Manual. United State of America. 2004. Hal: 14-2916. Ariwibowo, Haryo et all, 2008. Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta.17. Kluwer wolters, 2009. Trauma and acute care surgery. Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins18. Marx JA (ed). Rosens Emergency Medicine: Concept and Practice 5th edition., St.Louis: Mosby, 200219. American Collage of Surgeon Committee on Trauma. Advance Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 5th Ed. Student Course Manual. United State of America. 1997. Hal: 14-29

32