PANDANGAN HAKIM TERHADAP GUGATAN YANG DIAJUKAN...

105
PANDANGAN HAKIM TERHADAP GUGATAN YANG DIAJUKAN SUAMI DAN ISTERI SECARA BERSAMAAN (Studi Kasus Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang) Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Di susun oleh: Hani Handini 13211010022 Ahwal Al-Syakhshiyah FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI LAMPUNG 1439 H/ 2017 M

Transcript of PANDANGAN HAKIM TERHADAP GUGATAN YANG DIAJUKAN...

PANDANGAN HAKIM TERHADAP GUGATAN YANG

DIAJUKAN SUAMI DAN ISTERI SECARA BERSAMAAN

(Studi Kasus Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Di susun oleh:

Hani Handini

13211010022

Ahwal Al-Syakhshiyah

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI LAMPUNG

1439 H/ 2017 M

PANDANGAN HAKIM TERHADAP GUGATAN YANG

DIAJUKAN SUAMI DAN ISTERI SECARA BERSAMAAN

(Studi Pada Pengadilan Agama Kelas 1a Tanjung Karang)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

Hani Handini

13211010022

Ahwal Al-Syakhsiyah

Pembimbing I : Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag.

Pembimbing II : Hj. Linda Firdawaty, S.Ag., M.H.

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI LAMPUNG

1439 H/ 2017 M

ABSTRAK

Oleh:

Hani Handini

1321010022

Gugatan merupakan tuntutan hak (burgerlijkvordering), yaitu tindakan

yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan

untuk mencegah terjadinya eigenrichting (perbuatan main hakim sendiri).

Manusia diciptakan tidak terlepas dari masalah yang cara penyelesaiannya

dilakukan secara musyawarah ataupun dengan menempuh jalur hukum. Setiap

sengketa hukum setidaknya ada dua pihak yang berselisih, penggugat dan

tergugat. Perkara gugatan terdapat sengketa atau konflik yang harus diselesaikan

dan harus diputus oleh Pengadilan. Kedua belah pihak sama-sama mengajukan

gugatan artinya kedua belah pihak sama-sama menjadi tergugat, mengingat dalam

hukum acara harus ada dua pihak yang berkaitan yaitu ada tergugat dan

penggugat.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pandangan hakim

terhadap gugatan yang diajukan suami dan isteri secara bersamaan dan apa dasar

pertimbangan hakim terhadap gugatan yang diajukan suami dan isteri secara

bersamaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hakim Pengadilan

Agama Kelas 1A Tanjung Karang yang berkaitan dengan gugatan yang diajukan

suami dan isteri secara bersamaan dan untuk mengetahui apa dasar hukum

pertimbangan hakim terhadap gugatan yang diajukan oleh suami dan istri secara

bersamaan.

Penelitian ini, dilakukan secara deskriptif yaitu memberikan gambaran

secara teliti mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pandangan Hakim

terhadap gugatan yang diajukan suami dan isteri secara bersamaan. Metode

berfikir yang digunakan dalam analisa ini adalah metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Pandangan hakim

terhadap gugatan yang diajukan suami dan isteri secara bersamaan yaitu gugatan

yang diajukan dengan perkara dan pihak yang sama, maka kedua belah pihak

tidak dapat mengajukan kedua gugatan tersebut. Dalam kasus ini salah satu

gugatannya harus dicabut dan disarankan untuk mengajukan gugatan rekonvensi.

Dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan perkara gugatan suami dan isteri

secara bersamaan adalah yaitu berdasarkan asas asas yang ada di dalam hukum

acara perdata yang bertentangan dengan asaa sederhana, cepat, dan biaya ringan.

MOTTO

Artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamumenyampaika namanat kepada yang

berhak menerimanya, dan (menyuruhkamu) apabila menetapkan hukum di antara

manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah member

pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

mendengar lagi Mahamelihat.1

1Departemen agama RI, Al-Qur‟an, Al Mubin, Pustaka Al Mubin, Jakarta 2010. H 87

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Kedua orangtua saya Nurhayati dan Suherman yang sudah

memberikan kasih sayang yang tidak terbatas serta telah ikhlas

mendidik, memberikan motivasi dan senantiasa mendoakan,

terimakasih atas semua pengorbanan yang luar biasa baik materil

maupun non materi yang telah diberikan.

2. Adik saya Reza Rivayana, Iya Unabila, Abah saya Saepudin, bibi dan

paman saya Siti fatonah dan Azkan Ihsan, nenek dan kakek saya

Mariah dan Madroni, serta seluruh keluarga besar saya yang turut

membantu dalam mendoakan, menyemangati, sehingga

terselesaikannya skripsi ini.

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 30 oktober 1994 di lahirkan di

LebakRangkasbitungBantenanakpertamadaritigabersaudaradaripasanganNurhayat

idanHambali.

Riwayatpendidikanpenulis yang telah di selesaikanadalah:

1. SekolahDasarNegeri I PADASUKA

kecamatanMajaKabupatenLebakRangkasbitungBantenpadatahun2007.

2. SekolahMenengahPertamaNegeri 2

MajaKabupatenLebakRangkasbitungBantenpadatahun 2010.

3. SekolahMenengahAtasNurul Islam Bandar Lampung padatahun 2013.

4. Padatahun 2013 penulismelanjutkanstudi di Universitas Islam

NegeriRadenIntan Lampung FakultasSyari‟ah Prodi Ahwal al-Syakhsiyah

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa

melimpahkan rahmat-NYA sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, solawat serta

salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang syafaatnya selalu

kita nantikan sampai akhir zaman.

Penulisan dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan serta

tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan, bimbingan serta saran dari berbagai

pihak. Tanpa bimbingan dan bantuan ketersediaannya fasilitas, skripsi ini tidak

akan tersusun sebagaimana mestinya.Untuk itu tidak berlebihan bila pada

kesempatan ini penulis memberikan rasa hormat dan berterimakasih sebesar-

besarnya kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dapat belajar

dan terus belajar serta tiada hentinya dalam bersyukur, dan rasa terimakasih saya

ucapkan kepada :

1. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag. selaku Rektor IAIN Raden Intan Lampung

2. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag., selaku dekan fakultas Syari‟ah yang senantiasa

mengayomi mahasiswa.

3. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag. selaku pembimbimbing I dan Ibu Hj. Linda

Firdawaty, S.Ag., M.H. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan

waktu serta pikiran dalam membimbing, mengarahkan sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

4. Marwin S.H., M.H.selaku Ketua Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah yang

memberikan dukungan kepada penulis.

5. Para Dosen fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung yang telah

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama belajar di Fakultas

Syariah Khususny Jurusan Muamalah.

6. Sahabat-sahabat saya Ulfa, Elis, Naya, Meri, Cici, Santi, Fera, Nila, Fika, dan

seluruh keluarga prodi Ahwal Al-Syakhsiyah A dan B angkatan tahun 2013

yang tidak di sebutkan satu persatu kalian yang selalu memberikan dukungan

serta semangat sampai terselesainya skripsi ini.

7. Dan almamater tercinta Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden

Intan Lampung beserta staf-stafnya yang telah mendidik dan mengajarkan

serta mendewasakan dalam berfikir dan bertindak secara baik.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa dan kebaikan pada semua

pihak yang telah membantu serta mendoakan sampai terselesaikannya skripsi ini.

Amin Yaa Robbal‟alamin.

Bandar Lampung, 05 Oktober 2017

Hani Handini

1321010022

DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................. ii

PERSETUJUAN ........................................................................................ iii

PENGESAHAN .......................................................................................... iv

MOTTO ...................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ...................................................................................... vi

RIWAYAT HIDUP ................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ............................................................................... viii

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul ................................................................... 1

B. Alasan Memilih Judul .......................................................... 2

C. Latar Belakang Masalah ....................................................... 3

D. Rumusan Masalah ................................................................ 7

E. Tujuan Penelitian ................................................................. 7

F. Keguanaan Penelitian ........................................................... 8

G. Metode Penelitian................................................................. 8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian gugatan .............................................................. 13

B. Syarat-syarat mengajukan Gugatan..................................... 14

C. Prinsip-prinsip pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama 17

D. Prosedur rmengajukan gugatan ........................................... 27

E. Pihak-pihak dalam gugatan ................................................. 38

F. Bentuk-bentuk gugatan ....................................................... 39

G. Kelengkapan gugatan .......................................................... 41

H. Pencabutan Gugatan ............................................................ 42

I. Rekonvensi .......................................................................... 46

BAB IIIHASIL PENELITIAN

A. Profil Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang

1. Sejarah Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang 50

2. Visi, misi, Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung

Karang ........................................................................... 59

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kelas 1A

Tanjung Karang ............................................................. 62

B. Pendapat hakim terhadap Gugatan yang diajukan

Suami dan Isteri secara bersamaan ..................................... 70

BAB IV ANALISIS DATA

A. Pendapat hakim terhadap Gugatan yang diajukan

Suami dan Isteri secara bersamaan ..................................... 75

B. Dasar Pertimbangan hakim terhadap Putusan Gugatan

Yang diajukan Suami dan Isteri secara bersamaan ............. 86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 89

B. Saran ..................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Judul merupakan suatu gambaran dalam karya ilmiah untuk

memperjelas pokok bahasan, maka perlu penjelasan judul dengan makna atau

definisi yang terkandung di dalamnya,dengan jelas secara lengkap judul

proposal ini adalah “Pandangan Hakim Terhadap Gugatan Yang Diajukan

Suami Dan Isteri Secara Bersamaan(Studi kasus Pengadilan Agama Kelas 1A

Tanjung Karang), dengan judul tersebut maka istilah-istilah yang perlu di

perjelaskan adalah sebagai berikut:

1. Pandangan Hakimadalah hasil perbuatan seseorang memandang

(memperhatikan, melihat, dan sebagainya),untuk mengadili perkara (dalam

pengadilan atau mahkamah).2

2. Gugatan adalah suatu permohonan yang mengandung sengketa atau

konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan3.

3. Bersamaan adalah berbarengan, bertepatan, sejenis,setara, sejalan, sesuai.4

Berdasarkan beberapa pengertian istilah tersebut, dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa yang dimaksud judul secara keseluruhan adalah suatu

2Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi

Keempat, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama )2011, h. 293 3 Retnowulan, Sutantio, dkk.,hukum acara perdata dalam teori dan praktek (Bandung:

CV. Mandar Maju, 2009), h. 10. 4Op. Cit., h. 1212

penelitian mengenai pendapat Hakim terhadap gugatan yang diajukan suami

dan isteri secara bersamaan.

B. Alasan Memilih Judul

Ada beberapa alasan yang menjadi motivasi penulis untuk memilih

judul ini sebagai bahan untuk penelitian , di antaranya sebagai berikut:

1. Alasan Objektif

Persoalan ini merupakan persoalan yang menarik untuk di kaji. Hal

ini mengingat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

pada dasarnya mempersulit terjadinya perceraian yang menjaga nilai-nilai

luhur perkawinan, namun angka perceraian kian meningkat, baik itu isteri

ataupun suami yang mengajukan terlebih dahulu ke Pengadilan Agama.

Dengan itu bagaimana pendapat hakim mengenai suami ataupun isteri

yang mengajukan gugatan ke pengadilan Agama secara bersamaan.

2. Alasan subjektif

a. Pokok bahan skripsi ini relevan dengan disiplin ilmuyang penulis

pelajari di fakultas Syari‟ah jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah.

b. Literatur dan bahan-bahan yang di butuhkan dalam penelitian skripsi

ini tersedia di perpustakaan.

c. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang hal yang

berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas.

C. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama praktis yang memperhitungkan konflik alam,

mungkin pertengkaran dan perselisihan antara individu-individu masyarakat di

mana orang dapat mengklaim sesuatu terhadap satusama lain.Manusia

diciptakan tidak terlepas dari masalah yang cara penyelesaiannya dilakukan

secara musyawarah ataupun dengan menempuh jalur hukum.

Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara damai oleh

pihak-pihak yang berpekara, jalan terakhir yang dapat di tempuh ialah

memohon penyelesaian melalui pengadilan negeri.5

Perceraian dinyatakan syah apabila dilakukan di depan muka sidang

Pengadilan Agama dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat 1 dan KHI

Pasal 115 yang berbunyi:

“Perceraian hanya dapat dilakukan dimuka sidang Pengadilan Agama

setelah Peradilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.”

Dalam penyelesaian jalur hukum bisa ke Pengadilan Umum,

Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara Dan Pengadilan Militer

untuk tingkat pertama Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama,

5 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia(Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2012), h. 37

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Militer untuk

tingkat banding, dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.

Pada kasus ini lebih berwenang diajukan ke Peradilan Agama, adapun

mengenai kewenangan Peradilan Agama mengenai perkara tertentu dalam

pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 jo. No.3 Tahun 2006 mengenai bidang-bidang

perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infak, shodaqoh dan ekonomi

syari‟ah.6

Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima,

memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu

antara yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.7

Berdasarkan pengertian peradilan, dalam cakupan dan batasan

Peradilan Agama meliputi komponen-komponen sebagai berikut:

1. Kekuasaan Negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur

tangan kekuasan Negara lainnya dan dari pihak luar. Secara operasional

kekuasaan itu terdiri atas kekuasaan absolut (absolute competentie) dan

kekuasaan relatif (relative competentie).

2. Badan Peradilan Agama, sebagai satuan penyelenggara kekuasaan

kehakiman. Ia meliputi hierarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan

unsur lain dalam struktur organisasi pengadilan.

6Badruzzaman Siddik, Perkembangan Peradilan Di Indonesia Sejak Zaman Colonial

Belanda Sampai Sekarang(Lampung: Percetakan CV Ardi,2015), h. 5 7 Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2000) h. 36

3. Prosedur berperkara di pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hukum

procedural (hukum acara) dan produk-produknya (putusan dan penetapan).

Prosedur itu meliputi tahapan kegiatan, menerima, memeriksa, mengadili,

memutus,dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan ke

pengadilan.

4. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,

wakaf, sadaqah, zakat, infaq, dan ekonomi Syai‟ah.

5. Orang-orang yang beragama Islam, sebagai pihak yang berperkara

(berselisih dan bersengketa), atau para pencari keadilan.

6. Hukum Islam, sebagai hukum substansional yang di jadikan rujukan dalam

proses peradilan.

7. Penegak hukum dan keadilan sebagai tujuan.8

Berdasarkan komponen-komponen di atas warga Negara Indonesia

yang beragama Islam dapat mencari keadilan untuk menyelesaikan

perkara.Penggugat mengajukan gugatan kepada ketua Pengadilan Agama yang

berwenang.Gugatan yang diajukan kepada ketua Pengadilan Agama itu di

sebut perkara perdata (civil action, civil case).Adapun pihak yang mengajukan

gugatan di sebut penggugat (plaintiff).Sedangkan pihak yang di gugat di sebut

tergugat (defendant, opposant).Permohonan gugatan dapat di ajukan secara

lisan jika penggugat tidak dapat menulis.Permohonan gugatan secara tertulis

di sebut gugatan.9

8Ibid,. h. 37

9Op.Cit.

Setiap sengketa hukum setidaknya ada dua pihak yang berselisih,

penggugat dan tergugat, yang dari masing-masing pihak mengutarakan apa

keinginan mereka.

Pada pengadilan Agama kelas 1A Tanjung Karang ada perkara yang

diajukan suami dan isteri secara bersamaan diantaranya perkara Nomor

0829/Pdt.G/2017//PA. Tnk. Dengan perkara cerai talak, dan perkara Nomor

0823/Pdt.G/2017/PA.Tnk. Dengan perkara tegur biaya, kedua perkara ini

merupakan beberapa kasus yang terjadi pada kehidupan masyarakat yang

diajukan suami dan isteri secara bersamaan.

Perkara gugatan terdapat sengketa atau konflik yang harus diselesaikan

dan harus diputus oleh pengadilan, ada dua pihak atau lebih yaitu pihak

tergugat dan penggugat yang merasa haknya atau hak mereka di langgar.10

Gugatan di ajukan secara tertulis yang ditanda tangani oleh penggugat

atau kuasa hukumnya dan ditujukan kepada ketua pengadilan Agama (pasal

118 ayat (1) HIR/pasal 142 ayat (1) RBg).11

Pada kasus ini kedua belah pihak sama-sama menjadi tergugat yang

diajukan oleh suami dan isteri secara bersamaan.Oleh karena itu penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui pendapat ahli hukum mengenai gugatan yang di

ajukan secara bersamaan oleh suami dan isteri. Manakah yang akan diterima

oleh hakim gugatan dari si isteri atau dari si suami, atau akan diterima dua-

10

Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: Rineka Cipta,2009) h. 16 11

Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman

Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi2010(Jakarta: 2010),

h. 61

duanya.Serta mengetahui dasar apayang menjadikan pertimbangan

hakimdalam memutuskan perkara gugatan yang diajukan suami dan isteri

secara bersamaan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan

diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan hakim terhadap gugatan yang diajukan suami dan

isteri secara bersamaan?

2. Apa dasar pertimbangan hakimmenerima atau menolak gugatan yang

diajukan suami dan isteri secara bersamaan?

E. Tujuan Penelitian

Terdapat beberapa tujuan dalam mengadakan penelitian ini di

antaranya sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan hakim Pengadilan Agama Kelas 1A

Tanjung Karang yang berkaitan dengan gugatan yang diajukan suami dan

isteri secara bersamaan

2. Untuk mengetahui apa dasar hukum pertimbangan hakim menolak atatu

menerima gugatan yang di ajukan oleh suami dan istri secara bersamaan.

F. Kegunaan Penelitian

1. Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi yang membaca terkait dengan pandangan hakim terhadap

gugatan yang di ajukan suami dan isteri secara bersamaan.

2. Untuk memenuhi tugas akademik bagi penulis untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum di Fakultas Syari‟ah.

G. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melakukan teknis

dengan menggunakan fikiran secara seksama untuk mencapai tujuan,

sedangkan penelitian sendiri merupakan upaya dalam bidang ilmu

pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta secara sistematis

untuk mewujudkan kebenaran.12

Penulis akan menguraikan metode penelitian yang di gunakan dalam

penelitian ini.

1. Sifat dan Jenis penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan, penelitian

lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan dalam

kancah kehidupan sebenarnya.13

Dimana dalam hal ini lokasi penelitian

yang dilakukan di Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang.

b. Sifat penelitian

12

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal Cetakan Ke-7, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2004) h. 24. 13

Sutrisno Hadi, Metoode Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1994), h. 33

Penelitian ini adalah bersifat deskriftif, penelitian deskriftif adalah

suatu metode dalam pencarian fakta status sekelompok manusia, suatu

obyek , suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa

pada masa sekarang dengan interpretasi yang tepat.14

Penelitian dalam

skripsi ini hanya untuk ditujukan melukiskan kenyataan-kenyataan

yang lebih terfokus pada guagatan yang diajukan suami dan isteri

secara bersamaan yang terjadi di Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung

Karang.

2. Data dan sumber Data

Data adalah koleksi fakta-fakta atau nilai numerik (angka)

sedangkan sumber data adalah subjek dari mana data dapat

diperoleh.15

Adapun sumber data dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

sumbernya, baik melalui wawancara, obsevasi maupun laporan, dalam

bentuk dokumen tidak resmi kemudian diolah oleh penulis.16

Maka

data pokok yang didapatkan secara langsung yaitu melalui wawancara

terhadap hakim Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang yaitu

14

Sedarmayanti, dkk, Metodelogi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 33. 15

SuharsimiArikunto, prosedurPenelitiansuatuPendekatanPraktek(Jakarta: RinekaCipta,

EdisiRevisi IV,1998), h. 114 16

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta, 2011),

h. 106

Dra. Mulathifah, M.H., Dra.Hj. Maimunah A. Rahman, S.H., M.H., Dra.

Mufidatul Hasanah, S.H., M.H.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui pihak

kedua (biasanya di peroleh melalui badan/instansi yang bergerak

dalam proses pengumpulan data, baik oleh instansi pemerintah

maupun swasta),dan biasanya di dapatkan dari buku-buku literatur

yang berkaitan dengan masalah yang di bahas. Seperti masalah buku

yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, mediasi, Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

c. Data tersier

Data tersier adalah suatu kumpulan dan kompilasi sumber data

primer dan sumber data sekunder seperti kamus, ensiklopedia, majalah,

surat kabar, jurnal, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang di gunakan dalam pengumpulan data pada penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah kegiatan pengumpulan data primeryang

bersumber langsung dari responden penelitian di lapangan

(lokasi).17

Pada penelitian ini maka mengajukan pertanyaan untuk

mendapat jawaban yang benar, yang di lakukan terhadaphakim di

Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang.

b. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan masalah berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,

majalah, prasati, notulen rapat, agenda dan sebagainya.18

4. Metode Pengolahan Data

Data-data yang terkumpul kemudian diolah, adapun pengolahan data

tersebut sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing) yaitu mengoreksi apakah datayang

terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar dan sesuai atau

relevan dengan masalah.

b. Penandaan data (coding) yaitu memberikan catatan atau tanda yang

menyatakan jenis sumber (buku, literature, perundang-

undangan,atau dokumen).

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu mengelompokkan secara

17

Ibid., h. 86 18

Suharsimi Arikunto, Prosedur Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta, Rineka Cipta 1991), h.

188

sistematis data yang diberi tanda untuk mengurutkan klasifikasi

data dan urutan masalah.19

d. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data

menurut kerangka sistematika bahasan sesuai berdasarkan urutan

masalah.

Setelah pengumpulan data, penulis mengoreksi dengan

mengecek kelengkapan data yang sesuai dengan permasalahan, setelah

itu memberikan catatan/tanda khusus berdasarkan sumber data dan

rumusan masalah kemudian di susun ulang secara teratur dan berurutan

sehingga dapat menjadi sebuah pembahasan yang dapat di pahami.

5. Analisis Data

a. Setelah data terhimpun kemudian diolah dan dianalisis melalui

penelitian, analisis dilakukan secara kualitatif dan komparatif. Metode

deduktif yaitu cara berfikir deduktif dengan menggunakan analisis

yang berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta-fakta yang bersifat

umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan

khusus.20

b. Metode induktif yaitu cara berfikir indukatif berpijak pada fakta-fakta

yang bersifat khusus,kemudian diteliti dan akhirnya ditemui

pemecahan persoalan yang bersifat umum.21

19

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,(Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2004) h. 127. 20

Mardalis, Op Cit, h. 20. 21

Ibid, h 21.

Metode ini digunakan penulis dalam memecahkan masalah yang

berangkat dari fakta-fakta atau kejadian yang khusus dan umum kemudian

ditarik kesimpulan, dengan ini penulis dapat menyaring data yang terkumpul

dan data yang ada kemudian dianalisa sehingga mendapatkan suatu teori baru.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Gugatan

Memulai dan menyelesaikan persengketaan perdata di pengadilan tidak

terkecualidi lingkungan Pengadilan Agama dikenal dua sifat mengajukan

permintaan pemeriksaan perkara, yaitu gugatan dan permohonan.Perbedaan

antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada

suatu sengketa atau konflik yang harus di selesaikan dan di putus oleh

pengadilan, terdiri dari seorang penggugat dan tergugat.

Menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan merupakan tuntutan hak

(burgerlijk vordering), yaitu tindakan yang bertujuan memperoleh

perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah terjadinya

eigenrichting (perbuatan main hakim sendiri).22

Dalam suatu gugatan ada penggugat yang merasa bahwa haknya telah

di langgar, akan tetapi orang yang melanggar haknya atau tergugat tidak mau

secara sukarela melakukan sesuatu yang di minta. Untuk penentuan siapa yang

benar dan berhak, di perlukan adanya putusan hakim.23

Berdasarkan ketentuan Pasal 118 dan pasal 142 RBg, siapa saja yang

merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan merugikan dirinya sementara ia

tidak dapat menyelesaikan persoalan itu sendiri, maka ia dapat meminta ke

22

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet-4, (Yogyakart: Liberty,

1993), h. 38. 23

Retnowulan Susantio dkk., hukum acara perdata dalam teori dan praktek,

(Bandung:CV. Mandar Maju, 1997) h.10

pengadilan untuk menyelesaikan sesuai hukum yang berlaku, pada dasarnya

gugatan diajukan secara tertulis, dan bagi yang buta huruf menurut ketentuan

Pasal 120 HIR dan 144 RBg dapat di masukkan secara lisan.24

Sedangkan dalam suatu permohonan tidak ada sengketa dan tidak ada

lawan, misalnya ada seseorang memohon kepada pengadilan untuk minta di

tetapkan perkara isbat nikah, waris atau tentang suatu situasi hukum tertentu.

Jadi gugatan adalah pengajuan permintaan pemeriksaan suatu perkara

yang mengandung sengketa atau konflik pada pengadilan.

B. Syarat-syarat Mengajukan Gugatan

Suatu gugatan, menurut Abdul Manan, untuk dapat diterima dan

diselesaikan oleh pengadilan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain25

:

Ada dasar hukumnya: dasar hukum gugatan dijadikan dasar oleh

pengadilan dalam mengadili, uraian mengenai dasar hukum memiliki

hubungan erat dengan materi-materi persidangan. Dasar hukum dapat

berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik

pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum. Dasar

hukum suatu tuntutan diperlukan agar tidak semua orang dengan

semena-mena menggugat orang lain, hanya orang yang punya dasar

hukumlah yang dapat menggugat. Seperti perkara utang-piutang, harus

ada dasar bahwa utang piutang itu benar-benar terjadi dan bukan

24

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al Qadha,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 4 25

Ibid., h. 15

direkayasa. Utang-piutang yang tidak ada dasar hukumnya, seperti tidak

dibuat secara tertulis maupun lisan dan tidak juga dipersaksikan oleh

orang lain tentu tidak memiliki dasar sehingga tidak mungkin diterima

sebagai gugatan di pengadilan. Dalam Al-Qur‟an disebutkan pula dasar

hukum nya yang berbunyi: Q.S Al-Imran 103-105

Artinya:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu

ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah

mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,

orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang

neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk

(103).dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang

munkar (104) Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang

bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas

kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang

berat (105)26

b. Adanya kepentingan hukum, penggugat harus memiliki kepentingan

hukum yang cukup, dan gugatan harus di lakukan oleh orang yang

memiliki hubungan hukum langsung dengan sengketa. Sedangkan

orang yang tidak memiliki kepentingan atau hubungan hukum

langsung, haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu oleh yang

bersangkutan untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Kalau

yang bersengketa pihak materilnya merupakan badan hukum, seperti

perusahaan atau orang-orang yang tidak cakap bertindak hukum,

seperti anak-anak dan orang-orang di bawah pengampuan yang tidak

mungkin bertindak sendiri maka pengurusnya menjadi pihak formal.

Misalnya sengketa perkawinan, permohonan cerai talak hanya bisa

diajukan oleh suami dan cerai gugat oleh isteri, adapun keluarga yang

memilik hubungan darah atau perkawinan dengan suami dan isteri

tidak dapat mengajukan perkara perceraian itu, karena para keluarga

sedarah dan semenda tidak memiliki kepentingan hukum yang cukup

untuk mengajukan perkara.

26

Departemen agama RI, Al-Qur‟an, Al Mubin, Pustaka Al Mubin, Jakarta 2010. h. 63

c. Ada sengketa, tuntutan perdata adalah tuntutan yang mengandung

sengketa.27

Berlaku asas geen belaang geenactic (tidak ada sengketa

tidak ada perkara). Adalah suatu keniscayaan bahwa suatu hak yang

hendak dituntut keniscayaan bahwa suatu hak yang dapat

disengketakan, seperti dalam hubungan bertetangga seorang tetangga

yang ekonominya lemah tidak dapat menggugat supaya pengadilan

memutuskan agar tetangga sebelahnya yang ekonominya lebih kaya

darinya untuk bersedekah padanya, karena sedekah adalah salah satu

bentuk kedermawanan sosial dan tidak ada kaitannya dengan hak dan

kewajiban perdata. Berbeda jika si tetangga sebelahnya yang

ekonominya lebih kaya darinya untuk bersedekah padanya, karena

sedekah adalah salah satu bentuk kedermawanan sosial dan tidak ada

kaitannya dengan hak dan kewajiban perdata. Berbeda jika si tetangga

ternyata ada hak yang belum ditunaikan oleh tetangganya, seperti

adanya hubungan kerja, jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan

hubungan-hubungan perdata lainnya.

d. Gugatan dibuat secara dengan cermat dan terang, gugatan dapat dibuat

secara tertulis dan bisa juga secara lisan.28

e. Memahami hukum formal dan hukum materiil, pengetahuan terhadap

hukum materiil dan formal sangat membantu para pihak dalam rangka

memperhatikan hak di pengadilan.

C. Prinsip-prinsip Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Agama

27

Pasal 118 HIR 142 RBg dan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 28

Pasal 118 dan 120 HIR, 142 dan 144

Sudah menjadi hal yang tidak bisa dihindari yaitu adanya perbedaan

pendapat tentang suatu masalah bahkan perbedaan pendapat ini telah terjadi

sejak zaman para sahabat. Terkait tentang perbedaan pendapat ini sering kali

muncul satu sikap taklid dan fanatik terhadap satu pendapat atau madzhab

tertentu dan tidak mau keluar kepada pendapat lain walaupun kebenaran ada

pada pendapat yang lain. Dan ini merupakan sikap negatif, yang seharusnya

dilakukan adalah mengembalikan segala permasalahan kepada Al-Qur‟an dan

Hadits, di antaranya yang berbunyi: Q. S An-Nisa 59

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu.kemudian jika kamu berlainan Pendapat

tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan

Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.(59)29

Mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mengembalikan

kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah.Allah SWT juga mengaitkan sikap

29

Op. Cit., h. 87

mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan sebagaimana

firman-Nya, “jika kalian benar-benar beriman kepada Allah.”Dengan

demikian dapat dipahami, bahwa apabila seseorang mengembalikan

perselisihan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, berarti orang tersebut tidak

beriman kepada Allah.

Dalam Hukum acara Peradilan Agama di Indonesia mempunyai tujuh azas

yaitu30

:

1. Asas Personalitas Keislaman

Asas yang pertama ini bermakna bahwa yang tunduk dan yang

dapat ditundukkan kepada kekuasan lingkungan peradilan agama hanya

mereka yang beragama islam. Dengan perkataan lain, seorang penganut

agama non-islam, tindak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk

kepada kekuasaan peradilan agama.Asas ini diatur dalam pasal 2,

penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1. Menurut M.

Yahya Harahap, dari ketiga keterangan tersebut dapat dilihat bahwa asas

personalitas keislaman sekaligus dikaitkan bersamaan dengan perkara

perdata bidang tertentu, sepanjang mengenai sengketa perkara yang

menjadi wewenang peradilan agama. Oleh karena itu, ketundukan

personalitas muslim kepada lingkungan peradilan agama, tidak merupakan

ketundukan yang bersifat umum, yang meliputi semua bidang perdata.

Maksud atau penegasan mengenai asas ini adalah, pihak-pihak yang

30

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:

Sinar Grafika, Cet-III, 2005). h. 23

bersengketa harus sama-sama beragama Islam, perkara perdata yang

disengketakan harus mengenai perkara-perkara termasuk dalam bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah, hubungan

hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum

Islam.

2. Asas Kebebasan

1. Tujuan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan asas yang

paling sentral dalam kehidupan peradilan. Asas ini merujuk dan

bersumber pada ketentuan yang diatur dalam pasal 24 UUD 1945 dan

UUD No. 48 Tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok

kekuasaan kehakiman.

2. Pengertian kebebasan kekuasaan kehakiman

Makna kebebasan kekuasaan hakim dalam melaksanakan fungsi

kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah:

a. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara yang lain. Bebas

disini berarti murni berdiri sendiri, tidak berada dibawah pengaruh

dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau badan kekuassaan

lainnya.

b. Bebas dari paksaan, arahan atau rekomendasi yang dating dari

pihak extra yudicial , artinya hakim tidak boleh dipaksa diarahkan

atau direkomendasikan dari luar lingkungan kekuasaan peradilan

c. Kebebasan melaksanakan wewenang peradilan.

3. Asas Wajib Mendamaikan

Asas kewajiban mendamaikan ini diatur dalam Pasal 65 dan 82 UU

No.7 Tahun 1989. Menurut ajaran Islam, apabila ada perselisihan atau

sengketa sebaiknya melalui pendekatan “ishlah”(QS.49:10), karena itu

asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa,

sesuai benar dengan tuntunan ajaran akhlak islam. Jadi, Hakim Peradilan

Agama selayaknya menyadari dan mengemban fungsi

mendamaikan.Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para

pihak yang berpekara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau

dikalahkan.Kedua pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan

mereka dapat pulih kembali dalam suasana rukun persaudaraan.

Adapun peranan hakim dalam mendamaikan para pihak yang

berperkara terbatass pada anjuran, nasihat, penjelasan, dan member

bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta oleh kedua belah

pihak.Oleh karena itu, hasil kahir dari perdamaian ini harus benar-benar

merupakan hasil kesepakatan kehendak bebas dari kedua belah pihak.

Sebab perdamaian ditinjau dari sudut hukum Islam maupun Hukum

Perdata Barat (KUH Perdata ) termasuk bidang Hukum perjanjian.

4. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum

Pengertian dan penerapan asas ini mempunyai makna yang luas,

yaitu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan pemeriksaan

persidangan.Disamping itu termasuk juga mengenai keluwesan dan

kebijaksanaan para hakim dalam menyiapkan akomodasi bagi para

pengunjung sidang, ketertiban, pengambil foto, dan reportase.

Asas ini diatur dalam pasal 13 UU No.48 Tahun 2009, dibawah

BAB IV tentang Hukum Acara. Bunyi Pasal ini hamper serupa dengan

ketentuan Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009, hanya lebih ditegaskan lagi

dalam hal kemungkinan sidang tertutup apabila undang-undang

menentukan atau hakim menganggap perlu berdasar alasan-alasan penting.

Dan alasan-alasan tersebut dicatat dalam berita acara.Dalam

pelaksanaannya, sebelum persidangan hakim menyatakan bahwa

“persidangan ini terbuka untuk umum”.Namun demikian, meskipun hakim

lupa mengucapkan, tidaklah mengakibatkan pemeriksaan batal.Agaknya

tepat, bahwa yang penting adalah pelaksanaan yang terjadi dipersidangan,

yaitu hakim memperkenankan setiap pengunjung untuk menghadiri dan

menyaksikan jalannya pemeriksaan.

Asas persidangan terbuka untuk umum ini dikecualikan dalam

perkara perceraian. Hal ini diatur dalam pasal 80 ayat (2) UU No.3 Tahun

2006jo. Pasal 33 dan pasal 21 PP No.9 Tahun 1975, yang menyatakan

bahwa pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

5. Asas Legalistis

Asas legalistis tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 3 Tahun

2006 dan Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu “Peradilan negara

menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila”31

.

Dari rumusan ini, dapat dipahami bahwa asas legalistis terkandung

di dalamnya sekaligus berbarengan dengan penegasan persamaan hak dan

derajat setiap orang yang berperkara di depan sidang pengadilan. Baik asas

legalistis maupun persamaan hak, keduanya mengandung hak asasi setia

orang.Asas legalistis meliputi hak assasi yang berkenaan dengan hak

perlindungan hukum dan asas persamaan hubungan dengan persamaan di

hadapan hukum atau asasequality.

6. Asas Equality

Makna equilty adalah persamaan hak. Apabila asas ini di

hubungkan dengan fungsi peradilan, artinya adalah setiap orang

mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan sidang pengadilan.

Jadi, hak dan kedudukan adalah sama di depan hukum.Sehubungan

dengan asas equality ini, maka dalam praktik pengadilan, terdapat tiga

patokan yang fundamental32

, yaitu:

1. Persamaan hak atau derajat dalam proses persidangan atau “equal

before the law”

2. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on

the law”

31

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2010). h. 43 32

Ibid., h. 44

3. Mendapatkan hak perlakukan di bawah hukum atau “equal justice

under the law”

Ketiga patokan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dicerai-pisahkan. Penerapannya tidak sama secara sendiri-sendiri

ketiganya harus diterapkan serempak dan bersama-sama. Dengan

perkataan lain, ketiganya merupakan rangkaian fundamen yang harus

diterapkan secara utuh dala satu kesatuan yang tak terpisahkan.

7. Asas Aktif Memberi Bantuan

Asas ini dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No.3 Tahun

2006jo. Pasal 2 ayat (4) UU No.50 Tahun 2009yang berbunyi: “

Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-

kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

tercapainya Peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan”33

.

Pasal 2 ayat (4) UU No.3 Tahun 2006jo. Pasal 2 ayat 4 UU No.48

Tahun 2009 merupakan pedoman bagi hakim dalam melaksanakan fungsi

pemberi bantuan.Namun, ketentuan pasal ini hanya menegaskan subjeknya

saja, yaitu “para pencari keadilan”.Ada pendapat yang menyatakan bahwa

perkataan pencari keadilan itu mengandung makna konotasi pihak

Penggugat. Bila ditinjau dari segi Hukum Perdata, yang berpekara di

depan sidang pengadilan dan sama-sama mencari keadilan itu adalah pihak

33

Ibid., h. 45

penggugat dan pihak tergugat. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan

bahwa pencari keadilan itu hanya pihak penggugat adalah tidak

tepat.Berdasarkan uraian tersebut, perkataan para pencari keadilan

meliputi penggugat dan tergugat.Dan hakim memberikan bnatuan kepada

penggugat dan tergugat.

Masalah lain yang perlu dijelaskan adalah tentang objek bantuan

yang dapat diberikan hakim. Mengenai objek bantuan ini akan ditinjau dari

dua sudut, yaitu berupa batasan umum dan berupa rincian masalah yang

dapat dijangkau hakim dalam member bantuan atau nasihat .tentang batsan

umum dapat dijelaskan bahwa pemberian bantuan atau nasihat adalah

sesuai dengan hukum sepanjang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

masalah formal. Artinya, jangkauan fungsi pemberian nasihat dan bantuan

tersebut terutama berkenaan dengan tata cara berproses di depan sidang

pengadilan. Sedangkan, hal-hal yang berkenaan dengan masalah materiil

atai pokok perkara tidak termasuk dalam jangkauan fungsi tersebut.Hal ini

bertujuan supaya jalannya pemeriksaan lancer, terarah, dan tidak

menyimpang dari tata tertib beracara yang dibenarkan undang-

undang.Selain itu, jangan sampai kekeliruan formal mengorbankan

kepastian penegakan hukum.

8. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam pasal 2 ayat

(4) UU No. 3 Tahun 2006 dan pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009.

Penjelasan pasal 4 ayat (2) berbunyi: ketentuan ini dimaksudkan

untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksudkan

dengan “sederhana “ adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara

dilakukan dengan cara yang lebih efisien dan efektif. Yang dimaksudkan

dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh

rakyat.Namun demikian, dalam pemeriksaan perkara tidak mengorbankan

ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tidak

memberikan penjelasan tentang asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pada Pasal 2 ayat (4), dapat dijumpai penjelasan umum angka 5 alinea ke

5 yang berbunyi “prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan

dalam UU No. 48 Tahun 2009, antara lain sidang terbuka untuk umum,

setiap keputusan dimulai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya

ringan dan ketentuan-ketentuan lain dalam undang-undang ini lebih

ditegaskan dan dicantumkan kembali.

Tujuan asas ini adalah agar suatu proses pemeriksaan di

Pengadilan, relatif tidak memakan waktu lama sampai bertahun-tahun

sesuai kesederhanaan hukum acara itu sendiri, hakim tidak mempersulit

proses persidangan yang berbeli-belit dan sering mundur dalam jadwal

persidangan.

Jadi, yang dituntut dari hakim dalam mengimplementasikan asas

ini ialah :

1. Sikap moderat artinya dalam pemeriksaan tidak cenderung tergesa-

gesa dan tidak pula sengaja dilambat-lambatkan,

2. Tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut

hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan jangan

dimanipulasi untuk membedakan hukum, kebenaran, dan keadilan.

D. Prosedur Mengajukan Gugatan

Sebelum perkara masuk untuk diperiksa proses administrasi

penerimaan perkara harus tepat34

, yaitu:

1. Sistem pelayanan perkara di Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah

menggunakan sistem meja, yaitu sistem kelompok kerja yang terdiri dari:

Meja I (termasuk di dalamnya kasir), Meja II dan Meja III.

2. Petugas meja I menerima gugatan, permohonan, verzet, permohonan

eksekusi dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

3. Perlawanan atas putusan verstek (verzet) tidak didaftar sebagai perkara

baru, akan tetapi menggunakan nomor perkara semula (verstek) dan

pelawan dibebani biaya untuk pemanggilan dan pemberitahuan pihak-

pihak yang di taksir oleh petugas Meja I.

4. Perlawanan pihak ketiga

34

Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman

Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010(Jakarta: 2010),

h. 1-4

5. (derden verzet) di daftar sebagai perkara baru.

6. Dalam pendaftaran perkara, dokumen yang perlu diserahkan kepada

petugas Meja I adalah:

a. Surat gugatan atau surat permohonan yang ditujukan kepada ketua

pengadilan agama/mahkamah syar‟iyah yang berwenang

b. Surat kuasa khusus dalam (hal penggugat atau pemohon menguasakan

kepada pihak lain).

c. Fotokopi kartu anggota advokat bagi yang mengguanakan jasa

advokat.

d. Bagi kuasa isidentil, harus ada surat keterangan tentang hubungan

keluarga dari kepala desa/lurah dan/atau surat izin khusus dari atasan

bagi PNS dan anggota TNI/POLRI (Surat Edaran TUADA

ULDILTUN MARI No. MA/KUMDIL/8810/1978).

e. Salinan putusan (untuk permohonan eksekusi)

f. Salinan surat yang dibuat di luar negeri yang di sahkan oleh kedutaan

atau perwakilan Indonesia di Negara tersebut, dan telah di terjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah yang di sumpah.

7. Surat gugatan/permohonan di serahkan kepada petugas Meja I sebanyak

jumlah pihak, ditambah 3 (tiga) rangkap untuk majlis hakim.

8. Petugas Meja I menerima dan memeriksa kelengkapan berkas dengan

menggunakan daftar periksa (check list).

9. Dalam menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja I berpedoman pada

surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama /Mahkamah Syar‟iyah tentang

Panjar Biaya Perkara.

10. Dalam menentukan panjar biaya perkara ketua Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar‟iyah harus merujuk peraturan pemerintah Nomor

53 Tahun 2008 tentang PNBP, peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2

Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara Dan Pengolaannya

Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di Bawahnya

serta peraturan yang terkait lainnya.

11. Komponen PNBP yang di taksir meliputi biaya pendaftaran dan hak

redaksi ditaksir sendiri, sedangkan biaya PNBP di luar biaya pendaftaran

dan hak redaksi ditaksir tersendiri, tidak masuk panjar biaya.

12. Dalam menaksir panjar biaya perkara perlu di pertimbangkan hal-hal

berikut:

a. Jumlah pihak yang berperkara

b. Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak (radius).

c. Untuk perkara cerai talak harus diperhitungkan juga biaya

pemanggilan para pihak untuk sidang ikrar talak.

d. Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih

dahulu di bebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya

perkara.

13. Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja I membuat Surat

Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 4:

a. Lembar petama warna hijau untuk bank.

b. Lembar kedua warna putih untuk penggugagt/pemohon

c. Lembar ketiga warna merah untuk kasir.

d. Lembar keempat warna kuning untuk di masukkan dalam berkas.

14. SuratKeputusan Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah tentang

Panjar Biaya Perkara harus di tempel pada papan pengumuman Pengadilan

Agama

15. Petugas Meja I mengembalikan berkas kepada penggugat/pemohon untuk

diteruskan kepada kasir.

16. Penggugat/pemohon membayar uang panjar biaya perkara yang tercantum

dalam SKUM ke bank.

17. Pemegang kas menerima bukti setor ke bank dari penggugat atau pemohon

dan membukukannya dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara.

18. Pemegang kas harus memberi nomor, membubuhkan tanda tangan dan cap

tanda lunas pada SKUM.

19. Nomor urut perkara adalah nomor urut pada Buku Jurnal Keuangan

Perkara.

20. Pemegang kas menyerahkan satu rangkap surat gugat/permohonan yang

telah diberi nomor perkara berikut SKUM kepada penggugat/pemohon

agar didaftarkan di Meja II.

21. Petugas Meja II mencatat perkara tersebut dalam Buku Register Induk

Gugatan/Permohonan sesuai dengan nomor perkara yang tercantum pada

SKUM.

22. Petugas Meja II menyerahkan satu rangkap surat gugatan/permohonan

yang telah terdaftar berikut SKUM rangkap pertama kepada

penggugat/pemohon.

23. Petugas Meja II memasukkan surat gugatan/permohonan tersebut dalam

map berkas perkara yang telah di lengkap dengan formulir: PMH,

penunjukkan panitera penggant, penunjukkan jurusita penggganti, PHS,

dan instrumen.

24. Petugas Meja II menyerahkan berkas kepada panitera melalui wakil

panitera untuk disampaikan kepada ketua Pengadilan Agama/Mahkamah

Syar‟iyah.

25. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja berkas perkara sebagaimana

angka 22 di atas harus sudah diterima oleh ketua Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar‟iyah.

Pokok-pokok pemeriksaan di muka sidang dalam perkara perdata

telah di atur dalam HIR dan UU No. 7 Tahun 1989jo. No. 50 Tahun 2009

Tentang Pengadilan Agama serta Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Pengadilan Agama, diantaranya:

a. Penetapan Majlis Hakim

Setelah gugatan sudah lengkap dan didaftarkan kepanitera

Pengadilan Agama, dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari, ketua

menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dalam

sebuah Penetapan Majelis Hakim.

b. Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak yang berperkara dilakukan setelah adanya

Penetapan Hari Sidang oleh Majelis Hakim. Kemudian diberitahukan oleh

jurusita pengganti untuk melakukan panggilan kepada para pihak, saksi

dan pihak-pihak yang dianggap perlu dihadirkan sesuai dengan surat

pemberitahuan yang di buat oleh kketua Pengadilan Agama.

Pemanggilan harus disampaikan kepada orang-orang yang

berkepentingan sendiri yaitu ditempat tinggalnya, apabila tidak bertemu

dengan yang bersangkutan sendiri maka surat panggilan disampaikan

kepada Kepala Desa yang bersangkutan untuk diteruskan kepada pihak

yang dipanggil, hal ini tertuang dalam pasal 320 ayat (1) HIR. Apabila

pihak yang dipanggil berada di luar wilayah yuridiksi Pengadilan Agama

yang bersangkutan maka, Ketua Pengadilan Agama memohon bantuan

pemanggilan kepada Pengadilan Agama dimana pihak yang dipanggil

tersebut berada.35

c. Tahap-tahap Pemeriksaan

1. Tahap sidang pertama

Setelah hakim memasuki ruang sidang dan membuka sidang

sekaligus menyatakan bahwa persidangan terbuka untuk umum,

kemudian Majelis Hakim menyatakan idntitas pihak-pihak yang

dimulai dari penggugat kemudian tergugat, dan menyatakan apakah

mengerti maksud yang yang didatangkannya para pihak dimuka sidang

pengadilan.

35

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, 2005), h. 135-137

Selanjutnya Majelis Hakim yang memeriksa perkara terlebih

dahulu harus mengupayakan perdamaian melalui proses mediasi yang

diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBg jo pasal 82 Undang-undang No.

7 Tahun 1989 jo Undang-undang 3 Tahun 2006 jo PERMA No. 1

tahun 2008.

Dengan adanya upaya mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA

No. 1 Tahun 2008, Majelis Hakim agar memperhatikan dan

menyesuaikan tenggang waktu proses mediasi dengan hari persidangan

berikutnya.

Apabila pihak-pihak yang berperkara menerima maka akan

dibuatkan akta perdamaian, namun jika tidak bersedia berdamai, maka

akan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan oleh panitera atas

perintah Majelis Hakim atau oleh penggugat dan juga bisa oleh

kuasanya dan dilanjutkan pada tahap selanjutnya.

2. Tahap jawaban tergugat

Setelah pembacaan surat gugatan selanjtnya adalah tahap jawaban

gugatan yaitu bantahan dan pengakuan mengenai dalil-dalil gugatan

yang diajukan oleh penggugat. Jawaban tergugat sebenarnya

berdasarkan kepada dua hal:

a. Jawaban tidak langsung pada pokok perkara disebut eksepsi atau

bantahan yang diajukan tergugat kepada pengadilan dengan tujuan

agar pengadilan tidak menerima perkara yang diajukan penggugat

karena alasan tertentu.

b. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.36

Dalam tahapan jawaban gugatan ini tergugat bisa

mengajukan gugatan balik (rekonvensi).Dalam gugatan balik

tergugat asal menggunakan sekaligus dalam kesempatan

berperkara ini untuk menggugat kembali pada penggugat

asal.Perkara rekonvensi diperiksa bersama konvensi dan diputus

sekaligus dalam perkara tersebut serta vonis bisa dikemas dalam

satu putusan atau dalam dua putusan (pasal 132 HIR).

3. Tahap Replik

Pada sidang ini penggugat menyerahkan replik, satu untuk hakim,

satu untuk tergugat dan satu lagi disimpan penggugat sendiri. Replik

adalah tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat. apabila ada

gugatan balik (rekonvensi) maka dalam tahap ini sekaligus dibacakan

jawaban atas rekonvensi.

4. Tahap Duplik

Pada sidang tahap ini tergugat menyerahkan duplik yaitu

tanggapan tergugat terhadap penggugat dan replik terhadap

rekonvensi.37

5. Tahap Pembuktian

Pada tahap ini para pihak menyatukan bukti-bukti yang

memperkuat dalil-dalil untuk meyakinkan hakim akan kebenaran

peristiwa. Dalam pasal 163 HIR dikatakan: bahwa barang siapa yang

36

Ibidh. 218 37

R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet Pertama ,

1994), h. 43

menyatakan mempunyai barang suatu hak, atau menyebutkan suatu

kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak

orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau

kejadian itu. Dan menurut pasal 164 HIR, alat-alat bukti terdiri dari:38

a. Alat Bukti Surat

a). Akta autentik

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai Umum

yang diperintahkan oleh Undang-undang.

b). Akta Dibawah Tangan

Akta yang ditanda tangani sendiri oleh yang bersangkutan

tanpa peran serta pegawai umum, contohnya surat kuasa yang

ditanda tangani oleh yang bersangkutan.

c) Surat Biasa

Surat yang dibuat bukan untuk pembuktian peristiwa,

contohnya KTP, surat keterangan sehat.

b. Alat Bukti Saksi

Hal ini diatur dalam pasal 169 HIR, bahwa semua orang

yang cakap menjadi saksi diwajibkan memberikan kesaksian

kecuali mereka yang di golongkan tidak cakap menjadi saksi, saksi

38

M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syariah,

(Jakarta: Kencana, 2005), h. 35-44

disini harus mengalami, melihat dan mendengar sendiri serta harus

pula disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya.

c. Alat Bukti Prasangka

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu

peristiwa terkenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa

yang tidak terkenal (belum terbukti), yang terdiri dari persangkaan

hakim dan persangkaan Undang-undang.

d. Alat Bukti Pengakuan

Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim dan

merupakan alat bukti yang sempurna yang telah diatur dalam pasal

147 HIR.

e. Alat Bukti Sumpah

Pernyatan yang diberikan atau diucapkan pada saat

memberikan janji atau keterangan dengan mengikat sifat kuasa

Tuhan.

f. Alat Bukti Ahli

Pemeriksaan saksi ahli diatur dalam Pasal 154 HIR maupun

Pasal 215 s/d 229 Rv. Ahli adalah orang yang memiliki

pengetahuan khusus di bidang tertentu, yang menurut Raymond

Emson ”Specialized are as of Knowledge”, ”ahli merupakan orang

yang dapat memberi keterangan dan penjelasan serta membantu

menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang

biasa”.

6. Tahap Penyusunan Konklusi

Para pihak yang diperbolehkan mengajukan konklusi

kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang

bersangkutan.Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu Majelis

Hakim, pada umumnya, konklusi ini sifatnya tidak diperlukan bagi

perkara-perkara yang sederhana, sehinnga hakim bisa meniadakannya.

7. Musyawarah Majelis Hakim

Menurut Undang-undang musyawarah Majelis Hakim dilakukan

secara rahasia dan tertutup untuk umum, semua pihak yang hadir

disuruh meninggalkan ruangan sidang, panitera sendiri kehadirannya

dalam musyawarah Majelis Hakim adalah atas izin majelis.

Hasil musyawarah Majelis Hakim ditanda tangani oleh semua

hakim tanpa panitera sidang dan inilah yang akan dituangkan kedalam

dictum putusan.

8. Pengucapan Putusan

Pengucapan keputusan atau ketetapan selalu dilakukan dalam

sidang terbuka untuk umum, sekalipun mungkin dahulunya dilakukan

dalam sidang tertutup karena alasan tertentu dalam perkara.

Selesai keputusan diucapkan, Hakim Ketua Majelis akan

menanyakan kepada para pihak, baik penggugat atau tergugat apakah

mereka menerima keputusan atau tidak, bagi pihak yang hadir dan

menanyakan menerima putusan maka baginya adalah tertutup upaya

untuk banding.39

9. Eksekusi

Eksekusi dapat dilaksanakan setelah putusan hakim mempunyai

kekuatan hukum yang pasti, pelaksanaanya dapat dilakukan secara

sukarela, namun seringkali pihak yang dikalahkan tidak mau

melaksanakannya, sehingga diperlukan bantuan dari pengadilan untuk

melaksanakan secara paksa, dala hal ini pihak yang dimenangkanlah

yang mengajukan permohonan.40

E. Pihak-Pihak dalam Gugatan

Dalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua

pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat.Penggugat ialah orang yang

menuntut hak perdatanya di muka pengadilan perdata. Penggugat ini di sebut

eiser (belanda) atau al mudda’y (arab).

Penggugat dapat seorang diri atau gabungan dari beberapa orang,

sehinnga muncullah istilah penggugat 1, penggugat 2, penggugat 3 dan

seterusnya.Dapat pula menggunakan kuasa sehingga ditemui istilah kuasa

penggugat 1, kuasa penggugat 2, dan seterusnya.

Lawan dari penggugat disebut tergugat atau gedagde (Belanda), atau

Al muadda‟alaih (arab). Keadan tergugat juga dapat seorang diri atau

39

Roihan Ar Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007) h. 139 40

R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet Pertama ,

1994), h.133

gabungan dari beberapa orang atau memakai kuasa, sehingga muncul istilah

tergugat 1, tergugat 2, tergugat 3, dan seterusnya.Kuasa tergugat 1, kuasa

tergugat 2, kuasa tergugat 3, dan seterusnya.Gabungan penggugat atau

tergugat seperti di atas disebut „kumulasi subyektif‟ artinya subyek hukum

yang bergabung dalam berperkara.

Dalam gugatan perdata yang berbentuk contentiosa maka yang

bertindak sebagai penggugat harus orang yang benar-benar memiliki

kedudukan dan kapsitas yang tepat menurut hukum.Begitu juga pihak yang

ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan dan

kapasitas.Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat dan salah menarik

tergugat dapat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.

Dalam suatu gugatan pihak-pihak yang berperkara penggugat dan

tergugat. Pihak-pihak dalam perkara boleh memberikan kuasa pada orang lain

atau penasihat hukum dalam mengurus perkaranya dengan menggunakan surat

kuasa khusus. Kuasa khusus tidak menghilangkan hak hakim untuk apabila

perlumenghadirkan langsung pihak pemberi kuasa, apabila dalam hal-hal yang

tidak dipisahkan dari diri pribadi pemberi kuasa.41

F. Bentuk-bentuk Gugatan

Bentuk-bentuk gugatan tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan

dari ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 ayat (1) Rbg dan pasal 120 HIR

atau pasal 144 ayat (1) Rbg di antaranya yaitu:

41

Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007) h. 58-59

a. Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 142 ayat (1) Rbg,

dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan kepada

ketua pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat

gugatan yang ditulis harus ditanda tangani oleh penggugat. Jika perkara

itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya maka yang menandatangani

surat harus gugatan adalah kuasa hukumnya, sebagaimana disebutkan

dalam pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1) Rbg. Berdasarkan

pasal 113 HIR dan pasal 143 Rbg, ketua pengadilan berwenang

memberikan nasehat hukum mengajukan gugatan kepada pengadilan yang

berwenang.42

Tidak ada ketentuan khusus dan persyaratan tentang tata cara

menyusun dan membuat surat gugatan. Hanya dalam Rv pasal 8 No 3

yang menghruskan adanya pokok gugatan, meliputi:

1. Identitas para pihak

Pada umumnya meliputi, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,

alamat tinggal para pihak yang berperkara terutama tergugat harus

terang dan cermat, untuk memudahkan jurusita dalam melakukan

pemanggilan, serta kedudukannya sebagai pihak dalam perkara yang

diajukan di Pengadilan. Hal ini merupakan syarta formal suatu

gugatan untk menghindari terjadinya error in pesona (kesalahan

identitas seseorang).Pihak-pihak yang berperkara itu harus ditegaskan

kedudukannya dalam perkara apakah sebagai penggugat atau

42

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, 2005) h. 27-28

tergugat.jika tergugat tidak menegaskan kedudukan atau posisinya

dalam perkara bagaimana mungkin orang yang berperkara bisa

membela serta mempertahankan hak dan hubungan hukum yang

terjadi antara para pihak juga harus ditegaskan kedudukkannya dalam

surat gugatan, jika tidak maka gugatan dianggap kabur (obscuur

libel).43

2. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah

pihak, biasa disebut bagian posita (jamak) atau positum (tunggal).

Bagian yang memuat fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi

(bagian posita) hendaknya singkat, kronologis, jelas, tepat dan terarah

untuk mendukung isi tuntutan (bagian petita nantinya). Sebagai misal,

isteri menggugat nafkah selama dalam masa iddah dan juga nafkah

anak dari tergugat (suami) maka pada bagian posita tentunya

dicantumkan kapan keduanya bercerai, nomor dan tanggal berapa

surat cerainya, berapa orang dan siapa saja nama anak-anaknya serta

umur masing-masingnya, lalu sejak kapan anak tidak diberi nafkah,

berapa besar nafkah iddah dan nafkah anak yang patut/mencukupi dan

sebagainya yang relevan lainnya.

3. Isi tuntutan yang biasa disebut bagian petita (jamak) atau petitum

(tunggal).

b. Gugatan lisan

43

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:

Sinar Grafika, Cet-III, 2005), h. 194

Gugatan pada prinsipnya harus dibuat tertulis oleh penggugat atau

oleh kuasa sahnya. Tapi kalau penggugat tidak bisa menulis (maksudnya

buta huruf) maka gugatan boleh diajukan secara lisan. Gugatan lisan

tersebut akan dibuat/diformulasikan oleh panitera menjadi surat gugatan.

G. Kelengkapan Gugatan

Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk

mendaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapi dengan syarat-

syarat lainnya, ada syarat kelengkapan umum dan ada syarat kelengkapan

khusus.44

a. Syarat kelengkapan umum

Syarat kelengkapan umum (minimal) untuk dapat diterima dan

didaftarkannya suatu perkara di pengadilan, ialah:

1. Surat gugatan tertulis atau dalam hal buta huruf catatan gugatan.

2. Surat keterangan kependudukan atau tempat tanggal lahir atau domisili

penggugat.

3. Vorschot biaya perkara, kecuali bagi yang tidak mampu dapat

membawa surat keterangan tidak mampu dari Lurah atau kepala Desa

yang diserahkan sekurang-kurangnya oleh Camat.

4. Surat gugatan harus bermaterai cukup.

b. Syarat kelengkapan khusus

Syarat ini tidaklah sama untuk semua kasus perkara, jadi tergantung

kepada jenis perkaranya, misalnya bagi anggota ABRI dan Kepolisian

44

Roihan A Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007), h. 65-68

yang mau melangsungkan perkawinan atau bercerai harus melampirkan

izin Komandan.

H. Pencabutan Gugatan

Pencabutan gugatan sebenarnya tidak hanya mungkin terjadi pada

sidang pertama tapi mungkin saja terjadi kapan saja bahkan mungkin berlanjut

sampai kepada pencabutan permohonan banding atau permohonan

kasasi.Yang pokok kita bicarakan ialah bagaimana caranya.

Pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersama-sama,

boleh saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari

beberapa orang, ada yang mencabut dan ada yang tidak maka pencabutan

hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan.45

Pencabutan gugatan hanya dilakukan oleh satu orang ketika yang

menjadi penggugat terdiri dari beberapa orang maka pencabutan gugatan

berlaku bagi yang mencabut saja, dalam perkara pencabutan gugatan tidak

berpengaruh karena perkara tetap jalan sebagaimana mestinya.

Apabila pencabutan terjadi setelah tergugat mengajukan jawabannya

maka pencabutan harus dengan persetujuan tergugat.Sebab tergugat sudah

mengeluarkan tenaga, waktu, mungkin biaya, sedangkan seandainya perkara

itu diteruskan kemungkinan tergugat akan menang dan kalau sudah ada

keputusan pengadilan berarti selama-lamanya untuk perkara itu tidak mungkin

45

Ibid,. h. 117

lagi timbul perkara (sebab ada larangan mengadili perkara yang sama dua kali,

atau disebut asas nebi in idem46

).

Walaupun pada asasnya semua perkara dapat dicabut dengan cara

tertentu, apabila pencabutan terjadi karena kesepakatan (perdamaian) antara

penggugat dan tergugat dengan akta perdamaian yang sudah diwujudkan

dimuka hakim maka perkara itu tidak boleh diajukan lagi untuk selama-

lamanya, sebab perdamaian dianggap sama dengan keputusan, sedangkan

terhadap keputusan ada asas nebis in idem.Segala persetujuan yang dibuat oleh

kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang

membuatnya dan tidak bisa dicabut kecuali atas persetujuan pihak lainnya.

Jika pencabutan terjadi bukan atas perdamaian antara penggugat dan

tergugat melainkan atas kehendak penggugat sendiri maka perkara itu masih

boleh diajukan ke Pengadilan pada kesempatan yang lain (jika mau) dengan

prosedur perkara baru. Semua verschot biaya perkara yang sudah disetor oleh

penggugat ke pengadilan, yang belum terpakai sampai perkara dicabut,

menurut prinsipnya harus dikembalikan kepada penggugat.47

Jika hanya kehendak penggugat saja maka perkara tersebut masih

boleh diajukan dengan prosedur yang baru dan apabila biaya yang sudah

disetorkan penggugat jika masih ada sisa maka di kembalikan kepada

penggugat.

46

Nebis in idem adalah suatu larangan pengajuan gugatan untuk yang kedua kalinya dalam

perkara yang sama baik mengenai subjeknya, objeknya dan alasannya telah diputus oleh

pengadilan yang sama. 47

Op.Cit., h. 118

Perlu di kemukakan sekaligus tentang pencabutan perkara banding

atau kasasi, yang akibatnya sama sekali lain dengan pencabutan perkara di

muka pengadilan tingkat pertama.

Pencabutan perkara banding boleh dilakukan oleh pembanding

sepanjang perkara belum diputus di tingkat banding, dalam hal ini sepanjang

perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama. Namun, dengan

dicabutnya perkara banding berarti keputusan pengadilan tingkat pertamalah

yang akan berlaku, terlepas daripada apakah pihak akan melaksanakannya

atau tidak.48

Pada tingkat banding selama perkara belum diputus oleh Pengadilan

Tinggi Agama maka pencabutan gugatan boleh dilakukan oleh

pembanding.Akan tetapi jika perkara pada tingkat banding dicabut maka yang

berlaku keputusan pada tingkat pertama.

Pencabutan perkara kasasi juga boleh dilakukan oleh pemohon kasasi

sepanjang belum diputus oleh Mahkmah Agung dan dengan sendirinya secara

hukum akan berlakulah keputusan pengadilan tingkat banding (keputusan

Pengadilan Tinngi Agama), terlepas daripada apakah keputusan Pengadilan

Tinggi Agama tersebut akan dilaksankan oleh pihak-pihak atau tidak.49

Dengan dicabutnya permohonan banding atau kasasi maka perkara

banding atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding

atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir.

48

Ibid., h.119 49

UU Nomor 14 tahun 1985, pasal 49. Menurut aturan lama, yaitu dalam UU Nomor 1

tahun 1950, Pasal 114 ayat (1), permohonan kasasi hanya dapat dicabut sepanjang perkara berkas

perkara kasasi belum dikirim ke Mahkamah Agung.

Karena resiko atau konsekuensi pencabutan perkara banding atau kasasi

demikian berat, hendaknya sebelum pencabutan agar dipikirkan masak-

masak.Juga perlu dipikirkan kalau pencabutan tersebut terjadi atas

kesepakatan antara kedua belah pihak, tentang bagaimana sikap mereka

terhadap keputusan Pengadilan Agama atau keputusan Pengadilan Tinggi

Agama yang tidak hendak mereka laksanakan itu.Jika ini tidak jelas, sewaktu-

waktu bisa menjadi bumerang yang membahayakan, kecuali kalau diwujudkan

suatu persetujuan pula yang tertulis dan konkret.50

Pencabutan gugatan pada tingkat banding dan kasasi harus berhati-

hati, harus teliti karena ada saja orang yang menggunakan cara licik untuk

menjatuhkan lawannya, pihak yang pura-pura merasa tidak puas dengan

keputusan pengadilan tingkat pertama mengajukan banding dan kasasi, akan

tetapi sudah separuh perjalanan menjelang tenggang waktu banding akan

berakhir, tiba-tiba pihak yang pura-pura merasa tidak puas itupun mencabut

permohonan bandingnya, akibatnya keputusan pengadilan Agamalah yang

akan berlaku, yang mana pihak yang satu dirugikan dikarenakan kelicikan

oleh pihak yang pura-pura merasa tidak puas dan bahkan bisa jadi

memperberat gugatan tersebut.

Terjadinya kasus permohonan kasasi yang licik, karenanya hendaklah

menjadi bahan pemikiran para pencari keadilan.Yang sering menjadi korban

biasanya adalah mereka yang tidak mengerti beracara.Jika memang pihak

merasa tidak puas, yang merasa perlu banding dan atau kasasi, hendaklah

50

Op. Cit, h. 120

jangan asa dengan permohonan banding dan atau permohonan dari pihak

lawannya.51

I. Rekonvensi

Gugatan rekonvensi adalah gugatan balasan dari penggugat terhadap

tergugat.gugatan balasan ini harus di kemukakan bersama dengan jawaban.

Menurut yuris prudensi gugatan rekonvensi masih dapat diajukan bersama

dengan duplik. Akan tetapi suatu tuntutan yang baru di kemukakan di tingkat

kasasi tidak dapat diterima.

Dengan di mungkinkan pihak tergugat mengajukan gugatan kembali

kepada penggugat, maka tergugat tidak perlu mengajukan gugatan baru.

Gugatan rekonvensi ini cukup diajukan bersama jawaban, terhadap gugatan

penggugat, oleh karena itu dalam perkara itu akan terdapat dua unsur gugatan,

yaitu gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi. Dalam gugatan konvensi

penggugat adalah penggugat asal dan tergugatnya adalah penggugat asal yang

biasa disebut penggugat dalam gugatan konvensi dan tergugat dalam

konvensi.

Sementara dalam gugatan rekonvensi penggugatnya adalah tergugat, salah

seorang dari tergugat asal, yang disebut penggugat dalam rekonvensi, dan

tergugatnya adalah penggugat salah seorang penggugat dalam konvensi dan

disebut penggugat dalam rekonvensi.

Setiap perlakuan memiliki dasar hukum atas pelaksanaannya.Sama halnya

dengan gugatan cerai, gugatan rekonvensi ini memiliki dasar hukum yang

51

Ibid.,

jelas. Berdasarkan ketetapan dalam pasal 16 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004

berbunyi:

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, dan memutus sesuatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dengan demikian gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan

komulasi gabungan dua gugatan dimana yang digabungkan adalah gugatan

dari penggugat dan gugatan dari tergugat yang bertujuan untuk menghemat

biaya, waktu, tenaga, mempermudah prosedur pemeriksaan dan

menghindari putusan yang bertentangan satu sama lain. Bagi tergugat

rekonvensi, gugatan rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara

sesuai UU No. 4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman serta tidak

diwajibkan membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu

dikarenakan pengajuan gugatan rekonvensi merupakan suatu hak

istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada tergugat untuk

mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak tergugat kepada

pihak penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal (konvensi).

Tetapi keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama.

Syarat-syarat dibolehkannya guagatan rekonvensi adalah sebagai

berikut.52

1. Mengajukan gugatan rekonvensi itu selambat-lambatnya bersama-

sama dengan jawaban pertama dari tergugat konvensi. Gugatan

52

Roihan A Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2007), h.75-76

rekonvensi sama dengan gugatan convensi, boleh juga lisan bagi yang

buta huruf.

2. Kalau dimuka pengadilan tingkat pertama tidak mengajukan

rekonvensi maka ditingkat banding dan kasasi tidak boleh mengajukan

gugatan rekonvensi.

3. Kalau penggugat dalam convensi bertindak untuk suatu kualita

sedangkan rekonvensi menyangkut diri pribadi penggugat sendiri,

rekonvensi tidak diperbolehkan. Misal penggugat asal (dalam

konvensi) bertindak sebagai wali maka gugatan rekonvensi tidak bisa

diajukan kepada penggugat asal yang sebagai wali tersebut kecuali

terhadap yang di walinya.

4. Gugatan rekonvensi harus juga jenis perkara yang menjadi kekuasaan

dari pengadilan dalam konvensi.

5. Walaupun antara gugatan konvensi dan rekonvensi tidak mesti adanya

hubungan saling ketergantungan (samenhang) tetapi antara gugatan

dalam konvensi dan dalam rekonvensi tersebut haruslah mengenai satu

rangkaian yang berkaitan langsung. Misalnya, penggugat asal

menggugat tergugat asal dalam bidang harta warisan yang dikuasai

oleh tergugat asal, lalu terguagat asal menyatakan bahwa harta itu

didapatnya melalui wasiat dari almarhum kepadanya dan oleh karena

itu tergugat asal memohon kepada Pengadilan agar harta yang

dikuasainya itu diputuskan sebagai miliknya yang didapatkannya

melalui wasiat dari almarhum. Dalam contoh ini, gugatan penggugat

rekonvensi (tergugat asli) tidak diperbolehkan, sebab sudah terlepas

dari kaitan langsung dengan gugatan penggugat asal.

Bentuk dan isi gugatan rekonvensi mirip saja dengan dan

bentukgugatan dan isi gugatan konvensi, hanya saja harus disebutkan

identitas ppihak-pihak bahwa dulu sebagai penggugat dalam konvensi dan

kini sebagai tergugat dalam rekonvensi atau dulu sebagai tergugat dalam

konvensi dan kini sebagai penggugat dalam rekonvensi.Kata-kata

“berlawanan dengan” yang memisahkan antara identitas penggugat dan

tergugat convensi diubah menjadi “melawan” dalam rekonvensi.Identitas

tergugat konvensi (kini penggugat rekonvensi) ditulis duluan dari

penggugat konvensi (kini tergugat rekonvensi).

Bentuk dan isi lain-lainnya menyesuaikan saja, misalnya kalau

dulu dalam petita berbunyi “mohon agar tergugat dihukum untuk

membayar ongkos perkara”, kini tentunya harus diubah menjadi berbunyi

“mohon agar tergugat rekonvensi atau penggugat konvensi dihukum untuk

membayar ongkos perkara.”

Patut diingatkan bahwa gugat balik hanya berlaku dalam perkara

yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, jadi dalam perkara

permohonan (voluntaria) penuh, tidak berlaku rekonvensi.

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Profil Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang

1. Sejarah Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung Karang

Pengadilan Agama Tanjung Karang ini dibangun Pemerintah

Melalui Dana Repelita pada tahun 1957/1976 dengan luas 150 meter

persegi. Di atas tanah seluas 400 meeter persegi. Bangunan yang terletak

di Jalan Cendana No. 5 Rawa Laut Tanjung Karang ini sebenarnya sudah

mengalami sedikit penambahan luas bangunan, namun statusnya masih

berupa “Balai Sidang” Karena belum memenuhi persyaratan standar untuk

disebut sebagai gedung kantor. Akan tetapi dalam sebutan sehari-hari tetap

Pengadilan Agama Tanjung Karang.

Sebelum di jalan Cendana Rawa Laut ini, Pengadilan Agama

Tanjung Karang yang dulu bernama Mahkamah Syaria‟ah pernah

berkantor di komplek Hotel Negara Tanjung Karang jalan Imam Bonjol,

yang sekarang menjadi Rumah Makan Begadang I. Kemudian pindah ke

jalan Raden Intan yang sekarang jadi Gedung Bank Rakyat Indonesia

(BRI). Semasa dipimpin oleh K. H. Syarkawi, Mahkamah Syariah

Lampung berkantor di ex. Rumah Residen R. Muhammad di Teluk

Betung, kemudian pindah lagi ke jalan Veteran I Teluk Betung.

a. Dasar Kebutuhan

Sebelum bangsa penjajah Portugis, Inggris dan Belanda datang

ke bumi Nusantara Indonesia, Agama Islam sudah dulu masuk melalui

Samudra Pasai, yang menurut sebagian besar ahli sejarah bahwa Islam

itu sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke 12 yang dibawa oleh para

pedagang bangsa Gujarat. Di zaman kolonial Belanda, daerah

keresidenan Lampung tidak mempunyai Pengadilan Agama. Yang ada

adalah Pengadilan Negeri atau Landeraad, yang mengurusi sengketa/

perselihan masyarakat. Urusan masyarakat dibidang Agama Islam

seperti perkawinan, perceraian dan warisan ditangani oleh Pemuka

Agama, Penghulu Kampung, Kepala Marga atau pasirah.

Permusyawaratan Ulama atau orang yang mengerti Agama Islam

menjadi tumpuan Umat Islam dalam menyelesaikan masalah agama.

Sehingga dalam kehidupan beragama, di masyarakat Islam ada

lembaga tak resmi yang berjalan/hidup.

Kehidupan menjalankan ajaran Agama Islam termasuk

menyelesaikan persoalan agama ditengah masyarakat Islam yang

dinamis melului Pemuka Agama atau Ulama baik di masjid, di surau

ataupun di rumah pemuka adat nampaknya tidak dapat dibendung

apalagi dihentikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, karena hal itu

merupakan kebutuhan bagi masyarakat Islam.

1) Dasar Yuridis

Menyadari bahwa menjalankan ajaran agama itu adalah hak

asasi bagi setiap orang, apalagi bagi pribumi yang dijajah, maka

Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya mengeluarkan :

a) Peraturan tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura (staatblad

Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116

dan Nomor 610)

b) Peraturan tentang Kerapatan Qodi dan Kerapatan Qodi Besar

untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Timur (staatsblad

Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor639)

2) Mahkamah Syariah Keresidenan Lampung

Secara Yuridis Formal Mahkamah Syariah Keresidenan

Lampung dibentuk lewat Kawat Gubernur sumatera tanggal 13 Januri

1947 No. 168/1947. Yang menginstruksikan kepada Jawatan Agama

Keresidenan Lampung di Tanjung Karang untuk menyusun formasi

Mahkamah Syari‟ah berkedudukan di Teluk Betung dengan susunan :

ketua, wakil ketua, dau orang anggota, seorang panitera dan seorang

pesuruh kantor.

Berdasarkan Persetujuan BP Dewan Perwakilan Rakyat

Keresidenan Lampung, Keluarlah Besluit P.T. Resident Lampung

tanggal 13 Januari 1947 Nomor 13 tentang berdirinya Mahkamah

Syari‟ah keresidenan Lampung, dalam Besluit tersebut dimuat tentang

dasar hukum, darah hukum dan tugas serta wawenangnya.

Kewenagan Mahkamah Syari‟ah Keresidenan Lampung dalam

Pasal 3 dari Besluit 13 januari 1947 itu meliputi :

1). Memeriksa Perselisihan suami, istri yang beragma islam, tentang

nikah, talak, rujuk, fasakh, kiswah dan perceraian karena melanggar

taklik talak.

2). Memutuskan masalah nasab, pembagian harta pusaka(waris) yang

dilaksanakan secara islam.

3). Mendaftarkan kelahiran dan kematian.

a. Mendaftarkan orang-orang yang masuk islam.

b. Mengurus soal-soal perbadatan.

c. Memberi fatwa dalam berbagai soal.

Dasar hukum Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 19 januari

1947 yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Lampung,

maka timbul sementara pihak beranggapan bahwa kedudukan Badan

Peradilan Agama (Mahkamah Syari‟ah Keresidenan Lampung) tidak

mempunyai dasar hukum yang kuat, tidak sah dan sebagainya. Konon

sejarah hal ini pulalah yang menjadi dasar Ketua Pengadilan Negeri

Keresidenan Lampung pada Tahun 1951, bernama A. Razak Gelar sutan

Malalo menolak memberikan eksekusi bagi putusan Mahkamah Syari‟ah

karena tidak mempunyai status hukum.

Keadaaan seperti ini sampai berlarut dan saling adukan kepusat,

sehingga melibatkan Kementrian Agama dan Kementrian Kehakiman serta

Kementrian dalam Negeri. Kementrian Agama C.q Biro peradilan Agama

telah menyurati Mahakamah Syari‟ah Keresidenan Lampung dengan surat

tanggal 6 oktober 1952 dan telah dibals oleh Mahkamah Syari‟ah

Keresidenan Lampung dengan suratnya tertanggal 26 November 1952. Hal

yang mengejutkan adalah munculnya surat dari Kepala Bagian Hukum

Sipil Kementrian Kehakiman RI (Prof. Mr. Hazairin) Nomor :Y.A.7/i/10

tanggal 11 april 1953 yang menyebutkan, “Kedudukan dan Kompentensi

Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah keresidenan lampung adalah

terletak di luar hukum yang berlaku dalam Negara RI”.

Surat Kementrian Kehakiman itu ditunjukan Kepada Kementrian

dalam Negeri. Kemudian Kementrian dalam negeri melalui suratnya

tanggal 24 Agustus tahun 1953 menyampaikan kepada Pengadilan Negeri

atau Landraad keresidenan Lampung di Tanjung Karang, atas dasar itu

Ketua Pengadilan Negeri Keresidenan Lmpung dengan suratnya tanggal 1

Oktober 1953 menyatakan Kepada Jawatan Agama Keresidenan Lampung

bahwa “status hukum Mahkamah Syari‟ah Keresidenan Lampung di Teluk

Betung tidak sah”.

Ketua Mahkamah Syri‟ah Lampung melaporkan Peristiwa tersebut

kepada Kementrian Agama di Jakarta melaui surat tertanggal 27 Okober

1953 kemudian Kementrian Agma C.q Biro Peradilan Agama (K.H

Junaidi) dalam suratnya tanggal 29 Oktober 1953 yang di tujukan kepada

Mahkmah Syari‟ah Keresidenan Lampung Menyatakan bahwa, “

Pengadilan Agama Lampung boleh berjalan terus seperti sediakala

sementara waktu sambil menunggu hasil musywarah antara Kementrian

Agama dan Kementrian Kehakiman di Jakarta”.

Ketua Mahkamah Syari‟ah Lampung dengan suranya Nomor

:1147/B/PA, tanggal 7 November 1953 ditujukan kepada Ketua

Peengadilan Negeri langsung yang isinya menyampaikan isi surat

Kementrian Agama Lampung, di tengah perjuangan tersebut. K. H. Umar

Murod menyerahkan jabatan ketua kepada wakil ketua K. H. Nawawi.

Kemudian dengan Surat Keputusan Menteri Agama tanggal 10 Mei 1957

mengangkat K. H. Syarkawi sebagai Ketua Mahkamah Syari‟ah

Lampung. Sedangkan K. H. Umar Murod diindahakan ke Kementerian

Luar Negri di Jakarta.

Mahkamah Syariah Lampung merasa aman dengan surat sementara

dari Kementerian Agama itu, akan tetapi di sana sini masih banyak

tanggapan yang kurang baik dan sebenarnya juga di dalam Mahkamah

Syariah sendiri belum merasa puas bila belum ada Dasar Hukum yang

kompeten. Diyakini keadaan ini terjadi juga di daerah lain sehingga

perjuangan-perjuangan melalui lembaga-lembaga resmi pemerintah sendiri

dan lembaga keagamaan yang menuntut agar keberadaan Mahkamah

Syariah itu dibuatkan Landasan Hukum yang kuat. Lembaga tersebut

antara lain :

1) Surat Wakil Rakyat dalam DPRDS Kabupaten Lampung Selatan

tanggal 24 Juni 1954 yang ditujukan kepada Kementerian Kehakiman

dan Kementrian Agama.

2) Organisasi Jami‟atul Washliyah di Medan, sebagai hasil Keputusan

Sidangnya tanggal 14 mei 1954.

3) Alim Ulama Bukit Tinggi, sebagai hasil sidangnya bersama Nenek

Mamak pada tanggal 13 Mei 1954, Sidang ini konon dihadiri pula oleh

Prof. Dr. Hazairin, S.H. dan H. Agus Salim.

4) Organisasi PAMAPA (Panitia Pembela Adanya Pengadilan Agama)

sebagai hasil Sidang tanggal 26 Mei 1954 di Palembang.

Syukur Alhamdulillah walaupun menunggu lama dan didahului

dengan peninjauan/ survey dari Komisi E parlemen RI dan penjelasan

Menteri Agama berkenaan dengan status pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 yang menjadi Landasan

Hukum bagi Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah) di Aceh yang

diberlakukan juga untuk Mahkamah Syariah di Sumatera. Kemudian

diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tanggal 9

Oktober 1957 untuk Landasan Hukum Pengadilan Agama di luar Jawa,

Madura dan Kalimantan Selatan. Peraturan Pemerintah tersebut

direalisasikan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 58 Tahun 1957

tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di Sumatera

termasuk Mahkamah Syariah Keresidenan Lampung di Teluk Betung.

Wewenang Mahkamah Syariah dalam PP 45 Tahun 1957 tersebut

dicantumkan dalam pasal 4 ayat 1 yaitu : “Pengadilan Agama/Mahkamah

Syariah memerikasa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang

beraga Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup

diputuskan menurut Hukum Islam yang berkenaan dengan nikah, talak,

rujuk, fasakh, hadhanah, mawaris, wakaf, hibah, shodaqoh, baitulmal dan

lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan

perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik talak sesudah

berlaku”.

Perkembangan selanjutnya Badan Peradilan Agama termasuk

Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di Teluk Betung mendapat

Landasan Hukum yang mantap dan kokoh denagn diundangkannya UU

Nomor 35 Tahun 1999 kemudian diganti UU Nomor 4 Tahun 2004 yang

berlaku mulai tanggal 15 Januari 2004. Pasal 10 Ayat (2) menyebutkan :

“Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi

badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.

Landasan Hukum yang lebih kuat dan kokoh lagi bagi Peradilan

Agama dan juga bagi peradilan lain adalah sebagaimana disebut dalam

Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamandemenkan, dimana pada bab

IX Pasal 24 Ayat (2) menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan

sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya

dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,

Lingkugan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

2. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Tanjung Karang

a. Visi Pengadilan Agama Tanjungkarang adalah :

Terwujudnya Pengadilan Agama Tanjungkarang yang bersih,

beribawa, dan profesional dalam penegakan hukum dan keadilan menuju

supermasi hukum.

Visi tersebut diharapkan dapat memotivasi seluruh pejabat

fungsional maupun structural serta karyawan-karyawati Pengadilan Agama

Tanjung Karang dalam melaksanakan aktivitas peradilan. Visi tersebut

mengandung makna bahwa bersih dari pengaruh tekanan luar dalam upaya

supermasi hukum. Bersih dan bebas KKN merupakan topik yang harus

selalu dikedepankan pada era reformasi. Terbangunya suatu proses

penyelenggaraan yang bersih dalam pelayanan hukum menjadi persyaratan

untuk mewujudkan peradilan yang beribawa.

Berdasarkan Visi Pengadilan Agama Tanjung Karang yang telah

ditetapkan tersebut maka ditetapkan beberapa Misi Peradilan Agama Tanjung

Karang untuk mewujudkan Visi tersebut.

b. Misi Pengadilan Agama Tanjung Karang adalah sebagai berikut :

1) Mewujudkan Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.

2) Meningkatkan Sumber Daya Aparatur Peradilan.

3) Meningkatkan Pengawasan yang Terencana dan Efektif.

4) Meningkatkan Kesadaran dan Ketaatan Hukum Masyarakat.

5) Meningkatakan Sarana dan Prasarana Hukum.

c. Letak/Kedudukan

Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang

terletak/berkedudukan di Kota Bandar Lampung, Ibu Kota Provinsi

Lampung (Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, sebagai mana

diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama).

d. Alamat dan Kordinat

1) Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang beralamat di

jalan Untung Surapati No.2 Bandar Lampung (35143).

2) No. Telepon : 0721-708629, 0721-705501, Fax : 0721- 787226.

3) Kordinat : Kota Bandar Lampung terletak pada : 5025‟ Lintang

Selatan, 105017‟ Bajur Timur, 25017‟ Arah Kiblat (dari Barat ke

Utara)

e. Keadaan Kantor

Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung terletak di atas

tanah seluas 3.680 m2. Dibagi dalam dua (2) sertifikat : sertifikat Nomor

: 14/L.R Surat Ukur tanggal 3 Januari Tahun 2004, dengan Luas tanah =

680 m2, yang dikeluarkan oleh Kepala kantor Pertahanan Kota Madya

Bandar Lampung tanggal 24 Agustus 2004. Sertifikat Nomor : 15/L. R,

Surat Ukur tanggal 12 Oktober 2004, Luas Tanah = 300 m2, yang

dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertahanan Kota Madya Bandar

Lampung tanggal 18 Oktober 2004.

Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang terdiri dari

dua unit bangunan masing-masing berlantai dua (2); dengan luas

keseluruhan 910 m2. Bangunan pertama dengan anggaran APBN

melalui Dapertemen Agama tahun 2005, sebesar Rp. 804. 025. 000,-

sedangkan bangunan kedua dengan Angaran APBN melalui Mahkamah

Agung RI Tahun 2006 sebesar Rp. 699. 823. 000,- keuda bangunan

tersebut dikerjakan oleh : CV. PUTRA TUNGGAL Bandar Lampung.

f. Peresmian Kantor

Bangunan pertama diresmikan oleh ketua Pengadilan Tinggi

Agama Bandar Lampung Drs. MAHFUDH ARHASY, S.H. Atas nama

Ketua Mahkamah Agung RI, pada tanggal 15 maret 2005/ 4 shafar 1426

H. Sedangkan bangunan kedua diresmikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi

Agama Bandar Lampung Drs. AHMAD SYARIFUDDIN, S.H., M,H.

Pada tanggal 19 Juni 2006/ 21 Jumaidil Awwal 1427 H.53

53

Sumber : Profil Pengadilan Agama Tanjung Karang Tahun 2016

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tanjung Karang

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2015, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan

danKesekreteriatan Peradilan.

Sehingga Struktur/ Badan Organisasi Pengadilan Agama Tanjung

Karang Kelas IA sebagai berikut :

KETUA

Hakim Drs. Ediwarman, M.H.

Dra. Hj. Asma Zainuri, S.H.

Dra. Hj. Maimunah A.R, S.H, M.Hi.

Drs. Syamsuddin, M.H.

Drs. H. Abuseman Bastoni, S.H.

Drs. Masirah Malkan

Dra. Hj. Mufidatul Hasanah, S.H, M.H. WAKIL KETUA

Djauahari, S.H.

Drs. Firdaus. MA. Drs. H. Ayep Saepul Miftah, S.H., M.H

Drs. Joni Jidan

Dra. Mulathifah, M.H.

Drs. H. Hasan Faiz Bakry.

Drs. Ahmad Nur, M.H.

Drs. A. Nasrul, MD.

Drs. Wasyhudi, M.Hum.

SEKRETARIS

Sudiman, S.H.

PANITERA

Itna Fauza Qadriyah, S.H, M,H.

WAKIL PANITERA

H. Sulaiman Marzuki, S.H KASUBBAG KASUBBAGKASUBBAG

PERENCANAAN KEPEGAWAIAN UMUM

dan IT dan PELAPORAN ORGANISASI

KEUANGAN

Anis Khoirunnisa, TATALAKSANA Indria Yulisa

S. Ag. A. Fathurrohman S. E.,

S. H., M. H.

PANMUD PANMUD PANMUD

PERMOHONAN GUGATAN HUKUM

Deska Fitrah, Dra Husnidar Syukur S. Ag.,

S.H, M.H.

KELOMPOK FUNGSIONAL KEPANITERAAN KELOMPOK FUNGSIONAL

KESEKRETARIATAN

PANITERA PENGGANTI JURUSITA Arsiparis

H. Damsah M. H., M. Rosyidi Pustakawan

Nelmi Rodiah Harahaf, S.H. Ahmad Subroto, S. H., M. H. Pranata

Komputer

Mahmilawati, S.H, M.H. Himbauan, S. H., M. H. Bendahara

Dra. Hj. Maisarah. Ari Eka Putra S. H.

Linda Hastuti, S.H, M,H. Mulyati S. H.,

Amnia Burmelia, S.H. Haryati

Hj. Elok Diantina, S.H. Ali Haidar, S. H.

Rosmiati, S.H. Mega Oktaria, A. Md.

Astri Kurniawati, S.H. JURU SITA PENGGANTI

Eliyanti Suri, S.Ag, M.H. Sri Widaryan, S. E., M. H.

Anika Rahmah, S. Ag. Yasir S. H.,

Nursiah, S.Hi. Dwi Astuti, S. Pdi.

Vivi Wanty, S.H. Dra. Masturah

Rahmatiah Oktafiana, S.Hi. Nurhayati, S. Hi.

M. Djulizar, S.H, M.H. Adriyadi, S. H.

Senioretta Mauliasari, S.H.

Dra. Nelfirdos, M.H.

Kiptiyah S. H. I.,

Adapun Tugas dan Fungsi Pejabat Kepaniteraan dan Kesektriatan

pada Pengadilan Agama Kelas IA berdasarkan Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 adalah sebagai berikut :

Pasal 97 :

Kepaniteraan Pengadilan Agama Kelas IA terdiri dari atas :

a. Panitera Muda Permohonan

b. Panitera Muda Gugatan, dan

c. Panitera Muda Hukum

Pasal 98 :

Panitera Muda Permohonan mempunyai tugas melaksanakan

administrasi perkara di bidang permohonan.

Pasal 100 :

Panitera Muda Gugatan mempunyai tugas melaksanakan

administrasi perkara di bidang gugatan.

Pasal 102 :

Panitera Muda Hukum mempunyai tugas melaksanakan

pengumpulan, pengolahan dan penyajian data perkara serta pelaporan.

Pasal 311 :

Kesekteriatan Pengadilan Agama Kelas IA terdiri dari :

a. Subbagian Perencanaan, Teknologi Informasi dan Pelaporan.

b. Subbagian Kepegawaian, Organisasi dan Tatalaksana.

c. Subagian Umum dan Keuangan.

Pasal 312 :

Subbagian Perencanaan, Teknologi dan Pelaporan mempunyai

tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan, program dan anggaran,

pengolahan teknolgi informasi dan statistik serta pelaksanaan pemantauan,

evaluasi dan dokumentasi serta pelaporan.

Pasal 313 :

Subbagian Kepegawaian, Organisasi dan Tata laksana mempunyai

tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan urusan kepegawaian,

penataan organisasi dan tatalaksana.

Pasal 314 :

Subbagian Umum dan Keuangan mempunyai tugas melaksanakan

penyiapan pelaksanaan urusan surat menyurat, arsip, perlengkapan, rumah

tangga, keamanan, keprotokolan, perpustakaan, serta pengolahan keungan.

Pengadilan Agama berfungsi sebagai wadah atau lembaga yang

dapat menerima, memerikasa dan menyelesaikan segala perkara dan

permasalahan yang ada di masyarakat berkenaan perkara-perkara perdata

khususnya bagi orang Islam.

Adapun Tugas dan Wawenang Pengadilan Agama sebagaimana

yang tertuang dalam jo. UU No 50 Th 2009 : “Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :

a. Perkawainan

b. Kewarisan, wasiat dan hibah

c. Wakaf dan Shadaqah

d. Infak dan zakat

e. Ekonomi Syari‟ah

Pasal 58 menjelaskan tentang fungsi dan peran pengadilan dalam

pengadilan sebagaimana disebutkan.

Ayat (1) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membe-bedakan seseorang.

Ayat (2):Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha

sekeraskerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah.

Penjelasan pasal di atas bahwa pengadilan merupakan lembaga

yang memilik fungsi dan peran yang bebas tanpa terikat artinya dalam

menyelesaikan suatu perkara menagani suatu kasus tidak memihak pada

orang tertentu dan pengadilan juga sebagai alat atau wadah yang

menampung dan membantu orang-orang yang mencari keadilan.

Adapun cara dalam persidangan di Pengadilan, terdiri dari

beberapa tahapan, yaitu :

a. Perdamaian

Seorang hakim sebelum melangsungkan suatu persidangan

wajib berusaha memberikan atau menawarkan jalan damai kepada

pihak-pihak yang bersengketa dengan jalan mempertemuka mereka

secara tertutup untuk mempertimbangkan dan memusyawarakan

permasalahan yang sedang disengketakan, apabila pihak-pihak yang

sedang bersengketa tersebut tidak mau beramai, maka tahap

selanjutnya.

b. Membaca Surat Gugatan/ Permohonnan

Pengdilan depan sidang membacakan isi gugatan yang diajukan

atau dimohonkan kepada pihak pengadilan secara terbuka untuk

didengarkan dan dicermati oleh pihak pengguta maupun tergugat.

c. Jawaban Tergugat dan Termohon

Setelah isi gugatan dibacakan, hakim memberikan kesempatan

kepada pihak untuk memberikan dan komentar tentang jawabanya

tersebut. Jawaban ini dapat berupa pernyatan, bantahan, tangkisan dan

dapat juga berupa exepsi.

d. Repilik (sanggahan terhadap jawaban)

Replik ini sebagai sanggahan dan jawaban yang diberikan

pihak penggugat atas jawaban yang diberikan oleh pihak tergugat.

e. Duplik (sangahan terhadap replik)

Duplik adalah jawaban atau sanggahan pihak yang diberikan

pihak tergugat atas sanggahan atau jawaban yang diajukan (diberikan)

pihak tergugat.

f. Pembuktian

Setelah kedua belah pihak yaitu antara penggugat dan tergugat

memaparkan argumentasi dan (jawaban dan sanggahan) langkah

selanjutnya Pengadilan bukti-bukti yang dapat menguatkan adanya

gugatan yang terdiri dari :

1) Surat-surat (tulisan)

2) Saksi-saksi

3) Persangkaan

4) Pengakuan

5) Sumpah

6) Kesimpulan Penggugat dan Tergugat

Sebagai puncak dari pengadilan setelah membacakan dan

mendengarkan dan melihat, gugatan sanggahan, dan bukti-bukti

kemudian Hakim dapat menyimpulkan, Hakim memberikan

keputusan apakah perkara tersebut ditolak atau diterima. Apabila

perkara tersebut ditolak, maka Pengadilan dapat menggagalkan

gugatan penggugat dan apabila pengadilan menerima maka

Pengadilan memberikan putusan atau hukuman yang sesuai dengan

kuasa atau perkara tertentu.

B. Pandangan Hakim Terhadap Gugatan yang Diajukan Suami dan Isteri

Secara Bersamaan

Beberapa pendapat yang dikemukakan Hakim mengenai gugatan yang

diajukan suami dan isteri secara bersamaan pada Pengadilan Agama Kelas 1A

Tanjung Karang sebagai berikut

1. Dra. Mufidatul Hasanah S.H.,M.H.54

Sebagai hakim beliau mengatakan Gugatan yang diajukan suami

dan isteri secara bersamaanyaitu gugatan yang perkaranyasama dan orang

yang sama, dengan begitu gugatan yang diajukan suami dan isteri secara

bersamaan tidak bisa untuk dilaksanakan sidang pada kedua

gugatannya,salah satu gugatandi sarankan untuk di cabut, baik itu pada

pihak suami maupun pada pihak isteri.

Pada kedua belah pihak diberikan pengertian bahwa jika mereka

ingin mengajukan gugatan maka mereka bisa mengajukan gugatan

rekonvensi, jika keduanya tidak mau maka keduanya tidak akan diperiksa.

54Hasil wawancara dengan Dra. Mufidatul Hasanah S.H., M.H. pada tanggal 18

september 2017.

Perkara yang ada pada Pengadilan Agama yaitu ada empat perkara

diantaranya perkara dengan Nomor 0829/Pdt.G/2017/PA.Tnk, Nomor

0823/Pdt.G/2017/PA.Tnk, Nomor 0894/Pdt.G/2017/PA.Tnk, Nomor

0908/Pdt.G/2017/PA.Tnk.

Bersamaan ini maksudnya perkara yang sama artinya walaupun

jarak waktu diantara keduanya mengajukan gugatan berbeda tanggal atau

hari tidak berpengaruh sama sekali, walaupun sudah adanya putusan tetap

tidak bisa atau lebih dikenal dengan istilah nebis en idem. Pada kasus ini

kebetulan perkara Nomor 0823/Pdt.G/2017/PA.Tnk. dan Nomor

0829/Pdt.G/2017/PA.Tnk. diajukan pada satu hari yang sama, untuk

perkara Nomor 0894/Pdt.G/2017/PA.Tnk. dan Nomor

0908/Pdt.G/2017/PA.Tnk. jarak diajukan antara keduanya berbeda lima

hari.

Dasar pertimbangan Hakim terhadap gugatan yang diajukan suami

dan isteri secara bersamaan yaitu bertentangan dengan asas-asas hukum

acara perdata terutama bertentangan dengan asas sederhana, cepat, dan

biaya ringan,

Jadi gugatan yang diajukan suami dan isteri secara bersamaan tidak

dapat dikabulkan terkecuali salah satu dari pihak mencabut gugatannya

agar dapat diperiksa dan disidangakan.

2. Dra. Hj. Maimunah A. Rahman S.H., M.H.I.55

Menurut beliau bersamaan disini adalah perkara yang diajukan

suami dan isteri dengan perkara dan pihak yang sama, baik tanggal

maupun hari tidak berpengaruh, baik itu gugatan diajukan pada hari dan

tanggal yang sama atau pun berbeda hari dan tanggal itu tidak

berpengaruh.

Pada prosedur beracaranya yang akan diterima terlebih dahulu

sudah pasti yang mengajukan gugatan terlebih dahulu. Namun ketika ada

yang mengajukan gugatan dengan perkara yang sama maka keduanya akan

diberikan saran untuk mencabut salah satu gugatannya baik itu pada pihak

suami maupun pada pihak isteri agar perkaranya dapat disidangkan.

Gugatan secara bersamaan itu tidak dapat dikabulkan karena

perkara yang diajukan dan pihak yang mengajukan sama atau lebih dikenal

dengan istilah nebis en idem56

, salah satu gugatan yang diajukan kedua

belah pihak harus dicabut baik itu pihak suami ataupun pada pihak isteri,

keduanya akan diberikan saran apabila keduanya hendak mengajukan

gugatan maka keduanya bisa mengajukan gugatan rekonvensi57

, jika

55 Hasil wawancara Dra. Hj. Maimunah A. Rahman S.H., M.H.I. pada tanggal 25

september 2017 56Nebis in idem adalah perkara dengan obyek sama, para pihak sama, dan materi pokok

yang sama yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk yang kedua kalinya.

57 Rekonvensi pada hakekatnya merupakan komulasi atau gabungan dua gugatan dimana

yang digabungkan adalah gugatan dari penggugat dan gugatan dari tergugat yang bertujuan untuk

menghemat biaya, waktu, tenaga, mempermudah prosedur dan menghindari putusan yang

bertentangan satu sama lain, bagi tergugat rekonvensi, gugatan rekonvensi ini berarti menghemat

ongkos perkara sesuai UU No. 4 Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman serta tidak diwajibkan

membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi, hal itu dikarenakan pengajuan gugatan

keduanya sama-sama bersikukuh untuk tidak mencabut salah satu

gugatannya maka keduanya tidak akan diperiksa.

Pertimbangan hakim berdasarkan gugatan yang diajukan suami dan

isteri secara bersamaan tidak dapat disidangkan dikarenakan bertentangan

dengan asas-asas hukum acara perdata terutama bertentangan dengan asas

sederhana, cepat, dan biaya ringan,

Jadi gugatan suami dan isteri secara bersaman itu tidak bisa,

keduanya harus mencabut salah satu gugatannya dan disarankan untuk

mengajukan gugatan rekonvensi, akan tetapi jika keduanya bersikukuh

tidak mau mencabut salah satu gugatannya maka keduanya tidak akan

diperiksa.

3. Dra. Mulathifah M. H.58

Menurut beliau gugatan yang diajukan suami dan isteri secara

bersamaan adalah gugatan yang apabila keduanya mengajukan maka tidak

dapat diperiksa harus di cabut terlebih dahulu salah satu gugatannya agar

dapat diperiksa, karena mengajukan gugatan secara bersamaan itu berarti

perkara dan pihak yang sama maka itu tidak bisa, namun jika keduanya

ingin mengajukan gugatan maka kedua pihak dapat mengajukan gugatan

rekonvensi.

rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hokum acara perdata tergugat

untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak tergugat kepada pihak penggugat

secara bersama-sama dengan gugat asal (konvensi), tetapi keduanya haruslah mempunyai dasar

hubungan hokum yang sama. 58Hasil wawancara Dra. Mulathifah M. H. Pada tanggal 25 september 2017

Jadi gugatan secara bersamaan itu tidak bisa diperiksa, harus

dicabut salah satu gugatannya agar dapat disidangkan, dan di sarankan

kepada keduanya untuk mengajukan gugatan rekonvensi.

BAB IV

ANALISIS DATA

Dalam setiap perkara perdata yang terjadi adalah sebuah wujud antara

teori dan praktek harus dapat dilaksanakan sesuai dengan jalur hukum yang

berlaku dilingkungannya. Maka dalam hal ini Pengadilan ditunjuk sebagai

penegak keadilan bagi orang yang mencari keadilan, bagi perkara Islam dalam hal

perdatanya seperti perceeraian akibat perkawinan yang bermasalah, untuk itu

hakim di pengadilan diminta menjadi penengah atau bisa menjadi juru damai

(hakamain) sekaligus penegasan hukum yang terjadi pada perkaranya yang

diajukan oleh para pihak tersebut, dengan harapan menemukan keadilan.

A. Pandangan Hakim terhadap Gugatan yang Diajukan Suami dan Isteri

secara Bersamaan

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan “Perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1). Hakekat

perkawinan ini berlaku berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dan khusus bagi

masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam

“Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah” (pasal 2 KHI).

Kedalaman makna Perkawinan dalam hukum Islam membawa

konsekuensi bagi umat Islam untuk mentaati, menghargai, menghormati, dan

memelihara lembaga Perkawinan, terutama oleh pasangan suami dan isteri.

Sebaliknya, jika melakukan distorsi dan pencemaran dengan tindakan yang

tidak selaras dengan hakekat perkawinan merupakan kesia-siaan dan akan

mengakibatkan kerusakan dalam rumah tangga terutama bagi masa depan

anak-anak yang dilahirkan.

Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami, isteri dan

anak-anak.Untuk terjamin dan terlindunginya pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut, sahnya status hukum perkawinan menjadi sangat penting dan

menentukan. Perkara-perkara yang timbul dalam kehidupan keluarga yang

diakibatkan pelanggaran hak-haknya akan mendapat perlindungan hukum,

bilamana status hukum perkawinan sah, (baik secara syari‟at Islam dan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia).

Setelah mengetahui duduk perkara dan berkas perkara, dapat diketahui

bahwa sebab terjadinya gugatan ini dipicu karena adanya perselisihan atau

pertengkaran, karena penggugat mulai mengetahui sikap asli dan prilaku yang

tidak menyenangkan.

Dalam hukum perdata adanya dua pihak yang terlibat atau lebih yang

biasa disebut penggugat dengan tergugat, pemohon dengan termohon, tidak

bisa kedua-duanya menjadi penggugat ataupun pemohon, jika keduanya sama-

sama menjadi penggugat maka dianjurkan salah satu gugatannya untuk

dicabut baik itu pihak suami ataupun sebaliknya pada pihak isteri, dan

disarankan untuk mengajukan gugatan rekonvensi.

Sehubungan dengan masalah ini, satu hal yang menarik untuk

diperhatikan dan dibahas adalah keduanya sama-sama mengajukan gugatan

dan keduanya menjadi tergugat karena pada teorinya itu harus ada pihak

tergugat dan penggugat.

Gugatan secara bersamaan ialah gugatan yang perkara dan pihak yang

sama, akan tetapi tidak dapat dikabulkan kedua-duanya harus ada yang

mengalah salah satu, harus dicabut salah satu gugatannya agar dapat diperiksa

jika keduanya sama-sama tidak mau mencabut maka keduanya tidak akan

diperiksa, dan disarankan untuk mengajukan gugatan rekonvensi.59

Karena

pada teorinya harus ada pihak-pihak yaitu:60

1. Penggugat dan Tergugat

Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya kemuka

Pengadilan Perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-

mudda’y (arab).

Penggugat dapat seorang diri atau gabungan dari beberapa orang,

sehingga muncullah istilah penggugat 1, penggugat 2, penggugat 3 dan

seterusnya.Dapat pula menggunakan kuasa sehingga ditemui istilah kuasa

penggugat 1, kuasa penggugat 2, dan seterusnya.

59

Hasil wawancara Dra. Mufidatul Hasanah S. H., M. H. pada tanggal 18 September 2017 60

Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2016) h. 58-59

Lawan dari penggugat disebut tergugat atau gedagde (Belanda),

atau Al muadda‟alaih (arab). Keadan tergugat juga dapat seorang diri atau

gabungan dari beberapa orang atau memakai kuasa, sehingga muncul

istilah tergugat 1, tergugat 2, tergugat 3, dan seterusnya.Kuasa tergugat 1,

kuasa tergugat 2, kuasa tergugat 3, dan seterusnya.Gabungan penggugat

atau tergugat seperti di atas disebut „kumulasi subyektif‟ artinya subyek

hukum yang bergabung dalam berperkara.

Suatu perkara perdata yang terdiri dari dua pihak, yaitu ada

penggugat dan ada tergugat yang berlawanan, disebut jurisdiction

contentiosa atau peradilan yang sesungguhnya. Karena peradilan yang

sesungguhnya maka produk Pengadilan adalah putusan atau vonis

(belanda) atau al qada’u (arab)

Dalam gugatan perdata yang berbentuk contentiosa maka yang

bertindak sebagai penggugat harus orang yang benar-benar memiliki

kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum.Begitu juga pihak

yang ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan

dan kapasitas.Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat dan salah

menarik tergugat dapat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.

Dalam suatu gugatan pihak-pihak yang berperkara penggugat dan

tergugat. Pihak-pihak dalam perkara boleh memberikan kuasa pada orang

lain atau penasihat hukum dalam mengurus perkaranya dengan

menggunakan surat kuasa khusus. Kuasa khusus tidak menghilangkan

hak hakim untuk apabila perlu menghadirkan langsung pihak pemberi

kuasa, apabila dalam hal-hal yang tidak dipisahkan dari diri pribadi

pemberi kuasa.

2. Pemohon dan Termohon61

Disamping peradilan dalam arti yang sesungguhnya (jurisdiction

contentiosa), ada kemungkinan seseorang memohon kepada pengadilan

untuk minta ditetapkan atau mohon ditegaskan sesuatu hak bagi dirinya

atau tentang sesuatu situasi hukum tertentu, baginya sama sekali tidak

ada lawan (tidak berperkara dengan orang lain).

Orang yang memohon disebut dengan istilah “pemohon” atau

introductiief request(belanda) atau al-mudda’y(arab).

Peradilan perdata yang menyelesaikan perkara permohonan seperti

diatas, disebut jurisdictio voluntairatau “peradilan yang tidak

sesungguhnya”.Dikatakan peradilan yang tidak sesungguhnya karena

peradilan ketika itu hanya menjalankan fungsi executive power bukan

judicative power.

Karena peradilan yang tidak sesungguhnya maka produk

pengadilan adalah penetapan atau beschikking (Belanda), atau al- isbat

(arab).

Termohon sebenarnya dalam arti asli, bukanlah sebagai pihak

tetapi hanya perlu dihadirkan didepan sidang untuk didengar

keterangannya untuk kepentingan pemeriksaan, karena termohon

61

Ibid., h. 59-61

mempunyai hubungan hubungan hukum langsung dengan pemohon. Jadi

dalam arti asli, termohon tidak imperative hadir didepan sidang seperti

halnya tergugat, artinya sekalipun temohon tidak hadir, bilamana

permohonan cukup beralasan (terbukti) maka permohonannya akan

dikabulkan dan kalau tidak terbukti akan ditolak.

Istilah termohon ini dilingkungan Peradilan Agama pertama kali

muncul bersamaan dengan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP

Nomor 9 Tahun 1975, di mana didalam UU dan PP tersebut

menyebutkan permohonan oleh pemohon. Permohonan di dalam UU dan

PP tersebut tidak bisa dianggap sebagai voluntaria sepenuhnya (seperti

arti aslinya) sehingga kalau suami sebagai pemohon maka isteri sebagai

termohon, misalnya pasal 38 dan 40 PP Nomor 9 Tahun 1975. Demikian

petunjuk Mahkamah Agung dalam suratnya tertanggal 20 agustus 1975

Nomor MA/Pemb/0807/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Nomor

1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 197. Begitu pula nantinya kita

temui dalam pasal 65-72 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang cerai talak

(mencabut/menggantikan Pasal 14-18 PP Nomor 9 Tahun 1975).

Pasal 38 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Permohonan pembatalan

perkawinan.Walaupun disini disebutkan istilah permohonan tetapi

pemohon harus disebut penggugat dan termohon harus disebut tergugat

sedangkan produk Pengadilan Agama harus putusan.

Pasal 40 PP Nomor 9 Tahun 1975tentang permohonan untuk

beristeri lebih dari seorang. Disini, suami yang bersangkutan sebagai

pemohon, isterinya (yang telah ada) sebagai termohon, produk

Pengadilan Agama adalah penetapan, tetapi suami ataupun isteri berhak

banding dan seterusnya kasasi, sehinnga pemohon disitu seperti

penggugat dan termohon sama seperti tergugat.

Pasal 65-72 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang permohonan cerai

talak. Di sini, suami sebagai pemohon, isteri sebagai termohon, produk

Pengadilan Agama adalah penetapan, tetapi isteri maupun suami berhak

banding dan seterusnya kasasi, sehingga status suami (pemohon) disitu

sama seperti penggugat dan isteri sama seperti tergugat.

Kesimpulannya, untuk di lingkungan Pengadilan Agama dalam

perkara-perkara perkawinan, walaupun disebutkan pemohon atau

termohon atau pemohon tidaklah mutlak selalu berarti perkara voluntaria

sepenuhnya seperti teori Hukum Acara Perdata.Memahaminya sebagai

kontentiosa ataukah sebagai voluntaria, harus melihat konteks.

Gugatan secara bersamaan tidak dapat dikabulkan karena perkara

yang diajukan dan pihak yang mengajukan samaitu bertentangan dengan

asas hukum acara perdata yaitu asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

salah satu gugatan yang diajukan kedua belah pihak harus dicabut baik

itu pihak suami ataupun pada pihak isteri, keduanya akan diberikan saran

apabila keduanya hendak mengajukan gugatan maka keduanya bisa

mengajukan gugatan rekonvensi, jika keduanya sama-sama bersikukuh

untuk tidak mencabut salah satu gugatannya maka keduanya tidak akan

diperiksa.62

Sebuah gugatan yang diajukanseseorang ke pengadilan yang

mengandung nebis in idem, hakim harus menyatakan gugatan

tersebuttidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).Prinsip hukum

demikian secara jelas diatur dalamPasal 1917 KUHPerdata.Sedangkan,

Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang

tidakmemenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara

tersebut bukan termasuk nebis inidem dan dapat digugat kembali untuk

kedua kalinya.Demikian halnya dalam hukum pidana, jugamelarang

seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang

sudah ada keputusanyang menghukum atau membebaskannya. Memang

prinsip ini semata-mata melindungi hak asasimanusia seseorang, agar

seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan

mengedepankankepastian hukum. Dengan dasar ne bis in idem, sebuah

perkara yang diperiksa di pengadilan dapatdihentikan penyidikan atau

penuntutannya jika ditemukan nebis in idem.Sebuah perkara yang nebis

inidem yang tetap diperiksa ke Pengadilan, maka seorang hakim harus

memutuskan tuntutan jaksa tidakdapat diterima.

62

Hasil wawancara Dra. Hj. Maimunah A. Rahman S.H., M.H.I. pada tanggal 25

september 2017

Gugatan secara bersamaan itu tidak bisa, harus dicabut salah satu

gugatannya agar dapat disidangkan, dan di sarankan kepada keduanya

untuk mengajukan gugatan rekonvensi63

.

Gugat balik atau gugat dalam rekonvensi diatur dalam Pasal.132

(a) dan Pasal 132 (b) HIR.Kedua pasal tersebut memberi kemungkinan

bagi tergugat atau para tergugat untuk mengajukan gugatan balik kepada

penggugat.Yang disebut dengan gugat rekonvensi adalah gugatan

balasan yang diajukan oleh tergugat asli (penggugat dalam rekonvensi)

yang digugat adalah penggugat asli (tergugat dalam rekonvensi) dalam

sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Penggugat rekonvensi

dapat juga menempuh jalan lain yakni dengan mengajukan gugatan baru

dan tersendiri, lepas dari gugat asal.

Gugat balasan diajukan bersama-sama dengan jawaban, baik itu

berupa jawaban lisanatau tertulis, dalam praktik gugat balasan dapat

diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan bukti, artinya

belumsampai pada pendengaran keterangan saksi. Sedang tujuan

diperbolehkan mengajukan gugatan balasan atas gugatan penggugat

adalah:

1. Bertujuan menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan.

2. Mempermudah prosedur.

3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan antara

satu dengan yang lainnya.

63Hasil wawancara Dra. Mulathifah M. H. Pada tanggal 25 september 2017

4. Menetralisir tuntutan konvensi.

5. Acara pembuktian dapat disederhanakan.

6. Menghemat biaya.

Gugatan rekonvensi hendaknya berkaitan dengan hal-hal yang

berhubungan dengan hukum kebendaan, bukan yang berhubungan

dengan hukum perorangan atau berkaitan dengan

status seseorang.Sebagai contoh dalam praktek sidang peradilan agama,

jika suami selaku pemohon, kemudian pihak istri selaku termohon

menuntut kepada pihak suami sebagai pemohon asal perihal nafkah

wajib, mut‟ah, kiswah, maskawin dan pemeliharaan anak, Begitu juga

bila istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya baik dengan jalan

pelanggaran ta‟lik talak (Sighot ta‟lik talak) maupun syiqoq, maka pihak

suami sebagai tergugat mengajukan gugat balik (rekonvensi) tentang

harta bersama, pemeliharaan anak dan lain-lain.

Beberapa syarat gugat rekonvensi diajukan dimuka persidangan

pengadilan agama, yakni :

1. Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban

pertamaoleh tergugat baik tertulis maupun dengan lisan. namun

menurut Wiryono Projodikoro, gugatan rekonvensi masih dapat

diajukan dalam acara jawab menjawabdan sebelum acara

pembuktian.

2. Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat

pertama tidak diajukan.

3. Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.

Baik gugat asal (konvensi) maupun gugatan balik (rekonvensi)

pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dengan satu putusan,

dan pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yakni pertimbangan

hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam rekonvensi.

Menurut ketentuan pasal 132 (a) HIR dan pasal 157 R.Bg dalam

setiap gugatan, tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap

penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu:

1. Penggugat dalam kualitas berbeda.

Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak

dalam suatu kualitas (sebagai kuasa hukum), sedangkan

rekonvensinya ditujukan kepada diri sendiri pribadi penggugat

(pribadi kuasa hukum tersebut).

2. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa

gugatan rekonvensi.

Gugatan rekonvensi tidak diperbolehkan terhadap perkara

yang tidak menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti suami

menceraikan istri, istri mengajukan rekonvensi , mau cerai dengan

syarat suami membayar hutangnya kepada orang tua istri tersebut.

Masalah sengketa hutang piutang bukan kewenangan pengadilan

agama.

3. Perkara mengenai pelaksanaan putusan

Gugatan rekonvensi tidak boleh dilakukan dalam hal

pelaksanaan putusan hakim. Seperti hakim memerintahkan tergugat

untuk melaksanakan putusan, yaitu menyerahkan satu unit mobil

Daihatsu Taruna kepada penggugat, kemudian tergugat mengajukan

rekonvensi supaya penggugat membayar hutangnya yang dijamin

dengan mobil tersebut kepada pihak ketiga, rekonvensi seperti ini

harus ditolak.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa gugatan

secara bersamaan itu tidak bisa, karena itu dapat dinyatakan sebagai

nebis in dem, akan tetapi hakim menyarankan kepada para pihak

baik itu pihak isteri maupun pihak suami untuk mengajukan gugatan

rekonvensi.

B. Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Putusan Gugatan yang Diajukan

Suami dan Isteri secara Bersamaan

Menurut Dra. Mufidatul Hasanah S. H., M. H. selama gugatan itu

diajukan dua-duanya maka gugatan itu tidak akan diperiksa, maka salah

satu gugatan harus dicabut terlebih dahulu agar dapat diperiksa dan

disidangkan, karena ini bertentangan dengan asas-asas yang terdapat

dalam hukum acara perdata yaitu asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Dasar pertimbangan hakim terhadap gugatan yang diajukan suami

dan isteri secara bersamaan yaitu berdasarkan asas sederhana, cepat dan

biaya ringan yang bertujuan agar suatu proses pemeriksaan di Pengadilan,

relative tidak memakan waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai

kesederhanaan hukum acara itu sendiri, hakim tidak mempersulit proses

persidangan yang berbelit-belit dan sering mundur jadwal persidangan.

Menurut Dra. Hj. Maimunah A. Rahman S.H., M.H.I berdasarkan

asas sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam Pasal 57 ayat (3) UU

No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 4 ayat (2) No. 4 Tahun 2004.

Penjelasan Pasal 4 ayat (2) berbunyi: ketentuan ini dimaksudkan

untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan

“sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan

dengan cara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud “biaya ringan”

adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian,

dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan

ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Hal semacam ini tentu beralasan karena dengan adanya asas ini

tidak membuang waktu lama dan hakim tidak mempersulit proses

persidangan yang selalu berbelit-belit dan mengulur-ulur waktu.

Menurut Dra. Mulathifah M. H.berdasarkan isi gugatan yang

diajukan para pihak maka alasan dari para pihak mengapa mengajukan

gugatan secara bersamaan dapat menjadi dasar pertimbangan yaitu

berdasarkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan karena gugatan yang

diajukan suami dan isteri secara bersamaan itu bertentangan dengan asas

ini. Secara singkat dasar pertimbangan hakim terhadap gugatan yang

diajukan suami dan isteri yaitu, Hakim dalam menyelesaikan atau

memutuskan perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan

dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,

sehingga keputusannya sesuai dengan rasa keadilan, sikap moderat artinya

tidak tergesa-gesa dalam pemeriksaan dan tidak cenderung di almbat-

lambatkan. Dalam mencabut guagatan di kembalikan kepada pihak-pihak

yang bersangkutan mana yang akan dicabut, pencabutan didasarkan

kepada substansi dari gugatan tersebut mana yang lebih berpotensi untuk

dikabulkan tidak perduli dengan waktu dimana keduanya mengajukan

gugatan.

Kemaslahatan menjadi pertimbangan dalam menetapkan perkara,

kedua pihak jika keduanya sama-sama mengajukan gugatan itu tidak dapat

diperiksa disarankan untuk mencabut perkara, dan jika memang keduanya

ingin mengajukan gugatan maka kedua pihak bisa mengajukan gugatan

rekonvensi.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pandangan hakim terhadap gugatan yang diajukan suami dan isteri secara

bersamaan yaitu gugatan yang diajukan dengan perkara dan pihak yang

sama, sehingga kedua belah pihak tidak dapat mengajukan kedua gugatan

tersebut, salah satu gugatannya harus dicabut dan disarankan untuk

mengajukan gugatan rekonvensi.

2. Dasar pertimbangan hakim membenarkan gugatan bersama antara suami

dan isteri karena tidak sesuai dengan asas sederhana, cepat dan biaya

ringan, yang terdapat dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009

B. SARAN

Mencermati asal usul dari permasalahan adalah suatu keharusan, akan

tidak mendapatkan kesalahan dalam mengambil keputusan. Karena

perkawinan yang langgeng menjadi dambaan setiap pasangan. Menerima dan

mencarikan solusi merupakan tugas Pengadilan Agama agar permasalahan

keluarga yang masuk dalam perkara Pengadilan bisa mendapatkan solusi yang

tepat, bijak dan adil. Maka Pengadilan harus menelusuri akar permasalahan

secara teliti dan valid.

Untuk penelitian selanjutnya agar lebih cermat dalam melakukan

penelitian ini, karena mungkin masih banyak kekurangannya. Akan tetapi

kami telah berusaha untuk menghasilkan yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, Hokum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2014.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan

Agama, Jakarta: Kencana, 2005.

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al Qadha,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Badruzzaman Siddik, Perkembangan Peradilan Di Indonesia Sejak Zaman

Colonial Belanda Sampai Sekarang, Lampung: Percetakan CV

Ardi,2015.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta

Aksara Surabaya,1993.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,

Bandung: Cet-1, Remaja Rosda Karya, 2000.

Kartini, Kartono, Pengantar Metodologi Riset Social, Bandung: Cetakan Ketujuh,

CV. Mandar Maju, ,1996.

Lexy J Moloeng, Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: cetakan ke-10,

Remaja Rosda Karya, 1999.

Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman

Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi

Revisi 2010,Jakarta, 2010.

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal Cetakan Ke -7, Jakarta:

Bumi Aksara, 2004.

M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Pengadilan Agama Dan Mahkamah

Syariah, Jakarta: Kencana, 2005.

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,

Jakarta: Sinar Grafika, Cet-III, 2005.

Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.

Retnowulan Susantio dkk., hukum acara perdata dalam teori dan praktek, CV.

Mandar Maju, 2013.

R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet

Pertama , 1994.

Sedarmayanti dkk, Metodelogi Penelitian, Bandung: Mandar Maju 2002.

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1997.

Sudarsono, kamus hukum, Jakarta: PT. asdi Mahasatya, 2007.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet-4, Yogyakart:

Liberty, 1993.

Suharsimi Arikunto, prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek,

Jakarta: Rineka Cipta, Edisi Revisi IV,1998.

Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Tihami, dkk., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2008.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa,, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafika, Cetakan Ketiga,

Jakarta, 2011.