Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

38
BAB I PENDAHULUAN Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan zaman akan cenderung semakin meningkat sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien. Pasien dengan kedaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dialami oleh siapa saja. Dapat berupa serangan penyakit mendadak, kecelakaan, atau bencana alam. Time saving is life saving merupakan dasar dari tindakan pada menit-menit pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support merupakan tindakan- tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses menuju kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan otak permanen, pada korban yang pernah mengalamai hipoksemia waktunya menjadi lebih sempit sehingga butuh penanganan segera. 8,9 Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan dan merupakan salah satu kasus kedaruratan traumatologi yang memerlukan resusitasi dan penanganan yang segera. Secara anatomis tulang tengkorak memiliki manfaat untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain dilindungi oleh tulang, otak juga tertutup lapisan 1

description

FRAKTUR BASIS CRANII

Transcript of Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

Page 1: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

BAB I

PENDAHULUAN

Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan zaman akan cenderung

semakin meningkat sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan

pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien. Pasien dengan

kedaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dialami oleh siapa

saja. Dapat berupa serangan penyakit mendadak, kecelakaan, atau bencana alam.

Time saving is life saving merupakan dasar dari tindakan pada menit-menit

pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support

merupakan tindakan-tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses

menuju kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan

otak permanen, pada korban yang pernah mengalamai hipoksemia waktunya

menjadi lebih sempit sehingga butuh penanganan segera.8,9

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan dan

merupakan salah satu kasus kedaruratan traumatologi yang memerlukan resusitasi

dan penanganan yang segera. Secara anatomis tulang tengkorak memiliki manfaat

untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain dilindungi oleh tulang, otak juga

tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa, dan juga terdapat cairan

yang disebut cerebrospinal fuild (CSF). Trauma dapat berpotensi menyebabkan

fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan

otak, atau kerusakan saraf pada otak.5,9

Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat

benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,

supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau

mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“tekanan gelombang”

yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Pasien dengan fraktur basis Cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai

dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Penampakan fraktur

basis Cranii fossa anterior ditandai dengan adanya Rhinorrhea dan memar di

1

Page 2: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale

dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan

diagnosis fraktur basis Cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap,

analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan

radiologik.

Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan

bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera

kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak

menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusitasi awal dilakukan

secara menyeluruh.10

2

Page 3: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os

sphenoidal, Os occipital dan Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih

tipis, namun pada bagian ini dilindungi oleh otot-otot temporalis.6

Basis Craniii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa Cranii anterior,

fossa Cranii media dan fossa Cranii posterior5

3

Page 4: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun

kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20%

fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.5,6

Fossa crania anterior : Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh

permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis.

Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina

cribiformis os etmoidalis di media. Permukaan atas lamina cribiformis

menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-lubang halus pada lamini cribrosa

dilalui oleh nervus olfaktorius.5

Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat

cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi

mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau

kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars

orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau

periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis

cranii fossa anterior5

Fossa Cranii media : Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os

sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri

yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os

sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan

4

Page 5: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os

temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.5

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan

minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis,

n.occulomotorius dan n.abducens.

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini

merupakan tempat yang paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi kelemahan

ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani

dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.

Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi

(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars

perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral

sinus cavernosus robek.

Fossa Cranii posterior melindungi otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons

dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars

petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars

squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris,

condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui

oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis

assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di

bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan

muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane

mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang

mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.5,6

2.2 Mekanisme terjadinya fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada

daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi

energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote”

5

Page 6: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik

benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk

benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban

inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban

inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak

akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala

kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area

medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia

tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi

akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior

diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior

kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke dkk pada tahun 1988 menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa

fraktur basis Cranii merupakan dampak dari hasil benturan area kubah kranial.

Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis

kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti

menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area

wajah saja.

Gott dkk pada tahun 1983 melakukan studi eksperimen berdasarkan

pengujian mayat, ia meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah

mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak

diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut

disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal

tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala

lainnya (14 kasus).

Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances dkk

pada tahun 1981 juga mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa

quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area

leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-

leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan

6

Page 7: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala

terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada

tingkat kekuatan di atas 4 kN. Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi

supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii

membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan

kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.

Oleh karena penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya itu

pada tahun 1994 Hopper melakukan dua studi eksperimental pada mayat

bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur

basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa

1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika

mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area

mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada

satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa

yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan

bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam

tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur

mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii.

2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung

diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung

menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum.

Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam

setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan

kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk

fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan

dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.

Hopper menyimpulkan bahwa dari hasil penelitiannya hal itu mendukung

hipotesis yang ada sebelumnya bahwa ruda paksa pada mandibula saja tidak dapat

berdampak pada kejadian fraktur pada basis cranii. Tipe dari fraktur basis cranii

yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen

7

Page 8: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture

komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in

komplit lebih sering dijumpai. Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera

batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada

dasar tengkorak.Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan

ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan

pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum pada basis cranii.7

2.3 Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.

Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan

mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur

temporal ditunjukkan di bawah ini.7,11

8

Page 9: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture

(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,

Pennsylvania)

A B

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan

bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus

externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian

anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada

fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur

longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur

transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea

dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki

unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.

Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous

fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur

tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis. 7

Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul

energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada

pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan

morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini

menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I

9

Page 10: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari

kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang

dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur

tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan

membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi

sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur

tidak stabil.8,9

2.4 Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan

memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa

anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).

Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada

kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang

pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung

lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang

dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa

tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder

dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII. 10

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,

sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran

permanen (permanent neural hearing loss).13

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan

serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama

dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang

servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan

hemiplegia atau guadriplegia. 10,13

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus

cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi

fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain

10

Page 11: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-

Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus

cranial IX, X, XI, dan XII.8,12

2.5 Pemeriksaan penunjang

Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis Craniii antara lain:

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, fungsi

2. Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen

11

Page 12: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

b. CT-scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis

frakturnya.

c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)

d. Pemeriksaan arteriografi

2.6 Penanganan Cedera Kepala Ringan (GCS 14-15)

Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera

kepala ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas

kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya

pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini sering berhubungan dengan

alcohol atau zat intoksikan lainnya.

Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa

penanganan berarti. Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga,

mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat

dideteksi.4

Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang

mengalami pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan

GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto

cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi.

Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull

X-ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus

diperhatikan pada foto kepala:5,6

1. Fraktur linear atau depressed

2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi

3. Level udara cairan pada sinus

4. Pneumocephals

5. Fraktur fasial

6. Benda asing

12

Page 13: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

- Pingsan > 15menit

- Post Traumatic Amnesia > 1Jam

- Pada observasi penurunan kesadaran

- Sakit Kepala >>

- Fraktur

- Otorhoe / Rinorhoe

- Cedera penyerta,

- CT-Scan Abnormal

- Tidak ada keluarga

- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka

pasien diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan

dipulangkan.

Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila

dijumpai hal-hal sbb :4,7

-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam

- Mual dan muntah yang terus memburuk

- Sakit Kepala yang terus memburuk

- Kejang

- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)

- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah

- Pupil anisokor

- Nadi naik / turun (bradikardi)

13

Page 14: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

2.7 Penanganan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-13)

Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera

kepala sedang. Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien

biasanya bingung dan somnolen dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal

seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini mengalami penurunan

kesadaran hingga koma.

14

Page 15: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan

kardiopulmoner distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan

dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang

ICU atau unit serupa yang memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat

untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam

dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika terjadi penurunan pada

status neurologis pasien. 4

15

Page 16: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

2.8 Penanganan Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)

Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti

perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait

and see” pada pasien ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan

cepat sangatlah penting. Jangan menunda CT scan.4,9

A. Primary Survey dan Resusitasi

Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi

pada pasien dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas

yang meningkat dua kali lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%).

Adanya hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang

mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera

kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera tercapai.

Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak

sekunder. Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien

diberi oksigen 100% sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap

FIO2. Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan diharapkan didapat

saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera

kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat

neurologic.

Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali

pada stadium terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila

tidak menyebabkan syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika

pasien hipotensi.

Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas.

Penyebab yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau

tamponade dan tension pneumothorax.10,11,14

B. Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang

cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada

16

Page 17: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

pasien koma, respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau

dengan nail-bed pressure. 11,12

C. Secondary Survey

Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk

mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.4

D. Prosedur Diagnostik

CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik

stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara

rutin 12-24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada

CT scan awal.4

17

Page 18: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

2.10 Penanganan Umum

Adapun prinsip penanganan umum secara keseluruhan dari trauma kepala

sendiri, meliputi:2,5,15

Penatalaksanaan :

1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial

Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena

efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan

arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus

manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg

2. Mengontrol tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik

dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi

secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan

inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi

otak > 70 mmHg.

3. Mengontrol hematokrit

Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah

meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan

tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit

meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di

bawah 30.

4. Obat obatan sedasi

Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir

neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan

morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi

mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir

neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk

dan penegangan pada endotrachealtube.15

5. Kontrol suhu

Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat

memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat

18

Page 19: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut

cedera kepala , hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk

iskemik otak.

6. Kontrol bangkitan

Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma ,

menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural

, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan

apabila terjadi bangkitan.

7. Kontrol cairan

NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid

pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline

membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan

parameter hemodinamik . 8. posisi kepala

8. Head Up 30o

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan

meningkatkan venous return ke jantung.

9. Merujuk ke dokter bedah saraf

Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf:

• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal

• Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam

• penurunan skor GCS terutama respon motoric

• tanda-tanda neurologis fokal progresif

• kejang tanpa pemulihan penuh

• cedera penetrasi

• kebocoran cairan serebrospinal

2.11 Penananganan Khusus

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi

komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan

pneumocephalus dengan fistula.

19

Page 20: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

a) Fistula cairan serebrospinal:

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang

extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan

otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya

trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi

konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest

dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas

berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.1

b) Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS

mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital

dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus.

Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin

memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari

hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen

kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan

posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan

aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid.

Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid

secara berkelanjutan. Disamping itu dapat diberikan antibiotik profilaksis untuk

mencegah timbulnya infeksi.1

Pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah

sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi

melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal

(temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa

craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat

melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan

tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak

dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini

adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema,

hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen.

20

Page 21: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii

anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.

Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan

bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap

osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu

dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal

sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi

kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik,

angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan

80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi

fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan

sfenoid.1

Tindakan Bedah Sinus

endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka

keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada

fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial

yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari

tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap

local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas

sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan

dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang.

Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.1

c) Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya

serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa

diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya

terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura

adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan

pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan

fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan

memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,

21

Page 22: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga

pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering

dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf

fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.

Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17

persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti,

diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.1,2

d) Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab

paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.

Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya

angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah

digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena

pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas

dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi

vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat

tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun

meropenem.3,4

2.11 Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama

tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan

tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan

profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada

fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa

posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.5

BAB III

22

Page 23: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

KESIMPULAN

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang

mengakibatykan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Terbagi atas 3 jenis:

fraktur basis Cranii anterior yang mengenai lobus frontal yang ditandai dengan

adanya raccoon eyes, fraktur basis Cranii media yang mengenai fossa Cranii

media, dengan gejala khas berupa rinore dan otore serta battle sign, dan fraktuir

basis Cranii posterior yang mengenai fossa Cranii posterior namun jarang

memberikan gejala yang khas.

Penanganan fraktur basis Cranii ini meliputi konservatif dan operatif,

dengan tujuan utama megurangi TIK, dan mengatasi fistula yang ada, serta

profilaksis infeksi meningitis.Prognosis fraktur basis Cranii tergantung pada

lokasi, apabila mengenai anterior dan media, umumnya prognosis baik, namun

apabila mengenai daerah posterior umumnya prognosis buruk.

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

1. Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK

USU. 2006

2. Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of

meningitis, University of Missouri–Kansas City School of Medicine,

Kansas City, Missouri.

3. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas,

Papadimos , Stawicki SPA. traumatic tension pneumocephalus: Two cases

and comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-

11

4. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health.

Available at http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?

articlekey=59402&page=1#overview last update 15 Agust 2014

5. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab

6. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

6. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture.

Biomechanical of basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis

report road safety research grant report 2007-03. Australia 2007

7. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P.

Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations last

update 15 Agust 2014

8. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.

Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.

9. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,

Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,

penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.

Jakarta: EGC: 2006.740-59

24

Page 25: Paper Neuro Surgery Fraktur Basis Cranii

10. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon

Learning System LLC;2003.

11. Ishman SL, Friedland DR. Temporal bone fractures: traditional

classification and clinical relevance. Laryngoscope. Oct

2004;114(10):1734-41.

12. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital

condyle fractures. Spine (Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.

13. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures.

Neurosurgery. Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.

14. Menku A, Koc RK, Tucer B, Durak AC, Akdemir H. Clivus fractures:

clinical presentations and courses. Neurosurg Rev. Jul 2004;27(3):194-8.

15. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fracture of the

skull and lower (IX, X, XI, XII) cranial nerves palsy: four case reports

including two fractures of the occipital condyle--a literature review. J

Trauma. Feb 2000;48(2):342-8.

25