PBL

31
1 BAB I PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang ditemukan pertama kali sekitar tahun 1950 di Filipina dan Thailand, saat ini dapat ditemukan di sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008). Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus, dengan angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008a). Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008b) Pola penularan DBD dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Kelembaban udara yang tinggi dan suhu panas justru membuat nyamuk Aedes aegypti bertahan lama. Sehingga kemungkinan pola waktu terjadinya penyakit mungkin akan berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lain tergantung dari iklim dan kelembaban udara. Di Jawa, umumnya kasus DBD merebak mulai awal Januari sampai dengan April-Mei setiap tahun (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2006). .

description

zz

Transcript of PBL

Page 1: PBL

1

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan

masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di

daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup

tinggi, yang ditemukan pertama kali sekitar tahun 1950 di Filipina dan Thailand,

saat ini dapat ditemukan di sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang

mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995.

Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD

dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat

menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008).

Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama

30 tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695

kasus, dengan angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk.

Total kasus meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1%

(Depkes RI, 2008a). Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi

di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD

(Depkes RI, 2008b)

Pola penularan DBD dipengaruhi iklim dan kelembaban udara.

Kelembaban udara yang tinggi dan suhu panas justru membuat nyamuk Aedes

aegypti bertahan lama. Sehingga kemungkinan pola waktu terjadinya penyakit

mungkin akan berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lain tergantung

dari iklim dan kelembaban udara. Di Jawa, umumnya kasus DBD merebak mulai

awal Januari sampai dengan April-Mei setiap tahun (Dinas Kesehatan Propinsi

Jawa Tengah, 2006).

.

Page 2: PBL

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Infeksi virus dengue termasuk variannya demam dengue (DD) dan demam

berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue yang

berbeda namun masih berhubungan dekat yakni DENV-1, -2, -3, dan -4. Virus

yang berukuran kira-kira 30 nanometer tersebut termasuk dalam kelompok virus

RNA rantai tunggal (single-stranded RNA) yang tergabung dalam famili

flaviviridae dan genus flavivirus, dimana dalam family virus ini tergabung virus –

virus lainnya yang ditularkan melalui bantuan vektor. Virus dengue merupakan

abrovirus (virus yang ditularkan melalui vektor artropoda) yang bertransmisi ke

manusia lewat gigitan nyamuk spesies aedes yang terinfeksi. Transmisi juga dapat

terjadi melalui transfusi darah atau transplantasi organ yang sebelumnya telah

terjangkit virus ini. Transmisi pada manusia dapat juga terjadi pada lingkup

perawatan medis (misalnya tertusuk jarum tanpa sengaja) dan transmisi vertical

seperti yang telah dilaporkan pada berbagai literature, terjadi dari ibu yang

terinfeksi pada bayinya semasih di dalam kandungan atau pada saat proses

kelahiran.

Demam dengue bersifat akut yang sering kali muncul dengan gejala sakit

kepala, sakit pada tulang, sendi, dan otot, serta ruam merah pada kulit. Demam

Berdarah Dengue (DBD) sendiri ditandai dengan beberapa manifestasi klinik

yang utama, yakni demam tinggi selama 2 hingga 7 hari tanpa penyebab yang

jelas, gelisah, nyeri pada ulu hati, pendarahan, pembengkakan hati, dan pada

beberapa kasus yang parah terjadi kegagalan sirkulasi darah yang dapat mengarah

ke kondisi syok (SSD) (Hairani LK, 2009).

2.2 Cara Penularan Demam Berdarah Dengue

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan Virus Dengue, yaitu

manusia, virus, dan vektor perantara. Virus Dengue ditularkan kepada manusia

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopticus, atau Aedes

polynesiensis (WHO, 2009). Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung Virus

Page 3: PBL

3

Dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian

virus yang berada di kelenjar liur nyamuk berkembang biak dalam waktu 8-10

hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada

manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang

biak dalam tubuh nyamuk maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus

selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa

tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.

Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila bila nyamuk

menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas

sampai 5 hari setelah panas timbul.

2.3 Epidemiologi

Pada tahun 1950-an hanya ada 9 negara yang merupakan daerah penyebaran

DBD, tetapi pada tahun 2004 daerah penyebarannya sudah meliputi 100 negara di

dunia (Gubler DJ, 1997). Epidemi demam dengue pertama di Indonesia

dilaporkan oleh David Beylon di Batavia pada tahun 1779 (Gubler DJ, 2002).

Namun DBD baru dikenal pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan case

fatality rate (CFR) sangat tinggi, yaitu 41,3% dan sejak tahun 1994 penyakit itu

telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia (Gubler DJ, 2002).

DBD umumnya terdapat di daerah tropis terutama negara ASEAN dan

Pasifik Barat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran kasus, antara

lain pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,

tidak adanya kontrol nyamuk di daerah endemis dan peningkatan sarana

transportasi. Pola berjangkit infeksi Virus Dengue dipengaruhi oleh iklim dan

kelembaban udara. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di

setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit berbeda untuk setiap tempat.

Penderita DBD umumnya berumur di bawah 15 tahun. Risiko tertinggi pada

kelompok umur 5-9 tahun dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan

1:1,2. Sejak tahun 1980-an berdasarkan penelitian di Amerika Latin dan Asia

Tenggara menunjukkan pergeseran umur penderita DBD ke umur yang lebih tua

(CDC, 2005).

Page 4: PBL

4

Morbiditas dan mortalitas infeksi Virus Dengue dipengaruhi oleh faktor

status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi Virus Dengue,

virulensi Virus Dengue, dan kondisi geografis setempat.

Sejak Januari sampai tanggal 17 Maret 2004 Kejadian Luar Biasa DBD di

Indonesia telah menimbulkan 39.938 kasus dengan 498 kematian atau CFR 1,3%

dan Incidence Rate 15/100.000 penduduk. Di provinsi Bali pada tahun 2003,

jumlah penderita adalah sebesar 2.363 orang dan 7 orang diantaranya meninggal,

sedangkan pada tahun 2004 sebesar 1.890 orang dan 8 orang diantaranya

meninggal, dan pada tahun 2005 sebesar 3.594 orang dan 18 orang diantaranya

meninggal (Candra A, 2010).

2.4 Patogenesis

Terdapat dua teori atau hipotesis yang utama terkait patogenesis DBD dan

SSD yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder heterogen (secondary

heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE).

Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder heterogen disebutkan, bila

seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan

terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk

jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder

oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini

terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan

membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda

yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang

infeksius dan bersifat opsonisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan

memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan platelet

activating factor (PAF) akibatnya akan terjadi peningkatan infeksi virus dengue

(Hairani LK, 2009).

Peningkatan replikasi virus ini selanjutnya akan menagkibatkan beberapa

hal antara lain aktivasi sistem komplemen C3 dan C5 menyebabkan pelepasan

C3a dan C5a yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

darah. Perembesan plasma yang diakibatkan oleh meningkatnya permeabilitas tadi

dapat terlihat dari peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium, dan adanya

Page 5: PBL

5

cairan pada rongga serosa misalnya efusi pleura dan acites. Selain aktivasi sistem

komplemen, kompleks antibodi-virus juga merangsang agregasi trombosit. Akibat

agregasi trombosit ini, RES (reticulo endothelial system), akan menghancurkan

trombosit sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit juga

menyebabkan pengeluaran PF III (platelet factor III) yang menyebabkan

koagulopati konsumtif atau DIC. Gangguan fungsi dan jumlah trombosit

mengakibatkan perdarahan masif (Hadinegoro S, Soegijanto S, dkk, 2001).

Hipotesis berikutnya tentang Antibody Dependent Enhancement (ADE)

pada infeksi dengue telah lama dibicarakan memiliki peran penting dalam proses

pathogenesis DBD. Hipotesis ADE disusun untuk menjelaskan temuan bahwa

manifestas klinis yang parah pada kejadian DBD/SSD terjadi pada anak yang

mengalami infeksi sekunder dengan serotipe berbeda dibandingkan infeksi

sebelumnya. Dikatakan bahwa terdapat antibodi yang terbentuk pada infeksi

sebelumnya namun antibodi tersebut tidak dapat menetralisir infeksi sekunder,

namun malah memperparah infeksi secara in vitro. Bayi yang berumur kurang

dari 1 tahun yang mendapatkan anti-dengue IgG juga sangat rentan mengalami

DBD/SSD pada infeksi primernya (Lei HY, Huang KJ, dkk, 2008).

Pada infeksi sekunder dengan serotipe yang berbeda antibodi reaksi silang

(cross reactive) yang terbentuk pada infeksi primer tetap tinggal dalam tubuh.

Pada konsentrasi antibodi dibawah ambang batas untuk netralisasi, virus yang

datang teropsonisasi dan berikatan dengan sel-sel yang mengekspresikan reseptor

Fc gamma seperti monosit primer, makrofag, dan sel dendritik. ADE membantu

akses virus memasuki sel sel diatas dan menyebabkan meningkatkan produksi

virus secara keseluruhan melebihi infeksi primer, sehingga menghasilkan gejala

klinis yang lebih berat (Quinn M, 2011).

Jumlah dari virus yang menginvasi monosit meningkat, sehingga level dari

aktivasi sel T yang spesifik terhadap virus dengue juga ikut meningkat. Sel T,

terutama cross reactive sel T, memproduksi sitokin-sitokin seperti IFN-,γ IL-2,

TNF-α dan CSF (colony stimulating factors) yang selanjutnya akan mehancurkan

monosit yang terinfeksi dengue. TNF-α juga dihasilkan apabila monosit

teraktivasi. Kaskade komplemen juga teraktivasi oleh adanya kompleks virus-

antibodi bersama dengan beberapa sitokin, menghasilkan C3a dan C5a yang

Page 6: PBL

6

memilki efek langsung terhadap permeabilitas vascular. Efek sinergis dari IFN-,γ,

TNF-α dan aktivasi komplemen memicu kebocoran plasma dari sel endotel pada

infeksi sekunder. Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil,

oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan

beradhesi dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding

endothel lisis dan endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang

akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga

endothel menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.

Namun, terdapat beberapa hal yang masih belum jelas tekait teori ini.

Tidak semua DBD/SSD pda anak merupakan infeksi sekunder, seperti pada bayi,

DBD/SSD merupakan infeksi primer. Aktivasi kompelemen bisa jadi

memperberat derajat infeksi, namun bukan penyebab dari DBD/SSD. Belum

dapat dijelaskan juga mengapa endothelial sel dan platelet merupakan target

utama pada infeksi dengue (Lei HY, Huang KJ, dkk, 2008).

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang patogenesis

DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang ditemukan pada kasus-kasus

fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori

antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD dimana

terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3,

C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks

imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B

dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem

imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag

yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon,

IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab

pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler (Hairani

LK, 2009).

2.5 Patofisiologi

Pada awal gejala Demam Dengue (DD) memiliki persentasi yang sama

dengan DBD atau SSD. Oleh karena itu, masih banyak perdebatan tentang apakah

patofisiologi DBD/SSD memiliki patofisiologi tersendiri atau merupakan

Page 7: PBL

7

kesinambungan dari demam dengue.

Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus

yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag dan

terjadi viremia selama 2 hari. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-

ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,

nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian

menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,

dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan

bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur

virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel (Hairani

LK, 2009).

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami

keluhan dan gejala karena viremia tersebut seperti demam, sakit kepala, mual,

nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan

kelainan lain yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial, seperti

pembesaran kelenjar getah bening, hati, dan limpa. Ruam pada DBD disebabkan

oleh kongesti darah di bawah kulit. (Perdana RA, 2007). Ada dua perubahan

patofisiologis utama terjadi pada kasus DBD. Pertama adalah peningkatan

permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen

vaskular. Hal ini dibuktikan dengan adanya cairan pada rongga serosa, yaitu

rongga peritoneum, pleura, dan pericardium. Keadaan ini mengakibatkan

hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda syok lain, bila kehilangan

plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah gangguan pada

hemostatis yang mencakup perubahan vaskular, trombositopenia, dan koagulopati

(Hairani LK, 2009). Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya

megakariosit muda dalam sumsum tulang, pendeknya masa hidup trombosit

menimbulkan dugaan menigkatnya destruksi trombosit, atau proses imunologis

dari kompleks antibodi-virus dalam darah.

Tidak terjadi lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa

perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator yang singkat.

Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorpsi

dengan cepat, menimbulkan penurunan hematocrit (Perdana RA, 2007).

Page 8: PBL

8

2.5 Manifestasi Klinis

Kasus tipikal DBD dicirikan dengan empat gejala klinis utama: demam

tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia

sedang hingga tinggi bersamaan dengan hemokonsentrasi merupakan ciri khas

dari temua laboratorium pada DBD. Perubahan patofisiologi yang utama yang

membedakan DBD dengan demam dengue terletak pada ada tidaknya kebocoran

plasma, yang biasanya bermanifestasi dengan meningkatnya hematokrit

(hemokonsentrasi), efusi serosa atau hipoproteinemia.

Anak dengan DBD biasanya memiliki gejala demam tinggi yang tiba-tiba

diikuti dengan wajah yang kemerahan dan gejala-gejala non spesifik yang

menyerupai demam dengue seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri

tulang, otot, dan sendi. Beberapa pasien mengeluh nyeri menelan namun rhinitis

dan batuk biasanya jarang ditemui. Nyeri epigastrik, tenderness pada tepi rusuk

kanan dan nyeri perut juga sering ditemukan. Suhu tubuh biasanya mencapai

>39°C dan tetap tinggi selama 2-7 hari. Pada kasus yang jarang suhu tubuh dapat

mencapai 40-41 C, kejang demam juga muncul terutama pada bayi. Manifestasi

perdarahan yang paling sering adalah tes tourniquet positif, mudah lebam dan

berdarah pada lokasi venepucture. Terlihat pada beberapa kasus petechiae yang

berbatas tegas tersebar di ekstrimitas, aksila, wajah, dan palatum mole yang

biasanya mulai terlihat pada fase febril/demam. Mimisan dan perdarahan gusi

jarang terjadi, perdarahan perut yang ringan juga dapat terlihat.

Pada fase ini juga dapat teraba pembesaran hati yang ukurannya bervariasi,

2-4 cm dibawah tepi rusuk. Meskipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan

tingkat keparahan DBD, namun hepatomegali ini sering dijumpai pada kasus SSD

dibanding non-SSD. Splenomegali jarang dijumpai pada bayi, namun tampak

adanya pembesaran pada pemeriksaan X-Ray (WHO, 1997).

Fase kritis terjadi setelah 2-7 hari demam, menurunnya suhu tubuh biasanya

diiringi dengan gangguan sirkulasi dengan tingkat keparahan yang bervariasi.

Pasien terlihat berkeringat, gelisah, ektrimitas yang dingin, dan perubahan denyut

nadi serta tekanan darah. Pada sedikit kasus, manifestasi ini terlihat minim yang

merupakan derajat ringan dari kebocoran plasma. Banyak yang sembuh secara

spontan, atau setelah mendapatkan terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus yang

Page 9: PBL

9

parah, terjadi syok dan dapat mengarah ke kematian bila tidak ditangani dengan

segera (WHO, 1997).

2.6 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue

Definisi kasus dari demam berdarah dengue harus memenuhi empat

kriteria yaitu demam (berlangsung selama 2-7 hari, biphasic) perdarahan (minimal

satu dari positif tes torniquete; petechiae, ekimosis, purpura; perdarahan mukosa

dan gastrointestinal; hematemesis atau melena) trombositopenia (100.000 sel per

mm3 atau kurang) dan bukti-bukti kebocoran plasma (salah satu dari

meningkatnya hematocrit; menurunnya hematocrit setelah diterapi cairan, efusi

pleura, ascites atau hipoproteinemia).

Definisi kasus untuk Sindrom syok dengue (SSD) adalah semua kriteria

DBD harus terpenuhi ditambah tanda tanda kegagalan sirkulasi seperti : nadi

cepat dan lemah; Narrow pulse pressure <20 mmHg; hipotensi menurut batasan

umur; kulit basah dan dingin serta gelisah.

Menurut kriteria WHO tahun 1997 DBD dibagi menjadi empat derajat

keparahan dimana derajat III dan IV dapat dikategorikan sebagai SSD. Ada

tidaknya trombositopenia dan hemokonsentrasi membedakan DBD grade I dan II

dengan demam dengue (DD).

Grade I : demam disertai gejala gejala dasar yang non spesifik; satu-satunya

manifestasi perdarahan adalah tes torniqet positif dan atau lebam

Grade II :Bila perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada derajat I,

biasanya disertasi dengan manifestasi perdarahan kulit, epistaksis,

perdarahan gusi, hematemesis atau melena.

GradeIII :Apabila terjadi kegagalan peredaran darah perifer dimanifestasikan

dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau

hipotensi, kulit dingin, lembab, dan gelisah

Grade IV :Bila terjadi syok berat dengan tekanan darah tidak terukur, dan nadi

tidak dapat terdeteksi.

Page 10: PBL

10

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan penilaian terhadap jumlah leukosit,

jumlah trombosit, dan kadar hematokrit. Jumlah leukosit biasanya menurun

dengan dominasi sel neutrofil. Terdapat penurunan jumlah trombosit menjadi ≤

100.000/μl atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan pandangan besar (lpb) dengan

rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb. Umumnya trombositopenia terjadi

sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun, yaitu pada

hari sakit ke-3 sampai ke-7. Pemeriksaan dilakukan pertama pada saat pasien

diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari sakit ketiga, tetapi

bila perlu, diulangi setiap hari sampai suhu turun. Peningkatan nilai hematokrit

yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal tersebut

merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga

perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Hemokonsentrasi dengan

peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan peningkatan permeabilitas

kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian

cairan atau perdarahan (Hairani LK, 2009).

Pada rontgen toraks didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan

namun apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada

kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen toraks sebaiknya dalam posisi lateral

dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi

pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG (Hairani LK, 2009).

2.8 Penatalaksanaan

Prinsip dasar penatalaksanaan DBD adalah bersifat suportif dan simptomatis

karena belum ada obat spesifik untuk DBD.

Tindakan suportif dilakukan dengan penggantian cairan tubuh yang hilang

karena kebocoran plasma sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler.

Perembesan plasma yang berlangsung selama 24-48 jam akan menyebabkan

terjadinya syok, anoksia, asidosis, dan kematian sehingga harus diusahakan

deteksi dini akan adanya perembesan plasma untuk mencegah syok yang akan

terjadi. Perembesan plasma terjadi pada saat peralihan fase demam (fase febris) ke

fase penurunan suhu (fase afebris). Fase tersebut merupakan saat kritis karena

Page 11: PBL

11

dapat merupakan awal fase syok. Masa krisis pada umumnya terjadi pada hari

sakit ketiga sampai kelima, oleh sebab itu pada masa tersebut kewaspadaan perlu

ditingkatkan dengan memberikan pengawasan klinis dan pemantauan kadar

hematokrit dan jumlah trombosit. Kunci keberhasilan tindakan terletak pada

pemilihan jenis cairan (pemberian cairan kristaloid isotonik merupakan pilihan

untuk menggantikan volume plasma) dan kecermatan penghitungan volume cairan

pengganti.

Pada DBD derajat I dan II, cairan awal yang diberikan dapat berupa Ringer

Laktat atau normal salin dengan perhitungan sebagai berikut:

BB < 15 kg : 6-7 ml/kgBB/jam

BB 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam

BB > 40 kg : 3-4 ml/kgBB/jam

Apabila terjadi perbaikan seperti pasien tidak gelisah, nadi kuat, tekanan darah

stabil, dan diuresis cukup, maka tetesan dapat dikurangi sesuai dengan kebutuhan

cairan pasien. Apabila terjadi perburukan seperti pasien gelisah, mengalami

distress pernapasan, frekuensi nadi naik, hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg,

diuresis kurang, dan pengisian kapiler > 2 detik, maka penatalaksanaan yang

diberikan adalah sesuai dengan protokol penatalaksanaan syok (seperti bagan di

bawah).

Tindakan simtomatis antara lain pemberian antipiretik. Antipiretik yang

dapat diberikan adalah golongan acetaminofen (parasetamol) dengan dosis 10-15

mg/kgBB/kali, diberikan 3-4 kali perhari sampai panas reda.

Page 12: PBL

12

DBD derajat I atau II

Cairan Awal

RL/NS BB < 15 kg : 6-7 ml/kgBB/jam

BB 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam

BB > 40 kg : 3-4 ml/kgBB/jam

Pastikan tanda-tanda vital tiap 3 jam, Ht, dan trombosit tiap 6 jam

Perbaikan

Tanpa tanda syok,Ht tetap

tinggi

H

Perburukan

Tetesan dikurangi Tetesan dipertahankan Masuk ke protocol syok

Pantau lebih ketat tanda

vital tiap 3 jam

Perbaikan

Sesuaikan tetesan

IVFD stop pada 24-48 jam

Bila tanda vital/Ht stabil dan dieresis

cukup

Bagan 1. Tatalaksana Kasus DBD Derajat I dan II

Tidak gelisah

Nadi kuat

Tekanan darah stabil

Diuresis cukup

Ht turun

Gelisah

Distress nafas

Frekuensi nadi naik

Hipotensi/tekanan

nadi < 20 mmHg

Diuresis kurang

Pengisian kapiler > 2

detik

Rumatan

atau sesuai

kebutuhan

Rumatan

Page 13: PBL

13

Bagan 2. Penatalaksanaan Syok pada Demam Berdarah Dengue

DBD Derajat III dan IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)

2. Penggantian volume plasma segera

(cairan kristaloid isotonis) Ringer Laktat/NaCl 0,9% 20 ml/KgBB

secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi? Pantau tanda vital @ 10 menit

Catat balans cairan selama pemberian cairanintravena

Syok teratasi Syok tidak

teratasi

Kesadaran membaik

Nadi teraba kuat

Tekanan nadi >20 mmHg

Tidak sesak nafas/sianosis

Ekstremitas hangat

Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

Kesadaran menurun

Nadi lembut/tidak teraba

Tekanan nadi <20 mmHg

Distress pernafas/sianosis

Kulit dingin dan lembab

Ekstremitas dingin

Cairan dan tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat Tanda Vital

Tanda Perdarahan

Diuresis

Hb, Ht, trombosit

Lanjutkan cairan 20 ml/kgBB/jam

Tambahkan koloid/plasma Dekstran/FPP

10-20 (max 30) ml/kgBB/jam

Koreksi Asidosis Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam/ Ht<40% 5 ml/kgBB/jam

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak lebih dari 48 jam

setelah syok teratasi

Syok teratasi

Syok belum teratasi

Ht turun Ht tetap

tinggi

Transfusi darah segar 10 ml/kgBB

diulang sesuai kebutuhan

Page 14: PBL

14

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Kondisi Saat di Rumah Sakit

3.1.1 Identitas penderita

Nama : KGA

Tempat/ tanggal lahir : Denpasar / 5 September 2006

Umur : 8 tahun 7 bulan 17 hari

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Pulau Saleus - Denpasar

Agama : Hindu

Suku : Bali

Pendidikan : Masih SD

Tanggal MRS : 15 April 2015

3.1.2 Heteroanamnesis (Ibu dan Ayah)

Keluhan Utama

Kaki dan tangan dingin

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien diantar oleh orang tua dengan keluhan kaki dan tangan dingin, disadari

oleh orang tua sejak sore pukul 18.00 pada hari sabtu, 11 april 2015 dan pasien

dikatakan terlihat lemas sejak pukul 19.00. Sebelumnya pasien dikeluhkan demam

4 hari sebelum masuk rumah sakit, yaitu sejak sore pukul 17.00 pada hari selasa, 7

april 2015. Demam timbul mendadak, dengan suhu tinggi terukur 390C. Suhu

tubuh sempat turun tetapi tidak mencapai suhu normal dengan obat penurun

panas, kemudian naik kembali dalam beberapa jam. Selain demam, pasien juga

dikeluhkan sakit kepala dan nyeri perut. Sakit kepala dikatakan muncul

bersamaan dengan keluhan demam. Sakit dirasakan di seluruh bagian kepala dan

menyebabkan kepala terasa berat. Nyeri perut dikatakan muncul pada malam hari

sekitar pukul 20.00 hari jumat, 10 april 2015. Nyeri dirasakan seperti ada

Page 15: PBL

15

penekanan di daerah perut kanan atas. Mual, muntah, batuk pilek, mencret, dan

nyeri sendi disangkal. Keluhan mimisan, gusi berdarah, bercak merah di kulit

disangkal. Nafsu makan dan minum menurun sejak keluhan demam. Buang air

kecil pasien dikatakan lancar , terakhir setengah jam sebelum masuk RS. Kencing

berwarna kuning jernih dengan volume ± 200 cc.

Riwayat pengobatan :

Penderita sempat dibawa berobat ke dokter di puskesmas. Pasien diberikan

Paracetamol dan Yusimok, namun tidak membaik. Pasien tidak pernah memiliki

riwayat transfusi dan operasi sebelumnya.

Riwayat Alergi :

Ibu penderita menyangkal anaknya memiliki riwayat alergi obat-obatan maupun

makanan tertentu.

Riwayat penyakit sebelumnya :

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat penyakit di keluarga :

Penyakit seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi pada keluargadisangkal

oleh orang tua pasien.

Riwayat nutrisi :

ASI : 0 – 1 ½ tahun on demand

Susu Formula : 6 bulan – sekarang dengan frekuensi 3 kali per hari

Bubur Susu : 6 bulan – 8 bulan dengan frekuensi 3 kali per hari

Makanan Dewasa : 1 ½ tahun – sekarang dengan frekuensi 3 kali per hari

Riwayat persalinan :

Pasien lahir cukup bulan secara normal, ditolong oleh dokter, dengan berat badan

3900 gram, panjang badan 51 sentimeter, lingkar kepala lupa, keadaan saat lahir

Page 16: PBL

16

langsung menangis dan tidak ada kelainan kongenital. Ibu dikatakan hamil sehat.

Makan makanan yang cukuo dan rutin setiap bulan kontrol kehamilan.

Riwayat Imunisasi :

Riwayat imunisasi dikatakan lengkap sesuai umur oleh ibu pasien (BCG 2

kali, Polio 2 kali, Hepatitis B 4 kali, DPT 3 kali, Campak 2 kali).

Riwayat Sosial :

Penderita merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara. Pasien tinggal

bersama kedua orang tua dan 2 kakak dalam satu rumah. Tetangga pasien ada

yang menderita demam berdarah sekitar 3 orang

Riwayat tumbuh kembang :

Menegakkan kepala : 2 bulan

Membalik badan : 3 bulan

Duduk : 6 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 9 bulan

Berjalan : 1 tahun

Bicara : 1 tahun 2 bulan

3.1.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present

Kesan Umum : Tampak lemah.

Kesadaran : Compos mentis.

Nadi : 130x/menit, teratur, isi kurang.

Respirasi : 28x/menit.x

Tekanan Darah : 100/80 mmHg

Temp. axial : 36,9 C.

Status Antropometri

BB : 22 kg

Page 17: PBL

17

TB : 128 cm

BBI : 26 kg

LK : 52 cm

LLA : 17,5 cm

BMI : 13,4 kg/m2

Status Gizi :

1. Status gizi baik (91,66%) menurut Kriteria Waterlow.

2. CDC Growth Chart :

- BB/U : Persentil 10-25

- TB/U : Persentil 50

- BB/TB : Persentil 10-25

Status General :

Kepala : Normocephali.

Mata : anemia (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil +/+ isokor, cowong -/-.

THT : nafas cuping hidung (-), sianosis (-).

Tonsil : T1/T1 hiperemi (-).

Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-).

Mulut : lidah kotor ( -), sianosis (-)

Thorak :

Cor : S1 S2 N regular murmur (-).

Po : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-.

Abdomen :

Distensi (-), Bising Usus (+) N, Hepar dan Lien tidak teraba, Nyeri

tekan (+), Turgor Normal.

Extremitas : Akral hangat (-), cyanosis (-). Rumple Leed test : (+)

3.1.4 Pemeriksaan penunjang saat MRS (11/04/15)

DL (11/04/15) :

WBC : 2,63 k/ul (4,6-10,2)

RBC : 4,83 k/ul (2 - 6,9)

HGB : 13,8 g/dl (12,2 – 18,1)

Page 18: PBL

18

HCT : 40,9 % (37,7- 53,7)

PLT : 81,5 k/ul (142-424)

IMUNOSEROLOGI (11/04/15) :

Anti Dengue IgG ( – )

Anti Dengue IgM ( + )

3.1.5 Diagnosis klinis akhir

Demam Berdarah Dengue grade III (panas hari ke-4 mulai pukul 17.00

WITA) + Gizi kurang

3.1.6 Penatalaksanaan

Terapi

O2 2-4 liter per menit

IVFD RL 20cc/kg secepatnya ~ 440 cc secepatnya

Monitoring

Vital sign

Warning sign

Hb, Hct, trombosit, leukosit

Balance cairan

3.2 Kondisi Saat Kunjungan Rumah

3.2.1 Identitas

Nama : KGA

Tempat/ tanggal lahir : Denpasar / 5 September 2006

Umur : 8 tahun 7 bulan 14 hari

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Pulau Saelus no. 19

Agama : Hindu

Suku : Bali

Pendidikan : SD

Tanggal Kunjungan : 19 April 2015

Page 19: PBL

19

Susunan keluarga keluarga penderita disajikan dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1. Susunan anggota keluarga

No Nama Umur (th) Status Pendidikan Pekerjaan

1.

2.

3.

4.

5.

IKS

NLSR

PAS

MGD

KGA

42

40

14

11

8

Ayah

Ibu

Kakak

Kakak

Penderita

SMA

SMA

SMP

SD

SD

Sales

Ibu Rumah Tangga

-

-

-

3.2.2 Heteroanamnesis

Riwayat penyakit saat ini

Saat pemeriksaan dilakukan, pada penderita tidak didapatkan adanya

keluhan demam

Penderita dikatakan sudah bisa melakukan aktifitas sehari-hari seperti

biasa, 2 hari setelah keluar dari Rumah Sakit

Saat ini tidak ada keluhan yang dirasakan penderita

Penderita dikatakan makan dan minum dengan baik.

Buang air besar dikatakan normal, warna kuning, dengan konsistensi

lembek dan frekuensi 1 kali sehari.

Buang air kecil dikatakan normal, warna jernih kekuningan.

Riwayat Prenatal

Ibu pasien menikah satu kali. Pasien merupakan kehamilan ketiga.

Selama hamil, ibu pasien rutin melakukan kontrol kehamilan di dokter

spesialis kandungan.

Ibu pasien biasanya mengkonsumsi makanan sesuai dengan apa yang bisa ia

sediakan untuk keluarga dan dirinya sendiri. Saat hamil ia juga tidak pernah

mengkonsumsi obat-obatan, jamu, alkohol atau merokok.

Ibu pasien tidak pernah mengalami sakit maupun kecelakaan (trauma)

selama masa kehamilannya

Page 20: PBL

20

Riwayat persalinan

Pasien dilahirkan di RS Sanglah secara spontan dengan usia kehamilan 9 bulan

lewat 2 hari, riwayat ketuban pecah dini lebih dari 24 jam saat dilahirkan

penderita segera menangis dengan berat badan lahir 3900 gram, panjang badan 51

cm dan dikatakan saat itu penderita tidak dalam kondisi infeksi. Penderita dirawat

gabung bersama ibunya selama 3 hari sebelum dipulangkan.

Riwayat pribadi dan sosial

Penderita adalah anak ketiga di keluarganya. Ia memiliki dua saudara

kandung.

Ayah penderita merupakan sales dengan penghasilan sekitar Rp 1.500.000,00

per bulan. Sedangkan Ibu penderita merupakan ibu rumah tangga. Penghasilan

ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, terutama

kebutuhan pangannya.

Di lingkungan rumah penderita, ada saudara yang juga memiliki sakit yang

sama dalam waktu berdekatan

Berdasarkan Pediatric Symptom Checklist (PSC) – 17

Subskala perilaku

Tidak

pernah

(0)

Kadang-

kadang (1) Sering (2)

Internalisasi

1. merasa sedih, tidak bahagia √

2. mudah putus asa √

3. cemas, khawatir √

4. menyalahkan diri sendiri √

5. tampak tidak gembira √

Nilai Internalisasi 2

Eksternalisasi

1. berkelahi dengan anak lain √

2.tidak memperhatikan aturan √

3. tidak mengerti perasaan orang lain √

4. mengganggu anak lain √

5. menyalahkan orang lain atas kesalahan

diri sendiri √

6. menolak berbagi √

7. mengambil barang milik orang lain √

Page 21: PBL

21

Nilai Eksternalisasi 0

Perhatian

1. gelisah tidak bisa duduk diam √

2. banyak melamun √

3. mudah beralih perhatian √

4. sulit berkonsentrasi √

5. bergerak seperti dikendalikan mesin √

Nilai Perhatian 2

Dari penilaian tersebut, didapatkan total skor 4, dengan interpretasi dari Pediatric

Symptom List (PSC) – 7 adalah anak tidak mengalami gangguan perilaku.

3.2.3 Pemeriksaan fisik

Status Present

Kesan Umum : baik

Kesadaran : Compos mentis.

Nadi : 80x/menit, reguler.

Respirasi : 24x/menit.

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

T ax : 36,8 C.

Status Antropometri

BB : 22 kg

TB : 128 cm

BBI : 26 kg

LLA : 17,5 cm

BMI : 13,4 kg/m2

Status Gizi :

1. Status gizi kurang (84,61%) menurut Kriteria Waterlow.

2. CDC Growth Chart :

- BB/U : Persentil 10-25 underweight

- TB/U : Persentil 50 Normal

- BB/TB : Persentil 10-25

Status General :

Kepala : Normocephali.

Page 22: PBL

22

Mata : anemia (-/-), ikterus (-/-), Refleks Pupil +/+ isokor, cowong -/-.

THT : Nafas Cuping Hidung (-), cyanosis (-).

Tonsil : T1/T1 hiperemi (-).

Leher : Pembesaran kelenjar (-), Kaku Kuduk (-).

Mulut : Lidah kotor ( -), sianosis (-)

Thorak :

Cor : S1 S2 N regular murmur (-).

Po : Vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-.

Abdomen :

Distensi (-), Bising Usus (+) N, Hepar dan Lien tidak teraba, Nyeri

tekan (-), Turgor Normal.

Extremitas : Akral hangat (+), cyanosis (-). Rumple Leed test : (-)

3.2.4 Keadaan Lingkungan Rumah

Pasien tinggal di sebuah rumah yang ditempatinya bersama keluarga

dengan susunan seperti pada gambar di bawah ini

3.3 Analisa Kasus

3.3.1 Kebutuhan dasar anak

Kebutuhan fisik biomedis (ASUH)

1. Kebutuhan pangan/gizi

Orang tua penderita menyatakan bahwa mereka selalu mengusahakan untuk

memenuhi kebutuhan pangan penderita. Penderita mendapatkan kebutuhan

pangan/gizi yang cukup di dalam keluarganya. Makanan yang diberikan

bersama-sama keluarga biasanya berupa nasi, sayur dan lauk. Susu dan buah-

buahan juga diberikan. Air minum yang mereka gunakan adalah air kemasan

galon. Pasien dan keluarganya biasanya makan 3 kali sehari, dengan

pembagian sesuai kebutuhan, dan dengan menu yang hampir mirip tiap

harinya. Ibu pasien juga suka menggunakan penyedap rasa kalau memasak,

dengan alasan agar masakannya enak sehingga nafsu makan anak dan

suaminya bisa lebih baik. Menu makanan tergantung keadaan. Biasanya

menu tersering adalah telur, tempe dan tahu. Sebelum dan setelah MRS, diet

penderita sehari-hari di rumah biasanya hampir sama (1 hari) :

Page 23: PBL

23

Nasi tiga piring : 450 kalori

Sayur sup x 3 : 50 kalori

Ayam suwir satu sendok makan x 3 : 200 kalori

Ikan segar 1 potong sedang : 75 kalori

Telur ayam ras 1 butir : 50 kalori

Tempe kering dua sendok makan x 3 : 100 kalori

Susu x 1 : 100 kalori

Jumlah : 1025 kalori/hari

Kebutuhan kalori : 80 kkal/kgBB/hari

80 kkal x 26 kg = 2080 kkal/hari

Kebutuhan cairan = (10 kg x 100 cc) + (10 kg x 50 cc) + (2 kg x 20 cc)

= 1000 cc + 500 cc + 40 cc = 1540 cc

Densitas : kebutuhan kalori = 1,35

kebutuhan cairan

Analisa kebutuhan penderita menurut RDA didapatkan bahwa

kebutuhan kalori penderita dalam sehari adalah 2080 kkal. Dalam hal

ini kebutuhan tersebut belum mencukupi target, sehingga harus

ditingkatkan untuk menjaga kebutuhan gizi pasien. Asupan gizi yang

diberikan belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan.

2. Sandang

Keperluan sandang kurang dianggap sebagai prioritas dalam keluarga, namun

cukup diperhatikan. Mereka membeli pakaian baru saat ada uang lebih atau

saat hari raya. Namun dari pengamatan, kebersihan dari pakaian penderita

dan keluarganya cukup diperhatikan, karena ibu mencuci pakaian anak dan

anggota keluarga lainnya setiap hari.

3. Papan

Penderita tinggal di Jalan Pulau Saelus nomor 19, Sesetan. Rumah ini

merupakan rumah pribadi. Rumah tersebut dihuni oleh satu KK dengan total

penghuni 4 orang. Antara kamar tidur, dapur, kamar mandi penderita terletak

pada bagunan yang berbeda. Penderita dan orang tuanya tidur di kamar yang

terpisah. Namun penderita tidur bersama dengan kakaknya. Kamar penderita

berukuran 5 x 4 meter, dengan dinding semen bercat, lantai dari keramik, dan

Page 24: PBL

24

terdapat ventilasi dan jendela di kamar penderita, sehingga matahari dapat

masuk dan sirkulasi udara lancar. Rumah keluarga tersebut memiliki dua

kamar mandi dan WC serta pemakaiannya secara bersama-sama, namun

letaknya terpisah dengan kamar penderita. Kondisi kamar mandi terkesan

gelap dan tidak bersih. Sumber air didapatkan dari sumur, sehingga air yang

digunakan dalam keseharian sedikit keruh. Lingkungan rumah keluarga

cukup bersih, namun pada bagian dekat kamar mandi penderita terdapat

halaman yang tidak terpakai dan hanya terdapat barang-barang yang tidak

digunakan dan dapat menimbulkan genangan air.

4. Perawatan kesehatan

Keluarga penderita merupakan keluarga yang mempercayakan kesehatannya

kepada paramedis. Bapak penderita menyebutkan bahwa apabila ada keluhan

sakit dari anaknya maka akan langsung dibawa ke puskesmas ataupun ke

rumah sakit. Perawatan kesehatan bagi penderita merupakan suatu prioritas

dalam keluarga, kepercayaan perawatan kesehatan diberikan kepada

paramedis dan bukan alternatif.

5. Waktu bersama keluarga

Ibu penderita adalah seorang ibu rumah tangga, sedangkan ayahnya bekerja

sebagai sales, bekerja dari jam 08.00-18.00. Kesehariannya penderita lebih

sering bersama ibunya dan kakaknya.

Kebutuhan emosi/kasih sayang (ASIH)

1. Hubungan emosi dan kasih sayang dengan kedua orangtua

Orang tua penderita terlihat menyayangi penderita, terlihat dengan

kedekatan penderita dengan orang tuanya saat kunjungan. Ibu lebih

berperanan dalam hal perawatan dan pengawasan penderita sehari-harinya.

.

Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)

1. Penderita adalah anak yang aktif. Penderita biasa menghabiskan waktunya

dengan bermain di luar rumah bersama anak-anak tetangganya. Hubungan

penderita dengan orang tua cukup dekat. Hal ini terlihat saat orang tua

penderita berusaha mengajak penderita untuk bercakap-cakap dan bermain.

Dari segi stimulasi, permainan edukatif untuk penderita cukup baik yang

Page 25: PBL

25

nantinya dapat mempengaruhi personal sosial, motorik halus, motorik kasar

dan bahasanya.

2. Perkembangan penderita secara umum masih dalam batas normal. Tetapi

tetap harus diperhatikan perkembangan tahap-tahap selajutnya, berkaitan

dengan kondisi salah satu orang tua yang bekerja kemungkinan hal-hal yang

berhubungan dengan ayah kurang didapatkan dan kemungkinan karena

ketidaktahuan orang tua.

3.3.2 Analisis Bio-Psiko-Sosial

Biologis

Saat ini pada penderita tidak ditemukan keluhan demam ataupun keluhan lainnya.

Namun jika dilihat dari kurva CDC, tinggi berbanding umur, memperlihatkan

bahwa penderita berada dalam urutan normal, namun pada berat badan berbanding

umur termasuk dalam kriteria berat badan kurang.

Kedua orang tuanya memberikan perhatian yang cukup terhadap penderita

terutama masalah kesehatannya. Kesehatan penderita merupakan prioritas. Kedua

orang tuanya secara sabar dan rutin selalu menjaga interaksi dengan penderita,

yaitu dengan mengajaknya bermain, berbicara, dan tidur bersama. Ibu penderita

yang selalu memberikan perhatian apabila penderita sakit.

Sosial

Aktivitas penderita selama ini sangat dipengaruhi oleh penyakit yang dideritanya.

Karena umurnya yang masih muda, pasien setiap harinya bermain dengan teman-

teman sekolah maupun tetangganya.

3.3.3 Problem list

Lingkungan rumah yang rawan untuk penyebaran DBD.

3.3.4 KIE

Asuh

Memberikan penjelasan pada orang tua penderita untuk selalu menjaga

kesehatan terutama gizi penderita agar dengan selalu berusaha memberikan

asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan penderita.

Page 26: PBL

26

Menyarankan pada keluarga penderita untuk segera mengajak penderita ke

dokter jika penderita mengalami sakit.

Memberikan penjelasan pada orang tua penderita untuk menjaga kebersihan

diri dan lingkungan mencegah DBD berkembang ke anggota keluarga lain.

Asah

Memberikan informasi kepada orang tua untuk aktif menstimulasi anaknya

misalnya dengan memberikan keleluasaan anaknya bermain dengan teman

sebayanya, tapi memperhatikan pola belajarnya di sekolah dan di rumah.

Asih

Memberikan penjelasan tentang pentingnya hubungan erat antara penderita

dengan orang tua.

Page 27: PBL

27

BAB IV

SIMPULAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai penyakit demam berdarah

dengue dan penyebarannya tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue

dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti . Terdapat empat

tipe virus dengue yaitu : tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang

termasuk dalam grup Arthropod borne viruses (Arboviruses).

2. Virus dengue terdapat dalam tubuh nyamuk setelah sebelumnya

menggigit penderita DBD, dan sekali nyamuk tersebut terinfeksi maka

akan merupakan carrier/ pembawa (sumber penyakit) selamanya .

3. Orang yang beresiko tinggi terkena DBD adalah anak-anak berusia di

bawah 15 tahun yang hidup atau tinggal di lingkungan yang lembab dan

daerah kumuh,di daerah tropis pada masa penghujan, walaupun tidak

tertutup menyerang pada orang dewasa.

4. Gejala penyakit DBD ditandai dengan : demam tinggi ( 38o – 49

o C )

yang mendadak selama 2-7 hari , terjadi perdarahan pada gusi,

konjungtiva, epitaksis, melena, mimisan, (uji torniquet positif),

hepatomegali (pembesaran hati), syok, tekanan darah turun (80/20

mmHg atau lebih rendah), trombositopeni (pada hari 3-7 sampai kurang

dari 100.000/mm), hemokonsentrasi (nilai hematokrit naik), rasa sakit

pada otot dan persendian, 6 bintik-bintik merah pada kulit (pembuluh

darah pecah, disertai anoreksia, lemah, mual,muntah, sakit perut, diare,

kejang dan sakit kepala.

5. Pencegahan penyakit DBD tergantung pada pengendalian vektor

nyamuk Aedes aegypti yang harus melibatkan secara aktif semua

kalangan baik pemerintah maupun masyarakat dengan metode yang

tepat pertama: lingkungan ( Pemberantasan sarang nyamuk,

pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan

nyamuk, perbaikan desain rumah), seperti: menguras bak penampungan

air, vas bunga, dan tempat minum burung dan lain-lain minimal

Page 28: PBL

28

seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan air dan

mengubur kaleng-kaleng bekas, ban bekas dan benda-benda bekas yang

dapat menampung air yang terdapat di sekitar rumah) dikenal dengan

gerakan 3 M. Selanjutnya dapat dengan metode biologis dengan

memanfaatkan bakteri larvasida seperti Bacillus thuringiensis dan

menanam ikan pemakan jentik/ larva nyamuk. Metode kimiawi

dilakukan dengan cara pengasapan/fogging apabila sudah terjadi

epidemi/terdapat warga yang terkena DBD atau melakukan abatisasi

dengan memberi bubuk abate pada tempat penampungan air yang dapat

berfungsi sebagai sarang nyamuk.

6. Tindakan yang perlu dilakukan pertama kali apabila terserang demam

berdarah (DBD) adalah menggantikan cairan tubuh yang hilang dengan

cara memberikan minum sebanyak-banyaknya, untuk menurunkan

panas badan diberikan obat penurun panas (Paracetamol) dan

dikompres dengan air hangat, langkah berikutnya dibawa ke dokter

terdekat untuk diperiksa, dan apabila positip terkena DBD segera

dikirim ke rumah sakit untuk rawat inap.

Page 29: PBL

29

LAMPIRAN 1

Denah Rumah Penderita

Ruang TV

Ruang

Alat-alat

Kamar

Tidur 1

Kamar

Tidur 2

padmasana

rumah mertua

kamar mandi

(2 buah)

bale bengong

dapur

bekas kandang ayam

halaman belakang

Page 30: PBL

30

LAMPIRAN 2

Foto Kunjungan

Page 31: PBL

31