PBL Epilepsy

download PBL Epilepsy

of 16

Transcript of PBL Epilepsy

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    1/16

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Epilepsi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mampu menyebabkan

    sejumlah atau sekelompok sel-sel neuron otak melepaskan muatan listrik yang

    berlebihan dan tidak terkontrol. Epilepsi tidak mengenal batas wilayah, ras, dan batas

    sosial. Penyakit ini terjadi pada pria dan wanita serta dapat terjadi pada usia berapapun.

    prevalensi epilepsi aktif kurang lebih 8,2 per 1000 penduduk..1,2,3,4

    Penelitian di negara maju memperkirakan insiden penyakit epilepsi setiap tahun

    kurang lebih 50 per 100.000 penduduk. Penelitian di negara berkembang menunjukkan

    angka hampir dua kali lipat, yaitu 100 per 100.000 penduduk. Insiden epilepsi di negara

    berkembang lebih tinggi karena risiko yang dapat menyebabkan kerusakan otak

    permanen juga lebih tinggi. 5

    International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan

    klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan, Ada 2 kategori utama dalam klasifikasi

    ini, yaitu Bangkitan Fokal dan Bangkitan Umum..1 Meskipun telah dilaporkan bahwa

    15% kasus epilepsi didahului dengan kejang demam, kejadian kejang demam ternyata

    lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi, dan kurang dari 5% anak kejang demam

    berkembang menjadi epilepsi. Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik

    umum, dan partial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. 2

    Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya belum jelas tetapi

    autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang demam cenderung

    terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara diturunkannya.2

    1

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    2/16

    BAB 2

    EPILEPSI

    2.1. Definisi

    Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang kurang lebih berarti

    sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga ia jatuh. Dahulu serangan epilepsi

    tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan tetapi disebabkan oleh sesuatu diluar badan

    si penderita, biasanya dianggap sebagai akibat kutukan oleh roh jahat atau setan yang

    menimpa penderita. Anggapan demikian juga masih terdapat dewasa ini, terutama

    dalam masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanankesehatan.

    Epilepsi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mampu

    menyebabkan sejumlah atau sekelompok sel-sel neuron otak melepaskan muatan listrik

    yang berlebihan dan tidak terkontrol. Menurut WHO, epilepsi adalah suatu keadaan

    bangkitan akibat disfungsi sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan

    listrik pada populasi neuron peka rangsangan yang berlebihan, yang dapat menimbulkan

    kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul secara tiba-tiba dan sesaat.

    Sedangkan bangkitan epilepsi didefinisikan sebagai manifestasi klinis yang serupa dan

    berulang secara paroksismal, yang disebabkan hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf

    di otak yang spontan, dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

    (unprovoked).

    2.2. Epidemiologi

    Insiden dan prevalensi epilepsi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dari berbagai

    negara, tetapi sulit untuk dibandingkan karena definisi, cara pendekatan, klasifikasinya.

    Epilepsi tidak mengenal batas wilayah, ras, dan batas sosial. Penyakit ini terjadi pada

    pria dan wanita serta dapat terjadi pada usia berapapun. Diduga kebanyakan terjadi

    sejak dalam kandungan, masa kanak-kanak, remaja, dan orang tua. Siapa saja dapat

    terkena serangan? Kenyataannya, 5% penduduk dunia terkena serangan satu kali

    seumur hidup. Sedangkan diagnosa epilepsi terbatas pada serangan yang terjadi

    berulang-ulang, paling tidak dua serangan yang tiba-tiba.

    2

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    3/16

    Prevalensi epilepsi berbanding dengan jumlah penduduk, yang meningkat setiap

    tahunnya. Beberapa penelitian di seluruh dunia memperkirakan jumlah prevalensi

    epilepsi aktif kurang lebih 8,2 per 1000 penduduk. Bagimanapun, perkiraan ini mungkin

    terlalu rendah untuk negara berkembang seperti Colombia, Ecuador, India, Liberia,

    Nigeria, Panama, Tanzania, dan Venezuela yang prevalensinya lebih dari 10 per 1000.

    Penelitian di negara maju memperkirakan insiden penyakit epilepsi setiap tahun kurang

    lebih 50 per 100.000 penduduk. Penelitian di negara berkembang menunjukkan angka

    hampir dua kali lipat, yaitu 100 per 100.000 penduduk. Insiden epilepsi di negara

    berkembang lebih tinggi karena risiko yang dapat menyebabkan kerusakan otak

    permanen juga lebih tinggi. Keadaan ini meliputi neurocysticercosis, meningitis,malaria, komplikasi perinatal, dan malnutrisi.

    ng berbeda.

    Sekalipun demikian banyak peneliti menyebutkan insiden penyakit ini sekitar 20-70 per

    100.000 penduduk per tahun (rata-rata 11-34/10.000 per tahun) dan prevalensinya

    sekitar 4-10/1000 pada populasi umum (rata-rata sekitar 1,5-30/1000).

    Di negara berkembang ditemukan angka insiden yang lebih tinggi, termasuk

    Indonesia, kurang lebih sebesar 100-190 per 100.0000 penduduk. Angka ini bervariasi

    menurut golongan umur dan jenis kelamin, dimana didapatkan tertinggi pada kanak-

    kanak dan usia lanjut, menurun pada usia dewasa dan pertengahan, dan lebih banyak

    pria dibandingkan dengan wanita. Dalam populasi umum , sekitar 2-5% diantaranya

    beresiko mengalami kejang epilepsi. Di lain pihak, lebih dari separuh penyandang

    epilepsi mengalami serangan pertamanya sebelum berusia 16 tahun.

    Sekitar 77% epilepsi merupakan kasus primer idiopatik yang bisa ditemukan

    pada semua golongan umur dan memuncak pada usia dewasa muda (20-30 tahun).

    Sisanya terbagi menjadi simtomatik (trauma, infeksi, kelainan kongenital, lesi desak

    ruang, gangguan peredaran darah otak, dll), dan kriptogenik.

    Epilepsi vaskuler umumnya dijumpai pada lansia. Kasus herediter dan akibat trauma

    lahir biasanya muncul pada usia muda (kurang dari 10 tahun).

    2.3. Klasifikasi

    Klasifikasi epilepsi dapat didasarkan pada bentuk klinis (jenis bangkitan), penyebab,

    usia, gambaran EEG, dan kelainan anatomisnya. International League Againts Epilepsy

    3

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    4/16

    (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan,

    Ada 2 kategori utama dalam klasifikasi ini, yaitu Bangkitan Fokal dan Bangkitan

    Umum. Dimana bangkitan fokal meupakan cetusan epelepsi yang dimulai dari fokus

    terlokalisir di otak, sedangkan bangkitan umum adalah cetusan umum terjadi pada

    daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.

    2.3.1 Klasifikasi Bangkitan Epilepsi menurut ILAE (1989)

    I. Epilepsi berelasi dengan lokasi / fokal atau parsial

    A. Idiopatik

    B. SimtomatikC. Kriptogenik

    II. Epilepsi generalisata

    A. Idiopatik

    B. Simtomatik

    C. Kriptogenik

    III. Tidak terdeterminasi

    IV. Situasi Khusus

    2.3.2. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi menurut ILAE (1981)

    I. Bangkitan parsial

    A. Bangkitan parsial sederhana

    A.1. Dengan manifestasi motorik

    A.2. Dengan manifestasi sensorik

    A.3. Dengan manifestasi autonomik

    A.4. Dengan manifestasi psikik

    B. Bangkitan parsial kompleks

    B.1. Dengan gambaran parsial sederhana pada awalnya diikuti dengan bangkitan

    lena

    B.2. Dengan bangkitan lena pada awalnya

    C. Bangkitan umum sekunder

    II. Bangkitan umum

    A. Bangkitan Lena / absence seizures

    4

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    5/16

    Dbvc xvv B. Bangkitan mioklonik

    C. Bangkitan klonik

    D. Bangkitan tonik

    E. Bangkitan atonik / astatik

    F. Bangkitan tonik-klonik

    III. Bangkitan epilepsi yang tidak terklasifikasi

    5

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    6/16

    Gambar 2. Gambaran serangan Epilepsi

    2.4. Faktor Resiko

    Faktor resiko epilepsi adalah faktor-faktor yang tidak kelihatan sebagai

    penyebab epilepsi secara langsung, tetapi memiliki hubungan melalui beberapa cara.

    Memiliki faktor resiko epilepsi membuat seseorang memiliki resiko yang lebih besar

    untuk terkena epilepsi tetapi tidak selalu harus terkena epilepsi. Dan sebaliknya

    seseorang yang tidak memiliki faktor resiko belum tentu tidak terkena epilepsi.

    Faktor resiko epilepsi antara lain :

    Bayi dengan berat badan lahir rendah

    Bayi yang pernah mengalami kejang pada usia kurang dari 1 bulan

    Bayi yang lahir dengan kelainan struktur otak

    Perdarahan otak

    Pembuluh darah otak abnormal dalam otak

    Trauma otak berat atau hipoksia otak

    Tumor otak

    Infeksi otak misalnya : abses, meningitis

    Stroke akibat oklusi arteri

    Cerebral palsy

    Cacat mental

    Kejang yang terjadi beberapa hari setelah trauma kepala

    Riwayat keluarga dengan epilepsi

    6

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    7/16

    Alzheimers disease

    Kejang demam

    Penggunaan kokain yang ilegal

    Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasus epilepsi didahului dengan kejang

    demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian epilepsi,

    dan kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi epilepsi.

    Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik umum, dan partial

    kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. National Institute

    of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal Collaborative Project (NCPP)

    melaporkan tingginya risiko epilepsi diantara anak-anak dengan perkembangan

    abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua atau saudara

    kandung dengan epilepsi, dan anak dengan kejang demam kompleks. Pada 60% anak

    dengan kejang demam tanpa satupun faktor risiko diatas, 2% akan berkembang epilepsi

    sebelum usia 7 tahun. 34% anak dengan satu faktor risiko, 3% akan menjadi epilepsi,

    dan jika mempunyai 2 atau 3 faktor risiko, maka kejadian epilepsi menjadi 13 %. 5,9

    Tabel. 2.1. Faktor risiko untuk mendapatkan epilepsi dari kejang demam

    1. Perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama

    2. Riwayat keluarga dengan epilepsi

    3. Kejang demam kompleks

    Faktor Genetik. Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya

    belum jelas tetapi autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang

    demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara

    diturunkannya. Anak dengan kejang demam sering dijumpai keluarganya mempunyai

    riwayat kejang demam. Tingginya kejadian epilepsi dalam keluarga yang mempunyai

    anak dengan kejang demam tidak sepenuhnya terbukti. Risiko epilepsi juga tinggi pada

    saudara kandung yang mempunyai kejang demam, tetapi tidak untuk saudara yang lain.

    2.5. Patofisiologi

    7

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    8/16

    Secara umum sifat epileptogenik jaringan saraf ditentukan oleh 2 faktor, yaitu

    eksitabilitas dan sinkronisasi. Pada saat mendapatkan serangan epileptik yang

    memegang peranan adalah adanya eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok

    neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah

    neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi.

    Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron secara sendiri-sendiri tidak akan

    menghasilkan suatu respon fungsional, oleh karena itu harus terorganisir dengan baik

    dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Adanya serangan epileptik

    ditentukan oleh mekanisme yang mengganggu eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal

    tersebut.Munculnya bangkitan epileptik yang disebabkan karena adanya gangguan

    eksitabilitas dan sinkronisasi neuronal belum banyak diketahui. Hipotesis terakhir

    disebutkan karena adanya (a) kelainan membran neuronal, (b) kelainan mekanisme

    inhibisi, (c) kelainan mekanisme eksitasi, atau (d) kegagalan sistem pengaturan fungsi

    eksitasi dan inhibisi.

    Membran Neuron

    Secara fisiologis, peranan membran neuron adalah untuk mempertahankan perbedaan

    potensial antara ruang intraseluler dan ruang ekstraseluler. Dalam keadaan istirahat

    ruang intraseluler bermuatan negatif dan ruang ekstraseluler bermuatan positif.

    Potensial membran istirahat ini dipertahankan melalui proses pengeluaran ion Na dari

    dalam sel dan diikuti pemasukan ion K ke dalam sel, sehingga di dalam sel kekurangan

    ion Na, Cl, Ca dan kelebihan ion K. Aktivitas ini memerlukan energi yang diambil

    melalui pemecahan ATP oleh enzim NA-K ATP ase.

    Kelainan membran neuron pada bangkitan epilepsi dimulai dari suatu neuron

    epileptik yang berperan memicu terjadinya aksi potensial. Depolarisasi yang terjadi

    pada neuron epileptik tersebut bersifat paroksismal, yang disebut paroxysmal

    depolarization shifts (PDSs), yaitu mempunyai amplitudo lebih tinggi, durasi lebih

    lama dan diikuti oleh after depolarization yang diperpanjang. Teejadinya PDSs tersebut

    tergantung masuknya ion Ca ke dalam neuron, yang disebabkan adanya kelainan

    membran itu sendiri.

    8

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    9/16

    Mekanisme eksitasi dan inhibisi

    Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul-molekul

    transmitter pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau

    ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.

    Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPSs) disebabkan karena

    meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl atau K dan menyebabkan

    hiperpolarisasi membran, dan biasanya terjadi pada sinaptik aksosomatik yang disebut

    postsynaptic inhibitory transmissionPada kasus epilepsi terjadi kelainan mekanisme eksitasi dan inhibisi tersebut,

    sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara sisitem eksitasi dan inhibisi yang

    menjadi dasar patofisiologi epilepsi

    Neurotransmitter GABA

    Gamma Amino Butiric Acid(GABA) adalah suatu inhibitor utama neurotransmiter pada

    susunan saraf pusat. Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan

    memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi,

    kegagalan fungsi GABA dapat menghasilkan serangan (seizure)

    Secara tradisional yang berperan pada inhibisi oleh GABA adalah resaptor

    GABAA dalam bentuk inhibisi potensi postsinaptik (ISPSs= inhibitory post synaptic

    potentials). Terikatnya GABA pada reseptor mengakibatkan saluran klorida terbuka

    sehingga untuk sesaat potensial membran sel ditentukan oleh potensial keseimbanfan

    klorida. Reversal potensial dari IPSP umumnya adalahsekitar -70 mV. Perubahan

    voltase yang ditimbulkan GABAA tergantung pada resting potential dari sel tersebut

    dan pada gradien klorida antara kompartment intra dan ekstrasel. Gradien ini tentunya

    terpengaruh oleh mekanisme lalu lintas klorida. Interfensi pada proses ini akan

    mendorong akumulasi klorida intrasel. Pada saat saluran GABAA terbuka sel akan

    mengalami depolarisasi dan ion klorida keluar.

    Perubahan induksi yang menyertai pembukaan saluran klorida menyebabkan

    shunting aliran dari sel yang memulai bangkitan dan blocking ini merupakan

    9

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    10/16

    penghambat yang lebih kuat daripada yang ditimbulkan oleh mekanisme GABAA

    sendiri.

    Pada susunan saraf pusat juga terdapat reseptor GABAB yang terkait dengan

    saluran kalium oleh suatu protein penghubung yaitu guanosine triphosphate binding

    protein (G-protein) yang merupakan sistem-perantara-intrasel. Hiperpolarisasi yang

    ditimbulkan oleh GABAB ini merupakan komponen inhibitorik (IPSP) yang tahan lama.

    Efeknya tergantung pada konsentrasi kalium ekstrasel. Bila kalium naik efek

    hiperpolarisasinya akan berkurang. Hiperpolarisasi yang ditimbulkan oleh GABAB

    terutama peting dalan mengendalikan bangkitan yang berlangsung lama. Mekanisme

    GABAB baru nampak bilamana pengaruh GABAB kurang menonjol. Kemampuanmemodulasi eksitabilitas oleh GABAB terkait dengan interneuron GABA-ergic.

    Neuron GABA-ergic

    Banyak dari neuron yang melepaskan GABA di korteks adalah interneuron

    GABAergic. Sel jenis ini merupakan circuit cells beda dengan tipe sel primer (sel

    piramidal dan sel projection cell). Sel yang sejenis ini juga ditemukan di neocortex dan

    di hipokampus. Kelompok sel ini mempunyai kemampuan fast-spiking dan secara terus

    menerus mengeluarkan inhibisi tonik terhadap sel piramidal. Praktis semua interneuron

    menerima impuls dari sumber yang sama dan berfungsi inhibitorik.

    Semua interneuron di hipokampus menggunakan GABA sebagai transmiternya.

    Blocking terhadap pengaruh inhibisi GABAA akan menimbulkan aktivitas epileptik.

    10

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    11/16

    Gambar 2. Animasi patofisiologi epilepsi dari ketidak seimbangan eksitasi dan

    inhibisi.

    2.6. Diagnosis

    Hal ini meliputi pemeriksaan klinis (anamnesis dari faktor risiko, pemeriksaan fisik),

    dan imaging(pencitraan).

    2.6.1. Pemeriksaan klinis

    1. Anamnesis

    Melalui anamnesis yang baik dan teratrah diperoleh informasi mengenai keluhan

    dan riwayat penyakitnya, hal ini sangat penting untuk mendiagnosa epilepsi,

    meliputi :

    Bentuk bangkitan

    Gejala sebelum, sewaktu, dan setelah bangkitan

    Durasi bangkitan

    Bentuk dari setiap kejadian bangkitan

    Faktor pencetus bangkitan

    Usia pertama kali mengalami bangkitan

    EXCITATION INCREASEEXCITATION INCREASE

    SEIZURESEIZURE

    INHIBITION DECREASEINHIBITION DECREASE

    SEIZURESEIZURE

    NaNa++ channel antagonistschannel antagonists

    CaCa2+2+ channel antagonistschannel antagonistsGlutamate receptor antagonistsGlutamate receptor antagonists

    GABAGABAAA

    agonistsagonists

    Enhanced GABA levelsEnhanced GABA levels

    KK++ channels modulatorschannels modulators

    11

    EPILEPSY- A CRITICAL BALANCEEPILEPSY- A CRITICAL BALANCE

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    12/16

    Riwayat perinatal dan perkembangan

    Riwayat penyakit yang mungkin menjadi penyebab

    Riwayat pengobatan

    Riwayat keluarga

    2. Pemeriksaan fisik

    Pada pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum dan neurologik,

    yang bertujuan mencari :

    Gejala penyakit yang sering disertai bangkitan epilepsi.

    Defisit neurologis yang mungkin menerangkan suatu cacat otak yang

    epileptogen

    Adanya cedera yang mungkin disebabkan kehilangan kesadaran saat

    bangkitan epilepsi.

    Tabel 2.2. Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan Umum Pemeriksaan NeurologisTanda vital Kepala

    BB, TB, Lingkar kepala N. Kraniales termasuk fundus okuli

    Kulit Penglihatan

    Organomegali Fungsi motorik, reflek tendon

    Perkembangan Fungsi luhur

    Sensorik

    2.6.2. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

    Indikasi EEG pada penderita epilepsi antara lain: (1) membantu

    menegakkan diagnosa epilepsi; (2) menentukan hubungan antara

    abnormalitas kejang dan frekwensi kejang; (3) memonitor keefektifan

    obat antikonvulsan; (4) aspek psikiatrik; (5) aspek medikolegal, misalnya

    kemungkinan timbulnya epilepsi pasca trauma, penentuan hukuman pada

    penderita, konsultasi perkawinan, SIM dan sebagainya.

    12

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    13/16

    Gambar 3. Hasil EEG penderita epilepsi

    2.6.3. Pemeriksaan radiodiagnostik / imaging

    Pemeriksaan Imaging yang dilaksanakan antara lain : Pemeriksaan CT

    scan, dan MRI dilakukan atas indikasi :

    Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural

    Perubahan bentuk bangkitan

    Terdapat defisit neurologik fokal

    Bangkitan pertama kali terjadi di atas usia 25 tahun.

    2.6.4. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium darah rutin, elektrolit, gula darah, fungsi hati,

    kadar obat dalam plasma dan lain-lain sesuai indikasi.

    2.7. Prognosis

    2.7.1. Prognosis Medik

    Prevalensi epilepsi kronik sekitar 1 dalam 200 orang, yang berarti bahwa mayoritas

    epilepsi tidak menjadi kronik. Sekali remisi lama (lebih dari 24 bulan) tercapai, resiko

    untuk mengalami serangan berikutnya akan berkurang. Serangan yang sejak dini

    terkendali oleh obat memiliki prognosis yang lebih baik.

    2.7.2. Prognosis Psikososial

    Sebagian besar penderita epilepsi dapat hidup normal. Komunikasi antara dokter, orang

    tua anak penyandang epilepsi, dan lingkungan penderita epilepsi sangat penting dalam

    mempengaruhi perkembangan mental dan kognitif penderita.

    13

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    14/16

    2.8. Penatalaksanaan

    2.8.1 Pengobatan epilepsi

    Pada anak yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat.

    Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut. Jalan

    nafas dijaga agar tetap terbuka, agar suplai oksigen tetap terjamin. Bila perlu diberikan

    oksigen. Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan

    seksama. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres dan pemberian

    antipiretika.Kejang harus segera dihentikan, ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi

    kerusakan pada otak atau meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian. Obat yang

    paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara

    intravena atau intrarektal. Dosis intravena 0,30,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan

    dengan kecepatan 12 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila sukar mencari

    vena dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5/kg atau 5 mg untuk berat badan

    kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg.

    Apabila kejang belum berhenti, 5-10 menit kemudian dapat diulangi lagi

    pemberian diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti,

    diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kg/per drip selama 20-30 menit setelah

    dilarutkan dalam cairan NaCl fisiologis. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-

    24 jam setelah dosis awal.

    Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakan perlu pengobatan profilaksis

    atau tidak, tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada anak

    tersebut.

    Untuk mengurangi resiko terjadinya gangguan fungsi kognitif maka dalam

    pengobatan epilepsi perlu diperhatikan beberapa prinsip pengobatan

    Pengobatan dilakukan bila terdapat minimun 2 kali bangkitan dalam setahun

    Pengobatan mulai diberikan bila diagnosis tellah ditegakkan dan setelah

    penderita dan keluarga menerima penjelasan tujuan pengobatan dan

    kemungkinan efek samping

    Pemilihan jenis obat sesuai jenis bangkitan

    14

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    15/16

    Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi

    Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahapnsamapi dosis

    efektif tercapai.

    Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila

    diperlukan penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua

    dinaikkan secara bertahap.

    Bila didapat kegagalan monoterapi maka dapat diprtimbangkan kombinasi OAE

    Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi

    Tabel 1. Pemilihan Obat Antiepilepsi Atas dasar Jenis Bangkitan Epilepsi

    Type of seizures and

    epileptic syndrome

    First-line drug Second-line drug

    Simple and complex partial

    seizures, primary and

    secondarily generalized

    tonic-clonic seizures

    Generalized absence

    seizures

    Atypical absence, tonic, and

    clonic seizures

    Myoclonic seizures

    Carbamazepine,

    valproate, and

    phenytoin

    Valproate,

    ethosuximide

    Valproate

    Valproate

    Acetazolamide, clobazam,

    clonazepam, ethosuximide,

    felbamate, gabapentin,

    lamotrigine, levetiracetam,

    oxcarbazepine, Phenobarbital

    Acetazolamide, clobazam,

    clonazepam, lamotrigine,

    Phenobarbital, primidone

    Acetazolamide,

    carbamazepine, clobazam,

    clonazepam, lamotrigine,

    oxcarbazepine,

    phenobarbital, phenytoin,

    Primidone, topiramate

    Clobazam, clonazepam,

    ethosuximide, lamotrigine,

    Phenobarbital, piracetam,

    primidone

    15

  • 7/28/2019 PBL Epilepsy

    16/16

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Agoes, A. 2004,Pelatihan Epilepsi Mudah, Aman, dan Sederhana, Malang, pp. 1-

    24.

    2. Aninimous.2005, Epileptic seizures and their classification, in : Panayiotopoulos,

    CP. (ed) The Epilepsies, 1st ed, Bladon Medical Publishing, UK, pp.8-23

    3. Budiarto, G. 1998, Patofisiologi Epilepsi, in : anonim (ed) PKB Neurologi,

    Surabaya, pp. 1-20.

    4. Hartono, B. 2004, The Cognitive Problems and Learning Disabilities in Epilepsy,

    in : anonim (ed) Pertemuan Nasional 1 Epilepsi PERDOSSI, Semarang, pp. 194-

    200.

    5. Merrick dan Bernstam, F., Pollock, R.E. 2005,Neurology, in : Brunicardi, F Charles

    et al. (eds) Schwartzs Principles of Surgery, 8th ed, McGraw Hill, New York,

    pp.249-294.

    6. Holmes GL.Epilepsi and other seizure disorders. Dalam: Bruce O.Berg, Ed.

    Principles of child neurology; edisi ke-1. New York: McGraw-Hill, 1996; 221-33.

    7. Duchowny M. Febrile seizures in childhood. Dalam: Elaine W, Ed. The treatment

    of epilepsy : principle & Practice; edisi ke-2. Baltimore: William & Wilkins, 1996;

    622-8.

    8. Nelson K, Ellenberg JH. Predictors of epilepsy in children who have experience

    febrile seizure. N Eng J Med 1976; 259:1029-33.

    9. Pui C H, Crist W M. Epilepsy. In: Rudolf A M. Rudolfs Pediatrics. 19th ed.

    International edition: Appleton Lange, 1991

    10. Kliegman R.M. Nelson Essentials of Pediatrics. 5 th ed. China: Elsevier Saunders,

    2005. p 737-40

    11. Suraatmaja S., Soetjiningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak

    RSUP Sanglah. Denpasar: Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud/ RSUP

    Sanglah, 2000.

    16