Referat Septinna Kurnia.D (Epilepsy in Pregnancy)
-
Upload
neeya-kadey -
Category
Documents
-
view
266 -
download
1
Transcript of Referat Septinna Kurnia.D (Epilepsy in Pregnancy)
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai di
dunia, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta
penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan
antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi
(1,2).
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih
dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang
kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat
anti epilepsi terhadap janin (2). Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan
meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi
pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin (3). Beberapa penelitian
epidemiologik juga menemukan bayi dari ibu yang menderita epilepsi mengalami
cacat lahir sekitar dua sampai tiga kali lipat dibanding populasi umum (4).
Dalam menghadapi kehamilan resiko tinggi seperti ini maka ibu hamil
dengan epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli
kebidanan dan ahli saraf agar dapat bebas dari serangan epileptik, serta ahli anak
untuk memantau adanya gangguan perkembangan dan kelainan kongenital.
Mengacu pada bahasan di atas, perempuan hamil dengan epilepsi
dihadapkan pada kondisi yang unik. Satu sisi, kehamilannya mempunyai risiko
untuk meningkatkan serangan, di sisi lain penggunaan OAE umumnya
mempunyai efek teratogenik. Penanganan epilepsi pada perempuan hamil perlu
direncanakan secara cermat. Oleh karena itu, penulis tertarik membahas lebih
lanjut mengenai epilepsi, pengaruh antara epilepsi dengan kehamilan, efek
1
samping obat antiepilepsi pada janin dan penanganan ibu hamil penyandang
epilepsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
‘Kejang’ (seizure) didefinisikan sebagai gangguan paroksismal susunan
saraf pusat yang ditandai dengan lepas muatan (discharge) neuron yang
abnormal dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Sedangkan, ‘epilepsi’
didefinisikan sebagai keadaan yang ditandai dengan kecenderungan untuk
mengalami kejang berulang dua kali atau lebih yang tidak dipicu oleh
gangguan terdekat yang diketahui. Definisi ini menyingkirkan kejang akibat
gangguan metabolisme sistemik atau kelainan akut susunan saraf pusat (5).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran,
gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif),
gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).
Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang
epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.
2
B. ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di
otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik.
Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome (6).
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan
4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30% (7).
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi (8,9,10).
C. KLASIFIKASI
International League Against Epilepsy (ILAE) menetapkan klasifikasi epilepsi
berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
3
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
4
Klasifikasi ILAE di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena
hanya ada dua kategori utama, yaitu
- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih
luas pada kedua belahan otak.
Menurut International League Against Epilepsy, epilepsi pada kehamilan
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu (11) :
1. Epilepsi yang telah diderita sebelum kehamilan Wanita yang
menderita epilepsi sebelum kehamilan dapat mengalami bangkitan pada
saat hamil. Hal ini disebabkan karena pengaruh perubahan hormonal,
metabolik, psikis, dan farmakokinetik OAE (obat anti epilepsi).
2. Termed Gestational Epilepsy epilepsi yang terjadi pertama kali
sewaktu masa kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan
masa bebas bangkitan di antara kehamilan.
3. Gestational Onset Epilepsy epilepsi yang terjadi pertama kali pada
masa kehamilan dan berlanjut di luar masa kehamilan.
D. PATOFISIOLOGI
5
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung
dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar
neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka
neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan
dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat
dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah
noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini
hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih
lanjut (12).
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls
di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa
yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada
sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan
meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang
6
secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan
epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu :
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi
ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya
(lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi
potensial post sinaptik.
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron
penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu
kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi Glutamat di
otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar Glutamat pada
berbagai tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus
epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis
dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
7
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan
akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari
fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer
sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk
bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri,
thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge
epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari
polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan
akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat
terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya
asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya
neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis
metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan
aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
E. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSI
8
Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor
risiko tinggi. Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko
komplikasi obstetrik pada wanita penyandang epilepsi dibandingkan dengan
kehamilan normal. Ancaman terkait kehamilan pada wanita dengan epilepsi
adalah meningkatnya frekuensi kejang dan resiko malformasi kongenital pada
janin. Hollingworth dan Resnik mengkaji penelitian-penelitian yang mencakup
2385 kehamilan dan mendapatkan peningkatan frekuensi kejang pada 35% ,
penurunan kejang pada 15%, dan tidak ada perubahan pada 50% (5).
Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan
kejang setiap bulannya sebelum hamil, frekwensi serangannya akan meningkat
selama kehamilan, sedangkan wanita penyandang epilepsi yang dalam waktu
sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu kali, tidak akan mengalami
peningkatan serangan kejang selama hamil. Penderita lebih dari dua tahun
bebas serangan maka risiko timbulnya serangan epilepsi selama hamil menurun
atau tidak timbul. Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami
serangan kejang umum atau fokal sebelum konsepsi akan lebih sering
mengalami serangan selama kehamilan.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering
terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat
trimester III. Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada wanita
penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh :
a. Perubahan hormonal
9
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat
secara bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester
ketiga. Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak
pada kehamilan trimester pertama yang kemudian menurun terus sampai
akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi
berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita
penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron yang
meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan
yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat
transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase).
Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan neurotransmiter
inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat
peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.
Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh
glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan
epilepsi. Progesteron yang bersifat antiepileptik akan meningkat pada fase
luteal dalam siklus menstruasi sehingga pada masa itu frekuensi bangkitan
akan turun.
b. Perubahan metabolik
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi
glomerulus berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya
kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi
10
menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan
parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas
neuron dan mempresipitasi bangkitan.
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan
retensi air dan garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya
perubahan metabolisme di hepar juga dapat mengganggu metabolisme obat
anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya alkalosis respiratorik
dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun
masih selalu diperdebatkan.
c. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan
beberapa keadaan seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin
dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada kandung kencing dan stress
psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang.
Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat
mengganggu pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone
merupakan salah satu obat yang sering digunakan untuk hiperasiditas,
gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention dapat
menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan
absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata.
Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga
menghambat pengosongan lambung.
11
d. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa
keadaan antara lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume
distribusi, penurunan protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin
dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester terakhir.
Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi
mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi
yang terikat dengan protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat
anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan
sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh induksi
enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan
progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus
kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.
e. Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada
penderita yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan
trimester ketiga menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil
yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita
hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11% (anemia
mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi
berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan
thrombositopenia.
12
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti
epilepsi (phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya
dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah
serangan kejang.
Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya
insiden abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan
perkembangan pada bayi yang dilahirkan. Jadi walaupun terdapat sedikit
kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah minimal
0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat
dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi. Dosis
tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya melahirkan
anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat
obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.
f. Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah
terjadinya serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan
tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder.
g. Penggunaan alkohol dan zat terlarang
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan
menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan
karbamazepin) sehingga timbul kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol
13
mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan siklus tidur
normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang.
Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita
penyandang epilepsi selama kehamilan adalah faktor kesengajaan
menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin yang
dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi, 27%
tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan akan efek
samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang
diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi
pada wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi bukanlah kontraindikasi
untuk pemberian ASI.
F. PENGARUH EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN
Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu :
- perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III
- hiperemesis gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti
epilepsi
- herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering
- preeklampsia
- trauma fisik
- menurunnya kemampuan neuropsikologik
14
- kemungkinan untuk seksio sesaria
- kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di
Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia pada
saat serangan.
G. PENGARUH EPILEPSI TERHADAP JANIN
Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat menyebabkan kelainan
(malformasi kongenital) atau kematian pada janin. Kematian pada janin lebih
sering disebabkan saat serangan ibu hamil mengalami kecelakaan seperti
terjatuh, luka bakar dan tenggelam. Sedangkan trauma dapat menyebabkan
pecahnya selaput ketuban, persalinan prematur, infeksi.
Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan mempengaruhi
denyut jantung janin menjadi lambat (transient fetal bradycardia selama 20
menit), sedangkan bila kejang berulang dan berlangsung lama komplikasi
terhadap jantung menjadi lebih berat serta dapat mengganggu sirkulasi sistemik
janin sehingga bisa timbul hipoksia.
Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita hamil
yaitu keguguran 3-4 kali dari kehamilan normal, kemampuan untuk hidup janin
menurun seperti Apgar skor yang rendah, lahir mati dan kematian perinatal,
gangguan perkembangan janin (berat badan lahir rendah dan kelahiran
prematur) menjadi 2 kali lipat serta terjadi perdarahan intra kranial, dimana
15
setelah dilakukan induksi persalinan ternyata bayi yang meninggal sudah
mengalami maserasi.
Bila status epileptikus timbul saat kehamilan biasanya sepertiga dari ibu-
ibu dan setengah dari janin tidak dapat diselamatkan dan harus segera diatasi
tanpa memandang kehamilannya.
H. PENGARUH EPILEPSI TERHADAP NEONATUS
Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua
kali lipat lebih banyak daripada populasi umum. Perdarahan pada neonatus
terjadi dalam 24 jam pertama dari awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan
kekurangan atau defisiensi faktor pembekuan II, VII, IX dan X yang
tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K disebabkan oleh obat anti
epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K melalui plasenta
dan ditambah dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan. Keadaan
ini dapat dicegah dengan memberikan vitamin K dosis tinggi pada minggu
terakhir kehamilan. Namun karena lebih sering terjadi persalinan prematur
maka vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir.
Perdarahan neonatus harus diberi fresh frozen plasma untuk mengatasi
koagulopati.
I. PENGARUH OBAT ANTI EPILEPTIK (OAE)
a. Terhadap kehamilan
16
Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga
obat anti epilepsi maka yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut
adalah phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin.
Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat
pengaruh obat anti epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester
II dan III) dan induksi partus. Keadaan ini disebabkan oleh partus lama,
perdarahan dan kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi,
sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria. Sebenarnya epilepsi sendiri
bukanlah suatu indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya
terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi sehingga
Hilesmaa membuat daftar indikasi seksio sesaria yaitu :
Seksio sesaria elektif
Dasar neurologik atau defek mental
Kurang kerja sama wanita penyandang epilepsi selama partus
Kejang yang sukar diatasi pada trimester III
Kejang parsial kompleks yang timbul tiap hari
Kejang tonik klonik yang timbul tiap minggu
Ada riwayat kejang hebat setelah stress fisik mental
Seksio darurat
Kejang tonik klonik selama partus
Adanya asfiksia janin
17
Tidak adanya kerja sama maternal
b. Terhadap neonatus
Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu :
- malformasi mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofacial,
anomali jantung dan defek pada neural tube)
- malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism,
lipatan epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan
simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama spina bifida
lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak
daripada karbamazepin (0,5%).39 Oleh karena itu ada yang
menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita
hamil penyandang epilepsi.
Obat Dosis Masa rentan,
Post konsepsi
Jenis anomali yangmungkin timbul
Carbamazepin Terapeutik,
Kronik
Organogenesis
( 18 – 60 hari )
Facial dysmorphism, sama seperti
yang terlihat pada pemakaian
Oxazolidine–2,4 diones, spina bifida,
hipoplasi falang distal,keterlambatan
pertumbuhan dan
perkembangan
Phenytoin / Terapeutik, Organogenesis Sindroma fetal hidantoin, hipoplasi
18
Fosphenytoin Kronik ( 18 – 60 hari ) kuku dan phalang distal, okular
hipertelorisme, batang hidung rata,
celah bibir/palatum, cacat jantung
kongenital, mikrosefali,
perkembangan lambat
Asam
valproat
Terapeutik,
Kronik
Organogenesis
( 18 – 60 hari )
Brachisefali dengan dahi yang tinggi,
shallow orbits,okular hipertelorisme,
hidung dan mulut kecil, telinga letak
rendah, jari dan jempol dempet, kuku
jari hiper konvek, septo optik displasi,
celah bibir/palatum, kelainan anggota
gerak bawah, keterlambatan tumbuh
kembang,mikrosefali, spina bifida,
anomali traktus UG dan repirastorius,
kraniosinotosis, autisme.
Phenobarbital Terapeutik,
Kronik
Organogenesis
( 18 – 60 hari )
Celah wajah, kelainan jantung
kongenital, fasial dismorfisme dan
hipoplasi kuku seperti yang terlihat
pada penggunaan Oxazolidine–2,4
diones, neonatus withdrawal, ketidak
mampuan belajar, retardasi mental
19
Clonazepam Terapeutik,
Kronik
Organogenesis
( 18 – 60 hari )
Anomali kongenital dilaporkan pada
13% bayi dari ibu yangmengkonsumsi
clonazepam kom binasi dgn OAE lain.
Tidak ada pola anomali yang tetap.
Pada satu penelitian, ditemukan
kraniofasial atau digital embriopati
antikonvul san pada bayi dari ibu yang
menkonsumsi clonazepam kombinasi
dengan primidone
Primodon Terapeutik,
Kronik
Organogenesis
( 18 – 60 hari )
Hirsute forehead, thick nasal root,
fasial dismorfisme dan hipoplasi kuku
sama seperti pada pemakaian
Oxazolidine–2,4 diones,cacat jantung
kongenital, perkembangan lambat
Oxazolidine –
2,4 diones (tri
Terapeutik,
Kronik
Organogenesis
( 18 – 60 hari )
Pertumbuhan lambat, mikrosefali,
celah bibir / palatum,
J. PENANGANAN KEHAMILAN DENGAN EPILEPSI
a. Pemberian OAE
Hingga saat ini, belum ada penelitian prospektif, terkendali komparatif
yang mengindikasikan bahwa OAE mana yang paling aman selama
kehamilan. Terjadinya cacat lahir ini selain bergantung pada jenis dan dosis
obat OAE, lama dan waktu serta cara pemberiannya, juga dipengaruhi oleh
20
faktor genetik, beratnya epilepsi yang diderita ibu, atau kombinasi dari
berbagai faktor tersebut.
Penovich et al. (2004) merekomendasikan penggunaan OAE dalam
kehamilan :
1. Gunakan monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom atau tipe
bangkitan.
2. Gunakan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk
mengendalikan bangkitan dengan optimal.
3. Hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian total ke
dalam dosis multipel yang lebih kecil.
4. Ada bukti bahwa sediaan extendedrelease mungkin lebih aman selama
kehamilan.
5. Periksa kadar obat total dan bebas setiap bulan.
b. Pemberian Asam Folat
Pada trimester pertama kehamilan, folat sangat penting dalam mencegah
cacat bawaan, khususnya NTD. Neural tube defect adalah salah satu dari
malformasi yang terjadi lebih sering pada wanita dengan pengobatan
antiepileptik, khususnya dengan sodium valproat. Telah diketahui dengan
jelas bahwa asam folat prakonsepsi (dengan dosis 4-5 mg/hari) efektif
dalam mengurangi risiko neural tube defect diantara ibu dengan risiko
tinggi karena memiliki anak yang dengan kondisi tersebut sebelumnya.
Tetapi penelitian yang menunjukkan sebuah efek protektif dari suplemen
folat pada wanita dengan epilepsi masih kurang. Dosis optimal asam folat
belum diketahui secara pasti. Untuk perempuan yang tidak mengalami
defisiensi asam folat cukup diberi 1 mg/hari. Apabila terbukti ada defisiensi
asam folat maka kepada penderita perlu diberi asam folat dengan dosis
yang lebih tinggi, dapat diberikan sampai 4 mg/hari.
c. Pemberian Vitamin K
21
Bayi dari ibu yang mendapatkan pengobatan dengan OAE tertentu
(karbamazepin, fenitoin, primidon, fenobarbiton) memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami perdarahan pada neonatus yang disebabkan
defisiensi faktor penjendalan yang tergantung pada vitamin K. Ibu dengan
obat ini harus mendapatkan penanganan profilaksis dengan vitamin K
(Konakion) 20 mg oral per hari dari usia kehamilan 36 minggu hingga
persalinan dan bayi mereka harus mendapatkan vitamin K 1 mg
intramuskuler pada saat kelahiran.
d. Persalinan dan Menyusui
Persalinan adalah waktu dimana terjadi peningkatan risiko baik untuk ibu
maupun janin. Bangkitan relatif mungkin terjadi selama persalinan dengan
akibat risiko pada janin karena anoksia. Persalinan harus dilakukan di
klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit
perawatan intensif untuk neonatus. Selama persalinan, OAE harus tetap
diberikan; apabila perlu maka dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat
penetral terutama apabila terjadi partus lama. Banyak perempuan
penyandang epilepsi yang mampu menyusui anaknya secara baik. Kadar
OAE ditentukan oleh kadar obat dalam plasma dan tingkat terikatnya obat
oleh protein. Makin tinggi tingkat keterikatan oleh protein maka kadar obat
dalam ASI semakin rendah.
Kadar kandungan Obat Anti Epilepsi dalam Air Susu Ibu :
22
Mengingat banyaknya efek samping obat anti epilepsi dan komplikasi pada
kehamilan, maka penanganan kehamilan dengan epilepsi meliputi :
a. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi.
Kadar obat anti epilepsi dalam darah sebaiknya selalu dikontrol setiap bulan
sebelum terjadinya kehamilan sehingga penyesuaian dosis pada saat
kehamilan bisa dilakukan.
b. Penyuluhan pada wanita penyandang epilepsi usia remaja sebelum konsepsi
mengenai:
o Risiko akibat timbulnya serangan selama kehamilan seperti perdarahan,
eklampsia dan prematuritas.
o Risiko obat anti epilepsi pada janin, yaitu timbulnya malformasi dan
gangguan perkembangan.
o Risiko timbulnya serangan kejang pada anak (kejang neonatal, kejang
tanpa demam dan epilepsi), termasuk adanya prediposisi genetik pada
bayi bila orang tuanya menderita epilepsi.
c. Masa Pra Konsepsi
o Melakukan evaluasi terhadap kontrasepsi KB yang dipergunakan
o Melakukan evaluasi terhadap obat anti epilepsi yang dipergunakan.
o Melakukan evaluasi kembali mengenai diagnosis epilepsinya atau bukan
epilepsi (kejang nonepilepsi, sinkop atau suatu sindroma lain).
o Mencoba menghentikan obat anti epilepsi pada yang telah bebas kejang
2-3 tahun.
23
o Berusaha menggunakan monoterapi dengan dosis terendah yang efektif,
bila memungkinkan merubah dari politerapi ke monoterapi serta
ditambah multivitamin dengan suplementasi asam folat. Asam folat harus
diberikan minimal 4 minggu sebelum konsepsi. Bila terdapat riwayat
neural tube defect dalam keluarga maka valproat dan karbamazepin
sebaiknya dihindari.
d. Masa Post Konsepsi
o Berikan cukup perhatian terhadap semua keluhan dan anjurkan istirahat
yang cukup, karena kedua faktor ini sering menimbulkan peningkatan
atau kambuhnya serangan.
o Jangan menghentikan atau mengganti obat anti epilepsi tanpa
sepengetahuan dokter.
o Mengukur kadar obat anti epilepsi bebas setiap trimester untuk
menyesuaikan dosis obat, terutama pada bulan terakhir dan menjelang
persalinan untuk mencegah timbulnya kejang pada waktu bersalin.
Selanjutnya pemeriksaan obat anti epilepsi ini harus diikuti sampai
minggu ke-8 postpartum karena kadarnya dapat meningkat dan
menimbulkan toksisitas.
o Pemeriksaan USG untuk deteksi adanya kelainan janin (spina bifida,
defek jantung atau ekstremitas).
24
o Vitamin K (20 mg/hari) harus diberikan 3 minggu sebelum masa
persalinan sampai persalinan untuk mencegah perdarahan pada
neonatal.
e. Masa Post Partum
o Dokter spesialis anak atau saraf anak yang mengobservasi harus
waspada terhadap timbulnya perdarahan neonatus dan gejala drug
withdrawal terutama pada ibu yang minum phenobarbital. Lalu
dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan adanya gangguan
perkembangan, terutama pada anak yang ibunya menderita epilepsi
yang sukar diatasi.
o Pada umumnya ibu dapat menyusui bayinya namun bila terlihat efek
sedasi, gangguan minum dan menurunnya berat badan bayi maka
dianjurkan untuk memperpendek pemberian ASI tersebut. Penghentian
obat anti epilepsi jangan berlangsung mendadak karena dapat
menimbulkan kejang pada neonatal.
BAB III
KESIMPULAN
25
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan
membesarkan anak yang normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki
peningkatan risiko untuk komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi bangkitan pada beberapa perempuan dengan epilepsi. Bangkitan epilepsi
maternal dan paparan obat antiepilepsi in utero dapat meningkatkan risiko
terjadinya outcome yang merugikan pada anak yang dilahirkan dari ibu dengan
epilepsi. Outcome ini termasuk fetal loss dan kematian perinatal, malformasi dan
anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir rendah, keterlambatan
perkembangan, dan epilepsi masa kanak-kanak.
Penatalaksanaan epilepsi pada kehamilan meliputi pentalaksanaan
konsultasi dan edukasi prakonsepsi, pemilihan OAE sebelum dan selama
kehamilan, ANC dan pemberian supemen Folat dan Vit K, persalinan dan post
partum (menyusui).
DAFTAR PUSTAKA
26
1. Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications
of pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63
2. Yerby MS, Leavitt A, Erickson BS, et. al. Antiepileptics and the development
of congenital anomalies. Neurology, 1992; 42: 132-140
5. Cunningham, F.G., Gant, Norman F. Leveno, Kenneth J. 2006. Obstetri
Williams Volume 1 edisi 21. Jakarta : EGC.
6. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003.
7. Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1st edition. Munksgaard, Copenhagen,
1995: 30-31
8. Morrell MJ. Epilepsy in women : The Science why it is special. Neurology,
1999; 53: 542-548
9. Morrell MJ. Guidelines for the care of women with epilepsy. Neurology,
1998;51:S21-S26
10. Wodley CS., Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia,
1998; 39: S2-S8
11. Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf Oleh dr. George
Dewanto, SpS, dr. Wita J. Suwono, SpS, dr. Budi Riyanto, SpS, & dr. Yuda
Turana, SpS.
27
12. Cotman CW, et. al. Excitatory Aminocid neurotransmission. In: Bloom, FE &
Kupfer DJ: Psychopharmacology. The fourth generation of progress. Raven
Press, New York, 1995: 75-85
Referat
EPILEPSI PADA KEHAMILAN
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Kandungan dan Kebidanan
Oleh :
SEPTINNA KURNIA DEWI
J 500 050 037
28
Pembimbing :
dr. SUTIYONO, Sp.OG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
Lembar Pengesahan
Referat
EPILEPSI PADA KEHAMILAN
Diajukan Oleh :
Septinna Kurnia Dewi, S.Ked
J 500 050 037
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari …….., …. 30 April 2011
Pembimbing :
dr. Sutiyono, Sp.OG (..................................)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Sutiyono, Sp.OG (..................................)
29
Disahkan Ketua Program Profesi :
dr. Yuni Prasetyo Kurniati, M. Kes (..................................)
30