KONSEP USHUL FIQH.docx

137
KONSEP USHUL FIQH Add Comment Ushul fikih A. Pengertian Ushul Fiqh sebagai Istimbat Hukum Islam Pengertian ushul fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata ushul dan kata fiqh ; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dan ilmu-ilmu syari’ah. Dilihat dari tata bahasa Arab , rangkaian kata ushul dan kata fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian ushul menurut bahasa tersebut, maka ushul fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim berikut ini: َ ى لَ عاَ تُ َ اَ لَ ا : قُ بَ ا تِ لك . اَ هاِ بْ وُ جُ وَ ى لَ عُ لْ " تِ لَ الد" ا’ي( ُ ابَ تِ كْ ل اِ ةَ كاَ + ز ل اِ بْ وُ جُ وُ لْ صَ ا.......... َ ةَ كاَ + ز ل وا اُ ت اَ و... Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah ta’ala berfirman :… dan tunaikanlah zakat. Dan dapat pula berarti kaidah kulliyyah, yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut : Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari aturan / ketentuan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram: Allah ta’ala berfirman :”diharamkan bagimu ( memakan) bangkai …”

Transcript of KONSEP USHUL FIQH.docx

Page 1: KONSEP USHUL FIQH.docx

KONSEP USHUL FIQH

Add Comment Ushul fikih

A. Pengertian Ushul Fiqh sebagai Istimbat Hukum Islam

Pengertian ushul fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata ushul dan kata fiqh ; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dan ilmu-ilmu syari’ah.

Dilihat dari tata bahasa Arab , rangkaian kata ushul dan kata fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian ushul menurut bahasa tersebut, maka ushul fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim berikut ini:

: . �لى� �عا ت ه� الل �ل� قا �ب� الك�تا � �ها ب و� و�ج� ع�لى� �ل� �ي ل الد أي �اب� �ك�ت ال �ة� كا الز ج�و�ب� و� ص�ل�� ..........أ

�ة� كا الز �وا ت ...و�أ

Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah ta’ala berfirman :…dan tunaikanlah zakat.

Dan dapat pula berarti kaidah kulliyyah, yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari aturan / ketentuan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram: Allah ta’ala berfirman :”diharamkan bagimu ( memakan) bangkai …”

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa ushul fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Fiqh itu sendiri menurut bahasa berarti faham atau tahu . sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh sayyid Al-Jurjany , pengertian fiqh yaitu:

�ة� ي ـ� �ل ف%�ص�ي الت � �ها ت ل �د� أ م�ن� ة� �ي �ع�م�ل ال ة� ي ع� ر� الش � �م ح�كا � اال � با �م� الع�ل

Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dengan dalil-dalilnya yang terperinci.

Page 2: KONSEP USHUL FIQH.docx

Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat:

�ة� ... الصال �م�و�ا ق�ي� أ ... و�

Atau seperti sabda Rasulullah saw berikut ini:

الخ�م�ر� �ع� �ي ب م� ح�ر �ه� و�ل س� ر� و� الله� �ن ا

الله ) عبد بن بر جا عن مسلم و البخارى (رواه

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr ( benda-benda yang memabukkan) HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah

Hadis tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamr. Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian ushul fiqh, sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Tidak lepas dari kandungan pengertian ushul fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama’ ahli ushul fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Misalnya Abdul Wahab Khallaf memberi pengertian il,u ushul fiqh dengan :ilmu tentang kaidah-kaidah ( aturan-aturan/ketentuan-ketentuan ) dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara’, sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian ilmu ushul fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sebagai berikut:

Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya dengan memberi illat ( alasan-alasan) yang dijadikan dasar oleh syara’; oleh karena itu ilmu ushul fiqh juga dikatakan :

ة� ي ع� ر� الش ة� �د�ل اال م�ن� � �م �ح�كا اال �ج� �خ�را ت �س� ا ق� ط�ر� �ه� �ف�ق�ي �ل ل %?�ن� �ي �ب ت تى� ال �ع�د� الق�وا م�ج�م�و�ع�ة�

Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih ( ahli hukum Islam ) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.

Page 3: KONSEP USHUL FIQH.docx

Berangkat dari beberapa pengertian ushul fiqh maupun fiqh seperti tersebut di atas ulama’ ushul menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau dalil yang berbahasa arab itu dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itu mereka telah menciptakan beberapa kaidah lughawiyyah untuk dapat memahami nash atau dalil agar hukum-hukum dapat dipetik dari dalil yang menjadi pegangan hukum tersebut. Seseorang yang mau mengistimbatkan hukum dari dalil-dalilnya haruslah lebih dahulu mempelajari apa yang dinamakan ط�� �ب �ن ت �س� اال ق� artinya cara atau methode mengeluarkan hukum dari ط�ر�dalilnya. Istimbath menurut bahasa ialah mengeluarkan, seperti dalam ucapan berikut ini: ء�� �ما ال �ج� �خ�را ت �س� ا

�ن� �ع�ي ال :air dari mata air.. sedang menurut iastilah adalah (mengeluarkan /mengambil ) م�ن�

ة� �ح� الق�ر�ي ق�وة� و� ه�ن� الذ? ط� �ف�ر� ب Jص�و�ص� الن م�ن� �ن� الم�عا �ج� �خ�را ت �س� ا

Mengeluarkan makna-makna dari nash ( yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan ( potensi) naluriah. , karena nash itu sendiri ada yang berbentuk lafdziyyah (bahasa) dan ada yang berupa maknawiyyah (bukan bahasa) seperti istihsan, maslahat mursalah, sadz-dz=adzari’ah dan sebagainya.

Untuk membetulkan keadaan mengenai hal itu ada empat segi yang harus diperhatikan :

1) Apakah lafadz-lafadz itu telah jelas makna dan dalalahnya

2) Apakah susunan bahsanya cukup jelas untuk suatu pengertian ataukah dengan isyarat atau tersirat

3) Apakah lafadz itu umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad

4) Bagaimana bentuk lafadz yang menimbulkan hukum taklifi itu , apakah lafadz perintah (amar) atau larangan (nahyu)

Ke-empat hal tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya ( sesuai dalam pembagian pokok bahsan dalam pertemuan berikutnya.

B. Pengertian Ushul fiqh dan Perbedaannya dengan Fiqh

FIQH USHUL FIQH

Mempelajari dan mengetahui hukum syari’at Islam Kaidah-kaidah untuk istimbat hukum terhadap seluruh perbuatan manusia yang dikehendaki fiqh

Produk ushul fiqh Alat atau metode penjelas hukum (naqli/aqli)

Berkembang karena ushul fiqh Obyek pembahasannya: (1)dalil-dalil, (2) hukum,(3) kaidah-kaidah,(4) ijtihad

Page 4: KONSEP USHUL FIQH.docx

C. Ruang lingkup dan manfaat mempelajari ushul fiqh

Sesuai dengan keterangan tentang pengertian ilmu ushul fiqh di atas, maka yang menjadi ruang lingkup pembahasan ushul fiqh adalah :

1) Pembahasan tentang dalil; yaitu ilmu ushul fiqh secara gelobal. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tigkatannya.jadi di dalam ilmu ushul fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan

2) Pembahasan tentang hukum; dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hokum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang yang dibebani hukum (al-mahkim ‘alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hokum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapihukum (al-mahkum fih) serta sarat-syaratnya.

3) Pembahasan tentang tentang kaidah; yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya

4) Pembahasan tentang ijtihad; dalam pembahasan ini dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.

D. MANFAAT MEMPELAJARI ILMU USHUL FIQH

Page 5: KONSEP USHUL FIQH.docx

Di antara manfaat mempelajari ushul fiqh ialah:

a) Untuk memperoleh hukum-hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci

b) Mengetahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu’ tersebut , karena hal ini merupakan hasil ijtihad ulama

c) Mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama, yang dipandang lebih kuat atau setidak-tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama’ mengetahui alasan-alasannya

Konsep Ilmu Usul Fiqh -

Pengertian Ilmu Usul Fiqh

• Usul bererti asas, sumber, kaedah, dan dalil.

• Fiqh dari segi bahasa ialah memahami sesuatu perkara.

• Dari segi syarak ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syarak yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang difahami melalui dalil-dalil tafsili.

• Ilmu usul Fiqh ialah ilmu tentang kaedah-kaedah mengistinbat atau menentukan hukum-hukum syarak yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari dalil-dalil tafsili.

Sejarah Perkembangan ilmu Usul Fiqh

• Zaman Rasulullah

Hukum-hukum diambil dari wahyu Allah dalam bentuk al-Quran dan penjelasan oleh baginda iaitu as-Sunnah.

Segala apa yang berlaku terus dirujuk kepada Rasullullah.

Sahabat yang jauh, Rasulullah membenarkan untuk berijtihad dalam perkara yang tidak terdapat ketentuan dalam al-Quran as-Sunnah seperti yang berlaku kepada Muaaz bin Jabal.

• Zaman sahabat

Page 6: KONSEP USHUL FIQH.docx

Sebarang masalah yang timbul dirujuk kepada para sahabat.

Mereka berkeupayaan mengistinbat hukum kerana beberapa faktor:

i Penguasaan bahasa Arab yang baik membolehkan mereka memahami al-Quran dan as-Sunnah dengan tepat.

ii Mempunyai pengetahuan tentang sebab nuzul ayat dan sebab-sebab sebuah hadis diucapkan.

iii Mereka merupakan perawi hadis.

Sekiranya didapati tiada ketetapan sesuatu hukum, mereka berijtihad dengan menggunakan kaedah qias.

Sekiranya mereka mencapai kata sepakat dalam suatu hukum maka berlaku ijmak.

• Zaman Tabi’in

Cara para ulama mengambil hukum tidak jauh beza dengan zaman sahabat kerana masa mereka dengan kewafatan Rasulullah tidak terlalu jauh.

Jika hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan ijmak, mereka akan merujuk kepada pandangan sahabat sebelum mereka berijtihad.

Cara ini dilakukan oleh Mujtahid di kalangan tabi’in seperti Said bin Musaiyyib, Urwah bin Zubair, Qadhi Syuraih dan Ibrahim Nakha’e.

Zaman kemunculan ilmu Usul Fiqh

Selepas zaman tabi’in, umat Islam bertambah ramai dan berlaku percampuran antara orang Arab dan bukan Arab.

Ini menyebabkan orang Arab sendiri menjadi lemah dalam menguasai bahasa Arab.

Banyak masalah baru yang timbul yang tiada ketentuan dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Ini menyebabkan Ulama mula menyusun kaedah-kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad mereka.

Ia berlaku pada akhir kurun kedua hijrah

Page 7: KONSEP USHUL FIQH.docx

Pengasas ilmu Usul Fiqh

• Ia disusun oleh Imam Muhamad bin Idris as-Syafie di dalam kitab ar-Risalah.

• Kitab ini membincangkan tentang al-Quranb dan as-Sunnah dari segi kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.

• Kita bar-Risalah merupakan kitab pertama disusun dalam bidang ini, dengan itu Imam as-Syafie diiktiraf sebagai Pengasas Ilmu Usul Fiqh.

Kepentingan mempelajari ilmu Usul Fiqh

• Boleh menghasilkan hukum-hukum yang lebih tepat berdasarkan dalil-dalil yang kukuh.

• Boleh mengetahui hukum-hukum syarak dan beramal dengan penuh yakin, bukan taqlid semata-mata.

• Memahami cara para Ulama mengistinbatkan hukum daripada dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah serta dalil-dalil yang lain.

• Boleh mengetahui cara Ulama menetapkan hukum-hukum baru yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah.

• Boleh mengetahui punca perselisihan hukum di kalangan Ulama serta membuat perbandingan secara ilmiah.

Skop perbahasan ilmu Usul Fiqh

• Dalil-dalil syarak iaitu merangkumi dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati.

• Hukum-hukum Kulli iaitu merangkumi hukum Taklifi dan hukum Wadha’i.

• Dilalah iaitu merangkumi kaedah-kaedah istinbat hukum dari nas-nas al-Quran dan as-Sunnah.

• Ta’arudh dan Tarjih iaitu perbahasan tentang percanggahan antara dalil-dalil serta jalan penyelesaian.

• Ijtihad dan Mujtahid iaitu merangkumi persoalan Taqlid dan Muqallid.

Cara penulisan ilmu Usul Fiqh

• Tariqah al-Mutakallimin

Page 8: KONSEP USHUL FIQH.docx

Dipelopori oleh Ulama mazhab Syafie, kerana itu dinamakan juga Tariqah Syafiyyah.

Dibuat kaedah-kaedah Usul Fiqh serta mrngukuhkannya dengan dalil-dalil aqli dan naqli.

Kaedah-kaedah ini menjadi dasar untuk menyelesaikan masalah yang timbul.

Masalah Fiqah tidak dimasukkan dalam penulisan mereka.

Antara kitabnya ialah:

i. Al-burhan oleh Imam al-Haramain Abdul Malik bin Abdullah Juwaini.

ii. Al-Muktamad oleh Abu Husain Muhamad bin Ali al-Basri.

iii. Al-Mustasfa Min Ilmi al-Usul oleh Imam al-Ghazali.

iv. Al-Mahsul oleh Fakruddin Muhamad bin Umar bin Husaini ar-Razi.

v. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam oleh Saifuddin al-Amidi.

• Tariqah al-Ahnaf

Dikenali juga sebagai Tariqah Fuqahah.

Kaedah-kaedah Usul Fiqh dibuat berdasarkan hukum-hukum yang telah diputuskan oleh imam-imam mazhab mereka.

Banyak masalah Fiqah ditulis di dalam kitab mereka mengikut kaedah ini.

Antara kitabnya ialah:

i. Al-Usul oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali.

ii. Al-Usul oleh Abu Zaid Abdullah bin Umar ad-Dabbusi.

iii. Al-Usul oleh Fakru Islam Ali bin Muhamad Bazdawi.

iv. Kasyfu Asrar oleh Abd Aziz bin Ahmad Bukhari.

• Tariqah Mutaakhirin

Cara penulisan ini adalah mengabungkan kedua-dua cara di atas.

Page 9: KONSEP USHUL FIQH.docx

Cara ini diikuti oleh Ulama dari pelbagai mazhab seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafie dan Hambali.

Antara kitabnya ialah:

i. Badi’u al-Nizhom oleh Muzaffaruddin Ahmad bin Ali Sa’ati al-Hanafi.

ii. At-Tanqih dan syarahnya at-Taudhih oleh Sodru Syariah Abdullah bin Mas’ud al-Mahbubi al-Hanafi.

iii. Jam’ul Jawami’oleh Imam Tajuddin Abdul Whab bin Ali Subki as-Syafie.

• Tulisan lain

Belum pernah wujud sebelumnya.

Corak ini ditulis dalam kitab Muwafaqat Fi Usul al-Ahkam karangan Abu Ishak Ibrahim bin Musa Lakhami yang lebih dikenali sebagai as-Syatibi.

Beliau mengabungkan kaedah Usul Fiqh dengan Maqasid Syariah.

Pengertian hukum Syarak

• Ulama Usul Fiqh mentakrifkan hukum syarak sebagai Khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf samada berbentuk tuntutan (Iqtidha’), pilihan (Takhyir) atau Wadh’i.

• Berdasarkan pengertian ini, hukum syarak adalah Khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang merangkumi ibadat, munakahat, jinayah dan muamalat.

Jenis-jenis Khitab Allah

a. Iqtidha’ iaitu tuntutan melaksanakan sesuatu perintah samada tuntutan tersebut pasti atau tidak. Tuntutan pasti ialah wajib dan haram, manakala tuntutan tidak pasti ialah sunat dan makruh.

1. Contoh tuntutan pasti (jazam) yang membawa hukum wajib

Maksudnya: Dan dirikanlah kamu akan sembahyang dan keluarkanlah zakat, dan rukuklah kamu semua (berjemaah) bersama-sama orang-orang yang rukuk.

Page 10: KONSEP USHUL FIQH.docx

• Allah memerintahkan supaya didirikan solat dengan tuntutan pasti (jazam).

• Lafaz yang menunjukkan pasti ialah lafazأقيموا dalam bentuk Fi’lul Amar yang bermaksud perintah.

2. Contoh tuntutan pasti yang membawa hukum haram

Maksudnya: Dan janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan satu jalan yang jahat (yang membawa kerosakan)

• Allah melarang berzina dengan larangan yang pasti (jazam).

3. Contoh tuntutan tidak pasti (ghairu jazam) iaitu sunat

Maksudnya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberi tempoh hingga ke suatu masa yang tertentu maka hendaklah kamu menulis (hutang dan masa bayarannya) itu.

• Allah memerintahkan supaya setiap muamalat secara hutang hendaklah direkodkan.

• Lafaz menunjukkan tuntutan tidak pasti (ghairu jazam) iaitu sunat kerana terdapat qarinah (petunjuk) dalam ayat berikutnya yang memberikan pilihan untuk tidak direkodkan.

4. Contoh tuntutan tidak pasti (ghairu jazam) dalam bentuk makruh

Maksudnya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu bertanyakan (kepada Nabi) perkara-perkara yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu.

• Walaupun lafaz التسئلوا berbentuk larangan secara pasti (jazam), tetapi Ulama menetapkan bahawa ia menunjukkan larangan tidak pasti (ghairu jazam) iaitu makruh.

• Ini kerana terdapat qarinah (petunjuk) dalam ayat yang sama memberikan kelonggaran kepada para sahabat membuat pertanyaan

Page 11: KONSEP USHUL FIQH.docx

b. Takhyir iaitu khitab Allah yang memberi pilihan kepada mukallaf samada hendak melakukan sesuatu atau tidak.

Maksudnya: Apabila kamu telah bertahallul bolehlah kamu berburu.

• Ulama menetapkan satu perintah yang dinyatakan sesudah larangan adalah harus.

c. Wadho’i iaitu khitab Allah yang menunjukkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang kepada sesuatu hukum.

1. Contoh sebab

Maksudnya: Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangan mereka.

• Sebab mencuri wajib dipotong tangan.

2. Contoh syarat

Maksudnya: daripada Abu Hurairah RA sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah tidak menerima solat seseorang daripada kamu apabila berhadas sehingga ia berwuduk.

• Berwuduk syarat wajib solat.

3. Contoh penghalang (mani’a)

Page 12: KONSEP USHUL FIQH.docx

Maksudnya: daripada Abu Hurairah RA sabda Rasulullah SAW : Orang yang membunuh tidak boleh mewaris.

• Perbuatan membunuh menjadi penghalang kepada seseorang untuk mewarisi harta pusaka yang ditinggalkan oleh si mati.

Pembahagian hukum syarak

Hukum Syarak

Hukum Takhlifi Hukum Wadho’i

Ijab Sabab

Nadbu Syarat

Tahrim Mani’

Karahah Sohih

Ibahah Batil

Hukum Takhlifi

• Iaitu Khitab Allah yang mengandungi tuntutan ke atas mukallaf supaya melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan atau mengandungi pilihan samada hendak melakukan atau tidak.

Hukum Takhlifi Penerangan

1 Ijab Tuntutan Syarak ke atas mukallaf supaya melakukan sesuatu perbuatan yang pasti (jazam). Jika tidak dilakukan, akan berdosa, jika dilakukan akan mendapat pahala.

Perkataan Wujub menunjukkan kesan tuntutan tersebut, manakala Wajib pula ialah perbuatan yang dituntut supaya dilakukan.

2 Nadbu

Page 13: KONSEP USHUL FIQH.docx

Tuntutan Syarak ke atas mukallaf supaya melakukan sesuatu perbuatan yang tidak pasti (ghairu jazam). Jika tidak dilakukan , tidak berdosa, tetapi jika dilakukan mendapat pahala.

Perkataan Nadbu menunjukkan kesan tuntutan tersebut, manakala lafaz Mandub menunjukkan perbuatan itu sendiri.

3 Tahrim

Tuntutan Syarak supaya meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazam). Jika dilakuka berdosa, jika ditinggalkan akan mendapat pahala.

Perkataan Hurmah menunjukkan kesan tuntutan tersebut, manakala lafaz Haram menunjukkan perbuatan itu sendiri.

4 Karahah

Tuntutan Syarak supaya meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan tidak pasti (ghairu jazam). Jika dilakukan tidak berdosa, jika ditinggalkan mendapat pahala.

Perkataan Karahah menunjukkan kesan tuntutan tersebut, manakala lafaz Makruh menunjukkan perbuatan itu sendiri.

5 Ibahah

Tuntutan Syarak yang mengandungi pilihan mukallaf samada untuk melakukan atau meninggalkan.

Kesan dari khitab ini juga dinamakan Ibahah, manakala perbuatan yang menjadi pilihan itu dinamakan Mubah, Jaiz atau Halal.

Hukum Wadho’i

• Iaitu Khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang (mani’a) kepada sesuatu hukum.

Page 14: KONSEP USHUL FIQH.docx

Hukum Wadho’i Penerangan

1 Sabab

Sesuatu yang menjadi asas wujudnya sesuatu hukum.

Apabila ada Sabab, ada hukum, jika tiada Sabab maka tiada hukum.

Contohnya gelincir matahari menjadi Sabab wajib tunai solat Zuhur.

2 Syarat

Sesuatu yang kerana adanya, ada hukum, tetapi tidak semestinya apabila adanya ada hukum.

Contohnya wuduk syarat sah solat. Apabila tidak ada wuduk solat tidak sah tetapi tidak semestinya seseorang berwuduk kerana hendak menunaikan solat. Mungkin dia berwuduk kerana hendak menyentuh al-Quran.

3 Mani’a

Sesuatu yang kerananya sesuatu hukum tidak dapat dilaksanakan sedangkan tanpanya hukum tersebut boleh dilaksanakan.

Contohnya perbezaan agama menjadi penghalang bagi hukum pembahagian pusaka. Jika tiada perbezaan agama, pembahagian pusaka dapat dilaksanakan.

4 Sohih

Page 15: KONSEP USHUL FIQH.docx

Perbuatan yang sempurna syarat dan rukunnya serta terhasil kesan yang dikehendaki darinya sebagaimana yang ditetapkan pleh syarak.

Contohnya solat yang dilakukan cukup syarat atau rukun dikira sah oleh syarak.

5 Batil

Perbuatan yang tidak sempurna syarat dan rukunnya serta tidak terhasil kesan yang dikehendaki darinya sebagaimana yang ditetapkan oleh syarak.

Contohnya solat yang dilakukan tanpa cukup syarat atau rukun dikira batal oleh syarak.

Kesimpulan

Berdasarkan ilmu Usul Fiqh dan Hukum Syarak, saya dapat mengeluarkan beberapa hikmah suruhan dan larangan ALLAH. Antaranya ialah:

• Mendisiplinkan diri manusia itu sendiri.

• Menguji tahap keimanan seseorang individu muslim.

• Meransang manusia untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam erti kata lain “Amar Makruf Dan Nahi Mungkar”.

• Dapat membezakan antara manusia dan haiwan. Hal ini adalah kerana manusia dikurniakan akal oleh Allah untuk menentukan sesuatu yang baik dan buruk.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah ushul fiqh bukanlah hal yang baru di dalam khazanah fiqih Islam, jadi jika setiap peradaban memiliki budaya yang dibanggakan dan khazanah unik yang tidak dimiliki oleh peradaban lain, maka sudah sepatutnya jika umat Islam membanggakan keunikan ushul fiqh ini yang dapat dianggap sebagai kekayaan ilmiah yang tidak ada duanya dalam sejarah peradaban manusia.

Page 16: KONSEP USHUL FIQH.docx

Ushul fiqh yang sering disebut dengan istilah “Turuqul Istinbath” (disiplin ilmu yang mengkaji cara-cara membuar konklusi hukum) atau “manaahij al-ijtihad” (metodologi ijtihad) merupakan salah satu disiplin ilmu yang diklaim sebagai ilmu yang orisinil, asli produk Islam tanpa adopsi dari peradaban lain, meskipun pada perkembangan selanjutnya ilmu ini mengalami asimilasi yang ditandai dengan merasuknya ilmu mantiq pada kitab Al-Mushtasfa, karangan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali (wafat 505 H)dan itupun pada sebagian pembahasan saja. 14 abad silam Nabi Muhammad saw jauh-jauh sudah memberikan titik barometer umat ini, dalam sabda beliau; “Barang siapa yang Allah kehendaki jadi orang yang baik niscaya Allah “memfaqihkannya” (memahamkannya) dalam urusan agama.” Dan tentunya untuk menjadi faqih itu harus bias memahami dan menguasai(ushulfiqh).

Maka di prolog ini penulis menyarankan kepada saudara-saudara supaya kita lebih giat lagi dalam mengkaji ilmu ushul fiqh ini. Karena selain ini adalah warisan para leluhur kita, juga merupakan escalator untuk menjadi orang yang faqih. Dan di makalah ini penulis menulis pengantar dalam ilmu ushul fiqh dan metodologinya secara global yang meliputi: pengertian ushul fiqh, tujuan mempelajari ushul fiqh, perkembangan ushul fiqh, metodologi penulisan ushul fiqh, dan metodologi bahasan ushul fiqh.

Ushul Fiqh sebagai salah satu kajian ilmu-ilmu keislaman, tentunya juga memiliki sejarah mengapa ilmu ini bisa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Ilmu yang mengkaji hukum Islam ini lebih fokus dalam peranan dan fungsinya sebagai dasar dalam memutuskan sebuah hukum. Jika ditelusuri ke masa yang akan datang, permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat sangatlah dinamis. Sehingga mustahil jika seseorang bisa dengan mudah memutuskan berbagai hukum yang terus berkembang tersebut.

Disnilah pentingnya ushul (dasar) yang bisa menjadi landasan seseorang dalam menentukan sebuah hukum (fiqh) pada permasalahan-permasalahan baru. Namun, tiada salahnya kembali flashback ke sejarah perkembangan ushul fiqh dimulai dari masa Nabi hingga masa Imam Mazhab.

Dalam makalah ini penulis juga akan menyebutkan latar belakang konsep-konsep ushul fiqh. Serta pendekatan-pendekatan dalam ushul fiqh. Walaupun nantinya, tidak diuraikan secara mendetail oleh penulis. Mengingat bahwa, pada saat kami berdua menyusun makalah ini. Ada beberapa sahabat yang berpesan agar kami tidak menjelaskan secara rinci. Dengan alasan kalau penulis menguraikan hal tersebut. Nantinya, bahan yang mereka akan bahas terjadi pengulangan (repetation). Namun, nilai-nilai hakiki yang terletak di dalam tidak akan mengurangi isi dari makalah ini. Olehnya itu penulis telah menyusun makalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut:

B. Rumusan Masalah

1. Sejarah perkembangan Ushul Fiqh (Masa Nabi hingga Imam Mazhab) ?

2. Bagaimana Latar Belakang Konsep-Konsep Ushul Fiqh ?

3. Uraikan secara singkat Pendekatan-Pendekata dalam Ushul Fiqh ?

BAB II

Page 17: KONSEP USHUL FIQH.docx

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

1. Ushul Fiqh Masa Rasulullah

Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telur.

Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh.[1] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.

Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.

Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.

Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”

Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.

Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah.Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah. Suatu saat seorang perempuan datang

Page 18: KONSEP USHUL FIQH.docx

kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:

: : . �ق�ض�اء� �ال ب Jح�ق� أ ه� الل Qن� د�ي ف�ق�ال� �ع�م� ن ف�ق�ال�ت� �ه� �ق�ض�ين ت �ت� �ن �ك أ Qن� د�ي �ه�ا �ي ع�ل �ان� ك �و� ل �ت� �ي أ ر�� أ

“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”[2]

Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.

Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.

2. Ushul Fiqh Masa Sahabat

Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:

: - ع�ر�ض� : - �ذ�ا إ �ق�ض�ى ت �ف� �ي ك �ه� ل ق�ال� �م�ن� �ي ال �ل�ى إ م�ع�اذYا �ع�ث� ب �ما ل وسلم عليه الله صلى الله� س�ول� ر� ن� أ م�ع�اذ] ع�ن�

- : : . : . صلى الله� س�ول� ر� ة� ن �س� ب �ق�ض�ى أ ق�ال� ه�؟ الل �اب� �ت ك ف�ى �ج�د�ه� ت �م� ل �ن� ف�إ ق�ال� ه� الل �اب� �ك�ت ب �ق�ض�ى أ ق�ال� ق�ض�اءQ؟ ل�ك� : . : .. : .- ف�ى �د�ه� �ي ب ب� ف�ض�ر� ق�ال� �و آل � ال �ى ي

� أ �ر� ب �ه�د� ت ج�� أ ق�ال� ه� الل س�ول� ر� ة� ن س� ف�ى �ج�د�ه� ت �م� ل �ن� ف�إ ق�ال� وسلم عليه الله

ه� : الل س�ول� ر� �ر�ض�ى ي �م�ا ل ه� الل س�ول� ر� س�ول� ر� و�فق� ذ�ى ال ه� لل �ح�م�د� ال و�ق�ال� .ص�د�ر�ى

Artinya: Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”[3]

Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi

Page 19: KONSEP USHUL FIQH.docx

Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[4]

Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[5] Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidin) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.

Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.

Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.

Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat Al-Baqarah (2) 228:

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4…

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’,…

Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[6] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).

Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[7]

Page 20: KONSEP USHUL FIQH.docx

Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.

3. Ushul Fiqh Masa Tabi’in

Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.

Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.[8]

Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting yaitu Pemalsuan hadits dan perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)

Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.

4. Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab

Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh. Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan

Page 21: KONSEP USHUL FIQH.docx

belas dalil hukum itu antara lain: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ ummat, Ijma’ orang Madinah, Qiyas, Pendapat sahabat, Maslahah mursalah, Istishab, Bara’ah ashliyah, Adat/‘urf, Istiqra’ (induksi), Sadd al-dzariah (tindakan preventif), Istidlal, Istihsan, Mengambil yang lebih mudah, Ishmah, Ijma’ orang Kufah, Ijma’ sepuluh orang dan Ijma khulafa’ yang empat (khulafaurrasyidin).[9]

Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan.

Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah. Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.

Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.

Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja.

Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.

Sejalan dengan munculnya pemalsuan hadis tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan

Page 22: KONSEP USHUL FIQH.docx

hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm. Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dan beliau menolak Imkaru Sunnah.

Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti. Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[10]

Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.

Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.

Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Al-Qur’an atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.

B. Konsep-Konsep Ushul Fiqh

KONSEP

USHUL FIQH

ISTIQRA’

INTEGRAL

Page 23: KONSEP USHUL FIQH.docx

ISTINBATH

DERIVASI Al-Qur’an & Sunnah Menjadi Hukum atau Al-Bayan atau Menjelaskan/ Penjelasan.

Living Law,

Al ‘Ada dan

Tradisi.

Normativisme-Positivisme-Rasionalisme

saling melengkapi dalam penetapan

Suatu Hukum Fiqih

1. Istinbâth (Deduksi)

Istinbâth” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbâth ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.[11] Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum Islam, arti istinbâth menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihâd. Fokus istinbâth adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur-ân dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbâth. Menurut Muhammad Rifai:

ة�: ن Jو�الس �اب� �ك�ت ال م�ن� �اط� �ب �ن ت �س� �إل ا �ق� �ط�ر�ي ب cع�ي ] شر� �م ح�ك �ل� �ي ن ف�ي� ع� �و�س� ال اغ� �ف�ر� ت �س� ا �ه�اد� ت �ج� .اإل

[

Artinya: “Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari Kitab dan Sunnah”.[12]

Upaya istinbâth tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[13] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbâth, yakni melalui kaedah-kaedah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbâth atau ijtihâd adalah sebagai berikut:

Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’ân yang berhubungan dengan masalah hukum.

Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.

Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijmâ’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijmâ’.

Page 24: KONSEP USHUL FIQH.docx

Pengetahuan yang luas tentang qiyâs, dan dapat mempergunakannya untuk istinbâth hukum.

Mengetahui ilmu logika, agar dapat mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena Al-Qur-ân dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain.[14]

Istinbâth adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash (teks) Al-Qurân atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisis untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisis makna terjemah (‘ibârah nash), analisis pengembangan makna (dilalâh al-nash), analisis kata kunci dari suatu pernyataan “(isyârah al-nash), dan analisis relevansi makna (istidhâ’ al-nash).

2. Istiqra’ (Induksi)

Metode induktif biasanya dirumuskan oleh mujtahid yang berorientasi sosiologis antropologis. Bagi mereka, kenyataan-kenyataan sosial dapat menentukan rumusan hukum. Bagi kelompok kedua ini terkenal sebuah kaidah “tagayyur al ahkam bi tagayyur al amkinah wa al azminah” (hukum dapat berubah dengan perubahan zaman dan tempat). Istiqra’ (induksi) didefinisikan sebagai berikut:

) ـ ) ع�ام�ة] ق�اع�د�ة] cل?ي� ك [ �م ح�ك ع�ل�ى �ل�ح�ص�و�ل� ل �ات� �ي ئ ز� �لج� ا �ع� �ب �ت ت ه�و� اء� �ق�ر� ت �س� �إل ا

“Istiqra’ adalah menarik hal-hal yang bersifat juz’iyah (partikular) untuk menghasilkan hukum yang bersifat kulli (umum).

Dalam etimologi bahasa Arab istiqra’ berasal dari kata istaqraa (إستقرء) yang merupakan derivasi dari kata qaraa (قرأ) yang bermakna mengumpulkan atau menggabungkan antara satu sama lain, imbuhan alif, sin, dan ra’ berfungsi sebagai isyarat dari permintaan.[15] Sedangkan dalam kamus Misbah al-Munir, istiqra’ al-Asyâi ( األشياء yaitu mempelajari bagian-bagiannya untuk mengetahui kondisi (إستقراءserta keistimewaannya.[16]

Sebagai sebuah terminologi dalam teori ushul fikih, para ulama ushul khususnya pastilah mencantumkan definisinya masing-masing dalam buku mereka. Namun, keberagaman olah kata yang mereka ajukan sebagai sebuah definisi memiliki makna yang hampir sama, karena konseptualnya mengandung substansi yang sama. Imam al-Jurjani dalam kamus istilahnya “at-Ta’rifat” mengartikulasikan istiqra’i sebagai hukum universal yang berasal dari sebagian besar cabang-cabangnya. Dinamakan istiqra’ karena langkah awal yang harus ditempuh dalam metode ini yaitu dengan mempelajari cabang-cabang yang khusus terlebih dahulu.[17] Kurang lebih jika disimpulkan istiqra’ adalah mempelajari cabang-cabang dari sebuah permasalahan yang universal secara terperinci untuk menarik sebuah konklusi hukum yang juga universal, lalu barulah hukum tersebut ditransformasikan atau disesuaikan dengan objek yang dipermasalahkan.[18]

Page 25: KONSEP USHUL FIQH.docx

Istiqra’ disebut juga dengan nama kaidah umum ( عامة .(قاعدة

Dari definisi diatas dapat dipahmi beberapa aspek berikut: Menarik hal-hal yang bersifat juz’i merupakan satu cara khusus dalam rangka mengetahui hukum yang bersifat kulli yang berlaku bagi hal-hal tersebut. Dari hasil tersebut kemudian dihasilkan “kaidah-kaidah umum”.

Contohnya: kita melakukan istiqra’ (menginduksi) atau menarik hukum penggunaan fa’il ke dalam beberapa jumlah (kalimat) yang berbeda dalam bahasa Arab dalam rangka mengetahui hukum i’rabnya. Maka kita dapat menemukan bahwa kalimat yang memiliki posisi sebagai fa’il dalam beberapa kalimat yang kita teliti adalah ‘marfu’ (dirafa’kan). Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa: “fail dalam bahasa Arab adalah marfu’ (dirafa’kan)”. Sedangkan kaidah umum dari pernyataan tersebut berbunyi: “Setiap Fail adalah Marfu”

Dalam rantai sejarah ilmu pengetahuan Islam akan ditemukan nama-nama ilmuwan muslim yang memperkenalkan metode istiqra’ dalam disiplin ilmu masing-masing. Mungkin kita semua telah sangat akrab dengan nama besar Imam Syathibi dan Ibnu Khaldun. Masing-masing dari mereka dengan metode istiqra’ menghasilkan adikarya yang monumental. Imam Syathibi dengan “Muwafaqat” dan Ibnu Khaldun dengan “Mukaddimahnya”.

Istiqra’ terbagi kepada dua bagian: istiqra’ tam dan istiqra’ naqish.

Pertama, Istiqra’ Tâm (observasi induktif sempurna). Istiqra’ tâm adalah penelitian secara cermat semua keadaan partikular selain objek permasalahan untuk mencapai sebuah konklusi hukum universal. Semua ulama ushul mengakui keabsahan istiqra’ tâm sebagai dalil yang dipakai untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Akan tetapi, derajat keabsahannya sebagai dalil masih dipermasalahkan. Mayoritas ulama ushul menilai bahwa istqra’ tâm adalah dalil yang dogmatis, kokoh serta dapat diyakini kebenarannya. Penilaian ini diperkuat dengan sebuah argumentasi bahwasanya suatu hukum jika sudah ditetapkan qath’i (pasti kebenarannya) secara parsial maka akan pasti juga kebenarannya secara universal.[19] Argumen ini kemudian diperkuat oleh Ibnu Taimiyah dengan statemennya, “adapun istiqra’ akan menjadi dalil yang kuat jika ia merupakan istiqra’ tam (diproses secara sempurna)”.

Contoh terapan: Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan wajib atau tidaknya shalat witir. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat hukum shalat witir sunnah muakkad sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Mayoritas ulama yang mengatakan bahwa hukum shalat witir itu sunnah muakkad dengan berpegangan pada metode istiqra’ setelah sebelumnya mereka mengartikulasikan dalil-dalil dari al-Quran dan Hadis.

Menurut Ijma’ shalat witir boleh dilaksanakan di atas hewan tunggangan seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah Saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Said bin Yassar.[20] Ketika dibuktikan sesuai metode istiqra’ semua shalat wajib tidak pernah ditunaikan di atas tunggangan baik itu ada’ maupun qadha’. Dari sini dapat disimpulkan bahwasanya shalat witir tidak wajib, kalau seandainya shalat ini wajib maka ia tidak diperbolehkan melaksanakannya di atas tunggangan.[21]

Page 26: KONSEP USHUL FIQH.docx

Kedua, Istiqra’ Nâqish (observasi induktif tak sempurna). Istiqra’ jenis ini adalah penelitian secara terperinci sebagian besar hal-hal partikular agar tercapai konklusi hukum universal untuk menetapkan hukum objek permasalahan. Ini berarti tidak semua permasalahan yang berada dalam cakupan hukum universal itu harus diteliti. Dengan kata lain, cukup mempelajari sebagian besar yang mewakilinya saja. Para ulama ushul berbeda pendapat akan keabsahan istiqra’ naqish sebagai dalil dalam inferensi hukum. Perbedaan ini terbagi dalam dua pendapat:

Pendapat pertama yang didukung oleh mayoritas ulama ushul di antaranya Imam Baidhawi dan mayoritas ulama Syafi’i, al-Hindi, Imam Syathibi serta beberapa dari ulama Hanabilah[22] yang menyatakan bahwasanya istiqra’ naqish adalah dalil zhanni dalam penentuan hukum universal tanpa harus ada intervensi dari dalil-dalil eksternal, begitupun dalam menentukan hukum dari objek permasalahan.

Argumen yang menguatkan bahwasanya bentuk ini adalah dalil zhanni yakni jika kita menghasilkan hukum yang sama di dalam mayoritas dari bagian suatu permasalahan maka kemungkinan bagian yang tersisa dan belum dipelajari juga sama hukumnya, karena yang sedikit mengikuti yang paling umum dan sering terjadi (ilhâq al-fardh bi al-aghlab) bahkan hal semacam ini sering berlaku dalam bab-bab fikih. Di samping itu, ditakutkan juga akan ada perselisihan antara yang tidak diteliti dan yang telah diteliti.[23]

Di sisi lain istiqra’ naqish tidak diangap sebagai dalil qath’i dan kokoh karena hukum universalnya tidak didukung oleh semua parsialnya. Sehingga boleh-boleh saja jika objek permasalahan tidak menerapkan hukum universal ini. Dalam artian bisa saja hukum dari objek permasalahan bertentangan dengan hukum universal hasil istiqra’.

Pendapat kedua yang diwakili oleh Imam Fakhru ar-Razi yang menyatakan bahwasanya istiqra’ naqish bukanlah dalil yang qath’i maupun zhanni sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum fikih secara mandiri. Ini dikarenakan hukum yang dihasilkan dari penelitian beberapa bagian saja dari hukum universal akan menghasilkan konklusi yang prematur dan tidak bisa diterapkan ke dalam bagian yang belum diteliti. Kesimpulan seperti ini akan berakibat ketidakpastian hukum dari bagian yang belum diteliti sehingga memberi peluang akan terjadi pertentangan dalam internal hukum yang dimaksud.

Contoh terapan: Dalam menentukan usia minimal seorang wanita yang mendapat haid pertamanya, ulama fikih menggunakan metode ‘istiqra yang menghasilkan bahwa secara umum wanita pertama kali mendapat haidh pada usia sembilan tahun. Dalam konteks ini, ulama hanya berpegangan pada keadaan dan kondisi sosial mayoritas perempuan yang ada.[24] Begitu juga penentuan waktu minimal haidh seorang wanita, Imam Syafi’i mendapatkan informasi dari seorang wanita yang mengatakan bahwa saudara perempuannya hanya haidh sehari semalam dalam satu tahun dan dia normal-normal saja saat hamil maupun melahirkan, nifasnya pun pas dengan waktu yang ditentukan yaitu 40 hari. Dari sini Imam Syafi’i menyimpulkan bahwasanya waktu minimal haidh seorang wanita adalah sehari semalam.[25]

3. Integrasi (Gabungan)

Integralistik dapat pula dimaknai sebagai gabungan, apa yang disebut dalam paradigma filsafat ilmu, antara normativisme, positivisme/ empirisme dan rasionalisme. Dalam masalah-masalah sosial empirik

Page 27: KONSEP USHUL FIQH.docx

yang ta’aqquli (reasonable), ketiga pendekatan tersebut dapat berjalan secara simultan. Dalam kasus pengharaman minuman memabukkan, interpretasi deduktif nash.

Contohnya dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 90 :

Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka’bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka’bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.[26]

Dan qiyas untuk menjangkau setiap minuman yang memabukkan. Pertimbangan menghilangkan mudharat dan mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara empiris, induktif. Hal ini, memperlihatkan bahwa normativisme-positivisme-rasionalisme dapat saling melengkapi dan berjalan bersama dalam penetapan suatu hukum fiqh.

C. Pendekatan dalam Ushul Fiqh

Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani(linguistik),ta’lili(qiyasi:kausasi) dan tathbiqi/istislahi (teleologis).[27] Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa. Dengan berbagai pola dan basis epistemik inilah lahir dan tersusun ribuan kitab fiqih dengan derivasi cabang yang bermacam-macam di dalamnya.

Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks. Pola implementasi inilah yang berkembang dan dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum. Mereka hanya melakukan reproduksi makna dan belum melakukan produksi makna baru.

Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer.[28]Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Mekanisme interpretasi produktif Gadamer ini dimulai dengan memandang suatu teks tidak hanya terbatas pada masa lampau (masa teks itu dibuat) tetapi memiliki keterbukaan untuk masa kini dan mendatang untuk ditafsirkan menurut pandangan suatu generasi. Sebagai hal yang bersifat historis, sebuah pemahaman sangat terkait dengan sejarah, yaitu merupakan gabungan dari masa lalu dengan masa sekarang.

Page 28: KONSEP USHUL FIQH.docx

Namun, upaya ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan diminatinya metode ini. Akhirnya, apriori asumsi muncul bahwa pengembangan penafsiran teks dengan memakai tawaran Gadamer ini, bagaimanapun diusahakan, tetap saja akan terjebak dengan hegemoni makna lama dari pada pencapaian makna baru. Dalam konteks sebagai sarana bantu penyelesaian kasus hukum baru, upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.

Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi)[29] berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.

Dengan melihat dasar dan pola operasionalnya, terlihat bahwa metode ini sangat gagap jika harus dihadapkan pada penyelesaian berbagai kasus baru yang muncul. Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas –dengan sendiri– menjauhkannya dari nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, sui generis, dan “ngawang-ngawang”, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik).

Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali[30] dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi[31] ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Maka ijtihad Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akanditerapkan.Objek Ijtihad adalah menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain.

Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern.

Page 29: KONSEP USHUL FIQH.docx

Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri –yang nota bene merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu sendiri— selalu saja didefinisikan sebagai ” اآلحكام إلستنباط القواعد

التفصيلية أدلتها من العملية seperangkat kaidah untuk mengistimbathkan hukum syar’i amali“ ”الشرعيةdari dalil-dalilnya yang tafsili”.[32]

Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh tersebut adalah kalimat منالتفصيلية Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang . أدلتها

terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks.[33] Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik

Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.[34] Dari tiga model metode penemuan hukum Islam yang merupakan jabaran dari ushul fiqh klasik di atas, adalah ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya kajian hukum Islam memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.[35]

Kesulitan ini dari masa ke masa tetap saja merupakan tantangan yang belum terjawab tuntas. Walaupun usaha menjawab tantangan ini telah banyak dilakukan diantaranya melalui tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.[36]

Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan untuk menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas.[37] Artinya, meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan (makna) teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Paling tidak secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong (jarak) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.

Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) tersebut di atas tentu saja bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu. Penjabarannya bisa dilacak lebih jauh dengan adanya fakta bahwa sebagian besar umat Islam masih menganut subjektifisme teistik yang berimplikasi pada satu keyakinan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Contoh dari keyakinan inilah yang tampaknya telah ikut menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut.

Page 30: KONSEP USHUL FIQH.docx

Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action –sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya– tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.

Dalam pandangan Louay Safi, sangat terbatasnya metode-metode klasik untuk diterapkan dalam menghadapi realitas modern inilah, sesungguhnya, kesulitan yang dihadapi pemikir muslim saat ini. Ketidak-cakapan metode tradisional juga terungkapkan dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral, yaitu pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik dan adanya kecenderungan menghilangkan seluruh kriteria dan standar rasional dengan menggunakan metodologi yang murni intuitif dan esoteris.[38] Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.[39]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.

Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[40]

Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.

Page 31: KONSEP USHUL FIQH.docx

Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh. Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya.

Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ ummat, Ijma’ orang Madinah, Qiyas, Pendapat sahabat, Maslahah mursalah, Istishab, Bara’ah ashliyah, Adat/‘urf, Istiqra’ (induksi), Sadd al-dzariah (tindakan preventif), Istidlal, Istihsan, Mengambil yang lebih mudah, Ishmah, Ijma’ orang Kufah, Ijma’ sepuluh orang dan Ijma khulafa’ yang empat (khulafaurrasyidin).

Adapun mengenai konsep-konsep ushul fiqh (istinbath, istiqra’ dan integrasi). Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash (teks) Al-Qurân atau Sunnah. Istiqra’ biasanya dirumuskan oleh mujtahid yang berorientasi sosiologis antropologis

onsep Ushul Fiqh

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQH

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Uhulul Fiqhi" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.

Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun cara-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbatkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah.

Page 32: KONSEP USHUL FIQH.docx

Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah الشرعية yang (dalil-dalil syar'i) ادلةmerupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum الشرعية itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum ادلةdengan mempergunakan masing-masing dalil itu.

Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:

a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum تكليفى (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum وضعى (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).

b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.

c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.

d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.

e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.

f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.

g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.

h. Masalah ra’yu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.

Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.

Page 33: KONSEP USHUL FIQH.docx

Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.

Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu. Dengan Usul Fiqh :

· Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.

· Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.

· Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.

· Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.

Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.

Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.

B. DALIL-DALIL USHUL FIQH SECARA GLOBAL

Page 34: KONSEP USHUL FIQH.docx

Ilmu Ushul Fiqh ini hanya membahas dalil-dalil fiqh secara global, seperti Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan kedua sumber tersebut seperti : Al ‘Am, Al Khos, Al Mutlaq, Al Muqayad, Al Mujmal, Al Mubayin, Al Hakikah , Al Majaz dan lain-lainnya. Selain itu, ilmu ini juga membahas tentang Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, yaitu Qaul Shohabi , Al Istishab, Al Istihsan, Sadd al-Dzara’idan Al Masholih al-Mursalah.

Adapun Ilmu Fiqh pembahasannya terfokus pada dalil-dalil syar’i secara lebih terperinci , seperti: kewajiban berniat ketika hendak berwudlu, dengan menggunakan dalil firman Allah swt :

� �وا ل فاغ�س� الصالة� �ل�ى إ �م� ق�م�ت �ذ�ا إ

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu.“( Qs Al Maidah : 6 ).

Apabila kamu hendak menunjukkan bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :

بالنيات األعمال إنما

“Bahwasanya sahnya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat.“(HR Bukhari no : 1, Muslim no : 4844).

(Metodologi penggunaan dalil- dalil tersebut)

Selain membahas dalil- dalil secara global, Ilmu Ushul Fiqh juga membahas tata cara penggunaan dalil- dalil tersebut. Tata cara penggunaan dalil – dalil syar’i, bisa dibagi menjadi dua bagian :

Bagian pertama ; Yang bersifat “ اللفظ “ ( tekstual), yaitu tata cara penggunaan dalil-dalil syar’i yang terkait dengan teks –teks Al Qur’an dan Sunnah . Tata cara ini bisa juga disebut dengan “ Al Ijtihad Al-Bayani “ , seperti firman Allah swt :

الصالة� � ق�يم�وا� أ �ن� و�أ

“Dan dirikanlah sholat.“(QS Al An’am : 72).

Perkataan “ Aqimuu “ menunjukkan perintah , dan perintah ini tidak terikat dengan unsur lain, di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa “suatu perintah pada dasarnya menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada hal-hal yang memalingkannya dari makna asli.“ Dengan demikan kita mengetahui dari ayat di atas,bahwa sholat hukumnya wajib.

Bagian kedua : Yang bersifat “ المعنوى” ( substansial ), yaitu tata cara menggunakan dalil-dali syar’i dengan melihat subtansi atau pesan dari teks-teks yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits , kemudian pesan tersebut diterapkan pada masalah-masalah lain yang tidak tersebut di dalam teks. Bagian ini bisa disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Qiyasi “ . Tata cara ini dibagi menjadi tiga macam :

v Takhrij Al Manat, yaitu : mengeluarkan pesan atau alasan dari teks.

Page 35: KONSEP USHUL FIQH.docx

v Tanqih Al Manat, yaitu : menyeleksi alasan-alasan yang dikeluarkan dari teks dan mengambil yang paling sesuai.

v Tahqiq Al Manat, yaitu : Menerapkan pesan atau alasan yang sudah terseleksi pada masalah-masalah yang tidak tersebut dalam teks.

(Membahas kondisi orang-orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut)

Orang-orang yang menggunakan dalil- dalil tersebut adalah para mujtahid, yaitu orang yang mampu melakukan istinbath hukum dari dalil syar’i.

Ilmu Ushul Fiqh ini membahas juga pengertian ijtihad dan mujtahid, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menjadi seorang mujtahid, tingkatan-tingkatan mujtahid, bentuk-bentuk ijtihad. Selain itu dibahas juga pengertian “ مقلد”, yaitu seseorang yang belum mampu melakukan proses ijitihad secara sendiri, sehingga dia harus mengikuti perkataan mujtahid di dalam mengetahui hukum-hukum syar’i. Di dalamnya diterangkan juga tentang beberapa kondisi dimana seseorang dibolehkan bertaqlid. Berikutnya, dibahas juga pengertian ‘ talfiq ‘ , yaitu menggabungkan pendapat-pendapat di dalam berbagai madzhab dalam satu masalah atau lebih,kemudian diamalkan secara bersama .

Jika ada pertanyaan : “ Al Maqasid dan Al Maslahat “ , dua hal yang akhir-akhir ini sering dilirik oleh sebagian pemerhati syari’at, apakah termasuk dalam bagian dari ilmu ushul fiqh ? Jawabannya bahwa Al Ilmu bil-Maqashid atau pengetahuan tentang tujuan diturunkan syari’at oleh sebagain ulama dikatagorikan sebagai salah satu syarat ijitihad yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Namun mayoritas ulama menganggapnya sebagai syarat pelengkap saja, bukan syarat utama, karena maqashid syari’at tidak bisa diketahui kecuali melalui teks-teks yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ijitihad dengan menggunakan pertimbangan maslahat bisa disebut dengan “ Al Ijtihad Al Maqashidi.“

Adapun Maslahat, atau Mashalih Mursalah adalah dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama, walaupun pada hakekatnya mereka menyepakati bahwa maslahat yang masih dalam koridor syari’at bisa dipakai sebagai pembantu di dalam menentukan hukum dalam suatu masalah. Dan itu semua kembalinya kepada pemahaman terhadap teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Ijtihad dengan menggunakan koridor maslahat disebut juga dengan “ Al Ijtihad Al Istislahi.“

C. TUJUAN MEMPELAJARI USHUL FIQH

Bahwa tujuan diletakkannya ilmu ushul fiqh adalah untuk mengetahui hukum syariah perbuatan, melalui peletakan kaidah dan metode agar seorang mujtahid terhindar dari kesalahan. Fiqh dan ushul fiqh mempunyai tujuan yang sama, yakni hukum syariah. Hanya saja, ushul fiqh berperan menetapkan metode dan kaidah pencetusan hukum, sedangkan fiqh yang melakukan pencetusan hukum melalui metode dan kaidah yang ditetapkan oleh ushul fiqh. Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh tidak dibutuhkan lagi karena pintu ijtihad sudah ditutup, karena menurut kami pintu ijtihad terbuka sampai hari kiamat kelak, tentu dengan syarat-syarat yang berlaku. Ulama’ yang berfatwa bahwa pintu ijtihad sudah tertutup adalah dikarenakan dulu mereka melihat fenomena kelancangan

Page 36: KONSEP USHUL FIQH.docx

orang bodoh terhadap syariah Allah, mencetuskan hukum berdasarkan nafsu dan menyebarkannya di antara orang yang tidak memahami ushul fiqh.

Orang yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad juga tetap membutuhkan ilmu ini. Mereka cukup mempelajari kaidah-kaidah ushul fiqh hingga rujukan yang digunakan mujtahid sebagai landasan pendapat mereka, dasar-dasar madzhab mereka, dan sesekali dapat membandingkan dan mengunggulkan (tarjih) salah satu pendapat dan mengeluarkan hukum sesuai dengan metode yang digunakan para imam mujtahid dalam menetapkan dan mencetuskan hukum.

Sebagaimana hukum syariah yang tidak bisa lepas dari ilmu ini, pengacara, hakim, dosen dan sebagainya juga tidak bisa lepas dari ushul fiqh dalam memutuskan suatu hukum. Karena kaidah dan dalil yang ditetapkan ushul fiqh (seperti qiyas dan dalilnya, kaidah ushul untuk menafsirkan nash, cara penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya, segi pengambilan dalil dan kaidah untuk mengunggulkan [tarjih] satu di antara dalil) adalah salah satu hal yang harus dikuasai oleh orang yang berkompeten dalam memutuskan suatu hukum dan untuk mengetahui tafsir dan hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itulah mengapa Fakultas Syariah dan Hukum di Irak, Syiria, Mesir dan Negara lain tetap mengajarkan ilmu ini kepada mahasiswanya.

D. KEGUNAAN MEMPELAJARI USHUL FIQH

Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara' yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama.

Dengan menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara' yang terperinci, maka dapat dipahami kandungan nash-nash syara' dan diketahui hukum-hukum yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh hukum perbuatan atau perbuatan- perbuatan dari nash tersebut. Dengan menerapkan kaidah-kaidah itu dapat juga ditentukan jalan keluar (sikap) yang diambil dikala menghadapi nash-nash yang saling bertentangan, sehingga dapat ditentukan pula hukum perbuatan dari nash atau nash-nash sesuai dengan jalan keluar yang diambil. Demikian pula dengar menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil seperti : qiyas, istihsan, istishlah, istishab dan lain sebagainya, dapat diperoleh hukum perbuatan-perbuatan yang tidak didapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Dari sisi ini jelaslah bahwa kegunaan Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, sebagaimana yang tertuang dalam pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang telah dipaparkan di depan. Kegunaan ilmu Ushul Fiqh yang demikian itu, masih sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, demikian pula dengan bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial pada berbagai daerah, adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan sebagai penyebab timbulnya persoalan-persoalan hukum yang baru; yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat

Page 37: KONSEP USHUL FIQH.docx

mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya.

Sedangkan dengan menjadikan kaidah-kaidah sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama, maka dari sini dapat diketahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu' tersebut, karena tidak jarang dijumpai dalam sebagian kitab-kitab fiqh yang menyebutkan hukum-hukum furu' hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama, tanpa disebutkan dalil-dalil dan cara-cara pengambilan hukum itu. Begitu juga dapat diketahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara para ulama, sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut pada hakekatnya berpangkal dari perbedaan dalil atau dari perbedaan cara yang ditempuh untuk sampai kepada hukum furu' yang diambilnya. Bahkan dapat pula untuk menyeleksi pendapat-pendapat yang berbeda dari seorang ulama, dengan memilih pendapat yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang digunakan oleh ulama tersebut dalam menetapkan hukum.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sisi ini, Ilmu Ushul Fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama. Kegunaan ini juga mempunyai arti yang penting, karena jika mungkin seseorang akan dapat memilih pendapat yang dipandang lebih kuat atau setidak-tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama harus mengetahui alasan-alasannya.

E. PENGARANG USHUL FIQH

a) SEJARAH PERTUMBUHAN FIQH ISLAM

Pertumbuhan fiqh dari awal sampai sekarang dapat dibedakan kepada beberapa priode,sebagai berikut:

* periode rasulullah, yaitu priode insya’ dan takwin yang berlangsung selam 22 tahun, yaitu terhitung sejak dari kebangkitan rasulullah pada tahun 610 M sampai dengan kewafatan beliau pada tahun 632M

* periode sahabat, yaitu tafsir dan takmil yang berlangsung selama 90 tahun , yaitu terhitung mulai kewafatan rasul sampai dengan akhir abad pertama hijriah

* periode tadwin dan munculnya para imam mujtahid dan zaman perkembangan serta kedewasaan hukum , yang berlangsung selam 250 tahun.

* periode taqlid, yaitu priode kebekuan dan statis yang berlangsung mulai pertengahan abad empat hijriah dan hanya Allah yang tahu kapan berakhirnya periode ini

b) SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH

Ushul fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari fiqh adalah Ushul Fiqh, berarti Ushul fiqh itu asas atau dalil fiqh yang diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ushul fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah. mengenai ilmu ushul fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke-2 H. ilmu tersebut, pada abad pertama H memang tidak diperlukan lantern keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasakan ajaran Al-Qur’an dan sunnah yang di ilhamkan kepada beliau.

Page 38: KONSEP USHUL FIQH.docx

Orang pertama yang memperkenalkan ushul fiqh adalah Imam Syafi’i. dan usahanya diikuti oleh tiga orang ulama’ besar di antaranya, Abu Hasan Muhammad Bin ‘Alal Bashariy As Syafi’i, dan Abu Hamid Al-Ghazaliy.

Kemudian disusul pula oleh seorang ulama’ pengarang ilmu ushul fiqh Qadhi Muhammad bin Ali bin Muhammad As-syaukaniy yang meninggal pada tahun 1255 H. Kemudian dengan tiba-tiba datang lagi seorang murid dari Qadhi Muhammad bin Ali bernama As-Said Muhammad Shadi Hasan yang menghianatinya. kemudian dinyatakan dalam Hushul Ma’mul min ‘Ilmi Ushul.

c) SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBAGAN FIQH DAN USHUL FIQH DI INDONESIA

Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu ushul fiqh, sedangkan pada waktu itu ulama’-ulama’ di Indonesia sibuk untuk mempelajari ilmu fiqh mazhab Imam Syafi’i dan mengajarkan Tafsir Jailanin, juga hal-hal yang berhubungan dengan ilmu Nahwu dan Shorof.

Orang yang bisa mempelajari bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu pada masa itu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat. Sedangkan sebagian para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkanbermacam-macam Ilmu. Sesampai mereka di Mekah mereka berusaha untuk mempelajari bermacam-macam ilmu di masjidil Haram.

Yang pertama kali mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad Khatib orang Minangkabau (Sumatera Barat), salah seorang imam yang tekun sebagai imam Syafi’i di Masjidil Haram dalam belajar.

Alm Ahmad Khatib mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak dalam bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka mempelajari Ilmu Ushul Fiqh, Tauhid, Musththalah Hadist, Bayan, Ma’aniy, Badi’ ‘Arud, Qawafiy, dan lain-lain.

Selesainya mereka mempelajari dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya masing-masing dan mulailah mereka menebarkan ilmu-ilmu tersebut, di antar mereka yang terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil Jabo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdullah Halaban, serta beberapa ulama’ lainnya.

Semenjak itu tersiarlah ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1310 H (±1890 M).

Walaupun ilmu Ushul Fiqh sudah menjadi berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulama’-ulama’ di waktu itu bertekun mempelajarinya.mengharapkan masalah-masalah fiqh, sehingga mereka tidak langsung menerima apa yang di katakan oleh Fuqaha’ sebelumnya, tetapi adalah dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang kuat dalam undang-undang yang telah ditetapkan

Page 39: KONSEP USHUL FIQH.docx

dalam ilmu ushul fiqh. Kemudian barulah mengatur pelajaran Ushul Fiqh dalam bermacam-macam tingkatan. Seperti:Tingkatan Ibtidaiyah,Tsanawiyah, ‘Aliyah dan lain-lain.

1.0 Pengenalan

Fiqh di sini bermaksud faham. Ini bersumber dari sabda Nabi s.a.w, “Sesiapa yang dikehendaki Allah kebaikan, nescaya dia akan diberikan pemahaman agama”. Manakala keutamaan diambil dari Bahasa Arab, ‘awlawiyyaat’. Al Quran dan sunnah menunjukkan kepada kita bahawa iman, amalan, ilmu serta peringkat syurga dan sebagainya mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri yang membezakan antara satu sama lain walaupun sepintas lalu, kesemuanya itu adalah sama-sama baik dan sama-sama diperlukan. Tingkatan-tingkatan yang berbeza ini menyebabkan ada sesuatu yang didahulu dan diutamakan, dan ada yang dikemudiankan. Memahami tingkatan-tingkatan ini dinamakan sebagai fiqh keutamaan.

Dalam realiti dakwah zaman kini, fiqh keutamaan dipopularkan oleh Syeikh Yusof Al Qaradawi melalui bukunya “Fi Fiqh Awlawiyyat: Dirasati Jadidati fi Dhaui al Quran wa Sunnah” (Keutamaan tugas-tugas kaum muslimin: Satu kajian baru dari perspektif al Quran dan Sunnah)”. Perbincangan Fiqh Keutamaan ini adalah kesinambungan dari perbincangan tulisan beliau sebelumnya iaitu “Al-Sahwatul Islamiyyah: Bainal Juhud wal Tatarruf (Kebangkitan Islam antara Penolakan dan Melampau)”. Jadi sudah tentu kedua-dua perbincangan ini sangat penting dalam kehidupan dai’e.

2.0 Konsep Fiqh Keutamaan

Page 40: KONSEP USHUL FIQH.docx

Fiqh Keutamaan yang dimaksudkan adalah ilmu dan pemahaman dalam meletakkan sesuatu pada peringkat dan tangga yang sebenar, sesuai dengan pertimbangan ilmu, keadilan, hukum hakam, akhlaq, keadaan semasa dan keadaan setempat. Segala sesuatu mesti diletakkan secara adil menurut syariat Islam tanpa adanya mana-mana bahagian yang dirugikan atau diabaikan.

Beberapa prinsip hasil dari pemahaman fiqh ini adalah:

Perkara yang paling penting mesti diutamakan berbanding dengan perkara yang penting dan perkara yang penting mesti diutamakan berbanding dengan perkara yang kurang penting. Iaitu mendahulukan perkara yang darurat (daruriyyat) daripada perkara yang diperlukan (hajiyyat), dan mendahulukan perkara yang diperlukan berbanding dengan perkara pelengkap (tahsiniyyat). Daruriyyat melibatkan lima kepentingan yang dijaga oleh hududuLlah iaitu agama, nyawa, aqal, harta serta maruah dan keturunan.

Perkara yang besar mesti diutamakan berbanding perkara yang kecil, perkara yang usul mengatasi perkara yang cabang, perkara yang fardu dan wajib lebih utama dari perkara yang sunat, perkara yang wajib segera lebih utama daripada wajib boleh ditangguh.

Perkara yang bersifat sosial/jamai’e lebih utama dari perkara yang bersifat individu.

Membasmi perkara yang mungkar dan jelas haram lebih utama dari memerangi perkara makruh dan syubhah

Dalam menilai sesuatu yang penting:

1 Mengutamakan kemaslahatan yang diyakini terjadinya berbanding dengan kemaslahatan yang belum diyakini terjadi.

Page 41: KONSEP USHUL FIQH.docx

2 Mengutamakan kemaslahatan yang besar berbanding dengan kemaslahatan yang kecil.

3 Mengutamakan kepentingan orang ramai dan jemaah berbanding kepentingan individu.

4 Mengutamakan kepentingan golongan yang lebih banyak dari golongan yang sedikit.

5 Mengutamakan kepentingan yang bersifat kekal berbanding dengan kepentingan bersifat sementara.

6 Mengutamakan kepentingan yang bersifat mendasar berbanding dengan kepentingan bersifat sampingan dan pinggiran.

7 Mengutamakan kepentingan yang bersifat masa depan yang kuat berbanding dengan kepentingan sekarang yang lemah.

Dalam menilai sesuatu yang merosakkan, terdapat usul fiqh yang sangat jelas iaitu:

Dilarang menyebabkan timbulnya kemudaratan dan dilarang membalas balik kemudaratan kepada orang lain.

Kemudaratan mesti dihalangi mengikut kemampuan.

Kemudaratan tidak boleh dihalangi oleh kemudaratan yang sama atau lebih besar daripada kemudaratan yang sedia ada.

Apabila terpaksa memilih antara dua yang memudaratkan, maka hendaklah pilih yang kurang dan kecil akibatnya.

Untuk menghalangi kemudaratan yang lebih besar, dibolehkan untuk melakukan kemudaratan yang lebih kecil.

Page 42: KONSEP USHUL FIQH.docx

Untuk menghalang kemudaratan yang melibatkan orang ramai, dibolehkan melakukan kemudaratan yang menimpa individu.

Dalam hal ini, bila berlaku konflik antara kebaikan yang perlu dibuat dengan kerosakan yang perlu dicegah, ulama’ fikah juga menetapkan panduan seperti berikut:

Mencegah kerosakan lebih utama dari membuat kebaikan.

Membuat kerosakan yang kecil dibolehkan demi untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar.

Melakukan kerosakan yang bersifat sementara dibolehkan demi untuk mendapatkan kemaslahatan yang bersifat berterusan.

Kebaikan yang diyakini wujud tidak boleh ditinggalkan demi kerosakan yang mungkin berlaku.

Kita menerangkan prinsip-prinsip fiqh keutamaan ini dengan terperinci supaya daripada formula-formula ini boleh disesuaikan untuk atasi masalah-masalah yang dihadapi di tempat dan suasana berbeza. Ahli-ahli yang ditarbiah tidak lagi kelu dan kaku dalam membuat keputusan untuk kebaikan Islam dan dakwah.

3.0 Fiqh yang Tidak Matang

Page 43: KONSEP USHUL FIQH.docx

Kesilapan pemahaman daripada fiqh dan metodologinya menyebabkan munculnya fiqh yang negatif. Antaranya:

Fiqh Mehnah. Fiqh mehnah adalah muncul disebabkan oleh tekanan yang dahsyat kepada gerakan Islam. Ini menyebabkan fiqh yang terbit dalam suasana tersebut agak melampau. Pendakwah mengasingkan diri daripada masyarakat dan merasakan diri mereka lebih tinggi daripada masyarakat. Mereka menjadi komuniti yang ekslusif. Tempat solat dan keterlibatan dalam aktiviti masyarakat adalah berasingan. Apa yang dilakukan oleh masyarakat dinilai salah tanpa ada peluang untuk dibaiki. Hasil dari pemikiran ini, mereka cuba melakukan perubahan total dalam masyarakat tanpa menilai keutamaan-keutamaan yang disebutkan sebelum ini.

Fiqh al Zhahiri. Iaitu fiqh yang berlandaskan kepada tekstual nas semata-mata tanpa melihat apakah maksud nas secara umum (maqosid syariyyah), perbandingan dengan nas-nas yang lain serta keutamaan-keutamaan dalam masyarakat.

Fiqh al Khariji. Ini adalah fiqh yang berjalan mengikut landasan khawarij yang terdahulu. Pengikutnya boleh jadi ikhlas dan berani tetapi pemikirannya terhad dan pandangannya sempit. Mereka keras, cepat menolak, menuduh dan berprasangka buruk kepada golongan pendokong Islam sendiri. Al Qaradawi menyebut bahawa mereka mempunyai sifat ujub dengan pandangan mereka yang sangat membinasakan. Keadaan ini sangat bahaya, biasa mengena pemuda-pemuda yang bersemangat dan baru berjinak dengan dakwah.

Fiqh Taqlidi. Ini adalah fiqh ikut-ikutan yang mencari penyesaian masalah mengikut satu-satu pandangan, aliran atau mazhab sahaja. Mereka hanya mengambil pandangan dari guru mereka sahaja yang boleh jadi sesuai di zaman guru tersebut. Mereka tidak melihat syariah dalam konteks yang lebih luas dan kesesuaian dengan keadaan semasa.

Page 44: KONSEP USHUL FIQH.docx

4.0 Kepentingan Memahami Fiqh Keutamaan

Kefahaman fiqh keutamaan ini sangat bergantung kepada ilmu, kebijaksanaan dan pemahaman realiti semasa dan setempat. Keutamaan-keutamaan ini berubah dengan perbezaan zaman, tempat dan keadaan. Perbezaan keutamaan ini sudah diamalkan oleh generasi sahabat lagi. Sebagai contohnya dalam pembahagian harta rampasan perang. Pada zaman Nabi, harta rampasan perang dibahagikan di kalangan pejuang-pejuang, tetapi semasa Umar r.a, beliau tidak melakukan perkara yang sama apabila Islam memasuki Iraq. Adakah Umar tidak mengetahui al Quran yang mengarahkan harta perang diagihkan? Adakah ini membelakangkan sunnah? Perkara ini dipertikaikan oleh sebahagian sahabat tetapi dijawab Umar r.a bahawa “aku mahukan harta ini mencukupi untuk generasi awal dan akhir”.Umar berhujah dengan kaedah pembahagian harta al Faie iaitu “dan kepada orang-orang yang datang sesudah mereka (Al Hasyr 10)”.

Begitu juga ulama’ tabiin dan selepasnya, sentiasa membuka ruang ijtihad dan mencari ilmu baru untuk memudahkan ummah. Satu contoh yang jelas adalah tentang barang zakat. Semasa Nabi dan sahabat, zakat adalah dalam bentuk barangan. Tetapi hasil dari ijtihad ulama dan imam mazhab, zakat yang kita amalkan sekarang adalah dalam bentuk nilai kepada barangan tersebut. Jadi dengan ijtihad ini, wang-wang zakat senang diagihkan serta boleh disimpan dan diagihkan ditempat yang lebih memerlukan. Pemahaman tekstual dan sunnah dan perjalanan hidup Nabi SAW itu penting, tetapi yang lebih penting adalah maksud secara keseluruhan dalam syariat tersebut.

Jadi memahami perkara yang menjadi keutamaan itu bukanlah statik tetapi adalah mengikut keadaan semasa dan setempat. Ini menjadikan fiqh dan amal Islami itu bukannya suatu yang kaku yang tidak

Page 45: KONSEP USHUL FIQH.docx

boleh tidak mesti ikut kaedah itu sahaja. Kefahaman, kecerdikan dan ilmu sangat penting untuk membolehkan seseorang atau sekumpulan orang dalam menilai yang utama dan kurang utama ini.

Kefahaman dalam fiqh ini membawa perancangan kepada masa depan ummah dan gerakan. Bidang-bidang yang menjadi keperluan ummah tidak akan terabai atau tercicir kerana perancangan yang rapi serta pengurusan ahli yang meliputi pelbagai kepakaran hidup yang diperlukan ummah. Setiap golongan dan individu tidak terlepas dari menjadi sasaran dakwah oleh gerakan Islam meliputi orang yang paling lemat sampailah yang paling kuat. Tumpuan diberikan kepada bidang yang lemah dan kekurangan pakar. Setiap orang berperanan dalam bidang keutamaan mereka.

5.0 Keutamaan-keutamaan dalam Kehidupan Kampus

Keutamaan menuntut Ilmu. Keperluan menuntut ilmu yang diamanahkan ini sangat tinggi keutamaannya. Bahkan keutamaan lain tidak seharusnya mengatasi keutamaan ini, dalam erti kata sekiranya mengancam objektif utama sebagai pelajar. Menuntut ilmu juga melibatkan banyak konsep-konsep keutamaan yang kita sebutkan sebelum ini.

Page 46: KONSEP USHUL FIQH.docx

Ilmu dan amal soleh. Amal soleh dan ibadah yang dilakukan tanpa ilmu adalah seumpama bangunan yang tiada asasnya. Oleh kerana ilmu yang menjelaskan rukun-rukun ibadah, tatacara, syarat dan segala kepentingan ibadah tersebut. Ilmu juga menjelaskan peringkat-peringkat ibadah, keutamaan-keutamaannya, urutan-urutannya sehingga dapat dibezakan antara perkara fardu, sunat dan selainnya. Jadi paling tidak dalam hal ini, dai’e perlu mendalami perkara-perkara asas fardu ain sampai dia boleh membezakan kategori amal soleh tersebut.

Menuntut ilmu lebih utama dari amalan sunat. Perkara ini adalah suatu yang sangat jelas kerana menuntut ilmu itu adalah wajib. Abu Hurairah r.a menyatakan, “Aku duduk sesaat dalam memahami agamaku lebih baik bagiku dari solat sepanjang malam hingga ke pagi.” Banyak lagi ucapan sahabat dan tabiin seumpamanya.

Kelebihan ilmu berbanding dengan jihad di medan. Ini adalah kerana kewajiban jihad, kaedah berjihad, bila dan di mana boleh berjihad, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh semasa berjihad hanya diketahui melalui ilmu. Sudah berlaku peristiwa yang lepas di mana umat Islam menumpahkan darah dan harta di atas nama jihad tetapi yang mereka bantai adalah saudara se-Islam juga.

Menuntut Ilmu dan berhujah dengannya adalah jihad. Allah berfirman, “Janganlah kamu patuh kepada orang-orang kafir dan perangilah mereka dengan al Quran sebagai jihad besar” (Al Furqan; 52). Ayat ini diturunkan di Makkah sebelum disyariatkan perang. Abu Darda’ menyatakan, “Orang yang mencari ilmu pagi dan petang lalu tidak dianggap jihad, bererti akalnya kurang waras”. Al Quran juga menganjurkan dialog dan hujjah. Antaranya, “Katakanlah; Datangkan bukti kamu jika kamu dipihak yang benar” (Al Naml: 64).

Kepentingan ilmu fardu kifayah. Fardu kifayah adalah ilmu pengkhususan yang diperlukan kaum muslimin samada agamanya atau dunianya. Ini termasuk mendalami hukum syarak secara khusus dan terperinci atau juga bidang pengkhususan seperti kedoktoran, kejuruteraan, ekonomi, pendidikan, seni, olahraga dan sebagainya. Semua ilmu ini penting bagi kehidupan umat Islam. Seperti disebutkan sebelum ini, apabila sudah diamanahkan menceburi sesuatu bidang ini, maka wajib kepada orang yang

Page 47: KONSEP USHUL FIQH.docx

menceburi itu secara fardu ain, untuk mendalami dan mengetahui selok belok ilmu yang diamanahkan oleh masyarakat Islam untuk mereka tuntut. Setelah mereka menjadi pakar dalam bidang yang mereka diamanahkan ini, barulah mereka boleh mendalami bidang lain pula tanpa meninggalkan amanah untuk menjaga tiang Islam dalam bidang mereka. Sudah banyak berlaku sebelum ini, orang yang sangat bersemangat dalam agama, telah meninggalkan pepenjuru yang diamanahkan kerana mahu mengejar ilmu agama yang khusus sampai ummah kekurangan kepakaran dalam bidang tersebut.

Keutamaan kefahaman dari hafalan. Jadi dalam mencari ilmu, kefahaman lebih utama dari hafalan semata-mata. Ertinya memahami maksud lebih utama dari mengetahui zahir tekstual nas-nas. Justeru itu juga apabila membentangkan syariat Islam kepada mad’u, tidak boleh dibincangkan syariat ini secara terpisah-pisah sampai maksud syariat sudah tidak difahami lagi. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah beberapa hadis Nabi tentang larangan menentang pemerintah yang berbuat maksiat sekiranya masih bersolat. Sepatutnya perkara ini difahami seperti berikut: Yang menjadi maksud kepada syariat Islam adalah menentang kezaliman dan kemungkaran sesuai dengan keadaan semasa supaya hasil dari penentangan kepada kezaliman pemerintah itu tidak menyebabkan kemafsadatan (kerosakan) yang lebih besar. Hadis tersebut sepatutnya dibaca bersama dengan Hadis Ibnu Majah: “Jihad yang paling utama adalah menyatakan kalimah yang benar di hadapan penguasa yang zalim” serta hadis “Sesiapa yang melihat kemungkaran hendaklah dia cegah dengan tangannya, sekiranya tidak mampu dengan ldiahnya, sekiranya tidak mampu dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman”.

Keutamaan amal jamaie. Dalam keadaan jauh dari keluarga yang, maka sahabat yang memahami kepentingan amal Islami menjadi benteng seseorang dai’e dari terseleweng. Telah banyak dijelaskan perkara ini dalam sesi yang lain. Cukuplah kita mengatakan bahawa amal jamaie ini adalah sunnah yang ditunjukkan oleh nabi dan rasul apabila mereka berdakwah. Walaupun mereka mendapat petunjuk secara langsung dari Allah, rasul-rasul a.s ini masih bersama jemaah. Maka kita juga menuruti jalan mereka, sangat utama untuk berjemaah. Hubungan dengan ahli jemaah adalah secara komplimentari dan sinergi, iaitu saling tampung menampung kelemahan satu sama lain dan saling kuat menguat kelebihan ahli.

Page 48: KONSEP USHUL FIQH.docx

Keutamaan kualiti dari kuantiti. Walaupun Rasulullah mahukan umat yang ramai, tetapi baginda tidak berbangga dengan ummah yang bodoh, fasiq dan zalim. Beliau nyatakan,” Manusia itu seumpama kelompok unta, ada seratus ekor tetapi tidak boleh dijadikan tunggangan.” Inilah yang berlaku dalam perang Hunain dan inilah keadaan ummah akhir zaman ini. Jadi pembentukan dai’e di alam kampus perlu mengutamakan kualiti. Oleh itu, kita berpandangan sekiranya keadaan ahli yang terhad, pembentukan dalaman kader adalah lebih utama dari penguasaan persatuan luaran yang bersifat umum.

Kepentingan menjaga masa. Masa yang ada dalam kehidupan muslim adalah sangat pendek berbanding dengan bebanan dan tugas yang ditanggung. Oleh itu penjadualan masa dan penggunaan masa yang optimum adalah sangat penting. Penjadualan masa seharusnya meliputi tugas-tugas akademik, jamai’e dan aktiviti sosial, khidmat diri, perbincangan agama, masa untuk bersendiri dengan Allah dan sebagainya. Semuanya perlu disemak dari masa ke semasa supaya tiada masa yang terlalai, terbuang atau tertangguh. Dalam hal ini, kita mesti memahami bahawa masanya adalah sekarang dan harinya adalah hari ini – adalah milik kita. Semalam adalah sejarah yang tidak mungkin berubah dan esok adalah angan-angan yang belum tentu berlaku. Oleh itu gunalah masa sekarang dengan sebaik mungkin. Ingatlah pesanan Nabi s.a.w, “Gunakan lima sebelum lima; masa hidup sebelum mati, masa sihat sebelum sakit, masa lapang sebelum sibuk, masa muda sebelum tua, masa kaya sebelum papa”.

6.0 Keutamaan-keutamaan Gerakan Islam dalam Konteks Semasa

Keutamaan mengetahui teknik dakwah. Sifat bagi gerakan itu bergerak, jadi gerakan Islam tidak dapat lari daripada menyampaikan dakwah. Kaedah dan kemahiran menyampaikan Islam sangat penting

Page 49: KONSEP USHUL FIQH.docx

kerana kita tidak mahu Islam yang cantik menjadi tercemar kerana kesilapan pendakwah. Tuan Guru Dato’ Nik Abdul Aziz Nik Mat membuat perumpamaan, “Orang yang mahu menyampaikan Islam tetapi tidak betul caranya seperti menghidangkan makanan sedap tetapi dalam tempurung. Walaupun yang dihidangkan itu nasi minyak berlauk ayam, tetapi siapa yang sudi makan nasi tersebut”.

Kepentingan pembukaan medan dakwah baru. Kita sering membuat perumpamaan seperti persaingan AirAsia dan MAS. Kita semua sedia maklum bahawa MAS berpuluh tahun ditubuhkan dalam negara. Sasaran penumpang MAS adalah orang yang ingin bermusafir jauh, dalam tempoh cepat dan berkemampuan. Pasaran ini tidak lebih dari 10% daripada keseluruhan pengguna pengangkutan. AirAsia pula baru ditubuhkan dalam sekitar 10 tahun lepas. Sasaran penumpang bagi AirAsia adalah semua pengguna pengangkutan awam termasuk bas, teksi, keretapi, kapal terbang serta juga kenderaan sendiri. Jadi skop sasaran AirAsia jauh lebih besar daripada MAS. Penjualan tiket berkali-kali lebih banyak dari MAS dan terbukti selepas itu AirAsia mengatasi MAS. Begitu juga dengan dai’e. Skop mad’u mestilah diluaskan supaya tidak terhad kepada orang yang ‘baik’ sahaja, mat surau sahaja atau minah jilbab sahaja. Bahkan skop dakwah mestilah meliputi semua golongan daripada setinggi-tingginya sampailah serendah-rendahnya.

Semua golongan samada muslim atau non-muslim, penagih dadah, mat rempit, homoseks, pelacur, orang miskin, pegawai atau pemimpin. Semuanya seharusnya menerima sentuhan dakwah kita. nMenjadi suatu yang utama bagi gerakan untuk menyediakan ahli yang berkemahiran untuk berdialog secara terbuka dan tertutup dengan golongan kafir, sekular dan feminis. Perjuangan pada masa ini adalah dengan kekuatan hujah melaui dialog bukan lagi pertentangan fizikal. Kemenangan nanti adalah kemenangan menawan hati dan perasaan mereka, bukan lagi kemenangan berbalah dengan mereka. Menjadi satu perkara yang utama juga bagi gerakan untuk menyediakan tenaga kaunseling dan pusat pemulihan yang sesuai untuk penagih dadah, homoseks, pelacur dan sebagainya itu supaya mereka mendapat sokongan untuk berubah.

Kepentingan membezakan mungkar dan pelaku mungkar. Sebolehnya dai’e boleh membezakan antara perbuatan mungkar dan pelaku mungkar. Yang mesti dicegah adalah perbuatan mungkar tetapi pelaku mungkar adalah mad’u yang mesti didekati. Dalam hal ini kita sentiasa tekankan tentang dakwah dengan cinta (dakwah bil hubbi) bukannya dakwah dengan kekerasan dan permusuhan (dakwah bil harbi). Kita

Page 50: KONSEP USHUL FIQH.docx

mencintai mad’u, kerana itu kita tidak mahu mereka terus menerus melakukan kemungkaran. Kita mengajak diri kita dan mereka kepada kebaikan kerana kita semua mahu selamat dari bakaran api neraka. Kerana cintalah, kita berdakwah.

Kepentingan mengkategorikan mad’u. Oleh kerana mad’u kita datang dari pelbagai latar belakang dan peringkat kefahaman agama, maka sudah tentu kita perlu untuk menyampaikan dakwah selari dengan peringkat mereka. Mad’u dikategorikan mengikut latar belakang, tahap pendidikan, bidang pekerjaan dan kedudukan dalam masyarakat. Bahasa dan istilah yang digunakan mestilah dapat difahami oleh mad’u. Kita bercakap mengikut bahasa mereka, bukannya bahasa kita. Perbincangan tentang iman, amalan-amalan, adab dan akhlak hendaklah sesuai dengan ilmu dan kefahaman mereka. Bentuk-bentuk tawaran Allah kepada hamba yang taat dan ancaman Allah kepada hamba yang engkar mestilah sesuai dengan suasana dakwah. Dalam berdakwah kepada orang besar dan berjawatan, tidak semestinya kita mesti menjadi lebih besar atau berjawatan lebih tinggi daripada mereka. Kadang-kadang dengan menjadi pesakit boleh berdakwah kepada doktor, kadang-kadang dengan menjadi murid boleh berdakwah kepada guru.

Kepentingan media dakwah baru. Selain skop mad’u, kita mesti memikirkan kaedah dakwah baru yang meliputi media baru seperti blog, facebook, youtube dan sebagainya. Sentuhan dakwah ini sangat penting sebagai persaingan dalam media baru yang dipenuhi dengan segala unsur maksiat, fitnah dan penipuan. Sasaraan mad’u juga mencecah jutaan pengikut dari seluruh dunia berbanding media tradisional yang sangat terikat dengan undang-undang dan sempadan negara.

Kepentingan merancang pengkhususan ahli dan mempelbagaikan bidang pengkhususan. Telah disebutkan tentang fardu kifayah dan kelemahan umat Islam apabila satu-satu bidang fardu tersebut telah diabaikan. Menjadi tugas kepada gerakan Islam untuk merancang pengkhususan ahli yang sesuai dengan minat dan kepakaran mereka supaya tidak ada bidang yang terabai. Ahli-ahli yang ditugaskan tidak boleh mengambil bebanan sambil lewa sahaja sehingga menjejaskan kepentingan ummah keseluruhannya.

Page 51: KONSEP USHUL FIQH.docx

Kepentingan dialog yang matang. Perkara ini sangat penting dan disebut berulang-ulang kali kerana perjuangan dan jihad yang utama pada masa ini adalah dialog yang matang. Islam berdiri di atas asas yang sangat kukuh untuk memberikan cahayanya kepada semua kelompok manusia. Dialog yang matang ini mesti dilakukan dengan semua kelompok tersebut termasuklah bukan Islam, sekular dan seks merdeka. Dialog dan penyelasan juga mesti dilakukan gerakan Islam lain, pihak berkuasa agama dan orang perseorangan. Gerakan Islam perlu melatih sebahagian dari ahli yang berkemampuan supaya boleh menampilkan diri untuk mempertahankan Islam melalui lidah dan kalam. Kita juga menekankan bahawa dialog ini bukan semestinya berlaku secara berdepan. Dialog boleh jadi melalui surat menyurat. Dialog boleh jadi juga melalui balasan kepada pandangan mereka melalui media yang dipilih oleh mereka. Sekiranya mereka memberikan pandangan dalam akhbar, jawabannya juga melalui akhbar tersebut.

Kepentingan menjaga kebajikan ahli. Apabila bercakap tentang Islam, kebajikan adalah sangat penting. Ini meliputi kebajikan untuk ahli gerakan dan kebajikan mad’u yang memerlukan.

7.0 Kesan Pengabaian Fiqh Keutamaan

Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin memberikan beberapa contoh fiqh keutamaan, kemudian membuat rumusan seperti berikut: “Barangsiapa yang tidak mengambil kira urutan keutamaan perkara-perkara tersebut, sebenanya diriya telah terpedaya dengan hawa nafsu. Perangkap ini sangat halus dan

Page 52: KONSEP USHUL FIQH.docx

rapi sehinggakan orang yang terperangkap iu melakukan salah satu amal soleh, tetapi kerana kurang teliti dan waspada, jadilah amalan taat itu maksiat kerana dia telah mengabaikan amal soleh lain yang lebih utama”.

Oleh itu, kita melihat sekiranya fiqh keutamaan diabaikan, individu yang terlibat seolah-olah ‘syok sendiri’. Walaupun seolah-olah dia melakukan amal soleh, tetapi sebenarnya dia mengabaikan amal soleh lain yang lebih utama. Contoh yang jelas perkara ini adalah keseronokan mengerjakan umrah atau haji yang sunat berkali-kali dengan meninggalkan kewajiban membantu tetangga serta umat Islam yang memerlukan. Dalam hal ini, kita mengingatkan semula surat yang ditulis oleh Abdullah bin Al Mubarak kepada sahabatnya Al Fudhail bin Al Iyad yang sedang leka beribadat ditanah suci ketika bumi umat Islam diserang. Tulis Ibn Al Mubarak: “Wahai hamba dua tanah suci, kalau kamu perhatikan kami, kamu akan tahu bahawa kamu hanya bermain-main dengan ibadah. Jika pipimu dipenuhi dengan air mata, leher kami dipenuhi dengan darah. Jika kudamu letih tanpa tujuan, kuda kami letih di medan jihad, kamu dipenuhi bau harum wangi semerbak, manakala kami dipenuhi kilauan lembing dan bau debu”.

Dalam hal jemaah kampus juga kita dapati sebahagian kaum muda yang sangat bersemangat dengan amal Islami sampai meninggalkan kewajiban asasi dalam akademik. Kita sering tekankan bahawa bahawa “Kebaikan yang diyakini wujud pada masa depan (dengan ilmu tersebut) tidak boleh ditinggalkan demi kepentingan atau kerosakan yang sedikit dan sementara berlaku sekarang”. Dan juga kewajiban fardu kifayah yang tidak selesai dengan gagalnya seseorang pelajar dari pengajiannya. Itu belum lagi termasuk dengan wang ringgit yang dihabiskan oleh keluarganya, rakyat dan masyarakat untuk membiayai seseorang pelajar. Berkenaan hal ini juga, kita sering tekankan adalah penggunaan masa yang optimum serta pengagihan tugas yang sesuai supaya pelajar yang komited dengan amal islami dan amal jamaie berkeupayaan untuk berjaya dalam segenap aspek kehidupannya.

Dalam hal ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dan fardu kifayah, Imam Al Ghazali sangat terkedepan dalam fiqh keutamaan. Beliau memberikan komentar terhadap masyarakatnya yang terlalu menjurus kepada ilmu agama sehinggakan hanya ada seorang sahaja tabib Nasrani di tempatnya. Tiada muslim

Page 53: KONSEP USHUL FIQH.docx

yang mempelajari ilmu perubatan sehingga melayakkan mereka menjadi tabib yang boleh membantu masyarakat muslim. Sedangkan banyak hukum Islam bergantung kepada penilaian kesihatan oleh doktor dan tabib. Dalam realiti semasa masyarakat Islam dapat diperhatikan bagaimana doktor muslimah dalam bidang perbidanan dan sakit puan masih belum mencukupi. Bidang penyelidikan juga masih ketinggalan sehingga banyak ubat-ubatan yang digunakan oleh umat Islam masih berasal dari sumber haram. Kebanyakkan penyelidikan umat Islam bersifat pengguna bukannya pelopor menyebabkan umat Islam menjadi pengikut sahaja dalam era kemajuan sains dan teknologi sekarang, bukannya seperti era kegemilangan Islam. Masih terdapat pekerja Islam yang tidak dapat membezakan antara sekular dan agama. Mereka lantas beranggapan bahawa mempelajari sains dan teknologi adalah sekular. Padahal membuang sains, teknologi dan kehidupan dunia daripada Islam itulah yang sekular. Islam adalah payung kepada kehidupan dunia dan keperluan-keperluannya.

Dalam bidang sosio-politik, pendakwah masih mundur kerana takut untuk mengemukakan pandangan. Kumpulan nasionalis pelampau, sekular, atheis, feminis, seks bebas dan sebagainya kelihatan lebih berani mengemukakan pandangan. Berahsia (sir) dan berhati-hati (hazar) tidak dibincangkan dalam skop membangunkan minda pekerja dakwah terutama dalam berdebat dan mengemukakan pandangan. Perbincangan-perbincangan masih lagi dalam era mehnah. Konsep-konsep ini sering mereka tertukar dengan pendidikan amniyyah sehingga dai’e yang mampu berhujah tidak dapat dihasilkan.

8.0 Penutup

Kita sudah nyatakan prinsip-prisip fiqh keutamaan secara umumnya. Kefahaman kepada prinsip-prinsip ini membawa kita menjadi pendakwah yang bijak dan boleh berperanan dalam masyarakat. Kefahaman ini bagi gerakan Islam membawa mereka kepada perancangan tenaga dai’e pada masa depan supaya tidak ada bidang atau kumpulan sasaran dakwah yang diabaikan. Abdullah Ibn Al Mubarak menyatakan,

Page 54: KONSEP USHUL FIQH.docx

“Seseorang dikatakan alim selama mana dia mencari ilmu, sekiranya dia merasakan dia sudah alim, itulah tanda-tanda kejahilan”, dan dia telah mencari ilmu dan berjihad hingga akhir hayatnya. Akhirnya kita ingatkan semula tentang pengkhususan dan keutamaan ilmu disebut oleh Allah: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At Taubah : 122)

Rujukan/bacaan tambahan

Al Qaradhawi, Fiqh Keutamaan kajian baru Menurut Perspektif Quran dan Sunnah

Al Qaradhawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism

Al Qaradhawi, Priorities of the Islamic Movement in the Coming Phase

Al Qaradhawi, Fiqh Kenegaraan menurut Perspektif Islam

Al Qaradhawi, Keutamaan Ilmu dan Kemuliaan Para Uluma’

Al Qaradhawi, Detik-detik masa dalam kehidupan Muslim

Al Ghazali, Ihya Ulumuddin

Aidh Al Qarni, Jangan bersedih.

KAEDAH FIQH

1.1 Pengertian Bahasa

Page 55: KONSEP USHUL FIQH.docx

Kaedah fiqh menurut pengertian bahasa ia mengandungi dua kalimah; kalimah pertama berasal daripada bahasa Arab iaitu qa’idah yang membawa maksud asas sesuatu dan asalnya. Manakala kalimah kedua ialah perkataan fiqhiyyah berasal daripada perkataan fiqh yang mana ia membawa maksud al-fahmu iaitu suatu kefahaman (Md. Saleh bin Hj. Ahmad 1998: hlm. 1).

1.2 Pengertian Istilah

Para ulama’ mentakrifkan kaedah fiqh dengan pelbagai takrif namun para penyelidik mendapati bahawa ia mengandungi maksud yang sama namun diungkapkan dalam pelbagai susunan bahasa.Antara takrif yang kerap diutarakan dalam memahami kaedah fiqh ialah prinsip-prinsip fiqh yang bersifat umum dalam bentuk nas pendek yang berbentuk hukum umum yang sesuai dengan bahagian-bahagiannya (Muhammad al-Ruki 1998: hlm. 106).

Selain daripada itu, kaedah fiqh juga ditakrifkan sebagai asas-asas atau prinsip-prinsip fiqh yang bersifat menyeluruh dalam bentuk nas-nas dan teks-teks perundangan yang ringkas yang merangkumi hukum-hukum yang disyariatkan secara umum mengenai atau tentang perkara-perkara yang tergolong di dalam lingkungannya.

Sebahagian ulama’ pula mentakrifkan kaedah fiqh sebagai kaedah-kaedah hukum yang bersifat umum yang diambil daripada dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah yang mana ia menjadi asas kepada kaedah-kaedah yang sekaligus dapat disesuaikan dengan banyak juziyyah atau cabang-cabang perbahasan dalam ilmu fiqh. Sebagai kesimpulannya, kaedah fiqh ialah suatu kaedah dalam undang-undang Islam yang disusun oleh para ulama’ untuk menjadi asas untuk memahami dan mengembangkan fiqh Islam tentang kaedah-kaedah hukum (Muhammad al-Ruki 1998: hlm. 107).

Dalam istilah undang-undang, kaedah fiqh ini dikenali sebagai principal. Keistimewaan kaedah fiqh ini ialah teksnya dibentuk dalam beberapa kalimah yang ringkas dan padat dalam bentuk lafaz yang umum, tetapi maknanya luas dan mencakupi cabang-cabang masalah yang terperinci. Walaubagaimanapun, kaedah fiqh tidak merangkumi semua masalah, dalam situasi tertentu kaedah fiqh ini tidak sesuai dipakai. Justeru itu, para ulama’ mentakrifkan kaedah fiqh ini sebagai kaedah yang bersifat majoriti atau aglabiyyah. Atas dasar itulah, para fuqaha’ tidak mengharuskan para hakim ketika membuat penghakiman bergantung atau berpegang sepenuhnya kepada kaedah-kaedah yang dinyatakan tanpa merujuk kepada nas lain yang bersifat khas atau ‘am yang mencakupi kes itu, ini kerana kaedah fiqh ini walaubagaimana bernilai dan diambil pakai dalam perlaksanaan hukum sekalipun, ia tetap mempunyai

Page 56: KONSEP USHUL FIQH.docx

masalah-masalah yang dikecualikan. Dalam erti kata lain, kaedah fiqh ini mestilah disokong dengan nas-nas lain bagi menentukan sesuatu perkara itu, sama ada ia dibolehkan atau tidak (al-Dariy 1997: hlm.81).

1.3 Kedudukan Kaedah Fiqh dalam Perundangan Islam

Sungguhpun kaedah fiqh ini sifatnya tidak menyeluruh, namun ia tidak bererti akan mengurangkan nilai ilmiyahnya. Ini kerana terdapat di dalam kaedah-kaedah itu suatu gambaran-gambaran yang menarik berkaitan prinsip-prinsip fiqh yang umum yang membuka landasan-landasan prinsip itu daripada segi teorinya, seterusnya kaedah fiqh ini memantapkan hukum-hukum cabang yang amali dengan beberapa kaedah yang menjelaskan kesatuan al-manat (illah / sebab hukum) pada setiap kelompok hukum furu’ ini. Kaedah ini juga mengumpulkan hukum-hukum cabang di bawah satu kaedah walaupun berlainan tajuk dan babnya.

Kalau tidak wujud kaedah ini, maka hukum-hukum fiqh akan merupakan hukum-hukum furu’ yang terpisah-pisah dan kadang-kadang pada zahirnya boleh menimbulkan pertentangan antara satu sama lain tanpa dasar-dasar yang dipegang dalam pemikiran, yang menerangkan alasan-alasan konkrit, yang menentukan arah perundangan dan menyediakan cara-cara mengukur dan membandingkannya.

Oleh kerana itu, Imam al-Qarafi menyatakan dengan tegas dalam pendahuluan kitabnya, al-Furuq:

“Sesungguhnya syariat Muhammad s.a.w mengandungi usul dan furu’. Usul itu ada dua bahagian, pertama Usul al-Fiqh, kebanyakan perbahasannya ialah berkaitan dengan kaedah-kaedah hukum yang timbul daripada lafaz-lafaz seperti al-Amr yang menunjuk kepada wajib dan al-nahyu yang menunjuk ke atas larangan, lafaz-lafaz khusus dan umum dan yang berkaitan dengan demikian itu seperti nasakh dan mansukh serta tarjih. Sementara kedua pula ialah qawaid al-fiqhiyyah yang mempunyai hukum-hukum furu’ yang banyak. Kaedah-kaedah ini sangat penting dalam pengajian ilmu fiqh dan besar manfaatnya. Seorang faqih dapat diukur kemampuannya melalui sejauh mana penguasaannya ke atas qawaid fiqhiyyah ini, kerana dengan ini dia dapat memahami metodologi atau cara mengeluarkan fatwa. Sesiapa yang hanya merujuk kepada furu’ juziyyah sahaja tanpa berpandu kepada kaedah fiqh, pasti akan timbul pertentangan antara furu’ dan memerlukan dia menghafaz masalah-masalah furu’ secara terperinci yang terlalu banyak” (Md. Saleh bin Hj. Ahmad 1998: hlm. 10).

1.4 Kepentingan Kaedah Fiqh

Page 57: KONSEP USHUL FIQH.docx

Para fuqaha’ menyenaraikan beberapa kaedah fiqh antaranya ialah:

1. Kaedah fiqh merupakan suatu ilmu yang penting sebagai panduan dan dasar untuk mengeluarkan hukum-hukum pecahan atau cabang.

2. Membantu untuk mengetahui hukum-hukum terperinci serta menjelaskan berkaitan fiqh Islam.

3. Pecahan dan cabang masalah fiqh akan dapat dikuasai dan diketahui melalui kaedah fiqh sahaja.

4. Ilmu kaedah fiqh menjadikan seseorang itu lebih faham terhadap penghayatan fiqh dan mampu menghbungkan dan mengeluarkan hukum-hukum dan mengetahui hukum daripada masalah-masalah yang tidak termaktub serta hukum masalah yang sentiasa wujud sepanjang masa.

5. Para fuqaha’ tidak perlu menghafal masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya kerana masalah juz’iyyah tercangkup dalam kaedah-kaedah kulliyyah (Md. Saleh bin Hj. Ahmad 1998: hlm. 14).

1.5 Kaedah Asas dan Pecahan dalam Kaedah Fiqh

Terdapat lima kaedah asas yang terdapat dalam penulisan-penulisan fuqaha’ silam. Daripada setiap lima kaedah asas ini dipecahkan menjadi kaedah kecil yang banyak. Disebabkan keterbatasan ruang perbahasan, penulisan ini hanya menyenaraikan lima kaedah asas dan beberapa kaedah pecahan sahaja. Lima kaedah asas itu ialah:

1. (?????? ????????) yang bermaksud: segala urusan berdasarkan niat.

2. ( ?????? ?? ???? ?????) yang bermaksud: keyakinan tidak akan dihilangkan dengan keraguan.

3. ( ?????? ???? ???????) yang bermaksud: kesukaran memberi ruang kepada kemudahan.

4. ( ????? ????) yang bermaksud: kemudaratan mesti dihapuskan.

5. ( ?????? ?????) yang bermaksud: adat digunapakai dalam memutuskan hukum (dalam kes yang tiada hukum asal) (Muhammad al-Ruki 1998: hlm. 107).

Antara kaedah pecahan daripada kaedah asas yang pertama iaitu (?????? ????????) ialah:

1. (??? ?????? ????? ?? ????? ?? ???? ???? ?? ?? ?????) iaitu tidak disyaratkan niat dalam mana-mana ibadah yang ia bukan jenis adat atau ia tidak akan ada kesamaran dengan yang lain.

2. (?? ?? ????? ?????? ?? ???? ??????? ??? ???? ????? ?? ???) iaitu sesuatu amalan yang tidak disyaratkan ta’arrud baginya sama ada secara ringkas mahupun terperinci, apabila dita’yinkan itu, maka ia tidak memudaratkan (tidak batal).

Page 58: KONSEP USHUL FIQH.docx

3. (???????? ???? ????? ????? ?? ???????) iaitu melakukan apa yang tidak dimaksudkan bererti berpaling daripada yang dimaksudkan.

4. (????? ?? ?????? ???? ????? ????? ??? ???? ?????) iaitu niat berkaitan dengan sumpah dapat mengkhususkan lafaz umum, namun tidak mengumumkan lafaz umum.

5. (????? ????? ??? ??? ??????) iaitu sesuatu lafaz berdasarkan niat orang yang mengucapkannya (Ab. Latif Muda 2000: hlm. 37).

Kaedah pecahan bagi kaedah asas ( ?????? ?? ???? ?????) ialah:

1. (????? ???? ?? ??? ??? ????? ) iaitu asal kekal sesuatu itu mengikut apa yang ada sebelumnya.

2. ( ?????? ???? ??? ????) iaitu apa yang ada semenjak dulu dibiarkan atas kedahuluannya.

3. (????? ????? ?????) iaitu asal seseorang adalah bebas daripada tanggungjawab.

4. (????? ?????) iaitu asal segala sesuatu ialah tiada.

5. (????? ?? ?????? ?? ?????? ??????? ?????) iaitu asal pada sifat atau perkara baru mendatang ialah tiada.

Kaedah pecahan bagi kaedah asas ( ?????? ???? ???????) ialah:

1. (????? ??? ??? ????) iaitu sesuatu perkara jika menjadi sempit (susah), hukumnya menjadi luas.

2. (???????? ???? ?????????) iaitu kemudaratan membolehkan tegahan.

3. (???????? ???? ??????) iaitu perkara-perkara darurat ditentukan mengikut kadarnya.

4. (?? ??? ??????? ??????) iaitu apa yang diharuskan kepada orang yang uzur terbatal dengan hilang keuzuran tersebut.

5. (???????? ?????? ?? ?????) iaitu keadaan terdesak tidak membatalkan hak orang lain

Kaedah pecahan bagi kaedah asas ( ????? ????) ialah:

1. (????? ?????? ??????) iaitu kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan.

2. (????? ????? ???? ?????? ?????) iaitu kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan melaksanakan kemudaratan yang lebih ringan.

3. (????? ???? ??????) iaitu dipilih yang paling ringan antara dua keburukan.

Page 59: KONSEP USHUL FIQH.docx

4. (??? ??????? ???? ??? ??? ???????) iaitu membendung kerosakan lebih utama daripada menarik kebaikan

5. (????? ???? ???? ???????) iaitu kemudaratan dibendung semungkin yang dapat.

Kaedah pecahan bagi kaedah asas ( ?????? ?????) ialah:

1. (?? ?? ??? ?? ?????? ??? ??) iaitu apa yang telah diktiraf adat (sebagai harus atau haram) dihukum dengannya.

2. (???? ????? ?????? ??? ????? ?? ????) iaitu sesungguhnya adat yang diterima pakai ialah apabila ia berlaku berterusan atau secara kebiasaan.

3. (????? ?????? ???? ??????) iaitu Pengetahuan dengan keredaan menafikan pengharaman.

4. (??????? ???? ?????? ??????) iaitu hakikat ditinggalkan dengan adanya petunjuk adat.

5. (??????? ???? ???????? ?????) iaitu perkara yang dilarang adat hukumnya diterima pakai (Ab. Latif Muda 2000: hlm. 37-44).

1.6 Aplikasi Semasa Kaedah Fiqh dalam Mu’amalat

Kajian ini telah menggunakan keputusan Majlis Penasihat Syariah Suruhanjaya Sekuriti (MPS SS) sebagai rujukan utama dalam mendedahkan penggunaan kaedah fiqh yang telah digunapakai bagi mengharuskan instrumen-instrumen Pasaran Modal Islam di Malaysia. Penggunaan ini keputusan MPS SS berdasarkan kepada dua sebab; pertama, sukar untuk mencari penggunaan kaedah fiqh dalam pengharusan instrumen sama ada di Malaysia atau di dunia Islam yang lain kerana kaedah fiqh ini hanya akan digunakan sebagai sumber sokongan kepada pengharusan instrumen kerana sifat kaedah fiqh ialah aglabiyyah atau kaedah yang hanya terpakai secara majoriti dan bukan keseluruhan. Kedua, kajian ini mendapati bahawa sangat sukar untuk mendapat keputusan-keputusan yang dibuat oleh Majlis Penasihat Syariah industri perbankan lain kerana kebiasaannya keputusan-keputusan ini adalah sulit dan tidak didedahkan kepada umum. Berlainan dengan keputusan MPS SS yang boleh didapati dalam bentuk buku dan kertas kerja yang diedarkan untuk tujuan kefahaman orang ramai.

1.6.1 Penggunaan Prinsip al-Mashaqqah Tajlib al-Taysir, al-Amr Idha Daqa Ittasa?a dan Ma ?Ammat Baliyyatuh Khaffat Qadiyyatuh dalam persoalan ?Umum Balwa

Keputusan

Page 60: KONSEP USHUL FIQH.docx

MPS SS, dalam mesyuarat kedua pada 21 Ogos 1996, ketika membincangkan isu ukur rujuk elemen haram dalam syarikat bercampur, telah memutuskan bahawa situasi ‘umum balwa perlu diambil kira dalam menentukan status syarikat bercampur.

Kemaafan Syarak Dalam Situasi Umum Balwa

Terdapat beberapa kaedah fikah yang memberi kemaafan kepada orang Islam bagi situasi ‘umum balwa. Tujuan kemaafan tersebut adalah untuk memberi kemudahan kepada mereka dalam menjalankan aktiviti harian. Sekiranya kemudahan tidak diberi maka maslahat umum akan terjejas terutamanya dalam bidang ekonomi yang melibatkan penguasaan mal dan perdagangan serta pemantapan umat. Antara kaedah fikah yang menyentuh situasi ‘umum balwa adalah seperti berikut:

?????? ???? ???????

Maksudnya: Kesusahan mengharuskan kemudahan

?? ??? ????? ??? ?????

Maksudnya:

Sesuatu perkara yang dilarang berlaku secara meluas (dan sukar dielakkan) Syarak mengizinkan keringanan kepada yang terkena.

????? ??? ??? ????

Maksudnya:

Sesuatu perkara apabila ada kesukaran maka Syarak mengizinkan kelapangan sebagai jalan keluar.

Imam al-Suyuti dalam menghuraikan kaedah fikah (?????? ???? ???????), telah memasukkan perkara ‘umum balwa dalam perkara yang membolehkan prinsip “taisir” iaitu keringanan diaplikasikan. Ini bermakna jika sesuatu perkara dikategorikan sebagai ‘umum balwa, Syarak memberikan keringanan supaya tidak menimbulkan kesusahan kepada umat Islam (MPS SS 2002: hlm. 109 ).

Analisis Keputusan MPS SS

Syarikat bercampur didefinisikan oleh MPS SS sebagai sebuah syarikat yang aktiviti utamanya terdiri daripada aktiviti yang dibenarkan Syariah, namun terdapat juga aktiviti sampingan yang haram tetapi nisbahnya kecil. Dalam mengharuskan syarikat bercampur dimasukkan dalam senarai Sekuriti Yang Diluluskan oleh Majlis Penasihat Syariah Suruhanjaya Sekuriti, MPS SS memutuskan beberapa kaedah

Page 61: KONSEP USHUL FIQH.docx

fiqh sebagai sumber sokongan kepada beberapa penghujahan lain seperti ?urf, maslahah dan berasaskan kepada pandangan fuqaha’ silam dan semasa.

Kaedah Fiqh yang digunakan ialah al-Mashaqqah Tajlib al-Taysir, al-Amr Idha Daqa Ittasa?a dan Ma ?Ammat Baliyyatuh Khaffat Qadiyyatuh . Kaedah-kaedah ini pada dasarnya mengandungi maksud yang hampir sama dan menyokong antara satu sama lain. Dalam kes syarikat bercampur yang aktiviti utamanya halal, MPS SS memutuskan beberapa kriteria dan ukur rujuk sebelum memasukkannya dalam senarai Lulus Syariah. Perlu disedari bahawa Pasaran Modal dan Kewangan Islam yang ada di Malaysia pada hari ini dibangunkan dalam kerangka Sistem Konvensional yang berasaskan riba yang telah menapak kukuh lebih daripada 500 tahun lalu. Sudah semestinya unsur-unsur riba, gharar, ghabn fahish dan beberapa lagi unsur yang diharamkan oleh Syariah wujud dan tidak dapat dielakkan sepenuhnya. Berasaskan kepada situasi sedia ada, bagi memastikan perkembangan Pasaran Modal Islam Malaysia setanding dengan Pasaran Modal Konvensional yang sedia ada, MPS SS menyifatkannya perkara tersebut sebagai ?umum balwa iaitu situasi yang tidak baik yang meluas yang terkena pada kebanyakan orang yang sukar untuk menghindarkan diri.

Justeru, kaedah-kaedah fiqh tersebut digunakan sebagai pengukuh kepada prinsip ?umum balwa yang membuktikan bahawa Syari?at Islam adalah Syari?at yang bersifat anjal dan mudah yang tidak menyusahkan umatnya dalam kehidupan seharian. Tindakan MPS SS membolehkan kemasukan syarikat bercampur dalam senarai sekuriti Lulus Syariah adalah satu tindakan yang baik untuk terus mengembangkan lagi Pasaran Modal Islam dan seterusnya dapat meningkatkan pegangan ekuiti di kalangan bumiputera Islam dan menjana pertumbuhan ekonomi di kalangan masyarakat Islam di Malaysia. Dengan penguasaan ekonomi, umat Islam akan mampu meningkatkan pengamalan Islam di Malaysia (Muhammad Yusri bin Yusof 2006: hlm. 133 ).

1.6.2 Penggunaan Prinsip La Darar wa La Dirar dan al-Darar Yuzal sebagai Sumber Sokongan Pengharusan Ta?wid.

Keputusan

MPS SS dalam mesyuarat ke 20 pada 14 Julai 1999, telah bersetuju untuk mengharuskan pengenaan bayaran ta’widh (ganti rugi) atas kelewatan membayar balik sesuatu pembiayaan Islam.

Hujah Mengharuskan Ta’widh

Page 62: KONSEP USHUL FIQH.docx

Kaedah Perundangan Islam

Terdapat kaedah perundangan Islam yang menyentuh hal ini iaitu:

?? ??? ??? ????

Maksudnya:

Tiada mudharat dan memudaratkan (dalam Islam)

Berdasarkan Kaedah ini, tindakan penghutang melewatkan bayaran adalah sesuatu yang memudaratkan pemiutang. Hal ini perlu dielakkan supaya urusniaga yang berjalan memenuhi prinsip istiqrar ta’amul iaitu kelancaran perjalanan pasaran. Ia disokong oleh kaedah perundangan Islam yang lain iaitu:

????? ????

Maksudnya:

Sebarang kemudaratan hendaklah dihilangkan.

Dalam konteks perbincangan ini, kemudaratan yang ditanggung oleh pemiutang mesti dihilangkan dengan menyediakan pendekatan yang sesuai bagi menanggung kemudaratan yang dialami oleh pemiutang dan menggalakkan penghutang untuk menjelaskan bayaran mengikut jadual yang ditetapkan (MPS SS 2002: hlm. 111 ).

Analisis Keputusan MPS SS

Dua kaedah fiqh iaitu La Darar wa La Dirar dan al-Darar Yuzal digunakan sebagai sumber ketiga selepas al-Sunnah dan al-Qiyas dalam pengharusan ta?wid. Kedua-dua kaedah ini memfokuskan kepada prinsip darar. Kaedah pertama menerangkan Islam tidak membenarkan umatnya melakukan perkara yang boleh membawa mudarat dan memudaratkan orang lain. Kaedah kedua pula menyatakan bahawa kemudaratan mestilah dihilangkan selaras dengan matlamat Syariah yang mementingkan kemaslahatan hambanya.

Dalam konteks ta?wid, iaitu sejenis denda yang telah dipersetujui bersama oleh pihak yang melakukan akad sebagai ganti rugi yang layak dituntut oleh pemiutang akibat kegagalan atau kelewatan penghutang membayar balik hutangnya, darar atau kemudaratan pastinya wujud dengan kegagalan penghutang membayar balik hutang tepat pada masa perjanjian. Pihak pemiutang akan kehilangan peluang menggunakan dana yang dipinjam untuk melakukan pelaburan dan perniagaan lain. Dalam

Page 63: KONSEP USHUL FIQH.docx

perniagaan dan pelaburan, aspek ketepatan masa cukup penting. Sesebuah syarikat mungkin akan kehilangan peluang pelaburan atau perniagaan akibat kelewatan melunaskan hutangnya. Justeru pengenaan denda seperti ini dapat menghilangkan kemudaratan yang ditanggung oleh pemiutang.

Selain itu, pengenaan ta?wid ini dapat menggalakkan pelunasan hutang mengikut jadual yang ditetapkan dan seterusnya dapat menjamin kelancaran Pasaran Modal Islam di Malaysia dan menggalakkan pengamal industri untuk terus memberikan pembiayaan berteraskan prinsip-prinsip Syariah kerana yakin dan optimis dengan pengawalseliaan yang baik Pasaran Modal Islam yang memastikan bahawa golongan pemiutang terhindar daripada kesusahan yang terhasil daripada penyertaan mereka dalam Pasaran Modal Islam (Muhammad Yusri bin Yusof 2006: hlm. 136 ).

1.6.3 Penggunaan Prinsip La Yunkar Taghayyur Al-Ahkam Bi Taghayyur Al- Azman Sebagai Sumber Sokongan Dalam Rasional Mengharuskan Kemasukan Syarikat Bercampur Dalam Senarai Sekuriti Yang Diluluskan Syariah.

Perubahan Hukum kerana Perubahan Tabie Manusia

Perubahan suasana dan tempat memberi kesan besar kepada ketetapan hukum sepanjang masa. Ini kerana Islam merupakan agama yang sesuai untuk memenuhi keperluan manusia pada setiap masa dan tempat. Bagi memenuhi tuntutan tersebut maka berlakulah perubahan hukum. Ini kerana setiap hukum yang disyariatkan mempunyai tujuannya yang tersendiri bagi memenuhi tuntutan keadilan, maslahat dan menghindar daripada kerosakan dan keruntuhan. Selain faktor masa, tempat dan suasana, perubahan hukum juga berkaitan dengan perubahan akhlak umat. Berdasarkan sejarah perundangan Islam, terdapat banyak hukum yang telah berubah kerana berlaku perubahan masa, tempat dan suasana. Dengan sebab itu perundangan Islam telah menyatakan satu kaedah fikah:

?????? ???? ??????? ????? ???????

Maksudnya:

Tidak dinafikan perubahan hukum, disebabkan perubahan masa

Sungguhpun begitu, perubahan itu terhenti setakat hukum yang bersifat ijtihadi. Sesuatu hukum itu boleh berubah akibat berkurangnya sifat warak dan lemahnya pematuhan terhadap suruhan agama secara menyeluruh pada sesuatu tempat yang dikenali sebagai fasaduz zaman. Selain itu, hukum juga boleh bertukar dengan berlakunya perubahan sistem ekonomi atau dikenali sebagai asalib iqtisadiyyah kerana jika hukum tidak berubah selaras dengan keperluan semasa maka ia dianggap tidak praktikal lagi. Implikasinya, ini akan menjadikan Syariah itu seolah-olah statik dan jumud kerana tidak dapat

Page 64: KONSEP USHUL FIQH.docx

menangani keperluan semasa, sedangkan menurut Imam al-Syatibi tiada yang sia-sia dalam Syariah (MPS SS 2002: hlm. 116 ).

Analisis Keputusan MPS SS

Pada hakikatnya, penggunaan kaedah ini adalah sebagai lanjutan daripada perbahasan fuqaha’ silam berkaitan dengan syarikat mufawadah. MPS SS dalam kes syarikat bercampur dilihat menyokong pendapat fuqaha’ yang mengharuskan syarikat mufawadah. Dalam menyokong pendapat mengharuskan syarikat jenis ini, MPS SS mengemukakan kaedah La Yunkar Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azman sebagai sumber sokongan di samping sumber-sumber lain seperti ?umum balwa, pendapat-pendapat fuqaha’ dan prinsip al-daruriyyah al-khamsah.

Kaedah ini dikemukakan bagi membuktikan bahawa hukum ijtihadi boleh berubah dengan berlalunya zaman. Dalam keadaan ekonomi yang ada sekarang pendapat minoriti fuqaha’ yang tidak mengharuskan syarikat bercampur jika digunapakai akan menyebabkan pertumbuhan Pasaran Modal Islam terhalang. Ditambah pula dengan hukum tersebut terbina atas asas suasana dan realiti silam. Justeru, dengan mengemukakan kaedah ini dan beberapa sumber lagi, MPS SS mengharuskan syarikat bercampur dalam senarai sekuriti Lulus Syariah (Muhammad Yusri bin Yusof 2006: hlm. 138 ).

1.6.4 Penggunaan Prinsip Al-Haram La Yuharrim Al-Halal Dalam Jawapan Terhadap Pandangan Yang Mempertikaikan Keharusan Syarikat Bercampur

Terdapat pihak yang mempertikaikan kemasukan syarikat bercampur dalam senarai Lulus Syariah sedangkan ia bertentangan dengan kaedah (??? ????? ?????? ? ?????? ??? ?????? ) yang bermaksud sekiranya bercampur sesuatu yang halal dan haram, maka ia dihukumkan sebagai haram. Mereka beranggapan bahawa syarikat ini tidak sepatutnya dimasukkan sama sekali di dalam senarai sekuriti yang diluluskan Syariah.

Namun perlu difahami bahawa terdapat hujah-hujah yang kuat untuk menolak hujah tersebut seperti berikut:

i. Kelemahan kaedah (??? ????? ?????? ? ??? ?????? )

Kaedah yang disebutkan di atas juga dipertikaikan kesahihannya. Tidak dinafikan bahawa kaedah ini sesuai bagi kes-kes tertentu seperti percampuran sembelihan orang Islam dan Majusi, namun ia tidak

Page 65: KONSEP USHUL FIQH.docx

sesuai untuk kes syarikat bercampur. Al-Suyuti menyebut bahawa kaedah tersebut adalah berdasarkan satu hadis Rasulullah s.a.w:

?? ????? ?????? ? ?????? ??? ??? ?????? ??????

Maksudnya:

Apabila bercampur perkara halal dan haram maka perkara tersebut dihukumkan sebagai haram.

Namun ulama’ telah membahaskan status hadith ini. Menurut al-Hafiz Abu al-Fadl al-‘Iraqi, hadith ini tidak diketahui asalnya. Manakala al-Subki menukilkan daripada al-Bayhaqi, bahawa hadith tersebut diriwayatkan oleh Jabir al-Ja’fiy seorang yang bertaraf lemah dan telah meriwayatkan daripada al-Sya’biy daripada Ibn Mas?ud dalam bentuk munqati’ (hadis yang terputus sanadnya).

ii. Wujudnya kaedah berlawanan

Terdapat kaedah berlawanan bagi kaedah tersebut yang disebutkan dalam al-Asybah pada akhir perbincangan kaedah ??? ????? ?????? ??????? ??? ??????. Kaedah tersebut adalah ?????? ?? ???? ?????? yang bermaksud : “ perkara haram tidak mengharamkan yang halal”. Kaedah ini terbentuk berdasarkan hadis warid yang terdapat dalam Sunan Ibn Majah dan al-Dar al-Qutni yang meriwayatkan daripada Ibn Majah (MPS SS 2002: hlm. 122 ).

Analisis Keputusan MPS SS

MPS SS dalam mengemukakan hujah kepada pihak yang mengemukakan kaedah fiqh Idha Ijtama?a al-Halal wa al-Haram Ghulliba al-Haram sebagai mempertikaikan tindakan MPS SS mengharuskan syarikat bercampur telah mengemukakan kaedah fiqh yang lain yang disifatkan oleh MPS SS bersandarkan hadis iaitu al-Haram La Yuharrim al-Halal. Kaedah Idha Ijtama?a al-Halal wa al-Haram Ghulliba al-Haram menurut MPS SS bersandarkan kepada hadis yang tidak jelas kesahihannya.

Justeru itu, MPS SS dalam soal ini lebih selesa menggunakan kaedah al-Haram La Yuharrim al-Halal. Ini kerana menurut MPS SS, kaedah ini berasaskan hadis warid yang terdapat dalam Sunan Ibn Majah dan Dar al-Qutni yang diriwayatkan daripada Ibn ?Umar. Hadis yang menjadi sandaran kaedah fiqh al-Haram La Yuharrim al-Halal ialah:

????? ??? ?? ???? ?? ????? ????? ????? ?? ???? ?????? ????? ??? ???? ?? ??? ?? ???? ??? ??? ?? ????? ??? ???? ???? ???? ??? ?? ???? ?????? ??????

Page 66: KONSEP USHUL FIQH.docx

Hadis ini jika ditinjau daripada sudut sanad diriwayatkan daripada perawi-perawi yang bertaraf thiqah iaitu Yahya bin Mu?lla bin Mansur (saduq sahib al-hadith), Ishaq bin Muhammad bin Isma?il bin ?Abd Allah (saduq), Nafi? Mawla Ibn ?Umar (thiqah sabit) dan Ibn ?Umar (sahabah) kecuali ?Abd. Allah bin ?Umar yang berada dalam kategori da?if. Walaupun begitu, banyak pendapat di kalangan ulama’ hadith berkaitan dengan taraf ?Abd. Allah bin ?Umar; al-Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahawa dia termasuk dalam kategori salih, Ya?qub bin Shaybah menyatakannya dalam kategori thiqah sabit, Ibn ?Adi dalam kategori saduq dan ?Ali bin al-Madinah dalam kategori da?if.

Kesimpulannya, walaupun pada hakikatnya kedua-dua kaedah yang bersandarkan kepada hadith ini kelihatan bertentangan tetapi mengikut Ibn Subki kedua-dua kaedah tersebut tidak bertentangan kerana apa yang dimaksudkan dengan kaedah fiqh Idha Ijtama?a al-Halal wa al-Haram Ghulliba al-Haram, bukanlah mengharamkan yang halal tetapi sebagai langkah ihtiyat. Dalam hal ini, masih ada ruang yang luas untuk MPS SS sebagai badan yang bertanggungjawab memastikan kelancaran Pasaran Modal Islam di Malaysia untuk menggunakan sumber-sumber yang lebih berautoriti daripada kaedah fiqh dalam mengharuskan syarikat bercampur. Oleh yang demikian, MPS SS telah memutuskan untuk mengharuskan syarikat bercampur bersandarkan kepada sumber-sumber lain seperti maslahah, ?umum balwa, ?urf, asalib iqtisadiyyah dan hak-hak orang Islam yang diiktiraf oleh Islam (Muhammad Yusri bin Yusof 2006: hlm. 142 ).

1.6.5 Penggunaan Prinsip La Yaqa? Ism Al-Mal Illa ?Ala Ma Lahu Al-Qiymah Yuba? Biha Wa Yulzam Mutlifuh Sebagai Sumber Sokongan Dalam Mengharuskan Waran Panggilan

Prinsip Mal

Menurut sebahagian besar fuqaha’, sesuatu itu dapat diiktiraf sebagai mal apabila ia boleh dikuasai dan dimanfaatkan:

?? ?? ???? ?????? ????????? ??? ??? ???????

Mazhab Shafie turut menggariskan bentuk yang dapat diiktiraf sebagai harta bagi sesuatu perkara baru sebagai satu garis panduan umum. Prinsip ini menguatkan lagi pemberian status waran panggilan sebagai mal menurut perspektif perundangan Islam sebagaimana yang digariskan oleh Imam al-Suyuti:

?? ??? ??? ????? ??? ??? ?? ?? ???? ???? ??? ????? ?????

Maksudnya: Sesuatu itu dikategorikan sebagai mal jika ia mempunyai nilai. Dengan sebab itu, ia dijual beli dan bayaran ganti rugi akan dikenakan kepada sesiapa yang merosakkannya (MPS SS 2002: hlm. 42).

Page 67: KONSEP USHUL FIQH.docx

Analisis Keputusan MPS SS

MPS SS dalam mengharuskan Waran Panggilan menggunakan beberapa sumber antaranya Qawl Sahabi, Pandangan fuqaha’ silam dan Prinsip haq mali selain daripada menggunakan kaedah fiqh yang berkaitan dengan teori harta yang digariskan oleh al-Suyuti iaitu La Yaqa? Ism al-Mal Illa ?Ala Ma Lahu al-Qiymah Yuba? Biha wa Yulzam Mutlifuh.

Daripada kaedah fiqh tersebut, kita dapati bahawa setiap sesuatu yang mempunyai nilai yang boleh dijual beli dan dikenakan bayaran ganti rugi boleh disifatkan sebagai harta. Pada dasarnya kaedah ini menjadi panduan bagi MPS SS untuk menetapkan sesuatu produk dan instrumen pasaran modal sama ada ia termasuk dalam kategori harta atau tidak. Oleh itu, ternyata Waran Panggilan mempunyai ciri-ciri yang digariskan oleh al-Suyuti dan juga memenuhi definisi yang digariskan oleh sebahagian besar fuqaha’ apabila ia boleh dikuasai dan dimanfaatkan. Antara ciri Waran Panggilan yang membuktikan bahawa ia bernilai dan bermanfaat ialah waran ini memberi pemegangnya hak untuk membeli sebilangan saham tertentu dalam syarikat pendasar dengan harga yang dipersetujui.

Manakala ciri yang menunjukkan bahawa Waran Panggilan ini boleh dijual beli ialah ia mempunyai harga guna hak iaitu apabila pemilik waran tersebut ingin menggunakan hak yang terkandung dalam waran tersebut ia perlu melunaskan bayaran tertentu (yang telah ditetapkan pada masa waran tersebut diterbitkan) sebelum beliau layak untuk membeli saham pendasar syarikat yang mengeluarkan waran tersebut. Bayaran yang dilunaskan itu menunjukkan bahawa waran panggilan juga memerlukan proses jual beli untuk memilikinya.

Kesimpulannya, tindakan MPS SS menggariskan teori harta menerusi kaedah fiqh yang digariskan oleh al-Suyuti memudahkan penentuan adakah sesuatu instrumen pasaran modal termasuk dalam kategori harta atau tidak. Ini kerana prinsip harta yang digariskan oleh al-Suyuti dilihat lebih merangkumi maksud harta dan bersifat menyeluruh(Muhammad Yusri bin Yusof 2006: hlm.145 ).

Rujukan

Md. Saleh bin Hj. Ahmad. 1998. Qawaid al-Fiqhiyyah. Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid.

Page 68: KONSEP USHUL FIQH.docx

Majlis Penasihat Syariah Suruhanjaya Sekuriti. 2002. Keputusan Majlis Penasihat Syariah Suruhanjaya Sekuriti. Suruhanjaya Sekuriti:Kuala Lumpur.

Muhammad al-Ruki. 1998. Qawaid al-fiqh al-islami. Damshiq: Dar al-Qalam

Mohd Saleh bin Hj. Ahmad. 1999. Pengantar Syariat Islam. Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid.

Ab. Latif bin Muda. 2000. Kaedah-kaedah Fiqh. Kuala Lumpur: Ilham Abati Enterprise.

Muhammad Yusri bin Yusof. 2006. Aplikasi Usul dan Kaedah Fiqh dalam Pembangunan Pasaran Modal Islam di Malaysia. Disertasi Sarjana. UKM: Bangi.

DEFINISI ALKOHOL:

Menurut Kamus Dewan Bahasa:

Alkohol ialah cecair yang mudah terbakar dan memabukkan yang terdapat dalam minuman keras.

Menurut Mu’jam Lughah al-Fuqaha:

Alkohol ialah suatu agen atau unsur yang memabukkan yang terkandung dalam sesuatu bahan iaitu arak.

Dari Sudut Sains:

Alkohol adalah nama yang digunakan dalam kaedah saintifik kepada sebatian yang mempunyai kumpulan hidroksi OH. Ia juga merupakan bahan cecair tanpa warna yang dihasilkan menerusi dua pemprosesan, pertama menerusi fermentation (penapaian), iaitu proses khas untuk menghasikan arak, dan kedua menerusi bahan kimia, iaitu proses bagi menghasilkan alkohol daripada petroleum. Hasil pemprosesan ini dikenali juga sebagai etanol atau etil alkohol. Umumnya, alkohol dan arak merupakan dua entiti yang berbeza di mana alkohol lazimnya terdapat di dalam proses pembuatan arak, tetapi

Page 69: KONSEP USHUL FIQH.docx

alkohol itu pada zatnya sendiri adalah bukan arak. Ini kerana, perbezaan yang ketara di antara alkohol dan arak ialah alkohol tidak memabukkan tetapi ia mematikan bagi sesiapa yang meminumnya dalam kuantiti yang banyak, manakala arak pula sifatnya memabukkan tidak mematikan.

(Sample i:)

(Sample II:)

HUJAH DARIPADA NAS AL-QURAN DAN AL-HADIS TERHADAP ARAK (ALKOHOL)

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãô� Jsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ $yJ¯RÎ) ߉ƒÌãƒ� ß`»sÜø‹¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷ �t/ nourºy‰yèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur ’Îû Ì÷� Ksƒø:$# ÎŽÅ£÷ �yJø9$#ur öNä.£‰ÝÁtƒur `tã Ìø� .ÏŒ «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZ•B ÇÒÊÈ

Maksudnya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

(Surah Al-Maidah: 90-91)

Page 70: KONSEP USHUL FIQH.docx

ANALISIS PANDANGAN ULAMA’ DAN BANDING BEZA HUKUM TENTANG PENGGUNAAN ALKOHOL DALAM PERUBATAN

Alkohol Dalam Makanan, Minuman, Pewangi Dan Ubat-Ubatan

Berdasarkan taklimat, pembentangan dan penjelasan yang disampaikan oleh pakar-pakar daripada Institut Penyelidikan Produk Halal, Universiti Putra Malaysia serta dengan mengambilkira keputusan-keputusan yang telah diputuskan dalam Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia terdahulu, Muzakarah Khas Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia yang membincangkan isu alkohol dalam makanan, minuman, pewangi dan ubat-ubatan pada 14 hingga 16 Julai 2011 telah bersetuju memutuskan seperti berikut:

Setiap minuman arak adalah mengandungi alkohol. Walaubagaimanapun bukan semua alkohol itu adalah arak. Alkohol yang diperolehi dari proses pembuatan arak, hukumnya haram dan najis.

Manakala alkohol yang diperolehi bukan melalui proses pembuatan arak hukumnya tidak najis, tetapi haram (tidak boleh) diminum dalam bentuk aslinya kerana ia adalah racun dan boleh membunuh.

Minuman ringan yang diproses/dibuat bukan dengan tujuan untuk menghasilkan arak dan mempunyaialkohol di bawah aras 1%v/v adalah harus (boleh) diminum.

Manakala minuman ringan yang dibuat dengan niat dan cara yang sama seperti proses membuat arak, sama ada mengandungi banyak atau sedikit alkohol atau alkoholnya disuling adalah haram diminum.

Makanan atau minuman yang mengandungi alkohol secara semulajadi seperti buah-buahan, kekacang atau bijirin serta perahannya, atau alkohol yang terkandung itu terjadi secara sampingan semasa proses pembuatan makanan atau minuman adalah tidak najis dan harus (boleh) dimakan/diminum.

Makanan atau minuman yang mengandungi bahan perisa atau pewarna yang mengandungi alkohol untuk tujuan penstabilan adalah harus (boleh) digunakan sekiranya alkohol itu bukan dihasilkan dari

Page 71: KONSEP USHUL FIQH.docx

proses pembuatan arak dan kuantiti alkohol dalam produk akhir itu adalah tidak memabukkan dan kadar alkohol tidak melebihi 0.5%.

Ubat-ubatan dan pewangi yang mengandungi alkohol sebagai bahan pelarut adalah tidak najis dan diharuskan sekiranya alkohol tersebut bukan diambil melalui proses pembuatan arak.

PANDANGAN ULAMA:

Ulama fiqh berbeza pendapat mengenai hukum berubat dengan benda yang haram kerana darurat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahawa berubat itu tiding dipandang darurat yang sangat mendesak sebagaimana halnya makan, berdasarkan sebuah sabda Rasulullah S.A.W yang berbunyi:

عليكم حرم فيما كم شفائ يجعل لم الله إن

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah Taala tidak menjadikan penyembuh kamu (ubat) dengan sesuatu yang diharamkan atas kamu.”

-Riwayat oleh Bukhari-

Manakala sebahagian mereka pula mengatakan bahawa keadaan itu adalah darurat, sehingga mereka menyamakan kepentingan berubat itu dengan makan,dengan alasan bahawa kedua-duanya itu adalah merupakan kemestian bagi kelangsungan hidup. Dasar hukum yang mereka gunakan dalam hal ini ialah sebuah riwayat yang menerangkan bahawa Rasulullah S.A.W membenarkan Abdul Rahman bin Auf dan Zubir bin Awwam memakai sutera kerana penyakit yang diderita oleh kedua-dua sahabat baginda itu, sedangkan memakai sutera itu adalah haram hukumnya bagi lelaki.

Barangkali pendapat inilah yang lebih hampir kepada roh Islam yang sentiasa melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundangan dan peraturannya. Bagaimanapun, rukhsah terhadap menggunakan ubat daripada benda yang diharamkan itu hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut:

Ø Nyawa manusia itu akan terancam jika dia tidak berubat

Ø Tiada ditemui ubat selain daripada ubat yang haram itu

Ø Adanya suatu pengakuan daripada seorang doktor muslim yang boleh dipercayai, baik pemeriksaan, kepakaran mahupun agamanya.

Page 72: KONSEP USHUL FIQH.docx

Namun begitu, al-Qardhawi mengatakan, bahawa menurut yang beliau ketahui, dan berdasarkan kenyataan daripada penyelidikan doktor yang dipercayai, tidak ada darurat yang membolehkan seseorang berubat dengan sesuatu yang diharamkan.

Berkenaan dengan khamar, jelas sekali bahawa ia adalah penyakit, bukan ubat. Suatu ketika, Rasulullah S.A.W pernah ditanya orang berkenaan dengan hukum menjadikan arak sebagai ubat. Maka baginda Rasulullah S.A.W menjawab dengan sabda baginda yang berbunyi:

داء ولكنه بدواء ليس إنه

Maksudnya: “Sesungguhnya arak itu bukan ubat, tetapi penyakit.”

-Riwayat oleh Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Al-Tarmizi-

Demikian juga sabda Rasulullah S.A.W yang berbunyi:

بحرام والتداووا دواء داء لكم وجعل والدواء الداء أنزل الله إن

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah Taala telah menurunkan penyakit dan ubatnya dan menjadikan untuk kamu bahawa setiap penyakit itu ada ubatnya. Oleh yang demikian, maka janganlah kamu berubat dengan yang haram”

-Riwayat Abu Daud-

Adalah sesuatu yang tidak aneh, jika Islam melarang berubat dengan arak dan benda-benda yang diharamkan. Kerana Ibnu al-Qayyim mengatakan :

“Diharamkan sesuatu itu bermakna agar sesuatu itu dijauhi selamanya-lamanya dengan bagaimana cara sekalipun. Oleh yang demikian, jika arak itu boleh dipakai untuk berubat, bererti ada suatu anjuran atau

Page 73: KONSEP USHUL FIQH.docx

galakan supaya orang meminumnya. Ini jelas bertentangan dengan apa yang sudah dicanangkan oleh syarak.”

Selanjutnya Ibnu Qayyim mengatakan, bahawa membolehkan berubat dengan arak, terutamanya terhadap orang yang telah mempunyai kecenderungan terhadap arak, akan menarik orang untuk meminumnya demi memenuhi keinginan syahwatnya dan untuk bersenang-senang, terutama bagi orang yang sudah dimaklumkan bahawa arak boleh menghilangkan penyakitnya, maka sudah pasti dia akan mengamalkan meminumnya untuk kesembuhan penyakitnya.

Jika ditinjau dari sudut kejiwaan, Ibnu al-Qayyim mengatakan, bahawa syarat untuk sembuh daripada penyakit itu hendaklah berubat dengan sesuatu yang boleh diterima oleh akal dan yakin akan manfaat ubat tersebut serta adanya barakah kesembuhan oleh Allah taala. Sedangkan dalam hal ini, sudah cukup dimaklumi, bahawa setiap orang Islam sudah begitu yakin akan haramnya arak, yang kerana haramnya itu boleh menghalang umat islam terhadap mempercayai bahawa arak itu mengandungi manfaat dan barakah, sehingga dengan demikian, seorang muslim tidak dapat untuk berbaik sangka dengan menganggap arak itu sebagai ubat untuk berbaik sangka dengan menganggap arak itu sebagai ubat yang dapat diterima oleh akal. Malahan, semakin kuatnya iman seseorang, akan semakin besar pula kebenciannya terhadap arak tersebut. Kerana memang demikian adanya, bahawa setiap orang Islam itu hendaknya.

Sesungguhpun demikian, jika sampai berlaku keadaan darurat, maka dalam pandangan Islam, darurat itu mempunyai hukum tersendiri. Sehubungan dengan ini, al-Qardhawi mengatakan seandainya arak atau ubat yang dicampur dengan arak itu boleh dinyatakan sebagai ubat untuk sesuatu penyakit yang sangat membahayakan kehidupan manusia, sedangkan dalam masa yang sama dia tidak memperolehi ubat lain kecuali ubat tersebut, serta telah memperolehi pengesahan daripada doktor muslim yang mahir dalam ilmu kedoktoran dan bersifat ghairah(cemburu) terhadap agamanya, maka dalam keadaan demikian, dalam kaedah agama yang sentiasa memberi kemudahan, maka berubat dengan arak itu tidaklah dilarang, dengan syarat benar-benar hanya diperlukan untuk ubat, tidak lebih dari itu, sesuai dengan firman Allah Taala yang berbunyi:

Ç`yJsù §äÜôÊ� $# uŽö �xî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š�/u‘ Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÊÍÎÈ

Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Surah Al-An’am:145)

Page 74: KONSEP USHUL FIQH.docx

Demikian pendapat Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam buku beliau al-Halal Wa al-Haram Fi al-Islam.

Resolusi yang dikeluarkan oleh Nadwah Fiqh Perubatan kali ke lapan anjuran Pertubuhan Ilmu-Ilmu Perubatan Islam yang berlangsung di Kuwait (dari 22-24 hb Mei 1995) mengatakan bahawa:

Bahan alkohol tidak najis dari segi syara’, berdasarkan kepada perakuan yang lalu, yang berasaskan kepada prinsip asal sesuatu itu adalah suci, samada alkohol itu sahaja atau telah dicampurkan dengan air, kerana menerima pakai pandangan ‘ulama’ yang menghukumkan kenajisan arak dan lain-lain bahan yang memabukkan, hanyalah berbentuk ma’nawi dan bukannya hissi, kerana ia dianggap sebagai benda kotor yang menjadi kesukaan syaitan. Dari itu tidak menjadi kesalahan dari segi syara’, menggunakan alkohol dari sudut perubatan sebagai bahan pencuci kulit, kecederaan, ubat-ubatan dan pembunuh kuman.

Selain itu, sebagaiman yang diketahui umum, kebanyakkan ubat-ubatan dalm bentuk cecair dimasukkan kuantiti kecil alkohol Athyl di dalam pemprosesannya, bagi tujuan menjaga atau melarut sesetengah bahan tertentu yang diambil daripada tumbuh-tumbuhan, organ atau kimia yang telahpun diproses yang tidak larut dalam air.

Ubat-ubatan ini dikeluarkan untuk tujuan rawatan perubatan kepada pesakit dan digunakan berdasarkan nasihat doktor. Ia diambil dalam beberapa sudu minuman dalm kuantiti yang kecil, yang tidak mungkin menyebabkan penyakit mabuk. Kalau seseorang ingin meminum ubat-ubatan tersebut di dalam kuantiti yang banyak, sehingga memabukkannya dan meninggal dunia, meninggalnya itu adalah kerana disebabkan keracunan ubat dan bukannya kerana mabuk itu.

Berhubung dengan hukum syara’ di dalam mengambil ubat-ubatan yang mengandungi kuantiti kecil alkohol, di mana masyarakat perlu mengambilnya (berubat dengannya) di dalam kuantiti tersebut dan tidak digunakan untuk memabukkan diri sebaliknya sebagai bahan penenang sahaja, ada tiga pandangan ulama’ tentangnya:

Pendapat Pertama:

Harus meminum ubat-ubatan tersebut di dalam keadaan biasa dan normal (bukan dalam keadaan terpaksa dan dharurat kerana tidak ada bahan lain) kerana kuantiti alkohol yang lemah yang terdapat di

Page 75: KONSEP USHUL FIQH.docx

dalamnya , telahpun larut di dalam cecair yang banyak yang bercampur dengannya dan tidak ada lagi sebarang rasa, warna dan juga bau. Sebelum ini kita telahpun menjelaskan di dalam perbicaraan tentang teori Al-Istihlak, apabila bahan yang haram atau najis yang larut di dalam air atau cecair yang banyak, sehingga tidak ada lagi sebarang kesan, warna atau bau, menjadi benda halal yang baik menurut kebanyakkan ulama’.

Ibnu Taimiyyah misalnya pernah membuat komentar antara lain beliau menyatakan: “Allah S.A.W mengharamkan benda-benda yang kotor termasuklah darah, bangkai, daging khinzir dan lain-lain. Antara bahan-bahan ini jatuh kedalam air atau lain-lain dan larut, tidak ada lagi sebarang darah, daging khinzir dan bangkai. Sebagaimana arak apabila larut di dalam cecair, orang yang meminumnya tidak dinamakan sebagai peminum arak.”

Ibnu Hazm pula menyatakan: “Masalah: Tidak halal memakan sesuatu yang diuli dengan arak atau sesuatu yang tidak halal dimakan atau diminum…….kecuali yang digunakan untuk menguli gandum atau memasak makanan itu, ia adalah halal. Begitu juga dengan sesuatu yang haram yang dicampakkan ke dalam periuk tetapi sedikit yang tidak mempunyai bau, rasa dan juga warna dan aspek yang haram itu langsung tidak memberi kesan, ia juga dikira sebagai halal di waktu itu.”

Pendapat Kedua:

Harus meminumnya di dalam keadaan normal dan biasa, walupun alkohol itu tidak larut di dalam ubat-ubatan, berdasarkan kepada mazhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf yang menghalalkan mengambil minuman yang diperbuat daripada buah-buahan yang bukan anggur dan tamar, dengan tujuan menguatkan badan dan berubat, asal sahaja tidak sampai ke tahap memabukkan. Ini memandangkan alkohol Athyl yang digunakan dalam industri ubat-ubatan hari ini, tidak diperolehi daripada anggur mahupun tamar, sebaliknya daripada bahan-bahan lain yang melibatkan proses tidakbalas kimia, gula tau gas tabi’i.

Sekiranya alkohol yang digunakan didalamnya, diambil daripada anggur atau tamar, tidak harus kepada pesakit mengambilnya, kecuali doktor yang adil menjelaskan itu sahaja ubat-ubatan yang boleh digunakan sebagai bahan rawatan utnuk penyakit tersebut. Kerana berubat dengan benda yang haram, adalah harus menurut kacamata ulama’ mazhab Hanafi, jika diketahui ia boleh menyembuhkan penyakit terlibat dan dalam masa yang sama, tidak ada ubat-ubatan lain yang halal, yang boleh mengambil tempat ubat-ubatan yang mengandungi alkohol itu.

Pendapat Ketiga:

Page 76: KONSEP USHUL FIQH.docx

Harus meminum ubat-ubatan tersebut di dalam keadaan dharurat berdasarkan kepada mazhab As-Syafie yang berpendapat, arak yang telah pun larut bersama dengan ubat-ubatan yang lain, boleh digunakan untuk berubat dengannya, jika diketahui manfaatnya, berdasarkan kepada nasihat dari doktor yang dipercayai lagi amanah dan itulah sahaja ubat-ubatan yang mampu menyempurnakan penyakit dan tidak ada ubat-ubatan lain yang halal.

Pandangan ini merupakan pandangan fiqh yang paling sempit di dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan kepada pandangan inilah, diekemukan resolusi nombor (11) oleh Majlis Akademi Fiqh Islam yang berpusat di Jeddah di dalam pusingannya yang ketiga (Oktober 1986) teksnya ialah sebagaimana berikut:

“Diharuskan kepada pesakit yang beragama islam mengambil ubat-ubatan yang mengandungi kuantiti tertentu alkohol jika tidak didapati ubat-ubatan lain yang bersih daripadanya atas nasihat doktor yang dipercayai lagi amanah.”

Melihat kepada ijtihad-ijtihad di atas, pandangan-pandangan fiqh dan sandarannya, reality pengeluaran ubat-ubatan yang mengandungi kuantiti tertentu alkohol untuk tujuan-tujuan yang telah dijelaskannya, jelas pendapat yang boleh diterimapakai pada pandangan pengarang, Dr Nazih Hammad(2004)dalam bukunya yang bertajuk Penggunaan Bahan-Bahan yang Haram & Najis Dalam Makanan dan Ubat-Ubatan berpendapat yang mengatakan harus meminum ubat-ubatan tersebut dengan tujuan menyembuhkan penyakit walaupun tidak berada dalam keadaan dharurat tetapi perlu beriltizam dengan batas-batas syara’. Walaubagaimanapun, ia terikat dengan sejauh mana alkohol itu larut di dalam ubat-ubatan dan tidak ada lagi sebarang kesan rasa, warna dan juga bau, berdasarkan teori Al-Istihlak yang diakui oleh syara’. Begitu juga jika alkohol itu tidak larut di dalamnya, berdasarkankepada mazhab Abu Hanifah dan Abu Yusuf, kerana alkohol di zaman ini, tidak lagi diproses daripada buah anggur dan juga tamar.

Walau bagaimanapun hukum yang menghalalkannya, wajib dikaitkan dengan keadaan “mengambil sedikit alkohol itu tidak menimbulkan kemudharatan kepada pesakit atau janin”. Jika menimbulkan kemudharatan kepada pesakit dan janin (sebagaimana berlaku kepada kanak-kanak dan wanita hamil, dimana terbukti menurut ilmu perubatan, alkohol boleh memudharatkan kanak-kanak yang mengambilnya dan bayi di dalam kandungan jika ibu yang mengandung meminumnya, walaupun di dalam kuantiti yang sedikit), haram ketika itu mengambilnya bukan di atas dasar ianya alkohol, tetapi atas dasar menimbulkan kemudhratan kepada kesihatan tubuh badan.

Nabi Muhammad S.A.W bersabda maksudnya:

Page 77: KONSEP USHUL FIQH.docx

“Tidak ada kemudharatan di dalam islam dan tidak memudharatkan orang lain”

Di dalam resolusi Nadwah Fiqh Perubatan kali kelapan anjuran Pertubuhan Ilmu-Ilmu Islam yang berlangsung di Kuwait dengan kerjasama Universiti Al-Azhar, Akademi Fiqh Islam di Jeddah, Pejabat Cawangan Pertubuhan Kesihatan Sedunia yang berpusat di Iskandariyyah dan Kementerian Kesihatan Kuwait (Mei 1995) memutuskan:

Oleh kerana alkohol merupakan bahan yang memabukkan, haram menggunakannya. Apabila didapati ubat-ubatan yang tidak melibatkan alkohol di dalam pemprosesannya, lebih-lebih lagi ubat-ubat untuk kegunaan kanak-kanak dan juga wanita hamil, tidak menjadi halangan dari segi syara’, mengambil ubat-ubatan yang dibuat di kilang sekarang, walaupun di dalam proses pembuatannya, mengandungi kuantiti kecil alkohol untuk tujuan menjaga atau melarutkan sesetengah bahan ubat-ubatan yang tidak larut dalam air, dengan syarat alkohol yang terkandung di dalamnya hendaklah alkohol yang tidak digunakan sebagai bahan penenang, sekiranya tidak ada ubat-ubatan lain yang boleh digunakan.

Kesimpulannya: Al-Quran, Al-Hadis & Ijtihad para umala' dijadikan hujah dalam kehidupan kita...InsyaAllah

Rujukan:

Al-Quran Al Karim

Abdulrahman Al-Baghdadi (1994). Khinzir. Kuala Lumpur : Al-Ramadhan.

Akmal Hj Mhd. Zain (2007). Halal dan Haram Dalam Kehidupan. Kuala Lumpur

Wilayah Persekutuan : Al-Hidayah Publications.

Dr Danial Zainal Abidin (2003). Perubatan Islam dan Bukti Sains Moden. Batu Caves, Selangor Darul Ehsan : PTS Publications & Distributors.

Page 78: KONSEP USHUL FIQH.docx

Dr Mustafa Al-Khin, Dr Mustafa Al-Bugha dan ‘Ali Al-Sharbaji (2005). Manhaj Fiqh Al-Syafie. Negeri Sembilan : Jabatan Mufti Kerajaan Negeri, Negeri Sembilan.

Dr Nazih Hammad (2004). Penggunaan Bahan-Bahan Yang Haram dan Najis Dalam

Makanan dan Ubat-Ubatan : Al-Hidayah Publishers.

Dr Yusuf Al-Qardhawi (2010). Al-Halal wa Al-Haram Fi Islam. Bandar Baru Bangi Selangor : Darul Syakir Enterprise.

Persatuan Pengguna Pulau Pinang (2006). Panduan Halal dan Haram. Sungai Pinang,

Pulau Pinang : Jutaprints.

Abu Haris. http://fiqhmedic.wordpress.com/2011/07/20/alkohol-dalam-ubat/. Diakses pada 18 Ogos 2012.

Ahmad Muhaimin bin Mustafa. http://tibbians.tripod.com/muhaimin.pdf. Diakses pada 26 Ogos 2012.

Dr Danial. http://drdanial.faithweb.com/Alkohol%20Dalam%20Ubatan.htm. Diakses pada 3 September 2012.

Drs. Khalil Idham Lim. http://idhamlim.blogspot.com/2010/08/penggunaan-alkohol-dalam-makanan-ubat.html. Diakses pada 9 September 2012.

Firdaus Khalil Al-Bakri Al-Azizi. http://firdauskhalil.wordpress.com/2012/08/10/penggunaan-alkohol-dalam-perubatan/. Diakses pada 10 September 2012.

Khairul Azhar . http://duniamuslim.my/penggunaan-alkohol-dalam-ubat-ubatan/.

Diakses pada 1 September 2012.

Tiada Penulis. http://www.e-fatwa.gov.my/kategori-fatwa/perubatan?page=1. Diakses pada 18 Ogos 2012.

ISU-ISU KONTEMPORARI KAITANNYA DENGAN MASLAHAH MURSALAH

Pengenalan

Dalam Islam dalil utama yang digunakan oleh fuqaha untuk mengistinbat hukum-hukum adalah al-Quran. Sekiranya di dalam al-Quran tidak didapati hukum yang dikehendaki, maka dalil berikutnya yang akan digunakan adalah hadis. Sekiranya dalam hadis pun tidak terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah ijmak dan seterusnya qiyas. Dalam Islam, terdapat dua ketentuan hukum iaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Al-Quran, hadis, ijmak dan qiyas merupakan dalil-dalil syarak yang sudah disepakati oleh para para jumhur fuqaha sebagai sumber kepada pengeluaran hukum syarak. Manakala dalil yang tidak disepakati pula secara umumnya

Page 79: KONSEP USHUL FIQH.docx

ada tujuh iaitu maslahah al-mursalah, al-‘urf, sadd al-dhara’i, al-istihsan, al-istishab, mazhab Sahabat dan syariat umat terdahulu. Maslahah mursalah merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam tetapi ia tergolong dalam sumber hukum yang tidak disepakati. Antara ulama yang menerima kehujahan maslahah mursalah ialah Imam Malik dan sebahagian ualama mazhab Hanbali. Sementara ulama yang menolak kehujahan maslahah mursalah ialah Imam Shafi’i dan mazhab Hanafi. Dalam kertas kerja ini, kami akan membincangkan definisi maslahah mursalah, pembahagian, kehujahan serta isu-isu yang berkaitan dengan maslahah mursalah.

Definisi Maslahah

Maslahah mursalah terdiri daripada dua perkataan iaitu maslahah dan mursalah. Sebelum melihat kepada maksud maslahah mursalah secara khusus adalah lebih baik dijelaskan terlebih dahulu maksud maslahah. Maslahah merupakan masdar yang bermaksud kebaikan (al-salah). (al-Marbawi 1354H:1/341) Kata jamaknya ialah masalih. (al-Marbawi 1354H: 1/342). Dari segi istilah pula, maslahah bermaksud manfaat yang ditentukan oleh Allah yang Maha Bijaksana untuk hamba-hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa, akal fikiran, keturunan dan harta. ( Muhammad Sacid Ramadan al-Buti 2000: 27 ) Berdasarkan takrif di atas, maslahah boleh dibahagikan kepada beberapa bahagian iaitu dari aspek kekuatan zat, aspek umum dan khusus ataupun aspek perakuan dan penolakan syarak.

Klasifikasi Maslahah

Maslahah terbahagi kepada tiga bahagian iaitu:

1. Aspek kekuatan pada zat

2. Aspek umum dan khusus

3. Aspek perakuan dan penolakan syarak

Aspek Kekuatan Pada Zat

Pembahagian maslahah dari aspek ini terbahagi kepada tiga iaitu:

1. Al-Daruriyyah Maslahah al-Daruriyyah ialah setiap perkara yang yang dimaksudkan oleh Allah untuk dipelihara iaitu agama, jiwa, akal, fikiran, keturunan dan harta. Menurut pandangan syarak, kelima-lima perkara ini dalam kehidupan manusia. Sekiranya salah satu daripadanya tiada, kehidupan tidak dapat diteruskan. Oleh itu, mengerjakan ibadat diwajibkan untuk menjaga agama. Selain itu, undang-undang yang disyariatkan oleh Allah (s.w.t) seperti qisas, hudud dan takzir adalah untuk menjaga lima elemen tersebut agar kehidupan dapat diteruskan. Kesimpulannya, maslahah daruriyyah adalah bertujuan bagi memelihara lima perkara di atas. (Mohd Saleh Hj Ahmad 1999:124)

2. Al-Hajiyyah Maslahah Hajiyyah ialah perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang dengan kewujudannya akan memudahkan kehidupan manusia. Namun, ketiadaannya tidaklah begitu menyusahkan.

Page 80: KONSEP USHUL FIQH.docx

Sebagai contoh, dibolehkan solat jamak bagi mereka yang bermusafir. Ia merupakan keringanan dalam menunaikan solat. Sekiranya tidak dilakukan, ia tidaklah memudaratkan musafir tersebut kerana solat jamak bertujuan untuk memudahkan musafir menunaikan solat. Maka, perbuatan ini diperlukan untuk memperoleh kelonggaran hidup dan menghilangkan kesempitan. Contoh lain ialah akad sewaan. Dengan adanya akad ini, ia boleh memenuhi keperluan orang lain. Sebaliknya, jika akad sewaan ini dilarang, kehidupan manusia akan menjadi rumit kerana terpaksa membeli barang keperluan tersebut sedangkan ia hanya untuk digunakan dalam tempoh yang sekejap sahaja. (Mohd Saleh Hj Ahmad 1999:124)

3. Al-Tahsiniyyah Maslahah Tahsiniyyah ialah maslahah yang apabila tidak dikerjakan, kehidupan manusia tidak mengalami kesulitan tetapi adanya maslahah tersebut, kehidupan manusia ia akan menjadi lebih baik. Oleh yang demikian, ia termasuk dalam usaha-usaha penyempurnaan perkara yang sepatutnya dan menghindari perkara yang tidak sepatutnya dilakukan seperti kesopanan dalam berbicara, menjaga adab makan dan minum, perbelanjaan harta yang sederhana dan tidak terlalu pemurah atau terlalu kedekut. (Mohd Saleh Hj Ahmad 1999:125)

Aspek Umum Dan Khusus

Selain itu juga, maslahah boleh dilihat dari aspek ruang lingkup sama ada ia umum atau khusus iaitu maslahah ‘ammah, aghlabiyyah, atau khassah. (Mohd Saleh Hj Ahmad 1999:126)

‘Ammah

Maslahah yang merangkumi seluruh manusia. Contohnya, pensyariatan membunuh ahli bid’ah jika dikhuatiri golongan ini akan mempengaruhi umat Islam dengan perbuatan bid’ah yang mereka lakukan.

Aghlabiyyah

Maslahah yang melibatkan sebahagian besar manusia sahaja. Misalnya jaminan yang dikenakan ke atas pengilang terhadap produk yang dikeluarkan oleh mereka. Ini kerana yang berurusan dengan pengilang hanyalah sebahagian besar manusia sahaja dan bukan keseluruhannya.

Khassah

Kemaslahatan individu tertentu pada situasi tertentu yang jarang berlaku. Contohnya idah wanita yang agak jauh pusingan haidnya akan dikira mengikut bulan dan bukan kitaran mengikut haid.

Aspek Perakuan Dan Penolakan Syarak

Page 81: KONSEP USHUL FIQH.docx

Maslahah manusia dalam kehidupan ini tidak terbatas dari segi jenis dan jumlahnya. Ia selalu bertambah dan berkembang mengikut situasi masyarakat. Sesetengah maslahah ada yang tetap dan berubah-ubah. Ini bermakna syariat Allah memandang maslahah ini dengan teliti, dengan mengambil kira kemaslahatan sesebuah masyarakat. Selain itu juga, pembahagian ini memainkan peranan yang tidak kurang pentingnya sebagai panduan kepada tertib dan susunan kedudukan yang perlu diambil kira sekiranya terdapat percanggahan antara sesama maslahah dalam usaha mengistinbat hukum syarak. Ia terbahagi kepada tiga:

Maslahah Mu’tabarah

Maslahah Mu’tabarah ialah maslahah yang diperakui oleh syarak dan dibinakan hukum-hakam bagi mendapatkan maslahah itu. Contohnya bagi maslahah memelihara jiwa, maka disyariatkan hukum qisas. Bagi maslahah memelihara harta, maka diperundangkan hukum potong tangan pencuri, dan bagi kepentingan memelihara akal diperundangkan hukuman sebat kepada peminum arak. (Hanafi 1970:65)

Maslahah Mulghah

Maslahah Mulghah ialah setiap perkara yang dianggap oleh akal sebagai maslahah tetapi ia dibatalkan oleh syarak dan tidak diambil kira kerana ia bertentangan dengan nas secara langsung. Misalnya mewajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai permulaan pada tertib kaffarah zihar sebelum ’berusaha’ dan tidak mampu untuk membebaskan hamba. Keadaan ini khusus kepada sesiapa yang mudah untuk membebaskan hamba berbanding dengan puasa. Walaupun dengan cara ini mungkin kelihatan lebih mendatang kemaslahatan pada akal, namun ia tidak dikira sebagai maslahah yang diiktiraf kerana ia bertentangan dengan nas. Nas tersebut ialah firman Allah (s.w.t) yang berbunyi.(Hanafi 1970:65)

Maksudnya: Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka siapa yang tiada kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (al-Mujadalah 58:3-4)

Pada ayat di atas, Allah (s.w.t) telah menetapkan susunan tertib kaffarah zihar yang dimulakan dengan pembebasan hamba dan diakhiri dengan memberi makan kepada orang miskin. Dengan ini, penepatan berpuasa sebagai permulaan kepada kaffarah zihar terbatal kerana berpuasa hanya dibolehkan jika tidak mampu untuk membebaskan hamba. Manakala yang ketiga ialah maslahah mursalah akan diterangkan seterusnya selepas ini.

Page 82: KONSEP USHUL FIQH.docx

Definisi Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah seperti yang telah diketahui, terdiri daripada dua perkataan iaitu maslahah dan mursalah.

Definisi maslahah telah dibincangkan sebelum ini. Mursalah pula merupakan masdar daripada perkataan ( أرسل ) yang bermaksud bebas atau tidak diikat. (al-Marbawi 1354H: 1/236)

Oleh itu maksud maslahah mursalah ialah maslahah yang tiada nas menyokong atau menolak secara langsung tetapi secara tersirat ia dimaksudkan oleh syarak untuk dipelihara.( Hamad ‘Ubayd al-Kubaisi 2009: 150)

Walau bagaimanapun, maslahah mursalah telah menjadi perselisihan di kalangan para ulama sama ada ia boleh dijadikan sebagai salah satu sumber hukum atau tidak. Berikut adalah penerangan mengenai kedudukan maslahah mursalah sebagai hujah dalam mengeluarkan sesuatu hukum.

Kedudukan Maslahah Mursalah dan Kehujahannya

Dalam agama Islam, terdapat hukum berbentuk tacabbudiyyah seperti bentuk solat, waktu solat dan puasa yang telah ditetapkan oleh syarak. Ketetapan ini tiada ruang bagi akal fikiran untuk mempertikaikan tentang kelogikan ibadah-ibadah tersebut. Malah hukum-hukum ibadah tersebut juga tiada ruang untuk diqiyaskan dan disesuaikan dengan maslahah mursalah kerana hukum-hukum ibadah tersebut telah ditetapkan oleh syarak.

Manakala hal-hal yang berkaitan dengan muamalat dan adat, ia mempunyai ruang dan peluang kepada manusia untuk melakukan ijtihad melalui qiyas dan maslahah mursalah. Walau bagaimanapun, terdapat perbezaan pendapat di kalangan ulama dalam menerima pakai maslahah mursalah sebagai salah satu hujah bagi penetapan sesuatu hukum. (Ramli 1999: 167)

Maslahah mursalah adalah hujah syarak Mazhab Maliki dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahawa maslahah mursalah boleh dijadikan salah satu sumber hukum dalam menetapkan sesuatu hukum. Antara dalil dan hujah mereka ialah seperti berikut: (Ramli 1999: 167-173)

i. Para Sahabat dan tabicin yang berijtihad telah mengeluarkan fatwa pada banyak perkara dengan menggunakan maslahah tanpa terikat dengan kaedah qiyas dan tiada sesiapa yang membantah perbuatan para Sahabat dan tabicin tersebut. Antara contohnya:

a. Khalifah Abu Bakar telah mengumpul al-Quran dalam satu mushaf untuk menjaga al-Quran setelah ramai para Sahabat yang menghafal al-Quran telah terkorban dalam Perang al-Riddah. Kronologi pengumpulan ini bermula dengan cadangan Sayidina ‘Umar kepada Sayidina Abu Bakar. Pada peringkat awal, Sayidina Abu bakar menolak cadangan ini kerana perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Namun begitu, Abu Bakar akhirnya bersetuju untuk

Page 83: KONSEP USHUL FIQH.docx

mengumpulkan al-Quran tersebut berdasarkan kemaslahatan umat Islam pada masa itu iaitu bagi mengelakkan al-Quran daripada hilang.

b. Khalifah ‘Umar pernah menghukum lelaki tampan dengan buang daerah kerana rupa parasnya yang cantik telah menyebabkan ramai wanita muda di Madinah terpesona. ‘Umar bertindak sedemikian demi maslahah untuk mengelakkan daripada berlakunya fitnah.

ii. Sekiranya kemaslahatan yang terdapat di setiap tempat itu diabaikan walaupun maslahah itu selari dengan kehendak syarak, nescaya umat Islam yang mukallaf akan mengalami kesulitan.

Oleh itu, penetapan sesuatu hukum syarak adalah berdasarkan kepada kemaslahatan umat bukan berdasarkan kepada kepentingan seseorang individu. (Ramli 1999: 168)

Maslahah Mursalah tidak boleh dijadikan hujah syarak

Ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai hujah dalam menetapkan sesuatu hukum ialah mazhab Hanafi, Mazhab Syaficie dan mazhab Zahiriyyah. Antara dasar penolakan mereka terhadap maslahah mursalah ini adalah seperti berikut:

i. Semua syariat yang telah ditetapkan oleh Allah (s.w.t) dalam mengambil kira kemaslahatan umat manusia dan tidak ada satu pun yang ditinggalkan atau tidak dijelaskan. Justeru, mereka yang menjadikan maslahah mursalah sebagai hujah seolah-olah menganggap syarak telah meninggalkan sebahagian daripada kemaslahatan manusia serta tidak disyariatkan untuk mereka. Oleh itu, apabila maslahah diterima seolah-olah Allah (s.w.t) yang meninggalkan sebahagian daripada kemaslahatan kepada umat manusia. Ini menunjukkan Allah (s.w.t) tidak bijaksana maka ia adalah bertentangan dengan pegangan Ahli Sunnah.

ii. Pembinaan hukum berdasarkan maslahah mursalah yang bukan berdasarkan kepada dalil khusus akan membuka ruang kepada seseorang individu untuk mengeluarkan hukum berdasarkan hawa nafsu. Oleh itu, penetapan sesuatu hukum tanpa berdasarkan kepada nas kadang kala boleh mengakibatkan suatu penyimpangan daripada hukum syariat dan tindakan zalim terhadap masyarakat dengan alasan maslahah seperti yang dilakukan oleh pemerintah yang zalim.

iii. Penggunaan maslahah mursalah sebagai sumber hukum akan membentuk perbezaan hukum akibat perbezaan pemikiran ulama. Ekoran itu, beramal dengan maslahah mursalah akan membawa kepada hukum yang berlainan dengan sebab perbezaan masa kerana maslahah sentiasa berubah mengikut masa dan suasana. (Ramli 1999: 170)

Oleh itu, penggunaan maslahah mursalah adalah tidak diterima sebagai dalil syarak kerana ia mencemarkan kesucian hukum-hukum syarak dengan tindakan-tindakan pihak-pihak tertentu dengan mengikut nafsu semata-mata tanpa berlandaskan syarak dengan alasan

Page 84: KONSEP USHUL FIQH.docx

berlindung di sebalik maslahah mursalah. Berikut adalah contoh-contoh isu-isu kontemporari yang berkaitan dengan maslahah mursalah.

Isu-Isu Kontemporari yang Berkaitan dengan Maslahah Mursalah

Terdapat beberapa isu-isu kontemporari atau semasa yang berkaitan dengan maslahah mursalah yang akan dibincangkan iaitu:

i. Penggunaan Kalimah Allah oleh orang bukan Islam (Anon 2011) Penggunaan kalimah Allah bagi orang Kristian atau bangsa-bangsa selain Islam adalah tidak bertepatan dan tidak selari dengan prinsip-prinsip al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak kerana agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama Islam. Selain itu, roh kalimah Allah bukan sekadar menjadi sebutan, seruan atau panggilan bagi tuhan semata-mata tetapi melambangkan aqidah atau agama bagi orang yang menggunakannya. Isu ini amat penting untuk diperbincangkan demi menjaga satu daripada maqasid syariah iaitu memelihara agama.

Setelah diteliti bahawa tiada dalil yang menyokong dan menolak kepada penggunaan kalimah Allah oleh orang bukan Islam. Oleh itu, orang bukan Islam tidak boleh menggunakan kalimah Allah kerana dikhuatiri akan menimbulkan kekeliruan dalam masyarakat terutamanya kepada golongan muda dan kanak-kanak muslim. Contohnya apabila mereka membaca terjemahan kitab Bible terbitan bahasa Inggeris iaitu ”..aku adalah anak Allah ’atau’ ...damai sejahtera dari Allah”, mereka akan mengganggap kalimah ’Allah’ di dalam agama-agama lain sama dengan kalimah ’Allah’ yang digunakan oleh umat Islam. Hal ini ternyata memberi kesan kepada pemikiran yang mungkin akan terpesong.

ii. Pendermaan Organ(Anon 2011)

Pemindahan organ adalah satu kaedah rawatan yang tidak disebut secara spesifik di dalam al-Quran mahupun Sunnah Rasulullah s.a.w. kerana kaedah ini merupakan perkembangan yang baru dalam dunia perubatan. Perkara ini boleh dikaitkan dengan firman Allah (s.w.t):

•• Maksudnya: Dan sesiapa yang menjaga keselamatan hidup seseorang manusia maka, seolah-olah ia telah menjaga keselamatan hidup manusia semuanya.(al-Maidah 5:32)

Ayat ini menunujukkan kepada bentuk usaha yang diharuskan untuk menyelamatkan nyawa seseorang daripada kebinasaan. Ini termasuklah menderma organ kepada saudara mara. Hal ini bertepatan dengan firman Allah (s.w.t): • • Maksudnya:

Page 85: KONSEP USHUL FIQH.docx

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(al-Baqarah 2:173)

Ayat di atas mengharuskan pendermaan organ kepada pihak lain sekiranya pihak itu dalam keadaan darurat dan memerlukan. Ia juga selari dengan kaedah fiqh iaitu: المحذورات تبيح yang membawa maksud kepada keadaan yang الضروراتdarurat mengharuskan perkara-perkara yang diharamkan.

Oleh yang demikian, ulama bersepakat bahawa pemindahan organ diharuskan setelah mendapati tiada persepakatan sama ada isu ini diterima atau ditolak berdasarkan daripada sumber nas yang qatcie. Mereka juga meletakkan syarat bahawa pemindahan organ hanya dibolehkan setelah tiada alternatif lain yang boleh menyelamatkan nyawa pesakit. Di samping itu, kaedah rawatan ini juga diharuskan sekiranya tidak mendatangkan mudarat yang lebih besar kepada penerima organ atau penderma organ (sekiranya penderma masih hidup). Maka isu ini dibolehkan demi menjaga salah satu daripada maqasid syariah iaitu memelihara nyawa.

iii. Penubuhan Universiti (Anon 2011)

Penubuhan Universiti juga merupakan salah satu isu yang bertepatan dengan salah satu cabang maqasid syariah iaitu memelihara akal. Walaupun ia tiada dalam dalil yang menyokong mahupun yang menolak namun ia diharuskan bagi menjaga akal manusia. Ini bertepatan dengan kaedah maslahah mursalah bahawa dengan tertubuhnya pusat pembelajaran ini akan melahirkan golongan yang manusia yang berhemah tinggi tetapi juga mempunyai kesedaran dan tanggungjawab kepada masyarakat dan sanggup membina masyarakat yang stabil, aman damai dan bersatu padu. Maka, lahirnya mahasiswa yang berilmu dan berkualiti tinggi yang dapat membantu negara dalam pelbagai aspek terutamanya mahir dalam bidang pentadbiran, politik dan pemerintahan negara.

iv. Bayi Tabung Uji (Anon 2011) Salah satu faktor perkahwinan adalah untuk mempunyai zuriat ataupun keturunan. Namun apabila perkara tersebut tidak dapat dikecapi, ia akan membawa kepada kesedihan dan perkara-perkara yang negatif. Oleh yang demikian, dengan menggunakan kaedah bayi tabung uji boleh mencapai faktor perkahwinan itu. Bayi tabung uji ialah percantuman benih di antara lelaki dan perempuan yang bukan secara persetubuhan normal. Setelah dikaji, isu ini tidak mempunyai dalil daripada nas-nas al-Quran dan Sunnah yang melarang atau menyokong kaedah bayi tabung uji tersebut. Para ulama

Page 86: KONSEP USHUL FIQH.docx

berpendapat bahawa mensenyawakan telur isteri dengan sperma suami tanpa ada sedikit syak pun kemungkinan ia bercampur dengan sperma lelaki lain adalah harus hukumnya dan mensabitkan nasab anak yang bakal dilahirkan.

Kaedah ini bersesuaian dengan satu daripada maqasid syariah iaitu memelihara keturunan. Maslahah mursalah daripada kaedah ini adalah dapat memperoleh zuriat walaupun si isteri tidak boleh memperolehi anak secara semulajadi iaitu melalui hubungan kelamin suami isteri yang sah. Selain itu, kaedah ini juga boleh mengelakkan si suami daripada melakukan zina semata-mata untuk mendapatkan anak.

v. Penyaluran harta haram ke Baitulmal (Anon 2011)

Harta merupakan benda yang bernilai selagi ia tidak bertentangan dengan hukum syarak. Harta-harta yang diperolehi dengan cara yang tidak mematuhi syariah seperti riba, gharar, perjudian, penipuan, rompakan, rampasan dan rasuah adalah haram dan tidak boleh digunakan untuk manfaat dan kepentingan diri sendiri ini bertepatan dengan firman Allah (s.w.t):

• Maksudnya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),

Ayat di atas menerangkan pengharaman riba bagi urusan jual beli maka apabila berlakunya riba ia perlu diserahkan kepada Baitulmal untuk kemaslahatan umum umat Islam seperti membiayai pembinaan atau penyelenggaraan jambatan, jalan, tandas dan seumpamanya. Sehubungan dengan itu, isu ini tidak mempunyai dalil yang menyokong atau menolak namun ia diharuskan bagi menjaga harta. Sekiranya tidak digunakan untuk tujuan kemaslahatan umat Islam, harta haram tersebut diserahkan kepada golongan fakir. Kaedah ini bersesuaian dengan satu daripada maqasid syariah iaitu memelihara harta. Kesimpulan Sebagai natijah kepada perbincangan topik ini, syariat Islam merupakan agama yang terakhir membawa sinar harapan kepada seluruh manusia dalam membantu mengatur dan menyusun sistem kehidupan yang lebih sempurna. Ketika manusia meneruskan kehidupan mereka yang penuh dengan

Page 87: KONSEP USHUL FIQH.docx

cabaran, maslahah dilihat sebagai sebahagian daripada alternatif perundangan Islam yang penting untuk berfungsi dalam pentas moden. Realiti ini menjadikan sumber perundangan Islam bersifat dinamis dalam menjamin kemaslahatan manusia. Di samping itu, maslahah mursalah adalah bertepatan dengan maqasid syariah iaitu menjaga lima perkara iaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal ini kerana beragama merupakan fitrah manusia dan lima kepentingan ini adalah diperlukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Oleh itu, dengan pengambilan maslahah mursalah sebagai salah satu cabang hukum adalah langkah yang terbaik kerana mengikut peredaran masa dan zaman. Ini kerana Islam adalah agama yang relevan sepanjang zaman dan memberi rukhsah kepada umatnya dan tidak membebankan.

Rujukan

Al-Quran Anon. 2003. Hukum bayi tabung uji. Http://www.hanan.com.my[ 17 April 2011 ] Anon. 2008. Isu tuntutan penganut Kristian terhadap penggunaan kalimah Allah. Http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-kebangsaan/isu-tuntutan-penganut-Kristian- terhadap-penggunaan-kalimah-Allah [ 17 April 2011 ]

Anon. 2009. Derma organ dalam perspektif Islam. http://ms.wikipedia.org /wiki/Derma_Organ_dalam_Perspektif_Islam [ 17 April 2011 ].

Basri bin Ibrahim al-Hasani al-Azhari. 2004. Pemindahan organ dalam Islam dan pelaksanaannya di Malaysia. Kuala Lumpur: al-hidayah.

Al-buti Muhammad Sacid Ramadhan. 2000. Dawabit al-maslahah fi al-shariah al-Islamiyyah. Beirut: al-Resalah Publishers.

Hanafi. 1970. Pengantar dan sejarah hukum Islam. Jakarta: Pustaka Bulan Bintang.

Al-kubaisi, Hamad ‘Ubayd. 2009. Usul al-Ahkam Wa Turuq al-Istinbat Fi Tasyri’ al-Islami. Damsyik : Dar al-salam

Muhammad Idris al-Marbawi. Kamus al-Marbawi. 1354H. al-Halabi: al-Qahirah.

Ramli SA. 1999. Muqaranah mazahib fi al-usul. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Page 88: KONSEP USHUL FIQH.docx

Sarimah Hanim Aman Shah. 2005. Ekonomi dari perspektif Islam. Selangor: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Pemakaian Kaedah-Kaedah Fiqh Di Dalam Memutuskan Sesuatu Kes.

DEFINISI KAEDAH FIQH (al-Qawa `i dul al-Fiqhiyyah)

Perkataan “Al-Qawa`id” adalah kata jamak “al-qa’idah”, yang bermaksud prinsip-prinsip. Perkataan “fiqhiyyah” berasal dari perkataan “al-fiqh” yang bererti “Al-Fahmu” yang bermaksud kefahaman. Al-Raghib al-Asfahaniy dalam al-Mufradat Fi Gharib al-Quran berpendapat “kaedah” dari sudut pengertian bahasa bermaksud asas dan ia merupakan asas sesuatu dan asalnya sama ada ianya berbentuk Hissi atau dapat dilihat oleh pancaindera seperti asas rumah ( البيت dan juga berbentuk maknawi ( قواعدatau tidak dapat dilihat seperti asas agama ( الدين : Sebagaimana firman-firman Allah di bawah .(قواعد

واسماعيل البيت من القواعد ابراهيم يرفع واذ

Bermaksud : “Dan (ingatlah) ketika nabi Ibrahim bersama-sama dengan anaknya Nabi Ismail meninggikan binaan asas-asas (tapak) Baitullah (kaabah) itu”.

القولعد من بنيانهم الله فاتي

Bermaksud: “Allah binasakan bangunan (rancangan jahat) mereka dari asas-asasnya.

Al-Zamaksyari dalam tafsir al-Kasysyaf pula berpendapat pengertiannya dari sudut bahasa adalah bermaksud asas dan asal kepada apa yang di atasnya. Ia juga bermaksud asas rumah dan asas-asas yang lain. Dari segi pengertian istilah pula, ulama usul fiqh mendefinisikannya sebagai hukum kulli atau bersifat umum yang dipraktikkan di atas semua hukum juz’i untuk mengetahui hukum daripadanya. Sebagai contoh al-amr ( األمر) atau suruhan asasnya membawa erti wajib. Menurut Taj al-Din al-Subky, kaedah menurut istilah :

( منها احكامها تفهم كثيرة جزئيات عليه ينطق الذي الكلي (األمر

Bermaksud: Sesuatu kaedah kulli atau umum tang bersesuaian dengan juz’iyyah atau bahagian-bahagiannya yang banyak yang mana daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.

Kesimpulannya, istilah “al-Qawa`idul al-Fiqhiyyah” didefinisikan menurut bahasa sebagai dasar-dasar yang berkaitan dengan masalah hokum. Dari sudut pengertian istilah pula, kaedah fiqh bermaksud

Page 89: KONSEP USHUL FIQH.docx

prinsip-prinsip fiqh yang bersifat umum dalam bentuk nas pendek yang mengandungi hukum umum yang sesuai dengan bahagian-bahagiannya. Contohnya ialah lafaz kaedah: يزال bermaksud الضررbahaya mestilah dihapuskan.

Lantaran itu, ilmu yang berkaitan dengan kaedah fiqh merupakan perkara yang penting dan utama dalam ilmu-ilmu Islam serta berada di kedudukan yang penting dalam fiqh Islam. Menurut Mustafa al-Zarqa' ketika membahas tentang hukum kaedah fiqh menyebut meskipun kaedah fiqh adalah prinsip-prinsip umum tetapi memainkan peranan yang penting dalam ilmu fiqh. Kaedah ini telah berjaya menyelesaikan sebahagian besar hukum fiqh (ahkam) yang mana tidak ada sumber hukum yang jelas di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Penguasaan ilmu ini sangat penting kerana ianya signifikan dengan ilmu fiqh dan membantu ulama untuk mengetahui secara terperinci berkaitan prinsip-prinsip syariah dan fiqh.

JENIS-JENIS KAEDAH FIQH

Jenis-jenis kaedah fiqh yang masyhur dikalangan ulama’ fiqh terbahagi kepada tiga jenis kaedah yang utama iaitu:

i) Kaedah am iaitu kaedah umum yang merangkumi lima kaedah asas yang dipersetujui oleh jumhur ulama’. Antara kaedah-kaedah tersebut ialah:

a) Setiap perkara dinilai berdasarkan niat ( بمقاصدها (األمور

b) Keyakinan tidak hilang dengan keraguan ( بالشك يزال ال (اليقين

c) Kesukaran membawa kemudahan ( التيسير تجلب (المشقة

d) Bahaya mesti dihapuskan ( يزال (الضرر

e) Adat dijadikan hukum ( محكمة (العادة

ii) Kaedah kulliyyah iaitu kaedah yang mana terbentuk daripadanya hukum-hukum furu’. Daripada kaedah kulliyyah pula terbentuk kaedah juz’iyyah atau pecahan yang banyak sekali. Antara kaedah-kaedah yang terbentuk dari kaedah kulliyyah ini ialah:

a) Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad ( باالجتهاد ينقض ال (االجتهاد

b) Apabila berhimpun halal dan haram dikira yang haram

Page 90: KONSEP USHUL FIQH.docx

( الحرام غلب والحرام الحالل اجتمع (اذا

c) Hukum hudud gugur dengan sebab keraguan ( بالشبهات تسقط (الحدود

d) Orang merdeka tidak masuk dalam kekuasaan ( اليد تحت يدخل ال (الحر

e) Mendapat faedah sebabnya bersedia menanggung risiko ( بالضمان (الخراج

f) Keluar daripada khilaf digalakkan ( مستحب الخالف من (الخروج

iii) Kaedah yang diperselisihkan di kalangan ulama’ mazhab dan mujtahid. Kesemuanya ada dua puluh kaedah antaranya:

a) Jumaat: zohor yang dipendekkan atau sembahyang menurut semestinya.

( قوالن حيالها؟ على صالة أو مقصورة ظهر ( الجمعة

b) Apakah yang diiktibar itu lafaz akad atau maknanya

( خالف , بمعانيها؟ أو العود بصيغ العبرة ( هل

c) Talaq Raji’i, apakah ia memutuskan perkahwinan atau tidak

( , قوالن ال؟ أو النكاح يقطع هل الرجعى ( الطالق

Berdasarkan jenis-jenis kaedah fiqh di atas yang diklasifikasikan oleh ulama’, kaedah am adalah kaedah yang disepakati oleh jumhur ulama’ yang seringkali menjadi rujukan hakim-hakim di Mahkamah Syariah.

PERANAN KAEDAH FIQH DI DALAM MEMUTUSKAN SESUATU KES

Peranan kaedah fiqh di dalam memutuskan sesuatu kes di mahkamah syariah merangkumi berbagai permasalahan dan isu yang diputuskan oleh mahkamah. Hakim-hakim Syarie telah mengguna pakai kaedah-kaedah fiqh di dalam membuat keputusan dan penghakiman. Di antara peranan kaedah fiqh di dalam memutuskan sesuatu kes adalah seperti berikut: -

Kaedah fiqh sebagai sumber hukum

Pemakaian kaedah fiqh oleh hakim-hakim Mahkamah Syariah sebagai sumber hukum dapat diteliti di dalam undang-undang itu sendiri dan pemakaiannya di Mahkamah Syariah. Sebagai contoh kaedah

المحكمة yang bererti adat kebiasaan sebagai hukum yang menjadi asas kepada harta ألعادةsepencarian di Malaysia. Meskipun istilah harta sepencarian tidak disebut dengan jelas di dalam Quran,

Page 91: KONSEP USHUL FIQH.docx

Sunnah dan ilmu fiqh, namun Islam mengakui usaha lelaki dan perempuan dan mereka berhak untuk mendapatkan hak mereka tanpa batasan untuk apa yang telah mereka usahakan bersama sepanjang hidup mereka.

Harta sepencarian didefinisikan sebagai harta yang diperolehi bersama oleh suami isteri semasa perkahwinan berkuatkuasa mengikut syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum syara’. Tafsiran tentang definisi harta sepencarian juga telah disebut dalam kes Hajjah Lijah Jamal v Fatimah Mat Diah, di mana Briggs J mendefinasikan sebagai "harta benda yang diperolehi selama tempoh perkahwinan seorang suami dan isteri dari sumber usaha mereka atau sumbangan mereka.

Isu harta sepencarian telah menjadi sangat penting dan menjadi hak untuk pasangan yang bercerai dan telah diiktiraf di bawah undang-undang keluarga Islam di Malaysia. Pertimbangan tentang keupayaan dan sumbangan suami isteri sepanjang perkahwinan mereka menjadi asas utama pertimbangan hakim untuk menentukan jumlah bahagian yang wajar diperolehi oleh suami dan isteri tersebut. Sebagai contoh, kes Wan Mahattan v Haji Abdul Samat (Ipoh Civil Appeal No 27 dari 1925), menyatakan bahawa isteri yang bercerai berhak mendapat sepertiga tidak akan terhalang oleh perceraian tebus talak kecuali pertimbangan untuk melepaskan tuntutan itu sebagai harta sepencarian. Wanita yang bercerai itu mungkin mendapat saham yang lebih satupertiga menjadi satu setengah jika ia sebenarnya memberi sumbangan yang sepatutnya.

Kaedah fiqh sebagai hujah sokongan

Misalnya kaedah كان ما على كان ما بقأ yang bererti "asal kekal sesuatu itu mengikut apa yang األصلada sebelumnya." Kaedah ini adalah sebahagian daripada kaedah yang utama yang mana keyakinan tidak boleh dihapuskan oleh keraguan بالشاك يزول ال -Ada beberapa ayat dari al-Quran dan al .اليقينSunnah yang menjadi panduan antaranya:

Surah Yunus ayat 36:

تفعلون بما عليم الله ان شيئا الحق من يغني ال الظن ان ظنا اال أكثرهم يتبع وما

�Ertinya: "Dan kebanyakan mereka, tidak menurut melainkan sesuatu sangkaan sahaja, sesungguhnya sangkaan itu tidak dapat memenuhi kehendak menentukan sesuatu dari kebenaran (I’tiqad). Sesungguhnya Allah maha mengetahui akan apa yang mereka lakukan ."

Sebagaimana hadis nabi s.a.w:

Page 92: KONSEP USHUL FIQH.docx

صوتا يسمع حتى المسجد من يخرجن فال ال أم شيء منه أخرج عليه فأشكل شيئا بطنه في احدكم وجد اذاريحا يجد أو

�Maksudnya: "apabila seseorang kamu merasakan sesuatu di dalam perutnya kemudian timbul keraguan dengan sebabnya;apakah sesuatu telah keluar darinya atau tidak? Janganlah sesekali dia keluar dari masjid sehingga dia mendengar suara atau mendapatkan bau (ia dapati ada bukti batal wuduk) . "

Di dalam penghakiman hakim-hakim menggunakan kaedah كان ما على كان ما بقأ untuk األصلmenentukan status harta yang menjadi pertikaian misalnya dalam kes Ibrahim bin Haji Abu Bakar v Mohd Ali bin Mohd Sah dan lain-lain di mana hakim menerapkan prinsip kepastian untuk menentukan apakah harta itu jatuh di bawah wasiat atau pusaka. Di dalam kes ini hakim telah menggunapakai kaedah كان ما على كان ما بقأ untuk memutuskan bahawa harta tersebut adalah harta pusaka األصلuntuk pembahagian menurut hukum faraid.

Pemakaian kaedah fiqh dapat juga dilihat di dalam kes Noraini binti Mokhtar v Abd. Halim bin Sama. Mahkamah rayuan yang memutuskan bahawa harta itu adalah harta sepencarian telah menggunapakai kaedah كان ما على كان ما بقأ sebagai usaha bersama mereka selagi tiada bukti menunjukkan األصلsebaliknya. Mengenai perbezaan hutang oleh pihak-pihak untuk memperoleh hak milik sebesar RM1000, hakim melihat ia harus ditanggung oleh pihak-pihak secara samarata dengan merujuk kepada kaedah ( بالضمن yang bemaksud kerugian adalah sebagai kembali untuk mendapatkan (الخراخkeuntungan.

Mengenalpasti status individu

Kaedah ini biasanya digunapakai oleh hakim menentukan status orang yang didakwa dalam kes jenayah iaitu kaedah الذمة براءة .yang bermaksud asalnya seseorang itu bebas daripada tanggungjawab االءصلOleh itu dapat dibuat anggapan bahawa seseorang itu bebas dan tidak dipertanggungjawabkan kecuali dibuktikan dia melakukan sesuatu perbuatan itu.

Di dalam kes Pegawai Pendakwa MUIS v Adib Datuk Haji Said Besar Sigoh tertuduh telah didakwa melakukan zina tetapi dia didapati tidak bersalah oleh mahkamah kerana pihak pendakwa gagal buktikan kes tersebut. Mahkamah berpendapat iqrar yang telah dibuat orang yang disabit bersalah zina tidak boleh digunakan untuk menghukum pihak tertuduh kerana kaedah الذمة براءة االصل

Mahkamah juga menolak untuk menerima yang dibuat oleh tertuduh kerana dibuat diluar mahkamah.

Page 93: KONSEP USHUL FIQH.docx

Selain itu di dalam kes Pendakwa Syarie v Jaiman Masta @ Mastah & Jamidah Abdul Majid. Hakim bicara di dalam penghakimannya mengatakan bahawa pihak pendakwa telah gagal buktikan melampaui keraguan yang munasabah yang mana keterangan saksi pendakwa tidak menyokong satu sama lain. Hakim berpendapat bahawa hukumannya tidak boleh berdasarkan sesuatu yang meragukan sebagaimana kaedah الذمة براءة yang memberi gambaran bahawa seseorang itu tidak االءصلbertanggungjawab ke atas sesuatu perbuatan kecuali dibuktikan dengan jelas bahawa melakukan perbuatan itu.

iii.Mempertimbangkan prosedur yang akan digunapakai

Kaedah yang biasa digunapakai oleh mahkamah untuk pengecualian kepada prosedur yang biasa iaitu kaedah التيسير تجلب bermaksud kesukaran membawa kemudahan. Sebagai contoh kes المشقةHaslinda binti Alias vs Johdi Matius Byrne @ Yahya bin Abdullah. Hakim bicara mengatakan bahawa undang-undang tidak membenarkan semua kes didengar secara ex-parte tetapi ada pengecualianberdasarkan kaedah تجلب المشقة

dan surah al-Baqarah ayat 185 yang bermaksud "... Sesungguhnya Allah memberi kemudahan التيسيرkepada kamu, Dia tidak ingin melibatkan kamu dalam kesulitan ..." Hakim juga menyebutkan kaedah

يزال .bermaksud kemudaratan hendaklah dihilangkan الضرر

Konsep kaedah fiqh juga telah diterapkan dalam Enakmen Tatacara Mal Selangor 2003. Sebagai contoh di bawah seksyen 121 mahkamah boleh tolak dan membuang kes jika ketidakhadiran pihak-pihak dalam perbicaraan atau meneruskan kes tanpa kehadiran pihak yang satu lagi. Kaedah yang bersesuaian bagi peruntukan ini ialah kaedah بيان البيان الى الحاجة معرض في السكوت ولكن قول ساكت الي ينسب ال

bermaksud tidak dapat disandarkan sesuatu perkataan kepada orang diam, namun berdiam ketika memerlukan keterangan adalah keterangan.

Kaedah yang relevan adalah الضرار ال و الضرر bermaksud tidak ada mudarat dan tidak الmemudaratkan. Ia terbahagi kepada dua bahagian. Yang pertama bahagian tidak memudaratkan ( ال menunjukkan bahawa semua jenis kemudaratan harus dihindari dan semua tindakan yang (الضررdiperlukan harus diambil untuk mencegah kemudaratan. Sedangkan yang kedua tidak akan memudaratkan ( ضرار menunjukkan bahawa tidak boleh menyebabkan kemudaratan yang lebih (والteruk. Konsep ini telah digunapakai di dalam hal perkahwinan dan perceraian seperti fasakh dan poligami.

Dalam kes Ruzaini bin Hassan, hakim telah menolak permohonan plaintif untuk berpoligami. Hakim berpendapat, walaupun isteri pemohon telah bersetuju untuk pemohon bernikah seorang lagi, namun

Page 94: KONSEP USHUL FIQH.docx

mahkamah harus mempertimbangkan dan melindungi kepentingan yang ada pada isteri dan anak-anak. Tidak diragukan bahawa ada kebaikan dalam poligami tetapi jika tidak diamalkan dengan baik harus dihindari berdasarkan kaedah المصالح جلب من اولي المفاسد bermaksud menolak kerosakan lebih درءbaik daripada mendapatkan manfaat. Hakim membuat kesimpulan bahawa memiliki baki gaji dalam tangan RM291.90 pemohon tidak mampu untuk berpoligami walaupun pemohon mendakwa bahawa dia secara fizikalnya mampu bernikah seorang isteri lagi.

Implikasi pemakaian kaedah fiqh

Di antara implikasi-implikasi pemakaian kaedah fiqh di dalam memutuskan sesuatu kes adalah seperti berikut:

1) Menjadi sandaran hukum kepada hakim untuk membuat keputusan

2) Membantu hakim untuk mengenalpasti isu-isu yang dipertikaikan.

3) Membantu hakim memutuskan sesuatu isu yang dipertikaikan dengan seadil-adilnya berdasarkan kaedah fiqh

4) Sebagai hujahan hakim kepada isu-isu yang tidak mempunyai sumber hukum yang jelas seperti tuntutan harta sepencarian.

5) Membantu hakim mengenalpasti pihak yang dipertanggungjawabkan untuk membuktikan sesuatu isu seperti kaedah أنكر من علي واليمين المدعي علي البينة

6) Memberi panduan kepada hakim-hakim untuk menggunapakai sumpah dalam prosiding di mahkamah syariah seperti kaedah أنكر من علي واليمين المدعي علي البينة

7) Menjadi prinsip-prinsip asas di dalam memutuskan sesuatu kes jenayah syariah iaitu seseorang tidak bersalah sehingga dibuktikan sebaliknya seperti kaedah الذمة برءة األصل

USUL FIQH ZAMAN SAHABAT

June 2nd, 2014 by admin

Number of View: 2349

Ilmu usul fiqh adalah ilmu yang menghuraikan tentang kaedah-kaedah yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menetapkan hukum syarak dari nas. Usul fiqh adalah satu-satunya manhaj ilmiah Islam dalam mengistinbat hukum syarak. Ia merupakan tatacara dalam memahami serta menzahirkan nas-nas

Page 95: KONSEP USHUL FIQH.docx

al-Quran dan al-Sunnah ketika merumus hukum hakam. Namun, pentafsiran yang dilakukan adalah hanya berkaitan dengan hukum syarak sahaja dan bukan untuk hukum-hakam akidah.[1]

Usul bermaksud dasar, asas atau punca kepada sesuatu. Manakala fiqh bermaksud suatu pengetahuan terhadap hukum-hukum syarak yang berkait dengan amalan-amalan dan diambil daripada dalil-dalil yang sahih.[2]

Ketika Rasulullah masih hidup, para sahabat merujuk terus kepada Rasulullah SAW. Namun begitu, jika para sahabat tidak dapat untuk merujuk kepada Rasulullah SAW, para sahabat akan menggunakan tiga sumber penting dalam mengistinbatkan hukum, iaitu Al-quran, sunnah, dan ijtihad. Bukti paling jelas para sahabat menggunakan tiga sumber tersebut dapat dilihat dalam riwayat dari Muadz berikut:-

Rasuluallah SAW bersabda ketika mengutus Muadz ke Yaman:

“Bagaimana kau memutuskan jika dihadapkan perkara kepadamu?, Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diredhai Rasulullah.”

Setelah kewafatan Rasulullah S.A.W, sebarang persoalan yang timbul atau diragui pada ketika itu, akan terus dirujuk kepada para sahabat. Ini adalah kerana, para sahabat merupakan mereka yang paling rapat dan banyak mempelajari daripada Rasulullah sewaktu hayat Baginda. Para sahabat tidak mempunyai kesukaran untuk menentukan hukum. Para sahabat mengistinbatkan hukum berpandukan al-Quran dan sunnah sahaja kerana mereka mempunyai pengetahuan yang tinggi dalam bahasa Arab dan uslubnya, pendalilan lafaznya, ibarah dan ertinya. Selain itu, mereka juga tahu sebab-sebab sesuatu ayat al-Quran diturunkan dan sebab-sebab terdapatnya sunnah.[3]

Kebanyakan para sahabat merupakan perawi hadis seperti Ali bin Abi Thalib, Umar Al-Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Oleh itu, tidak sukar bagi para sahabat untuk untuk menentukan hukum. Walaubagaimanapun, jika isu baru yang terjadi tidak terdapat dalam al-

Page 96: KONSEP USHUL FIQH.docx

Quran dan sunnah, para sahabat akan berijtihad berdasarkan pengetahuan mereka tentang tujuan syariat dan panduan nas-nas tersebut.[4]

Tetapi apabila terdapat percanggahan pendapat, atau tiada ketetapan hukum tentang sesuatu perkara, maka mereka akan berijtihad degan menggunakan ijmak. Ijmak mula digunakan pada zaman sahabat Rasulullah dan antara kalangan para sahabat yang mengamalkan ijmak ialah seperti Saidina Abu Bakar r.a, Saidina Uthman Bin Affan r.a, Saidina Umar Al-Khattab r.a, dan Saidina Ali. Ijmak terjadi apabila kata sepakat dalam sesuatu hukum dicapai antara mereka.[5]

Untuk berijtihad menggunakan ijmak, khalifah (Khulafa’ Rasyidin) atau pemimpin akan melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut dihadiri oleh para sahabat yang mahir di dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya akan dibincangkan oleh sehabat-sahabat yang lain sehingga mendapat kata sepakat. Di sinilah lahirnya ijmak para sahabat, yang pada kemudian hari di perakui dan diterima oleh sebahagian ulama yang lain, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijmak yang diterima pakai.[6]

Saidina Umar Al-Khattab r.a dikenali sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah di dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat di dalam tindakan beliau mengumpul dan membukukan Al-Quran dalam satu mushaf, pengucapan talak sebanyak tiga kali di dalam satu masa atau majlis dipandang sebagai talak tiga, penggunaan pajak tanah (kharaj), dan sebagainya.

Walaupun para sahabat tidak mempunyai masalah dalam menginstinbatkan hukum, namun di kalangan para sahabat masih terdapat sedikit percanggahan pandangan antara mereka dalam memahami maksud bagi sesebuah ayat yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah. Contoh percanggahan pendapat tersebut dapat dilihat dalam pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228:-

“Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu selama tiga kali suci.‘”

Tiga kali suci di dalam ayat di atas memberi pengertian iaitu suci daripada haid. Saidina Abu Bakar r.a, Saidina Umar bin Al-Khattab, Saidina Ali, Saidina Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari memahami maksud suci di dalam ayat di atas dengan pengertian haid, manakala Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengertikannya dengan kesucian.

Page 97: KONSEP USHUL FIQH.docx

Dapat disimpulkan di sini, usul fiqh pada era sahabat juga masih belum menjadi sebagai satu bahan kajian ilmiah. Walaupun antara para sahabat mereka membincangkan tentang percanggahan pendapat mereka, namun perbincangan itu belum menuju kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pendapat dan perbincangan yang dilakukan oleh para sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul. Pembahasan hukum yang dilakukan oleh para sahabat hanya terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul. Ianya belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.

Usul Fiqh Pada Era Tabi’in

Pada era para tabi’in, perbincangan mengenai persoalan usul fiqh tidak banyak berbeza berbanding dengan era para sahabat. Ini kerana golongan para tabi’in terdiri daripada anak murid para sahabat. Mereka menuntut ilmu dan mendapat bimbingan daripada para sahabat. Hal ini kerana ketika Islam tersebar luas, para sahabat turut berdakwah menyebarkan Islam ke serata daerah dan tempat, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Saidatina Aishah r.a, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah r.a di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Penyebaran ajaran Islam banyak dipengaruhi oleh peranan para sahabat. Mereka mempunyai murid-murid di daerah-daerah tempat mereka menyebarkan ajaran Islam.[7]

Murid-murid para sahabat atau lebih dikenali sebagai para tabi’in itulah yang kemudiannya menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing dan tempat rujukan masyarakat di situ.[8] Para tabi’in ini bukan hanya terdiri dari kalangan bangsa Arab sahaja, tetapi juga terdiri dari kalangan orang Islam yang bukan berbangsa Arab (Mawali). Terdapat juga sebilangan besar para tabi‘in daripada kalangan golongan Mawali menjadi pemberi fatwa yang terkenal seperti Nafi, Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (ahli hukum Bashrah) dan banyak lagi.

Disebabkan para tabi’in berguru dengan para sahabat, maka cara mereka menginstinbatkan hukum tidak jauh berbeza dengan zaman para sahabat. Contohnya, cara pemikiran dan menginstinbatkan hukum oleh murid-murid kepada Ibnu Mas’ud di Iraq (Kufah) tidak jauh berbeza sehingga murid-muridnya dikenali dengan gelaran Ahl Al-Ra’yi kerana mengikut jejak Ibnu Mas’ud seorang tokoh yang memilki kemampuan ra’yu yang baik.[9]

Page 98: KONSEP USHUL FIQH.docx

Walaubagaimanapun, di zaman para tabi’in ini munculnya dua peristiwa yang penting iaitu masalah pemalsuan hadis dan perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang membahagikan dua kelompok iaitu daripada Iraq (Ahl Al-Ra’yi) dan kelompok daripada Madinah (Ahl Al-Hadis).[10] Bermula daripada inilah, munculnya bibit-bibit percanggahan metadologi yang lebih jelas dengan terdapatnya perbezaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan daerah geografi mereka. Oleh yang demikian, para fuqaha berpendapat perlunya kaedah, prinsip dan ketentuan ijtihad dibuat agar dapat dirujuk oleh para mujtahiddin apabila berlaku percanggahan pendapat. [11]

Ushul Fiqh di Zaman Imam Mazhab

Pada zaman Imam mazhab, pemikiran hukum Islam mengalami perubahan yang sangat besar kerana, adanya kesedaran mengenai cara-cara pemecahan hukum tertentu sebagai ciri-ciri khas. Berbagai-bagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaedah hukum yang mana melahirkan berbagai konsep usul fiqh. Apabila tidak ada nas dari Al-Quran atau hadis, mereka akan berijtihad untuk menetapkan hukum peristiwa itu. Empat mazhab yang terkenal adalah mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafie dan mazhab Hanbali.

Mazhab Hanafi

Mazhab ini disusun oleh Imam Abu Hanifah yang di mana beliau belajar di Kufah, dan di sanalah beliau mula menyusun mazhabnya.[12] Selepas itu, beliau menetap dan berfatwa mengembangkan ilmu pengetahuannya di Baghdad. Beliau memberikan penerangan kepada segenap lapisan muslimin, sehingga beliau terkenal sebagai seorang alim yang terbesar pada masa itu, mahir di dalam ilmu fiqh serta pandai mengistinbatkan hukum dari Al-Quran dan Hadis. Mazhab ini banyak tersebar di negeri-negeri Baghdad, Parsi, Bukhara, Mesir, Syam dan juga tempat-tempat lain.[13]

Mazhab Maliki

Page 99: KONSEP USHUL FIQH.docx

Mazhab ini pula disusun oleh Malik Bin Anas Al-Ashbahi. Beliau dilahirkan pada 93 Hijrah. Imam Malik telah menuntut ilmu0 di Madinah, dan di sana juga beliau menulis kitab hadisnya yang terkenal hingga ke hari ini iaitu “kitab Al-Muwwattha”. Imam Malik menyusun kitab ini atas cadangan Khalifah Manshur sewaktu beliau mengerjakan haji. Mazhab ini mempunyai pengikut yang ramai di Tunisia, Tripoli, Maghribi, Mesir dan lain-lain.[14]

Mazhab Maliki ini telah disusun atas empat dasar yang utama, iaitu berdasarkan kitab suci Al-Quran, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qias. Tetapi bagi Qias, beliau hanya gunakan dalam keadaan-keadaan tertentu sahaja. Ini adalah kerana Imam Malik merupakan seorang ahli hadis, dan beliau berkata “sesungguhnya saya sebagai manusia biasa, kadang-kadang betul dan kadang-kadang jua salah, maka hendaklah kamu periksa dan selidik pendapat-pendapatku itu, mana yang sesuai dengan sunnah ambillah.”

Imam Malik merupakan seorang Ahli Fiqh dan Hadis yang terbilang dan berpengaruh di zamannya di seluruh Hijaz, dan nama panggilan beliau adalah “Sayyid Fuqaha al Hijaz”, yang bermaksud pemimpin ahli fiqh seluruh daerah. Di antara murid-murid didikan beliau yang terkemuka adalah Imam Syafi’e, Al-Laitsi bin Sa’ad, Abu Ishaq Al-Farazi dan lain-lain.[15]

Mazhab Syafi’e

Mazhab Syafi’e adalah diasaskan oleh Muhamad bin Idris Al-Syafie. Beliau dilahirkan pada tahun 105 hijrah, sebuah bandar bernama Ghizah di Palestin. Imam Syafi’e dianggap individu yang telah berjaya mencantumkan hadis dan akal fikiran dalam membentuk undang-undang fiqh.

Imam Syafi’e ialah imam yang ketiga mengikut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah penyokong kepada ilmu hadis dan pembaharu agama (mujaddid) bagi abad yang ke-2 hijrah.

Imam Ahmad Bin Hanbal pernah berkata: “diceritakan kepada Nabi Muhamad S.A.W. bahawa Allah menghantar kepada umat ini seorang pembaharu kepada agama, Umar Bin Abdul Aziz dihantar untuk abad yang pertama dan aku harap Imam Syafi’e merupakan mujadid abad yang kedua.”

Page 100: KONSEP USHUL FIQH.docx

Imam Syafi’e menghafaz Al-Quran dengan mudah, Beliau juga sangat tekun mempelajari kaedah-kaedah dan nahu bahasa Arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke kampung dan tinggal bersama dengan puak Hazyal selama 10 tahun. Hal ini adalah kerana kabilah Hazyl adalah terkenal sebagai satu kabilah yang paling baik bahasa Arabnya. Imam Syafie banyak menghafaz syair-syair dan qasidah dari puak Hazyl.

Salah seorang guru Imam Syafi’e dalam pelajaran ilmu fiqh dan hadis ialah Imam Malik. Ilmu fiqh yang dibawa oleh Imam Syafie adalah merupakan satu zaman perkembangan ilmu fiqh dalam sejarah perundangan Islam kerana beliau yang menghimpunkan atau menyatukan ilmu fiqh ahli-ahli akal dan fikir dengan ilmu fiqh ahli-ahli akal dan hadis. Ilmu fiqh Imam Syafi’e juga merupakan ikatan Sunnah dan Qias, dan akal fikiran dengan beberapa pertimbangan dan sekatan sebagaimana dalam ilmu fiqh yang menetapkan cara-cara atau peraturan untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadis. Imam Syafi’e juga menetapkan kaedah-kaedah dalam pengeluaran hukum dan kesimpulannya.

Mazhab Hanbali

Mazhab ini telah disusun oleh Imam Ahmad Bin Muhammad bin Hanbal Bin Hilal. Beliau di lahirkan di Baghdad dan meninggal dunia pada hari Jumaat, 12 Rabiul Awal pada tahun 241 hijrah. Mazhab ini pada mulanya tersebar di Baghdad, kemudian beransur-ansur tersebar ke daerah-daerah lain, dan sekarang ini ianya telah ditetapkan oleh Raja Ibnu Sa’ud menjadi mazhab rasmi bagi pemerintah Arab Saudi.[16]

Imam Hanbali merupakan murid kepada Imam Syafi’i dan beliau berpegang teguh kepada fatwa para sahabat apabila tiada nas. Mazhab beliau disusun berdasarkan dasar yang utama, dasar yang pertama ialah nas Al-Quran dan hadis. Dasar kedua adalah berdasarkan fatwa-fatwa para sahabat. Tetapi jika terdapat percanggahan antara beberapa sahabat, beliau akan pilih fatwa yang paling dekat dengan Al-Quran dan Sunnah. Dasar yang ketiga adalah hadis mursal, atau hadis lemah, hanya apabila hadis itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lain.[17] Dasar yang terakhir adalah Qias. Imam Hanbali hanya akan memakai Qias sekiranya tiada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Beliau amat berhati-hati dalam melahirkan fatwa dan ini menyebabkan lambatnya mazhab beliau tersebar di daerah-daerah yang jauh