Paper Ekologi Restorasi
-
Upload
fakhdiansetiawan -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of Paper Ekologi Restorasi
-
7/31/2019 Paper Ekologi Restorasi
1/6
Peran Informasi Bio-Fisik dan Kesesuaian Jenis Rehabilitasi
Lahan Bekas Pertambangan Batubara di PT Kitadin, Embalut,Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim
Oleh: Kelompok 1*
Refdanil Nurcan, Fakhdian Setiawan, Yuni Elfiza, Anas Ritonga, Ambosa
Hidayat, Rendra Mai Rizal, M. Yusuf, Elvan Wahyu*
Restorasi lahan bekas tambang ialah upaya mengembalikan fungsi lahan
bekas tambang menjadi seperti keadaan semula. Rehabilitas lahan ialah usaha
memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak
(kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media
pengatur tata air, maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
Rehabilitas lahan dan konservasi tanah (RLKT) ialah usaha memperbaiki
(memulihkan), meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan agar dapatberfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air
maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
Batuan limbah adalah batuan yang tergali dalam proses panambangan
tetapi tidak diolah karena tidak atau sedikit mengandung mineral yang
dikehendaki. Tailing adalah bahan hasil dari proses pengolahan bahan galian yang
tidak mengandung nilai ekonomis lagi. Bahan pembentuk asam ialah bahan yang
jika berhubungan dengan air dan udara dapat membentuk asam.Revegetasi ialah
usaha /kegiatan penanaman kembali pada lahan bekas tambang.
Kerusakan lingkungan ialah penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat
kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, melebihi kemampuan tanpa
memperhatikan kelestariannya. Pencemaran lingkungan ialah perubahan kualitas
lingkungan sebagai akibat adanya zat beracun baik berupa bahan padat, cair
maupun gas.
-
7/31/2019 Paper Ekologi Restorasi
2/6
Batubara dianggap sebagai bahanbakar termurah di dunia. Namun,
batubara juga merupakan bahanbakar terkotor dan yang paling menyebabkan
polusi. Walau demikian, banyak negara tetap menambangnya dan membangun
pembangkit listrik dari hasil membakar batubara. Kemudahan bahanbakar ini
secara umum menyimpan rapsemua penderitaan yang disebabkannya.
Setiap langkah pemrosesan bahanbakar ini sejak dari penambangannya
sampai akhir pembakarannya membawa konsekuensi. Kerugian termasuk polusi
bahan beracun, hilangnya mata pencaharian, tergusurnya masyarakat, dampak
kesehatan pada sistem pernafasan dan syaraf, hujan asam, polusi udara dan
menurunnya panen pertanian. Namun dari semua itu yang terparah adalah
konsekuensi perubahan iklim yang akan berdampak pada semua negara dan
masyarakat dunia, terutama negara-negara berkembang.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumberdaya alam. Cadangan
batubaranya yang besar membuat negri ini sebagai produsen sekaligus eksportir
utama batubara di dunia. Berdasarkan data terakhir dari Statistik Energi Indonesia,
perkiraan cadangan batubara Indonesia adalah 104.940 miliar ton. Sedangkan
cadangan terukurnya sebesar 21.13 miliar ton2. Pada tahun 2009,
total produksi batubara Indonesia mencapai 263 juta ton, 230 juta ton diantaranya
diekspor ke berbagai negara, atau dengan kata lain sekitar 87% dari total produksi
batubara negeri ini diekspor ke luar negeri. Hanya sekitar 13 persen atau 33 juta
ton yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik3. Jumlah ini menempatkan
Indonesia sebagai produsen batubara terbesar kelima di dunia, dan pengekspor
batubara terbesar kedua di dunia.
Di Indonesia, penambangan batubara juga bertanggungjawab pada terjadi
pembukaan hutan. Hampir seluruh perusahaan pertambangan batubara besar di
Indonesia, beroperasi dengan metode pertambangan terbuka (open pit mining).
Hanya pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat yang menggunakan
sistem pertambangan bawah tanah. Dengan metode penambangan terbuka, tak
pelak lagi pertambangan batubara menjadi salah satu penyebab utama meluasnya
deforestasi di negeri ini.
-
7/31/2019 Paper Ekologi Restorasi
3/6
Di Kalimantan Selatan dan Timur, kedua propinsi yang saat ini tersedia
peta batasan konsesinya, terdapat 400.000 hektar hutan yang tersisa (2007),
323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi batubara. Sejak tahun 2000,
85.000 ha di Kalimantan Selatan dan 9.000 ha di Kalimantan Timur hutan hilang
karena konsesi batubara tersebut. Total tutupan hutan yang berada dalam konsesi
pertambangan di kedua propinsi ini mencapai 723.000 ha atau 0,8% dari total
wilayah hutan Indonesia pada tahun 2005. Di Sumatra Selatan, dimana tidak
diperoleh peta batas konsesi, terdapat sedikit tutupan hutan yang tersisa. Bekas-
bekas lubang galian batubara yang ditinggalkan begitu saja, seolah menjadi
fenomena biasa di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Padahal
reklamasi areal pertambangan pasca dikeruk habis merupakan suatu yang wajib
hukumnya bagi perusahaantambang berdasarkan aturan hukum yang berlaku di
negeri ini.
Luasan kuasa pertambangan (KP) batu bara di seluruh Kalimantan Timur
mencapai lebih dari 3 juta hektare. Jumlah ini merupakan akumulasi izin yangdikeluarkan pemerintah kabupaten dan kota sejak berlakunya otonomi daerah 8
tahun silam (Kaltim Post, 10 Agustus 2009). Dari data yang dirilis Dinas
Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim, total jumlah KP mencapai 1.180
izin, dengan luas 3,08 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 391.000
hektare yang berasal dari 260 izin KP sudah masuk tahap eksploitasi. Teknik
penambangan batubara yang umum dilakukan di Kalimantan Timur adalah
dengan sistem pengupasan permukaan (open pit mining system). Tahapannya
adalah pembersihan lahan di areal yang akan ditambang (land clearing) kemudian
mengupas batuan dasar (bedrock) hingga mencapai permukaan deposit batubara.
Konsekwensi dari sistem penambangan tersebut adalah luas areal yang terbuka
(bare soil) akan semakin bertambah setiap tahunnya akibat bertambahnya luas
areal tambang.
Menurut Mulyadi dan Mukhrawie, 1995, ciri-ciri pedogenetik pada lahan-
lahan bekas tambang tidak dapat diidentifikasi dan umumnya bersifat kritis karena
-
7/31/2019 Paper Ekologi Restorasi
4/6
hilangnya vegetasi penutup tanah, adanya tekanan yang berat dari pukulan air
hujan, erosi, sentuhan langsung cahaya matahari maupun aktifitas alat berat .
Untuk menanggulangi dampak negatif tersebut, maka setelah selesai
kegiatan penambangan harus segera dilakukan kegiatan rehabilitasi lahan untuk
mempercepat pulihnya kondisi kawasan yang terbuka. Teknik rehabilitasi lahan
bekas pertambangan memerlukan pendekatan edapologis dan silvikultur, karena
lahan bekas tambang telah mengalami perubahan dari pembentukan tanah secara
alamiah sehingga secara fisik, kimia dan biologis kurang mendukung
pertumbuhan tanaman. Reklamasi lahan dengan cara biologis (revegetasi)seringkali menemui hambatan. Hambatan tersebut muncul disebabkan masih
kurangnya penyelidikan terhadap karakteristik dan faktor pembatas lahan. Dengan
demikian agar rehabilitasi lahan dapat berhasil dengan baik diperlukan upaya
yang seksama: 1) yaitu pemilihan jenis yang sesuai / dapat beradapatasi dengan
lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia
tanah sebelum direvegetasi .
Sebelum melakukan penanaman kondisi tanah pada areal bekas tambang
diambil samplenya dan diteliti di laboratorium tanah Balai Besar Peneltian
Dipterokarpa, Samarinda. Penyiapan lahan dilakukan dengan penanaman tanaman
penutup tanah legume (Legum Cover Crops) untuk memperbaiki kesubutan tanah.
Penanaman tanaman uji dilakukan setelah tanaman penutup tanah legum berumur
6 bulan. Pengukuran pertumbuah tanaman dilakukan setahun dari sejak awal
penanaman hingga tanaman berumur dua tahun.
Sepuluh jenis ditanam untuk menguji kesesuaian jenis dengan lahan bekastambang. Setiap jenis terdiri dari 10 atau 15 jalur tanaman. Setiap jalur terdiri 10
tanaman. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 x 3 untuk tanaman kehutanan dan
6 x 6 untuk tanaman non kehutanan. Selengkapnya tersaji pada Table 1.
Pengukuran pertumbuhan tanaman dilakukan setiap tahun dari sejak awal
penanaman hingga tanaman berumur 2 tahun.
-
7/31/2019 Paper Ekologi Restorasi
5/6
-
7/31/2019 Paper Ekologi Restorasi
6/6
Hasil pemantauan selama dua tahun pertumbuhan 10 jenis tanaman uji disajikan
pada table 3. Seperti terlihat pada table 3, persentase hidup tanaman uji yang
berada di atas 70% pada tahun pertama adalah Waru, Gmelina, A.mangium dan
A. crassicarpa. Sedangkan mahoni dan mente hanya mencapai 63.96 % dan 52.78
%. Selanjutnya persentse hidup tanaman uji yang kurang dari 50% ditemukan
pada tanaman jati, kemiri sukun dan petai. Hasil pemantauan pada tahun ke dua
menunjukkan bahwa hanya tiga species yang mampu mempertahankan persentase
hidup diatas 70%. Jenis tersebut adalah Waru (97.74%) diikuti Gmelina (90.30%)
dan Acacia crassicarpa (79.57%). Mahoni dan Acacia mangium bertahan pada
53.76% dan 35.63%. Selanjutnya species yang hanya mampu bertahan dibawah
20% adalah Petai, Jati,Sukun, Kemiri dan Mente. Pertumbuhan diameter dan
tinggi sejalan dengan keberhasilan tanaman kecuali pada tinggi tanaman Acacia
mangium. Jenis ini meskipun persentase hidupnya hanya 35.63% di tahun ke dua
tetapi pertumbuhan
tingginya sangat bagus.
Disimpulkan setelah dua tahun dari sejak penanaman terdapattiga species yang
memiliki persentase hidup lebih dari 70 % yaitu : Hebiscussp (Waru), Gmelina
arborea (Gmelina) dan Acacia crassicarpa (Akasia). Tujuh jenis lainnya memiliki
persentase hidup kurang dari 70 %. Di sarankan untuk menanam ketiga jenis
tersebut sebagai langkah pertama upaya pemulihan lahan bekas tambang. Dari
tanaman agroforestri yang diujicoba belum ditemukan tanaman yang sesuai untuk
lahan bekas tambang.