Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
-
Upload
miftah-iqtishoduna -
Category
Education
-
view
905 -
download
0
description
Transcript of Ushul fiqh ijtihad PDF Miftah'll everafter
i
MAKALAH USHUL FIQH
“Ijtihad dan Perannya dalam Islam”
Dosen Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag
Disusun oleh :
1. Miftahuddin (2013002009)
2. Tri Hadi Susanto (2013002005)
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
STIE MUHAMMADIYAH PEKALONGAN
2013/2014
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta
Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Ijtihad dan Perannya dalam Islam” yang mana pembahasannya meliputi :
Pengertian Ijtihad, Kedudukan Ijtihad, Syarat Mujtahid, serta Benar dan Salah
dalam Berijtihad.
Makalah ini dapat kami susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada salah satu Mata Kuliah Program Studi
Ekonomi Islam di STIE Muhammadiyah Pekalongan. Tak Luput makalah ini
dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Orangtua, Dosen
Pengampu dan Teman-teman seperjuangan, Dalam Penyusunan Makalah kami
mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti Karya Dr. KH. Ahmad
mukri Aji, Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Prof. Dr.
Rachmat Syafe’i, Prof. Dr. H. Satria Effendi, Drs. H. Moh Rifa’i serta 3% dari
Penelusuran Internet.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu
semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat Kami harapkan guna
perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penyusun berharap kiranya makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,
Pekalongan, 5 Mei 2014
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I ....................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 5
BAB II ...................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6
A. Pengertian Ijtihad.............................................................................................. 6
B. Kedudukan Ijtihad ............................................................................................ 8
C. Syarat Mujtahid .............................................................................................. 11
D. Ijtihad Bisa Benar dan Bisa Salah ................................................................... 13
BAB III................................................................................................................... 19
PENUTUP .............................................................................................................. 19
Kesimpulan ......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 21
Biografi Pemakalah ................................................................................................. 22
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ yang bersifat
amali yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh
yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat global serta membahas
cara/metode pengaplikasian dalil-dalil tersebut juga keadaan orang-orang yang
boleh menggunakan dalil-dalil tersebut. Dalam kata lain, fiqih lebih bersifat
khusus sedangkan Ushul Fiqh memiliki karakteristik ‘am yang menaungi segala
urusan fiqhiyah.
Salah satu bab dari Ushul Fiqh tahap lanjut yakni ijtihad. Secara global,
ijtihad bisa diartikan sebagai sebuah tindakan bersungguh-sungguh, berusaha
keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.
Selanjutnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pengertian Ijtihad,
Kedudukan Ijtihad, Syarat Mujtahid serta Benar atau salah dalam berijtihad.
Banyak hikmah yang bisa kita petik dari pembahasan bab ijtihad ini. Niscaya,
dengan kebulatan keimanan kita Insya Allah dengan adanya ijtihad akan semakin
mempertebal iman Islam kita bukan justru membuat kerisauan dalam hati tentang
konsistensi dalil. Semua kembali terhadap pemahaman kaffah/menyeluruh kita
terhadap suatu hal. Apabila kita memahami benar-benar sebuah permasalahan
syar’i secara detail dan terperinci niscaya akan kita temukan mutiara indah yang
bercahaya didalamnya, sebuah timbal balik pengetahuan luar biasa untuk kita
kuasai.
Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang
masih belum memahami sepenuhnya mengenai Ijtihad, Maka dari itu kami akan
membahas mengenai Ijtihad itu sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh.
5
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ijtihad ?
2. Bagaimana Kedudukan Ijtihad ?
3. Apa Saja Syarat Mujtahid ?
4. Bagaimana Ijtihad Bisa Benar dan Juga Bisa Salah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Makna Ijtihad.
2. Untuk Mengetahui Kedudukan Ijtihad.
3. Untuk Mengetahui Syarat Mujtahid.
4. Untuk Mengetahui Benar dan Salah dalam Berijtihad.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafadz
“ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-
jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban.
Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya
yang dimiliki secara optimal dan maksimal.1
Ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat
amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Sementara itu, sebagian ulama’ yang lain memberikan definisi ijtihad
merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik
dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan
menerapkannya.2
1 Dr. KH. Ahmad mukri Aji, MA, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi,
2010). Hal. 21. 2 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 567.
7
Secara terminologis, para ulama telah memberikan definisi dengan
berbagai versinya antara lain:3
1. Abdul Wahab Khallaf
Artinya: “Ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan
hukum (berdasarkan) dalil-dalil “syara’” yang detail.”
2. Muhamad Abu Zahrah
Artinya: “Ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih (ahli hukum
islam) dalam rangka mengistimbatkan hukum yang berkait dengan hukum
‘amaliyyah berdasarkan argumentasi yang detail.”
3. Al-Amidi
Artinya: “Ijtihad adalah pengarahan segala daya upaya untuk mencari hukum
yang bersifat dzanni, dimana seseorang tidak mampu lagi untuk berusaha
maksimal dari itu.”
3 Dr. KH. Ahmad mukri Aji, MA, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi,
2010). Hal. 21-22.
8
4. Asy-Syaukani
Artinya: “Ijtihad adalah pencurahan segala daya upaya didalam mencari hukum
syar’i yang bersifat amaliah (praktis) dengan menggunakan beberapa metode
istinbat, (penggalian hukum).”
B. Kedudukan Ijtihad
Imam Syafi’i dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan
kesempurnaan Alquran menegaskan: ‘maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada
seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh alquran
yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan
ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hamba_Nya untuk
berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad,
sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang
diwajibkan lainya.
Pernyataan Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan
ijtihad disamping alquran dan sunah Rasullah. Dalam surat an-Nisa ayat 59:
9
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Surat Al-Hasyr Ayat 2:
Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli
kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu
tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka
Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
10
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada al-Qur’an dan
sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan
mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam
membahas kandungan ayat atau hadist yang barang kali tidak mudah untuk
dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum
yang disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.4
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus
berkembang dan permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya
tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah
fiqih terhadap dua golongan, yaitu:
a. Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan
alasan karena masalah tersebut Allah swt. tidak menentukan hukum tertentu
sebeluim diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihad para
mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam suatu masalah adalah karena
berbedanya jangkauan para mujtahid.
b. Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil
ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah. Sedangkan yang tidak
cocok dengan jangkauan hukum Allah maka dikategorikan salah. Golongan ini
beralasan bahwa Allah telah meletakkan hukum tertentu pada salah satu masalah
sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya dan
terkadang tidak. Demikian pendapat para jumhur ulama, termasuk di dalamnya
Imam Syafi’i. Ia berpendapat dengan dikuatkan oleh sabda Nabi saw:
4 Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada media, 2005). Cet 1.
Hal. 247-248
11
Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan
dua pahala, dan barang siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan
satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim).5
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak
sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya sehingga tidak
langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-quran dan sunah
seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum
dalam Alquran dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-
hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai
permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.6
C. Syarat Mujtahid
Ulama’ ushul berbeda pendapat dalam mnenetapkan syarat-syarat ijtihad
atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:7
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam
Alqur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak
disyaratkan menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya
5 Mundzier Suparta dan Djejen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fiqih, (Jakarta: Karya Toha
Putra, 2008), cet.1, hal.40 6 Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada media, 2005). Cet 1.
Hal. 249-250.
7 Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Cet 4. Hal.
104-106.
12
saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam
Ghazali, Ibnu Arabi dan Ar Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut
sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratakan harus
menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti
untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabi
membatasinya sebanyak 3000 hadits. Menurut Ibnu Hanbal dasar ilmu
yang berkaitan dengan hadits nabi berjumlah sekitar 1200 hadits. Oleh
karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadits-hadits
hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-
kitab yang menghimpun hadits dan bisa membukanya dengan cepat,
misalnya dengan menggunakan kamus hadits. Selain itu, ia pun harus
mengetahui persambungan sanad dalam hadits. (Asy-Syaukani : 221)
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil
referensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur keshahihannya, seperti
Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain. (At-Tafzi, 11 : 117).
c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Alqur’an dan As-Sunnah supaya
tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus
menghafalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam
nasakh dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khuzaimah, Abi Ja’far
An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hazm, dan lain-lain.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’
sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa
dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-ijma’ (Ibnu Hazm).
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta menginstinbathnya,
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan
bahasa serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Alqur’an
dan As-Sunnah ditulis dengan bahasa arab. Namun, tidak disyaratkan
13
betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-
kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Alqur’an dan Al-
Hadits (Al-Amidi : 140).
g. Menegetahui Ilmu Ushul Fiqh yang merupakan fondasi dari ijtihad.
Bahkan menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam
berijtihad adalah ilmu Ushul Fiqh.
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan Syari’at) secara umum,
karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu asy-
syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya,
mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, ‘urf dan sebagainya
yang menggunakan maqashidu asy-syari’ah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu asy-syari’ah, antara lain menjaga
kemaslahatan manusia dan menjauhkan dari kemadharatan. Namun
standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak
jarang menganggap yang haq menjadi tidak haq dan sebaliknya.
D. Ijtihad Bisa Benar dan Bisa Salah
Bila seorang mujtahid melakukan ijtihad terhadap suatu masalah dalam
lapangan ijtihad dan sampai pada suatu kesimpulan berupa hukum, maka secara
lahir dapat dikatakan bahwa ia telah menetapkan hukum syara’, namun pada
hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan dan membuat hukum, karena sesuai
dengan keyakinan dalam islam, bahwa yang berhak menetapkan hukum syara’
hanyalah Allah. Dan tiada hukum kecuali dari Allah.
Bahwa ijtihad itu berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak terdapat
secara dalam Alqur’an maupun Sunnah, ataupun ada Nashnya akan tetapi dalam
bentuk yang tidak meyakinkan (dzanni). Dengan demikian tidak tertutup
kemungkinan beberapa orang mujtahid yang sama-sama melakukan ijtihad
terhadap suatu masalah yang sama menghasilkan pendapat yang berbeda, maka
14
muncul pertanyaan: “mana di antara pendapat itu yang benar?”. Pertanyaan ini
muncul karena hasil yang dicapai mujtahid itu adalah hukum Allah, seandainya
semua pendapat yang berbeda itu dinyatakan benar tentu akan beragam hukum
Allah dalam suatu masalah tertentu. Karenanya persoalan ini menjadi
perbincangan yang tidak ada hentinya di kalangan ulama’, terutama tentang mana
di antara pendapat yang berbeda tersebut yang benar, salah satu di antaranya atau
semuanya. Kalau hanaya satu yang benar, maka tentu yang lainnya salah. Jika
salah dalam berijtihad apakah berdosa atau tidak. Seandainya berdosa apakah
hanya sekadar berdosa atau membawa akibat kekafiran.
Dalam menjelaskan persoalan di atas, para ahli ushul memilah-memilah
masalah yang menjadi lapangan ijtihad. Dalam hal ini para ahli membaginya pada
dua lingkup yang besar, yaitu :
a. Masalah ‘aqliyah atau nazharriyah; yaitu masalah yang berkaitan dengan
‘aqidah.
Bidang ‘aqliyah dalam kajian ini dibagi dalam dua masalah:
1. Masalah paling dasar dalam agama yang seandainya salah dalam bidang
ini, dapat menghilangkan keimanan dan menyimpang dari ketentuan
agama. Umpamanya tentang keberadaan Allah SWT dengan segala
sifat-sifat-Nya dan kerasulan Nabi Muhammad SAW
2. Masalah ‘aqliyah yang seandainya salah dalam hal ini, tidak sampai
menghilangkan keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Umpamanya masalah kemungkinan manusia melihat Allah atau tidak,
Alqur’an sebagai makhluk atau Bukan, dan sebagainya.
Mayoritas Jumhur Ulama’ sependapat dalam bidang ‘aqliyah tersebut,
bahwa yang betul hanya satu, yaitu yang mencapai kebenaran Allah,
sedangkan yang lainnya adalah salah.
Dalam bidang ‘aqliyah bentuk pertama :
Mereka juga bersepakat bahwa yang salah dalam ijtihadnya, di
samping berdosa juga kafir atau keluar dari islam karena hasil
ijtihadnya itu telah menafikan keimanannya.
15
Tetapi dalam bidang ‘aqliyah bentuk kedua
Mereka berbeda pendapat dalam menyatakan kafir (keluar dari
islam) terhadap mujtahid yang salah dalam berijtihad:
Sebagian besar ulama’ mengatakan bahwa mujtahid yang salah
dalam hal ini hanya berdosa namun tidak kafir, karena dasar
keimanannya tetap ada. Ia hanya berdosa dari segi bahwa ia
telah menyimpang dari kebenaran; dinilai sesat serta salah dari
segi telah menyalahi sesuatu yang benar dan meyakinkan; dan
dianggap pembuat bid’ah dari segi ia menyalahi sesuatu yang
popular di kalangan ulama’salaf, namun tidak kafir.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mujtahid yang tersalah
dalam bidang ‘aqliyah bentuk kedua ini adalah kafir karena
telah menyimpang dari aqidahnya. Termasuk yang mengatakan
kafir ini adalah Imam Syafi’i. namun para sahabatnya
meluruskan anggapan orang tentang pendapat Syafi’i ini
dengan ucapan bahwa yang dimaksud dengan kafir di sini
adalah kafir menurut lahirnya; sebagian shabatnya menjelaskan
bahwa kafir di sini maksudnya kafir nikmat.
Pendapat Al-Jahizh dan ‘Ubaidullah Ibn Al-Hasan Al-Anbari
dari ulama’ muktazilah;
“Al-jahizh” berpendapat bahwa yang betul di antara mujtahid
dalam bidang ini hanayalah satu, sedangkan yang lainnya
salah, namun yang salah tersebut dibebaskan dari dosa, selama
ia tidak bersikap melawan dengan hasil ijtihadnya itu terhadap
‘aqidah islam.
“Al-Anbari” berpendapat bahwa hasil ijtihad dari beberapa
mujtahid yang berbeda pendapat dalam bidang ‘aqliyah atau
‘aqidah semuanya betul dan dengan sendirinya tidak ada yang
berdosa dengan hasil ijtihadnya itu.
16
b. Masalah Syar’iyyah
Mengenai Ijtihad dalam bidang Syari’ah ini Jumhur Ulama’ membaginya
kepada dua bentuk:
1. Bidang syari’ah yang sudah pasti dan dapat diketahui secara dharurui
(tanpa memerlukan pemikiran atau ra’yu) bahwa ia termasuk
ketentuan agama; seperti: wajibnya shalat lima waktu, puasa
ramadhan, zakat dan haji yang sudah memenuhi syarat, haramnya zina
serta minum khamr itu haram, dan lain-lain yang termasuk masalah
pokok-pokok dalam agama.
Hasil ijtihad dalam bidang ini hanya satu yang benar , yaitu hasil
ijtihad dari mujtahid yang sanggup mencapai kebenaran tersebut, dan
yang lainnya adalah salah. Kesalahannya itu tidak dapat dimaafkan,
sehingga mujtahid tersebut dengan sendirinya menjadi berdosa.
Bahkan ada ulama’yang menganggapnya kafir karena si mujtahid itu
dianggap telah menyalahi suatu yang bersifat dharuriyat (masalah
pokok) dalam agama.
2. Bidang syari’ah yang tidak memiliki dalil yang qath’i dan meyakinkan,
seperti: kedudukan wali dalam nikah, hak waris cucu, ijab qabul dalam
jual beli, investasi dalam mudharabah dan sebagainya. Para ulama’
berbeda pendapat hasil ijtihad yang berbeda antar para mujtahid:
a. Kebanyakan ulama’ (menurut riwayat Al-Mawardi dan Al-Royani)
seperti Abu Hasan Al Asy’ari dan Al-Mu’tazilah
(menurut Al-Mawardi) berpendapat bahwa setiap mujtahid yang
mengemukakan hasil ijtihadnya terdapat kebenaran. Karena itu,
setiap mujtahid itu adalah benar, dalam hal ini berlaku ketentuan
bahwa hukum Allah ada pada lisan setiap mujtahid.
b. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i dan kebanyakan
ulama’ berpendapat bahwa yang benar hanya terdapat pada satu di
antara beberapa pendapat mujtahid yang berbeda itu. Namun
mengenai satu pendapat mana yang benar, tidak bisa ditentukan
oleh pandangan manusia, hanya Allah yang mengetahuinya.
17
Jumhur ulama’ (yang mengatakan bahwa yang benar hanya satu dan yang
lain salah namun tidak berdosa) mengemukakan argumen dengan dalil dari
Alqur’an, Sunnah dan Ijma;
a. Dalil Alqur’an yang di antaranya adalah surat Al-Anbiya’ Ayat 78-79:
78. dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan
oleh mereka itu,
79. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum
(yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan
Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung,
semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.
Jalan pikiran argumentasi dari ayat di atas bahwa Allah telah memberikan
secara khusus kepada Sulaiman pemahaman yang haq tentang kejadian yang
dihadapi itu. Berarti dalam hal ini Dawud tidak memiliki pemahaman. Ini
mengandung arti bahwa di antara keduanya ada yang betul dan ada yang salah.
18
b. Dalil dari Sunnah adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua
pahala, dan barang siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu
pahala.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari sabda Nabi Muhammad di atas jelaslah bahwa ijtihad itu ada yang
salah di samping itu ada pula yang benar. Hal ini berarti bahwa dari sekian banyak
pendapat mujtahid yang berbeda tidak mungkin benar semua.
c. Argumen dalam bentuk ijma’ adalah bahwa para sahabat berijma’ dalam
menggunakan kata “salah” dalam berijtihad. Di antaranya apa yang
diriwayatkan dari Abu Bakar yang mengatakan:
“Saya berkata tentang hukum kalalah itu berdasarkan pendapat saya. Bila
betul, maka itu adalah dari Allah. Bila salah, itu adalah dari saya sendiri
dan dari syaithan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dan bersih
dari kesalahan itu.”
Dari ucapan Abu Bakar itu jelaslah bahwa para sahabat dalam
berijtihadnya ada yang mencapai kebenaran dan ada pula yang yang salah. Tidak
pernah terjadi seorang sahabat mengingkari pendapat sahabat lain karena
kesalahannya. Ini berarti bahwa mereka telah ijma’ bahwa yang benar dari
beberapa pendapat yang berbeda itu hanya satu.8
8 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011). Cet 6. Hal. 310-318.
19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafadz
“ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-
jahdan”, yang berarti: mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban.
Oleh karena itu, “ijtihad” menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya
yang dimiliki secara optimal dan maksimal.
Ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat
amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus
berkembang dan permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya
tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunah.
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak
sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya sehingga tidak
langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-quran dan sunah
seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan Assunah adalah
penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas
jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas
jumlahnya.
20
Ijtihad bisa benar dan juga bisa salah. jika berijtihad dan ternyata benar
maka mendapatkan dua pahala, dan jika berijtihad tetapi salah maka
mendapatkan satu pahala.
21
DAFTAR PUSTAKA
Mukri Aji, Ahmad. 2010. Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor: Pustaka Pena
Ilahi.
Effendi, Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Saputra, Mundzier dan Djejen Zainuddin. 2008. Pendidikan Agama Islam Fiqih.
Jakarta : Karya Toha Putra.
Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang.
Wikipedia. “Ijtihad”. 4 Mei 2014. http://en.wikipedia.org/wiki/Ijtihad.
22
Biografi Pemakalah
Nama : Miftahuddin
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 April 1994.
Alamat : Wonoyoso Gg. 3 Buaran Pekalongan.
Motto : Belajarlah!, karena sesungguhnya Ilmu akan menjadi
penghias bagi Ahlinya.
Nama : Tri Hadi Susanto
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 April 1988.
Alamat : Landung Sari Gg. 2 Pekalongan.
Motto : Tiada keyakinanlah yang membuat orang takut
menghadapi tantangan dan Saya percaya pada Saya
sendiri.