PARADIGMA BARU DHARMADUTA DALAM PEMBABARAN …
Transcript of PARADIGMA BARU DHARMADUTA DALAM PEMBABARAN …
PARADIGMA BARU DHARMADUTA DALAM PEMBABARAN AGAMA BUDDHA
BERDASARKAN CARA KERJA PIKIRAN
MENURUT HIPNOTERAPI
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan sebagai Salah Satu Persyaratan
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Jurusan Dharmaduta
Oleh:
PRAMANA WINARDI
NIM 0250110020301
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG BANTEN
2017
x
ABSTRAK
Winardi, Pramana. 2017. Paradigma Baru Dharmaduta Dalam Pembabaran
Agama Buddha Berdasarkan Cara Kerja Pikiran Menurut Hipnoterapi.
Skripsi. Jurusan Dharmaduta. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya Tangerang Banten. Pembimbing I Waluyo, M.Pd. dan
Pembimbing II Warsito, S.H., S.Ag., M.H.
Kata kunci: paradigma, dharmaduta, pikiran, hipnoterapi
Jumlah umat Buddha di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang
meningkat. Semakin banyak umat Buddha yang rutin mengikuti kebaktian di
wihara dan cetya yang semakin tersebar di pelosok Indonesia. Namun berdasarkan
statistik BPS dan lembaga peneliti swasta lainnya, populasi umat Buddha
memperlihatkan tren menurun khususnya secara persentase.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menguraikan salah satu
sebab tren penurunan persentase populasi umat Buddha di Indonesia termasuk
kantong-kantong umat Buddha di Jawa Tengah. Pihak yang sangat berperan dan
sekaligus bertanggungjawab atas fenomena ini salah satunya adalah dharmaduta.
Hal ini disebabkan dharmaduta bagi sebagian besar umat Buddha adalah figur
yang dipandang memiliki otoritas tinggi yang kata-katanya sering menjadi
pedoman umat Buddha dalam menjalani kehidupannya. Sayangnya sangat sedikit
dharmaduta yang memahami cara kerja pikiran kendati dharmaduta mengetahui
bahwa pikiran adalah pelopor, pikiran pemimpin, dan pikiran adalah pembentuk
seseorang.
Penelitian ini difokuskan pada bagaimana konsep hidup adalah penderitaan
menyebabkan orang, khususnya generasi muda, enggan memeluk agama Buddha.
Permasalahannya sesungguhnya sangat sederhana yaitu semua orang tidak ingin
hidup menderita, semua orang ingin hidup bahagia. Itu saja. Sederhana sekali.
Untuk mengkaji dan meneliti fenomena ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif studi kasus yaitu terhadap klien-klien penulis yang sebagian
besar masalahnya berawal dari keyakinan terhadap suatu konsep hidup negatif.
Simpulan penelitian kemudian diperbandingkan dengan cara Y.M. Bhante Ajahn
Bram membabarkan dharma di Australia yang berhasil meningkatkan jumlah
umat Buddha di Australia secara signifikan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua orang, termasuk umat
Buddha, ingin hidup bahagia bahkan dalam periode kehidupan saat ini juga.
Untuk dapat hidup bahagia, berdasarkan studi kasus berbasis teknologi pikiran
menurut hipnoterapi, belum ditemukan jalan lain kecuali merubah pikiran yang
bersifat negatif menjadi pikiran yang bermuatan energi positif.
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa guna
mempertahankan dan bahkan mengembangkan populasi umat Buddha di
Indonesia, dharmaduta wajib mengubah paradigma baru dalam pembabaran
agama Buddha yaitu yang pada awalnya berorientasi pada penderitaan menjadi
pendekatan pada kebahagiaan. Simpulan ini sejalan hakikat keberadaan Buddha di
alam semesta ini yang mengajarkan pada semua manusia cara melenyapkan
penderitaan untuk meraih kebahagiaan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan menyatakan
pemuda adalah mereka yang berusia 18 sampai 35 tahun. Menurut sensus BPS
tahun 2010, penduduk Indonesia berusia 15-34 tahun berjumlah 81.867.436 orang
(34,45%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 orang.
Pemuda sebagai pemilik masa depan merupakan generasi muda yang berpikir
kritis, kreatif, dan terdidik. Semakin modern suatu masyarakat semakin banyak
warga masyarakatnya yang berpendidikan tinggi, memiliki status ekonomi mapan,
dan semakin membutuhan ajaran-ajaran spiritual yang tanpa cerita khayalan,
dongeng, bebas dari ancaman hukuman, dan tanpa kepercayaan membuta yang
bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan dan logika. Dengan karateristik
yang demikian, agama yang paling cocok dengan pola pikir generasi muda ini
adalah Agama Buddha. Agama Buddha adalah agama yang mengedepankan
doktrin daripada dogma, agama yang mengajarkan fakta kehidupan, bebas dari
khayalan. Tokoh ilmuwan terkemuka abad 21, Albert Einstein (1879-1955) dalam
autobiografinya mengemukakan, bahwa jika terdapat agama yang dapat mengatasi
kebutuhan ilmiah modern, agama itu adalah Buddhisme.
Semakin hari semakin terbukti bahwa agama Buddha sesungguhnya jauh
lebih ilmiah daripada ilmu pengetahuan. Salah satu contoh adalah ajaran tentang
regresi (kehidupan masa lampau). Dengan teknik past life hypnotherapy, Irvin
Mordes, melalui riset di Maryland Psychiatric Research Center pada tahun 1974,
telah mendokumentasikan 16 kehidupan masa lampau Alan Lee yang benar-benar
2
terbukti (McGill, 1988: 2). Semakin banyak temuan para ilmuwan maka semakin
terkuak kebenaran agama Buddha. Oleh karena itu bila semakin tinggi pendidikan
seseorang, ia akan semakin gandrung pada agama Buddha. Sudah seharusnya
populasi umat Buddha di Indonesia semakin meningkat apalagi jika membaca
catatan sejarah bahwa agama Buddha pernah mengantarkan bangsa Indonesia ke
zaman keemasan pada masa kerajaan Sriwijaya dan keprabuan Majapahit. Namun
demikian menurut statistik dan fakta pada kehidupan masyarakat, kondisi populasi
umat Buddha sangat bertolak belakang.
Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk
Indonesia beragama Buddha, yaitu sekitar 1,8 juta orang. Sensus tahun 2000,
umat Buddha berjumlah 1.694.682 orang atau 0,84% dari jumlah penduduk
Indonesia saat itu. Sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 orang. Penduduk Indonesia
beragama Buddha secara absolut berjumlah 1.703.254 orang yaitu sekitar 0,72%
dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Ini berarti dalam kurun waktu 10 tahun
umat Buddha meningkat dalam nilai absolut sebesar 8.572 orang tetapi dalam
nilai persentase menurun sebesar 0,12% (http://berita.bhagavant.com/2011/12/14/
bps-jumlah-buddhis-di-indonesia-meningkat.html)
Penurunan persentase umat Buddha ini sangat terasa dalam kehidupan
bermasyarakat. Dewasa ini, di banyak komunitas, baik sekolah, kantor maupun
lingkungan warga, umat Buddha tergolong sangat minoritas. Kepada penulis,
lebih banyak orang yang menanyakan “gerejanya di mana?”, dan menyampaikan
ucapan “Selamat Hari Natal” daripada “viharanya di mana?” dan “Selamat Hari
Waisak”. Penulis lebih banyak menerima undangan pernikahan, baik dari sahabat
3
maupun famili beragama Buddha, yang menikahkan anaknya secara Kristiani.
Selain sekolah Kristen dan Katolik yang menjamur, faktor pernikahan juga
menjadi penyebab pindah agama bagi umat Buddha yang baru menikah. Apabila
istri beragama non-Buddhis dan suami beragama Buddha, hampir bisa dipastikan
bahwa suami termasuk anak-anaknya akan mengikuti agama istri. Apabila istri
beragama Buddha dan suami beragama lain, tetap saja yang akhirnya pindah
agama adalah suami atau istri yang beragama Buddha.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Departemen Agama
Budi Setiawan dalam kuliah umum pada tahun 2010 di Kampus STABN
Sriwijaya menyampaikan keprihatinan yang sama. Demikian pula kondisi
populasi umat Buddha di wilayah-wilayah yang secara tradisional mayoritas
penduduknya beragama Buddha, antara lain Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah. Temanggung merupakan kabupaten dengan populasi penduduk beragama
Buddha yang terpadat di seluruh Indonesia. Tahun 1960-an, di Kabupaten
Temanggung, terutama di Kecamatan Kaloran dan Kecamatan Jumo, hampir
seluruh penduduknya beragama Buddha. Penelitian yang dilakukan oleh Indonesia
Centre of Asian Studies (CENAS) pada tahun 2010 di Kaloran mendapatkan data
bahwa umat Buddha di daerah Kaloran cenderung mengalami penurunan secara
kualitas maupun kuantitas. Keprihatinan ini disampaikan pula Ketua Umum
Dewan Pengurus Pusat Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia, Dharma
Surya Widya, pada saat anjangsana dengan Pimpinan Pusat Majelis Agama
Buddha Tridharma Indonesia di tahun 2014. Di berbagai komunitas, jumlah umat
Buddha sangat minoritas. Salah satu contoh adalah Sekolah Terpadu Pahoa, yang
terletak di perumahan elite Gading Serpong, Tangerang, Banten. Sekolah Terpadu
4
Pahoa dibangun dan dikelola oleh alumni Pahoa yang para pimpinan terasnya
mayoritas beragama Buddha. Namun menurut daftar tenaga kerja yang
dikeluarkan Bagian Sumber Daya Manusia (HRD) Yayasan Pendidikan dan
Pengajaran Pahoa, dari sekitar 479 orang guru dan karyawan di tahun ajaran 2015-
2016, guru dan karyawan yang beragama Buddha, termasuk guru agama Buddha,
tidak lebih dari 25 orang (5,21%).
Banyak hal yang telah dilakukan para pejuang dharma, baik umat Buddha
yang menjadi aparatur negara, anggota Sangha, dharmaduta yang bernaung pada
majelis-majelis agama Buddha, maupun lembaga swadaya masyarakat seperti
Ehipassiko Foundation. Mereka, melalui kewenangan dan pengabdiannya masing-
masing, selama lebih dari 40 tahun terakhir telah berjuang sangat keras sehingga
saat ini umat Buddha Indonesia bisa menikmati, antara lain: hari Trisuci Waisak
sebagai hari libur nasional, penayangan mimbar agama Buddha di TVRI maupun
TV swasta, pembangunan sekolah-sekolah yang berlandaskan agama Buddha,
sosialisasi Buddha Dharma melalui web-site/blog di media sosial, buku-buku yang
beredar di toko buku komersial, penyelenggaraan kebaktian di vihara-vihara,
peringatan hari-hari raya agama Buddha, dan lain lain. Upaya keras ini belum
berhasil menaikkan persentase populasi umat Buddha di Indonesia sehingga tren
penurunan populasi umat Buddha di Indonesia terus berlanjut tanpa halangan.
Tentu ada sesuatu yang keliru yang menyebabkan terjadinya penurunan
populasi umat Buddha ini. Ada banyak teori yang disampaikan, namun sepanjang
sejarahnya, dharmaduta mengambil porsi yang sangat signifikan terhadap
perkembangan agama Buddha. Namun sepengetahuan penulis, belum pernah ada
penelitian khusus yang menghubungkan tren penurunan populasi umat Buddha di
5
Indonesia dengan strategi pembabaran agama Buddha yang dilakukan dharmaduta
yang ditinjau dari sudut pandang cara kerja pikiran menurut hipnoterapi. Oleh
karena itu, ditopang pengalaman berinteraksi dengan banyak tokoh lintas agama
dan pengalaman sebagai praktisi hipnoterapi yang telah banyak membantu klien
keluar dari trauma masa lalunya, penulis mengadakan penelitian dengan judul
“Paradigma Baru Dharmaduta dalam Pembabaran Agama Buddha Berdasarkan
Cara Kerja Pikiran Menurut Hipnoterapi”.
1.2 Identifikasi Masalah
Banyak faktor penyebab atas tren penurunan populasi umat Buddha di
Indonesia yang muncul pada latar belakang masalah. Faktor penyebab tersebut
antara lain:
1. persaingan antar sekte yang tidak sehat;
2. rendahnya kepedulian umat Buddha untuk mewariskan keyakinan agamanya
kepada keturunannya;
3. sarana dan kualitas pendidikan sekolah-sekolah Buddhis yang tidak memadai;
4. perkawinan umat Buddha dengan pasangan yang berbeda agama;
5. kualitas dharmaduta yang tidak profesional;
6. agama Buddha yang dinilai sebagai agama yang kuno dan primitif;
7. terminologi agama Buddha yang kurang marketable; dan
8. doktrin agama Buddha yang dilecehkan agama lain secara sistimatis dan masif.
Masalah-masalah yang teridentifikasi kemudian dipilah-pilah disesuaikan
dengan maksud, tujuan, dan ruang lingkup penelitian sebagaimana makna yang
terkandung dalam judul penelitian yaitu pembabaran agama Buddha berdasarkan
cara kerja pikiran menurut hipnoterapi, khususnya cara kerja pikiran bawah sadar,
6
dan lebih khusus lagi yang terkait pengaruh keyakinan terhadap doktrin agama
Buddha yang dibabarkan para dharmaduta. Strategi pembabaran agama Buddha
yang selama ini dilakukan dharmaduta menjadikan agama Buddha sebagai agama
yang bersifat pesimis yang memandang dunia dari sudut negatif. Image nihilisme
ini secara sengaja dan sistematis disebarluaskan para tokoh agama lain untuk
memojokkan agama Buddha dan secara tidak sengaja juga dilakukan oleh
dharmaduta sendiri tanpa disadari dampaknya.
Semua orang ingin hidup selamat dan bahagia baik pada kehidupan nanti
maupun pada kehidupan yang dijalani pada saat ini. Sementara itu Buddha
mengajarkan bahwa hidup adalah penderitaan. Kekeliruan menafsirkan hakikat
sejati kehidupan ini menjadikan generasi muda, yang disebut juga generasi instan,
dengan mulus banyak yang pindah agama untuk mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan yang dengan mudah dijanjikan agama non-Buddhis. Demi cinta
kasih dan kasih sayang kepada generasi-generasi selanjutnya, agama Buddha
harus terus dipertahankan kelangsungannya dengan cara dharmaduta mengubah
paradigma strategi pembabaran agama Buddha yang sesuai dengan minat dan
kebutuhan umat Buddha.
1.3 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan penurunan populasi
umat Buddha pada faktor internal. Pertimbangan ini untuk menghindari benturan
perasaan negatif dengan pihak ekstenal, suatu yang memang dihindari dalam
agama Buddha. Alih-alih menyalahkan pihak eksternal, tentu saja akan jauh lebih
baik untuk intropeksi diri. Dari berbagai permasalahan internal yang dikemukakan
di atas, penulis membatasi permasalahan penelitian ini pada fenomena yang
7
berhubungan dengan dharmaduta dalam pembabaran agama Buddha berdasarkan
cara kerja pikiran menurut hipnoterapi yaitu yang awalnya fokus pada penderitaan
menjadi fokus pada kebahagiaan tanpa mengubah esensi ajaran Buddha.
1.4 Rumusan Masalah
Penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah
paradigma baru dharmaduta dalam pembabaran agama Buddha berdasarkan cara
kerja pikiran menurut hipnoterapi?”
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menemukan paradigma baru dharmaduta
dalam membabarkan agama Buddha yang sejalan dengan cara kerja pikiran
menurut hipnoterapi tanpa mengubah esensi agama Buddha sehingga agama
Buddha lebih menarik bagi umat awam, khususnya generasi muda. Selanjutnya,
simpulan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pedoman bagi
dharmaduta dalam membabarkan agama Buddha sehingga agama Buddha menjadi
menarik khususnya bagi generasi muda sebagai pewaris masa depan.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoretis
Secara umum, manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memperkaya
khasanah penelitian dalam agama Buddha terutama strategi pembabaran agama
Buddha yang sesuai dengan cara kerja pikiran sehingga penelitian ini menjadi
salah satu referensi dan pendorong bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang
pikiran sesuai doktrin dalam agama Buddha. Secara konkret, manfaat teoretis dari
penelitian ini adalah menyajikan pemahaman tentang paradigma baru bagi
8
dharmaduta dalam pembabaran agama Buddha berdasarkan cara kerja pikiran
menurut hipnoterapi.
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman bagi
dharmaduta agar dalam membabarkan dharma hendaknya fokus pada kebahagiaan
tanpa mengubah esensi agama Buddha sehingga ajaran Buddha dibabarkan sesuai
dengan tujuan pembabarannya yaitu untuk kebahagiaan umat manusia yang dapat
diraih pada kehidupan ini juga. Dengan demikian diharapkan dharmaduta
mengetahui cara yang efektif dan efisien untuk membabarkan dharma yang
menarik minat umat perumahtangga, khususnya generasi muda, tanpa mengubah
esensi dasar agama Buddha.
9
BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PERTANYAAN
PENELITIAN
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pengertian Paradigma Baru
Istilah paradigma pertama kali dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn tahun
1970. Khun mendefinisikan paradigma sebagai pandangan hidup (world view atau
weltanschauung) yang dimiliki oleh para ilmuwan dalam suatu disiplin tertentu
(Suprayogo dan Tobroni, 2003: 91). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2008: 1019) paradigma mempunyai pengertian kerangka berpikir. Dengan
pengertian tersebut maka yang dimaksud paradigma dharmaduta dalam penelitian
ini adalah pandangan hidup yang dimiliki seorang dharmaduta yang dengan itu
dharmaduta memiliki kerangka berpikir dalam membabarkan dharma. Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan kata “baru” adalah “belum pernah ada”
(KBBI, 2008: 142). Paradigma baru dharmaduta didefinisikan sebagai paradigma
yang sebelumnya belum pernah ada atau belum pernah dimiliki oleh seorang
dharmaduta.
Secara aplikatif “paradigma baru dharmaduta” diartikan sebagai pola pikir
dharmaduta yang dalam pembabaran dharma awalnya berfokus pada terminologi
negatif berubah menjadi terminologi positif yang kemudian diimplementasikan
dengan perubahan strategi pembabaran agama Buddha. Strategi baru ini ditinjau
dengan pendekatan cara kerja pikiran manusia sehingga agama Buddha dapat
memenuhi kebutuhan seluruh lapisan umat perumah tangga, utamanya kaum
generasi muda, tanpa harus menyimpang dari kaidah dasar filosofi ajaran Buddha.
10
2.1.2 Dharmaduta
2.1.2.1 Pengertian Dharmaduta
Dharmaduta secara etimologis berasal dari dua kata yaitu: “Dharma” yang
secara khusus berarti ajaran Buddha, atau secara umum berarti hukum kebenaran
dan kata “duta” yang berarti utusan, pesuruh, petugas atau pengemban tugas
khusus (Priastana, 2005: 18). Dharmaduta berarti pesuruh atau pengemban atau
petugas Dharma atau diartikan juga sebagai pelayan Dharma. Dalam terminologi
Buddhis, dharmaduta dikenal sebagai pengkhotbah atau pembabar Dharma.
Dengan demikian dharmaduta adalah seorang anggota sangha atau seorang
pandita atau seorang upasaka-upasika bahkan bisa saja seorang umat biasa pada
umumnya yang membabarkan Dharma kepada orang lain.
2.1.2.2 Awal Terbentuknya Dharmaduta
Pada hari ke-50 setelah mencapai penerangan sempurna, Buddha
menerima persembahan makanan dari Tapussa dan Bhallika, dua pedagang yang
lewat. Atas permohonan mereka, Buddha menerima Tapussa dan Bhallika sebagai
upasaka pertama yang menyatakan berlindung kepada Buddha dan Dharma.
Setelah Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya, Buddha merenungkan
apakah Dharma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau
tidak. Adalah Brahma Sahampati, Penguasa Dunia ini, yang memohon kepada
Buddha agar Buddha berkenan membabarkan Dharma mengingat banyak orang
yang matanya tertutup sedikit debu. Akhirnya, Buddha memutuskan untuk
membabarkan Dharma kepada umat manusia dengan mengucapkan kata-kata:
“Terbukalah pintu kehidupan abadi bagi mereka yang mau mendengar dan
mempunyai keyakinan.” (Widyadharma, 1981: 33-35).
11
Pembabaran Dharma untuk pertama kalinya dilakukan sendiri oleh Buddha
kepada lima orang teman-Nya sewaktu dulu pertapa, yaitu Kondañña, Vappa,
Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji, di Taman Rusa Isipatana, Benares. Khotbah
pertama Sang Buddha dinamakan Pemutaran Roda Dharma (Dhammacakkappa-
vattanasutta). Taman tersebut merupakan tonggak pertama sistem kedharma-
dutaan yang berlanjut dengan diterimanya Yasa sebagai siswa keenam. Ayah Yasa
yang mencari putranya kemudian menjadi upasaka pertama yang menyatakan
berlindung kepada Triratna. Ibu dan mantan istri Yasa menjadi upasika pertama.
Empat orang teman Yasa, kemudian disusul 50 orang lagi, juga menjadi siswa
Buddha.
Atas dasar belas kasih kepada dunia, Buddha mengutus 60 orang Arahat
untuk membabarkan Dharma. Buddha mengatakan:
“Para bhikhu, pergilah mengembara demi kebaikan orang banyak,
membawa kebahagiaan bagi orang banyak, atas dasar kasih sayang
terhadap dunia, untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan para
dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua-dua ke tempat yang sama. Para
bhikkhu, ajarkanlah Dharma yang indah pada awalnya, indah pada
pertengahannya, indah pada akhirnya. Aku juga, o para bhikkhu, akan
pergi ke Uruvela di Senanigama, dalam rangka mengajar dhamma.”
(Mahavagga, Vinaya Pitaka I, 21).
Selain ke-60 orang Arahat tersebut, pembabaran Dharma dilakukan oleh
para siswa Buddha lainnya, terutama siswa utama Buddha yaitu; Sariputra,
Moggalana, dan Kassapa. Buddha sendiri, berkat kasih sayang-Nya kepada dewa
dan manusia, selama 45 tahun membabarkan Dharma dari satu daerah ke daerah
lain, dari satu negara ke negara lainnya, membimbing mereka yang matanya
“tertutup sedikit debu” agar terbebas dari penderitaan.
Setelah Buddha Parinibbana (wafat), pembabaran Dharma secara
sistimatis dilanjutkan oleh Raja Asoka yang memerintah India dari tahun 272-232
12
SM. Raja Asoka mengirim utusan kepada pengganti Alexander Agung, yaitu
kepada kerajaan-kerajaan Yunani diadoch di Mesir, Macedonia, Cyrene, dan
Epirus (Conze, 2007: 42). Raja Asoka mengirim putranya, Mahinda, ke Sri Lanka
untuk membabarkan Dharma sehingga sampai sekarang agama Buddha masih
berkembang di Sri Lanka.
2.1.2.3 Tujuan Dharmaduta
Buddha menyebutkan tujuan pembabaran Dhamma yang dilakukan oleh
dharmaduta adalah agar umat mempelajari Dharma dan hidup sesuai Dharma.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa tujuan pembabaran Dharma bukan
menjadikan seseorang sebagai pemeluk agama Buddha. Pembabaran Dharma
yang dilakukan Buddha dan para Arahat yang dilandasi cinta kasih kepada umat
manusia bertujuan untuk menyebarkan pemahaman tentang hakikat sejati
kehidupan yang diliputi penderitaan dan bagaimana cara untuk melenyapkan
penderitaan. Bagi dharmaduta perumah tangga, selain untuk mempertahankan
Dharma, pembabaran Dharma juga timbul dari dorongan untuk memupuk karma
baik. Wajar jika orang terpanggil untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan orang lain. Salah satu bentuk memupuk karma baik itu, tentu
saja dengan membantu mereka yang menderita dengan membagikan Dharma,
karena Buddha mengatakan “pemberian Dharma mengalahkan semua pemberian
lainnya” (Dhammapada 354).
Sekalipun memiliki semangat misioner, agama Buddha sangat menghargai
kebebasan setiap manusia untuk memilih dan menentukan sikapnya sendiri.
Keyakinan agama tidak boleh dipaksakan. Bagi Buddha keyakinan bukanlah
persoalan, yang penting bagaimana seseorang melakukan kebajikan agar terbebas
13
dari penderitaan. Dalam Digha Nikaya, III: 56-57, Buddha menjelaskan kepada
Nigrodha bahwa Beliau menyampaikan ajaran tidak dengan keinginan untuk
mendapatkan pengikut, atau membuat seseorang meninggalkan gurunya, melepas-
kan kebiasaan dan cara hidupnya, menyalahkan keyakinan atau doktrin yang telah
dianut. Buddha hanya menunjukkan bagaimana membersihkan noda, meninggal-
kan hal-hal buruk, yang menimbulkan akibat yang menyedihkan di kemudian hari
(Mukti, 2003: 145-146). Apa yang diajarkan Buddha bukanlah milik Buddha,
bukan diciptakan Buddha, tetapi apa yang diajarkan Buddha sudah ada sebelum
Buddha muncul di dunia dan tetap ada walaupun Buddha telah parinibbana.
2.1.2.4 Cara Dharmaduta Membabarkan Dharma
Sekalipun memiliki banyak persamaan antara manusia satu dengan
lainnya, masing-masing memiliki sifat yang unik. Pada setiap manusia terdapat
perbedaan kepribadian, watak, kemampuan, minat, pendapat, dan sebagainya.
Dalam Anguttara Nikaya III.184, Buddha mengajarkan agar dalam upaya untuk
membabarkan Dharma, dharmaduta hendaknya menjelaskan Dharma selangkah
demi selangkah, tidak meloncat atau menyingkat masing-masing bagiannya. Hal
ini menjadi penting karena Dharma yang dijelaskan tidak secara utuh selain dapat
mengurangi arti sebenarnya juga dapat menimbulkan persepsi yang berbeda bagi
setiap pendengarnya. Untuk lebih dimengerti, pembabaran Dharma hendaknya
dengan memberi alasan-alasan dan dilengkapi contoh sesuai dengan fakta
kehidupan sehari-hari. Dengan alasan dan contoh yang sesuai fakta dalam
kehidupan sehari-hari, Dharma akan lebih mudah dicerna, dihayati, dan lebih
mudah diamalkan oleh pendengarnya yang beranekaragam.
14
Dalam membabarkan Dharma, dharmaduta hendaknya tidak bertujuan
untuk mencari keuntungan pribadi, khususnya keuntungan materi, memperoleh
nama besar, mencari rasa hormat, tetapi dharmaduta haruslah memiliki cinta kasih
agar para pendengarnya dapat memetik faedahnya. Dengan memiliki cinta kasih,
seorang dharmaduta akan tetap bersemangat tinggi walaupun umat yang
mendengarkannya sedikit. Meskipun satu orang yang dapat memetik faedah atas
pembabaran Dharma yang dilakukan dharmaduta, maka dapat dikatakan bahwa
dharmaduta tersebut telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
Selanjutnya, Dharma yang diajarkan kepada para pendengar, hendaknya
tidak ditujukan untuk menyerang orang lain; dengan kata lain, tidak memuji diri
sendiri, juga tidak merendahkan orang lain. Tidak juga untuk memuji kebenaran
ajaran sendiri dan melecehkan ajaran orang lain. Pembabaran Dharma yang
berlandaskan cinta kasih kepada sesama, sudah tentu dilakukan tanpa meng-
gunakan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Terbukti dalam sejarah umat
beragama di dunia, agama Buddha menyebar luas secara luwes dan damai
sehingga tidak pernah terjadi perang atau pertumpahan darah atas nama dan untuk
agama Buddha.
2.1.2.5 Peran Strategis Dharmaduta dalam Pengembangan Agama Buddha
Kegiatan dharmaduta mempunyai tujuan yang bersifat komunikatif dan
sosial keagamaan, dimana kegiatan ini bertujuan untuk menyampaikan ajaran
Buddha agar pendengar tersentuh sehingga mengubah dan membentuk sikap serta
tingkah lakunya sesuai Buddha Dharma (Ksubo, 2009: 1). Sehubungan dengan
itu, Dwiyanti (2011: 1) menyatakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, dharmaduta mempunyai peran yang sangat penting untuk membina
15
umat demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia. Dharmaduta adalah sesosok
orang yang telah dianggap mampu di bidang agama, sehingga dharmaduta di-
samping berhubungan dengan moralitas, kesucian dan kebenaran, juga dijadikan
sebagai figur teladan umat. Tidak hanya sampai di situ, dharmaduta juga dijadikan
sebagai tempat untuk penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
yang sedang dalam masalah baik itu masalah pribadi, keluarga, maupun masalah
yang bersifat umum.
Begitu penting dan strategisnya peran dharmaduta, sehingga Buddha men-
dorong setiap siswa-Nya agar memiliki kemampuan menjadi pembabar Dharma.
Buddha mengatakan, seorang umat dapat menjadi seorang siswa yang memiliki
keyakinan, saleh dan terpelajar, tetapi bukan seorang pembabar Dharma. Sampai
sejauh itu, ia belum sempurna. Ia harus memperbaiki kekurangan ini, menjadi
seorang siswa yang memiliki keyakinan, saleh, terpelajar, dan juga seorang
pembabar Dharma. Bila ia telah memiliki semua itu, ia sempurna sampai batas
tersebut. Lebih jauh lagi ia masih harus menyempurnakan diri dalam berbagai
keahlian yang lain (Anguttara Nikaya V: 10). Kebajikan yang dilakukan selama
hidup, belum cukup untuk mengantarkan seseorang mencapai kebebasan tertinggi.
Kebebasan tertinggi dapat diraih dengan sepenuhnya merealisasikan “atthangika
magga” (Jalan Mulia Beruas Delapan). Namun demikian selama hidup umat
Buddha harus terus menerus menanamkan kebajikan sebagai upaya tanpa henti,
selangkah demi selangkah, menuju jalan pembebasan. Buddha mengajarkan
bahwa di antara kebajikan, membabarkan Dharma merupakan kebajikan tertinggi.
Peran strategis dharmaduta dalam pembinaan umat Buddha secara berkesi-
nambungan agar terbentuk sumber daya manusia Buddhis yang berkualitas dan
16
mandiri hanya dapat tercapai apabila dharmaduta memiliki sikap yang positif,
pengetahuan yang luas, dan kemampuan keterampilan yang memadai di berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Proyek Bimbingan
dan Da’wah Agama Buddha Tahun Anggaran 1995/1996). Di antara semua
kualitas yang diperlukan bagi seorang dharmaduta yang baik, keteladanan adalah
unsur terpenting. Untuk menjadikan umat Buddha sebagai umat yang berpikir
positif, keteladanan dharmaduta untuk berkata positif merupakan suatu keharusan.
Dharmaduta, adalah pembabar dharma, orang yang diterima, dimengerti,
dan dipercaya umat sebagai guru yang membimbing ke jalan Dharma. Dengan
posisi demikian, dharmaduta adalah figur yang dipandang memiliki otoritas
tinggi. Apa yang disampaikan dharmaduta cenderung mudah diterima sebagai
kebenaran. Dan informasi yang diterima sebagai kebenaran akan mendasari segala
keputusan, pilihan, sikap, tindakan, dan perilaku seseorang. Oleh karenanya,
selain pemahaman tentang dharma, seorang dharmaduta wajib memahami arti dan
makna suatu kata dan merangkai kata-kata dengan spesifik dan menggunakan
pendekatan positif agar apa yang dibabarkannya tertutup untuk disalahtafsirkan.
2.1.3 Cara Kerja Pikiran Menurut Hipnoterapi
2.1.3.1 Pengertian Hipnoterapi
Sering beredar pemberitaan agar tidak menyahut ketika dipanggil orang
yang tidak dikenal karena kuatir terkena hipnotis. Memang, akibat pemberitaan
media yang tidak tepat, masyarakat menjadi rancu dalam mengartikan “hipnosis”
dengan “hipnotis”. Secara umum dipahami bahwa seorang penyanyi, yaitu orang
yang menggunakan suaranya (vokal) pada suatu kelompok musik dinamakan
“vokalis”. Orang yang memainkan piano disebut “pianis”. Gitaris adalah orang
17
yang memainkan gitar. Maka bisa diartikan bahwa penggalan kata “is” merujuk
pada orang. Demikianlah, hipnotis merujuk pada orang yang melakukan hipnosis.
Hipnosis adalah suatu cabang ilmu dari psikologi atau disebut pula sebagai
psikologi terapan. Hipnoterapi terdiri dari dua kata yaitu hipnosis dan terapi. Jadi,
hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dengan bantuan atau dalam kondisi
hipnosis, terlepas dari teknik terapi apa yang digunakan. Gunawan (2012a: 51)
menyatakan bahwa definisi hipnosis yang paling banyak digunakan saat ini
merujuk pada definisi U.S. Dept. Of Education Human Services Division:
“Hypnosis is the bypass of the critical factor of the conscious mind and followed
by the establishment of acceptable selective thinking” (hipnosis adalah
penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya
pemikiran atau sugesti tertentu). Gunawan pada pelatihan-pelatihan hipnoterapi
yang dikembangkannya menyatakan bahwa hipnosis adalah: “All hypnosis is
based on magnified brainwaves frequency and amplitude changes from beta state
to delta state resulting in enchancing and increasing focus, concentration, and
receptivity toward any mental message given to subconscious” (semua hipnosis
sebenarnya adalah berdasarkan pada perubahan frekuensi dan amplitudo
gelombang otak dari kondisi beta ke kondisi delta yang mengakibatkan mening-
katnya fokus, konsentrasi, dan penerimaan terhadap pesan-pesan mental yang di-
berikan kepada pikiran bawah sadar). Dari kedua definisi di atas sama sekali tidak
ada pernyataan mengenai relaksasi fisik. Hipnosis bukan relaksasi fisik melainkan
relaksasi pikiran.
Kondisi hipnosis adalah kondisi yang sangat alamiah yang dialami setiap
hari. Kondisi hipnosis juga dialami saat seseorang baru bangun tidur di pagi hari.
18
Dalam kondisi masih berbaring di tempat tidur, sangat rileks, masih mengantuk
namun tetap sadar sepenuhnya, mampu menyadari dan mendengarkan apa yang
terjadi di sekeliling, bisa menggaruk bagian tubuh yang terasa gatal, menggerak-
kan tangan atau kaki, batuk, membuka dan menutup mata, mengubah posisi
tubuh, dan lain lain sebagainya.
Kondisi ini juga dialami saat sedang menonton dan larut dalam cerita yang
disaksikan. Saat menonton film, perhatian sangat terpusat pada apa yang sedang
berlangsung di layar sehingga suara-suara lain yang didengar atau pikiran-pikiran
yang biasanya melompat kesana kemari diblok. Meskipun pada saat ini penonton
sangat sadar dengan keberadaan dirinya yang sedang menonton film, namun pada
saat dimana film sedang seru-serunya, penonton merasa tubuhnya ikut tegang,
keluar masuk napas lebih cepat, dan jantung berdebar lebih kencang. Pikiran sadar
penonton mengetahui bahwa cerita yang ditontonya adalah film yang bukan
kejadian nyata namun pikiran bawah sadar menerima apa yang dilihat dan alami
sebagai suatu hal yang nyata.
Sugiyono (2012: 2) menyatakan kriteria ilmiah antara lain; rasional, piris,
dan sistimatis. Proses dan teknik yang digunakan dalam hipnoterapi sepenuhnya
memenuhi kriteria ilmiah tersebut. Bhikkhu Tirodhammo, anggota Sangha dari
Pekanbaru yang ahli hipnoterapi, menyatakan bahwa orang-orang yang belum
mengerti cara kerja pikiran, belum memahami hipnosis, belum mempelajari ilmu
hipnoterapi, dan belum pernah merasakan manfaat hipnoterapi, maka bagi orang
tersebut hipnoterapi adalah sebuah misteri. Tetapi bagi para praktisi hipnoterapi,
proses terapi dengan segala fenomena dan sensasi yang terjadi, adalah hal yang
biasa dan sama dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya (Karyadi, 2013: 4).
19
Hipnoterapi bukan praktek supranatural. Hipnoterapi bukan penguasaan
pikiran karena selama proses hipnoterapi berlangsung klien tidak dapat dan tidak
akan melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya (Rafael, 2010: 8). Hipnoterapi
tidak sama dengan tidur karena selama proses hipnoterapi klien rileks seakan-akan
tidur tetapi klien sadar sepenuhnya. Hipnoterapi dapat merubah sikap kasar dan
pemarah klien menjadi lembut dan sabar, yang awalnya penuh dendam dan
kebencian menjadi pemaaf, yang selalu minder menjadi penuh percaya diri, dan
masih banyak lagi, tetapi hipnoterapi tidak dapat mengubah kepribadian dan
“mencuci otak” klien.
2.1.3.2 Sekilas Tentang Otak dan Pikiran
Organ terpenting dalam kehidupan manusia adalah otak. Otaklah yang
mengatur seluruh gerak dan metabolisme tubuh. Tangan, kaki, mulut, otot,
bahkan semua panca indra tidak dapat berfungsi maksimal tanpa reaksi otak
sebagai faktor utama pemicunya (Decaprio, 2012: 5). Orang bisa saja tidak
bernafas atau detak jantungnya berhenti untuk beberapa saat, tetapi jika otak
berhenti sedetik saja, ia akan mati.
Anna Wise (2012: 3), melalui penelitian puluhan tahun, mendapatkan otak
manusia menghasilkan kejutan-kejutan listrik sepanjang waktu. Menggunakan
alat ukur yang disebut Electroencephalograph (EEG) gelombang otak diukur.
Sebagaimana arus listrik di rumah, arus listrik yang dihasilkan otak, yang biasa
disebut gelombang otak (brainwave), diukur dalam amplitudo dan frekuensi.
Amplitudo adalah daya dari kejutan listrik yang diukur dalam mikrovolt sedang
frekuensi adalah kecepatan dari gerakan gelombang listrik yang diukur dalam
siklus per detik (hertz). Frekuensi menentukan katagori gelombang otak. Dari
20
pengukuran EEG, diketahui frekuensi gelombang otak bervariasi dan digolongkan
jadi empat jenis gelombang otak yaitu Beta (12-38 Hz), Alfa (8-12 Hz), Theta (4-
8 Hz), dan Delta (0,5-4 Hz). Namun demikian tidak ada gelombang otak yang
lebih baik dari yang lainnya. Mereka semua bekerja sama dalam beragam cara
untuk menghasilkan begitu banyak kondisi mental, emosi, dan spiritual (Wise,
2012: 12). Kombinasi dari gelombang otak tersebut menentukan kondisi
kesadaran seseorang pada saat-saat tertentu. Dengan memahami bagaimana ke
empat gelombang otak berinteraksi dan bekerja sama, dapat dimengerti apa yang
sedang terjadi dalam pikiran dan bagaimana suatu pengalaman tertentu terjadi.
Otak adalah super komputer yang menakjubkan. Sebuah komputer canggih
bisa memecahkan masalah dalam hitungan detik yang jika dikerjakan dengan
metode konvensional memerlukan seratus ahli matematika selama sebulan. Tetapi
nyatanya komputer tidak mempunyai kemampuan berpikir sendiri. Komputer
hanya bisa melakukan apa yang sudah diprogram sebelumnya. Kombinasi inilah
yang dikenal sebagai seperangkat komputer, yaitu perangkat keras (hard ware)
dan perangkat lunaknya yang disebut program (soft ware). Analogi ini sangat
tetap menggambarkan hubungan otak dengan pikiran. Otak adalah perangkat
kerasnya, dan pikiran adalah perangkat lunaknya.
Ribuan tahun yang lalu, sebelum dikenal alat EEG, Buddha menguraikan
tidak hanya ada lima indra seperti dalam ilmu pengetahuan, yaitu mata (cakkhu),
telinga (sota), hidung (ghȃna), lidah (jivhȃ), jasmani (kȃya), tetapi ada indra ke
enam, yaitu pikiran (mano). Dalam Abhidhamma, materi dan energi secara
bersama-sama disebut rupa. Materi/jasmani (kammajarupa) timbul karena adanya
perkataan (vacīkamma), perbuatan badan (kāyakamma), pikiran (manokamma)
21
yang dilakukan dengan sadar (disertai kehendak/cetanȃ). Menurut Buddha apa
yang disebut manusia adalah terdiri aspek jasmani (rȗpa) dan batin (nȃma) yang
terdiri dari perasaan (vedanȃ), pencerapan (saññȃ), bentuk-bentuk pikiran
(sankhȃra), dan kesadaran (viññȃna). Otak hanyalah materi dan materi tidak bisa
berpikir atau merasakan, tidak bisa bahagia atau marah.
Jika tidak ada “organ” yang berpikir (mind), sekalipun mempunyai otak,
manusia sama saja dengan mati (Claproth, 2010: 56). Sama seperti komputer yang
dikendalikan manusia melalui program (soft ware) yang di-install, begitu pula
otak dikendalikan oleh pikiran. Mehm (2011: 107) menyatakan bahwa badan,
kepala, tangan, kaki, dan bibir tidak bisa bergerak sendiri; mereka digerakkan oleh
batin melalui kelompok materi yang dihasilkan oleh kesadaran (cittaja rupa).
Pikiran yang mengendalikan tindakan, tingkah laku, pemikiran, perasaan,
pencerapan dan pertimbangan seseorang (Mehm, 2011: 91). Pikiran bukan satu
unsur tunggal tetapi sebuah kombinasi dari kesadaran (citta) yang mengetahui
objek-objek indra dan beberapa faktor batin (cetasika) yang kemunculannya
bergantung kepada kesadaran (Mehm , 2011: xx). Kontak (phassa) terhadap suatu
objek menghasilkan kesadaran atas objek tersebut.
Meskipun cepat atau lambat seseorang akan melupakan segala sesuatu
yang pernah disadarinya, tetapi perasaan-perasaan, kesan-kesan, dan pengalaman-
pengalaman yang diterima sejak dilahirkan tetap berada dalam batin. Seringkali
pengalaman-pengalaman muncul kembali ke permukaan secara tidak sengaja akan
tetapi seseorang yang terlatih akan dengan mudah menggali kesadaran memori
yang tersimpan tersebut. Dengan demikian terdapat dua faktor yang membentuk
batin yaitu yang menyadari saat ini dan timbunan-timbunan dari semua pikiran
22
dsn kesan-kesan yang “dilupakan” (Wahyono, 2002: 162-163). Goleman (2002:
11) dan Gunawan (2012: 58) menyatakan bahwa manusia mempunyai dua pikiran
yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Pikiran sadar dan pikiran bawah
sadar mempunyai volume yang tidak sama. Selama ini para pakar berkonsensus
bahwa volume pikiran sadar adalah 12% sedangkan pikiran bawah sadar 88%.
Perbandingan volume pikiran sadar dengan pikiran bawah sadar diilustrasikan
oleh perumpamaan Gunung Es pada Gambar 2.2.
Dengan demikian, kekuatan pikiran bawah sadar dalam memengaruhi dan
mengendalikan hidup seseorang kurang lebih sembilan kali lebih kuat daripada
pikiran sadar. Kedua jenis pikiran ini mempunyai fungsi dan bekerja sendiri-
sendiri. Meskipun demikian, pikiran sadar dan pikiran bawah sadar saling
berkomunikasi dan berkerja dalam waktu bersamaan secara paralel. Namun
demikian, proses kesadaran dan proses berpikir yang berlangsung pada masing-
masing pikiran serta respon yang diberikan berbeda. Masalah besar akan terjadi
apabila respon pikiran bawah sadar tidak sejalan dengan pikiran sadar. Oleh
karena itu adalah hal penting bagi semua orang untuk mengenal dan mengerti cara
kerja pikiran, terutama pikiran bawah sadar, agar dapat memanfaatkannya demi
kebaikan, kemajuan, kesehatan, dan kebahagiaan hidup masing-masing.
2.1.3.3 Pikiran Sadar
Pikiran sadar hanya aktif bekerja saat dalam kondisi sadar atau terjaga.
Pada kondisi ini proses pikiran sadar menghasilkan gelombang beta (12-38 Hz).
Gelombang beta merupakan gelombang yang tercepat. Ketika gelombang beta
mendominasi otak seseorang, ia akan berada dalam kondisi sadar dan bangun.
Pada kondisi fungsinya berjalan dengan baik, pikiran sadar diperlukan untuk
23
berpikir dan melakukan aktifitas sehari-hari, melakukan aktifitas yang menuntut
konsentrasi tinggi, berolahraga, berpikir atau melakukan sesuatu yang kreatif,
waspada, rumit, dan penuh perhatian. Saat tidur, pikiran sadar berhenti total.
Menurut Gunawan (2012: 55) pikiran sadar mempunyai 4 fungsi spesifik;
mengindentifikasi informasi yang diterima melalui pancaindra; membandingkan
informasi yang masuk dengan referensi, pengalaman, dan segala informasi yang
diperoleh selama hidup yang berada di pikiran bawah sadar; menganalisis
informasi yang telah dibandingkan dan kemudian dianalisa apakah bermanfaat
atau merugikan atau malah berbahaya dan mengancam keselamatan; memutuskan
dengan kecepatan yang sangat tinggi apakah akan lawan (fight) atau lari (flight).
Kapasitas pikiran sadar seseorang bergantung pada kondisi kesadarannya
pada suatu saat. Saat baru bangun tidur, saat tubuh terasa segar, nyaman, dan
penuh energi, saat pikiran sedang tenang dan tidak ada masalah, pikiran sadar
dapat berpikir optimal. Namun saat mulai mengantuk, lelah, tubuh tidak nyaman,
saat dibelit masalah atau emosi bergejolak, kerja pikiran sadar menjadi terganggu,
sebaliknya pikiran bawah sadar tidak pernah berhenti bekerja. Ia aktif selama 24
jam sehari. Bahkan saat tidur sekalipun pikiran bawah sadar tetap sadar dan aktif
menjalankan fungsi-fungsinya.
2.1.3.4 Pikiran Bawah Sadar
Kebanyakan orang menyangka bahwa apa yang ada dalam kesadaran saat
ini adalah hidup dan aktif, sedangkan apa yang telah dilupakan, yang mengendap
ke pikiran bawah sadar adalah diam dan tak bergerak. Ini adalah pandangan yang
sangat keliru. Pikiran bawah sadar menyimpan memori jangka panjang sekaligus
tempat orang menyimpan seluruh rahasia hidup yang dikumpulkan dalam
24
perjalanan hidupnya. Wahyono (2002: 163-164) menyatakan bahwa Buddha juga
mengajarkan hal yang sama, yaitu bahwa kepribadian seseorang yang sekarang
adalah hasil dari segala yang dirasakan, dilakukan, dan dipikirkan di masa
lampaunya. Pikiran, perbuatan, dan ucapan yang telah dilakukan di masa lampau
selalu mengikuti dengan pasti, seperti roda pedati mengikuti jejak kaki lembu
yang menariknya atau seperti bayangan yang mengikuti tubuhnya.
Pikiran bawah sadar berkerja pada gelombang Theta (4-8 Hz). Gelombang
Theta hadir dalam tidur yang disertai dengan mimpi. Kunci menuju keheningan,
kebahagiaan, dan kedalaman yang banyak orang cari dalam meditasi ada di dalam
gelombang theta (Wise, 2011: xxxvii-xxxviii). Pikiran sadar adalah pikiran
rasional sedangkan pikiran bawah sadar adalah pikiran irasional. Apapun pikiran
(perintah) yang masuk ke dalam pikiran bawah sadar maka pikiran bawah sadar
akan segera melaksanakan perintah ini tanpa pernah mempertanyakan apakah
perintah ini benar atau salah, apakah pikiran ini menguntungkan atau merugikan.
Pikiran bawah sadar berfungsi atau menyimpan kebiasaan baik atau buruk, reflek,
emosi, memori jangka panjang, kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, sistem
kepercayaan, dan nilai.
Milton Erickson, seorang pakar hipnoterapi, mengutarakan pengamatannya
terhadap hasil kerja pikiran bawah yaitu pikiran bawah sadar: (1) bekerja terpisah
dari pikiran sadar, (2) adalah gudang penyimpanan informasi, (3) merupakan
potensi yang belum digunakan maksimal, (4) sangat cerdas, (5) bersifat sangat
sadar, (6) mengamati dan memberikan respon dengan jujur, (7) menyerupai
pikiran seorang anak kecil, (8) adalah sumber emosi, dan (9) bersifat universal
(Gunawan, 2009: 19-24). Pikiran bawah sadar selalu melindungi pikiran sadar dan
25
individu secara keseluruhan menurut cara terbaik beradasarkan persepsinya
tentang realitas.
Meskipun saling memengaruhi dan bekerja secara paralel, proses berpikir
dan proses kesadaran yang berlangsung pada pikiran sadar dan pikiran bawah
sadar berbeda. Demikian pula respon yang diberikannya. Pikiran bawah sadar
dapat mendengar atau melihat hal-hal yang tidak tertangkap oleh pikiran sadar.
Pikiran bawah sadar dapat memikirkan hal yang berbeda dengan yang dipikirkan
pikiran sadar. Pikiran bawah sadar memiliki ketertarikan pada hal-hal yang ia
sukai, meskipun belum tentu menarik bagi pikiran sadar. Namun demikian,
pikiran bawah sadar dapat mengendalikan aktivitas fisik tanpa disadari oleh
pikiran sadar dan dapat mengungkapkan ide atau pemikiran yang berada di luar
jangkauan persepsi pikiran sadar.
Orang sebenarnya memiliki pengetahuan yang tidak terbatas, namun
pengetahuan tersebut seolah-olah hilang karena telah berada di luar batas
pengamatan pikiran sadar yang menyebabkan seringkali orang tidak tahu bahwa
mereka tahu. Kemampuan berjalan tanpa disadari adalah kemampuan yang telah
dipelajari sejak kecil dengan susah payah dan penuh pengorbanan terjatuh. Karena
orang dewasa sudah begitu terbiasa berjalan maka menggunakan kemampuan
untuk berjalan dilakukan secara otomatis.
Setiap manusia normal terlahir dengan membawa sistem saraf dan sistem
metabolisme fisik yang rumit. Sistem itu memungkinkan manusia mampu
melihat, mengamati, berpikir, dan memberikan respon. Namun proses tumbuh
kembang seorang manusia, hanya sebagian kecil dari seluruh potensi manusia
yang berkembang dalam pikiran sadar. Potensi yang belum tergali dan belum
26
berkembang berada di luar kendali pikiran sadar dan masuk ke dalam kendali
pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar berisi segala hal yang tidak diperhati-
kan, diabaikan, atau ditolak oleh pikiran sadar, ditambah semua hal yang ada di
pikiran sadar. Dengan demikian, pikiran bawah sadar jauh melebihi pikiran sadar
dalam soal persepsi, konsep, emosi, dan respon (Gunawan, 2006: 21). Pikiran
bawah sadar dapat mengakses dan menggunakan segala sesuatu yang ada di
pikiran sadar, sedangkan pikiran sadar umumnya tidak dapat menjangkau isi dan
potensi pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar jauh lebih cerdas, bijaksana, dan cepat daripada
pikiran sadar. Pikiran bawah sadar dapat menjangkau lebih banyak informasi
daripada pikiran sadar serta dapat menganalisis dan meninjau ulang suatu
informasi tanpa pengaruh bias dari rasa bangga, prasangka, atau pengharapan.
Meskipun pikiran bawah sadar sangat cerdas, tidak berarti ia tidak pernah berbuat
kesalahan. Kadang-kadang pikiran bawah sadar menarik kesimpulan keliru atau
tidak logis karena terpengaruh oleh ketebatasan yang berhubungan dengan fisik.
Pikiran bawah sadar sebenarnya sangat sadar dan responsif terhadap setiap
kejadian. Bila jari seseorang tersundut api, misalnya, maka dengan cepat dan
tanpa dipikir lagi, orang tersebut akan menggerakkan tangan untuk menjauhkan
jarinya dari api tersebut. Inilah hasil kerja pikiran bawah sadar. Pikiran bawah
sadar dikatakan tidak sadar disebabkan karena pikiran sadar tidak mengetahui
akan keberadaan, kegiatan, upaya komunikasi, dan pengaruh pikiran bawah sadar
terhadap pikiran, persepsi, dan perilaku.
Kemampuan persepsi, pemahaman, dan respon pikiran bawah sadar bebas
dari prasangka, bias, pengharapan, pengelompokan persepsi, dan berpikir secara
27
konseptual. Pikiran bawah sadar menerima, menyerap, mengerti, dan menanggapi
sesuatu dengan apa adanya seperti yang biasanya ditunjukkan anak kecil. Pada
saat masih kecil, pikiran sadar anak belum berkembang sepenuhnya sehingga anak
perlu mengakses pikiran bawah sadar mereka untuk membantunya belajar dan
berkembang.
Pikiran bawah sadar merupakan asal muasalnya emosi. Dikatakan
demikian karena pikiran bawah sadar merupakan gudang penyimpanan informasi,
dara, rasa, gambar, suara, aroma, dan tekstur. Itu semua adalah pemicu emosi.
Emosi sering muncul secara mendadak tanpa diinginkan dan kemunculannya
sering kali tidak dimengerti oleh pikiran sadar. Emosi bersifat tidak logis, tidak
rasional, dan tidak sadar. Banyak orang larut dan ikut menangis terharu ketika
menyaksikan sebuah film bergenre menyedihkan. Padahal orang tahu bahwa ia
sedang menonton film dan cerita dalam film tersebut adalah arahan sutradara.
Emosi bersifat alamiah dan merupakan bentuk komunikasi bawah sadar yang
bermanfaat. Emosi memberitahu bagaimana perasaan seseorang terhadap sesuatu
meskipun orang tersebut tidak sadar akan apa yang dirasakan.
Isi pikiran bawah sadar setiap orang tentu berbeda satu sama lainnya,
tergantung pada pengalaman hidup, lingkungan, dan hasil pembelajaran individu
masing-masing. Namun proses dan sifat kerja pikiran bawah sadar umumnya
sama pada semua orang, tidak terpengaruh oleh kebangsaan, latar belakang
budaya, atau sejarah kehidupannya. Pikiran bawah sadar seseorang dapat
berkomunikasi secara efektif dengan pikiran bawah sadar orang lain melebihi
kemampuan pikiran sadar tanpa terpengaruh latar belakang budaya, agama, ras,
dan status sosial.
28
2.1.3.5 Cara Kerja Pikiran
Pikiran sadar sifatnya personal dan selektif sedangkan pikiran bawah sadar
nonpersonal dan nonselektif. Pikiran sadar adalah dunia akibat sedangkan pikiran
bawah sadar adalah dunia sebab. Kedua aspek pikiran ini adalah sifat laki-laki dan
perempuan dari pikiran. Pikiran sadar adalah aspek laki-laki dan pikiran bawah
sadar adalah aspek perempuan dari pikiran atau rahim penciptaan realita. Pikiran
sadar menghasilkan ide atau bentuk pikiran dan menanam ide-ide ini di pikiran
bawah sadar. Pikiran bawah sadar menerima ide dan memberi bentuk dan wujud
pada ide ini menjadi realita. Pikiran bawah sadar tidak pernah menghasilkan ide
atau pemikiran. Ia menerima sebagai kebenaran semua yang dirasa benar oleh
pikiran sadar. Ide tertanam di pikiran bawah sadar, salah satunya, melalui media
perasaan. Proses penciptaan bermula dari ide dan berlanjut dengan perasaan dan
berakhir dengan dorongan bertindak dan menghasilkan akibat. Melalui proses dan
mekanisme yang hanya diketahui oleh pikiran bawah sadar ide-ide ini mewujud
menjadi realita fisik.
Pikiran bawah sadar melampaui logika dan tidak terpengaruh oleh fakta. Ia
menerima perasaan atau emosi sebagai fakta atau kebenaran. Dan berdasar
“kebenaran” ini ia memberi wujud atau bentuk pada perasaan atau emosi. Saat
suatu ide dengan muatan emosi, baik positif atau negatif, diterima pikiran bawah
sadar, ide ini pasti diwujudkan menjadi realita, tidak peduli ide ini baik atau
buruk. Pikiran bawah sadar tidak pernah gagal mewujudkan benih pikiran yang
tertanam di dalamnya. Oleh sebab itu, orang yang tidak mengendalikan perasaan-
nya akan menanam ide buruk di pikiran bawah sadar dan itulah yang ia dapatkan.
29
Mengendalikan perasaan tidak berarti menahan atau menekan perasaan.
Mengendalikan perasaan berarti disiplin dengan hanya membayangkan dan
merasakan perasan positif yang membuat orang merasa nyaman dan bahagia.
Maka para bijak sejak jaman kuno menekankan sangat penting untuk mengen-
dalikan perasaan. Jangan pernah memelihara atau terus membiarkan diri hanyut
dengan merasakan perasaan-perasaan negatif, apapun perasaan negatif ini. Jangan
pernah membiarkan diri larut dalam perasaan negatif, baik ini perasaan diri sendiri
atau karena memikirkan orang lain, membaca atau mendengar berita negatif, me-
nyaksikan tayangan tv atau film negatif, atau mendegar lagu dengan lirik negatif.
Hal ini karena perasaan ini, apapun penyebab atau sumbernya, diri sendiri yang
merasakannya, bukan orang lain. Dengan demikian apapun yang dilakukan atau
dipikirkan, baik itu mengenai diri sendiri atau mengenai orang lain, bila hal ini
membuat diri sendiri mengalami atau merasakan emosi negatif harus dihindari.
Setiap perasaan meninggalkan kesan atau impresi di pikiran bawah sadar
dan bila tidak dinetralkan oleh perasaan lain yang lebih kuat, perasaan ini pasti
akan terwujud menjadi realita. Setiap orang perlu hati-hati mencermati mood dan
perasaan, karena realita atau dunia seseorang adalah hasil ciptaan perasaannya.
Pikiran bawah sadar menerima apa yang dirasa sebagai hal yang benar, bukan apa
yang dipikir benar. Pikiran bawah sadar tidak pernah mengubah kepercayaan yang
telah diterima sebagai kebenaran oleh seseorang. Dengan demikian perasaan yang
dominanlah yang menentukan realita kehidupan seseorang. Riset Azegedy-
Maszak dalam Gunawan (2012:53) menyatakan bahwa pikiran bawah sadar
bertanggungjawab, memengaruhi, dan menentukan proses dan hasil dari 95%
30
hingga 99% aktivitas berpikir, dan dengan demikian menentukan hampir semua
keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku setiap orang.
2.1.3.6 Sebab-sebab Terjadinya Keyakinan
Menurut ensiklopedia Encarta (dalam Gunawan, 2008: 28), keyakinan
(belief) artinya: penerimaan akan kebenaran sesuatu: penerimaan oleh pikiran
bahwa sesuatu adalah benar atau nyata, seringkali didasari perasaan pasti yang
bersifat emosional atau spiritual. Secara sederhana keyakinan dapat didifinisikan
sebagai sesuatu yang diyakini benar. Suatu pernyataan bisa masuk katagori
keyakinan, harus ada dua unsur: ide dan sikap terhadap ide atau informasi itu. Jika
sikap terhadap ide atau informasi yang masuk itu adalah membenarkan, maka
sikap ini disebut “persetujuan”. Jadi untuk dapat menjadi keyakinan dibutuhkan
dua hal: klaim/ide/informasi/data dan persetujuan.
Suatu persetujuan mempunyai tingkat intensitas yang berbeda. Semakin
besar kekuatan persetujuan terhadap suatu ide, semakin kuat keyakinan terhadap
ide tersebut. Sebaliknya, semakin lemah kekuatan persetujuan, semakin lemah
pula keyakinan terhadap sesuatu. Tetapi keyakinan hanyalah sebuah konsep yang
“diyakini” sebagai benar. Untuk bisa meyakini sesuatu itu benar, dibutuhkan data-
data pendukung yang dipandang valid sehingga informasi yang diterima disetujui
dan diterima menjadi suatu kebenaran, tentu menurut yang bersangkutan. Namun,
begitu meyakini sesuatu informasi sebagai hal yang benar, orang akan sulit
mengubah keyakinannya itu. Gunawan (2008: 37-40) menerangkan keyakinan
dibentuk melalui salah satu atau gabungan dari beberapa cara yaitu: (1) repetisi,
(2) identifikasi keluarga atau kelompok, (3) ide yang disampaikan oleh figur yang
dianggap memiliki otoritas, (4) emosi yang intens, dan (5) kondisi hipnosis.
31
Suatu informasi yang diulang-ulang, bila tidak hati-hati dan sadar, maka
informasi tersebut akan diterima sebagai suatu kebenaran. Demikan pula bila
segala sesuatu yang dilakukan secara konsisten atau berulang-ulang akan masuk
ke pikiran bawah sadar dan menjadi kebiasaan. Seorang anak yang selalu
dikatakan “bodoh” atau “goblok” oleh guru, orangtua, atau orang sekitarnya
akhirnya akan percaya bahwa dirinya benar-benar bodoh. Ia menjadi bodoh bukan
karena tidak mempunyai kapasitas untuk menjadi pintar, tetapi lebih karena
didikte oleh program “bodoh” yang telah di-install di pikirannya. Cara ini banyak
diajarkan di berbagai buku pengembangan diri dan seminar motivasi dalam
bentuk afirmasi yang dibaca berulang-ulang. Hukum ini banyak digunakan oleh
dunia periklanan untuk menanamkan bibit keyakinan terhadap suatu produk. Itu
sebabnya suatu produk, meskipun sudah amat dikenal, tetap saja diiklankan di
televisi dan ditayangkan terus menerus dan secara berulang-ulang dengan tujuan
agar pesan iklan tertanam dalam pikiran bawah sadar konsumen.
Setiap orang hidup dalam keluarga yang memiliki latar belakang budaya
tertentu yang umumnya ada perbedaan antara keluarga yang satu dengan keluarga
yang lain. Hal-hal yang dipercayai kelompok atau keluarga akan masuk ke dalam
diri anggota keluarga, terutama anak-anak, dan akan diadopsi sebagai keyakinan
keluarga. Anak akan mengikuti kebiasaan yang ada di dalam keluarga, baik cara
bicara, cara dan jenis makan, cara berpakaian, dan sebagainya. Anak belajar dari
kehidupan yang mereka alami. Orangtua yang menggunakan hukuman untuk
mengendalikan “kenakalan” anaknya akan menjadi contoh bagi anak untuk akrab
dengan kekerasan dan kebencian.
32
Hati-hati dengan figur otoritas seperti: bintang film, aktris, pemain band,
guru, dokter, wartawan, pembicara publik, pembawa acara TV atau radio, pejabat,
pemuka agama, pembimbing spiritual, asisten rumah tangga, atau siapa saja yang
dianggap hebat. Apa yang disampaikan mereka cenderung mudah menembus ke
pikiran bawah sadar dan diterima sebagai kebenaran atau keyakinan. Bagaimana
mungkin seseorang ikhlas menjadi “pengantin” (pembom bunuh diri) dengan
maksud membunuh sebanyak-banyaknya orang yang tidak dikenal dan tidak
bermusuhan dengannya hanya karena “imbalan” masuk surga dengan 72 bidadari.
Bila suatu pengalaman dialami dengan emosi yang intens, akan sangat
mudah menjadi keyakinan yang sangat kuat. Pikiran bawah sadar tidak
mempersoalkan apakah keyakinan tersebut logis atau tidak. Hal ini disebabkan
karena intensitas emosi berbanding lurus dengan keterbukaan pintu gerbang
pikiran bawah sadar. Saat kejadian yang dialami seseorang diikuti dengan emosi
yang intens, maka kejadian tersebut akan terekam dengan sangat kuat di memori
pikiran bawah sadarnya. Apalagi kejadian tersebut dialami saat seseorang masih
kecil dimana pikiran sadarnya belum berkembang penuh. Emosi yang sangat
intens ini yang kerap kali menjadi biang keladi trauma seseorang yang dibawanya
bahkan sejak masih dalam kandungan hingga berusia puluhan tahun. Sedikit saja
kejadian yang mirip dengan kejadian yang dialaminya itu akan menjadi pemicu
yang dapat membuat panik penderita.
Gelombang pikiran alfa adalah pintu gerbang menuju pikiran bawah sadar.
Saat seseorang lelah, ngantuk, tidak fokus, melamun, maka faktor kritis pikiran
sadar (critical factor) melemah. Dalam kondisi demikian pikiran bawah sadar
33
cenderung lebih mudah menerima suatu informasi yang masuk untuk diterima
sepenuhnya oleh pikiran bawah sadar menjadi suatu kebenaran.
2.1.3.7 Keyakinan Menentukan Jalannya Kehidupan
Shad Helmstter dalam (Gunawan, 2008: 36) mengatakan manusia pada
umumnya, sejak usia 0 sampai 18 tahun, yang tinggal dalam lingkungan keluarga
yang cukup positif, mendengar kata-kata negatif, seperti “tidak”, “tidak boleh”,
“tidak bisa”, “jangan”, “goblok”, “tolol”, “kamu pasti gagal”, “kamu tidak becus”,
dan yang sejenisnya, sebanyak lebih dari 148.000 kali. Bila anak cukup beruntung
karena orangtuanya positif sekali, ia akan mendengar kata-kata negatif hanya
sekitar 100.000 kali. Bila kata-kata negatif ini terus diulang, dan diperkuat oleh
apa yang dikatakan guru, teman sekolah, asisten rumah tangga, dan keluarga lain,
maka anak akan tiba pada satu kesimpulan, “saya anak nakal”, “saya anak bodoh”,
“saya anak bermasalah”. Begitu program “saya anak nakal”, “saya anak bodoh”,
“saya anak bermasalah”, masuk ke pikiran bawah sadar, diterima, dan tertanam
kuat, maka program ini akan dijalankan dengan serta merta, tanpa ditawar, tanpa
dianalisis oleh pikiran sadar anak. Begitu program telah dijalankan dalam bentuk
perilaku, program ini cenderung memperkuat dirinya sendiri sehingga semakin
lama semakin kuat dan sulit untuk diubah.
Tidak ada kepercayaan atau keyakinan yang positif maupun negatif.
Keyakinan, bila kita teliti lebih mendalam, semua bertujuan positif bagi diri setiap
orang. Cara menilai suatu keyakinan adalah dengan memperhatikan dampak yang
ditimbulkannya terhadap kehidupan. Keyakinan positif adalah keyakinan yang
mendukung upaya pencapaian kesuksesan sedangkan keyakinan negatif adalah
keyakinan yang menghambat pencapaian keberhasilan. Dari hasil analisis literatur
34
dan temuan di ruang terapi, penulis dapat menyimpulkan bahwa faktor utama
sebagai penyebab penyakit kejiwaan adalah trauma masa lalu yang adalah faktor
pikiran, dalam hal ini pikiran bawah sadar, lebih spesifik lagi, keyakinan mereka
masing-masing yang terbentuk tanpa disadari sejak mereka masih kecil.
Gunawan (2012: viii) menyatakan manusia sebagai makhluk hidup yang
sangat kompleks tidak hanya terdiri atas aspek fisik saja namun juga pada
manusia terdapat aspek pikiran, emosi, dan kesadaran. Masing-masing aspek ini
beroperasi dengan prinsip dan proses yang berbeda, seolah-olah berdiri sendiri,
namun sebenarnya saling memengaruhi dengan sangat kuat dan erat sebagai satu
sistem diri yang holistik. Hidup seseorang yang dijalani saat ini adalah manifestasi
life script atau skenario hidup yang ada di pikiran bawah sadar orang tersebut.
Keyakinan mengenai apa saja, termasuk sikap atas kebahagiaan dan penderitaan
hidup, secara bawah sadar membawa orang pada apa yang sekarang dijalaninya.
Inilah hasil dari life script yang ditulis diri sendiri atau yang ditulis orang lain.
Dan life script itu tidak lain dan tidak bukan adalah keyakinan (Gunawan, 2008:
39). Begitu keyakinan terbentuk, semakin lama akan semakin kuat efeknya,
selanjutnya praktis hanya menjalankan apa yang telah “tertulis” dalam keyakinan.
Hebatnya lagi keyakinan layaknya seperti makhluk hidup yang akan berusaha
mempetahankan eksistensi atau “kehidupannya” dengan segala cara.
Elfiky (2011: 10), seorang pakar pengembangan sumber daya manusia
kaliber dunia dari Mesir, menyatakan bahwa berpikir melahirkan pengetahuan,
pemahaman, nilai, keyakinan, dan prinsip. Pikiran menjadi titik tolak bagi tujuan
dan mimpi-mimpi. Ia menjadi referensi rasional dalam eksperimentasi, perjalanan
hidup, pemaknaan, serta cara memahami kebahagiaan dan kesenggsaraan. Pikiran
35
bahagia membuat kita bahagia dan pikiran sengsara membuat kita sengsara.
Sesungguhnya dominasi pikiran terhadap kualitas kehidupan manusia secara jitu
sudah dibabarkan Buddha lebih dari 2.600 tahun yang lampau. Sebagaimana
tertera dalam Dhammapada Bab I:1, dengan gamblang Buddha mengajarkan
bahwa segala keadaan kita ditentukan oleh pikiran kita, dijadikan oleh pikiran
kita. Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran
adalah pembentuk.
Pada dasarnya tidak ada apapun yang salah dengan tubuh, bukan tubuh
yang menyebabkan penderitaan, tetapi pikiran yang melahirkan perasaan dan
perasaan ini sebagai penyebab penderitaan. Pikiran negatif lebih berbahaya
daripada yang bisa dibayangkan. Ia merangkai hidup ini menjadi mata rantai
penderitaan, perasaan negatif, perilaku negatif, dan hasil yang negatif seperti sakit
jiwa, sakit fisik, kesepian, dan ketakutan (Elfiky, 2011: 149-150). Sesungguhnya
dominasi pikiran terhadap kualitas kehidupan manusia secara jitu sudah
dibabarkan Buddha lebih dari 2.600 tahun yang lampau, sebagaimana tertera
dalam Dhammapada Bab I:1, dengan gamblang Buddha mengajarkan bahwa
segala keadaan kita ditentukan oleh pikiran kita, dijadikan oleh pikiran kita.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran
adalah pembentuk. Ada benih yang baik dan tidak baik di ladang pikiran yang
disemai oleh diri sendiri, orangtua, pendidikan, para leluhur, serta masyarakat
(Nhat Hanh, 2013; 5). Pada saat kita melihat segala sesuatunya dengan cara dan
pandangan salah, maka timbullah kebingungan, munculah kegelisahan, ketakutan,
dan kegelapan.
36
2.2 Kerangka Berpikir
Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir sebagai berikut:
Penyebab:
1. Sebagian besar
Dharmaduta tidak
memahami bahasa
asli teks Tipitaka
2. Dharmaduta tidak
mengerti semantik
3. Dharmaduta tidak
memahami cara
kerja dan hukum
kekuatan pikiran.
4. Strategi
pembabaran
Dharma yang tidak
marketable
Masalah: 1. Definisi dukkha
yang sempit dan
dangkal
2. Penggunaan
terminologi yang
bersifat negatif
3. Semua orang
ingin hidup
bahagia
4. Materi
pembabaran
Dharma yang
fokus pada
penderitaan
Dampak:
1. Agama Buddha
dipojokkan
sebagai agama
pesimistis
2. Agama Buddha
menjadi tidak
menarik
3. Umat Buddha sulit
mencapai
kebahagiaan
4. Penurunan
prosentasi populasi
umat Buddha di
Indonesia
Kajian Teori Dharmaduta: 1. Pengertian Dharmaduta
2. Awal Terbentuknya Dharmaduta
3. Tujuan Dharmaduta
4. Cara Dharmaduta Membabarkan
Dharma
5. Peran Strategis Dharmaduta
Dalam Pengembangan Agama
Buddha
Kajian Teori Hipnoterapi:
1. Pengertian Hipnoterapi
2. Sekilas Tentang Otak dan Pikiran
3. Pikiran Sadar
4. Pikiran Bawah Sadar
5. Cara Kerja Pikiran
6. Sebab-sebab Munculnya keyakinan
7. Keyakinan Menentukan Jalannya
Kehidupan
Metodologi Penelitian:
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian deskriptif kualitatif yang me-
mungkinkan peneliti melakukan eksplorasi mendalam terhadap permasalahan
tingkah laku individu atau kelompok umat Buddha untuk mendapatkan
pemahaman tentang berbagai variabel sosial.
Analisis Data:
Analisis data pada penelitian ini mengunakan tipe studi kasus life history untuk
menyingkap dengan lengkap dan rinci pengaruh keyakinan terhadap kisah
perjalanan hidup seseorang.
Simpulan:
Jumlah populasi umat Buddha ditentukan oleh pembabaran dharma sehingga untuk
meningkatkan jumlah umat Buddha maka strategi pembabaran dharma harus
berfokus pada terminologi kebahagiaan.
37
2.3 Penelitian yang Relevan
2.3.1 Penelitian Relevan Terkait Dharmaduta
Peneliti ini relevan dengan penelitian Dwiyanti yang disampaikan di
Vihara Jaya Mangala, Jambi, saat Pabbajja Samanera Sementara Sangha
Theravada Indonesia dengan judul Pembinaan Dharmaduta Agama Buddha
Dalam Pelayanan Umat. Dwiyanti menyatakan bahwa dharmaduta adalah sosok
orang yang telah dianggap mampu dalam bidang agama, sehingga dharmaduta
dijadikan sebagai figur teladan umat yang berhubungan dengan moralitas,
kesucian, dan kebenaran menjadikan dharmaduta mempunyai peran yang sangat
penting dalam membina umat. Dharmaduta juga dijadikan sebagai tempat untuk
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh umat baik itu masalah keluarga
maupun masalah yang umum. Seorang dharmaduta yang oleh sebagian besar
masyarakat dianggap orang yang paling tahu ilmu agama harus selalu membekali
diri dengan materi-materi dharma dan materi umum yang berhubungan dengan
keagamaan, tempat ibadah, organisasi keagamaan, dan lain sebagainya sehingga
tidak akan ada kendala yang berarti dalam setiap berhadapan dengan umat waktu
berperan sebagai Dharmaduta.
Penelitian ini relevan dengan penelitian Ajahn Bram sebagaimana yang
disampaikannya pada Buddhist Summit, Phnom Penh, Kamboja, Desember 2002
(Ajahn Bram, 2009: 76-78). Ajahn Bram lahir di London pada 7 Agustus 1951
sebagai seorang Kristen, dididik di sekolah Kristen, dan bahkan bergabung dalam
paduan suara di gereja lokal. Tetapi ketika pertama kali membaca buku tentang
Buddhisme saat berusia 16 tahun, Ajahn Bram mendadak tahu bahwa Beliau
adalah seorang Buddhis. Pada tahun 1974, Ajahn Bram ditahbiskan menjadi
38
bhiksu pada usianya yang ke-23. Kemudian Ajahn Bram berlatih dalam wihara
hutan Wat Pah Pong di bawah bimbingan gurunya yang tersohor, Ajahn Chach.
Menurut Ajahn Bram, jika ingin ajaran luar biasa Buddhisme menjangkau
generasi modern, maka ajaran itu perlu disajikan dengan cara yang modern pula.
Bukan berarti esensi Dharma-nya perlu diubah, tetapi penyajiaannya yang perlu
disesuaikan terus menerus. Generasi masa depan tidak akan mau mendengarkan
gumaman bhikkhu yang membosankan, memberikan ceramah yang tidak relevan.
Buddha berpesan agar mengajarkan Dharma dengan bahasa yang mudah
dimengerti (misalnya dalam Aranavibhaṅga Sutta).
2.3.2 Penelitian Relevan Terkait Kerja Pikiran
Penelitian ini relevan dengan terapi yang dilakukan Gunawan (2009: 14)
terhadap seseorang klien yang sebut saja namanya Budi. Budi telah sukses
membangun usaha hingga tingkat tertentu, tetapi kemudian tiba-tiba saja ambruk.
Ia membangun bisnis lain, sukses, kaya, dan ambruk lagi. Hal ini terjadi berkali-
kali. Melalui proses hipnoterapi diketahui bahwa hal ini adalah akibat pemahaman
di masa kecilnya. Ternyata orangtuanya, saat ia masih kecil, pernah dihina oleh
salah satu pamannya yang kaya. Perasaan sakit hati ini kemudian dihubungkan
dengan status pamannya yang kaya. Jadi, kesimpulan Budi kecil saat itu,
pamannya sombong dan menghina orangtuanya karena pamannya kaya, punya
banyak uang, dan sukses. Dengan kata lain, orang sukses dan kaya itu adalah
orang jahat. Itulah sebabnya saat berhasil menjadi orang sukses, kaya, dan banyak
uang, ia langsung merasa tidak nyaman dan tanpa sadar melakukan sabotase diri
yang mengakibatkan usahanya hancur.
39
2.4 Pertanyaan Penelitian
Untuk membatasi agar penelitian tidak meluas sehingga kehilangan fokus
maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian. Penulis menggunakan pertanyaan
penelitian mengikuti model studi kasus yang disampaikan Dreswell (dalam
Herdiansyah, 2011: 97). Dreswell menyatakan bahwa pertanyaan penelitian dalam
studi kasus lebih sering diawali dengan kata how dan why. Mengingat dalam
peneltian studi kasus ini penulis hendak mencari keunikan dan kedalaman kasus
yang diangkat, penulis lebih memfokuskan bidang pertanyaan kepada proses
(how) dan alasan (why). Pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana paradigma dharmaduta dalam pembabaran Dharma?
2. Bagaimana dampak strategi keliru dharmaduta dalam pembabaran Dharma?
3. Mengapa pembabaran Dharma sebaiknya sesuai cara kerja pikiran?
4. Bagaimana efektifitas menetralisir keyakinan negatif dengan hipnoterapi?
5. Bagaimana strategi baru dharmaduta dalam pembabaran Dharma?
40
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Semua kasus yang penulis dan rekan-rekan tangani, bila dilacak sampai
ke akar masalahnya, selalu bermula dari keyakinan yang tidak kondusif bahkan
menghambat. Hal apa yang menghambat perkembangan agama Buddha? Untuk
memecahkan pertanyaan penelitian, penulis menggunakan kasus-kasus terapi
berbasis hipnoterapi untuk ditelaah secara mendalam, khususnya terapi yang
dilakukan penulis sendiri maupun rekan-rekan penulis dari Adi W. Gunawan
Institute of Mind Technology, baik yang sudah dipublikasikan dalam buku yang
diterbitkan untuk konsumsi umum maupun terapi yang didiskusikan secara
internal dalam grup milis khusus alumni Adi W. Gunawan of Mind Technology.
Untuk memahami mengapa orang, khususnya generasi muda, tidak tertarik pada
agama Buddha yang terbukti sejalan dengan ilmu pengetahuan, penulis meng-
gunakan jenis penelitian diskritif kualitatif studi kasus life history.
Fungsi peneliti pada penelitian kualitatif hanya sebagai orang yang
mengemas apa yang dirasakan subjek (Herdiansyah, 2011: 5). Untuk mendapat-
kan pemahaman mendalam tentang perasaan dan tingkah laku individu; bagai-
mana pola pikir; sudut pandang; dan dampak keyakinan negatif terhadap jalannya
kehidupan subjek berdasarkan sudut pandang setiap subjek penelitian, penulis
melakukan eksplorasi mendalam terhadap informan terpilih yang diseting secara
alamiah, apa adanya. Untuk keperluan tersebut, penulis menggunakan desain
penelitian deskriptif kualitatif. Desain ini penulis gunakan karena desain
penelitian deskriptif kualitatif menurut Bungin (2015: 68-69) pada umumnya
41
dilakukan pada penelitian dalam bentuk studi kasus. Desain deskriptif kualitatif
memiliki ciri tidak menyebar seperti air tetapi memusatkan diri pada suatu unit
tertentu dari berbagai fenomena. Penelitian yang berbasis hipnoterapi ini bersifat
mendalam dan membongkar sasaran penelitian hingga ke pusat memori jangka
panjang subjek penelitian yang berada di pikiran bawah sadarnya.
Permasalahan sosial sangat kompleks. Kompleksitas permasalahan sosial
bukan saja karena memiliki dimensi yang sangat rumit yang dapat ditangkap oleh
orang luar yang sedang mengamati persoalan itu, namun salah satu kerumitan itu
disebabkan karena pelaku masalah itu, karena berbagai alasan, kadang tidak
mampu mengungkapkan persoalan sebenarnya. Studi kasus memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada penulis untuk memperoleh wawasan mengenai
konsep-konsep dasar perilaku manusia yang terjadi sebagai konsekuensi dari
keyakinannya. Melalui penyelidikan intensif, penulis dapat menemukan
karakteristik dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diduga sebelumnya,
menyajikan temuan yang sangat berguna untuk penguji suatu teori, dan
membangun latar belakang bagi penelitian yang lebih besar dan mendalam
(Herdiansyah: 2011: 79-80). Sementara itu, life history dalam ilmu sosial, lebih
sering digunakan sebagai pendekatan untuk melihat bagaimana reaksi, tanggapan,
interprestasi, pandangan dari dalam, terhadap diri masyarakat tertentu (otokritik).
Dengan pendalaman studi kasus melalui desain deskripsi kualitatif life history
yang dikemas dengan pendekatan berbasis hipnoterapi ini, penulis mampu
mempertajam detail permasalahan yang sedang digali dari informan yang tidak
mungkin diperoleh dari sekadar interview, observasi atau dengan penggunaan
kuesioner.
42
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilakukan secara bertahap, yaitu tahap observasi umum,
tahap eksplorasi terfokus, tahap perencanaan, tahap pemilihan informan, dan
tahap pembuatan laporan yang masing-masing dilakukan pada waktu dan tempat
yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Tahap observasi umum adalah tahap
pengamatan terhadap populasi umat Buddha di Indonesia yang dilakukan sejak
tahun 1970-1974 di lingkungan SMA Negeri 19, Jalan Perniagaan No. 31, Jakarta
Barat. Obervasi ini terus berlanjut di tempat dimana penulis berinteraksi dengan
berbagai lingkungan masyarakat, baik di lingkungan keluarga besar penulis, di
tempat kerja, maupun dalam lingkungan tempat ibadah Buddhis dan non-Buddhis.
Obervasi umum di lingkungan kerja penulis dilakukan di Bank Central Asia
(BCA) yaitu BCA Kantor Pusat Operasional di Jl. Asemka No. 27-30 , Jakarta
Barat, sejak tahun 1989 sampai tahun 1999, dilanjutkan di BCA KCU Tangerang,
di Jln. Kisamuan No. 57, Kota Tangerang, dan BCA KCU Serpong Jl. Pahlawan
Seribu No. 4, BSD, Tangerang Selatan hingga tahun 2009. Penelitian observasi
umum terakhir adalah Sekolah Terpadu Pahoa, di Jl. K.H. Dewantara No. 1,
Gading Serpong, Tangerang, dari tahun 2013-2016.
Observasi umum terhadap pengunjung tempat ibadah Buddhis dilakukan
di vihara-vihara yang dibina oleh Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia di
wilayah Tangerang dan sekitarnya, Vihara Dhamma Sikkha Jl. Taman Pabuaran A
8 No. 25, Kota Tangerang yang dibina oleh Sangha Theravada Indonesia, dan
Ekayana Grha Serpong yang dibina Sangha Agung Indonesia. Observasi
dilaksanakan dari tahun 2010-2016. Sedangkan observasi umum terhadap umat
43
non-Buddhis dilakukan pada Gereja Katolik St. Laurencius, di Jl. Raya Alam
Sutera, Perumahan Alam Sutera, Tangerang.
Tahap observasi khusus adalah tahap pendalaman dan perbandingan atas
simpulan observasi umum dengan data dokumenter. Data dokumenter berupa, (1)
laporan statistik Badan Pusat Statistik tentang jumlah penduduk Indonesia di
Tahun 2010, (2) laporan penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Centre of
Asian Studies (CENAS) pada tahun 2010 terhadap penduduk beragama Buddha di
Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan (3) data jumlah pendidik dan tenaga
kependidikan di Sekolah Terpadu Pahoa tahun pelajaran 2015-2016.
Tahap perencanaan, tahap pemilihan dokumen informan, dan tahap
pembuatan skripsi sampai tahap penyelesaian akhir laporan dilakukan di Klinik
Terapi Rumah Sentosa yang berdomisili di komplek perumahan Alam Sutera,
Cluster Sutera Jelita, Jalan Sutera Jelita 1 No. 15, Tangerang Selatan, Banten.
Tahap perencanaan dilaksanakan sejak tahun 2013 yang di mulai sesaat setelah
diumumkannya pembuatan skripsi penelitian ini. Tahap pemilihan dokumen
informan dilaksanakan setelah skripsi mendapat persetujuan dosen pembimbing
tanggal 23 Februari 2017. Tahap penyelesaian akhir laporan penelitian dalam
bentuk skripsi yang dilaksanakan sejak proposal mendapat pengesahan penelaah
awal Mei 2017 hingga Juli 2017.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian
kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang terjadi pada kondisi sosial tertentu.
Dalam penelitian kualitatif digunakan sampel. Sampel dalam penelitian kualitatif
bukan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman,
44
dan guru dalam penelitian (Sugiyono, 2012: 216). Jenis sumber data dilakukan
secara purposive (purposive), yaitu sumber data dengan kriteria terpilih yang
relevan dengan pemecahan pertanyaan penelitian (Bungin, 2015: 107).
Jenis kasus yang dipilih merupakan kasus individu yang berdasarkan
perkiraan penulis akan paling memungkinkan bagi penulis untuk fokus pada orang
yang menderita penyakit psikosomatik yaitu penyakit yang disebabkan keyakinan
negatif atau program pikiran yang menganggu jalannya kehidupan klien. Jumlah
sampel purposif ditentukan atas dasar teori kejenuhan yaitu titik dalam
pengumpulan data saat data baru tidak lagi membawa wawasan tambahan.
Penulis tidak memilih sumber data berdasarkan usia, tempat tinggal,
profesi, suku bangsa, status sosial, maupun jenis kelamin. Sumber data
menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer berupa
dokumen pribadi penulis yang merupakan sumber data yang diberikan klien
langsung kepada penulis dan sumber data sekunder adalah sumber data yang
dikumpulkan lewat rekan terapis sesama alumni QHI, baik melalui buku-buku
yang telah diterbitkan maupun melalui milis khusus alumni QHI.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, nara sumber yang menurut
penulis paling sesuai dengan topik penelitian ini adalah:
1. Aida, seorang ibu berusia 34 tahun. Disaat nara sumber mengandung anak
ketiga dan lelah akibat sibuk bekerja di kantor, nara sumber lemas dan mual.
Permasalahan terjadi saat dokter kandungan yang memeriksanya memberikan
obat mual, nara sumber mengalami reaksi alergi yang dapat membahayakan
janin yang dikandungnya. Dengan teknik hipnoterapi diperoleh data bahwa
penyebab alergi nara sumber adalah pesan ayahnya sendiri.
45
2. Dina, pengasuh sekolah minggu Buddhis idola anak asuh yang alergi punya
anak sendiri. Suatu persepsi yang timbul berdasarkan keyakinannya bahwa
hidup adalah penderitaan dan oleh karena itu daripada membuat anak
menderita lebih baik tidak mempunyai anak.
3. Dewi, seorang mahasiswa sebuah sekolah tinggi agama Buddha, yang karena
rasa berbaktinya kepada Sang Mama, berjuang untuk menjadi umat Buddha
namun merasa menjadi orang lain di tengah-tengah rekan-rekannya yang
beragama Buddha.
4. Y.M. Ajahn Bram, seorang Kristen yang lahir di London. Menjadi anggota
Sangha dan bermukim di Australia. Berkat strategi pembabaran Dharma yang
dinamakan “P-U-R-E” berhasil meningkatkan populasi umat Buddha di
Autralia secara signifikan.
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat peneliti
adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus
“divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang
selanjutnya terjun ke lapangan (Sugiyono, 2012: 222). Selanjutnya Sugiyono
menyatakan bahwa yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui
evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode penelitian kualitatif,
penguasaan teori, dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan
peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistik.
Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, analisis data, menafsirkan, dan
membuat kesimpulan atas temuan.
46
Dengan demikian, penulis sebagai instrumen penelitian, dituntut agar me-
miliki kemampuan untuk mengandaikan diri sendiri menjadi klien dan memiliki
pemahaman dan empati yang ikhlas (Hunter, 2011: 23). Perasaan yang empati dan
ikhlas ini ditangkap oleh klien secara tidak sadar dan merupakan bagian sangat
penting dalam membangun hubungan dan kesesuaian antara terapis dengan klien.
Dengan menjalin hubungan dan kesesuaian, sumber data atau informan lebih
terbuka dan leluasa dalam memberi informasi atau data, mengemukakan masalah,
terutama yang berkaitan dengan informasi sebagai jawaban pada permasalahan
penelitian.
Kelebihan yang dimiliki penulis adalah bahwa selain penulis merupakan
pandita dan dharmaduta senior Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia,
penulis juga praktisi hipnoterapi alumni Adi W. Gunawan Institute of Mind
Technology, yang dahulu bernama Quantum Hypnosys Indonesia (QHI). Penulis
tamat mengikuti pelatihan 100 jam yang diikuti penulis di tahun 2009 dan
memperoleh sertifikat serta lulus sebagai Client Centered Hypnotherapist (lihat
gambar 3.1.). Untuk lulus dan mendapatkan sertifikat kelulusan sebagai alumni
QHI, selain pemahaman teori yang memadai juga harus diimbangi dengan
kemampuan praktek yang diobservasi dan diuji ketat. Selain itu, penulis juga
merupakan salah satu dari Licensed Trainer sebagaimana ditunjukkan oleh
sertipikat pada gambar 3.2. Dengan bekal pemahaman teori dan praktek sebagai
Client Centered Hypnotherapist dan Licensed Trainer tersebut, di tengah
kesibukan penulis berkerja dan berceramah, penulis telah berhasil membantu
puluhan klien keluar dari permasalahan kronis mereka dengan hasil yang
memuaskan.
47
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data yang
memenuhi standar data yang ditetapkan. Metode pengumpulan data yang diguna-
kan pada penelitian ini adalah metode wawancara terstruktur. Menurut Esterberg
dalam Sugiyono (2012: 233) wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik
pengumpulan data bila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi
apa yang akan diperoleh. Dengan wawancara terstruktur ini setiap informan atau
sampel penelitian diberikan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan
tertulis yang sama.
Penulis menggunakan pedoman wawancara yang berupa pertanyaan-
pertanyaan tertulis terdapat dalam form pendaftaran (intake form) yang dirancang
khusus. Selain berisi data pribadi klien, data orangtua dan atau anak serta
bagaimana hubungan klien dengan keluarga klien tersebut, juga data tentang
perasaan dan permasalahan klien serta bagaimana permasalahan yang klien
rasakan telah mengganggu kehidupan klien. Selanjutnya data pada intake form
dipertajam terapis sesaat sebelum proses terapi dimulai. Penajaman yang pada
dasarnya berupa pengumpulan data terinci dan mendalam dilakukan dengan
metode wawancara terstruktur yang mendalam dan terarah yang disebut
qualifying. Teknik dan protocol wawancara terstruktur Adi W. Gunawan Institute
of Mind Technology telah distandarisasi dalam suatu buku yang diberi nama
Qualifying Protocol Guide for Clinical Hypnotherapist.
Setiap proses terapi dicatat dengan saksama, bahkan untuk kasus-kasus
tertentu, terutama bila klien berjenis kelamin yang berbeda dengan terapis, penulis
48
mendokumentasi proses terapi sejak awal sampai akhir terapi dengan memanfaat-
kan handy cam. Penggunaan handy cam biasanya dengan sepengetahuan klien.
Sesuai “kode etik” hipnoterapi Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology,
dokumentasi digital ini menjadi rahasia pribadi terapis yang tidak boleh dibuka
kepada siapa pun tanpa persetujuan klien. Oleh karena itu, untuk melindungi
privasi klien maka dalam penelitian deskripsi kualitatif life history ini nama dan
tempat lahir klien bukan nama dan tempat lahir yang sebenarnya.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif mengikuti konsep yang dikembangkan Miles dan Huberman. Miles
dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2012: 246) mengemukakan bahwa data
dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama
di lapangan, dan setelah selesai mengumpulkan data di lapangan. Aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus-menerus
sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh, dalam arti tidak ada lagi jawaban
yang berbeda dan meragukan. Aktivitas dalam analisis data adalah data reduction,
data display, dan conclusion drawing/verification
Pada data reduction (reduksi data), penulis merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, yang terkait dengan pola
dharmaduta dalam pembabaran agama Buddha yang diduga menjadi penyebab
penurunan populasi umat Buddha di Indonesia. Terkait reduksi data ini Miles dan
Huberman (1984) dalam Sugiyono (2012: 249) menyatakan bahwa yang paling
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan
teks yang bersifat naratif. Setelah data naratif direduksi, tahap analisis data
49
selanjutnya adalah men-display-kan data. Data yang diperoleh dipilah-pilah.
Pemilahan data dilakukan berdasarkan data penting dan data yang tidak penting.
Data yang penting adalah data yang dapat menjawab dan memecahkan pertanyaan
penelitian.
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan
Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
menjadi interpretasi sementara penulis diverifikasi di lapangan dengan
menggunakan metode wawancara tidak terstruktur atau tanya jawab terbuka
dengan umat Buddha yaitu saat penulis selaku dharmaduta mendapat kesempatan
memberikan bimbingan dharma. Kesimpulan verifikasi merupakan hipotesis yang
menjadi landasan bagi penulis untuk sampai pada simpulan yang kredibel.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Setting Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di Klinik Terapi Rumah Sentosa yang
terletak di Jalan Sutera Jelita 1 No. 15, Cluster Sutera Jelita, Perumahan Alam
Sutera, RT 001, RW 006, Kelurahan Pondok Jagung Timur, Kecamatan Serpong
Utara, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Calon klien dari luar kota
Tangerang akan dengan mudah menemukan Klinik Terapi Rumah Sentosa ini
karena perumahan Alam Sutera dapat dengan mudah diakses dari jalan tol Jakarta
– Tangerang. Selain itu, dengan keberadaan Mall Living Word, pusat kuliner
Flavor Bliss, Mall Alam Sutera, dan pusat retail meubel IKEA, akan dengan
mudah bagi calon klien untuk menemukan letak Klinik Terapi Rumah Sentosa.
Klinik berbasis hipnoterapi yang menjadi pusat penelitian ini dinamakan
Rumah Sentosa dikarenakan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwasanya
setiap orang dari semua ras dan status sosial tidak ada yang tidak mendambakan
rumah yang sentosa. Orang-orang yang pergi kemana saja dan untuk keperluan
apa saja, pada akhirnya akan pulang juga ke rumah. Kenyamanan dan kesentosaan
rumah akan sangat mempengaruhi hasil kerja penghuninya. Rumah yang sentosa
sumber utama kebahagiaan setiap orang.
Ruangan tempat praktek terapi Klinik Terapi Rumah Sentosa berukuran 3
x 3 m. Ruang ini dilengkapi 1 (satu) buah meja tulis, 2 (dua) buah bangku, digital
camera Handycam merek Sonny tipe DCR-SR68 yang dilengkapi Optical Zoom
sehingga mampu melakukan pembesaran hingga 60 x. Kamera digital Handycam
51
ini selain digunakan untuk merekam proses jalannya terapi juga bertujuan agar
terapis mempunyai bukti otentik tentang apa yang terjadi di ruang terapi,
bagaimana proses dan jalannya terapi, serta perkembangan fisik dan mental klien
sebelum dan pasca terapi. Dengan proses hipnoterapi yang terekam sempurna
maka dapat dihindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Terdapat sofa bernuasa hijau
yang menyejukkan, dan lemari yang sarat dengan buku-buku tentang pikiran dan
hipnoterapi baik yang berbahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Pada
dinding ruang terapi, terpapang sertipikat tanda kelulusan penulis sebagai Client
Centered Hypnotherapist dan Licensed Trainer of Adi W. Gunawan Institute of
Mind Technology dan foto penulis dengan pendiri sekaligus guru besar Adi W.
Gunawan Institute of Mind Technology serta guntingan iklan Kompas para alumni
angkatan 10 Quantum Hypnosis Indonesia.
Dalam gambar 4.1. ditunjukkan peralatan khusus yang menjadi ciri khas
terapi berbasis hipnoterapi yaitu kursi yang biasa disebut cleaning seat. Klinik
Terapi Rumah Sentosa menggunakan cleaning seat merek Cheers dari Italia yang
berharga sekitar Rp.8.000.000,- (delapan juta rupiah). Kursi yang digunakan
tergolong kursi khusus karena selain dilengkapi dengan tekstur kulit dan extra soft
cushions menjadikan kursi terapi ini suatu kursi yang sangat empuk dan nyaman.
Kursi super nyaman ini juga menyediakan tombol khusus untuk mengatur posisi
kaki, punggung, dan kepala yang memungkinkan untuk klien berselonjoran rileks,
tenang, dan nyaman.
Pada gambar 4.2. ditunjukkan posisi duduk yang biasa digunakan
oleh hipnoterapis alumni Adi. W. Gunawan Institute of Mind Technology.
Posisi duduk terapis terhadap klien ini berdasarkan pertimbangan bahwa
52
belahan otak kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan dan belahan otak
kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri. Dengan posisi duduk yang
demikian klien akan lebih banyak menggunakan telinga kanan saat menerima
informasi atau sugesti dari terapis. Dengan kata lain, penggunaan telinga
kanan akan mengaktifkan otak kiri. Otak kiri lebih baik dalam menerima
informasi dan memproses permintaan (Claptorh, 2010: 71). Penelitian
dengan menggunakan teknologi pemindai PET (positron emission
tomography) menunjukkan bahwa bila seseorang merasa tertekan atau stres,
maka yang akan lebih akitf adalah otak kanannya. Sedangkan bila seseorang
merasa gembira dan optimis akan masa depan dan hidupnya, maka otak
kirinya akan lebih aktif (Gunawan, 2010: 28). Selanjutnya, apabila jenis
kelamin klien perempuan maka tubuh klien ditutup dengan kain sebatas dada.
Perlakuan ini bertujuan agar privasi klien terjaga dan klien akan merasa lebih
nyaman. Namun bila klien berjenis kelamin laki-laki tidak digunakan kain
penutup disebabkan penggunaan kain penutup justru mendatangkan perasaan
tidak nyaman bagi klien.
Penelitian ini disetting dengan waktu yang lamanya tidak dapat
dibatasi secara khusus. Hal ini mengingat klien yang datang untuk terapi
tidak dapat dipilah-pilah mana yang terkait topik penelitian dan mana yang
tidak sesuai. Klien terpilih sebagai nara sumber adalah klien dengan
permasalahan yang terkait dengan pengaruh dari suatu keyakinan yang
tertanam sejak klien berusia masih sangat muda yang sebagian besar terjadi
tanpa disadari baik oleh klien sendiri maupun oleh pihak yang
menyebabkannya.
53
4.1.2 Deskripsi Fokus Penelitian
Abad lalu, para pendeta dan sarjana Barat melecehkan Buddhisme sebagai
pesimistik, mengatakan bahwa agama Buddha hanya berfokus pada penderitaan.
Hal ini bahkan diulangi Paus Yohannes Paulus II di dalam buku kontroversialnya
mengenai agama-agama dunia. Banyak artikel propaganda di media sosial yang
ditulis para misionaris agama samawi untuk mendiskriditkan keimanan penganut
agama Buddha. Kesan nihilisme yang terpatri kuat pada ajaran Buddha sama
sekali tidak mempengaruhi pertumbuhan umat Buddha apabila ajaran Buddha
dipahami secara lengkap dan benar. Fenomena ini terbukti dengan pesatnya
perkembangan populasi umat Buddha di Australia mengantarkan penulis kepada
strategi pembabaran dharma yang dilakukan oleh Y.M. Ajahn Bram. Dengan
fokus penelitian yang difokuskan pada cara kerja pikiran menurut hipnoterapi ini
akan didapat simpulan yang dapat dimanfaatkan oleh para dharmaduta dalam
pembabaran dharma.
Untuk menangkal tudingan tidak bertanggung jawab tersebut sekaligus
berfungsi untuk mawas diri, penelitian kualitatif studi kasus life history ini
difokuskan kepada studi terhadap kehidupan klien-klien yang mengalami
penderitaan berkepanjangan akibat pengaruh dari suatu keyakinan yang
ditanamkan kepada dirinya yang pada umumnya tidak disadari oleh klien dan atau
orang yang melakukannya. Dipilihnya fokus penelitian ini untuk meneliti apakah
benar ada hubungan dan pengaruh keyakinan bahwa hidup adalah suatu
penderitaan sebagaimana yang ditanamkan oleh orang yang dipandang memiliki
otoritas tinggi terhadap jalan hidup seseorang bahkan dengan tenggang waktu
yang lamanya puluhan tahun kemudian.
54
4.2 Pembahasan
4.2.1 Paradigma Dharmaduta dalam Pembabaran Dharma
Studi kasus life history terhadap nara sumber ini memperlihatkan
bagaimana topik-topik ceramah dharmaduta yang fokus pada penderitaan hidup
menjadikan pola pikir atau keyakinan umat Buddha bahwa mempunyai anak
adalah sebab dari penderitaan. Nara sumber ini diperkenalkan oleh Y.M. Bhante
Tirodharmmo, seorang bhikkhu asal Pekanbaru yang juga rekan penulis ketika
belajar memperdalam ilmu hipnoterapi dari di Quantum Hypnosis Indonesia
asuhan Adi. W. Gunawan.
Nara sumber adalah seorang perempuan berusia 30 tahun yang menjadi
pengasuh sekolah minggu Buddhis (SMB) di sebuah vihara di kota kelahirannya.
Dina (bukan nama sebenarnya) merupakan pengasuh yang diidolakan anak-anak
sekolah minggu Buddhis di viharanya. Pernah Dina tidak dapat mengasuh karena
sibuk, banyak anak sekolah minggu di vihara-nya yang enggan mengikuti
kebaktian. Sebagai pengasuh sekolah minggu Buddhis yang handal, tentu saja
Dina tahu bagaimana mendidik dan berkomunikasi dengan anak. Sayangnya, Dina
benar-benar tidak tertarik memiliki anak kandung.
Dina berpikir lebih baik membantu anak asuh dari pada punya anak
sendiri. Mengapa tidak hidup bahagia sebagai sepasang suami istri tanpa beban
anak? Apakah kehadiran anak akan membuat keluarga bahagia?. Adalah suatu
kekeliruan bila mempunyai anak karena lahirnya seorang anak akan menyebabkan
si anak hidup menderita. Namun dengan bertambahnya usia, pihak keluarga
mendesak agar Dina cepat-cepat berkeluarga. Dina bukannya tidak pernah
55
mencoba untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tetapi beberapa kali
hubungan selalu kandas sesaat sebelum diakhiri dengan ikatan perkawinan.
Cukup banyak laki-laki di lingkungannya tinggal yang memenuhi syarat
pertama untuk menjadi suami Dina, yaitu beragama Buddha aliran Theravada.
Tetapi tidak ada laki-laki yang bersedia memenuhi syarat kedua Dina, yaitu
mengikat janji di hadapan notaris untuk tidak mempunyai anak sebelum
perkawinan mereka di berkati di vihara. Tidak adanya calon suami yang dapat
memenuhi harapan Dina dan diiringi tekanan keluarga ini membuat Dina
semakin frustasi menjalani kehidupannya.
Melalui wawancara tidak terstruktur jarak jauh, kepada penulis Dina
mengisahkan kehidupan masa kecilnya. Masa kecil Dina selalu diliputi ketakutan,
kecemasan, kesedihan mendalam akibat sikap dan perilaku kedua orangtuanya.
Mereka keluarga sangat miskin dan kadang tidak punya uang bahkan untuk
membeli makanan sekalipun. Keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan
tersebut disikapi kedua orangtuanya dengan sikap saling menyalahkan dan tidak
jarang diakhiri pertengkaran yang memanas sehingga lengkaplah Dina kecil
terjerat penderitaan. Kesulitan hidup yang menghimpit diperparah dengan tidak
adanya kasih sayang dan perhatian orangtua yang selayaknya membuat Dina kecil
memaknai hidup berkeluarga dan punya anak itu adalah penderitaan. Daripada
anaknya kelak menderita seperti dia bukankah akan jauh lebih baik apabila tidak
punya anak sama sekali. Dina kecil memaknai bahwa menjadi anak adalah
penderitaan dan dilengkapi belief bahwa hidup adalah penderitaan sebagaimana
yang sering dibabarkan para dharmaduta, Dina dewasa menjalani kehidupannya
semakin terpuruk penderitaan. Inilah belief yang terbentuk, tumbuh, berkembang,
56
dan menjadi belief yang sangat kuat, sejalan dengan proses tumbuh kembang
Dina, mulai saat Dina masih bayi hingga berumur 30 tahun.
Suatu saat, Dina berkomunikasi daring dengan seorang duda 1 anak non
Buddhis. Istri Sang Duda meninggal karena penyakit kanker. Dari komunikasi
tersebut, timbul perasaan saling memahami dan mulai bersemi perasaan senasib
sependeritaan yang berlanjut dengan “copy darat”. Awalnya Dina bersedia
menerima kehadiran suami dengan prasyarat Buddhist tradisi Theravada dan
komitmen tidak mempunyai anak, tetapi kini prasyarat pertamanya luntur sudah.
Dari hasil analisis literatur dan temuan di ruang terapi dapat disimpulkan
bahwa faktor utama sebagai penyebab Dina yang tidak ingin punya anak kandung
tersebut adalah faktor pikiran, dalam hal ini pikiran bawah sadar, lebih spesifik
lagi, belief system yang terbentuk tanpa disadari sejak Dina masih kecil. Begitu
belief jika punya anak kandung akan membuat anaknya menderita terbentuk maka
semakin lama akan semakin kuat efeknya, sehingga hidup Dina selanjutnya
praktis hanya menjalankan apa yang telah “tertulis” dalam belief. Belief akan
menjadi program pikiran yang sangat kuat yang akan menyabot segala tindakan
Dina yang bertentangan dengan belief tersebut dan tentu saja termasuk hasrat
untuk berkeluarga. Belief Dina terbentuk berkat kenyataan hidup keluarganya
yang dikukung penderitaan dan didukung materi ceramah dharmaduta yang lebih
banyak menekankan tentang penderitaan hidup.
Strategi pembabaran Dharma ini diperkirakan merujuk pada motivasi
Pangeran Siddhartha (calon Buddha Gotama) untuk meninggalkan keluarga,
kekayaan, dan kedudukan sebagai putra mahkota untuk mencari “obat” atau cara
bagaimana mengatasi penderitaan, usia tua, mencari apa yang tidak dilahirkan,
57
yang tidak menjadi sasaran penyakit, kematian, dan kesedihan (Majjhima Nikaya
I, 163). Sebagai orang yang hidup dalam limpahan kemewahan duniawi, bagi
Pangeran Siddhartha usia tua, sakit, dan mati adalah penderitaan yang disebut
dukkha (Pali) atau duhkha (Sansekerta).
Ajaran tentang dukkha ini adalah ajaran yang pertama kali dibabarkan
Buddha dalam khotbah pertama-Nya di Taman Rusa Isipatana di Kota Benares
kepada lima orang bertapa. Kelima orang pertapa itu adalah pertapa yang
sebelumnya menjadi rekan-Nya bertapa. Inilah khotbah yang merupakan awal
pembabaran Dharma sehingga kemudian terkenal dengan nama Dhammacakka-
pavattana Sutta yang artinya Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Pada khotbah
pertama yang diucapkan tepat pada saat purnamasidhi di bulan Asadha ini,
Buddha mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Airya Saccani) yaitu:
Kesunyataan Mulia Tentang Dukkha (Dukkha Ariyasacca); Kesunyataan Mulia
Tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha-samudaya Ariyasacca); Kesunyataan Mulia
Tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkha-nirodha Ariyasacca); dan Kesunyataan
Mulia Tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (Dukkhanirodha gamini
patipada). Diterangkan bahwa dukkha adalah suatu Kesunyataan atau Kebenaran
Suci/Mulia. Kelahiran (jati) adalah dukkha, usia lanjut (jara), sakit (vyadhi),
kematian (merana), berkumpul dengan orang-orang yang tak disenangi, terpisah
dari orang-orang yang dicintai, gagal dalam mengejar cita-cita semuanya adalah
dukkha. Pendek kata, semua unsur-unsur kehidupan Jasmani dan Bathin
(khandha) adalah Dukkha (Wahyono, 2002: 60). Ajaran mengenai Empat
Kesunyataan Mulia ini menjadi awal bergulirnya Dharma dan sekaligus pokok
doktrin agama Buddha.
58
Terjemahan teks-teks Buddhis Barat (sebelum tahun 1970) biasanya istilah
dukkha diterjemahkan sebagai "penderitaaan”, terjemahan yang cenderung mem-
berikan kesan mendalam bahwa agama Buddha adalah agama pesimistis atau
filsafat dunia menyangkal. Para pakar Buddha Dharma, antara lain; Zasep Tulku
Rinpoche, Thanissaro Bhikkhu, Philip Moffitt, Cynthia Thatcher, Joseph
Goldstein, Rupert Gethin, Ajahn Sucitto, Ringu Tulku, Traleg Kyabgon, Edward
Holmes, Ratan and Rao gigih beragumen kalau agama Buddha itu meskipun
mengajarkan tentang penderitaan, bukan suatu agama pesismis dan menyangkal
melainkan agama realitis. Mereka menegaskan selain membabarkan fakta
kehidupan yang diliputi penderitaan, Buddha juga menunjukkan jalan atau cara
terbaik bagaimana melenyapkan dan terbebas dari penderitaan hidup tersebut
(http://en.wikipedia.org/wiki/Dukkha).
Namun fakta bahwa kata dukkha seringkali dimengerti dan diterjemahkan
sebagai penderitaan sehingga konsep ini, bahwa hidup adalah penderitaan, adalah
menjadi apa yang disebut sebagai “kabar buruk” dari agama Buddha, yang telah
menyebabkan banyak orang menyalahartikan agama Buddha sebagai suatu ajaran
yang pesimistik dan menyangkal diri. Padahal pesan utama yang disampaikan
Buddha adalah “kabar baik” dari Dharma, yaitu ada jalan untuk menuju kepada
pembebasan dari penderitaan (Surya Das, 2003: 103-104). Kecenderungan
penggunaan sepenggal kalimat “Sabbe Sankhara Dukkha” yang sering diartikan
sebagai “hidup adalah penderitaan” menjadikan pemahaman terhadap agama
Buddha sebagai ajaran nihil tidak bisa dicegah. Dan kekeliruan ini terbukti
menjadi “makanan” empuk bagi misionaris agama non Buddhis untuk menarik
umat Buddha agar menanggalkan keimanannya.
59
4.2.2 Dampak Strategi Keliru Dharmaduta dalam Pembabaran Dharma
Permasalahan yang dihadapai nara sumber ini sebenarnya bukan hal yang
luar biasa. Tetapi yang dilakukan Bhante Tirodhammo, Pekanbaru, ini merupakan
salah satu kasus life hystory yang memperlihatkan bagaimana ayah merupakan
figur otoritas sangat tinggi yang kata-katanya adalah sebuah sugesti yang diterima
pikiran bawah sadarnya sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa perlu dianalisa
maksud sebenarnya. Nara sumber bernama Ronaldo (bukan nama sebenarnya)
pelajar kelas 3 SMP.
Ayah Ronaldo mengatakan adalah biasa bila ada pelajaran yang sulit.
Kalau tidak ada pelajaran yang sulit, bukan sekolah namanya. Itu-kan tantangan
namanya. Kata-kata ayah yang disampaikan saat Ronaldo kelas 4 SD dimaknai
berbeda oleh Ronaldo kecil sehingga tanpa disadari menjadi program sabotase
diri. Program sabotase diri yang dialami Ronaldo tersebut adalah menyukai
kesulitan karena kesulitan sebenarnyaa adalah sebuah tantangan dan adalah wajar
jika dalam sekolah mengalami kesulitan. Dengan program pikiran yang
ditanamkan ayah tanpa disadari tersebut, menyebabkan Ronaldo tergolong anak
yang cerdas, tetapi sulit baginya dalam menyerap pelajaran matematika.
Sayangnya, Ronaldo santai dan cuek saja ketika nilai matematikanya tidak pernah
melebihi nilai 75.
Dalam kondisi hipnosis yang sangat dalam, Ronaldo menyatakan senang
dengan pelajaran matematika meskipun hasilnya tidak maksimal seperti mata
pelajaran lainnya. Dengan teknik regresi, Ronaldo menceritakan bahwa ketika
duduk di kelas 4, ibu marah-marah saat Ronaldo sedang belajar. Untuk meredam
kemarahan ibu, ayah melerai dengan mengatakan, “Sudahlah, Bu. Yang namanya
60
pelajaran kan ada yang sulit. Kalau tidak ada pelajaran yang sulit, bukan sekolah
namanya. Itu kan tantangan, Bu.” Maksud ayah untuk memotivasi Ronaldo agar
belajar lebih giat. Tetapi kepolosan Ronaldo menjadikan pikiran bawah sadar
Ronaldo menerima kata-kata ayahnya secara mentah. Sejak saat itu, Ronaldo
meyakini bahwa pelajaran matematika itu sulit dan kesulitan itu merupakan suatu
tantangan sehingga wajar jika perolehan nilai matematikanya pas-pasan.
Setelah program “pelajaran matematika adalah mudah” diinstal di pikiran
bawah sadar Ronaldo, hanya dalam waktu setengah bulan, daya ingat Ronaldo
pada pelajaran matematika meningkat pesat. Perolehan nilai matematika Ronaldo
paling rendah 8, dan malah sering kali mendapat nilai 9 dan 10. Tidak itu saja.
Nilai mata pelajaran lain juga mengalami peningkatan secara signifikan. Pelajaran
bahasa Inggris Ronaldo menghasilkan nilai tidak pernah kurang dari 9.
Kekeliruan umum strategi pembabaran Dharma dapat dianalisis terhadap
sebuah sair lagu yang terpapang di sebuah papan tulis di kampus STABN
Sriwijaya Tangerang Banten. Lagu ini adalah lagu yang dipakai untuk berlatih
gamelan kebanggaan STABN Sriwijaya Tangerang Banten. Inilah lagu yang
berhasil membuat penulis bertekad untuk menganalisa, meneliti, dan membuat
skripsi dengan judul seperti judul skripsi ini.
Bunyi sair lagu tersebut adalah :
Ibarat sekuntum bunga nan berseri
Segar mekar semerbak harum mewangi
T‟lah berlalu sang bunga layu pasti
Terurai gugur hancur ditelan bumi
Apa guna ya kawan hidup ini
Bagai bunga ya kawan lusa mati
Apa guna ya kawan tinggi hati
Gagah dan kecantikan tiada arti
61
Bagaimana mungkin di kampus tempat penulis menuntut ilmu, yang
sebagian besar mahasiswanya adalah generasi muda Buddhis dan sedang berjuang
untuk masa depan yang lebih baik, bisa terpapang sair yang dapat menimbulkan
demotivasi seperti ini? Berdasarkan analogi sair di atas, kaya, cantik atau ganteng,
dan pintar adalah suatu hal yang tiada guna. Tiada arti. Semuanya tidak kekal dan
hidup adalah penderitaan. Maka dengan sendirinya buat apa susah-susah kuliah,
menghabiskan biaya, buang-buang waktu, tenaga, dan pikiran namun pada
akhirnya semua tiada arti? Apapun yang dilakukan tidak akan bisa mengubah
penderitaan. Karena penderitaan akan berakhir saat sudah tidak hidup. Yang lebih
memprihatinkan, apa guna hidup ini, lusa akan mati? Sungguh suatu malapetaka
besar bagi seseorang yang dilahirkan. Hidup saja tidak ada artinya, lalu apa
artinya kuliah? Apa gunanya gelar sarjana? Dan jika kuliah dan gelar sarjana tidak
ada gunanya, maka tentu keberadaan STABN Sriwijaya sudah tidak ada artinya.
Bagi generasi muda, katakan saja wisudawan srata satu, yang dengan
penuh antusias menatap masa depan berbekal kesarjanaannya, apa jadinya jika
diarahkan dan ditanamkan bahwa hidup itu dicengkeram dukkha. Walau pun saat
ini gagah perkasa, karena masih muda, tetapi waspadalah karena dalam waktu
relatif cepat, wisudawan akan berubah menjadi tua, sakit, dan akhirnya mati.
Sekarang gembira, bahagia karena diwisuda sebagai sarjana, tetapi ingatlah bahwa
hidup itu dicengkram penderitaan maka kebahagiaan ini akan segera lenyap tanpa
bekas. Jika arahan ini yang ditanamkan pada wisudawan, bagaimana mungkin
mereka siap terjun ke masyarakat untuk mengawali kehidupan mandirinya? Oh...
sungguh mengerikan kalau membayangkan bahwa “hidup ini adalah penderitaan”
62
(Tigris, 1998: 4). Kalau demikian adanya tidak mengherankan image betapa sukar
dan mengerikannya menjadi umat Buddha.
Walaupun semua umat Buddha paham bahwa hidup adalah penderitaan
tetapi tidak ada seorang pun umat Buddha yang ingin hidup menderita. Apakah
dengan menyatakan bahwa hidup adalah penderitaan dapat diartikan Buddha salah
mengajar? Penulis sangat yakin, ajaran Buddha sesuai dengan fakta kehidupan.
Validitas Dharma tergolong kebenaran absolut yang berlaku di mana saja, kapan
saja, dan meliputi semua orang, baik orang yang percaya atau orang yang tidak
percaya. Semakin memahami cara kerja pikiran, penulis semakin takjub akan
kepiawaian Buddha dalam membabarkan ajaran-Nya. Penulis yakin sepenuhnya
bahwa Buddha memang guru para dewa dan manusia, satthā devamanussānam.
Pembimbing tiada bandingnya. Buddha membabarkan Dharma, yang indah pada
awalnya, indah di pertengahan, dan indah pada akhirnya ini, demi kebahagiaan
umat manusia dan para dewata.
Dharma yang dibabarkan sesuai kebutuhan masing-masing pendengar.
Bahkan saat membabarkan suatu topik Dharma, semua makhluk pendengar, dewa
ataupun manusia, yang terlihat maupun yang tidak terlihat, secara bersamaan
dapat menyelami ajaran Buddha tersebut sesuai tingkat kesadaran spriritual
(kesucian) masing-masing. Mereka yang masih diliputi sedikit kebodohan batin,
serta merta tercerahkan. Mereka yang telah mencapai tingkat kesucian tertentu
seketika semakin meningkat kesuciannya. Bagi yang kesadaran batinnya sudah
cukup tinggi, banyak pula yang mencapai kesucian Arahat.
Namun jika ajaran bahwa hidup ini adalah penderitaan, yang dibabarkan
dharmaduta secara tidak sengaja karena kurang memaknai kata dukkha dengan
63
luas dan mendalam, karena tidak tahu dampak negatif penggunaannya, dan
dipublikasikan oleh pihak non-Buddhis secara sistematis dan massif untuk
mendiskreditkan agama Buddha, kemudian ditawarkan kepada khalayak di zaman
instan ini, sudah bisa diperkirakan agama wahyu jauh lebih menawan hati.
Apalagi konsumennya orang lanjut usia dan generasi muda. Hal ini dikarenakan
orang lanjut usia, tatkala kondisi fisik dan mental melemah, tentu akan dengan
mudah termakan janji-janji keselamatan instan walaupun, menurut ajaran Buddha,
surga itu masih dicengkram jeratan samsara. Namun kenyataannya orang banyak
begitu mendambakan masuk surga. Tidak terbayangkan mengapa begitu banyak
orang meyakini akan masuk surga dan mendapatkan 72 bidadari dengan cara
membunuh sebanyak-banyak orang tidak berdosa yang tidak dikenalnya dengan
meledakkan bom bunuh diri sekalipun tubuhnya hancur berkeping-keping.
4.2.3 Pembabaran Dharma Sesuai Cara Kerja Pikiran
Studi kasus life hystory yang dilakukan Ernest Rossi, dari Amerika Serikat,
membuktikan bagaimana kekuatan pikiran positif mampu mengalahkan tumor
ganas akut nara sumber yang bernama Mr. Wright. Penelitian Ernest Rossi tentang
kesembuhan terhadap penyakit mematikan lymphosarcoma yaitu tumor ganas
pada kelenjar getah bening dikarenakan kekuatan keyakinan terhadap suatu obat
“palsu” diberi judul “Plasebo, Dokter yang Di Dalam Diri” dipublikasikan melalui
buku yang ditulisnya The Psychobiology of MindBody Healing (dalam Gunawan,
2012b).
Mr. Wright adalah seorang penderita tumor ganas pada kelenjar getah
bening (lymphosarcoma). Juga ada tumor sebesar buah jeruk di leher, ketiak,
lipatan paha, dada, dan perut. Limpa dan hati Mr. Wright mengalami
64
pembengkakan secara masif. Setiap hari dari dadanya harus disedot keluar cairan
berwarna putih seperti susu sekitar satu hingga dua liter. Ia harus sering bernapas
dengan bantuan tabung oksigen. Kondisi Mr. Wright sudah sangat parah sehingga
dokter memperkirakan ia hanya bisa bertahan beberapa hari lagi.
Namun Mr. Wright tetap semangat dan berharap bisa sembuh karena ia
membaca di koran bahwa ada obat baru yang sangat ampuh, namanya Krebiozen,
yang saat itu sedang diujicobakan kepada pasien kanker. Mr. Wright mendengar
bahwa American Medical Association (AMA) telah memilih rumah sakit tempat
ia berobat sebagai salah satu dari seratus rumah sakit yang menjalankan uji coba
ini. Ia sangat berharap bisa mendapat kesempatan mencoba obat baru ini. Mr.
Wright tidak bisa ikut dalam program ini karena salah satu syaratnya adalah
pasien harus punya harapan hidup minimal tiga bulan dan lebih diutamakan yang
enam bulan. Namun ia bersikeras dan memohon-mohon kepada dokternya untuk
bisa mendapat obat yang ia yakini dapat menyembuhkannya. Sekedar untuk
menyenangkan hati pasiennya, yang masa hidupnya tinggal beberapa hari lagi,
dokter akhirnya mengizinkan Mr. Wright mendapat suntikan Krebiozen. Suntikan
pertamanya di hari Jumat dan dokternya baru kembali ke rumah sakit lagi hari
Senin. Saat kembali ke rumah sakit, dokter memperkirakan Mr. Wright pasti
sudah meninggal dunia.
Namun di luar perkiraan dokter, ternyata Mr. Wright yang di hari Jumat
masih sangat parah kondisinya, sangat sulit bernapas, dan tidak bisa bangun dari
tempat tidur, ternyata di hari Senin sudah segar bugar, bisa berjalan, berbicara,
dan bersenda gurau dengan para perawat. Penasaran dengan hal ini, dokternya
segera memeriksa para pasien lain yang juga mendapat suntikan Krebiozen.
65
Ternyata pasien lainnya sama sekali tidak mengalami perubahan. Perubahan
signifikan hanya dialami oleh Mr. Wright. Dalam waktu hanya beberapa hari,
tumornya telah mengecil menjadi setengahnya. Ini tentu satu kejadian luar biasa
karena Mr. Wright tidak mendapat obat lain selain Krebiozen. Suntikan terus
diberikan sebanyak tiga kali seminggu. Dalam waktu sepuluh hari Mr. Wright
dinyatakan sembuh total. Semua indikasi tumor ganas di tubuhnya hilang tak
berbekas. Ia bahkan dapat naik pesawat dan terbang di ketinggian 30.000 kaki
dengan nyaman.
Ini adalah perkembangan positif yang terjadi di awal uji coba Krebiozen.
Namun dalam waktu dua bulan kemudian muncul berbagai laporan di media
massa bahwa Krebiozen sama sekali tidak efektif karena semua uji klinis yang
telah dilakukan sama sekali tidak membuahkan hasil. Mr. Wright membaca berita
itu dan mulai bingung. Ia mulai ragu dengan hasil yang telah ia capai dengan
menggunakan Krebiozen. Setelah dua bulan berada dalam kondisi tubuh yang
sehat dan kuat, ia sakit lagi dan kembali ke kondisi seperti sebelumnya dan harus
masuk rumah sakit lagi.
Kali ini dokter yang merawatnya, yang mulai memahami pengaruh pikiran
dan pengharapan, lebih tepatnya keyakinan dan emosi, melakukan eksperimen
dengan berkata pada Mr. Wright, “Apa yang Anda alami adalah hal yang normal.
Obat yang Anda dapatkan sebelumnya adalah obat yang masih diujicoba. Sudah
tentu pengaruh obat ini hanya bisa bertahan beberapa bulan. Sekarang ada
Krebiozen generasi berikutnya yang sudah disempurnakan dan benar-benar dapat
menyembuhkan secara permanen.” Mendengar hal itu, Mr. Wright kembali
bersemangat dan dengan penuh harap meminta dokternya untuk memberikan obat
66
Krebiozen generasi baru kepadanya. Dokternya mengatakan bahwa mereka sudah
memesan obat baru itu dan dalam beberapa hari lagi akan tiba di rumah sakit.
Sebenarnya si dokter sengaja mengulur waktu agar keyakinan, pengharapan, dan
optimisme Mr. Wright bisa kembali tumbuh dengan kuat.
Beberapa hari kemudian, dokter menyampaikan bahwa obat yang dinanti
telah tiba. Mr. Wright sangat antusias, senang, dan bersemangat. Dokter lalu
menyuntikkan obat Krebiozen generasi baru, yang sebenarnya adalah air, hanya
air tanpa diberi tambahan apa pun. Hasilnya sungguh luar biasa! Sama seperti
sebelumnya, hanya dalam beberapa hari kondisi Mr. Wright kembali pulih
sepenuhnya. Semua gejala penyakit yang sebelumnya tampak di tubuhnya hilang
tak berbekas. Mr. Wright tetap sehat selama dua bulan sampai ia membaca di
media massa laporan final mengenai uji coba Krebiozen untuk mengobati kanker
yang dilakukan secara nasional. AMA menyatakan bahwa Krebiozen sama sekali
tidak efektif mengobati kanker. Setelah membaca laporan ini, hanya dalam
beberapa hari saja, ia kembali masuk rumah sakit dengan kondisi yang sangat
parah dan dua hari kemudia ia meninggal.
Dari riset Beecher dan peneliti lainnya kini diketahui bahwa pengobatan
mempunyai efek plasebo sebesar 35%, yang berarti bahwa pikiran positif dan
pengharapan, bukan karena pengaruh obat, memberikan kontribusi kesembuhan
hingga 35%. Efek plasebo sebesar 35% ini adalah angka yang konservatif. Bahkan
pada beberapa kasus tingkat keberhasilannya mencapai 80%. Riset juga
menemukan bahwa respon terapeutik yang konsisten rata-rata 55%, karena efek
plasebo berlaku untuk semua obat analgesi yang diteliti. Dengan kata lain, 55%
dari efektivitas obat penghilang rasa sakit adalah hasil dari efek plasebo. Norman
67
Cousin dengan sangat jelas mengatakan. “The Placebo is the doctor who resides
within”, atau “Placebo adalah dokter yang ada di dalam diri”.
Buddha lebih dari 2.600 tahun yang lampau mengajarkan bahwa segala
keadaan ditentukan oleh pikiran, dijadikan oleh pikiran. Selanjutnya, pada
Saṁyutta Nikāya, Citta Sutta (dalam Mehm, 2011: 89) Buddha menyatakan
bahwa cittena nīyati loko, cittena parikassati, cittasa ekadhammassa, sabbe
vavasamanva gūīti (pikiran memimpin dunia, pikiran menarik segala sesuatu
untuk mengikutinya, segala sesuatu harus mengikuti keinginan dari satu hal yaitu
pikiran). Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk. Oleh karena itu pikiran mengendalikan tindakan,
tingkah laku, pemikiran, perasaan, pencerapan, dan pertimbangan manusia.
Pikiran adalah kekuatan paling utama dan penting untuk dimiliki setiap orang.
Maka dengan sendirinya hal terpenting dalam hidup setiap orang adalah pikiran.
Dengan dan melalui kekuatan pikiran, manusia menciptakan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
Para neurosains (ahli tentang otak) menyimpulkan apa yang terjadi di otak
sangat berpengaruh pada apa yang dipikirkan dan dirasakan orang. Penyakit dan
luka di otak dapat menyebabkan rasa marah, sedih, dan putus asa. Adalah Richard
Davidson, profesor psikiatri di Universitas Wisconsin, menunjukkan kebalikannya
juga benar: pikiran dapat mengubah cara kerja otak (Simpson, 44). Elfiky (2011:
10) juga menyatakan bahwa berpikir melahirkan pengetahuan, pemahaman, nilai,
keyakinan, dan prinsip. Pikiran menjadi titik tolak bagi tujuan dan mimpi-mimpi.
Ia menjadi referensi rasional dalam eksperimentasi, perjalanan hidup, pemaknaan,
serta cara memahami kebahagiaan dan pendertiaan. Sesungguhnya pikiranlah
68
yang memerintah dunia. Pikiran adalah penyebab utama dari sesuatu. Pikiran
bahagia membuat orang bahagia dan pikiran derita membuat orang menderita.
Tidak ada seorangpun yang berkeingingan hidup dalam keadaan menderita
bahkan umat Buddha yang menyadari kebenaran hukum ketidakkekalan. Lebih
dari 2.000 umat Buddha yang penulis tanya tetap saja mendambakan kebahagiaan.
Hal ini tampak nyata dari “doa” yang biasa dipanjatkan umat Buddha yaitu doa
diakhiri dengan kalimat Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta yang artinya “Semoga
Semua Makhluk Berbahagia”. Kalimat ini mempunyai arti dan makna tersurat
maupun tersirat sangat luas dan mendalam. Selain mengandung nilai cinta kasih
dan kasih sayang yang sangat dalam kepada semua makhluk dan menyadari
bahwa dalam menjalani kehidupan ini umat Buddha tidak bisa berbahagia seorang
diri, umat Buddha berharap semoga semua makhluk dapat hidup berbahagia.
“Doa” ini sejatinya merupakan harapan bahkan keinginan yang paling dalam dari
umat Buddha yaitu agar semua makhluk, tentu saja termasuk dirinya sendiri, dapat
hidup bahagia. Semua orang, termasuk umat Buddha, dalam lubuk hatinya yang
paling dalam menyatakan ingin hidup bahagia bahkan kebahagiaan itu adalah
tujuan hidup semua orang. Semua manusia pada umumnya mencari kebahagiaan,
maka dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup semua manusia
(Widya, 2010: 1). Maka dengan fungsi dan peranan pikiran yang sangat besar bagi
kehidupan manusia dengan sendirinya sudah menjadi keharusan bagi dharmaduta
untuk membabarkan Dharma sesuai dengan pola pikir alami setiap orang yaitu
keinginan untuk hidup bahagia dalam menjalani kehidupan ini. Suatu ajaran yang
tidak sesuai dengan pola pikir manusia pada umumnya, perlahan namun pasti
akan menjurus kepada kepunahan.
69
4.2.4 Efektifitas Menetralisir Keyakinan Negatif dengan Hipnoterapi
Permasalahan yang dialami Aida (bukan nama sebenarnya) menunjukkan
bagaimana hipnosis dapat dengan mudah membantu nara sumber yang alergi obat
selama 30 tahun karena keyakinan yang ditanamkan ayahnya. Studi kasus life
hystory tentang Aida diinformasikan dalam Santosa (2016: 79-82). Nara sumber
mengetahui dirinya alergi terhadap semua obat pabrik mulai dari parasetamol,
obat mag, hingga segala jenis antibiotik sejak berusia 4 tahun. Awalnya, Aida
kecil dibawa ke dokter karena panas tinggi. Dia diberi antibiotik dan obat penurun
panas. Beberapa saat setelah minum obat, timbul ruam merah di seluruh tubuh,
gatal, dan sesak napas. Setelah diperiksa oleh dokter spesialis kulit, Aida
dinyatakan menderita hipersensitivitas atau reaksi alergi terhadap beberapa obat.
Sebulan kemudian dilakukan tes alergi, dan hasil laboratorium menunjukkan
bahwa dia mengalami reaksi alergi hampir pada semua jenis obat kimia.
Alergi obat adalah reaksi alergi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi
secara berlebihan (abnormal) terhadap obat yang dikonsumsi. Dalam kondisi
tertentu, kondisi ini dapat berpotensi mengancam keselematan jiwa, yang dalam
dunia medis dikenal dengan sebutan reaksi anafilaksis; reaksi alergi obat paling
serius dan merupakan keadaan darurat medis, sehingga pasien harus dibawa ke
UGD (unit gawat darurat) untuk mendapatkan pertolongan.
Pernah suatu ketika Aida makan seafood dan menunjukkan tanda alergi.
Saat diberi obat terjadi reaksi anafilaksis yang ditandai deman, timbul ruam
merah, dan sesak napas. Akhirnya Aida dilarikan ke rumah sakit. Karena Aida
alergi terhadap semua macam obat termasuk obat anti-alergi, Aida hanya men-
dapatkan infus untuk menormalkan kondisi kesehatannya.
70
Selama ini Aida menjalani terapi akupunktur dan nutritional therapy, dan
hasilnya hanya bisa bertahan sementara. Bila ibu berusia 34 tahun ini meminum
obat atau makanan yang bersifat alergen, secara spontan tubuhnya alergi lagi.
Membaca informasi bahwa alergi bisa disebabkan oleh aktivitas psikis, Aida men-
coba melakukan terapi causative. Ada dua macam terapi, yaitu yang bersifat
symptomatic yaitu terapi dilakukan untuk menekan symptom (gejala) dan terapi
causative yang mencari akar masalah kemudian menuntaskannya sehingga pasien
mengalami kesembuhan lebih stabil.
Saat ini Aida sedang mengandung anak ketiga. Sejak mengandung anak
pertama ia tak pernah minum obat, dan syukurlah kedua anaknya lahir normal.
Dan yang lebih istimewa lagi, selama kehamilannya Aida tidak minum obat kimia
apa pun, bahkan vitamin pun tidak. Saat ini karena usia dan kondisi tubuh lelah
akibat sibuk bekerja di kantor, Aida merasa lemas dan mual. Ketika diberi obat
mual oleh dokter kandungan, Aida kembali mengalami reaksi alergi; ditandai
dengan keluarnya ruam merah, gatal, dan sedikit sesak napas. Padahal obat mual
yang dikonsumsi Aida umumya tidak menimbulkan reaksi alergi. Kondisi ini
membuat Aida mengkhawatirkan kehamilannya. Dengan tubuh tidak seprima dulu
ia memikirkan berbagai cara untuk terlepas dari cengkeraman alergi obat secara
tuntas. Ia rajin melakukan yoga supaya tubuhnya semakin kuat dan dapat
mengontrol reaksi alergi utamanya. Metode meditasi yang diajarkan telah sangat
membantu.
Kemajuan yang dicapai melalui yoga dan meditasi membuat Aida me-
nyimpulkan bahwa apabila ia mampu mengarahkan pikirannya pada sesuatu yang
baik, perasaan damai, dan penuh syukur, berangsur-angsur alergi bisa dikurangi.
71
Setelah mendapat penjelasan tentang metode respons relaksasi, yang merupakan
salah satu cara yang memberikan hasil signifikan untuk mengatasi penyakit
psikosomatis (penyakit pada fisik karena pengaruh pikiran), Aida memutuskan
untuk menjalani hipnoterapi. Ini sejalan dengan tujuannya semula, yaitu ingin
menjalani causative therapy.
Dengan teknik hipnoterapi tertentu, setelah mencapai kondisi relaksasi
pikiran yang dalam, pikiran bawah sadar Aida memberikan informasi bahwa saat
Aida berusia tiga tahun ayahnya berkata obat herbal yang alami jauh lebih baik
daripada obat kimia, yaitu obat buatan manusia yang diproduksi pabrik. Pesan ini
terus diberikan oleh ayah Aida sehingga tanpa disadari diterima sebagai suatu
keyakinan dan menjadi program di pikiran bawah sadar Aida. Informasi ini
diterima Aida saat berusia 3 tahun dimana critical factor masih sangat mudah
ditembus. Apalagi sugesti tersebut diberikan oleh ayah, yang merupakan figur
otoritas bagi Aida. Ditambah lagi pembuktian laboratorium dan ucapan dokter
saat Aida berusia empat tahun. Tak ayal lagi program penolakan terhadap obat
kimia ini tertancap sangat kuat di pikiran bawah sadar Aida. Dengan teknik terapi
tertentu, dilakukan uninstall pada program pikiran yang telah tertanam di pikiran
bawah sadar Aida. Dua minggu setelah terapi, Aida mengabari bahwa saat ini
sudah tidak timbul reaksi alergi tatkala minum obat mual yang diberikan dokter
kandungan untuk menekan efek ngidam yang sedang dialaminya.
Pengalaman Aida ini sangat berharga bagi para orangtua yang memiliki
otoritas tinggi bagi anak supaya berhati-hati bicara kepada anak-anak saat usia di
bawah 13 tahun. Pada masa-masa ini, critical factor yang menjadi filter pikiran
bawah sadar anak masih belum kuat. Para orangtua, guru, dan dharmaduta agar
72
selektif memilih program bagi anak, karena akan memengaruhi hidup mereka
hingga ada program lain yang lebih kuat. Semua sikap, kebiasaan, perilaku, dan
pola pikir seseorang merupakan hasil “pemrograman” bawah sadar dari orangtua,
guru, dharmaduta, teman sebaya, rekan kerja, televisi, media sosial, dan berbagai
macam nara sumber lainnya. Pemrograman yang terus menerus pada akhirnya
mendapat persetujuan kemudian merasuk ke pikiran bawah sadar menjadi
keyakinan. Keyakinan yang terbentuk akan sulit diubah karena bagian dari pikiran
bawah sadar yang disebut homeostasis cenderung menolak perubahan, dan
semakin mencoba memaksakan perubahan, penolakannya semakin besar. Untuk
menjangkau sumber penolakan yang berada pada pikiran bawah sadar, tidak
mungkin dilakukan pada tataran pikiran sadar.
Sejak tahun 1990-an, penelitian tentang fungsi dan cara kerja otak manusia
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Namun sampai saat ini, dapat
dikatakan bahwa hipnosislah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat secara
sengaja membawa orang untuk masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya dan
menemukan ISE (Initial Sensitizing Event) yaitu pertama kali trauma muncul
dalam kehidupan nara sumber. ISE umumnya terjadi ketika nara sumber masih
kecil, terkadang saat masih berada dalam kandungan, bahkan tak tidak jarang
terjadi pada kehidupan yang lalu. Dengan menelusuri kedalaman pikiran bawah
sadar seseorang, hipnoterapis dapat menggali memori jangka panjang dan
mendalami apa yang menjadi sebab atau awal terjadinya trauma pada seseorang.
Terapi berbasis hipnosis merupakan salah satu cara yang sangat mudah, cepat,
efektif, dan efisein dalam menjangkau pikiran bawah sadar, melakukan re-
edukasi, dan memrogram ulang pikiran yang terkontaminasi keyakinan negatif.
73
4.2.5 Strategi Baru Dharmaduta dalam Pembabaran Dharma
Studi kasus life hystory pada seorang klien penulis, sebut saja Dewi,
membuktikan bagaimana “ajaran” orangtua sebagai salah satu figur pemilik
otoritas tinggi di mata anak, membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan
anaknya. Dewi adalah seorang mahasiswa dari sebuah sekolah tinggi Buddhis di
daerah Tangerang berasal dari kota penyangga Jakarta berusia 20 tahun. Dewi
anak ke dua dari lima bersaudara. Dewi tidak bergairah mengikuti kuliah apalagi
mengerjakan tugas-tugas dosen. Sahabat laki-laki Dewi sering memperhatikan
Dewi yang sehari-hari memisahkan diri dari kawan-kawan se asramanya untuk
berdiam diri. Dewi beragama “Buddha” sebatas tertulis di KTP dan menurut
pengakuan kepada almamater dan kawan-kawannya. Sehari-hari Dewi dipenuhi
kemarahan, perasan terluka, sakit hati, tersinggung, kesepian, sedih, merasa tidak
mampu keluar dari masalah, merasa tidak berharga, merasa kecil, merasa tidak
diinginkan, dan merasa bersalah. Perasaan-perasaan tersebut membuat Dewi
menjadi emosional, mudah tersinggung bila berhadapan dengan orang lain, dan
depresi. Dewi merasa dia bukan Dewi yang dulu. Dia sudah menjadi orang lain
yang dia sendiri tidak mengenalnya.
Ayah Dewi, beragama Kristen, sedang ibu beragama Buddha. Dewi sendiri
sejak kecil mengaku beragama Kristen Protestan karena orangtuanya menikah
secara Kristen. Semua berjalan normal layaknya sebuah keluarga. Kehidupan
keluarga tergolong kecukupan karena ayah bekerja di bagian personalia. Ibu Dewi
mempunyai kebiasaan sulit tidur jika ada keluarga yang belum pulang. Hingga
suatu hari Ibu Dewi mendapatkan suaminya pulang dalam keadaan mabuk dengan
74
tubuh tercium aroma parfum perempuan. Inilah pemicu retaknya hubungan suami
istri orangtua Dewi.
Kondisi keluarga diperparah dengan situasi kantor. Di kantor terjadi
korupsi berjamaah namun ayah Dewi yang harus menanggung semua akibatnya.
Sejak saat itu ekonomi keluarga hancur total. Mereka tidak punya rumah sendiri.
Ibu berkerja keras untuk menutup biaya keluarga dengan mengambil cucian
sementara Ayah tidak pernah bekerja tetap juga tidak peduli pada keluarga. Ayah
menyewa mobil dengan biaya sangat besar, Rp.3.000.000,- per bulan, hanya
dipakai untuk jalan-jalan dengan perempuan lain.
Sampai pada suatu hari, saat Dewi menginjak SMP, papa ribut keras
dengan mama. Takut bercampur sedih, Dewi langsung mengunci diri di kamar
tidurnya sambil menangis pilu. Sejak itu ayah sering emosional sehingga kurang
berkomunikasi dengan anak-anaknya bahkan sering menggunakan kekerasan
menjadikan hubungan Dewi dengan ayah menjadi kaku. Namun ayah tidak pernah
menggunakan kekerasan pada ibu. Sebagai pelarian, Dewi sering ke gereja secara
diam-diam, tetapi Ibu suka menjelek-jelekan agama Kristen, katanya: “Lihat tuh,
orang Kristen kalau ke gereja suka hura-hura. Kamu jangan jadi agama Kristen.
Kalau nanti menikah juga jangan menikah dengan orang Kristen karena orang
Kristen suka main perempuan.” Untuk tidak mengecewakan ibu, Dewi “menjadi”
pemeluk agama Buddha.
Agar dapat menjadi umat Buddha, Dewi kuliah di sekolah tinggi agama
Buddha dan oleh karenanya Dewi berada di lingkungan Buddhis. Namun sejak
menjadi penganut agama Buddha, Dewi merasa kesepian, menjadi terlalu perasa,
sulit mengontrol emosi, dan menganggap orang-orang benci kepadanya. Dewi
75
merasa bagaikan orang yang terdampar seorang diri di tengah lautan ganas tanpa
ada orang yang mau menolongnya. Orang-orang di sekelilingnya hanya menonton
saja. Dewi merasakan bahwa dia bukan Dewi yang dulu. Dia Dewi yang lain yang
bahkan dia sendiri tidak mengenalnya. Dewi rindu seperti Dewi dulu sewaktu
menghadapi ujian nasional SMA di tahun 2011.
Saat berdoa subuh, Dewi menyerahkan sepenuhnya masalah hidupnya
kepada Yesus Kristus. Dewi pasrah namun dengan penuh harapan datangnya
pertolongan. Dan ternyata pertolongan itu benar-benar ada. Sangat terasa seperti
ada tangan kokoh yang meraihnya dari penderitaan membuat Dewi merasa tidak
ada beban, damai, ringan rasa, plong sehingga menjalani UN terasa mudah.
Namun untuk tidak mengecewakan ibu-nya, Dewi tetap menjadi umat Buddha.
Menurut apa yang Dewi pahami, Buddha mengajarkan bahwa hidup dan
terlahir sebagai manusia adalah penderitaan. Semua penderitaan Dewi adalah hasil
perbuatan Dewi sendiri yang harus ditanggungnya. Buddha tidak bisa menolong
apapun karena satu-satunya yang bisa menolong Dewi adalah dirinya sendiri.
Pengertian Dewi terhadap ajaran Buddha yang demikian ini menjadikannya rindu
untuk menemukan kembali “jati dirinya” yang dulu yang terasa ringan penuh
harapan ketika beragama Kristen.
Semua orang tanpa terkecuali jika dirunut sampai ke ujungnya, pasti
mendambakan hidup bahagia. Namun, sebagaimana diketahui, belief keliru bahwa
Buddha mengajarkan hidup adalah penderitaan dan diperkuat bahwa Buddha tidak
bisa menolong orang yang menderita mengingat hanya diri sendiri yang dapat
menolong diri sendiri, akan membawa umat Buddha mengalami penderitaan
sepanjang hidupnya, paling tidak selama belief tersebut tidak diubah.
76
Elfiky (2011: 149-150) menyatakan bahwa sejatinya belief negatif lebih
berbahaya daripada yang dapat dibayangkan. Ia merangkai hidup ini menjadi mata
rantai penderitaan, perasaan negatif, perilaku negatif, dan hasil yang negatif
seperti sakit jiwa, sakit fisik, kesepian, dan ketakutan. Namun perlu disadari
bahwa manusia bukan terdiri dari belief saja. Manusia lebih dari sekedar
sekumpulan belief. Saat dilahirkan manusia belum mempunyai belief karena belief
adalah apa yang dipelajari sejak masih kecil hingga saat ini dan diyakini sebagai
hal yang benar. Karena belief adalah sesuatu yang dipelajari, maka belief itu bisa
diubah, diganti, dimodifikasi, atau bahkan ditanggalkan (Gunawan, 2008; 136).
Jika melakukan hal yang sama, maka hasilnya juga akan sama. Perubahan
tidak akan pernah terjadi sampai penyebabnya diubah. Tetapi memang untuk
berubah adalah sesuatu yang tidak mudah. Karena pada manusia terdapat apa
yang dinamakan homeostasis. Homeostasis ini sesungguhnya bertujuan baik yaitu
menjaga dan melindungi agar orang tidak mudah berubah akibat pengaruh orang
lain atau lingkungan yang tidak diinginkan. Namun homeostasis juga menjadi
penghambat perubahan saat seseorang ingin merubah diri ke arah yang lebih baik.
Setiap perubahan yang akan dilakukan pasti mendapat perlawanan dari
homeostasis. Besarnya perlawanan untuk berubah dapat diukur dengan merasakan
intensitas perasaan tidak nyaman yang muncul saat proses perubahan akan
dilaksanakan atau sedang berlangsung (Gunawan, 2008: 20).
Pertanyaannya adalah apakah bisa merubah belief umat Buddha? Dan
kalau toh bisa, apakah perubahan belief dari hidup sebagai manusia adalah
penderitaan menjadi hidup sebagai manusia adalah kemuliaan menyimpang dari
kebenaran Dharma? Penulis berkeyakinan sangat kuat bahwa sangat mungkin dan
77
amat bisa untuk merubah belief atau keyakinan atau lebih tepat lagi pola pikir
umat Buddha. Syahril Syam, rekan sejawat penulis dari Makassar, dalam bukunya
yang luar biasa: The Secret of Attractor Factor: Mengetahui Rahasia Law of
Attraction untuk Mendapatkan Apapun yang Anda Inginkan, menyatakan bahwa:
Pola pikir adalah produk dari pengulangan. Oleh sebab itu berpikir bukan-
lah sesuatu yang tidak dapat diubah seperti warna mata. Inilah perbedaan
antara “ciri dan kondisi”. Warna mata adalah ciri genetik. Cara Anda
berpikir adalah kondisi seperti kondisi pikiran yang terjadi secara
temporer, yang dibentuk, dapat dikendalikan, dapat diubah, dan bahkan
dapat diprogram.
Y.M. Achan Chah (1994: 7) mengatakan bahwa cara untuk mengetahui
tentang segala sesuatu secara bijaksana adalah dengan melepaskan dan tidak
menderita karenanya. Merubah pola pikir tidak berarti kita mengabaikan ajaran
Buddha, bukan berarti kita menyangkal fakta kehidupan sebagaimana yang
ditunjukkan Buddha yang begitu nyata dan tak terbantahkan. Merubah pola pikir
adalah merubah cara kita merespon setiap kondisi kehidupan yang kita alami
dengan pikiran positip guna memetik manfaat sebesar-besarnya dari keberhasilan
kita terlahir sebagai manusia.
Untuk merubah pola pikir umat Buddha, peranan orang yang dianggap
mempunyai otoritas tinggi memegang peranan kunci. Tidak bisa tidak, perubahan
pola pikir umat Buddha harus dilakukan secara sadar, berulang-ulang, sistimatis,
dan dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas tinggi di mata umat Buddha
yaitu; para pembabar Dharma yang terdiri dari anggota Sangha dan Dharmaduta.
Tentu saja untuk dapat merubah pola pikir, dharmaduta harus meyakini bahwa
perubahan pola pikir ini selain tidak bertentangan, justru sejalan dengan ajaran
Buddha seperti dinyatakan Y.M. Achan Chah (1994: 2 dan 4) bahwa Sang
Buddha mengajarkan hanya tubuhlah yang boleh terpenjara, tetapi jangan
78
membiarkan pikiran ikut terpenjara. Buddha berpendapat bahwa walaupun
kehidupan jasmani pasti terkait dengan derita fisik, derita seperti ini tak perlu
memicu reaksi emosional seperti ketakutan, kesengsaraan, kebencian, dan tekanan
batin yang biasanya merupakan tanggapan terhadapnya (Bodhi, 2010: 7).
Dharmaduta wajib memahami bahwa Buddha mengajarkan bukan hanya
jalan menuju pembebasan akhir nan agung, kebahagiaan sempurna Nibbana,
namun juga jalan menuju berbagai jenis kebahagiaan duniawi lainnya yang baik,
yang didambakan manusia, jalan yang memungkinkan bagi setiap orang untuk
menanam akar yang baik guna menghasilkan ketenangan, kedamaian, dan keba-
hagiaan dalam dimensi duniawi pada kehidupan sekarang ini (Bodhi, 2010: 40).
Dharmaduta wajib menghayati bahwa Buddha Dharma adalah panduan bagi umat
Buddha untuk menjalani kehidupan sehari-hari dalam memelihara keluarga,
menjalani bisnis, dan berinteraksi dengan masyarakat (Lee, 2010: 10). Oleh
karenanya, dengan memeluk agama Buddha, seseorang dapat berbuat kebajikan
yang baik, benar, dan berguna untuk memperoleh hidup tenang, damai, dan
kebahagiaan hidup duniawi pada kehidupan saat ini juga.
Siapa yang dilahirkan, saat tiba waktunya, pasti akan mati. Percaya atau
tidak, apapun belief-nya, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kematian akan
menjemput setiap orang. Namun selang waktu yang tersedia antara suatu
kelahiran sampai kematian, alih-alih larut dalam kekecewaan, ketidakpuasan,
kecemasan, ketakutan, dan penderitaan, jauh lebih bijaksana dan bermanfaat
sebagaimana pernyataan Raja Pasenadi dari Kosala kepada Buddha: “Selagi
penuaan dan kematian tengah menuju diri saya, Bhante, apa lagi yang harus
79
dilakukan selain hidup sesuai dengan Dhamma, hidup dengan benar, dan
melakukan perbuatan baik dan berjasa?” (Bodhi, 2010: 16).
Dharmaduta harus memahami bahwa konsep ajaran yang meyakini “hidup
adalah penderitaan” tanpa penjelasan yang rinci, lengkap, dan memuaskan akan
membawa hidup umat Buddha menderita, yang pada akhirnya, mengancam
eksistensi agama Buddha. Dharmaduta harus memahami bahwa kebanyakan orang
sangat berminat pada bagaimana menemukan lebih banyak kebahagiaan di tengah
berbagai masalah yang umum dalam kehidupan (Ajahn Bram, 2009: 78-80).
Buddha banyak mengajarkan tentang cara untuk mencapai kebahagiaan, salah
satunya, terdapat pada Dhammapada Bab IX: 118:
Apabila seseorang melakukan perbuatan baik, hendaknya ia mengulangi
perbuatan baik tersebut. Ia akan merasa berbahagia dengan perbuatan
baiknya karena kebaikan akan membawa kebahagiaan. (Widya, 2010: 10)
Ajahn Bran, yang lahir dan dididik sebagai seorang Kristen, tetapi ketika
kali pertama membaca buku tentang Buddhisme, saat berusia 16 tahun, Ajahn
Bram mendadak tahu bahwa Beliau adalah seorang Buddhis. Ajahn Bram
tergugah oleh welas asih, kebijaksanaan, dan kebebasan yang bersinar lebih
cemerlang di dalam ajaran Buddha daripada di dalam ajaran mana pun yang
pernah dijumpai sebelumnya. Menurut Ajahn Bram, pengalaman serupa dengan
pengalaman yang dialaminya itu telah berulang ratusan ribu kali, dalam hidup
orang-orang di abad 21 ini. Tatkala orang awam di negara-negara non-Buddhis
bertemu dengan ajaran murni Buddhisme, yang disajikan dengan tatacara yang
jelas dan andal, maka mereka dengan cepat akan mengenalinya sebagai yang
paling semerbak dari semua jalan, dan yang terbaik dari semua agama. Mereka
80
hanya heran mengapa kebijaksanaan yang begitu membebaskan seperti itu tidak
diusahakan untuk dikenal lebih luas.
Ajahn Bram meneliti mengapa Buddhisme tumbuh begitu baiknya di
Barat. Ajahn Bram menggunakan akronim „P-U-R-E” yang berisi strategi baru
empat kunci yang telah membantu meningkatkan penyebarluasan Buddhisme.
Terkait pertanyaan penelitian ini, penulis menyajikan strategi pertama yang diberi
nama presentationc (penyajian). Guna menghindari kesalahpengertian, Ajahn
Bram mengurutkan kembali ajaran tentang Empat Kebenaran Mulia sebagai:
Kebahagiaan (Dukkhanirodho); Sebab Kebahagiaan (Jalan Berfaktor Delapan);
Tiadanya Kebahagiaan (Dukkha); dan Sebab Tiadanya Kebahagiaan (Nafsu).
Urutan ini akan menggeser strategi pembabaran dharma dari fokus penderitaan
menjadi fokus pada kebahagiaan. Ini adalah sebuah pengemasan ulang Dharma
secara sederhana yang tetap mempertahankan esensinya sembari menjadi lebih
menarik bagi pemirsa modern. Hal ini dibenarkan oleh pernyataan Buddha bahwa
“Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi” (Dhammapada 203,204).
Ketika menyajikan Empat Kebenaran Mulia dengan cara seperti itu, Ajahn
Bram dapati semua generasi menyimak dan datang untuk mendengarkan Dharma.
Menurut Ajahn Bram, jika ingin ajaran luar biasa Buddhisme menjangkau
generasi modern, maka ajaran itu perlu disajikan dengan cara yang modern pula.
Bukan berarti esensi Dharma-nya perlu diubah, tetapi penyajiaannya yang perlu
disesuaikan terus menerus. Generasi masa depan tidak akan mau mendengarkan
gumaman bhikkhu yang membosankan, memberikan ceramah yang tidak relevan.
Buddha berpesan agar mengajarkan Dharma dengan bahasa yang mudah
dimengerti (misalnya dalam Aranavibhaṅga Sutta).
81
Strategi baru pembabaran Dharma yang dilakukan Y.M. Ajahn Bram
ternyata sangat efektif menarik minat generasi muda Australia untuk datang ke
vihara untuk mendengarkan bimbingan Dharma. Di negeri Ajahn Bram, Australia,
jumlah umat Buddha tidaklah seberapa pada tahun 1983, ketika pertama kali
Ajahn Bram tiba dari Thailand. Pada tahun 1991, meningkat menjadi 1,1%. Baru-
baru ini, sensus Australia bulan Agustus 2001, jumlah umat Buddha tumbuh 75%
menjadi 1,9% dari seluruh populasi. Ini berarti hampir 1 dari 50 orang Australia
menyatakan diri mereka Buddhis. Seiring dengan merosotnya agama Kristn di
Barat, Buddhisme telah menjadi agama yang tercepat perkembangannya di
Australia dan banyak negara maju lainnya.
82
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari latar belakang masalah yang berlanjut dengan identifikasi masalah
dan pembahasan masalah yang didukung referensi dari berbagai tokoh pembabar
Dharma, baik anggota Sangha maupun umat perumahtangga, dalam dan luar
negeri, pendalaman data dokumenter, serta temuan studi kasus life hystory di
ruang praktek terapis, penulis sampai pada simpulan sebagai berikut;
5.1.1 Paradigma Dharmaduta dalam Pembabaran Dharma
Dharmaduta, baik anggota Sangha maupun perumahtangga, pada umum-
nya menggunakan strategi pembabaran Dharma berfokus pada penderitaan. Hal
ini disebabkan adanya kekeliruan dalam memaknai kata dukkha yang diartikan
sebagai penderitaan. Padahal arti yang lebih tepat dari dukkha bukan penderitaan
melainkan ketidakpuasan. Bukan kehidupan ini yang menjadi sebab dari
penderitaan tetapi ketidakpuasanlah yang menjadi awal muncul tanha yang
menjadi sebab dari penderitaan. Pemahaman tentang dukkha yang dalam dan luas
sejalan dengan pesan utama yang disampaikan Buddha yaitu “kabar baik” dari
Dharma, ada jalan untuk menuju kepada pembebasan dari penderitaan.
5.1.2 Dampak Strategi Keliru Dharmaduta Dalam Pembabaran Dharma
Kekeliruan paradigma dharmaduta ini menjadi lahan empuk bagi para
pemuka agama non Buddhis untuk secara sengaja, sistematis, dan masif
memojokkan agama Buddha sebagai agama pesimistik, agama yang hanya fokus
pada penderitaan. Banyak artikel propaganda di media sosial yang ditulis para
misionaris agama samawi untuk mendiskriditkan keimanan penganut agama
83
Buddha yang menyebabkan kesan nihilisme terpatri kuat pada agama Buddha.
Keyakinan yang “ditanamkan” bahwa hidup adalah penderitaan tanpa penjelasan
yang rinci, lengkap, dan memuaskan sangat membahayakan eksistensi agama
Buddha. Hal ini disebabkan bahwa walaupun semua umat Buddha paham bahwa
hidup adalah penderitaan tetapi tidak ada seorang pun umat Buddha yang ingin
hidup menderita. Oleh karena itu paradigma dharmaduta dalam pembabaran
Dharma ini menjadi salah satu sebab menonjol terhadap penurunan populasi
agama Buddha di Indonesia.
5.1.3 Pembabaran Dharma Sesuai Cara Kerja Pikiran
Anggota Sangha dan dharmaduta, bagi umat awam dipandang sebagai
kelompok orang yang mempunyai otoritas tinggi, sehingga apa yang disampaikan,
apalagi secara berulang-ulang, akan “hidup” kuat dalam pikiran bawah sadar umat
Buddha. Berdasarkan ilmu pikiran menurut hipnosis dan didukung temuan di
ruang terapi yang penulis dan rekan-rekan sejawat dapatkan, seseorang yang
meyakini bahwa “hidup adalah penderitaan” maka baginya hidup selalu dihimpit
penderitaan dan upaya apapun yang dilakukannya, selama keyakinan terhadap
hidup merupakan penderitaan belum diubah, sangat sulit baginya untuk mengatasi
penderitaan hidupnya.
Begitu kuat peran pikiran dalam menentukan arah kehidupan seseorang.
Pikiran memimpin dunia, pikiran menarik segala sesuatu untuk mengikutinya, dan
segala sesuatu harus mengikuti keinginan pikiran. Pikiran adalah pelopor dari
segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Oleh karena
itu pikiran mengendalikan tindakan, tingkah laku, pemikiran, perasaan,
pencerapan, dan pertimbangan manusia. Pikiran adalah kekuatan paling utama dan
84
penting untuk dimiliki setiap orang. Maka dengan sendirinya hal terpenting
dalam hidup setiap orang adalah pikiran. Dengan dan melalui kekuatan pikiran,
manusia menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kecepatan yang
begitu luar biasa. Para neurosains (ahli tentang otak) menyimpulkan apa yang
terjadi di otak sangat berpengaruh pada apa yang dipikirkan dan dirasakan orang.
Penyakit dan luka di otak dapat menyebabkan rasa marah, sedih, dan putus asa.
Demikian pula sebaliknya: pikiran dapat mengubah cara kerja otak.
5.1.4 Efektifitas Menetralisir Keyakinan Negatif Dengan Hipnoterapi
Banyak cara untuk menetralisir pengaruh keyakinan negatif antara lain
dengan teknik relaksasi, afirmasi, visualisasi, yoga, bahkan meditasi. Semua cara
tersebut memang dapat membantu meringankan dampak keyakinan negatif.
Namun teknik yang dikembangkan para pakar hipnoterapi dapat mencapai pusat
memori jangka panjang sehingga sangat cepat dan tepat menyentuh sebab-sebab
dan awal terjadinya keyakinan negatif serta pihak-pihak yang terlibat dalam me-
nanamkan program negatif tersebut. Dengan teknik-teknik tertentu, dengan mudah
dan akurat terapis dapat menemukan ISE (Initial Sensitizing Event) yaitu saat
pertama kali trauma muncul dalam kehidupan seseorang. Bagaikan efek bola salju
yang masih kecil ketika pertama kali muncul dan semakin lama menggelinding
turun bola salju semakin membesar, maka teknik menyelesaikan masalah saat
pertama kali munculnya efek bola salju yang berupa trauma atau keyakinan
negatif akan jauh lebih mudah untuk menyelesaikannya dari pada saat masalah
telah membesar. Terapi yang secara khusus mempelajari teknik untuk menemukan
akar permasalahan adalah hipnoterapi.
85
5.1.5 Strategi Baru Dharmaduta Dalam Pembabaran Dharma
Jika ingin mewariskan Dharma bagi generasi baru manusia yang terus
menerus berubah, dharmaduta perlu merubah paradigma strategi pembabaran
Dharma yang bermula fokus pada penderitaan menjadi fokus pada kebahagiaan.
Beralihnya fokus materi Dharma ini telah dilakukan Y.M. Ajahn Bram dan
ternyata sangat efektif menarik minat generasi muda Australia untuk datang ke
vihara guna mendengarkan Dharma. Transformasi pola pikir ini tidak merubah
esensi Dharma.
Walaupun sesungguhnya fakta kehidupan atas kelahiran sebagai manusia
menyebabkan terjadinya usia tua, sakit, mati, berkumpul dengan orang yang
dibenci, berpisah dengan orang yang dicintai, dan tidak semua keinginan dapat
dicapai, namun Buddha mengajarkan bahwa sungguh sulit terlahir sebagai
manusia. Sulitnya lahir sebagai manusia diumpamakan sebagai seekor penyu buta
yang selama seabad sekali muncul ke pemukaan laut menjulurkan lehernya untuk
menjangkau gelang yang terombangambing dihempas ombak (Samyutta-nikaya
V: 457 dalam Mukti, 2003: 135). Sungguh luhur lahir sebagai manusia sehingga
Bodhisattva Sahetuka dari Surga Tusita, untuk bisa menjadi Buddha, memilih
lahir sebagai manusia.
Para dharmaduta di Indonesia tetap saja asyik memberikan ceramah yang
tidak sesuai dengan relevansi harapan semua orang bahwa semua orang tidak ada
satupun yang ingin menderita tetapi justru ingin hidup bahagia. Oleh karena itu
Ajahn Bram mengingatkan bahwa jika ingin ajaran luar biasa Buddhisme
menjangkau generasi modern, maka ajaran itu perlu disajikan dengan cara yang
modern pula. Bukan berarti esensi Dharma-nya perlu diubah, tetapi penyajiaannya
86
yang perlu disesuaikan terus menerus. Generasi masa depan tidak akan mau
mendengarkan gumaman bhikkhu yang membosankan, memberikan ceramah
yang tidak relevan. Buddha berpesan agar mengajarkan Dharma dengan bahasa
yang mudah dimengerti.
5.2 Saran
Ajaran Buddha mungkin saja telah gagal apabila Buddha tidak mahir
menyesuaikan ajaran-Nya dengan kemampuan dari pendengar-Nya. Beliau
mampu merubah gaya, isi, dan kedalaman dari ajaran-Nya sehingga para
pendengar meraih manfaat yang maksimal dari apa yang diajari-Nya. Fleksibilitas
ini juga berkontribusi terhadap kelangsungan ajaran Buddha, perkembangannya,
dan keberhasilannya di sepanjang masa (Lee. 2010: 11).
Seiring dengan merosotnya agama Kristen di Barat, Buddhisme telah
menjadi agama yang tercepat perkembangannya di Australia dan banyak negara
maju. Pertumbuhan jumlah umat Buddha di Indonesia berbanding terbalik dengan
pertumbuhan jumlah umat Buddha di negara maju. Kalau berfokus pada apa yang
relevan bagi orang awam, maka Buddhisme menjadi hal yang penting bagi
mereka. Mereka bisa saja mulai dengan ketertarikan untuk memecahkan
persoalan-persoalan duniawi mereka, tetapi hal itu segera saja menuntun kepada
Jalan yang membebaskan mereka dari semua penderitaan (Bram, 2009; 80-81).
Maka penulis menyarankan bahwa dharmaduta harus secepat mungkin memiliki
paradigma baru dalam pembabaran agama Buddha berdasarkan cara kerja pikiran.
87
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Rulam. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Bodhi, Bhikkhu. 2009. Tipitaka Tematik. Sabda Buddha Dalam Kita Suci Pāli. Terjemahan oleh Hendra Widjaja. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Brahm, Ajahn. 2009. Hidup Senang Mati Tenang. Diterjemahkan oleh Chuang.
Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Bryne, Rhonda. 2007. The Secret. Rahasia. Diterjemahkkan oleh: Susi Purwoko.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bungin, Burhan. 2015. Penelitian Kualitatif. Komunikasi, Ekonom, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Edisi Kedua. Cet. Kedelapan. Jakarta:
Prenada Media Grup.
Chah, Achan. 1994. Hidup Sesuai Dhamma. Diterjemahkan oleh: Kalyani
Kumiayi. Tanpa kota: Yayasan Kusalayani.
Claptorh, Richard. 2010. Dasyatnya Bahaya Aktivasi Otak Tengah. Menguak
Kontroversi Aktivasi Otak Tengah & Hipnosis Massal Secara Investegatif.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Dagpo, Lama Rinpoche. 2000. Kemuliaan Kelahiran Sebagai Manusia. Komentar
Guru-guru Lainnya Beserta Anjurannya. Diterjemahkan dari bahasa
Inggeris ke bahasa Indonesia oleh Se Yoen. 2004. Bandung: Kadam Choe
Ling Bandung.
Decaprio, Richard. 2012. Betapa Dasyatnya Reaksi Otak Terhadap Kejadian-
kejadian di Sekitar Kita. Rusdianto (Ed.). Jogjakarta: FlashBooks.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dhammapada. 1970. tr. Sub Projek Penerangan Direktorat Djenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha. Jakarta: Departemen Agama R.I.
Dhammananda, Sri. Nayake Maha Thera. 2002. Tumimbal Lahir. Percayakah?.
Diterjemahkan oleh Handaka Vijjananda. Tanpa kota: Karaniya.
Dwiloka, B. dan Riana, R. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Skripsi, Tesis,
Disertasi, Artikel,Makalah, dan Laporan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Dwiyanti. 2011. Pembinaan Dhammaduta Agama Buddha Dalam Pelayanan
Umat. (Online), http://tekdikwiwik.blogspot.co.id/2011/02/pembinaan-
dharmaduta.htlm, diakses 20 November 2016).
88
Elfiky, Ibrahim. 2011. Terapi Berpikir Positip:Biarkan Mukjizat Dalam Diri Anda
Melesat Agar Hidup Lebih Sukses dan Lebih Bahagia. Diterjemahkan oleh
Khalifurrahman Fath dan M. Taufik Damas. Jakarta: Zaman.
Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelligence:Kecerdasan Emosional. Mengapa
EI Lebih Penting Daripada IQ. Diterjemahkan oleh T. Hermaya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Adi W. 2008. The Secret of Mindset. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Adi W. 2009a. Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring.
Cet. Edisi Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Adi W. 2009b. Quantum Life Transformation. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Gunawan, Adi W. 2012a. Hypnotherapy for Children. Cara Mudah dan Efektif
Menerapi Anak. Cet. Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Adi W. 2012b. The Miracle of MindBody Medicine: How to Use Your
Mind for Better Healt. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Adi W. 2014. Pikiran Sadar, Pikiran Bawah Sadar, dan Penciptaan
Realita. Artikel Quantum Hypnosis Indonesia, (Online), No. 189, (http://www.adiwgunawan.com/?p=article&action=shownews&pid=189,
diakses 09 Juli 2014).
Herdiansyah. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hunter, Roy. 2011. Seni Hipnoterapi. Penguasaan Teknik yang Berpusat pada
Klien. Edisi Keempat. Diterjemahkan oleh Paramita. Jakarta: Indeks.
Hunter, Roy. 2015. Seni Hipnosis. Penguasaan Teknik-Teknik Dasar. Edisi
Ketiga. Diterjemahkan oleh Paramita. Jakarta: Indeks.
Ksubho. 2009. Menjadi Dharmaduta Handal. (Online), http://id.netlog.com/
ksubho/blog/blogid=12430, diakses 22 November 2016).
Kaharuddin, Pandit J. 2005. Abhidhammatthasangaha. Tangerang: Vihara
Padumuttara.
Karyadi. 2013. Sembuh Dengan Hipnoterapi. Aplikasi Hipnoterapi untuk Daya
Ingat dan Kesembuhan Psikologis/Psikis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Lee, T.Y. 2010. Hidup Penuh Dengan Berkah. Panduan Menuju Kemakmuran,
Perdamaian dan Kebahagiaan. Diterjemahkan oleh Yuliana Lie Pannasiri.
Medan: Dewan Pengurus Daerah Sumatera Utara Pemuda Theravada
Indonesia.
89
Mukti, Krisnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan
Dharma Pembangunan.
Mulyono, D., P. Santoso., dan K. Liman. 2009. Kajian Tematik Agama Kristen
dan Agama Buddha. Tanpa Kota. Freepress Publisher.
Narada, Maha Thera. 2000. Fakta Kehidupan. Jakarta: Dian Dharma.
Ngasiran. 2015. Penyebab Jumlah Umat Buddha di Temanggung Berkurang,
(Online),(http://buddhazine.com/penyebab-jumlah-umat-buddha-di-
temanggung-berkurang, diakses 28 November 2016).
Paññavaro, Sri. 1991. Kumpulan Dhammadesana. Jilid 1. Jakarta: Majalah
Buddha Cakkhu.
Phang, Cheng Kar. 2006. Don’t Worry Be Healthy. Hidup Sehat Tanpa Cemas.
Buku 1. Diterjemahkan oleh Chuang. Tanpa kota. Karaniya.
Priastana, Jo. 2005. Komunikasi dan Dharmaduta. Jakarta: Yasodhara Putri.
Rafael, Romy. 2010. Menghilangkan Fobia dan Masalah Emosional dengan
Hypnotherapy. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Santosa, I.G. Ngurah Putra Eka. 2016. “Pesan Ayah Membuat 30 Tahun Alergi
Obat”. Dalam Widya Saraswati dan Kristin Liu (Ed.), Miracles on
Demand (hlm. 79-82). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sasanaputra. 2007. Budi Pekerti dan HAM dalam Pendidikan Agama Buddha
Sekolah Menengah Atas Kelas XI. Jakarta: Mandiri Publication House.
Siadari, E.E. 2014. Tiongkok Akan Jadi Negara Berpenduduk Terbesar Dunia,
(Online), (http://www.satuharapan.com/read-detail/read/tiongkok-akan-
jadi-negara-berpenduduk-kristen-terbesar-dunia, diakses 21 Juli 2016).
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cet. Kelima
belas. Bandung: Alfabeta.
Simpson, Kathleen. Tanpa tahun. Otak. Bagian Dalam Ruang Kontrol Tubuh
Anda. National Geographic.
Suprayogo, I. dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung:
Rosda.
Surya Das, Lama. 2003. Awakening The Buddha Within: Delapan Langkah
Menuju Pencerahan. Hikmat Tibet Bagi Alam Semesta. Diterjemahkan
pertama kali oleh Chataina Puramdari. Diterjemahkan ulang oleh Yahya
Kristiyanto. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
90
Syam, Syahril. 2008. The Secret of Attractor Factor: Mengetahui Rahasia Law of
Attraction untuk Mendapatkan Apapun yang Anda Inginkan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Nhat Hanh, Thinch. 2013. Memahami Pikiran Kita. Tanpa Kota: Karaniya.
Tigris, Buntario. 1998. Mencapai Kekayaan Duniawi. Jakarta: Yayasan
Dhamadasa.
Tin Mon, Mehm. 2006. Karma Pencipta Sesungguhnya. Cet. Keempat, 2011.
Diterjemahkan oleh Agus Wiyono dan Lan Moi. Bogor: Yayasan Hadaya
Vattu.
Wahono, Mulyadi. 2002. Pokok Pokok Dasar Agama Buddha. Jakarta:
Departemen Agama R.I. Proyek Peningkatan Pendidikan Agama Buddha
di Perguruan Tinggi.
Widyadharma. 1981. Riwayat Hidup Buddha Gotamsa. Jakarta: Yayayan Vihara
Avalokitesvara.
Wijaya, Willy Y. Empat Kebenaran Mulia . Sebuah pendekatan Modern.
Diakses 17 November 2013.
Wise, Anna. 2012. Menguasai Gelombang Otak Untuk Meningkatkan Kejernihan
Pikiran, Kesembuhan Diri, & Kreativitas Berpikir. Diterjemahkan oleh
Claudia Syanny Latif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://berita.bhagavant.com/2011/12/14/bps-jumlah-buddhis-di-indonesia-
meningkat.html, diakses 28 November 2016.
http://en.wikipedia.org/wiki/Dukkha, diakses 09 Februari 2014.
91
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Gambar 2.2.
Frekuensi 4 gelombang pikiran Volume Pikiran Sadar dan Pikiran Bawah
Sadar
Pikiran Bawah Sadar
Pikiran Sadar
Critical
Factor
(12%)
(88%)
Sumber:: Adi W. Gunawan Institute of Mind TechnologyAdi W. Gunawan Ins ti tu te of M ind Tec honology
Gambar 3.1 Gambar 3.2.
Sertipikat Client Centered Hypnotherapist Sertipikat Licened Trainer
Gambar 3.3. Gambar 3.4.
Penulis dengan Adi W. Gunawan Iklan Kompas, Rabu, 1 Desember 2010
92
Gambar 4.1 Gambar 4.2.
Cleaning Seat yang digunakan oleh Posisi terapis dan klien saat terrapi
Klinik Terapi Rumah Sentosa
Keterangan sumber gambar:
Gambar 2.1. http://penaopini.blogspot.co.id/2014/04/kualitas-tidur-manusia.html
Gambar 2.2. Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology
Gambar 3.1. Dokumen pribadi penulis
Gambar 3.2. Dokumen pribadi penulis
Gambar 3.3. Dokumen pribadi penulis
Gambar 3.4. Dokumen pribadi penulis
Gambar 4.1. Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology
Gambar 4.2. http://health.liputan6.com/3038964/hipnotgerai-marah-pada-ibu-di
jambak-bawah-sadar
93
LAMPIRAN 1
PEDOMAN WAWANCARA
1. Data Subyek
1. Nama
2. Alamat lengkap
3. Tempat dan Tanggal lahir
4. Pekerjaan
5. Telp (Hp) dan email
6. Agama
7. Status menikah
8. Jumlah anak (bila ada)
9. Nama ayah dan ibu
2. Hubungan dengan Keluarga
1. Bagaimana relasi Anda dengan ayah?
2. Bagaimana relasi Anda dengan ibu?
3. Bagaimana relasi Anda dengan anak-anak?
4. Siapakah orang yang paling Anda hormati dalam keluarga Anda?
3. Pengobatan Sebelumnya
1. Apakah Anda sudah pernah mencoba mengatasi masalah Anda?
2. Siapa yang sebelumya telah membantu Anda?
3. Bagaimana hasilnya?
4. Berapa kali Anda mencoba mengatasi masalah Anda tersebut?
5. Apakah Anda sedang hamil? (khusus perempuan)
6. Apakah Anda pernah mengalami sakit jantung, stroke, epilepsi, diabetes,
dan atau hipertensi?
4. Menelusuri Minat Untuk Terapi Hipnosis
1. Bagaimana Anda tahu mengenai kami?
2. Anda datang ke kami atas kehendak siapa?
3. Apakah Anda sudah pernah menjalani sesi hipnoterapi sebelumnya?
94
4. Apakah Anda percaya atau merasa yakin Anda berhasil masuk ke dalam
kondisi hipnosis?
5. Kondisi Kesehatan Klien
1. Apakah Anda sedang dalam penanganan dokter, psikolog, atau psikiater
untuk masalah saat ini?
2. Jika “ya”, sebutkan nama dokter/psikolog/psikiater yang menangani Anda?
3. Apakah Anda sedang meminum obat?
4. Jika “ya”, obat apa yang saat ini sedang Anda minum?
5. Apa saja masalah-masalah fisik yang sering Anda alami?
6. Pemahaman tentang Hipnoterapi
1. Menurut pemahaman Anda saat ini, kondisi hipnosis itu kondisi yang
bagaimana?
2. Apakah ada hal yang Anda takutkan mengenai hipnosis dan atau
hipnoterapi?
7. Mendeteksi Emosi Klien
1. Berikan skala dari 0-10 apabila Anda merasa menyimpan beberapa aspek
emosi negatif, baik terhadap diri Anda sendiri, orang lain ataupun terhadap
suatu kejadian atau peristiwa sehubungan dengan masalah yang Anda
hadapi saat ini. Skala 0 bila Anda merasa biasa saja, dan skala 10 bila Anda
merasakan emosi negatif ini dan cukup mengganggu hidup Anda!
Marah 0 - ___ Menyesal 0 - ___ Merasa tidak mampu 0 - ___
Kecewa 0 - ___ Frustasi 0 - ___ Merasa ditolak 0 - ___
Terluka 0 - ___ Takut 0 - ___ Merasa tidak berharga 0 - ___
Dendam 0 - ___ Cemas 0 - ___ Merasa kecil 0 - ___
Sakit hati 0 - ___ Malu 0 - ___ Merasa bersalah 0 - ___
Tersinggung 0 - ___ Kesepian 0 - ___ Merasa minder 0 - ___
Benci 0 - ___ Sedih 0 - ___ Merasa putus asa 0 - ___
__________ 0 - ___ __________ 0 - ___ ________________ 0 - ___
2. Bagaimana kondisi Anda saat ini? Jelaskan secara singkat!
95
3. Emosi apa yang terlebih dahulu Anda ingin atasi dalam sesi terapi kali ini?
4. Sebutkan hal-hal permasalahan spesifik yang ingin Anda atasi melalui sesi
hipnoterapi ini! (isi sebanyak yang diinginkan)
8. Qualifying (Penajaman Masalah Klien)
1. Sudah berapa lama Anda merasakan atau mengalami masalah ini?
2. Bagaimana hidup Anda selama mengalami masalah ini?
3. Apakah yang akan terjadi dengan hidup Anda bila misalnya Anda tidak bisa
sembuh atau tidak bisa keluar dari masalah ini?
4. Apakah Anda mau mengubah situasi ini?
5. Apakah Anda mau keluar dari masalah Anda?
6. Mengapa?
7. Apakah yang terjadi jika misalnya Anda terbebas dari masalah ini?
8. Bagaimana Anda tahu bahwa Anda sudah berhasil mengatasi masalah
Anda?
9. Perubahan positif apa yang pasti terjadi dalam hidup Anda bila Anda
berhasil mengatasi masalah Anda?
96
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis lahir di Jakarta, 03 Agustus 1954 sebagai anak kedua dari 6 (enam)
bersaudara. Dengan tanggal kelahiran yang demikian itu, penulis berada dalam
naungan shio Kuda Logam dan Rasi Bintang Leo. Ayah penulis bernama
Hernawan Winardi (terlahir bernama Oey Kang Hin) dan ibu bernama Imaratna
Susanto (terlahir bernama Fam Tjin Jin). Kedua orangtua penulis sudah berevolusi
melanjutkan perjalanan kehidupannya di alam bahagia menuju pencerahan
sempurna.
Saat ini, penulis dikaruniahi 2 (dua) orang putri yang bernama Auramaitri
Winardi yang psikolog (S2 psikologi klinik) handal dan Auriamaitri Winardi yang
ahli dalam urusan disain interior (S1). Kedua anak penulis yang merupakan
alumni Universitas Tarumanagara, Jakarta, merupakan buah kasih sayang dengan
pasangan hidup penulis yang bernama Ho Sioe Lian, seorang yang menggemari
masak memasak. Tidak heran penulis dan anak-anak tumbuh subur.
Sejak remaja awal, penulis telah aktif mengikuti kebaktian di wihara Ariya
Marga yang berdomisili di Jl, Perniagaan No. 31, Jakarta Barat. Kebaktian ini
adalah kebaktian yang dibina oleh Pemuda Tridharma Jakarta Barat. Melalui
organisasi Pemuda Tridharma ini yang kemudian mengantarkan penulis menjadi
salah satu kader andalan Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi). Dengan
aktivitas sebagai Ketua Departemen OKK yang menggerakkan organisasi
Gemabudhi dan sekaligus pandita dan dharmaduta Majelis Agama Buddha
Tridharma Indonesia, penulis tumbuh dan berkembang menjadi sosok pemuda
yang religius sekaligus kritis, kreatif, dan dinamis, yang gemar membaca buku
bernuasa Buddha Dharma, motivasi, lingkungan hidup, sejarah bahkan buku-buku
97
kategori politik. Penulis selalu menyimak dengan saksama perkembangan dan
situasi politik dan keamanan nasional, regional, bahkan internasional melalui
berbagai berita media massa cetak dan elektronik.
Kegemaran penulis dalam bidang energi membawa penulis menjadi
seorang master Reiki Usui, Master Pribadi Reiki Tumo, Kundalini, dan terakhir
sebagai praktisi hipnoterapi di bawah bimbingan Dr. Adi W. Gunawan, pendiri
dan guru Quantum Hypnosis Indonesia (yang saat ini bernama Adi W. Gunawan
Institute of Mindtechnology) berdomisili di Surabaya. Lulus sebagai client
centered hypnotherapy menjadikan penulis sebagai praktisi hipnoterapi yang telah
banyak membantu orang lain mengatasi trauma masa lalunya. Kemampuan di
bidang cara kerja pikiran ini membawa penulis menjadi salah satu dosen pada
pasca sarjana STABN Sriwijaya mata kuliah neurosains dan keajaiban otak.
Di tahun 1980-an, penulis menjadi guru agama Buddha di sekolah
Dhammasavana, Jembatan Dua, Jakarta Barat. Jabatan ini membawa penulis
menjadi salah satu pendiri dan Sekretaris Umum Rumpun Guru Agama Buddha
Indonesia (Rugabi) masa kepengurusan periode pertama. Tanggal 27 Maret 1989
adalah tanggal yang membawa perubahan sangat besar dalam hidup dan karir
kerja penulis. Diawali sebagai salah satu dari dua personil unit kerja Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB) dan Kredit Pemilikan dan Perbaikan Rumah (KPPR)
BCA Kantor Pusat Operasional di Jl. Asemka, Jakarta Barat, penulis
menghabiskan sebagian besar masa dewasa penulis sebagai karyawan di bagian
KKB dan KPPR BCA merangkap instruktur pelatihan KKB dan KPPR pada
Divisi Training BCA. Tahun 1997 penulis ditunjuk sebagai pemimpin BCA KCP
Sastra Plaza, Jatake, Jatiuwung, Tangerang yang mengalami rotasi rutin hingga
98
penulis memasuki usia pensiun di tahun 2009 sebagai pemimpin KCP Gading
Serpong. Di masa kepemimpinan penulis, BCA Gading Serpong menjadi kantor
cabang pembantu yang menjadi cabang percontohan bagi cabang-cabang BCA
yang tersebar hampir di setiap kota besar di seluruh Indonesia. Di samping meniti
karir di dunia perbankan, Penulis mendarmabaktikan sebagian waktu penulis
sebagai Wakil Sekretaris Jenderal 1 Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi)
pasca Munas II di akhir tahun 1992 dimana pada tahun 1993 penulis menjadi
Ketua Umum Panitia Nasional Waisak Walubi.
Selepas pensiun di bidang operasional, penulis diminta salah satu Direktur
BCA untuk mendisain ulang sistem penilaian pada lomba pemeliharaan gedung
BCA yang dikenal dengan nama Quality Office. Setahun kemudian, penulis
diminta untuk menjadi konsultan pada BCA Finance dan yang kemudian berakhir
sebagai Admin Head BCA Finance Cabang Tangerang pada tahun 2012.
Pasca berkiprah di BCA Finance, tahun 2013 penulis diminta langsung
oleh Ketua Yasayan Pendidikan dan Pengajaran Pahoa untuk membantu Sekolah
Terpadu Pahoa sebagai guru pendidikan moral SMA. Satu semester kemudian,
penulis dipromosikan sebagai Kepala Seksi Pendidikan Moral dengan tugas dan
tanggung jawab mengkoordinir dan membimbing guru-guru moral Pahoa serta
mengembangkan sistem pengajaran dan penilaian pendidikan moral yang berbasis
ajaran Di Zi Gui sekaligus Koordinator Rumpun Guru BK Sekolah Terpadu
Pahoa. Penulis adalah dosen mata kuliah Di Zi Gui pada Pahoa College Indonesia.
Penulis yang kemudian juga merangkap sebagai Kepala Gugus Depan 26083
Gerakan Pramuka Sekolah Terpadu Pahoa merupakan orang pertama yang
mencetuskan sekaligus membentuk marching band Sekolah Terpadu Pahoa.
99
Mengingat telah melampaui batasan perpanjangan usia pensiun yang diperkenan-
kan, penulis pamit meninggalkan Pahoa di bulan November 2016.
Awal Mei 2017 hingga riwayat hidup pemulis ini ditulis, penulis kembali
bergelut di dunia pendidikan. Kali ini penulis diminta menjadi manager HRD
Sekolah Buddhi merangkap Kepala Biro SDM Universitas Buddhi Dharma yang
berdomisili di Jl. Iman Bonjol No. 41, Karawaci Ilir, Kota Tangerang.