Paper Gimul

56
1 IMPLIKASI DAN PENANGANAN XEROSTOMIA PADA PASIEN HIV Kishore Shetty, DDS, DDPH Orang pada normalnya memproduksi sedikitnya 500 ml saliva dalam jangka waktu 24 jam. Aliran saliva sangat berbeda dalam waktu tertentu dalam periode 24 jam tergantung kebutuhan status fisiologis dari pasien. Saliva terdiri dari dua komponen yang disekresikan oleh mekanisme independen. Yang pertama, komponen cairan yang mengandung ion, diproduksi utamanya oleh stimulasi parasimpatis. Kedua, komponen protein yang berasal dari vesikel sekretori di acini dan dilepas terutama karena respon simpatis. Eksitasi dari kelenjar saliva mensitmulasi sekresi saliva, tapi efek dari saraf parasimpatis lebih kuat dan bertahan lebih lama. Kelainan pada kelenjar saliva berupa pembesaran kelenjar parotis, xerostomia atau mulut kering, juga ada. Kekeringan kavitas oral bisa sangat mempengaruhi kualitas hidup, mengganggu fungsi sehari-hari, seperti makan, berbicara dan tidur. Pengurangan volume saliva dan kehilangan fungsi antibakteri dari saliva bisa mempercepat infeksi, tanggalnya gigi dan penyakit periodontal.

description

tugas gigi dan mulut

Transcript of Paper Gimul

Page 1: Paper Gimul

1

IMPLIKASI DAN PENANGANAN XEROSTOMIA PADA PASIEN HIV

Kishore Shetty, DDS, DDPH

Orang pada normalnya memproduksi sedikitnya 500 ml saliva dalam

jangka waktu 24 jam.

Aliran saliva sangat berbeda dalam waktu tertentu dalam periode 24 jam

tergantung kebutuhan status fisiologis dari pasien. Saliva terdiri dari dua

komponen yang disekresikan oleh mekanisme independen.

Yang pertama, komponen cairan yang mengandung ion, diproduksi

utamanya oleh stimulasi parasimpatis. Kedua, komponen protein yang berasal dari

vesikel sekretori di acini dan dilepas terutama karena respon simpatis.

Eksitasi dari kelenjar saliva mensitmulasi sekresi saliva, tapi efek dari

saraf parasimpatis lebih kuat dan bertahan lebih lama.

Kelainan pada kelenjar saliva berupa pembesaran kelenjar parotis,

xerostomia atau mulut kering, juga ada. Kekeringan kavitas oral bisa sangat

mempengaruhi kualitas hidup, mengganggu fungsi sehari-hari, seperti makan,

berbicara dan tidur. Pengurangan volume saliva dan kehilangan fungsi antibakteri

dari saliva bisa mempercepat infeksi, tanggalnya gigi dan penyakit periodontal.

Simptom oral yang lain : nyeri, perlengketan makanan ke permukaan

buccal, lidah pecah-pecah, dan disfagia. Selain karies gigi, angular cheilitis yang

berhubungan dengan candidiasis juga bisa terjadi. Reseptor pengecapan juga bisa

menjadi abnormal, menyerupai pasien dengan idiopatik hypogeusia, dan

jumlahnya juga berkurang. Plak-plak bertambah.

Dengan penggunaan highly active anti-retroviral theraphy(HAART), pola

manifestasi oral pada pasien HIV telah berubah. Walau begitu, prevalensi

penyakit kelenjar saliva naik secara signifikan. Penyakit kelenjar saliva naik 4-8%

pada dewasa dan anak-anak dengan infeksi HIV. Tanda utama penyakit kelenjar

saliva pada penderita HIV adalah : Penyakit kelenjar saliva + HIV dengan

Page 2: Paper Gimul

1

xerostomia dan pembesaran kelenjar saliva (disebabkan oleh sarkoma kaposi ),

Non-Hodgkin Lyphoma, lymphadenopati intraglandular, dan staladenitis supuratif

akut.

Penyakit kelenjar ludah HIV (HIV-SGD) adalah kelainan yang ditandai

dengan pembesaran kelenjar ludah dan xerostomia yang persisten maupun

rekuren. Kelenjar parotid paling sering terkena, menyebabkan pembesaran

bilateral. Penyakit kelenjar saliva banyak terjadi pada kasus HIV kronik, tapi

kadang-kadang bisa menjadi manifestasi klinis pertama yang muncul. Rasio pria-

ke-wanita yang lebih tinggi telah dilaporkan, tetapi ini mungkin mencerminakn

epidemiologi dari pasien yang telah dilaporkan. Walaupun patofisiologi yang

tepat masih tidak jelas, teori-teori ttg asal dari SGD meliputi lesi lymphoepitelial,

kista yang melibatkan parenkim saliva, dan infiltrat inflamasi yang mirip dengan

yang terlihat pada sjogren syndrome. Gambaran klinis HIV-SGD mirip dengan

Sjogren syndrome, bagaimanapun ada perbedaan histopatologis dan serologis

yang jelas. Pasien dengan HIV-SGD biasanya tidak mempunyai antibodi anti-Ro

maupun anti-La.

Histopatologi kelenjar saliva minor pada HIV-SGD dan Sjogren Syndrome

cukup mirip, yaitu didominasi oleh infiltrat lympositic perivaskular, periacinar

dan periduktal; bagaimanapun, mayoritas T-cell adalah CD8. Lesi lymphoepitel

multikistik bisa juga timbul, tetapi perubahan kistik bisa muncul juga dari

sumbatan duktus intraglandular oleh jaringan limphoid yang hiperplastik.

Greenspan mendeskripsikan kemungkinan penyebab antara SGD dan

infiltrasi sel CD8+ limfosit T pada kelenjar. Peranan etiologi viral pada SGD telah

didiskusikan pada literatur. EBV dan CMV telah terutama dipertimbangkan

sebagai agen yang paling mungkin bertanggung jawab untuk SGD, walalupun

banyak studi telah gagal menunjukkan virus ini pada SGD. Syndrome limfositosis

infiltratif difus(DILS) ditandai oleh limfositosis dan infiltasi limfosit visceral.

Mempengaruhi kelenjar saliva dan paru-paru(pneumonia limfositik interstisial).

Kriteria diagnosis untuk DILS termasuk seropositif HIV dengan pemeriksaan

Page 3: Paper Gimul

1

ELISA dan western blot, pembesaran kelenjar saliva bilateral, atau xerostomia

persisten lebih dari enam bulan, dan konfirmasi histologi keterlibatan neoplastik

maupun granulomatous pada kelenjar saliva atau lakrimal.

Paling penting adalah, pasien dengan diagnosis DILS punya resiko 4x lipat

lebih banyak daripada pasien non DILS untuk mendapat hodgkin’s lymphoma.

Jika pasien mengalami kering pada mata dan mulut + SGD yang mirip

dengan pada Sjogren Syndrome, pemeriksaan lengkap untuk penyakit connective

tissue atau defisiensi imun yang lain harus dilakukan. Kemungkinan mendapat

karies pada penderita HIV tetap kontroversial. Beberapa pengarang kembali ke

teori meningkatnya terkena karies karena immuno supresi lokal dan general

dengan hilangnya sekresi saliva, dimana yang lain tidak mendapat variasi yang

berarti ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Secara umum, pasien

dengan HIV kronis memperlihatkan angka karies yang lebih tinggi. Xerostomia

yang tidak berhubungan dengan HIV-SGD bisa muncul pada infeksi HIV sebagai

konsekuensi dari analog nukleosida HIV reverse transkriptase inhibitor, oleh

mekanisme yang tidak diketahui.

Didanosine memicu xerostomia, faktanya xerostomia bisa terlihat pada 1/3

dari pasien yang meminumnya. Sampai 7% pasien yang menggunakan protease

inhibitor bisa mendapat xerostomia.

Pembesaran kelenjar saliva seringkali tidak ditangani. Observasi adalah

penanganan utama, sekiranya faktor penyebab lain sudah disingkirkan. Penilaian

fungsi saliva harus dilakukan pada pemeriksaan gigi pertama. Palpasi dan

pemerasan kelenjar utama harus menjadi bagian standard pada pemeriksaan

kepala dan leher lengkap pada pasien yang HIV positif. Ketika jelas bawa ada

pembesaran kelenjar progressif, fungsi harus dikonfirmasi dengan pemerasan

kelenjar yang terlibat dan mengobservasi aliran. Jika alirannya tidak ada atau

minimal, studi aliran yang lebih mendalam mungkin memberikan penilaian

objektif dari hilangnya fungsi. Keluarnya nanah dari duktus menunjukkan infeksi

akut dan harus ditangani. Jika SGD akut, penanganannya harus meliputi

Page 4: Paper Gimul

1

menyingkirkan diagnosa tumor, infeksi (viral maupun bakterial) ataupun

sialolithiasis. Pembesaran asimptomatik harus dimonitor dan aliran saliva harus

dinilai pada kunjungan ulang.

Agen pelumas dalam bentuk gel, pencuci mulut, pewangi mulut dan pasta

gigi telah digunakan dengan hasil yang berbeda-beda untuk menghilangkan

simptom xerostomia. Permen karet maupun permen yang bebas gula bisa

membantu meningkatkan salivary output tapi bisa saja ada ketidaknyamanan

maupun ketidakpatuhan dari pasien. Saliva buatan komersial, tersedia dengan

menggunakan resep, juga bisa menghilangkan rasa tidak nyaman tersebut.

Penanganan Terapeutik

Pilocarpine adalah agonis parasimpatetik reseptor M3 asetikolin

muskarinik sehingga menstimulasi sekresi oleh kelenjar eksokrin seperti saliva,

kelenjar, lakrimal dan mukus respiratori; kontraksi dari otot polos dan motilitas

saluran GI maupun saluran kemih, kantung dan saluran empedu, serta bronkus.

Efek ini telah membuat beberapa klinisi tidak lagi menggunakan pilokarpin.

Pilokarpin diabsorbsi dari saluran GI dan konsentrasi plasma puncak didapat

dalam kurang lebih 1 jam. Pilokarpin dimetabolisme oleh hati dan dieksresi

utamanya oleh ginjal dengan waktu paruh eliminasi kurang lebih 1 jam.

Pilokarpin sistemik akan meningkatkan sekresi kelenjar eksokrin dan bisa juga

meningkatkan efek samping yang memperlihatkan aksi kolinergiknya.

Cevimeline. Cevimeline (±) cis-2methylspiro[1,3-oxathiolane-5,3’-

quinuclidine] mono-hydrochloride, hemihydrate; (SNI-2001; Evoxac) adalah

analog quinuclidine dari acetylcholine dengan afinitis tinggi untuk reseptor

muskarinik M3 pada kelenjar lakrimal dan salivari tetapi afinitas rendah untuk

reseptor ekuivalen M2 pada jaringan jantung dan paru. Cevimeline meningkatkan

aliran saliva pada tikus normal dan tikus dengan xerostomia karena penyakit

autoimun, dan tikus dengan xerostomia karena radiasi. Terapi dengan cevimeline,

30 mg 3x sehari bisa ditoleransi dan menghilangkan simptom xerostomia, dimana

Page 5: Paper Gimul

1

dosis 60 mg 3x sehari walaupun menghilangkan simptom, dihubungkan dengan

peningkatan kejadian efek samping, terutama kelainan GI. Cevimeline

dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui ginjal. Mempunyai waktu paruh ±5

jam(lebih bagus daripada pilokarpin) bagaimanapun, efek samping dari

vecimeline sama dengan pilokarpin. Telah disangkakan bahwa cevimeline bisa

digunakan pada xerostomia sekunder karena radiasi, infeksi HCV dan terapi obat,

tetapi diperlukan data lebih lanjut.

Kebanyakan kasus SGD akan menunjukkan regresi ketika antiretroviral

digunakan. Ini berguna pada kasus asimptomatik tanpa disfungsi kelenjar saliva.

Terapi radiasi efektif dalam mengecilkan ukuran kelenjar pada orang dewasa.

Terapi operasi untuk SGD biasanya estetik ketika pembesaran megganggu

aktivitas sehari-hari. Pendekatan ini terdiri dari reseksi sebagian dari kelenjar atau

ablasi dan hanya digunakan pada kasus paling parah.

Kedua agen kolinergik yang digunakan, belum disetujui untuk digunakan

pada anak-anak. Anak-anak dengan xerostomia memerlukan penjagaan hygiene

oral yang agressif, pencegahan, penggunaan treatment fluoride

secukupnya(minimal dua kali setahun) dan kontrol karies. Penggunaan fluoride

bisa dipertimbangkan dengan penurunan fungsi yang berat. Kunjungan ulang

harus dijadwalkan setiap tiga sampai lima bulan pada anak dengan disfungsi

saliva karena meningkatnya kemungkinan terkena karies.

Efek xerostomia jangka panjang

- pembesaran kel. Saliva- nyeri pada mukosa oral- bibir yang kering, pecah dan nyeri- kandidiasis oral- meningkatnya frekuensi karies gigi- penyakit gingiva dan periodontal- depapilasi lidah- kesulitan makan, menelan dan berbicara- dysgeusia( gangguan pengecapan )

Page 6: Paper Gimul

1

obat yang dapat menyebabkan xerostomia

- protease inhibitor- didanosine- disopyramide- dideoxyinosine- diuretik- antipsychotic- tricyclic antidepressant- serotonin reuptake inhibitor- antihistamin- atiemetik- decongestan- bronchodilator- appetite suppresant- omeprazole- lithium- amphetamin

Page 7: Paper Gimul

1

IMMUNE RECONSTITUTION DISEASE (IRD)SEMAKIN MENINGKAT;

PENTING UNTUK DIKENALI

Maru J. Murphy, MD

Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) diperkenalkan pada tahun

1996. Penggunaan HAART dimana-mana telah mengakibatkan penurunan

morbiditas dan mortalitas pasien HIV. Kelebihan HAART terutama

dibhubungkan dengan pengurangan infeksi dan malignansi oportunistik karena

HIV, dan hasil dari replikasi HIV dan restorasi immuno-competence. Pada saat

yang sama, efek HAART telah diimplikasikan sebagai penyebab sindrome baru

yang dikenal sebagai rekonstitusi imun atau immune reestoration disease(IRD).

Sedangkan frekuensi tepatnya dari sindrom ini masih tidak jelas, adalah penting

bagi para klinisi untuk mengenalinya, terutama karena ia mungkin punya

manifestasi klinis yang tidak biasa, dibandingkan dengan presentasi klinis infeksi

opportunistik dan malignansi yang berhubungan dengan HIVatau tidak bisa

dibedakan dengan toksisitas yang berhubungan dengan HAART.

IRD ditandai dengan perburukan klinis paradox atau tak terduga di pasien

yang memulai HAART. Biasanya terjadi pada beberapa minggu pertama setelah

dimulainya HAART, tapi bisa juga muncul setelah bbrp bulan memulai terapi

HAART.

Patofisiologi IRD diperkirakan berhbuungan dengan meningkatnya respon

inflamasi yang dibawa oleh peningkatan sel T CD4+ dan CD8+, dan juga

membaiknya delayed hypersensitivity. Perubahan produksi sitokin yang

bergantung pada sel T bisa juga terlibat. Penurunan cepat mula-mula pada viral

load terjadi karena efek HAART pertamanya dihubungkan dengan peningkatan

sel T karena redistribusi antigen yang terpapar dengan sel efektor serta naiknya

produksi limfosit CD4+ dan CD8+. Meningkatnya respon inflamasi diubungkan

dengan pemulihan imun biasanya terhadap organisme yang sering ditemui pada

lingkungan, semisal mycobacterium dan virus herpes.

Page 8: Paper Gimul

1

Banyak kasus IRD yang dilaporkan dalam HIV/TB pada pasien yang

memulai HAART. Perburukan TB setelah terapi anti-TB terlah sebelumnya

diperlihatkan pada pasien non HIV. Ini biasanya karena respons yang meningkat

terhadap antigen mikobakterial yang dibawa oleh terapi TB. Insidensi dan

keparahan perubahan klinis karena penanganan TB kelihatannya paling parah

pada pasien HIV positif yg menggunakan HAART dibanding dengan pasien HIV

tanpa HAART dan pasien tanpa HIV.

Manifestasi klinis IRD pada pasien HIV dengan TB menggunakan

HAART: demam panjang, perburukan simptom respiratori dan infiltrat paru,

lymphadenopati, efusi pleura dan perikardial, lesi kutaneus, keterlibatan intestinal,

tuberkuloma intrakranial. Pembesaran limph node bisa terjadi di rongga badan

dan kelenjar superfisial, nekrosis kaseosa dengan drainase bisa terjadi.

Pemeriksaan histologis bisa menunjukkan granuloma tetapi biasanya tidak ada

organisme yang terlihat. Walaupun kultur kadang menunjukkan positif untuk

MTB, lebih sering negatif, dan hapusan AFB jarang positif. Terjadinya IRD pada

pasien HAART yang terinfeksi MTB bervariasi dari 10 – 180 hari sejak

permulaan HAART. Menariknya, penurunan absolut pada viral load HIV bisa

menjadi faktor resiko signifikan untuk IRD yg berhubungan dengan TB daripada

peningkatan derajat sel T. Infeksi fokal ekstrapulmonal yang telah ada

sebelumnya juga adalah suatu faktor resiko. Karena frekuensi IRD-TB pada

pasien dengan HAART, beberapa klinisi telah menyarankan penunddan HAART

pada pasien HIV/TB sampai mereka telah mendapat 1-2 bulan terapi anti TB.

M. avium adalah salah satu infeksi opportunistik AIDS yang ditemukan

dalam kontex rekonstitusi imun. Berbeda dengan TB, MAC IRD terjadi lebih

sering pada pasien tanpa diagnosis MAC disseminata sebelumnya, menunjukkan

asal subklinis dari infeksi ini. Tanda khas IRD-MAC adalah ia jarang muncul

sebagai penyakit disseminata dengan bakteremia dan keterlibatan bone marrow

dan sering muncul sebagai limfadenitis fokal melibatkan nodul intraabdominal

dan superficial. Granuloma juga sering dijumpai pada biopsi dan supurasi.

Manifestasi lain termasuk nodul kulit yang nekrotik, osteomielitis, massa

Page 9: Paper Gimul

1

endobrachial, keterlibatan usus halus, busitis, dan penyakit addison. Hapusan

AFB dan kultur bisa negatif. Pada kebanyakan kasus, simptom muncul dalam

beberapa minggu sejak HAART dimulai.

Manifestasi okular dari CMV dengan HAART ditandai dengan inflamasi

yang banyak dinamai immune recovery itritis atau uveitis yang melibatkan

viterous body dan anterior chamber dari mata. Pasien sering mengeluhkan

penglihatan yang kabur dan berbayang. Komplikasi termasuk proliferative

vitreoretinopati dan posterior subcapsular karatak yang bisa mengakibatkan

kehilangan penglihatan yang permanen. Pasien dengan riwayat retinitis CMV

yang memulai HAART harus dikontrol dengan ketat oleh seorang spesialis mata.

Komplikasi serius terjadi lebih sering pada pasien dengan pasien dengan

keterlibatan retina karena CMV. Pasien tanpa riwayat CMV, tapi berada dalam

resiko karena kadar CD4 yang rendah harus di skriining untuk retinitis CMV

sebelum memulai HAART dan juga dimonitor dengan ketat untuk perubahan

visual. Walaupun ada kemungkinan untuk komplikasi, hasil pada kebanyakan

pasien yang mengalamai CMV IRD kelihatan bagus. Mereka bisa juga mengalami

proteksi immunologikal terhadap CMV yang membuat tidak diperlukannya lagi

terapi anti CMV. Manifestasi lain dari IRD/CMV adalah colitis, pancreatitis,

viremia CMV dan pneumonitis.

Insidensi herpes zoster pada pasien HIV meningkat setelah mengkonsumsi

HAART. Kebanyakan episode terjadi satu sampai empat bulan setelah memulai

hAART, biasanya bergantung kepada lokasi dan biasanya ringan. Ini berkorelasi

dengan persentasi baseline CD8+ yang tinggi dan kenaikan signifikan sel-sel ini

pada empat minggu setelah HAART dimulai.

Kemerahan karena hepatitis yang jelas bisamjuncul pada pasien dengan

HBV atau HCV setelah dimulainya HAART (Studi menunjukkan naiknya level

DNA HBV atau HCV pada beberapa, tapi tidak semua. pasien dengan suspek

kemerahan hepatitis kronis ). Toksisitas obat karena antiretroviral bisa menjadi

penyebab pada beberapa pasien. Kemerahan HBV karena putus obat HBV,

Page 10: Paper Gimul

1

resistensi lamivudine, penyebab lain dari penyakit liver, seperti cholecystitis dan

infeksi baru seperti penyakit mikobakterial harus termasuk dalam dd. Biosi liver

bisa beguna dalam membedakan diagnosa-diagnosa ini. Peningkatan transaminasi

ringan-sedang sementara bisa diatasi dengan observasi saja. Pada dekompensasi

hati yang berat, HAART harus dihentikan. Sebagai atatan, ada laporan hepatitis

karena HAART pada pasien dengan HBV yang menyebabkan serokonversi dan

clearence antigen HBV, antigen permukaan HBV dan DNA HBV. Manifestasi

ekstrahepatik dari HCV telah dijelaskan pada pasien yang memulai HAART

termasuk poliarthritis, porphytra dan cryoglobulinemia.

HAART meningkatkan survival rate pada pasien AIDS dgn PML. Ia juga

menurunkan tingkat virus JC di CSF. Dan meningkatkan antibody JC. HAART

dihubungkan dengan PML IRD ditandai oleh pengembangan temuan neurologis

yang baru atau memburuk. Banyak kasus adalah ringan dan menunjukkan

perkembangan dengan melanjutkan HAART. MRI menunjukkan lesi kontras yang

atipikal pada pasien HIV dengan PML yang tidak menggunakan HAART dan

menunjukkan intensitas respons inflamasi.

Meningitis kriptokokus muncul setelah permulaan HAART bisa

dihubungkan dengan pleositosis CSF yang signifikan dan titer antigen

kriptokokus CSF yang tidak biasa, keduanya tidak ditandai dengan meningitis

kriptokokus pada pasien HIV yg tindak menggunakan HAART. Manifestasi lain

dari IRD kriptokokus adalah pneumonitis, limfadenitis dan ases kutaneus.

Proses noninfeksi yang berhubungan dgn IRD termasuk keganasan dan

penyakit autoimun. Perkembangan atau rekurensi sarkoma kaposi dan limfoma

berhubungan dengan dimulainya HAART. Grave disease dengan tanda dan

simptom hipertiroidism, LES dan sarcoidosis muncul mengikuti HAART.

Belum ada controlled trial yang telah dilakukan untuk mengevaluasi

pengobatan untuk IRD. Rekomendasi penanganan saat ini hanya berdasarkan case

dan case series report.

Page 11: Paper Gimul

1

PERAWATAN GIGI PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA PENDERITA

HIV

Asshore Shetty,DDS, DDPH

Oleh karena pandemi HIV/AIDS terus berlangsung, jumlah populasi anak-

anak di seluruh dunia yang terjangkit virus ini terus bertambah. Berdasarkan data

dari PBB, Program AIDS, pada tahun 2003 saja, 2.5 juta anak di seluruh dunia

terjangkit virus HIV dan lebih dari 500.000 orang meninggal.

Dengan adanya metode yang lebih baik dalam mendeteksi HIV/AIDS dan

terapi yang lebih baik, angka harapan hidup anak-anak yang terinfeksi HIV lebih

panjang, hal ini diakibatkan karena kerjasama dari para personil medis, termasuk

dokter gigi. Pengobatan yang terkini dan mekanisme terbaru dalam memeriksa

pasien memungkinkan para penderita hidup lebih lama, bahkan dengan jumlah sel

CD4 yang sangat rendah dalam rentang waktu lama. Selama masa ini, para

penderita juga menjadi lebih rentan untuk terserang infeksi opurtunistik. Beberapa

infeksi opurtunistik ini memiliki tempat predilksi di rongga mulut, sehingga

kesehatan mulut menjadi sangat penting bagi para dokter dan dokter gigi dalam

menangani anak-anak penderita HIV.

Berdasarkan literatur kedokteran gigi, anak-anak yang terjangkit virus

HIV memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami karies dibanding yang

tidak terinfeksi, terutama untuk nursing caries. Risiko terjadinya karies gigi dan

gingivitis dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor sosioekonomi, kurangnya

pengetahuan tentang perawatan kesehatan rongga mulut, dan faktor perilaku

seperti penggunaan botol susu yang sering telah terbukti memiliki hubungan

dengan terjadinya karies dan gingivitis. Meskipin demikian, ada faktor-faktor lain

yang meningkatkan risiko untuk penyakit plak pada anak-anak yang terinfeksi

HIV, termasuk imunkompromis yang progresif, efek obat-obatan pada saliva

maupun flora normal di rongga mulut, dan obat-obatan yang mencetuskan

terjadinya karies.

Lebih lanjut, anak-anak yang terinfeksi HIV mengalami pertumbuhan

yang terhambat dan gagal tumbuh, sehingga memerlukan penggunaan botol yang

Page 12: Paper Gimul

1

berkepanjangan untuk memberikan suplementasi nutrisi yang adekuat. Sayangnya

suplemen yang diberikan mengandung gula dengan konsentrasi yang sangat

tinggi. Pada kasus yang seperti ini, gangguan pada rongga mulut diakibatkan oleh

pembersihan rongga mulut yang buruk dari makanan dan obat-obatan sehingga

akan meningkatkan risiko karies.

Artikel ini menggali tentang panduan klinis terkait standar perawatan gigi

dan rongga mulut untuk praktisi pelayanan primer pada anak-anak dan remaja

yang terinfeksi HIV.

Lesi di Rongga Mulut yang Umum dijumpai pada Pasien Pediatri yang

Terinfeksi HIV

Lesi terjadi di daerah mulut dan orofaring. Lesi yang muncul dapat

disebabkan oleh etiologi yang berbeda-beda. Lesi dapat tunggal maupun multipel.

Mikroorganisme penyebab dapat berupa virus, seperti herpes, cytomegalovirus

(CMV), dan virus Epstein-Barr; atau bakteri atau jamur. Lesi yang disebabkan

karena obat-obatan anti retroviral pernah dilaporkan. Sarkoma Kaposi sebagai

manifestasi HIV pada anak-anak sangat jarang dijumpai pada anak-anak terutama

di Negara-negara Barat.

A. Kandidiasis Oral

Lesi jaringan lunak yang paling sering dijumpai pada anak yang terinfeksi

HIV adalah kandidiasis oral pseudomembranosa. Kandidiasis eritematosa juga

umumnya dijumpai pada anak yang terinfeksi HIV.

Sejumlah faktor mempengaruhi risiko terjadinya kandidiasis pada anak-

anak. Pola pemberian makanan dan kebutuhan nutrisi meningkatkan frekuensi

asupan karbohidrat yang berfermentasi (contoh susu formula, jus, susu,

suplemen), terutama ketika diberikan lewat botol, akan mendukung pertumbuhan

kandidiasis.

Berkumur, manajemen obat-obatan dan nutrisi, serta membersihkan

seluruh mukosa dan jaringan gingival sejak lahir dapat membantu mengontrol

pertumbuhan kandida di rongga mulut dan menghambat progresivitas dari

Page 13: Paper Gimul

1

kandidiasis oral. Pada bayi dan balita, lesi kandida dapat diobati dengan cara

usapan dengan nystatin. Obat anti jamur dapat juga digunakan. (Lihat tabel obat

antijamur).

Tabel 1. Terapi Antijamur untuk Kandidiasis Oral

Antijamur untuk Kandidiasis Oral pada Populasi Anak

Agen Dosis

Topikal

Suspensi nystatin oral

Clotrimazole troches

2-5 MI, 4-6 kali/hari

Tablet 10 mg, 3-5 kali/hari

Sistemik

Flucanazole

Itraconazole

Ketoconazole

3-5 mL, 4-6 kali/hari

100 mg/hari/oral, untuk anak > 3 tahun

5-10 mg/kgBB/hari

Bukti menunjukkan bahwa penggunaan antijamur secara kronis dan

berkepanjangan memiliki beberapa kekurangan, seperti resistensi, toksik dan

rusaknya sistem organ yang masih imatur. Lebih lanjut, baik sukrosa yang

terkandung dalam preparat antijamur maupun jus atau susu yang dikonsumsi saat

minum obat akan meningkatkan risiko terjadinya karies. Penghentian penggunaan

botol dan mulai menggunakan cangkir sedini mungkin dapat mengurangi risiko

terjadinya kandidiasis. Terkadang, anak-anak dengan imunokompromis yang

sangat buruk membutuhkan dosis antijamur yang lebih tinggi untuk mengobati

kandidiasis oral. Peresepan ini harus dilakukan dokter anak dengan spesialisasi

HIV pada anak.

B. Angular Cheilitis

Angular cheilitis umum dijumpai pada anak-anak yang terinfeksi HIV.

Angular cheilitis didiagnosis berdasarkan gejala klinis yang terlihat. Ini terlihat

sebagai eritema atau fisura pada sudut bibir dan sering diikuti dengan kandidiasis

intra-oral. Pada pasien dengan pigmen kulit yang gelap, depigmentasi dapat

Page 14: Paper Gimul

1

terjadi di lokasi terjadinya angular cheilitis. Pada apusan sitologi sering tidak

dijumpai adanya hifa karena angular cheilitis dapat terjadi akibat asupan maupun

cara pemberian makan yang tidak adekuat bukan hanya karena infeksi jamur.

Pengamatan terhadap respon lesi atas pemberian terapi antijamur sangat penting

untuk mengetahui peranan Candida sebagai etiologi dari lesi.

C. Pembengkakan Kelenjar Parotid

Pembengkakan kelenjar parotid adalah lesi rongga mulut tersering kedua

yang dijumpai pada anak-anak yang terinfeksi HIV. Biasanya asimtomatis dan

bilateral, serta dapat sembuh maupun kambuh secara spontan. Penyebab

terjadinya pembengkakan belum sepenuhnya dimengerti; penjelasan yang

mungkin adalah infiltrasi sel-sel limfosit dan super infeksi oleh virus non-HIV.

Diagnosis banding dari parotitis dapat berupa infeksi bakteri, penyumbatan dari

duktus saliva, limfoma, dan leukemia. Berbeda dari kandidiasis, pembengkakan

kelenjar parotis tidak menggambarkan outcome pasien yang buruk.

D. Karies dan Gingivitis

Literatur menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV memiliki

risiko yang lebih besar mengalami karies dan gingivitis daripada anak tanpa

infeksi HIV. Peningkatan risiko berhubungan dengan gigi yang busuk akibat

penggunaan botol susu, imunodefisiensi yang progresif, efek obat-obatan terhadap

aliran saliva dan flora normal di mulut, pertumbuhan yang terhambat dan/atau

gagal tumbuh. Faktor ekstrinsik seperti diet, oral hygiene yang tidak adekuat,

status sosioekonomi, kurangnya pengetahuan pengasuh, dan seringnya

penggunaan botol ketika akan tidur juga dapat menjadi faktor risiko tambahan.

Infeksi HIV, perubahan terhadap saliva dan xerostomia berkontribusi terhadap

keparahan penyakit yang berhubungan dengan plak. Tumbuhnya gigi dapat

tertunda pada anak-anak dengan infeksi HIV.

E. Xerostomia

Berkurangnya sekresi saliva, atau xerostomia, ditemukan pada pasien anak

dengan HIV dan dapat menyebabkan karies pada gigi. Frekuensi terjadinya hal ini

Page 15: Paper Gimul

1

tidak diketahui dan etiologinya juga tidak jelas. Xerostomia sangat sulit untuk

dinilai; gejalanya dapat berupa feses yang kering, volume urin yang rendah,

konsumsi cairan yang meningkat, makan makanan yang berkuah dan lunak, dan

keluhan mulut yang kering. Pemberian gamma globulin dan antiretroviral

didanosine (ddI) diduga sebagai penyebab terjadinya xerostomia pada sebagian

anak.

Pada beberapa pasien, gejala yang timbul menyerupai Sjrogen Syndrome

dan pemeriksaan secara histologisnya tampak ada berupa lesi limfoepitelial kistik.

F. Aphtous Ulcers

Apthous ulcers pada anak dengan HIV (prevalensi < 10%) dapat

menyebabkan masalah yang serius, seperti nyeri dan terganggunya proses makan.

Diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilannya, yaitu nyeri, bentuknya

bulat-oval, ulkus berwarna kuning keputihan yang dikelilingi halo eritematosa.

Bila perjalanan penyakitnya sudah berkepanjangan, ukuran dan lokasinya menjadi

atipikal. Terapi antiretroviral dengan zalcitabine telah ditetapkan sebagai

etiologinya. Sebagian besar apthous ulcer pada anak-anak dengan HIV sembuh

secara spontan. Penggunaan prednison jangka pendek dapat meringankan dan

mempercepat pemulihan.

Thalidomid telah terbukti sebagai terapi yang efektif pada apthous ulcer

yang tak sembuh-sembuh pada pasien HIV, namun efek teratogeniknya telah

dilaporkan terhadap wanita hamil. Pada remaja putri, thalidomide hanya

digunakan ketika 1) semua pilihan terapi telah dicoba, 2) pasien remaja putri ini

sudah tahu bahwa dirinya tidak akan hamil, dan 3) pasien remaja putri akan

menggunakan alat kontrasepsi. Thalidomid hanya dapat tersedia dengan

persyaratan tertentu. Seorang dokter anak dengan spesialisasi HIV harus dapat

mengkomunikasikan ini dengan pasien remaja putrinya sebelum menggunakan ini

sebagi pilihan terapi.

Page 16: Paper Gimul

1

G. Herpetic Stomatitis

Herpetic stomatitis/ stomatitis herpetiformis merupakan infeksi virus yang

umum dijumpai pada populasi anak, tanpa memperhatikan status HIV-nya.

Lesinya dapat menjadi sangat parah pada anak yang terinfeksi HIV. Perjalanan

penyakitnya dapat lebih lama daripada yang seharusnya (10-14 hari). Lesinya juga

dapat menjadi lebih agresif dan dapat lebih sering kambuh. Diagnosis dari herpes

simpleks yang rekuren dapat ditegakkan dengan mengenali tampilan klinisnya.

Herpes labialis berupa sekumpulan vesikel yang bergabung dan membentuk ulkus

ireguler di daerah sekitar bibir atau peri-oral. Herpes simpleks intra oral yang

rekuren berupa sekumpulan vesikel yang berasal/terletak di mukosa yang

berkeratin.

Stomatitis herpetiformis pada individu yang imunokompeten merupakan

self-limited disease dan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Namun pada

anak yang terinfeksi HIV, hal ini membutuhkan terapi medikamentosa, acyclovir

baik topikal, oral maupun intravena tergantung keparahannya dan imunitas anak.

H. Hairy Leukoplakia

Hairy Leukoplakia telah dilaporkan dijumpai pada anak yang terinfeksi

HIV, namun hal ini jarang terjadi. Hairy leukoplakia merupakan lesi ireguler,

berwarna putih, tidak rata, berlekuk-lekuk dan terletak pada bagian lateral atau

dorsolateral dari lidah. Lesi dapat unilateral maupun bilateral. Hairy leukoplakia

disebabkan oleh infeksi sel epitel oleh virus Epstein Barr. Dapat sembuh sembuh

sempurna ataupun tidak dan tidak diketahui peranannya sebagai faktor prognostik

pada penderita HIV.

I. Linear Gingival Erythema

Linear gingival erythema (LGE) umumnya berkaitan dengan pertumbuhan

gigi anterior, baik bagian atas maupun bawah; telah diamati pada pasien pediatri.

Berdasarkan pengalaman klinis, 10% anak dengan infeksi HIV mengalaminya.

Lesinya tidak menyebabkan masalah klinis ataupun masalah nutrisi. LGE terbatas

Page 17: Paper Gimul

1

pada jaringan lunak periodonsia dan memiliki ciri khas berbentuk pita linear yang

eritematosa, dapat juga berupa punctuate erythema yang meluas hingga mukosa

alveolar. Pada sebagian besar kasus LGE, perdarahan baru terlihat setelah

pemeriksaan.

J. Periodontitis

Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP) dan penyakit destruksi

periodonsia yang lain, seperti atypical necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG)

jarang ditemukan pada penderita HIV anak-anak di Amerika Serikat. Risiko

terkenanya penyakit ini lebih tinggi dijumpai pada remaja yang terjangkit infeksi

HIV.

Pencegahan dan Rencana Pengobatan

Banyaknya faktor risiko yang berkaitan dengan masalah pada rongga

mulut menjadikan pencegahan sebagai sesuatu yang esensial. Penyediaan

rehabilitasi dan perawatan gigi merupakan tantangan bagi keluarga penderita

maupun dokter gigi. Penelitian menunjukkan bahwa jika sekali karies terjadi

maka akan sulit untuk mengontrol progresivitasnya. Lebih lanjut, dari hasil

penelitian juga menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan keluarga penderita

terhadap kesehatan dan perawatan gigi. Penyediaan pelayanan kesehatan mulut

yang memadai dan pengobatan penyakit mulut sebagai bagian dari pelayanan

kesehatan primer bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi pada rongga mulut,

mengeliminasi nyeri dan penderitaan, dan meningkatkan kesehatan rongga mulut

maupun kesehatan secara umum pada semua penderita HIV.

Cara lain dalam pengobatan penyakit mulut adalah dengan deteksi dini

terhadap infeksi HIV. Sebagai contoh, kandidiasis yang menetap setelah masa

bayi merupakan tanda-tanda infeksi HIV yang tidak terdeteksi. Upaya pencegahan

oleh dokter-dokter gigi dan pemberi pelayanan kesehatan pada anak sangat

penting pada anak yang menderita HIV. Lihat tabel 2.

Page 18: Paper Gimul

1

Tabel 2. Strategi Preventif Terhadap Kesehatan Rongga Mulut Pada Pasien

Pediatri yang Terinfeksi HIV

Strategi Preventif Terhadap Kesehatan Rongga Mulut Menurut Usia

Kelompok Usia Strategi Preventif

Bayi Mensupervisi penggunaan botol untuk pemberian

makanan maupun untuk menenangkan, manajemen

medikasi kariogenik.

Anak-anak Penambal gigi, penggunaan fluoride baik topikal

maupun sistemik yang optimal, suplementasi fluoride

sebagai pencerah, manajemen nutrisi dan obat-obatan,

pengaturan asupan karbohidrat yang dapat berfermentasi

dengan frekuensi rendah (misal jus, susu)

Remaja Menghilangkan sisa-sisa makanan ataupun obat-obatan

dengan membilas dengan air (berkumur) atau

membersihkan secara mekanis dengan alat, manajemen

nutrisi dan medikasi, mengidentifikasi penghalang yang

dapat mencegah remaja untuk memperoleh perawatan.

Penambal gigi, penggunaan fluoride sistemik maupun topikal yang

optimal serta suplementasi fluoride sebagai pencerah adalah kunci dalam strategi

preventif. Terapi pada gigi harus diterapkan pada perawatan di rumah dengan

efektif serta manajemen dalam nutrisi maupun obat-obatan dapat memberikan

pencapaian yang optimal oleh pemberi pelayanan kesehatan. Kondisi kesehatan

rongga mulut dan jaringan lunaknya menggambarkan derajat kemapuan perawat

(pemberi pelayanan kesehatan) dan penderita dalam menaati regimen perawatan

di rumah.

Antisipasi sebaiknya dimulai sejak prenatal dan terus berlanjut selama

masa bayi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan primer yang menyeluruh pada

ibu hamil dan anaknya. Perawatan anak juga termasuk penggunaan botol dalam

Page 19: Paper Gimul

1

pemberian makanan dan kesehatan rongga mulut. Rekomendasi lain dapat

diperoleh dari American Academy of Pediatric Dentistry.

Komponen dalam Pelayanan Kesehatan Primer

1. Adanya dokumen yang lengkap mengenai evaluasi terhadap kesehatan gigi

dan mulut sebagai bagian dari pemeriksaan secara keseluruhan dengan

interval waktu tiga bulan atau interval yang sesuai.

2. Pastikan perawatan gigi-mulut yang berkelanjutan terutama ketika

terdeteksi adanya kelainan pada pemeriksaan rutin. Setidaknya pada satu

penelitian terhadap pasien dengan HIV positif menunjukkan bahwa pasien

dengan HIV positif memiliki karies yang lebih banyak dibanding

saudaranya yang tidak terjangkit HIV. Pasien dengan HIV positif

cenderung untuk tidak menepati janji untuk bertemu dokter gigi, walaupun

untuk pengobatan.

3. Lakukan pendekatan yang membangun pada keluarga untuk mengubah

kebiasaan yang dapat menimbulkan penyakit gigi-mulut

4. Beri dukungan pada yang merawat mengenai penggunaan botol susu

sebagai cara yang tidak tepat untuk menidurkan anak.

5. Berikan informasi kepada keluarga mengenai masalah kesehatan gigi

mulut yang berat kemudian lakukan tindak lanjut pada anak yang

terinfeksi maupun saudara-saudaranya.

6. Rujuklah untuk segera memperoleh perawatan jika tanda dan gejala karies

dijumpai.

7. Perawatan gigi rutin:

A. Anak-anak dengan HIV positif sebaiknya memperoleh perawatan gigi

dan mulut sebagaimana mestinya berdasarkan kemampuannyauntuk

menjalani prosedur pengobatab, bukan berdasarkan status HIV-nya.

Bukan hal yang wajar bagi anak berusia 2-3 tahun untuk menjalani

perawatan gigi yang menyeluruh oleh karena karies.

B. Untuk pasien dengan HIV positif, terdapat risiko tambahan yang

dihasilkan dengan penggunaan medikasi karogenik. Obat-obatan yang

mengandung substansi kariogenik (contoh gula sederhana) seperti pada

Page 20: Paper Gimul

1

nystatin kumur dan tablet isap dapat meyebabkan karies gigi yang

dapat menyebakan terbentuknya abses dan selulitis dengan cepat,

terutama pada gigi susu/desidua. Gigi susu memiliki enamel yang lebih

tipis dan rongga pulpa yang lebih besar. Karakteristik ini akan

menciptakan potensi untuk destruksi yang cepat terhadap struktur gigi

dan pembentukan abses/selulitis dengan pemberian makanan

kariogenik (termasuk susu, jus, suplemen gizi), dan/atau obat-obatan

seperti nystatin kumur maupun tablet isap atau obat-obatan lain yang

mengandung pemanis kariogenik. Obat-obatan yang menurunkan

aliran saliva akan meningkatkan potensi terbentuknya karies; termasuk

di dalamnya didanosine, dronabinol, foscarnet, interferon alpha-2A.

Pertimbangkan untuk menggunakan larutan kumur fluoride sebagai

“over-the-counter” ketika menggunakan obat-obatan kariogenik.

C. Anak-anak kecil dan yang fobia dapat menggunakan bius lokal

maupun umum dalam menangani perilakunya. Penilaian perilaku harus

dilakukan untuk menilai kemampuan bekerjasama dalam penanganan

perawatan gigi.

8. Ikut sertakan dokter gigi dalam tim pemberi pelayanan kesehatan.

A. Dokter gigi akan memberikan pengetahuan dan keahliannya dalam

upaya pencegahan maupun perawatan gigi yang rusak.

B. Menjadi bagian dalam tim akan memberikan informasi terbaru

mengenai perawatan gigi yang aman.

C. Pemberi perawatan gigi dapat membentu melatih anggota tim yang

lain dalam mengenali lesi di rongga mulut.

Page 21: Paper Gimul

1

PENTINGKAH DILAKUKAN RAPID TEST HIV DALAM PENCEGAHAN

TERJADINYA HIV?

Pat Gootee, FNP

Dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini, test pada HIV merupakan tes

yang membutuhkan biaya banyak dan sulit. Hal ini tampak pada penderita HIV

yang melakukan tes sedikit yang mengambil hasilnya. Angka pasien yang

mendapatkan hasil setelah melakukan tes bervariasi diberbagai lokasi dan

populasi. Sebagai contoh, pada penelitian di North Carolina , Landis et al ,

melaporkan hanya 42% pasien yang melakukan tes kembali untuk mengambil

hasil tesnya kembali dan secara keseluruhan, di Amerika Serikat hanya 51% yang

mengambil tesnya kembali. Sedangkan pada penelitian di universitas Washington

di St. Louis terdapat perbedaan antara penderita HIV yang tidak diketahui

identitas dengan penderita HIV yang dirahasiakan identitasnya, berger, et al,

melaporkan bahwa 80% dari pasien yang melakukan test HIV kembali untuk

mengambil hasilnya. Sampai sekarang jangka waktu 2 minggu merupakan jangka

waktu yang normal dalam pengambilan hasil test HIV.

April 2003, CDC mengemukakan strategi baru dalam mencegah infeksi

HIV. 4 komponen strategi yang meliputi : 1. Memasukan test HIV dalam medical

check up rutin, 2. Menggunakan metode pemeriksaan baru disamping

pemeriksaan metode yang lama, 3. Mencegah infeksi pada pasangan orang-orang

yang terinfeksi HIV, 4. Mengurangi angka penularan secara vertikal.

Salah satu metode pemeriksaan HIV yang paling penting adalah test rapid

HIV dari Orasure Technologies , Bethlehem, PA. Oraquick digunakan pada

semua tipe darah ( melalui fingerstick atau venopuncture) pada November 2002,

dan pada Januari 2003 mendapati bahwa CLIA waiver merupakan prosedur yang

lumayan kompleks. 25 Maret 2004 FDA mengemukakan cara pemeriksaan baru

dengan menggunakan OraQuick pada saliva. Kurang dari 1 minggu setelah

dikemukakannya test tersebut , FDA mengemukakan deteksi untuk HIV 2 dengan

Page 22: Paper Gimul

1

melalui pemeriksaan darah lengkap dengan OraQuick (dijumpai kebanyakan di

Afrika barat).

Rapid test OraQuick telah digunakan dan diteliti di berbagai fasilitas

kesehatan di India, Republik Kongo, Ivory Coast, Ghanam Vietnam, Honduras,

Republik Dominika dan Brazil, demikian juga pada daerah di Amerika Serikat

yaitu, Chicago, Houston, dan Washington DC. Pada negara – negara di Afrika

dengan jenis virus HIV yang bermacam – macam, hasil penelitian retrospectiv

pada pasien STD Tuberkulosis dan prenatal yang HIV positif menunjukkan bahwa

seluruh pasien dapat terdiagnosa secara akurat, dengan sensitifitas dan spesifisitas

100% yang menggunakan test rapid HIV 1 dan 2.

Penelitian lain yang dilakukan oleh WHO di Bostwana, WHO juga

merekomendasikan untuk dilakukannya test TB pada penderita HIV. Penelitian ini

bertujuan untuk menentukan kegunaan dari OraQuick HIV test tersebut untuk

mendeteksi antibodi HIV pada sputum. Dari 377 pasien, 84% merupakan HIV

positif melalui pemerisksaan serum ELISA. OraQuick Assay mendeteksi 98,4%

HIV pada sekresi ginggiva.

Sejak Januari sampai Juli 2002, CDC mengevaluasi 5.771 wanita dibagian

kebidanan dari 4 rumah sakit di Chicago untuk mengetahui tentang Mother Infant

Rapid Intervention at Delivey (MIRIAD). 3 rumah sakit menggunakan

pemeriksaan rapid dan 1 rumah sakit menggunakan test laboratorium. Hasilnya

diperoleh 513 dari 5.771 memenuhi persyaratan untuk melakukan rapid test dan

380 diantaranya memberikan informed concent untuk dilakukan MIRIAD. Dari

225 pasien yang melakukan test di 3 rumah sakit dengan pemeriksaan rapid dan

155 lainnya menggunakan test laboratorium.

Pemeriksaan EIA standar, western blood memberikan hasil 100% pada

rapid test. 3 wanita yang teridentifikasi menderita HIV dan telah di lakukan terapi

anti retroviral selama kehamilan dan melahirkan dijumpai bahwa tidak ada

satupun anaknya yang menderita HIV.

Page 23: Paper Gimul

1

Waktu yang diperlukan pada pemeriksaan rapid yaitu 30 menit sampai 2,5

jam sedangkan pada pemeriksaan laboratorium membutuhkan waktu 3,5 jam

sampai 16 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa visi baru dari CDC dalam

penurunan transmisi HIV pada perinatal dilakukan dengan pemeriksaan pada

wanita yang tidak melakukan screening prenatal care ataupun pada wanita yang

tidak mendapatkan prenatal care.

Tedapat 3 rapid test yang telah diakui oleh FDA dan telah di gunakan di

Amerika Serikat yaitu, OraQuick Rapid HIV I/II Antibody Test, Reveal Rapid

HIV I Antibody Test, dan Uni-Gold Recombigen HIV test. Hanya OraQuick

Rapid Test yang diakui oleh CLIA.

Pada Rapid test tidak ada ketentuan dari negara untuk orang – orang yang

akan melakukan test, kualitas pemeriksaan ataupun kelayakan dari test. Test

tersebut dapat dilakukan di laboratorium, fasilitas kesehatan seperti praktek

dokter, tempat konseling HIV ataupun tempat – tempat test lainnya. Untuk

pemerikssan Rapid , sebuah organisasi harus mempunya sertifikat dari CLIA dan

mengikuti standar prosedur.

CDC menemukan bahwa 99 personel yang tidak memiliki latar belakang

laboratorium telah melakukan 2 test yang berbeda untuk Rapid test HIV. Semua

partisipan mendapat intruksi tertulis dan sebagian mereka juga mendapat

demonstrasi singkat. Angka kesalahan dijumpai 2,1% sampai 4,6% dengan

maupun tanpa demonstrasi. Jumlah test yang tidak valid berkurang pada

partisipan yang mendapakatkan demonstrasi singkat. CDC merekomendasi untuk

melakukan monitoring lanjut pada test rapid HIV yang dilakukan pada fasilitas

non laboratorium.

CDC melakukan penelitian menggunakan kohort terhadap penderita yang

diketahui maupun tidak diketahui status HIV nya. 100 relawan yang beresiko

rendah terhadap infeksi HIV dan 101 pasien pasien yang terinfeksi HIV direkrut

untuk dilakukan penelitian mengenai HIV yang sedang terjadi. 4 subjek yang

terinfeksi HIV ketika dilakukan test dengan OraQuick hasilnya negatif. 20 subjek

Page 24: Paper Gimul

1

yang dipilih secara random dari sisa 97 pasien yang terinfeksi dan serumnya

diperiksa dengan menggunakan OraQuick dan gp41 EIA. Hasilnya : OraQuick

relatif dengan transudat mukosa mulut dan serum didapati 97 dari 101 subjek

yang terinfeksi HIV dan 0 dari 100 subjek yang tidak terinfeksi ( sensifitas dan

spesifisitas 96 dan 100% respektif). 79% dari subjek yang terinfeksi HIV

melakukan HAART pada penelitian yang menggunakan OraQuick. Hasil negatif

palsu dijumpai dengan tidak terdeteksinya viral load pada saat penelitian.

Pada survei yang dilakukan lewat telepon terhadap laboratotium lokal

pemeriksaan standar ELISA membutuhkan biaya sebesar $79 dan test konfirmasi

dengan Western Blood membutuhkan biaya $252. Sedangkan pada pemeriksaan

Rapid OraQuick HIV I/II membutuhkan biaya sebesar $14,4/test dan $20 untuk

tets ulang yang dilakukan setiap 3 minggu. Di Lousiana test HIV dilakukan secara

gratis untuk tiap pasien yang melakukan test di Lousiana Departemen of Health.

Kesimpulannya, Rapid Test HIV dengan OraQuick dapat digunakan untuk

menurunkan angka infeksi HIV diberbagai tempat, tidak hanya di negara – negara

barat tetapi juga di negara – negara yang berkembang.

Page 25: Paper Gimul

1

KEBERHASILAN HAART DALAM PENATALAKSANAAN KARIES

GIGI.

Rick Mosca, DDS

Selama dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini perhatian berkembang

terhadap infeksi oportunistik pada penderita HIV. Sejak saat itu identifikasi dan

penatalaksanaan penyakit mulut seperti karies gigi menjadi penting dalam

kesehatan penderita HIV. Penelitian pada oral health di Amerika membuktikan

bahwa penyakit mulut disebabkan oleh aktifitas harian seperti makan, menelan

dan berbicara. Karies gigi ataupun tanggalnya gigi merupakan kasus yang sering

dijumpai pada kasus penyakit mulut, dijiumpai 90% dari seluruh orang dewasa di

Amerika Serikat. Karies gigi merupakan infeksi yang disebabkan oleh

mikroorganisme kariogenik yang melakukan metabolisme permentasi karbohidrat

dalam makanan sehari – hari. Penelitian dengan menggunakan hewan bebas

kuman menunjukkan bahwa karies tidak terjadi tanpa infeksi bakteri.

Streptococcus merupakan mikroorganisme kariogenik utama yang

menyebabkan karies gigi disamping lactobacili eneterococci dan actinomycetes.

Streptococcus dijumpai mempunyai mekanisme vertikal dalam penularannya,

terutama melalui kontak langsung antara ibu dan anak ataupun melalui pemberian

ASI. Orang yang mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat sebagai contoh

konsumsi makanan yang mengandung sukrosa akan dijumpai titer bakteri

kariogenik yang tinggi pada mulutnya. Penelitian genetik pada manusia dimana

partisipan harus menghindari konsumsi sukrosa ( intoleransi fruktosa herediter

dan defisiensi sukrosa intestinal ) menunjang hipotesis bahwa sukrosa memiliki

efek yang besar dalam kolonisasi bakteria kariogenik pada gigi dan terjadinya

karies gigi.

Proses karies gigi dimulai ketika hilangnya ion kalsium dari permukaan

jaringan gigi (enamel, dentin, dan sementum). Dalam kondisi normal,

demineralisasi enamel dapat dikompensasi dengan remineralisasi yaitu suatu

proses dinamis yang ada dimulut.

Page 26: Paper Gimul

1

Apakah PLWH meningkatkan resiko karies gigi sekunder yang

berhubungan dengan imunitas host? Apakah faktor resiko lainnya yang lazim

terjadi? Apa tindakan pencegahan yang harus dilkukan PLWH untuk mengurangi

resiko karies gigi?

Disamping makanan yang dapat menyebabkan kariogenik, PLWH dapat

meningkatkan resiko karies gigi yang berhubungan dengan modifikasi faktor

saliva. Saliva memilki kapasitas buffering untuk menurunkan tingkat keasaman

mulut dan saliva juga mengandung imunoglobulin terutama IgA. Parahnya

rendahnya jumlah saliva dapat menjadi indikator kuat dalam peningkatan resiko

karies gigi, hal ini mungkin disebabkan gangguan proteksi mulut yang dilkakukan

oleh saliva. Gangguan pada produksi saliva mulut dapat disebabkan oleh infeksi

HIV dan disfungsi kelenjar saliva atau juga dapat disebabkan oleh efek samping

xerostomia dari obat–obatan. Obat – obatan yang menghambat kolinergik pada

jaringan kelenjar saliva dapat menurunkan produksi dari saliva dan juga anti

depresan dan anti anxietas juga dapat menyebabkan gangguan produksi saliva.

Penatalaksanaan pada karies gigi meliputi modifikasi gaya hidup, pencerah

fluoride, cairan kumur flouride, clorhexidine dan kombinasi larutan kumur

clorhexidine dengan penambalan gigi. Fasilitas kesehatan harus lebih

memperhatikan faktor-faktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya penyakit

infeksi rongga mulut. PLWH harus memotifasi seluruh fasilitas kesehatan untuk

merubah gaya hidup dalam menurunkan angka morbiditas. Perubahan gaya hidup

yang paling efektif dalam penurunan infeksi rongga mulut meliputi gosok gigi

dengan menggunakan pasta gigi berflouride. Cara efektif dalam tekhnik gosok

gigi harus diajarkan. Permen karet xilitol telah terbukti dapat menurunkan resiko

kariogenik namun mekanismenya belum diketahui secara pasti. PLWH

menyarankan untuk menggunakan produk ini dalam penurunan resiko kariogenik.

Program penghentian konsumsi rokok harus di rekomendasikan pada orang-orang

yang merokok. Ibu dengan anak HIV positif harus diajarkan cara pemberian ASI

yang dapat mencegah terjadinya karies gigi. Tambalan gigi yaitu suatu polimer

Page 27: Paper Gimul

1

yang melekat pada fisura gigi sangat efektif dalam pencegahan pembentukan

lubang dan fisura karies gigi pada anak-anak.

Konseling gizi harus dijadikan rekomendasi dalam pencegahan karies gigi.

Interview mengenai makanan yang dikonsumsi selama 24 jam, dan pertanyaan

mengenai frekuensi makanan yang dikonsumsi harus dilakukan dalam interpensi

penatalaksanaan HIV. Konsumsi gula dengan jumlah tinggi harus dihindari tanpa

mengganggu jumlah asupan kalori. Dalam beberapa kasus, modifikasi gaya hidup

dalam penurunan karies gigi harus ditekankan. Dokter meresepkan gel dan

pencerah flouride memberikan proteksi topikal melawan mikroorganisme

kariogenik. Regimen flouride yang biasa digunakan dalam bentuk topikal

mengandung pencerah flouride sebanyak 22.600 ppm. Aplikasi flouride perhari

diberikan dengan dosis 5.000 ppm. Beberapa penelitian meneliti penggunaan anti

mikrobial topical seperti obat kumur clorhexidine 0,12% sebagai obat yang

mensupresi seluruh mikrobakteri pada mulut dan penurunan kejadian karies telah

dilaporkan dengan penggunaan produk tersebut. Penelitian lebih lanjut terhadap

mikrobakteri kariogenik spesifik perlu dilakukan.

Perhatian terhadap fungsi dari saliva harus diberikan kepada PLWH

dengan penatalaksanaan disfungsi saliva sebagai indikasi. Suatu riview yang

dilakukan terhadap obat-obatan dengan efek kolinergik harus di lakukan sebagai

peyanan primer untuk men identifikasi faktor resiko dari karies gigi. Tidak ada

terapi konvensional untuk menanggukangi gangguan sekresi saliva pada penyakit

kelenjar saliva. Meskipun begitu, terdapat 2 obat yang terbukti sebagai

secretogogues untuk orang-orang dengan penurunan fungsi kelenjar saliva yang

diinduksi oleh radiasi dan Sjogren’s Syndrome yaitu pilocarpine (Salagen) dan

cevimeline. Obat ini mengaktivasi reseptor muskarinik pada kelenjar saliva untuk

mensekresi saliva namun obat-obat tersebuyt tidak dapat mengobati proses

inflamasi ataupun gangguan patologi pada jaringan kelenjar saliva yang

menyebabkan hiposekresi saliva.

Page 28: Paper Gimul

1

Kesimpulannya, screening untuk infeksi oportunistik mulut harus dilakukan pada

pasien HIV untuk mencegah karies gigi, mengurangi komplikasi dari infeksi

odontogenik dan meningkatkan kesehatan penderita HIV.

Page 29: Paper Gimul

1

PERAN FARMASI KLINIS YANG SANGAT PENTING PADA PASIEN

HIV RAWAT JALAN

Anna Edmunds – Ogbuokiri, PharmD, ASCP.

Salah satu hasil yang sangat bermakna dari pemberian terapi HAART pada

penderita HIV adalah penurunan kejadian infeksi oprtunistik yang drastis yang

sering melanda penderita HIV yang tidak diobatai sama sekali atau pengobatan

yang tidak berhasil, maka dari itu penyakit ini merupakan sebuah penyakit infeksi

kronik yang dapat diatasi, dan harus mendapatkan penatalaksanaan rawat jalan

jangka panjang.

Banyak hambatan yang terjadi dalam pencapaian keberhasilan terapi HIV,

efek toksisitas ARV masih menjadi permasalahan utama yang terkadang dapat

membuat pasien menjadi tambah sakit. Disinilah diperlukan ambulatory care

pharmacist (ACP) yaitu adalah seorang farmasis yang bekerja untuk menentukan

kebutuhan medikasi dan juga mengadakan hubungan yang erat dengan pasien,

keluarga, dan komunitas, untuk mencapai keberhasilan terapi polifarmasi seumur

hidup.

Berhubung poenyedia pelayanan kesehatan dapat dengan mudah dicapai

oleh orang awam, khususnya pasien menderita HIV pada saat kunjungan mereka

ke pelayanan kesehatan tersebut, ACP dapat menjalankan peranan yang sangat

penting untuk mencapai terapi yang optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan

pemberian pemahaman tentang farmakologi, efek samping, kepatuhan pasien dan

interaksi obat sesuai dengan terapi kombinasi yang dipakai oleh setiap pasien.

Ketika ACP dilatih untuk berkomunikasi secara efektif untuk menyapaikan

informasi ini kepada penyedia pelayanan kesehatan lainnya dengan memberikan

berita terkini tentang HIV secara formal dan informal, begitu juga dengan bertatap

muka langsung antara ACP, penyedia pelayanan kesehatan, pasien care giver

lainnya, maka perbaikan klinis dan virologis dapat dicapai oleh penderita HIV.

Page 30: Paper Gimul

1

Jasa pelayanan farmasi dapat ditingkatkan dengan cara pemeriksaan

toksisitas yang muncul pada kombinasi obat-obat pada setiap pasien. Sejak adanya

program komputer untuk menyimpan data tentang obat-obat yang masih

dikonsumsi oleh pasien, ACP dapat menginformasikan hal tersebut pada penyedia

pelayanan kesehatan untuk mengetahui obat mana yang menyebabkan atau

menimbulkan toksisitas. Tabel berikut menunjukkan efek-efek samping yang

timbul pada penggunaan terapi HAART yang digunakan bersamaan dengan obat-

obat lainnya yang menyebabkan toksisitas yang sama.

Table 1 : HIV-related drugs with overlapping toxicities*

a) Obat-obatanyang menyebabkan surpresi sumsum tulang AZTCidofovirCancer chemoteraphyDapsoneFlucytosineGanciclovirHidroxyureaInterferon-APentamidinePyrimenthamineRibavirinSulfadiazineTrimethoprin-Sulfamethoxazole (high dose)Trimetrexate

b) Obat-obatan yang nefrotoksik Adefovir (now removed from clinical trials)AminoglycosidesAmphotericin BFoscarnetIndinavirPentamidine

c) Obat-obatan yang menyebabkan gangguan pada pankreasDidanosineEthanolLamivudine (in children)

Page 31: Paper Gimul

1

PentamidineValproic acid

Pemberian secara bersamaan tidak direkomendasi jika tidak dapat dihindari lakukan monitor ketat.

** Cotrimoxazole

** Cotrimoxazole menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dari Lamivudine

sebanyak 40% sehingga akan meningkatkan toksisitas lamivudine seperti sakit

kepala, mialgia, dan neutropenia. Lakukan pengamatan yang seksama sangat

diperlukan.

d) Obat-obatan yang hepatotoksik

Delavirdine nevirapine

Evafirenz Nucleoside reverse transcriptase inhibitors

Fluconazole protease inhibitor

Isoniazid rifambutin

Ketoconazole rifampin

e) Obat yang menimbulkan ruam kemerahan dengan atau tanpa rasa gatal

Abacavir

Cotrimoxazole

Dapsone

NNRTIs

Amprenavir

f) Obat yang menyebabkan diare

Clindamycin

Didanosine

Nelvinavir

Ritonavir

Page 32: Paper Gimul

1

Lopinavir atau Ritonavir

Saquinavir

g) Obat yang menyebabkan toksisitas pada mata

Isoniazid (optic neuritis dan optic atrophy)

Cidovovir

Ethambutol

Lamivudine ( uveitis in children)

Rifabutin

h) Obat-obat yang harus dihindari pada pasien yang mengalami neuropati

perifer

Komposisi tunggal

Didanosine (videx, dll)

Nitrofurantoin (oral)

Nifrofurntoin makro crystal (oral)

Nifrofurntoin sodium injection

Stavudine (Zerit, d4T)

Zalcitabine (Hivid,ddc)

Komposisi jamak

Didanosine/calcium carbonat/magnesium salt (oral)

Didanosine/magnesium salt/ sodium citrat (oral)

Nitrofurantoin/hexylresorcinols/cetrimonium (oral)

Nitrofurantoin/pyridoxine HCL (oral)

Nitrofurantoin/Tetracaine (oral)

Sulfadiazine/ Nitrofurantoin (oral)

Sulfadiazine/ Nitrofurantoin/pneazopyridine (oral)

Sulfamethizole/ Nitrofurantoin (oral)

Page 33: Paper Gimul

1

THALIDOMID UNTUK RECURRENT APTHOUS ULCERATIONS

Kishore

Recurrent Apthous Ulcerations (RAU) adalah penyakit mulut ukseratif

yang sering dijumpai, yang mengenai 10-5 % dari populasi. Secara klinis RAU

ditandai dengan ulkus dangkal yang sangat nyeri dengan halo (lingkaran) merah

pada mukosa mulut. Pertama kali ditemukan oleh Hippokrates 40 SM yang

dinamai dengan banyak nama oleh para profesional dan orang awam sebagai

canker sores, cold sores, aphtous stomatitis. RAU dilaporkan pada 2-4% pasien

HIV+ dan sering pada stadium lanjut HIV. Diagnosis yang tepat akan lesi oral

membutuhkan biopsi dengan kombinasi pemeriksaan fisik dan anamnesis.

Patogenesis RAU melibatkan respon imun seluler dengan TNF memiliki peranan

utama. Pada stadium preulseratif, terdapat sel infiltrat (limfosit) di epitel yang

menyebabkan pembengkakan papular lokal. Papul menjadi sangat nyeri yang

kemudian berubah menjadi ulkus dengan membran fibrinosa menutupi ulkus

tersebut, yang mana diinfiltrasi oleh neutrofil, limfosit dan sel plasma.

RAU sering terasa nyeri dan dapat menyebabkan sulit untuk berbicara, makan,

dan menelan hingga menurunkan kualitas hidup. Pada pasien dengan stadium HIV

lanjut, aphtous ulceration dapat menyebabkan weight loss. Aptus yang kecil

sembuh dalam 7-10 hari, sedangkan yang lebih besar dapat bertahan untuk

berminggu atau berbulan-bulan. Prinsip terapi RAU adalah menyembuhkan dan

pencegahan terbentuknya ulkus baru.

Tujuan utama dari terapi RAU adalah menghilangkan rasa sakit,

mengurangi durasi ulkus dan pengembalian fungsional mulut normal kemali.

Tujuan sekunder meliputi reduksi frekuensi dan tingkat keparahan dari rekurensi

dan pemeliharaan remisi. Tabel 1 menunjukkan obat-obat topikal dan sistemik

untuk RAU yang disetujui FDA. Pemberian obat topikal dapat mencapai tujuan

utama terapi tetapi tidak pada pasien HIV+ dengan aptus yang besar. Hal ini

membutuhkan pengobatan sistemik.

Walaupun thalidomide memiliki efek teratogenik, tetapi obat ini sekarang

digunakan pada pasien HIV yang menderita ulkus aptus. Thalidomide juga

Page 34: Paper Gimul

1

memiliki kelebihan dalam mengatasi HIV-associated wasting dan merubah TNF-α

yang diketahui dapat menginduksi ekspresi HIV pada sel yang terinfeksi.

THALIDOMIDE

Thalidomide pertama diperkenalkan sebagai Contergan tahun 1956 di

Jerman Barat sebagai obat sedatif. Karena dianggap aman dan memiliki efek

antimuntah thalidomide diberikan pada wanita hamil dengan morning sickness

dan untuk mual yang berhubungan dengan influenza. Antara pengenalan dan

pencabutannya dari pasaran pada tahun 1960-an. Beribu bayi lahir dengan

deformitas yang berat, ekstremitas yang mengecil, dan juga malformasi organ

dalam. Akibat efek thalidomide diketahui dan ditarik dari pasar dunia pada tahun

1961. Selain efek teratogeniknya, thalidomide juga diketahui memiliki efek anti

inflamasi. Pada tahun 1964, seorang dokter di Israel memberikan thalidomide

pada pasien ENL (Erythematous Nodosum Leprosy) yang ditandai dengan nodul

yang sangat sakit dan pengrusakan sel saraf. Hasilnya nodul menghilang dalam

beberapa hari dan tidak muncul lagi apabila obat dihentikan. Sejak 30 tahun yang

lalu thalidomide sudah digunakan di seluruh dunia untuk terapi pada ENL derajat

sedang-berat pada lelaki dan wanita bukan usia subur. Efek imunomodulator

thalidomide akhirnya digunakan untuk beberapa ganggunan seperti RAU.

CARA KERJA

Cara kerja dari thalidomide tidak dapat dimengerti secara utuhdan

kemungkinan thalidomide berhubungan dengan modulasi imun, inhibisi sitokin

dan atau angiogenesis. Thalidomide yang terpenting adalah obat ini tidak

mutagenik, sitostatik atau mielosupresif. Pada sukarelawan laki-laki yang sehat

yang diuji, 200 mg thalidomide diberikan untuk 4 hari, menginduksi penurunan

sel T helper di sirkulasi darah, jika dibandingkan dengan T helper sebelum

pengobatan. Penurunan rasio T-Helper dan T-Supresor menyebabkan T-helper

menurun disirkulasi dan T-supresor meningkat. Thalidomide juga menghambat

produksi TNF- α dengan mempercepat degradasi protein pengkode mRNA.

Page 35: Paper Gimul

1

FARMAKOKINETIK

Thalidomide di absorbsi secara lambat pada saluran pencernaan.

Peningkatan absorbsi sebanding dengan peningkatan dosis pada dosis yang

rendah, pada dosis 200 mg tercapai konsentrasi puncak yang mendatar. Peak

plasma concentartion dicapai 3-4 jam setelah pemberian obat.

Thalidomide tidak dimetabolisme di hati. Degradasi pertama thalidomide terjadi

secara hidrolisis spontan nonenzimatis pada darah dan jaringan, tetapi

metabolisme oleh aromatic-hydroxylasi juga terjadi. Waktu paruh thalidomide 5-7

jam dan tidak berubah sesuai dosis atau penambahan dosis. Total body clearance

pada sukarelawan sehat yang diuji, 10,41 ± 2,40 L/jam. Renal clearance 1,15 ml/

menit, menunjukkan eliminasi utama bukan dari ginjal. Ekskresi thalidomide dari

urin sangat minim dengan 0,7% dari dosis diekskresi dari urin tanpa diubah,

0,02% diekskresi sebagai 4-OH-thalidomide 12-29 jam setelah pemberian. Tidak

terdapat bukti bahwa umur, jenis kelamin atau ras mempengaruhi parameter plk

dari thalidomide.

Thalidomide dan RAU

The National Institute of allergy Infectious Diseases AIDS Clinical Dental

Group mengadakan sebuah studi tentang aktivitas dari thalidomide sebagai terapi

pada pasien HIV dengan ulkus aptus pada dengan metode double blind, random,

dan placebo-controlled study. Dari 57 sampel, 28 mendapat plasebo, 29 mendapat

thalidomide, 10 mg sekali sehari sebelum tidur selama 4 minggu. Secara

keseluruhan 26 (90%) dari pasien yang mendapat thalidomide menunjukkan

respon penuh atau parsial di akhir minggu ke-4, jika dibandingkan dengan hanya

7 (25%) dari 28 pasien yang mendapat plasebo. Resolusi komplit terjadi pada

beberapa pasien dalam 1 minggu dengan nilai tengah 3,5 minggu pada pasien

yang memberika respon terhadap pengobatan, thalidomide menurunkan rasa sakit

pada lesi aptus dan meningktakan kemampuan pasien untuk makan.

Sebuah analisis retrospektif dilakukan untuk menguji efikasi thalidomide

pada RAS pada 25 pasien yang imunokompeten dengan pemberian 50-100

Page 36: Paper Gimul

1

mg/hari sebagai dosis inisial.Lama terapi mulai dari 1 minggu hingga 55 bulan/.

Dari 25 pasien, 6 diantaranya mengalami penyembuhan sempurna dan terapi dapat

dihentikan tanpa terjainya rekurensi yang bermakna. Sepuluh pasien memberikan

respon dan dapat terjadi remisi dengan thalidomide dosis rendah.

Neuropathy yang terjadi akibat penggunaan thalidomide ditandai dengan

rasa kebas yang sakit pada tangan dan kaki serta sering dibarengi dengan mati rasa

pada ekstremitas bawah. Neuropathy irreversible dapat terjadi apabila terapi

terlalu lama atau muncul disfungsi motorik. Akibatnya, penggunaan jangka

panjang dibatasi dan kebanyakan dari kasus yang ada efek yang merugikan akan

muncul pada pemberian dosis 100-300 mg perharinya dalam waktu lebih dari 6

bulan.

Uji klinis telah diadakan untuk menguji efektivitas dari thalidomide

topikal. Para peneliti memprediksi bahwa pada penggunaan thalidomide topikal

20 mg akan menyembuhkan secara efektif dan menurunkan rasa sakit pada ulkus

aptus tanpa adanya efek sampimg seperti pada thalidomide sistemik.

Pada terapi thalidomide, edukasi haruslah diberikan kepada pasien utnuk

mengenali gejala awal neuropati dan resiko teratogenik pada penggunaannya.

Rasaa kebas atau sakit pada ekstremitas membuutuhkan pemeriksaan oleh dokter.

Pasien harus kontrol setiap bulan pada 3 bulan pertama setelah gejala neuropati

diketahui, evaluasi harus dilakukan secara periodik. SNAP testing harus dilakukan

bulan pertama dan setiap 6 bulan. Seluruh pasien, apoteker dan dokter harus ikut

program STEPS. Pasien harus memiliki kriteria untuk mendapat thalidomide.

Inform consent haruslah ada untuk memastikan pengetahuan pasien tentang efek

samping dan syarat-syarat penggunaan thalidomide sudah baik.