01. IJTIHAD

35
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi ajaran Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad. Ijtihad sendiri merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan. Tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya. Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya 1

description

ijtihad

Transcript of 01. IJTIHAD

Page 1: 01. IJTIHAD

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi

ajaran Al-qur’an dan Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits

kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud

dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.

Ijtihad sendiri merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada

zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para

sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode

tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan. Tetapi pada

masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.

Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan

kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu

disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,

fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil

ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang

terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala

lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu”

dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui

dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu

ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk

memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus

berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran

untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang

1

Page 2: 01. IJTIHAD

sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru terjadi saat ini dan kita sebagai

umat islam harus mengetahui seberapa begitu pentingnya memahami ijtihad sebagai kunci

untuk menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat islam sejak dulu, sekarang

dan yang akan mendatang. Ijtihad sebagai sumber ketiga setelah Al-qur’an dan Hadits inilah

yang membuat islam tidak kehilangan karakternya sebagai agama yang dinamis.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya

sebagai berikut:

a) Pengertian Ijtihad

b) Dasar Hukum Ijtihad

c) Kedudukan Ijtihad

d) Hukum Berijtihad

e) Kebenaran Ijitihad

f) Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah

g) Masalah yang Diijtihadkan

h) Macam-macam dan Cara-cara Ijitihad

i) Syarat-syarat Mujtahid

j) Tingkatan-tingkatan Mujtahid

C. TUJUAN PENULISAN

a) Untuk memenuhi tugas mata kuliah Modul PDPT bidang Pendidikan Agama

Islam

b) Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ijtihad baik itu dari segi.

pengertian, dasar hukum, kedudukan, kebenaran, sejarah, masalah yang

diijitihadkan, macam cara, syarat menjadi Mujtahid hingga tingkatan dari

Mujthaid itu sendiri.

2

Page 3: 01. IJTIHAD

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad berakar dari kata “jahda” secara etimologi berarti : mencurahkan segala

kemampuan (berpikir) untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya

digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan1.

Namun dalam al-Qur’an kata “Jahda” sebagaimana dalam Q.S 16 : 38, 24 : 53,

35 : 42, semuanya mengandung arti “Badzu al-Wus’i wa al-Thoqoti” (pengerahan segala

kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “al-Mubalaghah fi al-yamin” (berlebih

lebihan dalam sumpah)2. Dengan demikian arti ijtihad adalah pengerahan segala

kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.

Makna ijtihad selalu diidentifikasikan dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata

nabath (air yang mula-mula memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut

bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari

persembunyian” (Husein, 1991).

Adapun definisi Ijtihad secara terminology cukup beragam dikemukakan oleh

ulama ushul fiqih. Namun secara umum adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan

(Istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.” Dengan kata lain, ijtihad

adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk

memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam

istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha

yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan dibidang fiqih (Syafe'i, 1998).

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target

capaian ijtihad adalah :

1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah)

yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.

3. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dzhanni3.

1 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hal. 1062 http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html3 Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya : IAIN Ampel Press, 2004

3

Page 4: 01. IJTIHAD

Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,

ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang

bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi

mengandung kemungkinan benar (Hanafi, 1970).

B. Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum

Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas

maupun berdasarkan isyarat, diantaranya :

1. Dalil Al-Qur’an

- Surah An-Nisa’ : 59

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

- Surah Al-Hasyr: 2

�ول�ي �صار�أ ب ا األ� وا ي �ر� ب فاع�ت …

Artinya :

“… Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.

2. Adanya keterangan sunnah, yang membolehkan berijtihad

- Sabda Rasulullah saw kepada Ibn Mas’ud

4

Page 5: 01. IJTIHAD

“Berhukumlah engkau dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah apabila sesuatu itu engkau temukan pada dua sumber itu. Tapi jika engkau tidak menemukannya pada kedua sumber tersebut, maka berijtihadlah”.

- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,

ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu

berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan

Sunnah Rasul.

C. Kedudukan Ijtihad

Ijtihad merupakan sumber ketiga yaitu sebagai sumber operasional ajaran agama

Islam. Berbeda dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, ijtihad terikat dengan hal-hal sebagai

berikut4 :

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan

yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia

yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan

daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.

b. Hasil keputusunnya tidak mengikat, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak

berlaku bagi orang lain, berlaku untuk satu masa atau tempat tapi tidak berlaku

pada masa atau tempat yang lain.

4 Modul Pendidikan Agama Islam hal 79

5

Page 6: 01. IJTIHAD

c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab

urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.

d. Hasil keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-

Sunnah.

e. Dalam proses berijtihad harus diperhatikan faktor-faktor motivasi, risiko,

kemaslahatan umum, pemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri

serta jiwa ajaran Islam.

D. Hukum Berijtihad

Al-Toyyib Khuderi al-Syayid5, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir

berpendapat bahwa apabila syarat-syarat mujtahid telah cukup pada diri seseorang,

hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa sunnat dan

bisa pula haram.

1. Fardhu ‘Ain apabila dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat-syarat

sebagai mujtahid bilamana terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan

jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh

bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ‘ain apabila

seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang

menghendaki segera pendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada

mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.

2. Fardhu kifayah apabila disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan

menjelaskan hukumnya. Apabila satu di antara mereka melakukan ijtihad,

berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang

lainnya.

3. Berijtihad hukumnya sunat apabila dalam 2 (dua) hal :

Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya,

seperti pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan

Fiqh iftiradhi (fikih pengandian).

Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi

berdasarkan pertanyaan seseorang.

5http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/hukum-berijtihad.html

6

Page 7: 01. IJTIHAD

4. berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yakni :

Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash secara tegas (qath’i) baik

berupa ayat atau hadis Rasullullah atau hasil ijtihad itu menyalahi

‘ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.

Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seorang

mujtahid.. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan

menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara

dalam agama Allah tanpa ilmu dan hukumnya adalah haram.

E. Kebenaran Ijtihad

“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai ebenaran, maka ia mendapat

dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia

mendapatkan satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)

F. Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah

Ditinjau dari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman nabi

muhammad SAW, kemudian berkembang pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi

berikutnya hingga kini dan mendatang dengan memiliki ciri khusus masing-masing.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘amr ibn al-‘ash ra. Ia mendengar rosulullah

bersabda:” apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, kemudian dia

berijtihad dan ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya

salah baginya satu ganjaran.”

Demikian juga sebuah hadits yang sangat populer di kala nabi muhammad SAW,

hendak mengutus muadz sebagai hadis qodli’ (hukum) di Yaman, nabi bertanya

kepadanya:dengan apa kamu memutuskan perkara muadz ? lalu muadz menjawab :

dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah. Kalau kamu tidak menemukannya dalam

kitabullah?”pertanyaan nabi selanjutnya.” Aku akan memutuskan menurut hukum yang

ada dalam sunnah rasulullah,” jawab muadz lagi” kalau tidak kamu jumpai dalam

kitabullah maupun dalam sunnah rasulullah?” Beliau mengakhiri pertanyaannya, muadz

menjawab:”aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri”. Mendengar jawaban itu

rasulullah mengakhiri dialognya sambil menepuk dada muadz seraya beliau bersabda:

7

Page 8: 01. IJTIHAD

“segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk pada utusan rasulnya ke jalan

yang di ridhai oleh rasulullah”

Menyimak beberapa riwayat di atas dapat di pahami bahwa terjadinya ijtihad pada

masa nabi muhammad SAW bukan semata-mata disebabkan atas dorongan nabi sendiri,

namun juga lahir atas inisiatif dari sebagian sahabat, sebagaimana tergambar dari hadits

muadz di atas, baru pada masa sahabat, ijtihad benar-benar mulai berfungsi sebagai alat

penggali hukum guna menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi umat islam yang

hukumnya tidak secara tegas di jumpai dalam al-quran dan sunnah, maka muncullah para

sahabat terkemuka, seperti abu bakar, umar, utsman, dan ali, sebagai pelopor melakukuan

ijtihad. Oleh karena itu mereka selalu bersikap:

a. Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.

b. Saling tukar menukar informasi

c. Sering bermusyawarah untuk memecahkan masalah(ijma’).

d. Tidak menganggap pendapatnya paling benarsendiri, tetapi menghargai

pendapat orang lain.

e. Segera menarik fatwanya setelah mengetahui beberapa sunnah yang

bertentangan dengan fatwanya.

Pada masa daulat bani umayyah(661-750) atau periode tiga, berlakunya ijtihad

sama dengan priode-priode sebelimnya meskipun situasi dalam keadaan perpecahan

politik, banyak pemalsuan hadits dan tersebarnya fatwa yang berlawanan. Sebagai

puncaknya, muncullah beberapa mujtahid pada periode IV (bani Abbasiyah), dimana

pada fase ini fiqih islam mencapai puncak kejayaan bersama dengan kemajuan islam di

berbagai bidang. Sehingga periode ini sering di sebut ijtihad dan lahir para mujtahid

seperti:

a. Imam abu hanifah(150 H) di kuffah

b. Imam Malik bin Anas(179H) di madinah.

c. Imam Syafi’i (240 H) di Baghdad dan pindah ke mesir

d. Imam Ahmad bin Hambal(241 H) di baghdad

8

Page 9: 01. IJTIHAD

Selain empat imam madzhab di atas, sejarah juga mencatat mujtahid-mujtahid

terkenal lainnya seperti: imam zay ibn ali ibn al-khusain(80-122 H), imam ja’far al

shoddiq(80-148 H), dan masih banyak lainnya.

Sesungguhnya apabila ijtihad itu tidak ada maka akan memberikan dampak

negatif pada umat islam karena hukum-hukum islam yang semula dinamis menjadi statis

dan kaku, sehingga islam tertinggal zaman, bahkan masih banyak kasus baru yang

hukumnya belim di jelaskan oleh al-quran dan sunnah, serta belum di bahas oleh ulama’-

ulama’ terdahulu. Demikian juga akan menutup kesempatan bagi para ulama’ untuk

menciptakan pemikiran-pemikiran baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber

hukum islam sebagaimana diungkapkan oleh ibn taimiyah bahwa seorang tidak berhak

untuk memaksa orang lain dan mewajibkan sesuatu pada mereka, selain yang telah di

wajibkan Allah dan rasulullah, dan tidak boleh pula melarang kecuali sesuatu yang telah

dilarang oleh Allah dan Rasulnya, termasuk berijtihad6.

G. Masalah yang Diijtihadkan

Menurut Al-Ghazali (dalam Syafe’I, 1999 : 106), objek atau masalah ijtihad adalah

setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu,

diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek atau masalah ijtihad.

Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua

bagian :

1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang

telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil

yang qathi’ seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau

haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan

hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat …” (QS. An-Nur -56)

Ayat tersebut tidak boleh dijadikan masalah yang diijtihadkan untuk mengetahui

maksud shalat.

2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada

dalil-dalil yang bersifat Dzhanni (tidak pasti), baik dari segi maksudnya,

6 http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

9

Page 10: 01. IJTIHAD

keberadaannya (wurud), maupun dari segi penunjukannya terhadap hukum

(dalalah), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.

Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada

masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah

masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran,

sunnah maupun ijtima’. Hal ini merupakan masalah baru atau hukum baru.

Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nash, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada

ijtihad terhadap nash.

Apabila ada nash yang keberadaannya masih Dzhanni, hadits ahad misalnya, maka

yang menjadi lapangan ijtihad atau masalah yang diijtihadkan diantaranya adalah meneliti

bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.

Nash yang petunjuknya masih Dzhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara

lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas,

mutlaq muqqayyad, dan lain-lain.

Permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah

dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas,

istihsan, mashalah mursalah, dan lain-lain7.

H. Macam-Macam dan Cara-Cara Ijtihad

1. Macam-Macam Ijtihad

Dr. Dawalibi (dalam Syafe’i, 1999 : 104) membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang

sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :

a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.

b. Ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam

Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.

c. Ijtihad Al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam

Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan metode

Istishlah.

Pembagian di atas masih belum sempurna, Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi

ijtihad menjadi dua bagian saja, yaitu :

7 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hal. 106

10

Page 11: 01. IJTIHAD

a. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, dan tidak

menggunakan dali syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti

kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila

tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.

b. Ijtihad syari’ yaitu ijtihad yang didsarkan pada syara’ termasuk dalam pembagian

ini adalalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.

2. Cara-cara Ijtihad

Beberapa cara/metode ijtihad untuk menetapkan suatu ketentuan/keputusan hukum

yang rinci tidak disebutkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan Sunnah antara lain8 :

a. Qiyas

Qiyas (reasoning by analogy) adalahn menetapkan sesuatu hukum terhadap

sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan

dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-

Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama.

Contoh : - Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat

mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain

( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at?

Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita

berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat

mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya

perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga

dilarang.

- Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada

orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang

tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena

sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah

diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut.

Yaitu ketika Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini

saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal

saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau

kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-

apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.

8 Modul Pendidikan Agama Islam, hal. 81

11

Page 12: 01. IJTIHAD

b. Ijma’

Ijma’ (consensus) adalah kesepakatan ulama dalam menentukan sesuatu masalah

ijtihadiyah. Contohnya ulama sepakat bahwa orang yang azan diutamakan untuk

iqamat.

c. Istihsan

Istihsan (preference) adalah menetapkan suatu hukum terhadap persoalan

ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti : keadilan, kasih

saying, dll. Istihsan disebut juga Qiyas Khafy (analogi samar-samar), karena

merupakan pengalihan kepada hukum lain demi kemashlahatan umum. Landasannya

QS. Al-Zumar : 18. Contohnya adalah pengambilan suara terbanyak dalam pemilihan

dengan melalui voting sebagai bentuk lain dari musyawarah.

d. Mashalihul Mursalah

Mashalihul Mursalah (utility) adalah menetapkan suatu hukum terhadap persoalan

ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan

syariat. Landasannya QS. Ali Imran : 110. Istihsan berdasarkan kepada dalil umum

Qur’an/Hadits, sedangkan mashalihul mursalah berdsasarkan kepada kegunaan saja

tanpa ada dalil. Contohnya wajib mentaati rambu-rambu jalan untuk keselamatan

orang banyak.

e. Sadduz Zari’at

Sadduz Zari’at diberlakukan terhadap sesuatu yang secara alamiyah atau asal

mulanya bernilai mubah/boleh, tetapi cenderung untuk mengakibatkan munculnya

tindakan-tindakan merusak bagi yang melihat, mendengar, atau menggunakannya.

Contohnya adalah gambar-gambar porno yang dapat merusak mentalitas, tulisan-

tulisan yang dapat merusak pikiran, film-film “blue” yang dapat merusak moralitas,

dll. Hal-hal pada contoh tersebut pelanggarannya tidak bersifat mutlak, bergantung

kepada tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Menurut Abu Zahrah (dalam Modul PAI : 82) zari’at (sesuatu yang dapat

membawa kepada tindakan yang terlarang) terbagi kepada empat macam :

1. Zari’at yang pasti mengakibatkan tindakan merusak. Zari’at ini disepakati ulama

wajib dilarang (haram)

2. Zari’at yang jarang membawa kepada tindakan merusak,tidak dilarang.

12

Page 13: 01. IJTIHAD

3. Zari’at yang diduga kuat sering mengakibatkan tindakan merusak, harus dilarang.

4. Zari’at yang diduga tidak kuat mengakibatkan perbuatan merusak, terjadi

perbedaan ulama tentang pelarangannya.

f. Urf

Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan

masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-

aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si

pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya

tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual

dan pembeli.

I. Syarat-Syarat Mujtahid

Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-orang yang bertugas

mengeluarkan hukum dari dalam Al-Quran dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi

beberapa syarat. Syarat-syarat itu adalah9 :

1. Mengetahui bahasa Arab sedalam-dalamnya karena Al-Quran dan Hadits, diturunkan

Tuhan dalam bahasa Arab yang fasih, yang mutunya tinggi dan pengertiannya luas

dan dalam.

Allah berfirman :

�ون ع�ق�ل ت �م� �ك �عل ل �ا �ي ب عر آن ا ق�ر� اه� �ن ل نز أ �ا �ن إ

Artinya : "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa

Arab, agar kamu memahaminya” (QS Yusuf : 2).

Allah berfirman pula:

�ا �ي ب عر �م ا ح�ك اه� �ن ل نز أ �ك ذ‌+ل ه�واءه�م   وك

أ ع�ت �ب ات �ن� ئ ول

ق� و�ا و�ا و� ي� ل و� ل ن ل� �� و ا ون ل و� و و ا ل� ل� ل� ل ا ون ل و� و� و�ا و ا و� ل� و�Artinya : "Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan

(yang benar) dalam bahasa Arab . Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu

9 http :// imron-busfa.blogspot.com/2012/04/makalah-ijtihed-dan-mujtahid.html

13

Page 14: 01. IJTIHAD

mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung

dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS Ar Ra'd : 37)

Orang yang tidak belajar bahasa Arab tidak mungkin akan dapat menggali hukum-

hukum dalam Al-Quran. Karena itu tidak mungkin ia menjadi Imam Mujtahid. Jadi ia

harus mengikuti salah satu Imam, tidak boleh tidak. Al-Quran itu dalam bahasa yang

fasih dan bermutu tinggi, tidak sama dengan bahasa pasaran atau bahasa-bahasa

daerah yang sekarang banyak terpakai di daerah-daerah negeri Arab, atau katakanlah

tidak sama dengan "bahasa Arab Tanah Abang". Orang Arab sendiri yang tidak

mendalami bahasa Arab dan tidak belajar undang-undang bahasa Arab, tidak akan

bisa menjadi Imam Mujtahid karena ia tidak akan pandai menggali isi Al-Quran

sedalam-dalamnya.

Jadi harus dipelajari semahir-mahirnya, bukan saja arti bahasa, tetapi ilmu-ilmu

yang bersangkutan dengan bahasa, seumpanya Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi',

Balaghah, ‘Arudh dan Qawafi karena dengan ilmu-ilmu itu baru bisa diketahui yang

mana dalam ayat ayat itu yang sifatnya umum, yang sifatnya khusus, yang suruhan,

yang larangan, yang pertanyaaan, yang nash (nyata), yang majaz (tersirat), yang

muthlaq, yang muqayad, yang berita, yang hikayat dan lain-lain sebagainya.

Di dalam Al-Quran ada firman yang pada lahirnya Nampak “menyuruh", tetapi

pada hakikatnya “melarang” seumpama firman Allah :

ا إ �ن ي عل خ�فو�ن ي ال ا �ن ات آي ف�ي �ح�د�ون �ل ي �ذ�ين ال ��قى+   �ن �ل ي فمن أ

امة� �ق�ي ال و�م ي آم�ن ا �ي ت� أ ي م�ن م أ �ر< ي خ �ار� الن  ف�ي �وا   اع�مل

�م� �ت ئ ش� ص�ير<     ما ب ع�مل�ون ت �ما ب �ه� �ن إArtinya : "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka

tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan

ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan

aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;

sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushilat :

40)

Kalau kita tidak mengetahui ilmu ma'ni maka akan tersesatlah kita dalam memberikan

arti kepada ayat ini karena bisa difahamkan bahwa Allah mengizinkan dan bahkan

14

Page 15: 01. IJTIHAD

menyuruh supaya orang mengerjakan apa yang disukainya saja, biar pekerjaan jahat

sekali pun. Padahal Allah dalam ayat ini bukan menyuruh, tetapi melarang dan mengecam

supaya orang jangan berbuat sesuka hatinya saja dengan tidak memikirkan halal dan

haramnnya.

Ada orang bertanya, bahwa di Indonesia sekarang sudah banyak kitab-kitab

terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang disusun dan dikarang oleh

penterjemah bangsa Indonesia. Sudah bolehkah kita menggali hukum fiqih dari dalam Al-

Quran, sedang kita hanya baru mengetahui arti ayat-ayat Al-Quran dari kitab-kitab

terjemahan itu ? Memang sudah ada beberapa kitab terjemahan Al-Quran, dalam bahasa

Indonesia, tetapi dengan tegas pertanyaan di atas dapat dijawab dengan "Belum bisa",

karena:

a. Ada kemungkinan terjemahan itu tersalah atau salah, sedang kita tidak mengetahui

karena kita tidak mempunyat alat untuk mengoreksi kesalahan itu.

b. Kalau kita hanya mengikut saja kepada terjemahan pengarang-pengarang itu, maka

artinya kita masih bertaqlid, belum Mujtahid.

c. Dalam kenyataannya terjemahan-terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang

sudah ada di Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan arti satu sama lain dari satu

ayat. Masing-masingnya memberikan arti menurut pendapatnya saja. Misalnya

perkataan "laamas-tum" dalam Surat Nisa', ayat ke 43, terdapat terjemahan yang

berlain-lainan.

Dalam terjemahan A berbunyi : "Atau kamu telah menyentuh perempuan" . (halaman

125).

Dalam terjemahan B berbunyi : "Atau kamu sentuh perempuan-perempuan".

(halaman 159).

Dalam terjemahan C berbunyi : 'Atau kamu sudah campur dengan isterimu". (halaman

71).

Dalam terjemahan D berbunyi: "Atau kamu campur dengan perempuan". (halaman

119).

.Ayat ini ialah tentang soal yang “membatalkan wudhu''.

Menurut terjemahan A, berarti bahwa sekalian persentuhan dengan perempuan

membatalkan wudhu’. Tidak perduli apakah perempuan itu ibu, saudara, anak, mertua

dan lain-lain sebagainya, karena dalam terjemahan itu hanya dikatakan : “atau kamu

telah menyentuh perempuan".

15

Page 16: 01. IJTIHAD

Menurut terjemahan B, timbul hukum bahwa bersentuh dengan seorang perempuan

tidak membatalkan wudhu'. Yang membatalkan ialah bersentuhan dengan banyak

perempuan, karena dalam terjemahannya dlkatakan : “atau kamu sentuh perempuan-

perempuan".

Menurut terjemahan C, menimbulkan pengertian bahwa bercampur dengan isteri

membatalkan wudhu'. Apakah arti "bercampur” dalam bahasa Indonesia ? Artinya

ialah bergaul atau berkumpul. Nah ! Menurut terjemahan C, bergaul saja dengan isteri

sudah membatalkan wudhu’, tetapi bergaul dengan perempuan lain tidak

membatalkan wudhu’, karena terjemahannya "atau kamu sudah campur dengan

isterimu”. Tetapi kalau yang dimaksudkan dengan "bercampur" itu bersetubuh

dengan isteri, maka yang membatalkan wudhu’, hanya bersetubuh dengan isteri.

Adapun bersetubuh dengan orang lain tidak membatalkan wudhu’. Apakah begitu

maksudnya ?

Menurut terjemahan D menimbulkan pengertian sama dengan terjemahan C. Akan

tetapi bagi terjemahan D adalah bercampur dengan perempuan, bukan dengan isteri

saja seperti terjemahan C.

Jadi, belumlah mungkin orang menggali hukum fiqih hanya bersandarkan dan

berpedoman kepada arti ayat yang diberikan oleh pengarang-pengarang terjemahan

Al-Quran dalam bahasa Indonesia. Sekali lagi ditekankan bahwa syarat mutlaq bagi

seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui bahasa Arab dalam segala seginya, karena

Al Quran dan Hadits itu ditulis atau diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab yang

mutunya sangat tinggi.

d. Harus diketahui, bahwa ayat ayat AL-Quran itu ditafsirkan artinya dengan hadits-

hadits Nabi, atau dengan kata lain bahwa tafsiran Al-Qur’an haruslah menurut yang

diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh semaunya

saja menurut kemauan kita. Karena itu adalah syarat muthlaq bagi setiap Imam

Mujtahid mengetahui seluruh hadits yang bersangkutan dengan ayat itu, yaitu hadits-

hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits yang 6 yaitu, Bukhari, Muslim, Abu

Daud, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah. Dus, tidak cukup kalau baru hanya

mengetahui tafsir Al-Quran dari Kitab-kitat Tafsir atau Kitab-kitab Terjemahan

bahasa Indonesia itu.

16

Page 17: 01. IJTIHAD

2. Syarat yang kedua bagi Imam Mujtahid ialah mahir dalam hukum-hukum Al-

Quran, yakni diketahui lebih dahulu mana di antara ayat Al-Quran itu yang umum

sifatnya, yang khusus, yang mujmal, yang mubayan, yang muthlaq, yang

muqayad, yang zahir, yang nash, yang nasikh, yang mansukh, yang muhakkam

yang mutasyabih dan lain-lain sebagainya. Untuk mengetahui hal ini semuanya

calon Imam Mujtahid harus mengerti Ilmu ushul Fiqih, kalau tidak, tidaklah

mungkin menjadi Imam Mujtahid, tetapi harus menjadi orang bertaqlid saja

kepada salah seorang Imam Mujtahid.

Memang berat syarat-syarat ini, karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa

jabatan Imam Mujahid itu adalah jabatan yang sangat tinggi, karena ia adalah

sebagai pengganti Rasulullah dalam membentuk hukum agama .

3. Syarat yang ketiga bagi lmam Mujtahid ialah mengerti akan isi dan maksud Al-

Quran keseluruhannya, ke 30 juznya. Pada ketika ia berijtihad dalam sesuatu

masalah semua isi dari Al-Quran terbayang di kepalanya, sehingga tidak

menimbulkan hukum yang bertentangan dengan salah satu dai ayat-ayat Al-Quran

itu. Imam Syafi'i rahimahullah dalam usia 9 tahun telah hafal keseluruhan ayat

Al-Quran di luar kepala, begitu juga Imam Hanafi telah hafal seluruh ayat Al-

Quran di luar kepala semasa beliau masih kecil. Adalah tidak mungkin bagi

seseorang Imam Mujtahid kalau ia hanya mengetahui 10, 20 atau 100 ayat saja,

karena ayat-ayat Al-Quran sangkut-bersangkut antara satu dengan yang lainnya.

Seperti yang dikatakan Imam Ibnul Arabi al Maliki, pengarang kitab Tafsir

"Ahkamul Quran", bahwa gurunya mengatakan kepadanya, bahwa dalam surat Al

Baqarah saja terdapat seribu perintah, seribu larangan, seribu hukum, seribu berita

(Ahkamul Quran jilid I, halaman 8).

4. Syarat yang ke-empat bagi seorang Imam Mujtahid ialah mengetahui 'Asbabun-

nuzul" bagi setiap ayat itu, yakni mengetahui sebab maka ayat-ayat itu diturunkan.

Seperti dimaklumi bahwa ayat-ayat suci Al-Quran bukan diturunkan sekaligus,

tetapi berangsur-angsur selama 23 (duapuluh tiga) tahun.

Setiap ayat itu diturunkan karena ada perlunya, umpamanya untuk menjawab

suatu pertanyaan dari rakyat, untuk mengalahkan sesuatu hujjah musuh, untuk

suatu kabar yang diperlukan dan lain-lain sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran itu.

Ini dinamai “Asbabun-nuzul", yaitu sebab-sebabnya turun. Setiap Imam Muitahid

17

Page 18: 01. IJTIHAD

harus mengetahui Asbabun-nuzul, kalau tidak maka ia akan tersalah dalam

mengartikan ayat-ayat itu.

Sebagai contoh dikemukakan, peristiwa-peristiwa di bawah ini:

a. Tersebut dalam Kitab. "Ahkamul Quran", juz l,halaman 28, bahwa dulu ada

orang yang tersalah dalam mengartikan ayat, karena tidak tahu sebabnya maka

ayat iru dirurunkan. Mereka membolehkan minum arak berdalilkan ayat Al

Quran yang tersebut dalam surat Al Maidah, ayat 93 begini :

اح< ل ن ج� �حات� الص�ال �وا وعم�ل �وا آمن �ذ�ين ال على �س ي

طع�م�وا �حات� ف�يما الص�ال �وا وعم�ل �وا و�آمن �قوا ات ما �ذا إ

�وا ن ح�س و�أ �قوا ات ��م ث �وا و�آمن �قوا ات ��م �ح�بJ   ث ي �ه� والل

�ين ن �م�ح�س� الArtinya : "Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka

makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan

mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap

bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan

berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat

kebajikan." (QS AI Maidah : 93).

Menurut mereka ayat ini membolehkan memakan atau meminum apa saja,

kalau sudah mu'min dan sudah beramal saleh. Mereka salah dalam memberi

arti kepada ayat ini karena tidak mengetahui “asbabun-nuzul", sebab-sebabnya

maka ayat ini diturunkan.

Ayat ini justru untuk melarang minum arak, bukan untuk membolehkannya.

Dulu orang-orang Islam banyak minum arak, yakni sebelum dilarang.

Kemudian turun ayat tersebut dalam surat Ar Baqarah : 219, yang menyuruh

berhenti meminum arak itu. Sekumpulan orang Islam bertanya kepada

Rasulullah : "Bagaimana-halnya kami yang sudah banyak minum arak dulu

itu, yakni sebelum dilarang?” Maka turunlah ayat Al Maidah 93 ini, bahwa

yang telah termakan atau terminum yang dulu-dulu itu tidak berdosa asal

18

Page 19: 01. IJTIHAD

sekarang sudah iman dan sudah beramal saleh. Maka ayat ini turunnya untuk

mencukupkan keterangan larangan, bukan untuk membolehkan apa saja untuk

dimakan atau diminum.

b. Allah berfirman :

�مغ�ر�ب� وال ر�ق� �مش� ال �ه� �ل ه�   ول وج� �م فث Jوا �ول ت ما �ن ي فأ

�ه� �يم<   الل عل ع< واس� �ه الل ��ن إArtinya : "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu

menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas

(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS AI Baqarah : 115).

Kalau menurut lahir atau lafazh ayat ini saja bisa timbul hukum, bahwa

menghadap kiblat dalam sembahyang tidak wajib, karena wajah Allah ada di

mana-mana. Pengertian semacam itu salah. Ummat Islam dari dulu sampai

sekarang telah ijma' (sepakat) mewajibkan menghadap kiblat dalam shalat yang

lima waktu dan shalat yang sunnat yang lain. Kesalahan pengertian ayat itu

timbul karena tidak mengetahui 'Asbabun-nuzul" yaitu sebab maka ayat itu

diturunkan. Sebab turunnya ayat ini adalah :

- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membutuhkan banyak shalat

sunnat, tetapi beliau dalam perjalanan mengendarai onta dari Mekkah ke

Madinah. Pada ketika itu turun ayat tadi yang memberi izin untuk

menghadap kemana saja pada ketika shalat sunnat dalam perjalanan di atas

kendaraan. Jadi ayat ini khusus untuk shalat sunnat dalam perjalanan.

Seseorang berlayar dengan kapal api, atau terbang dengan pesawat udara,

atau berjalan jauh dengan mobil, sedang ia akan shalat sunnat. Pada ketika

itu ia boleh menghadap dalam shalat kemana kendaraannya menghadap

karena wajah Allah itu ada di mana-mana. Inilah arti ayat ini yang

sebenarnya,yang mana kalau tidak tahu kisah ini, niscaya akan tersalah

dalam menggali hukum dalam ayat ini.

Kesimpulannya : Ilmu Asbabun-nuzul adalah syarat bagi seseorang yang

menjadi Imam Muitahid!

19

Page 20: 01. IJTIHAD

5. Syarat yang kelima bagi seseorang Imam Mujtahid ialah mengetahui hadits-hadits

Nabi, sekurangnya apa yang telah termatub dalam Kitab-kitab Hadits yang 6,

yaitu: 1. Sahih Bukhari, 2. Sahih Muslim. 3. Sahih Tirmidzi. 4. Sunan Nisai, 5.

Sunan Abi Daud dan ke 6. Sunan Ibnu Majah. Dan sebaiknya mengerti juga

hadits-hadits yang tersebut dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Mustadrak Hakim,

Sahih Ibnu Hibban, SahihTabhrani, Sunan Daruquthni dan lain sebagainya.

Hal ini sangat perlu, karena hukum-hukum fiqih ini bersumber kepada Quran dan

Hadits, bukan kepada Quran saja atau kepada aqal saja, atau pendapat manusia

saja. Karena itu setiap Imam Mujtahid harus mengerti Quran dan Hadits.

6. Syarat yang ke-enam bagi setiap lmam Mujtahid ialah berkesanggupan

menyisihkan mana hadits-hadits yang sahih mana yang maudhu' (yang dibuat-buat

oleh musuh-musuh Islam), mana hadits yang kuat, dan mana hadits yang lemah.

Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui pula si"Rawi” yakni keadaannya orang

yang meriwayatkan hadits itu. Ini penting, kalau tidak, kita akan terjerumus

kepada mengambil hadits-hadits yang palsu, yang bercacat, yang lemah dan lain-

lain sebagainya.

7. Mengerti dan tahu pula fatwa-fatwa Imam Mujtahid yang terdahulu dalam

masalah-masalah yang dihadapi. Ini sangat perlu, agar setiap Imam Mujtahid tidak

terjerumus kepada mengeluarkan hukum yang melawan ijma', yaitu kesepakatan

Imam-imam Mujtahid dalam suatu zaman. Oleh karena itu sekurangnya ia harus

membaca dan memahami kitab-kitab karangan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam

syafi’i, dan Imam Hanbali, yang semuanya bisa didapat waktu sekarang, karena

sudah banyak dicetak pada percetakan-percetakan di Mesir.

Demikianlah diantaranya syarat-syarat yuridis bagi seorang Imam Mujtahid, di

samping ada pula syarat-syarat yang lain, yaitu shaleh dan bertaqwa kepada Allah,

berakhlak yang tinggi, tidak sombong dan tidak takabbur, tidak melakukan pekerjaan-

pekerjaan yang keji yang dilarang oleh agama Islam.

20

Page 21: 01. IJTIHAD

J. Tingkatan-tingkatan Ijtihad

     Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan10 :

1. Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang

mempunyai pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits

dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh

agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam empat madzhab.

2. Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan

murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf binHuzail yang merupakan

murid imam Abu Hanifah

3. Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul

maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i

4. Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam

untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan

situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat,

misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali

10 http:// tabligh-sejarahmadzhabsyafii.blogspot.com/2011/05/6-uraian-fatwa-ijtihaj-mujtahid-madzhab.html ,

21

Page 22: 01. IJTIHAD

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu (yang

sulit) dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan

berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk

menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya

pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin

kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika

tersebut.

B. SARAN

Penulis menyarankan agar umat Islam bersatu dalam menyelesaikan masalah di

zaman modern sat ini karena banyak masalah-masalah baru yang tidak atau kurang jelas

diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. Tetap berjuang menegakkan syariat Islam.

22

Page 23: 01. IJTIHAD

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Hukum Berijtihad. http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/hukum-

berijtihad.html. Diakses pada 17 Oktober 2013.

Anonim. 2011. Syarat utuk Menjadi Imam Mujtahid. http:// tabligh-

sejarahmadzhabsyafii.blogspot.com/2011/05/6-uraian-fatwa-ijtihaj-mujtahid-

madzhab.html. Diakses pada 10 September 2013.

Anonim. 2012. Ijtihad. http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-

none.html. Diakses pada 10 September 2013.

Anonim. 2012. Makalah Ijtihed dan Mujtahid Imron.

http :// imron-busfa.blogspot.com/2012/04/makalah-ijtihed-dan-mujtahid.html . Diakses pada

10 September 2013.

Hanafi, A. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Husein, I. 1991. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.

Syafe'i, Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.

Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel. 2004. Pengantar Studi Islam, Surabaya : IAIN Ampel Press.

23