Pemeriksaan Feses

25
LAPORAN PRATIKUM AGENT PENYAKIT “PEMERIKSAAN FESES” Di susun oleh : Nama : Aulia Rakhman NIM : N 201 12 018 Kelompok : 1 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO 2013

Transcript of Pemeriksaan Feses

Page 1: Pemeriksaan Feses

LAPORAN PRATIKUM AGENT PENYAKIT

“PEMERIKSAAN FESES”

Di susun oleh :

Nama : Aulia Rakhman

NIM : N 201 12 018

Kelompok : 1

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2013

Page 2: Pemeriksaan Feses

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya

terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia dan merupakan

masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini

dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan

kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur

hidup dan cara penularannya.

Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam

membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva dan juga

memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak

yang mungkin dikira suatu parasit. Bahan yang akan di periksa tergantung dari

jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di

periksa adalah tinja atau feses,

Di 50 negara pada tahun 2008 terdapat 496 juta orang yang menderita

penyakit yang diakibatkan oleh cacing. Di Indonesia sendiri pada tahun 2008

sebanyak 11.699 kasus ditemukan di 378 kabupaten/kota. Berdasarkan

pemetaan didapatkan prevalensi mikrofilaria di Indonesia sebesar 19 persen,

yang berarti 40 juta orang yang tubuhnya membawa mikrofilaria sedangkan

pada tahun 2009, jumlah kasus kronis filariasis sudah sebanyak 11.914 kasus.

Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau

menimbulkan gejala ringan. Infeksi ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak

yang sering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka lebih

mudah terinfeksi oleh cacaing-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada

daerah di mana penduduknya sering membuang tinja sembarangan sehingga

lebih mudah terjadi penularan. Berdasarkan uraian diatas maka yang

melatarbelakangi praktek ini adalah untuk mengetahui parasit yang terdapat

Page 3: Pemeriksaan Feses

pada feses manusia maupun hewan dengan bentuk seperti telur atau larva yang

menyebabkan penyakit pada tubuh.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dilaksanakan pratikum pemeriksaan feses ini adalah :

1. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan feses.

2. Untuk mengetahui dan mengamati adanya parasit yang ada dalam sampel

feses kambing, feses kuda, feses manusia dewasa, feses anjing, feses sapi

dan feses anak kecil.

2.3 Manfaat

Adapun manfaat sehingga dilaksanakan pratikum pemeriksaan feses ini

yaitu untuk mengetahui parasit apa saja yang terdapat pada feses manusia

maupun feses hewan. Sebagai mahasiswa kesehatan masyarakat nantinya bisa

dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tindakan pencegahan penyakit

yang disebabkan oleh parasit-parasit dan cacing pada feses manusia maupun

feses hewan tersebut.

Page 4: Pemeriksaan Feses

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Feses

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur

cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan

untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di

periksa fesesnya (Gandahusada, 2000).

Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan

kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,

metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan untuk

mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan

metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada didalam usus

(Kadarsan, 1983).

2.2 KOH 10% dan Eosin

Larutan KOH 10% merupakan larutan berbentuk cair dengan warna

putih jernih dan mempunyai komposisi kristal KOH 10-20 gram dan aquadest

100 ml. Larutan ini berfungsi untuk melihat secara nampak telur parasit pada

feses hewan apakah berbentuk larva atau telur (Richard, 2008).

Larutan Eosin berfungsi untuk mempermudah membedakan antara

telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Larutan ini mempunyai

komposisi yaitu, eosin 2%, aseton dan aquadest (Soedarto, 2003).

2.3 Strongyloides stercoralis

A. Morfologi

Larva Rabditiform Panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut

terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing,

larva filariform. Bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing,

Page 5: Pemeriksaan Feses

tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esophagus menempati setengah

panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk. Cacing dewasa

betina yang hidup bebas panjangnya ± 1 mm, esophagus pendek dengan 2

bulbus, uterus berisi telur dengan ekor runcing. Cacing dewasa jantan

yang hidup bebas panjangnya ± 1 mm, esophagus pendek dengan 2

bulbus, ekor melingkar dengan spikulum (Hillyer, 2005).

B. Siklus Hidup

Menurut (Mubarak, 2005), siklus hidup dari Strongyloides

stercoralis adalah sebagai berikut :

Cara berkembang biak secara partenogenesis Mempunyai 3 macam siklus

hidup:

Siklus langsung, sesudah 2 – 3 hari di tanah, larva rabditiform

berubah menjadi larva filariform, bila larva filariform menembus kulit

manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah vena dan

kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari paru parasit

yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan

laring. Sesudah sampai di laring reflek batuk, sehingga parasit

tertelan, kemudian sampai diusus halus bagian atas dan menjadi

dewasa.

Siklus tidak langsung, larva rabditiform berubah menjadi cacing

jantan dan betina bentuk bebas, sesudah pembuahan, cacing betina

menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva

rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menhasilkan larva

filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes.

Autoinfeksi, larva rabditiform menjadi larva filariform di usus atau di

daerah sekitar anus (perianal) bila larva filariform menembus mukosa

atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran perkembangan di

dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis

Page 6: Pemeriksaan Feses

yang persisten, mungkin selama 36 tahun, di dalam penderita yang

hidup di derah non endemik.

C. Klasifikasi

Menurut (Carnevale, 2005), klasifikasi Strongyloides stercoralis

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Ordo : Rhabditida

Family : Strongyloididae

Genus : Strongyloides

Spesies : Strongyloides stercoralis

D. Epidemiologi

Strongyloides stercoralis endemik di daerah tropis dan subtropis

dan terjadi secara sporadis di daerah beriklim sedang, sedangkan didaerah

yang beriklim dingin jarang ditemukan. Di daerah tropis dan subtropis

prevalensi daerah secara keseluruhan dapat melebihi 25 persen. Tingkat

infeksi tertinggi di Amerika Serikat adalah di antara penduduk dari

negara-negara tenggara dan di antara individu-individu yang telah di

daerah endemik ( termasuk imigran, pengungsi, wisatawan dan personil

militer) (Possey, 2007).

E. Etiologi

Strongyloides stercoralis sangat umum terdapat di seluruh dunia

pada mukosa usus halus anjing ,kucing, manusia dan berbagai mamalia

lain. Penyebab penyakit Strongyloidiasis adalah cacing Strongyloides

stercoralis. Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit

timbul kelainan kulit yang disebut creeping eruption yang disertai dengan

rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada

mukosa usus muda. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti

Page 7: Pemeriksaan Feses

tertusuk-tusuk didaerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin

ada muntah, diare saling bergantian. Pada strongiloidiasis ada

kemungkinan terjadi autoinfeksi atau hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi

cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh

traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam

(paru, hati, kandung empedu) (Hubner, 2001).

F. Virulensi

Cacing Strongyloidiasis stercoralis dewasa bebas yang telah

dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan

larva non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah

menjadi larva infektif filariform. Kadangkala pada orang-orang tertentu,

larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva filariform

sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau

menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan

dapat berlangsung bertahun-tahun (Possey, 2007).

G. Pencegahan

Sanitasi pembuangan tinja, melindungi kulit dari tanah yang

terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki. Penerangan kepada

masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta

pemakaian jamban (Mubarak , 2005).

H. Pengobatan

Tiabendazol, dosis 25 mg per kg berat badan, 1 atau 2 kali sehari

selama 2 atau 3 hari. Albendazol 400 mg, 1 atau 2 kali sehari selama 3

hari, merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg 3 kali sehari selama 2

atau 4 minggu. Perhatian pada pembersihan daerah sekitar anus, dan

menghindari konstipasi (Carnevale, 2001).

2.4 Drancunculus medinensis

A. Morfologi

Cacing ini berbentuk silindris dan memanjang seperti benang.

Permukaan tubuh berwarna putih susu dengan kutikula yang halus.

Page 8: Pemeriksaan Feses

Ujung anterior berbentuk bulat tumpul sedangkan ujung posterior

melengkung membentuk kait. Memiliki mulut yang kecil dan ujung

anteriornya dikelilingi paling sedikit 10 papila. Cacing jantan panjangnya

12-40 mm dan lebarnya 0,4 mm Cacing betina panjangnya 120 cm dan

lebarnya1-2 mm (Hillyer, 2005)

B. Siklus Hidup

Bila manusia meminum air mentah mengandung cyclops yang

telah terinfeksi oleh larva cacing ini menetas lalu menembus dinding usus

menuju jaringan bawah kulit, jantung atau otak. Setahun kemudian,

cacing yang telah dewasa akan bereproduksi dan bergerak menuju

permukaan kulit (umumnya tangan atau kaki), jantan akan mati setelah

3-7 bulan setelah infeksi. Betina yang akan bereproduksi akan

menimbulkan bercak merah yang terasa sangat panas lalu menimbulkan

luka terbuka pada anggota badan tersebut. Pada saat bagian tubuh yang

terluka itu direndam air (untuk mengurangi rasa panas yang ditimbulkan)

cacing betina dewasa akan keluar (dapat dilihat dengan mata) dari luka

tersebut dan melepaskan larva muda kemudian larva muda mencari

Cyclops dan siklus kembali terulang. setelah proses ini terselesaikan,

betina akan mati, apabila tidak dapat keluar dari tubuh maka cacing

tersebut akan terkristalisasi didalam tubuh inangnya. Luka terbuka yang

diakibatkan oleh penetrasi cacing ini memiliki potensi yang besar terkena

infeksi bakteri sekunder (bakteri tetanus, bakteri pemakan daging) apabila

tidak diobati secara tepat (Norman, 1994).

C. Klasifikasi

Menurut Subronto (2006), klasifikasi Dracunculus medinensis

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda

Ordo : Camallanidae

Page 9: Pemeriksaan Feses

Family : Dracunculidae

Genus : Dracunculus

SpesieS : Dracunculus medinensis

D. Epidemiologi

Dracunculus medinensis ditemukan di sebagian besar wilayah

Afrika dan Timur Tengah, Asia Tengah dan Selatan. Dracunculus

medinensis endemik di daerah tropis (Kosasih, 1999).

E. Etiologi

Dracunculus medinensis adalah suatu nematoda yang

menyebabkan dracunculiasis. Dracunculiasis, juga dikenal sebagai

penyakit cacing guinea, yang disebabkan oleh Dracunculus medinensis

betina (Hendrix,1995).

F. Virulensi

Dalam waktu setahun cacing ini perlahan-lahan mengeluarkan diri

dari tubuh manusia yang dihuninya dengan menjulurkan kepala terlebih

dahulu di bagian bawah kaki atau lengan manusia yang menjadi korban.

Proses ini menyebabkan nyeri luar biasa. Luka bekas lubang keluarnya

cacing ini akan membesar sesentimeter demi sesentimeter dan begitu

menyakitkan. Sering kali penderita terburu-buru mencari sumber air

untuk merendam luka mereka, padahal tindakan ini adalah salah

(Subronto, 2006).

G. Pencegahan

Menurut Subronto (2006). Pencegahan Dracunculus medinensis yaitu :

Penyaringan air minum melalui kain katun tipis.

Merebus air hingga mendidih sebelum digunakan.

Meminum air berklorin membantu mencegah dracunculiasis.

H. Pengobatan

Biasanya, cacing dewasa pelan-pelan diangkat lebih dari sehari

sampai seminggu dengan memutarnya pada sebuah batang. Cacing

tersebut bisa diangkat dengan cara operasi setelah bius lokal digunakan,

Page 10: Pemeriksaan Feses

tetapi pada banyak daerah, metode ini tidak tersedia. Orang yang juga

mengalami infeksi bakteri kadangkala diberikan metronidazole untuk

mengurangi peradangan (Kosasih, 1999).

1.

2.

2.1.

2.2.

2.3.

2.4.

2.5. Fasciola hepatica

A. Morfologi

Pada spesies Fasciola hepatica, cacing dewasa berwarna coklat

abu-abu dengan bentuk seperti daun, pipih, melebar dan lebih melebar

keanterior dan berakhir dengan tonjolan berbentuk conus. Ukuran tubuh

cacing dewasa dapat mencapai panjang 30 mm dan lebarnya 13 mm.

Mempunyai batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral

sucker) yang besarnya hampir sama (Estuningsih dkk., 2004).

B. Siklus Hidup

Telur keluar ke alam bebas bersama feces sapi. Bila menemukan

habitat basah telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut

Mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan

tumbuh menghasilkan Sporokista. Sporokista secara partenogenesis akan

menghasilkan Redia. Redia secara paedogenesis akan membentuk

serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh siput menempel pada rumput dan

berubah menjadi metaserkaria. Metaserkasria termakan oleh hewan

ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke

saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya

(Sadarman dkk., 2007).

C. Klasifikasi

Menurut Sadarman (2007), adapun klasifikasi jamur ini yaitu:

Page 11: Pemeriksaan Feses

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Trematoda

Ordo : Echinostomida

Family : Fasciolidea

Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola hepatica

D. Epidemiologi

Penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di Indonesia ditemukan

hampir di seluruh daerah, terutama di daerah yang basah. Tingkat

morbiditas dilaporkan 50-75 %, rata-rata 30 %. Dilaporkan bahwa 2,5

juta orang telah terinfeksi di 61 negara terutama dari Bolivia, Peru,

Mesir, Iran, Portugal, dan Perancis, dan bahwa lebih dari 180 juta orang

beresiko (Estuningsih dkk., 2004).

E. Virulensi

Pertama ialah ikut bersama aliran darah, kemudian menembus

kapiler darah, terus ke vena porta dan akhirya sampai ke hati.Kedua, dari

lambung (abomasum) menembus mucosa usus (duodenum), ke saluran

empedu dan akhirnya sampai ke parenkhim hati.Ketiga, yang umum

terjadi adalah setelah menembus usus menuju peritonium, lalu menembus

kapsula hati yang akhimya sampai ke hati. Selain itu, habitat lain dari

cacing hati ini adalah pada kaki siput, namun yang paling umum adalah

terdapat pada hati hewan ruminansia seperti domba, sapi, kambing, dan

juga dapat menginfeksi kedalam tubuh manusia (Estuningsih dkk., 2004).

F. Pencegahan

Pencegahan yang dilakukan adalah tidak memakan sayuran

mentah, jika tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya

sayuran tersebut dicuci terlebih dahulu dengan larutan cuka atau larutan

potassium permanganat sebelum dikonsumsi, konsumen harus

Page 12: Pemeriksaan Feses

menghindari konsumsi selada air yang mentah dan memasak makanan

hingga benar-benar matang (Muchlis, 1985).

G. Pengobatan

Bila upaya pencegahan sudah dilakukan namun tetap terinfeksi

fasciolosis, maka kasus ini dapat diobati dengan beberapa macam

anthelmintik, seperti Bithionol, Hexachloro-para-xylol, Niclofolan,

Metronidazole dan Triclabendazole. Namun dari semua obat cacing

tersebut di atas, hanya Triclabendazole yang paling efektif untuk

menyembuhkan fasciolosis pada manusia, dengan dosis 10 mg/kgBB

yang diberikan 2 kali per oral dengan interval pemberian selama 12 hari.

Emetin HCl, diklorofenol, prazikuantel. Obat yang sering digunakan

dalam membasmi cacing Fasciola hepatica dan sampai saat ini masih

menjadi pilihan utama dalam pengobatan infeksi cacing Trematoda adalah

prazikuantel (Muchlis, 1985.).

BAB III

METODOLOGI

3

4

4.1 Waktu dan Tempat

Adapun waktu dan tempat dilaksanakan pratikum pemeriksaan feses ini adalah

:

Hari/Tanggal : Sabtu, 25 Mei 2013.

Waktu : 10.00 WITA – selesai.

Page 13: Pemeriksaan Feses

Tempat : Laboratorium Terpadu FKIK UNTAD.

4.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada pratikum pemeriksaan feses

ini adalah :

4.2.1 Alat

1. Mikroskop

2. Gelas Kimia

3. Objek glass

4. Deck glass

5. Handsprayer

5..22 Bahan

1. Sampel Feses Kambing

2. Sampel Feses Kuda

3. Sampel Feses Manusia Dewasa

4. Sampel Feses Anjing

5. Sampel Feses Sapi

6. Sampel Feses Anak-Anak 8-10 tahun

7. Aquadest steril

8. Larutan KOH 10%

9. Larutan Eosin 2%

10. Lidi steril

11. Alkohol 70%

12. Handskun

13. Masker

13.3 Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja pada saat melakukan pratikum pemeriksaan feses

ini adalah:

1. Menggunakan masker dan handskun.

Page 14: Pemeriksaan Feses

2. Mensterilkan tangan dengan menggunakan alkohol 70% secara merata di

telapak tangan.

3. Mengambil sampel feses menggunakan lidi steril.

4. Memasukkan sampel feses ke gelas kimia.

5. Menambahkan aquadest steril pada gelas kimia secukupnya.

6. Mengencerkan larutan feses dan aquadest hingga homogen.

7. Membuat pembatas yang berbentuk bulatan untuk meletakkan sampel.

8. Mengambil endapan feses dan mengoleskan pada kaja objek sesuai

pembatas.

9. Meneteskan KOH 10% pada sampel feses kambing, kuda,anjing dan sapi

dan meneteskan eosin 2% pada sampel feses anak-anak dan manusia

dewasa secukupnya.

10. Menutup dengan deck glass.

11. Mengamati dengan mikroskop pada pembesaran 10x100.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.

Page 15: Pemeriksaan Feses

2.

3.

4.

4.1. Hasil Pengamatan

Adapun hasil Pengamatan yang diperoleh pada saat melakukan pratikum

pemeriksaan feses ini adalah :

No Sampel Gambar

Nama SpesiesHasil Pengamatan Literatur

1Feses

Kambing

Dracunculus

medinensis

(telur)

2Feses

Kuda

Strongyloides

stercoralis

(telur)

3

Feses

Manusia

Dewasa

Echinococcus

granulosus

(telur)

Page 16: Pemeriksaan Feses

4Feses

Anjing

Gnathostoma

spinigerum

(telur)

Dracunculus

medinensis

(larva)

Metagonimus

sp. (telur)

Echinostoma

sp. (Telur)

Page 17: Pemeriksaan Feses

5Feses

Sapi

Dracunculus

medinensis

(larva)

Fasciola

hepatica

(larva)

Taenia

saginata

(larva)

6

Feses

Anak-An

ak

Ascaris

lumbricoides

(telur)

Page 18: Pemeriksaan Feses

4.2 Pembahasan

Pemeriksaan feses adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui

ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini

juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada

orang yang di periksa fesesnya. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan

metode kualitatif dan kuantitatif.

Pada percobaan kali ini, yang dilakukan adalah memakai masker dan

handskun agar tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme yang terdapat pada

sampel feses, tangan harus disterilkan menggunakan alkohol 70% yang

disemprotkan ke seluruh permukaan tangan, selanjutnya mengambil sampel

feses dengan menggunakan lidi steril dan dipindahkan ke dalam gelas kimia,

gelas kimia berfungsi sebagai tempat untuk menghomogenkan antara sampel

feses dengan larutan aquadest. Larutan aquadest berfungsi sebagai pengencer

dari sampel feses. Pengenceran sampel kemudian diletakkan pada objek glass

yang telah ada pembatas berbentuk bulatan, dipindahkan dengan menggunakan

lidi yang runcing. Sampel kemudian diteteskan dengan larutan KOH 10% untuk

sampel feses pada hewan yang berfungsi untuk melihat secara nampak telur

parasit pada feses hewan apakah berbentuk larva atau telur. Komposisi larutan

KOH 10% adalah kristal KOH 10-20 gram dan aquades 100 mL. Eosin yang

digunakan untuk sampel feses manusia yang berfungsi untuk mempermudah

membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Kompisisi Eosin

adalah yaitu eosin, aseton, aquadest, alkohol 70%. Sampel kemudian ditutup

dengan deck glass dan dilakukan pengamatan dengan menggunkan mikroskop.

Dari hasil pengamatan yang telah didapatkan pada sampel feses kambing

yang dilihat dengan mikroskop, berdasarkan literatur yang ditemukan adalah

telur cacing spesies Dracunculus medinensis juga terdapat di sapi dan domba.

Untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh parasit ini adalah

dengan cara menyaring air minum melalui kain katun tipis, merebus air hingga

mendidih sebelum digunakan, dan hanya meminum air berklorin dapat

Page 19: Pemeriksaan Feses

membantu mencegah dracunculiasis. Penyakit yang diakibatkan Dracunculus

medinensis adalah dracunculiasis.

Pada sampel feses kuda yang dilihat dengan mikroskop, berdasarkan

literatur yang ditemukan adalah telur cacing spesies Strongyloides stercoralis.

Bila dibandingkan dengan literatur Strongyloides stercoralis juga terdapat pada

mukosa usus halus anjing, kucing, manusia dan berbagai mamalia lain. Untuk

pencegahannya yaitu dengan sanitasi pembuangan tinja, melindungi kulit dari

tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki. Penerangan

kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta

pemakaian jamban. Penyakit yang diakibatkan Strongyloides stercoralis adalah

Strongyloidiasis dan kelainan pada mukosa usus muda.

Pada sampel feses manusia dewasa yang dilihat dengan mikroskop,

berdasarkan literatur yang ditemukan adalah telur cacing spesies Echinococcus

granulosus. Bila dibandingkan literatur Echinococcus granulosus juga terdapat

pada feses anjing, domba dan sapi. Cara pencegahannya terhadap infeksi cacing

Echinococcus granulosus dengan menghindari kontak dengan tinja anjing,

terutama pada anak-anak dan meningkatkan kesadaran higienis dan sanitasi air.

Menjaga kebersihan dan kesehatan hewan piaraan terutama anjing dan kucing.

Penyakit yang diakibatkan oleh cacing Echinococcus granulosus adalah kista

hidatid.

Pada sampel feses anjing yang dilihat dengan mikroskop, berdasarkan

literatur yang ditemukan adalah telur cacing spesies Gnathostoma spinigerum,

Metagonimus sp, dan Echinostoma sp. Ditemukan juga larva cacing yaitu

Dracunculus medinensis. Bila dibandingkan literatur Gnathostoma spinigerum

juga terdapat pada feses kucing, ikan, katak dan ular. Cara pencegahannya

terhadap infeksi cacing Gnathostoma spinigerum dengan menghindari kontak

dengan tinja anjing, terutama pada anak-anak dan meningkatkan kesadaran

higienis dan sanitasi air. Menjaga kebersihan dan kesehatan hewan piaraan

terutama anjing. Penyakit yang diakibatkan oleh cacing Gnathostoma

spinigerum adalah gnasthomiasis.

Page 20: Pemeriksaan Feses

Pada sampel feses sapi yang dilihat dengan mikroskop, berdasarkan

literatur yang ditemukan adalah larva cacing spesies Dracunculus medinensis,

Fasciola hepatica, dan Taenia saginata. Bila dibandingkan literatur Fasciola

hepatica juga terdapat pada feses domba, kambing dan terkadang manusia.

Cara pencegahannya terhadap infeksi cacing Fasciola hepatica dengan tidak

memakan sayuran mentah, jika tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah,

sebaiknya sayuran tersebut dicuci terlebih dahulu dengan larutan cuka atau

larutan potassium permanganat sebelum dikonsumsi, konsumen harus

menghindari konsumsi selada air yang mentah dan memasak makanan hingga

benar-benar matang. Penyakit yang diakibatkan oleh cacing Fasciola hepatica

adalah rusaknya liver atau hati.

Pada sampel feses anak-anak yang dilihat dengan mikroskop,

berdasarkan literatur yang ditemukan adalah telur cacing spesies Ascaris

lumbricoides. Bila dibandingkan literatur Ascaris lumbricoides juga terdapat

pada feses manusia dewasa. Cara pencegahannya terhadap infeksi cacing

Ascaris lumbricoides dengan menjaga anak-anak agar tidak bermain ditanah,

memakai alas kaki saat berjalan diatas tanah, menjaga sanitasi lingkungan, dan

menajaga keheginesan makanan. Penyakit yang diakibatkan oleh cacing Ascaris

lumbricoides adalah pneumonia, sindrom Loeffler, muntah-muntah, diare,

konstipasi, mual, kolik atau ikterus, dan akut abdomen.

Page 21: Pemeriksaan Feses

BAB V

PENUTUP5

6

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah:

1. Teknik pemeriksaan feses menggunakan metode natif untuk pemeriksaan

secara cepat dan baik untuk infeksi berat. Metode ini dilakukan dengan

cara menggunakan larutan KOH 10% untuk sampel feses hewan dan Eosin

untuk sampel feses manusia. Larutan NaCl fisiologis Berfungsi untuk

melihat secara nampak telur parasit pada apakah berbentuk larva atau telur

dan Eosin yang berfungsi untuk mempermudah membedakan telur-telur

cacing dengan kotoran disekitarnya.

2. Parasit yang ditemukan pada masing-masing feses berbeda, pada sampel

feses kambing ditemukan adalah telur cacing spesies Dracunculus

medinensis. Pada sampel feses kuda ditemukan telur cacing spesies

Strongyloides stercoralis. Pada sampel feses manusia dewasa ditemukan

telur cacing spesies ditemukan Echinococcus granulosus. Pada sampel

feses anjing ditemukan telur cacing spesies Gnathostoma spinigerum,

Metagonimus sp, dan Echinostoma sp. Ditemukan juga larva cacing yaitu

Dracunculus medinensis. Pada sampel feses sapi ditemukan larva cacing

spesies Dracunculus medinensis, Fasciola hepatica, dan Taenia saginata.

Pada sampel feses anak-anak ditemukan telur cacing spesies Ascaris

lumbricoides.

2.2 Saran

Adapun saran yang diberikan oleh penulis adalah sebaiknya dalam

melakukan percobaan, di perlukan ketelitian agar tidak terjadi kesalahan, serta

Page 22: Pemeriksaan Feses

ada baiknya alat dan bahan yang akan digunakan lebih dilengkapi, sehingga

menunjang proses kerja pada saat melakukan praktek.

DAFTAR PUSTAKA

Carnevale, 2001. Immunodiagnosis dari Fascioliasis Manusia dengan AssayEnzyme-Linked Immunosorbent (ELISA) dan Mikro-Elise Clin DiagnoseLab Immunol. Dikutip oleh Mochamad Iqbal. Pemeriksaan Feses PadaManusia. 2012. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan UniversitasJendral Soedirman. Purwokerto.(http://e-journal.unicen.ac.id/index.php/jbp/article/view/73). Diakses padatanggal 27 Mei 2013 pukul 19.32 WITA.

Estuningsih dkk., 2004. Pengembangan Teknik Diagnosa Fasciolosis Pada SapiDengan Antibody Monoclonal Dalam Capture ELISA Untuk DeteksiAntigen. Dikutip oleh Ari Puspita Dewi. Kejadian Infeksi Cacing Hati(Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Kabupaten Kebumen. 2011. UniversitasGajah Mada.Yogyakarta.(http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/ijms/article/view/1409). Diakses hari Rabu, 29 Mei 2013. Pukul 15.34 WITA.

Gandahusada, 2006. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta.

Hendrix JE. 1995. Assimilate Transport and Partitioning In Hanbook of PlantandCrop Physiology. Dikutip oleh Oemijati .Masalah Penyakit Parasit DiIndonesia. 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.(http://usupress.usu.ac.id/files/Sistem%20Teknik%20Industri%20Vol_%206%20No_%203%20Juli%202005.pdf#page=107). Diakses pada tanggal 27Mei 2013 pukul 19.43 WITA.

Hillyer, 2005, antigen Fasciola sebagai vaksin terhadap fascioliasis danschistosomiasis. Dikutip oleh Noerhayati. Beberapa Segi Infeksi CacingTambang di Indonesia. 2011. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.(http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/viewFile/768/711). Diaksespada tanggal 27 Mei 2013 pukul 19.25 WITA.

Hubner,2001, Diagnosis of the early phase of larval toxocariasis using IgG avidity. Epidemiol Mikrobiol Imunol. Dikutip oleh Perlita Kamilia. BeberapaSegi Infeksi Blastocytosis. 2012. Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 23: Pemeriksaan Feses

(http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/viewFile/768/711). Diaksespada tanggal 27 Mei 2013 pukul 20.00 WITA.

Kosasih, 1999. Perbandingan penghitungan jumlah telur cacing per gram (tpg)feses antara alat hitung Universal dengan Mc Master. Dikutip oleh ZaenalIkram. Metode Uji Apung Sebagai Teknik Pemeriksaan Telur CacingNematoda Dalam Tinja Hewan. 2004. Universitas Airlangga. Surabaya.

Mubarak, 2005. Pengantar Keperawatan Komunitas I. Sagung Seto. Jakarta.

Muchlis, 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Daur Hidupnya diIndonesia. Dikutip oleh Ari Puspita Dewi. Kejadian Infeksi Cacing Hati(Fasciola sp) Pada Sapi Potong di Kabupaten Kebumen. 2011. UniversitasGajah Mada. Yogyakarta.

Norman, 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada UniversityPress. Yogyakarta.

Possey, 2007. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. BukuKedokteran EGC. Jakarta.

Richard, 2008. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. EGC. Jakarta.

Sadarman dkk., 2007. Infestasi Fasciola sp. pada sapi Bali dengan sistempemeliharaan yang berbeda di Desa Tanjung Rambutan KecamatanKampar. Dikutip oleh Agus Dermawan. Tingkat Kerentanan Fasciolahepatica Pada Sapid an Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten AcehBesar. 2012. Universitas Syiah Kuala. Aceh.

Soedarto, 2003. Zoonosis Kedokteran. Universitas Airlangga. Surabaya.

Subronto, 2006, Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing,Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

Page 25: Pemeriksaan Feses