paradigma ijtihad contemporer

download paradigma ijtihad contemporer

of 24

Transcript of paradigma ijtihad contemporer

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    1/24

     

    5

    PARADIGMA IJTIHAD KONTEMPORER:

    Studi Terhadap Metode Ijtihad Majm u’   al-Buhuts  

    M. Syadli

    Prodi HES Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muara Bulian Jambi

    [email protected] 

     ABSTRACT: Due to a number of problems pertaining to

    the quality of scholarship and the emergence of the more

    complicated social problems, collaborative reasoning (ijtihad

     jama‟i) is nowadays considered to have been able to give a

    more comprehensive legal answer than that of individual

    reasoning (ijithad fardi). This type of reasoning has been

    developed organizationally and institutionally by Ma jmu‟  al- 

    Buhuts al-Islamiyyah. Founded by Muhammad Ali Pasya,this institution is productive in giving legal opinion and has

    become reference for Moslem all over the world. In its

    reasoning, both al-Qur ‟an and the Prophet Traditions are the

    primary source of law, while the methods used are not far

    difference from the previous ones such as maslahah, sadd al- 

    dzari‟ah, istihsan and etc. The implementation of this

    methods is clearly seen in such legal opinion as the questions

    of Ahmadiyyah, breath banking, defining the beginning of the

    lunar month, baitul mal as the heir and ihtikar. 

    Keywords: Jtihad Jama‟i, Ma jmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah,

    Islamic Law. 

    Pendahuluan 

    Perkembangan pemikiran hukum Islam ikut dipengaruhi oleh

    perubahan sosial dan budaya. Hal itu semakin nyata ketika dirunut

    sejak masa awal Islam, dimana sebagian besar ayat dan hadis sebagai

    sumber pokok muncul dalam rangka merespon persoalan yang tengah

    dihadapi oleh umat Islam. Begitu pula masa-masa sesudah itu,

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    2/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 84

    khazanah fiqh hadir dengan nuansa yang lebih kaya dan progresif yang

    tercermin dalam berbagai alternatif pendapat hukum denganpendekatan dan metode yang beragam. Terciptanya khazanah

    pemikiran hukum yang begitu kaya, tentunya seiring dengan suasana

    adanya kebebasan berpikir dan berijtihad.

    Namun demikian, dalam beberapa dekade ijtihad sebagai

    upaya penalaran dalam peng- galian hukum sempat mengalami

    kemunduran dan kemandekan yang diakibatkan oleh kejumudan

    berfikir. Terbentuknya opini bahwa ijtihad telah tertutup merupakan

    titik kul- minasi dari keadaan jumud tersebut sehingga muncul kultur

    taqlid dikalangan umat Islam yang bermuara pada fanatisme mazhab.

    Efeknya berkembang persepsi bahwa sulitnya men capai kompetensi

    berijtihad, yang sebelumnya terbuka bagi juris Islam sebagai refleksi

    atas munculnya tema-tema yang belum pernah ada masa sebelumnya

    (Wahbah al-Zuhaili: 2005: 1061 dan 1170).

    Baik pada masa keemasan maupun kemunduran

    kecenderungan ijtihad dilakukan secara perseorangan dan belum

    terorganisir dan terlembaga, yang ditandai dengan lahirnya banyak

    tokoh ilmu hukum dari berbagai daerah, kemudian diikuti dengan

    munculnya mazhab. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini

    ijtihad yang dilakukan secara individual seperti yang berlaku pada

    masa klasik dipandang tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan secara

    komprehensif karena kemampuan seseorang sangat terbatas dalam

    penguasaan keilmuan. Apalagi dengan kecenderungan spesialisasi dan

    pembidangan keilmuan yang semakin tajam. Kepakaran seseorang

    diakui hanya dalam satu bidang. Tentunya, berbeda dengan masa lalu,

    ketika pengkotomian ilmu belum seperti sekarang. Kepakaran

    seseorang sangat dimungkinkan tidak hanya dalam satu bidang

    tertentu saja, tetapi bisa dua atau lebih dari rumpun keilmuan yangberbeda. Sebutlah misalnya, al-Ghazali, selain kepakarannya diakui

    dalam bidang hukum, juga ahli dalam tasawuf dan filsafat.

    Begitu pula ibn Rusyd, ahli dalam bidang hukum sekaligus

    sebagai ahli kesehatan dan filsafat. Selain itu, masalah yang muncul

    saat ini semakin berkembang dan komplit, yang membutuhkan

    penyelesaian secara komprehensif. Tambah lagi dengan eksistensi umat

    Islam yang tidak hanya hidup pada kultur Padang Pasir, namun

    melintasi semua ras, suku dan budaya. Sebagiannya hidup di wilayah

     yang mayoritas muslim tetapi berada di bawah kekuasaan sekuler dan

    sosialis. Kemudian ada pula yang hidup di tengah mayoritas umat lain

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    3/24

    85 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    dengan sistem yang jauh dari nilai-nilai Islam dan bahkan diantaranya

    hidup di tengah antipati terhadap Islam.

    Kompleksitas persoalan yang semakin rumit seperti yang

    dideskripsikan di atas tentunya memerlukan penyelesaian dengan

    multi pendekatan, dituntut adanya ijtihad yang melibatkan banyak

    bidang dan keahlian. Pendekatan yang dimaksud, tentunya tidak boleh

    lepas dari pondasi dasar yang sudah dibangun Nabi Muhammad saw

    kendatipun beliau sudah berlalu selama 14 abad lamanya. Interval

     waktu yang cukup panjang demikian dapat dipastikan bahwa dalam

    banyak hal secara sosiologis akan muncul perbedaan terhadap

    keberlakuan hukum hukum yang ditetapkan pada masa itu dengan

    kondisi kekinian. Begitu pula fiqh dan fatwa imam-imam mazhab

    ditulis dan muncul atas respon denyut perkembangan sosial dan

    kehidupan yang mengitari pada masa para mujtahid tersebut berada.

    Menyikapi kondisi keterbatasan ulama dalam merespon

    persoalan yang semakin komp lit dan kompleks itu dibutuhkan ijtihad

     yang progresif dan kolektif. Pendekatan secara kolektif, yang dikenal

    dengan ijtihad jama‟i, melibatkan berbagai disiplin ilmu tidak hanya

    ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu sosial dan eksak dipandang lebih

    dapat memberikan jawaban hukum yang lebih komprehensif. Hal ini

    tentunya memiliki korelasi dengan kehadiran Islam yang ditujukan

    kepada manusia yang secara fitrah cenderung untuk selalu berubah.

    Islam dalam konteks demikian hadir tidak diruang yang hampa, tetapi

    akan bergelut dengan dinamika dan perubahan tersebut.1 

    1 Hukum Islam sebagai aturan yang dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat Islam

    meskipun belum atau tidak masuk dalam aturan negara telah menjadi

    diskursus panjang tidak hanya internal umat Islam, tetapi juga dilakukan oleh

    para ilmuan barat. Secara internal diskursus dimaksud mengalami dinamika yang

    inheren dengan pengaruh sosial, bahkan juga dilakukan oleh para ilmuan yang

    secara hirarki keilmuan yang sebelumnya tidak pernah bergumulan langsung

    dengan tema-tema tersebut. Wacana yang mereka gulirkan mendapat respon para

    ilmuan yang sejak dari awal memang bergumulan dengan hukum Islam. Hal itu

    karena berkaitan langsung dengan persoalan-persoalan mendasar dan sekaligus

    krusial. Salah seorang dari ilmuan tersebut adalah M. Syahrur dari Syiria. Dalam

    diskursus dimaksud persoalan metodologis pemikiran hukum Islam yang selama

    ini sudah dianggap mapan oleh para juris Islam menjadi sasaran kritiknya. Ujung

    dari kritik tersebut Syahrur memberikan alternatif dengan membangun teori

    berupa “teori batas”.  Gagasan dan diskursus tersebut dapat disimak dari

    tulisannya seperti al-Kitab wa al-Qur ‟an: Qir a‟ah Mu‟ashirah, Dirasah Islamiyah

    Mu‟ashirah Nahwu Ushul Jadidah lilfiqh al-Islamiy dan al-Islam wa al- Iman; Manzumat

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    4/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 86

    Pada ranah yang lebih taktis dan teknis telah muncul

    dengan banyak model dan ke- lompok. Di Indonesia misalnya, adaMajelis Tarjih Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nah- dhatul Ulama),

    Dewan Hisbah (Persis) dan Komisi Fatwa (MUI). Hasil dari ijtihad

    institusi ini berfungsi memberikan tuntunan kepada masyarakat

    terutama yang tergabung atau simpatisan dalam organisasi tersebut

    meskipun hal itu tidak mengikat secara hukum. Dalam banyak hal,

    fatwa lembaga ini sudah memberikan kontribusi nyata dalam

    perkembangan hukum Islam ditanah air dengan segala kelebihan dan

    kekurangannya. Selain itu, fatwa hukum yang dikeluarkan oleh

    Lembaga tersebut baik secara langsung maupun tidak sebagianmampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.

    Model ijtihad jama‟i ini di beberapa dunia Islam lain,

    tampaknya telah lama eksis seperti Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyyah di

    Mesir. Lembaga yang berada di bawah Universitas al-Azhar Mesir ini

    termasuk lembaga kajian hukum yang produktif dalam melahirkan

    fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam.

    Dalam hal itu, tulisan ini merupakan upaya memahami dan

    menganalisa latar belakang munculnya lembaga ini, metode ijtihad

     yang digunakan dengan menganalisis beberapa fatwa yang sudahdipublis kemasyarakat.

    Sejarah dan Latar Belakang

    Eksistensi Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah sudah ada sejak lama

    bersamaan dengan keluarnya Mesir dari wilayah kekuasaan Turki

    Utsmani, meskipun dengan nama dan ruang lingkup yang terbatas

    seiring dengan situasi dan perkembangan politik. Pada mulanya

    lembaga ini didirikan pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya(1765-1849) dengan nama al-Bi‟sah al- „Ilmiyyah al-Azhariyyah (Harun

    Nasution: 1994: 34). Latar belakang berdirinya lembaga ini memiliki

    korelasi langsung dengan keadaan Mesir yang pada saat itu berada

    dalam keterbelakangan baik pada bidang ekonomi, sosial, politik

    maupun pendidikan.

    Menyadari kondisi masyarakat Mesir yang sedang berada

    al-Qiyam. Buku-buku ini sebagian diantaranya sudah dapat diakses dan di download

    melalui internet dan sebagian lagi sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

    (Muhyar Fanani: 2009).

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    5/24

    87 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    pada transisi, Muham- mad Ali Pasya sebagai kepala pemerintahan

    mengambil langkah-langkah taktis dan strategis. Secara politik, Mesirbaru saja dapat pengakuan dari Turki Usmani (1805M), di samping itu

    masyarakat Mesir juga sedang menghadapi penjajahan Napo-leon

    Bonaparte dari Perancis. Dalam pan-dangan Muhammad Ali Pasya

    keadaan transisi ini memerlukan penanganan serius dan taktis,

    bilamana tidak atau salah urus Mesir tidak mustahil akan mengalami

    instabilitas politik yang akan mengancam eksistensinya. Bila kondisi

    ini terjadi, tentunya yang paling diuntungkan adalah pihak penjajah

     yang menginginkan Mesir berada dalam keadaan lemah.

    Sedangkan secara sosiologis, perpindahan kekuasaan dari Turki

    Usmani dan kedatangan Napoleon Bonaparte akan berdampak pada

    perubahan budaya Mesir. Jika hal itu tidak disikapi dan antisipasi

    dimungkinkan kebudayaan Mesir akan tergerus oleh perubahan

     yang dibawa dari luar sehingga masyarakatnya akan tercerabut dari

    akar budayanya.

    Salah satu kebijakan taktis dan strategis yang diambil

    Muhammad Ali Pasya adalah dengan membentuk sebuah lembaga

     yang ber- fungsi sebagai think thank. Lembaga tersebut mesti

    difungsikan secara maksimal dengan memanfaatkan sumber daya

    terutama dari kalangan ulama. Oleh karena ulama menjadi unsur

    terpenting dan paling berpengaruh bagi masyarakat Mesir. Lembaga

     yang dimaksud adalah al-Bi‟sah al- „Ilmiyyah al-Azhariyyah. Dalam

    menjalankan fungsinya, lembaga ini sangat produktif memberikan

    masukan bagi kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan

    kepentingan publik termasuk mengawal budaya Mesir dari pengaruh

    luar.

    Bersamaan dengan itu, Ali pasya secara besar-besaran merekrutanak-anak muda Mesir untuk disekolahkan keluar negeri terutama

    Perancis dan Italia. Negara ini dipandangnya sebagai kekuatan besar

    dan sangat kondusif untuk meningkatkan sumber daya manusia Mesir

    terutama dalam bidang kedokteran, ekonomi, administrasi negara dan

    penterjemahan. Anak-anak muda yang disekolahkan tersebut secara

    akademik diberikan kebebasan untuk bergerak dan didorong agar

    menyelesaikan studinya tepat waktu. Untuk mewujudkan target

    tersebut pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap

    mahasiswa yang sedang studi (Harun Nasution: 1994: 34). Selain

    kebijakan tersebut, Ali Pasya juga menyadari bahwa untuk melakukan

    pembenahan, perubahan dan membangun kekuatan baru serta

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    6/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 88

    melepaskan Mesir dari belenggu keterbelakangan tidak cukup hanya

    dengan menghandalkan dua kebijakan tersebut. Oleh karena itu,kebijakan yang diambil selanjut nya adalah dengan melakukan

    gerakan penerjemahan secara besar-besaran terhadap buku-buku ilmu

    pengetahuan yang didatangkan dari dan berbahasa Barat kedalam

    bahasa Arab.

    Pada mulanya semangat dan upaya ini pada tataran teknis

    belum didukung oleh sumber daya sehingga mengalami kemandekan.

    Namun demikian, semangat Ali Pasya tidak pernah surut dan

    berhenti meskipun banyak kendala. Hal itu ditandai dengan

    didirikannya sekolah khusus penterjemahan pada tahun 1836 (Harun

    Nasution: 1994: 34). Pengelola lembaga ini terutama direkrut dari

    ilmuan muda yang sudah menyelesaikan studinya dari Perancis.

    Sekolah khusus tersebut memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu; tempat

    bekerja para ilmuan muda yang sudah pulang dari studi dan sarana

     yang produktif dalam mencerdaskan masyarakat Mesir melalui

    penterjemahan berbagai ilmu pengetahuan yang sudah dan sedang

    berkembang di barat. Sejak itu, gerakan penerjemahan berjalan

    lancar dan sukses sehingga buku-buku yang diterjemahkan kedalam

    bahasa Arab cukup memadai bagi masyarakat sebagai referensi disekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.

    Selanjutnya mahasiswa yang sudah sele- sai studinya dari Eropa

    selain ditempatkan di sekolah khusus penterjemahan ter-sebut

    sebagian besarnya ditempatkan di Universitas al-Azhar guna

    memperkuat dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta

    penerjemahan. Kehadiran para ilmuan muda tersebut semakin

    memperkuat Universitas al-Azhar sehingga eksistensinya sampai seka-

    rang masih cukup kuat. Bahkan universitas ini dalam jumlah yang

    fantastis mampu mendis- tribusikan para ilmuannya keberbagai duniaIslam termasuk ke Indonesia tidak hanya dalam bidang keilmuan

    keislaman tetapi juga dalam bidang sosial dan eksak. Al-Bi‟sah sebagai

    lembaga ilmiah dan pusat kajian kebijakan berjalan dan bergerak

    seiring dengan dinamika sosial dan politik Mesir.

    Pada tahun 1961, pemerintah Mesir dan Universitas al-Azhar

    berupaya melakukan kaji an ulang terhadap lembaga ini baik dari sisi

    eksistensi maupun manajemennya di tengah perkembangan sosial dan

    politik Mesir. Akhir kajian tersebut merekomendasikan namanya

    dirubah menjadi Majmu‟  al-Buhuts al-Islamiyyah dan cakupan kerja

    dari lembaga ini juga diperluas. Dari sisi pengakuan negara diatur

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    7/24

    89 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    dalam undang- undang Mesir Nomor: 103 Tahun 1961 (Abdul

     Azis Dahlan: 1996: 1068).

    Lahirnya undang-undang ini tentunya terobosan baru sebagai

    landasan yuridis. Sedangkan perluasan cakupan yang dimaksud

    meliputi keislaman, sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan dan

    peradaban. Secara rinci tugas dan wewenang tersebut adalah:

    1. 

    Melakukan pembahasan yang luas dan men dalam masalah-

    masalah parsial keislaman.

    2.  Berupaya untuk memperbaharui kebudayaan dan peradaban

    Islam serta member sihkannya dari berbagai pengaruh asing,

    sehingga tercipta kebudayaan dan peradaban Islam yang

    sesungguhnya.

    3.  Menggali kekayaan ilmiah Islam dan menyebarluaskannya.

    4. 

    Menjadi penengah dalam berbagai masalah keislaman bilamana

    terjadi perbedaan maz- hab, sosial, ekonomi.

    5.  Melakukan amr ma‟ruf nahi mungkar dengan cara yang baik

    dan bijaksana.

    6.  Melakukan kajian-kajian ilmiah keislaman dengan menggali

    sumber-sumber asli dan klasik baik didalam maupun di luar

    negeri.7.  Memperluas dan mengembangkan ilmu ke- islaman dan

    kebudayaan Islam.

    8. 

    Mengirim para utusan Universitas al-Azhar keberbagai dunia

    Islam untuk membantu mengembangkan ilmu dan kebudayaan

    Islam serta membantu para mahasiswa yang menuntut ilmu di

    Universitas al-Azhar.

    9.  Membuka kelas khusus bagi para mahasiswa yang ingin

    memperdalam ilmu keislaman melalui program pascasarjana.

    10. 

    Menyusun peraturan dan menertibkan pemberian penghargaanilmiah dan hadiah ilmiah untuk mendorong para peminat

    mengkaji dan mendalami masalah-masalah keislam an (Abdul

     Azis Dahlan: 1996: 1068). Selain perubahan nama dan perluasan

    cakupan, pengelolanya juga diperluas dengan penambahan

    anggota menjadi 50 orang yang terdiri dari lintas mazhab dan 20

    orang diantaranya berasal dari ulama luar al-Azhar.

    Meskipun demikian, referensi yang terkait dengan

    perkembangan lembaga ini dari periode keperiode masih sangat

    terbatas sehingga menyulitkan dalam menelusuri sejarah danperkembangannya termasuk kesulitan di dalam mengakses informasi

    dari pihak Majmu‟ al-Buhuts sendiri. Masyarakat luas tampaknya

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    8/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 90

    belum bisa berinteraksi secara langsung termasuk untuk mengakses

    fatwa-fatwa yang terbaru secara lengkap karena belum lagimemanfaatkan teknologi.2 

    Kalaupun didapatkan informasi fatwa seperti pernyataan-

    pernyataan ulama al-Azhar, informasi tersebut tidak secara utuh dan

    lengkap.

    Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang saat ini

    cukup memberikan ruang informasi kepada publik untuk mengetahui

    informasi perkembangan termasuk produk pemikirannya melalui

     website. Dar al-Ifta‟ misalnya, sudah menggunakan teknologi sebagaimedia komunikasi dan mempublikasikan fatwanya keberbagai belah

    an dunia, bahkan lembaga fatwa ini sudah menye- diakan delapan

    bahasa termasuk didalamnya bahasa Indonesia (www.darifta. com dan 

     www.alazhar.agu.com). Jadi, sangat dimungkinkan orang dari belahan

    dunia dengan delapan bahasa tersebut mengikuti perkembangannya

    dan mengakses fatwa-fatwa terbaru atau menanyakan secara langsung

    kepada pengelola.

    Karakteristik Metode Ijtihad Majmu’ Al- Buhuts Al-Islamiyyah

    Majmu‟ al-Buhuts sebagai lembaga ilmiah yang berada di

    bawah naungan Universitas al-Azhar dalam perjalanannya telah

    memberikan konstribusi besar dalam memberikan tuntunan kepada

    umat Islam diberbagai dunia terutama bagi masyarakat Mesir. Lembaga

    ini menjadi referensi di dunia Islam terutama dibidang hukum Islam.

    Pengelolanya terdiri dari banyak orang yang meliputi multidisiplin

    ilmu dan lintas mazhab.

    Proses ijtihad dalam menangani suatu persoalan dilakukan

    2  Sejauh pelacakan penulis disitus belum ditemukan website khusus tentang

    lembaga fatwa ini termasuk di website Universitas al-Azhar sendiri sehingga tidak

    banyak informasi yang dapat digali agak lebih memadai tentang profil termasuk

    aktifitas dan fatwanya. Hasil keputusan lembaga yang terbaru juga tidak bisa

    langsung di akses dari sumbernya, kecuali dari tangan kedua atau pemberitaan

    dari media lain. Hal ini disebabkan karena lembaga ini belum meman

    faatkan teknologi dalam mensosialisasikan fatwanya. Akibatnya bagi masyarakat

     yang membutuhkan penjelasan tentang masalah-masalah hukum belum bisa secara

    langsung menyampaikannya ataupun putusan- putusan yang sudah ada tidakdiketahui oleh publik. Ini berbeda dengan Dar al-Ifta‟, MUI, Majlis Tarjih

    Muhammadiyah, Bahtsul Masil, Dewan Hisbah dan lembaga fatwa lainnya

    termasuk fatwa perorangan seperti Yusuf Qardhawi.

    http://www.darifta/http://www.alazhar.agu.com/http://www.alazhar.agu.com/http://www.alazhar.agu.com/http://www.alazhar.agu.com/http://www.alazhar.agu.com/http://www.darifta/

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    9/24

    91 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    secara kolektif dengan melibatkan banyak ilmuan dalam berbagai

    bidang. Model ijtihad ini merupakan salah satu terobosan dalamsejarah hukum Islam karena sebelumnya dilakukan secara individual.

    Tentunya, terobosan ini merupakan jawaban terhadap kondisi riil

     yang dihadapi umat Islam mengingat pada masa kini adanya

    keterbatasan para juris Islam.

    Keterbatasan yang dimaksud boleh jadi disebabkan karena

    kemampuan dalam pengua- saan berbagai disiplin ilmu yang

    berhubungan langsung dengan masalah yang muncul. Sebagai-mana

    diketahui bahwa kecenderungan sekarang adanya spesialisasi (at-takha-

    shush) keilmuan yang semakin tajam termasuk dalam Islam seperti

     yang digagas al-Murtadha Muthahhar. 3 

    Spesialisasi tersebut

    meliputi bahasa Arab, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan lain

    sebagainya. Pada bidang masing-masing itupun terjadi pembidangan

    lagi. Padahal di antara syarat-syarat ijtihad yang disebutkan oleh para

    ushuliyun adalah penguasaan berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman

    (Muhammad Hasan: 1981: 496-500) yang hampir nyaris sempurna,

    tetapi sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu, perbedaan pendapat

    diantara cendikiawan muslim semakin tidak bisa dihindari karena

    masalahnya didekati dengan spesialisasi ilmu yang berbeda. Bila halitu tetap dipaksakan dikuatirkan cara memandang suatu persoalan

    akan seperti “mata kuda” tanpa memandang kiri kanan. Artinya, tidak

    melibatkan bidang-bidang lain sehingga pendapat hukum yang muncul

    tidak komprehensif.

    Tambah lagi dalam mengartikulasikan ide dan merespon

    perubahan yang terjadi terutama sejak munculnya paradigma baru di

    dalam melakukan pendekatan ilmu-ilmu keislaman seperti pendekatan

    historitas-empirik di samping pendekatan normativitas-idealistik (Amin

     Abdullah: 1999: v-vii). Hal itu menyebabkan munculnya kritik tajam

    terhadap tradisi yang sedang berjalan hingga muncul gagasan progresif

    pentingnya membongkar kembali apa yang sudah dianggap mapan

    selama ini. Selain itu, persoalan yang terjadi di tengah masyarakat

    semakin rumit dan komplit akibat dari perkembangan dan kemajuan

    tekhnologi. Interaksi dan aktivitas perbankan, perda- gangan bursa,

     variasi jenis asuransi, transaksi ekonomi modern, bio-teknologi, isu

    3

      Gagasan spesialisasi keilmuan umum juga terjadi didalam tradisi keilmuanIslam. Para pakar hukum Islam hanya memilih satu bidang khusus yang

    dipelajarinya secara intensif dan mendalam (Murtadha Muthahhari: tt: 29)

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    10/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 92

    gender, HAM dan politik global adalah contoh-contoh masalah

    kontemporer yang tidak cukup dibahas dan ditentukan hukumnyahanya dengan ijtihad individual. Oleh karena perubahan tersebut telah

    mempengaruhi pola hidup dan interaksi sosial umat Islam di tengah

    pluralisme budaya dan agama (Ilyas Supena dan M. Fauzi: 2002: 5).

    Bilamana persoalan-persoalan tersebut hanya diijtihadkan

    secara individual dan didekati dengan satu disiplin ilmu tidak akan

    mungkin menyelesaikan dan menghasilkan pendapat hukum yang

    lebih komprehensif karena keterbatasan. Dalam hal itu, diperlukan

    lembaga ijtihad yang berang-gotakan ulama dari berbagai disiplin ilmu

    seperti agama, ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, hukum dan

    sebagainya (Harun Nasution: t.th: 115). Sebab putusan bersama dari

    para anggota yang berbeda bidang keahliannya itu lebih mendekati

    kebenaran dan lebih kuat daripada putusan yang diambil secara

    sendiri-sendiri oleh ang- gota-anggota yang memiliki satu bidang

    keahlian (Nadiah Syarif al-Imari: 1981: 115). Pada ranah itu,

    meminjam istilah Syamsul Anwar, ijtihad yang bersifat integratif-

    interkonektif.4  Antar bidang ilmu dan disiplin.5  Adalah jalan

    terbaik untuk menghasilkan hukum yang kompre-hensif sehingga

    persyaratan yang dituntut didalam kitab-kitab ushul fiqh tersebut dapatterpenuhi secara kolektif. Dilihat dari sisi sejarah tuntutan ijtihad

     yang bersifat holistik ini sudah disadari oleh banyak cendikiawan Islam

    sejak paruh abad ke-20, (dalam Tholhatul Chaoir dan Ahwan

    Fanani: 2009: viii).

    Dalam konteks demikian Majmu‟  al-Buhuts al-Islamiyyah,

    4  Pendekatan integratif-interkonektif memiliki dua sisi yang terpisah. Dalam

    integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, yaitu;

    dengan mengadakan perubahan menyangkut paradigm, teori, metode, danprosedur-prosedur teknis dalam ilmu bersangkutan. Sedangkan didalam

    interkoneksi tidak terjadi restruktisasi semacam itu, melainkan yang ter- jadi

    adalah perluasan perspektif dengan menyerap informasi pelengkap dari ilmu lain.

    Dengan kata lain interkoneksi merupakan proses pengkajian dalam suatu disiplin

    ilmu terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan

    sendiri dalam rangka komplementasi, konfirmasi, kontribusi atau komparasi

    (Syamsul Anwar: 2011: 2-3)5 Dalam meghadapi derasnya perubahan sosial yang terjadi dewasa ini bilama

    didekati hanya dengan menghandalkan monodisiplin umat Islam akan

    menghadapi kesulitan didalam mengembangkan tradisi ka- rena akan kesulitan

    ketika berhubungan, bersentuhan dan berkomunikasi dengan tradisi keilmuansosial, humaniora dan eksakta yang berkembang pesat diberbagai tempat, lebih-

    lebih dibelahan bagian Barat, China, Jepang dan berbagai tempat yang lain

    (Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani: 2009: viii)

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    11/24

    93 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

     yaitu satu lembaga ilmiah yang berada di bawah Universitas al-

     Azhar, Mesir (Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani:2009: viii) lahirdengan pendekatan yang berbeda. Selain mempertimbangkan

    pendapat yang berkembang dalam mazhab hukum tertentu, juga

    mengkaji perdebatan yang terjadi pada lintas mazhab (Jalaluddin

    Rahmat:1996: 42). Artinya, fatwa dan hasil ijtihad ulama yang berasal

    dari berbagai mazhab sebelumnya menjadi pertimbangan untuk

    melahirkan fatwa baru. Sejauh hasil ijtihad masa lalu dipandang masih

    sangat relevan untuk kondisi kekinian, pendapat tersebut menjadi

    pertimbangan utama bahkan dengan alasan tertentu kembali

    diperkuat. Jauh dari itu, pertimbangan disiplin ilmu lain dipandangsangat penting karena semakin kaya dengan pengayaan dan

    pendekatan tentunya semakin tepat keputusan hukum yang akan lahir.

    Salah satu perbedaan penting dari ijtihad yang dilakukan

    secara individual adalah keterlibatan banyak orang dan multi disiplin

    ilmu. Ijtihad model ini dipandang lebih tepat dalam menjawab

    persoalan yang sedang diha- dapi umat Islam. Bilamana hal ini bisa

    ter- wujud, maka hasilnya dalam pandangan Majmu‟ sampai pada

    tingkat mutlak (dalam Jalaluddin Rahmat: 1996: 42). Oleh karena

    pendekatannya lebih kaya dan terintegratif. Gagasan ini pada konteksIndonesia sudah terimplementasi pula dengan munculnya beberapa

    lembaga di organisasi-organisasi Islam seperti Majelis Tarjih

    Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nahdhtul Ulama), Dewan Hisbah

    (Persis) dan Komisi Fatwa (MUI).

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majmu‟ al-Buhuts

    secara kelembagaan sudah mempelopori terjadinya ijtihad secara

    kolektif sebagaimana yang terdapat dalam keputusan muktamar

    Maret 1964 di Khairo yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan secara

    kolektif (dalam Jalaluddin Rahmat: 1996: 42 danhttp://media.isnet.org).

    Fatwa dan Analisis Istimbat Hukum

     Aliran Qadiyaniyah (Ahmadiyah)

    Pada tanggal 26 Desember 2007M, Majmu‟ al-Buhuts

    mengeluarkan fatwa tentang ajaran yang dikembangkan oleh

     Ahmadiyah. Hal itu, dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian besarumat Islam diberbagai belahan dunia terutama Mesir. Selain ajaran

     yang dibawanya menyentuh hal-hal yang bersifat fundemental dan

    http://media.isnet.org/http://media.isnet.org/http://media.isnet.org/http://media.isnet.org/http://media.isnet.org/

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    12/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 94

    krusial, juga cara mereka membangun gerakan yang bekerjasama

    dengan pihak penjajah yang oleh umat Islam lainnya dipandangmusuh.

    Fatwa tersebut memberikan penjelasan bahwa ajaran yang

    dibawa dan dikembangkan oleh Ahmadiyah Qadian adalah keliru dan

    menyimpang bahkan difatwakan berada di luar Islam. Hal itu,

    disebabkan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah dipandang sudah

    menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya (Majmu‟ al-Buhuts

    al-Islamiyah: 2010: 71). Wahyu yang dipahami oleh Ahmadiyah

    adalah keliru (Majma‟  al-Buhuts al-Islamiyah:2010: 74) oleh karena

    turunnya wahyu telah berakhir dengan berakhirnya para nabi. Berbeda

    halnya dengan ilham, yang bisa didapatkan oleh siapapun. Wahyu

     yang dimaksudkan didalam QS. An-Nahl: 68 adalah dalam artian

    ilham (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010: 75).

    Kemudian yang dimaksud dengan term khatam al-anibiyyin

     yang terdapat didalam QS. al-Ahzab: 40 adalah penutup. (Majma‟ al-

    Buhuts al- Islamiyah: 2010: 75). Dengan demikian jelas keyakinan

     Ahmadiyah keliru karena ini adalah kesesatan yang nyata yang tidak

    boleh dibiarkan (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 71)

    sebagaimana yang dijelaskan dalam (Qs. Al Imran: 178).

    Begitu juga pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-

    Masih, al-Mahdi dan jihad berada dalam kekeliruan karena

    bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Jihad didalam Islam

    sangat dan amat diperlukan bahkan berperang sekalipun jika

    kondisinya menuntut untuk itu baik dalam rangka untuk

    mempertahankan agama maupun tanah air. Berbeda dengan Ahma-

    diyah, jihad tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, salah satu poin

    penting dalam hal ini adalah ketundukan dan loyalitasnya terhadappemerintah yang sedang berkuasa (Majma‟  al-Buhuts al-Islamiyah:

    2010:76) sekalipun penjajah seperti kolonial Inggris dimasa

    kelahirannya

     Ajaran yang disebarkan oleh Mirza tersebut menimbulkan

    masalah diinternal Islam karena perbedaannya tidak hanya terkait

    dengan wilayah ijtihadiyah, tetapi sudah memasuki ranah yang krusial,

     yaitu aqidah. Begitu juga didalam menjalankan gerakannya lebih

    memilih menggandeng pihak penguasa daripada sesama muslim

    meskipun penjajah, yang oleh umat Islam lain menjadi musuh.

    Berdasarkan hal itu, Majmu‟ memfatwakan bahwa Mirza

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    13/24

    95 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    Ghulam Ahmad tidak obah seperti Musailamah al-Kazab di masa Nabi

    Muhammad saw (Majma‟  al-Buhuts al-Islamiyah: 2010:71) dankehadirannya tidak lepas dari kepentingan politik kolonial Inggris

    bahkan mereka dilindunginya (Maj-ma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010:

    75).

    Fatwa ini dikeluarkan selain didasarkan kepada al-Qur‟an dan

    as-Sunnah dengan merujuk kepada mainstream tafsir ulama klasik serta

    analisis terhadap pendapat ulama sebelumnya terutama Imam Akbar

    al-Syeikh Jad al-Haq, Syeikh al-Azhar, yang menegaskan bahwa orang

    Islam yang masuk kedalam kelompok ini dipandang sudah keluar dari

    Islam (murtad). Oleh karena itu, mereka tidak dibolehkan masuk

    kedalam mesjid umat Islam. Apabila mereka meninggal dunia tidak

    dibolehkan dimakamkan di pemakaman umat Islam (Majma‟ al-

    Buhuts al- Islamiyah: 2010:76). Hal ini didasarkan kepada QS. al-

    Taubah: 17. Bersamaan dengan itu, Majmu‟ dalam fatwanya itu

    merujuk pula kepada fatwa yang sudah dikeluarkan Dar al- Ifta‟. Bila

    dilihat dari sisi proses keluarnya fatwa tersebut lahir setelah melalui

    proses kajian dari berbagai perspektif terutama bidang bahasa

     Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan sejenisnya.

    Di antara ulama yang terlibat secara aktif dalam pengkajiannya

    baik sebagai narasumber maupun peserta aktif adalah Muhammad al-

    Khudariy Husein, Syeikh al-Azhar; Husnaini Makhluf, Mufti al-Diyar

    al-Misr; Muhammad Abu Zahrah, Ulama Besar al-Azhar; Said

    Muhammad al-Murshafa, dosen ulumul hadis Universitas al-Azhar;

    Muhammad al-Kha- syau‟iy, dosen ulumul hadis Universitas al-Az har;

    Muhammad Yusra Ibrahim, Wakil Rektor Universitas Amrikiyah al-

    Maftuhah (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 79-88).

    Bank ASI

     Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan (nutrisi) yang terbaik bagi

    bayi, karena pengolahannya telah berjalan secara alami dalam

    tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih

    dahulu. Begitu anak itu lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan.

    Oleh sebab itu, lembaga kesehatan dunia merekomendasikan agar

    setiap anak yang dilahirkan mestinya diberikan ASI. Karena begitu

    sangat pentingnya air susu ibu bagi anak, beberapa NGO

    berinisiatif mendirikan bank susu. Bank ASI ini tentu akan

    bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi anak. Hanya saja,

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    14/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 96

    masalahnya didalam Islam persoalan susu tidak hanya sekedar

    pemenuhan nutrisi bagi pertumbuhan pisik dan psikis anak, tetapiakan menimbulkan masalah hukum baik bagi anak itu sendiri maupun

    terhadap orang yang menyusui dan saudara sesusuannya.

    Pada ranah demikian Majmu‟ mengeluarkan fatwa tidak

    membolehkan adanya bank asi karena dipastikan akan

    menimbulkan kemudharatan (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010:

    79-88). Kemudharatan yang dimaksud dapat terlihat dari beberapa

    indikator berikut: Pertama, sulit mengetahui susu itu berasal dari

    siapa, apalagi kalau terjadi pencampuran dari berbagai tempat.

    Kondisi seperti ini akan menimbulkan masalah larangan pernikahan

    seperti yang ditegaskan dalam QS. An-nisak: 23.

    Dalam hal ini Muhammad Hilmiy, Sekretaris Jenderal Majmu‟ 

    menjelaskan bahwa pendirian bank susu memiliki maslahat bagi anak-

    anak, yaitu tersedianya nutrisi baginya, namun mafsadahnya lebih

    besar daripada kerusakan, yaitu terjadinya pencampuran nasab

    (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 243).

    “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu

     yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudarabapakmu yang perempuan; saudara- saudara ibumu yang perempuan;

    anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak

    perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang

    menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.”  (Lajnah min

    asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 251).

    Kedua, dampak kerusakan terhadap akhlak. Susu sebagai nutrisi

     yang terbaik bagi anak (bayi) secara langsung akan mempengaruhi

    prilaku dan karakter anak. Oleh karena bank susu mengumpulkan

    susu dari berbagai sumber (donor) atau mungkin dibeli tidak lagimempertimbangkan asalnya baik muslim maupun non muslim serta

    kemungkinan ada susu yang tidak sehat. (Lajnah min asatazah qism

    al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 262). Dalam kaitannya dengan itu, Majmu‟

    berpendapat tidak boleh mendirikan bank ini, karena sejak didirikan

    menimbulkan kemudharatan (dharar) yang besar dan kemafsadatan

    (mafsadah) yang serius, yaitu pencam puran nasab, dimana tidak

    mungkin penjual dan pembeli bisa memilahnya secara ketat.

    Mendasar (krusial) di dalam Islam, oleh karena masuk kedalam al- 

    Kuliyat al-khams (al-Syatibi: t.th: 326) yang oleh syara‟ wajib dipelihara.

    Lebih lanjut Muhammad Hilmy mengemukakan bahwa apabila

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    15/24

    97 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    terdapat dua hal yang berbeda didalam satu masalah antara

    kemaslahatan dan kemudharatan, maka didahulukan menghilangkan yang mafsadah. (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th:

    244) “ menolak kemafsadatan lebih utama daripada mengambil

    kemaslahatan.” Oleh sebab itu, bila terjadi benturan mafsadah dan

    maslahah lebih utama menghilangkan mafsadah daripada mengambil

    maslahah.

    “ Apabila kamu dihadapkan oleh suatu masalah dengan masalah

     yang lain, maka ambilah daripadanya mana yang kamu mampu.

     Apabila kamu dilarang tentang sesuatu, maka hendaklah

    menjauhinya.” 

    Kebutuhan anak terhadap nutrisi (susu) merupakan kemaslahatan,

    sedangkan yang di- larang adalah terjadinya pencampuran nasab.

    Bilamana anak-anak sampai meminum susu yang berasal dari bank

    susu menimbulkan mudharat yang lebih besar (Lajnah min asatazah

    qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 243). Keharamannya juga berlaku bagi

    orang yang memberikan susunya pada bank susu karena ia telah

    memberikan kemafsadatan pada orang lain (Lajnah min asatazah qism

    al-Fiqh al- Muqaran: t.th: 245)

    Selanjutnya susuan yang sampai menimbulkan keharaman

    pernikahan menurut Majmu‟ bukan dilihat dari sisi pengertian radha- 

    ‟ah secara lughawi seperti yang dipahami oleh mazhab al-Zahiri, tetapi

    dilihat dari subtansi dari susu tersebut, yaitu kemanfaatan nutrisi

    (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al- Muqaran: t.th: 243). Dengan

    demikian haram hukumnya nikah orang yang sesuan meskipun

    tidak menyusu pada tetek perempuan itu (Lajnah min asatazah qism

    al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 259).

    Berbeda dengan pendapat Majmu‟, sebagian ada yangberpendapat bahwa mendirikan bank susu itu boleh. Hal ini

    didasarkan pada pengertian radha‟ itu sendiri seperti yang

    dikemukakan oleh ulama Zhahiri bahwa yang dimaksud dengan

    radha‟ah didalam bahasa Arab adalah isapan langsung pada tetek ibu

     yang terkandung di dalam susu dan meminum susunya. Oleh 

    menumbuhkan daging dan penguatan tulang. Jadi, yang dimaksudkan

    dengan radha‟  itu adalah sampainya susu itu kepada rongkongan dari

    mulut, hidungnya (as-sa‟uth) atau lainnya. Artinya, sama saja ada atau

    tidak adanya isapan. Isapan itu adalah sebab untuk sampainya susutersebut. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ibn

    Mas‟ud ia berkata: Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Tidak ada

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    16/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 98

    susuan kecuali sesuatu yang memperkuat tulang dan menumbuhkan

    da- ging.” (HR. Abu Daud dan al-Daruqutni).

    Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan

    Muslim dari „ Aisyah ra bahwa seorang laki-laki masuk di samping Nabi

    saw dan laki-laki itu berubah wajahnya. Ia berkata: sesungguhnya ini

    adalah saudara- ku. Nabi saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya

    susuan itu adalah me- ngenyangkan”.(Lajnah min asatazah qism al-

    Fiqh al-Muqaran: t.th: 243)

    Berikutnya hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan as-

    Syafii dari Ummi Salamah ia berkata: Rasulullah saw bersabda yangartinya: karena itu, meminum susu tidak dengan cara bukanlah

    disebut radha‟  (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th:

    246).

    “Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak

    perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki; anak-anak

    perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang

    menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”.

    Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan Majmu‟ di  atas

    kelihatan bahwa ketidak bolehan mendirikan bank susu didasarkan

    pada al-Qur‟an dan hadis-hadis tentang radha‟ah juga didasarkan

    kepada pertimbangan maslahat dan mudharat. Hadis-hadis tentang

    susuan menyebutkan bahwa radha‟ adalah sampainya susu itu kepada

    rongga anak sehingga membawa efek terhadap pertumbuhan pisik dan

    psikisnya tanpa mempersoalkan melalui apa susu itu sampai. Inilah

     yang menyebabkan adanya larangan nikah. Berbeda dengan

    pandangan ulama Zahiri yang berangkat dari makna radha‟, yaitu

    isapan susu dari al-sady (tetek) perempuan. Jadi, dalam pemahaman

     yang seperti ini yang terpenting adalah isapannya itu. Oleh sebab

    itu, yang menimbulkan larangan nikah adalah isapan dan meminum

    susunya itu. Selain berdasarkan hadis, Majmu‟ juga lebih

    mempertimbangkan kepada mudharat ketimbang kemaslahatan yang

    ditimbulkannya, yaitu akan mengaburkan nasab. Nasab didalam Islam

    termasuk masalah yang sangat krusial karenanya masuk pada adh- 

    dharuriyat.

    Berdirinya bank ASI pada hakikatnya mendatangkan manfaat

    (kemaslahatan), yaitu terpenuhinya nutrisi anak sehingga

    perkembangan pisiknya tidak terganggu karena kekurangan nutrisi.

     Akan tetapi, persoalannya begitu sangat rumit ketika menelusuri asal

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    17/24

    99 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    dari susu tersebut apalagi dengan adanya pencampuran karena

    dihimpun dari berbagai sumber. Kerumitannya itu akan menimbulkanmasalah 20 tahun yang akan datang pada saat si anak akan

    melangsungkan pernikahan. Besar kemungkinan tidak akan bisa

    tertelusuri siapa ibu yang memiliki susu ketika dia kecil dulu termasuk

    saudara sesuannya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami

    bahwa ijtihad dilakukan Majmu‟ melalui proses kajian berbagai

    disiplin ilmu termasuk ilmu gizi.

    Dari sisi metode ijtihad Majmu‟ memposisikan al-Qur‟an dan

    hadis sebagai sumber pokok sedangkan maslahah digunakan dalam

    pertimbangan. Dengan demi kian dapat dikatakan, Majmu‟ dalam

    fatwa ini konsisten menggunakan bangunan teori yang dibangun

    sebelumnya.

    Penentuan Awal bulan Qamariah

    Penentuan awal bulan qamariah adalah persoalan klasik yang

    selalu aktual. Disebut demikian karena hampir setiap tahun

    persoalannya selalu mengemuka dan selalu menjadi topik hangat

    dibicarakan masyarakat luas. Kadang nuansanya tidak lagi murni

    persoalan agama-ilmu pengetahuan, tetapi didominasi oleh

    kepentingan politik. Perbedaan dan perdebatan tersebut berada

    diseputar rukyat dan hisab. Dalam kaitannya dengan itu Muktamar

    Majmu‟  Al-Buhuts ketiga yang diadakan pada tahun 1966 M,

    menetapkan bahwa:

    1)  Pada dasarnya yang dipakai untuk mengetahui masuknya

    bulan qamariyah apa pun, adalah rukyah, sebagaimana

    disebutkan dalam hadits yang shahih. (Al-Haria ibn Abi

    Usamah:1992:409). Jadi, rukyah adalah yang pokok, tetapi

    tidak bisa dijadikan sandaran apabila terdapat faktor lain yang

    mempengaruhi akurasi rukyah ini.

    2)  Penetapan rukyah harus bersifat mu- tawatir dan

    menyeluruh, meski bisa juga dengan berita dari satu orang

    (khabarul wahid) baik laki-laki maupun perempuan selama

    informasinya akurat dan tidak diragukan dikarenakan sebab

    tertentu. Di antara sebab yang meragukan, yaitu jika informasi

    rukyah dari perorangan ini menyalahi hisab falak yang sudah

    diakui kredibilitasnya yang dikeluarkan oleh lembaga yang

    kredibel.

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    18/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 100

    3)  Informasi dari perorangan berlaku bagi orang tersebut dan

    orang yang percaya kepadanya. Adapun menyuruh semuaorang untuk mengikuti, maka hal ini tidak bisa dilakukan

    kecuali setelah ada penetapan rukyah dari pihak yang

    ditunjuk oleh negara untuk menangani masalah ini.

    4)  Hisab bisa dijadikan pegangan dalam penetapan masuknya

    bulan Ramadhan apabila tidak bisa dilakukan rukyah dan

    tidak memungkinkan untuk menggenapkan bulan

    (Sya‟ban) sebelumnya menjadi tiga puluh hari.

    5)  Muktamar memandang, bahwa perbedaan tempat munculnya

    bulan (ikhtilaful ma-tha- li‟) tidak bisa dijadikan alasan,sekalipun wilayah-wilayah itu berjauhan letaknya, selama

    masih ada sebagian malam yang sama pada saat rukyah,

    meskipun sedikit. Perbedaan tempat munculnya bulan ini

    baru berlaku jika letak antar negeri itu sangat jauh dan

    tidak ada bagian malam yang dilalui bersama.

    6)  Muktamar menghimbau kepada masyarakat dan

    pemerintahan negara-negara Islam, agar hendaknya masing-

    masing memiliki lembaga keislaman yang diakui yang

    berwenang menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan tetapmenjalin hubungan antara satu dengan lainnya. Selain itu,

    lembaga ini juga mesti bekerja sama dengan para

    astronom dan ahli falak yang bisa dipercaya (CD Room: al-

    Maktabah al-Syamilah, Fatawa al-Azhar .

    Berdasarkan hal itu, dapat dipahami bahwa fatwa ini

    menggunakan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah

    melaksanakan rukyat hilal dalam menetapkan rukyat. Akan tetapi,

    didalam fatwanya tidak mengungkapkan bagaimana hubungannya

    dengan hadis yang berkaitan dengan kondisi umat Islam yang dalamkeadaan ummi dan belum menguasai ilmu hisab sebagaimana yang

    digunakan oleh pendukung hisab (Yusuf al- Qardawi: 1993: 208).

    Dalam pada itu, Majmu‟ didalam fatwanya tidak hanya terpaku

    kepada rukyat an-sic  walaupun dikatakan rukyat adalah pokok.

    Keberadaan ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu falak tampak

    dipertimbangkan bahkan rukyat bisa jadi tidak dilaksanakan termasuk

    menggenapkan bulan (Sya‟ban) sebelumnya menjadi tiga puluh hari.

    Pada saat dilakukan rukyat ada yang mengklaim bahwa hilal kelihatan,

    tetapi menurut ilmu hisab mustahil dapat dilihat, maka rukyat yangseperti itu tidak dapat dijadikan sandaran.

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    19/24

    101 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    Baitul Mal sebagai Ahli Waris

    Baitul Mal adalah lembaga keuangan yang dikelola oleh

    negara sudah tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi saw.

    Fungsinya lebih nyata sejak masa Umar bin Khatab menjadi kepala

    pemerintahan (khalifah). Salah satu pemasukan Baitul Mal adalah dari

    harta orang yang sudah meninggal dunia. Dalam kaitannya dengan itu,

    ulama fiqh berbeda pendapat tentang status Baitul Mal sebagai salah

    satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Berkaitan dengan itu, Mujma‟

    memetakan perdebatan itu kepada tiga kelompok besar, yaitu;

    Pertama, Baitul Mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak,baik yang terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal

    dunia dan tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi

    harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab mewarisi yang

    telah disepakati, maka Baitul Mal berhak mewarisi harta peninggalan

    tersebut serta mengguna-kannya untuk kemaslahatan kaum muslimin.

    Sebab kaum muslimin pun dibebani kewa-jiban membayar diyat

    (denda) untuk saudaranya sesama muslim yang tidak berkerabat.

    Dengan demikian, kedudukan mereka bagaikan

    „ashabah (golongan yang mewarisi) dalam lingkungan kerabat.Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Maliki-yah dan Imam Syafii

    dalam qaul qadim, pendapat lamanya di Baghdad (Komite Fakultas

    Syari‟ah Universitas al-Azhar: 2011: 41).

    Kedua, Baitul Mal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan

    demikian, andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki

    ahli waris sama sekali, harta peninggalan tersebut diserahkan ke Baitul

    Mal, bukan atas dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi

    untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ashabah. Pendapat ini

    dikemukakan Imam Syafii dalam qaul jadid. Kalangan Malikiyyah danSyafiiyah yang bersandar pada pendapat ini berargumentasi dengan

    sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Daud: “ Aku adalah

    ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku mengerti tentang

    dia dan aku mewarisinya.”(as- Shan‟ani: t.th: 101) 

    Meskipun Rasulullah saw. menjadi ahli waris orang yang tidak

    mempunyai ahli waris, beliau tidak mewarisi untuk dirinya sendiri.

     Akan tetapi, harta peninggalan yang beliau warisi dibagikan untuk

    kepentingan kaum muslimin, karena kaum muslimin juga dibebani

    kewajiban membayar diyat untuk simayit, seperti „ashabah dalam

    lingkungan kerabat. Dengan demikian, penguasa dapat menyimpan

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    20/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 102

    seluruh atau sisa harta peninggalan di Baitul Mal kepada orang

     yang dikehendakinya (as-Shan‟ani: t.th: 101).

    Ketiga, Baitul Mal bukan menjadi pe- nyebab mewarisi secara

    mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak. Ini adalah penda- pat

    kalangan Hanafiyyah dan Hambaliyyah. Kalangan ulama yang

    berpegang pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Anfal: 75: “(daripada

     yang bukan kera-bat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha

    mengetahui segala sesuatu.” 

    Majmu‟ dalam hal ini lebih memilih pendapat yang ketiga ini,

    karena inilah dipandang yang lebih kuat. Oleh sebab itu, sisa harta waris dikembalikan kepada ash- habul furudh atau diwariskan kepada

    dzawi al-arham. Jika tidak ditemukan seorang pun dari as-shabul

     furud, „ashabah, atau dari dzawi al-arham,  warisan dialihkan ke Baitul

    Mal. Pengalihan ini bukan berdasarkan ang- gapan bahwa Baitul Mal

    merupakan ahli waris, tetapi Baitul Mal adalah sebagai pe- nyimpan

    (penjaga) harta waris hingga ahli waris si mayit diketahui (as-Shan‟ani:

    t.th:101).

    Pendapat ini didasarkan pada QS. Al- Anfal: 75 di atas. Lebih

    lanjut Majmu‟ menggunakan alasan bahwa pihak yang berhak menjadiahli waris yang disebut didalam nash disebabkan karena; Pertama,

    memiliki hubungan nasab dengan pewaris seperti yang disebutkan

    didalam QS. An- Nisak: 11. Dalam hal ini Majmu‟ berpendapat bahwa

    sebab-sebab yang mewarisi yang paling kuat adalah nasab, karena;

    pertama, keberadaan nasab lebih awal dan utama daripada yang

    lainnya. Ketika seseorang lahir, secara otomatis dia menjadi anak atau

    saudaranya si fulan. Kedua, sebab mewarisi karena nasab tidak bisa

    hilang, senantiasa utuh sampai akhir hayat. Ketiga, sebab nasab

    dapat menghalangi sebab nikah secara nuqshab. Ke-empat, nasabdapat mewarisi warisan “Dan orang-orang yang beriman sesudah  itu

    kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu terma-

    suk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu

    sebagi- annya lebih berhak terhadap sesamanya  dengan cara fardh

    (bagian tetap) dan ta‟shib  (as-Shan‟ani: t.th: 44). Kedua, memiliki

    hubungan perkawinan, suami istri. Suami menjadi ahli waris bagi

    istrinya dan sebaliknya istri menjadi ahli waris bagi suaminya.

    Kedudukan suami dan istri sebagai ahli waris dijelaskan didalam

    QS. An-Nisak: 12. Dengan begitu keberadaan Baitul Mal karenaketiadaan ahli waris adalah untuk kemaslahatan bukan sebagai ahli

     waris.

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    21/24

    103 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    Dengan demikian dapat dipahami bahwa fatwa ini didasarkan

    pada sumber pokok hukum, yaitu al-Qur‟an dan hadis sebagaimanadiposisikan sejak semula. Kemudian pendapat ulama dari berbagai

    mazhab dijadikan sebagai pertimbangan dengan melakukan

    pentarjihan terhadap pendapat-pendapat tersebut. Oleh sebab itu,

    fatwa ini lebih memperkuat salah satu pendapat yang berkembang

    dalam wacana hukum Islam.

    Ihtikar

    Ihtikar sebagai perbuatan menimbun kebutuhan masyarakat yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dari pasar sehingga

    harga melonjak secara drastis disepakati oleh ulama fiqh merupakan

    perbuatan yang dilarang (mahzur) oleh syara‟. Larangan tersebut

    disebabkan karena menimbulkan mudharat bagi masyarakat.

    Berbeda dengan ulama klasik (Hanafiyah, Hanabilah, Syaf i‟  yah,

    Malikiyah dan Zahiriyah), Majmu‟ berpendapat bahwa ihtikar itu tidak

    hanya terbatas kepada makanan, hewan dan pakaian saja, tetapi

    meliputi semua yang menjadi kebutuhan (hajat) orang banyak (Lajnah

    min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 306) termasuk didalamnyajasa. (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 306).

    Dalam pada itu, pada ihtikar terdapat dua kepentingan yang

    berlawanan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemas- lahatan

    konsumen (orang banyak). Ditinjau dari sisi tujuan syara‟ didalam

    menetapkan hukum apabila terjadi pertentangan antara kepentingan

    orang banyak dengan kepen- tingan pribadi, maka kepentingan

    orang banyak harus didahulukan.

     Artinya, untuk memelihara kepen- tingan orang banyak,

    kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena kepentingan pri-

    badi dapat mere-sahkan masyarakat banyak. Pada dasarnya pedagang

    (pemilik barang) boleh menjual barangnya sesuai dengan

    keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan itu orang banyak

    mendapat mudharat.

     Apabila ihtikar terjadi, maka peme- rintah harus turun dalam

    menstabilkan pasar bahkan pemerintah berhak untuk memaksa

    pedagang untuk menjualnya sesuai dengan harga normal. Sekiranya

    para pedagang terse- but enggan untuk menjualnya, peme-rintahboleh menyita barang tersebut dan membagi- bagikan kepada

    msyarakat.

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    22/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 104

    Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Majmu‟

    dalam kasus ihtikar selain bertumpu pada keumuman hadis-hadis yang berkaitan dengan larangan melakukan penimbunan juga dengan

    mempertimbangkan kemudharatan yang ditimbulkannya. Pada

    ihtikar terdapat dua kepentingan kemasla- hatan yang saling

    bertentangan, yaitu kemas- lahatan pedagang dan masyarakat.

    Oleh karena kepentingan pribadi jutru menimbul- kan mudharat bagi

    kepentingan masyarakat, maka kepentingan pribadi harus

    ditinggalkan. Dalam ranah seperti itu, tentunya peran pemerintah

    sangat diperlukan untuk kestabilan barang dan harga sehingga

    kemaslahatan dapat dicapai.

    Dengan demikian dapat dipahami bahwa Majmu‟ dalam

    fatwanya ini menggu- nakan hadis sebagai sumber pokok hukum.

    kemudian maslahah dijadikan sebagai pertim- bangan setelah terlebih

    melakukan kajian kri- tis terhadap pendapat ulama maz-hab

    sebelumnya. Jika dalam ijtihad ulama mazhab yang termasuk

    ihtikar hanyalah berkaitan de- ngan kebutuhan makanan pokok,

    Majmu‟  jus- tru memperluas cakupannya menjadi kebutuh- an hajat

    orang banyak dengan menggunakan keumuman hadis tentang

    larangann ihtikar.

    Penutup

    Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyah sebagai lembaga fatwa yang

    berada di bawah naungan Universitas al-Azhar telah mempelopori

    ter- wujudnya lembaga fatwa yang bersifat kolektif, yang sebelumnya

    lebih banyak diga- wangi secara pribadi (mufti). Ijtihad model ini tentu

    lebih dapat menjawab persoalan- persoalan masyarakat yang terus

    terjadi sei- ring dengan perkembangan ilmu pengetahuan danperubahan sosial secara komprehensif.

    Dalam implementasinya Majmu‟  menja- dikan al-Qur‟an dan

    hadis sebagai sumber pokok dalam istimbat hukum. Berdasarkan pada

    kasus-kasus yang dikemukakan sebe- lumnya terlihat bahwa kedua

    sumber pokok tersebut digunakan secara konsisten. Selain al- Qur‟an

    dan hadis, pendapat para ahli hukum Islam yang berkembang

    sebelumnya yang terdiri dari berbagai mazhab menjadi pertimbangan

    didalam penetapan hukum. Bahkan didalam praktiknya Majmu‟ lebih

    cenderung memilah dan memilih pendapat diantara yangberseberangan dengan cara melakukan pentarjihan. Cara ini

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    23/24

    105 Muamalah , V olume 01, Nomor 01, November 2015: 083-106 

    kelihatannya mewarisi tradisi keilmuan ulama-ulama klasik terutama

    pada fiqh muqaran. Selain dengan cara tarjih, Majmu‟ juga menjadikan maslahat sebagai motode dalam istimbat hukum.

    Dengan demikian jelas bahwa Maj-mu‟ didalam proses penetapan

    hukum tam-pak konsisten dengan teori yang diba-ngunnya.

    Bibliografi

     Abdullah, Amin, 1999. Studi Agama, Norma- tivitas atau Historitas?

     Yogyakarta: Pus- taka Pelajar.

     Anwar, Syamsul, 2011, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi,

     Yogyakarta: Suara Mu-hammadiyah.

     Al-Bukhari, tt. Shahih al-Bukhari, Juz III, Bairut: Alam al-Kutub.

    al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, 1992, Dha-wabit al-Mashlahah

     fi al-Syariah al- Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, Chaoir,

    Tholhatul, dan Fanani, Ahwan, (ed),2009, Islam dalam

    berbagai Pembacaan Kontemporer , Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    Dahlan, Abdul Azis, (ed), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid III

    Fanani, Muhyar, 2009, Fiqh Madani Kontruk- si Hukum Islam di Dunia

    Modern, Yog- yakarta: LkiS.

    al-Gazali, Abu Hamid,2008, al-Mustashfa min„Ilm al-Ushul,  Jilid I,

    Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah,

    Hasan, Muhammad, 1981,  Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri al-Islami,

    Beirut: Muassasah al- Risalah.

    Hitti, Philip K., 2005, History of the Arabs, Jakarta: Serambi Ilmu

    Semesta.

    al-Imari, Nadiah Syarif, 1981, al-Ijtihad filIslam, (Beirut:

    Muassasah al-Risalah, Komite Fakultas Syari‟ah Universitas

    al-Az-har, 2011, Hukum Waris, diterjemah-kan dari judul asli

     Ahkam al-Mawaris fi al- Fiqh al-Islamiy , Jakarta: Senayan

     Abadi Publishing,Lajnah min Asatazah Qism al-Fiqh al-

    Muqa- ran, tt, Qadhaya Fiqhiyah Mu‟ashi-rah, Chairo:

     Jami‟ah al-Azhar Kuliyah al- Syari‟ah wa al-Qanun bi al-Qahirah, Juz I Majma‟  al-Buhuts al-Islamiyah, 2010, Fata-

    wa K ibar Ulama‟  al-Azhar al-Syarif fi al-Baha‟iyah wa al- 

  • 8/18/2019 paradigma ijtihad contemporer

    24/24

    M. Syadli  – Paradigma Ijtihad Kontemporer 106

    diyaniyah, Khairo:t.p,

    Ibn Majah, tt, Sunan ibn Majah, Chairo: Isa al-Babi al-Halabi.

    Muthahhari, Murtadha, al-Ijtihad fi al-Islam, Teheran: t.tp, tt

    Nasution, Harun, 1994, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran

    dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.

    as-Shan‟ani, tt, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, Juz III

    Syam, A. Slamet Ibnu, Ijtihad Kolektif: Refleksi atas Kompleksitas

    Problematika  & Keterbatasan para Cendekiawan Islam

    Kontemporer , http://moslemz.  multiply. com/journal/item/111 diakses 12 April 2012

    al-Syatibi, tt, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟at, Beirut: Dar al-

    Fikr, Juz II

    Supena, Ilyas, dan Fauzi, M., 2002, Dekons- truksi dan Rekontruksi

    Hukum Islam, Semarang: Gama Media,

    Usamah, Al-Haria ibn Abi, 1992, Bugyah al- Bahia „an Zawa‟id Musnad

    al-Haria, al- Madinah al-Munawarah: Markaz Hid- mah

    al-Sunnah wa al-Sirah al-Naba- wiyah, Tahqiq: Husain

     Ahmad Shalih.

    Rahmat, Jalaluddin, (ed), 1996, Ijtihad dalam  Sorotan, Bandung:

    Mizan, Yanggo, Huzaemah Tahido, 1997, Pengantar   Per- 

    bandingan Mazhab, Jakarta: Logos.

    al-Qardawi, Yusuf, 1993, Fatawa Mu‟ashirah, Beirut: Dar al-Waf a‟, Juz

    II

    al-Qardawi, Yusuf, 1985, al-Ijtihad fi al- Syari‟at al-Islamiyyat ma‟aNazharat al-tahliliyat fi al-Ijtihad al-Mu‟ashir , Kuwait: Dar al-

    Qalam,

    Zulkarnain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahma- diyah di Indonesia,

     Yogyakarta: LKIS.

    al-Zuhaili, Wahbah, tt , Ushul al-Fiqh al- Islamiy,Damaskus: Dar al- 

    Fikr, Juz II  www.darifta.com bandingkan dengan www.

    alazhar.agu.com

     www://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidIH3.html diakses 8 April 2012

    http://moslemz/http://www.darifta.com/http://www.darifta.com/http://www.darifta.com/http://moslemz/