Pa Imunopatologi 2014

73
KELAINAN IMUNOPATOLOGIK (Dr.P.J.Soehandono, SpPA) ORGAN SISTEM IMUN Terdiri atas : 1. Kelenjar Timus 2. Sumsum tulang 3. Kelenjar getah bening 4. Organ limfoid disepanjang saluran Cerna dan Pernafasan Sel dan mediator dalam system imun Limfosit B dan limfosit T mempunyai peran utama dalam sistem Imun dibantu oleh sel-sel asesori yaitu makrofag, sel penyaji antigen (APC=Antigen Presenting Cell) misalnya sel Langerhans, dan sel dendritik,sel natural killer, sel mast dan sel basofil 1.Limfost B Setelah dirangsang oleh protein (antigen) berkembang menjadi sel plasma dan menghasilkan Imunoglobulin 2.Limfosit T. Terdapat beberapa subpopulasi: a.T helper (penolong) memaparkan antigen deferensiasi kelompok (cluster defferntiation = CD 4 ) pada permukaannya, dan Limfost T supresor (Ts / sitotoksik) yang memaparkan CD8 pada pemukaannya. Sek T helper (Th) berfungsi memacu respons imun baik humoral 1

description

Pa Imunopatologi 2014

Transcript of Pa Imunopatologi 2014

Page 1: Pa Imunopatologi 2014

KELAINAN IMUNOPATOLOGIK(Dr.P.J.Soehandono, SpPA)

ORGAN SISTEM IMUNTerdiri atas :

1. Kelenjar Timus2. Sumsum tulang 3. Kelenjar getah bening 4. Organ limfoid disepanjang saluran Cerna dan Pernafasan

Sel dan mediator dalam system imun

Limfosit B dan limfosit T mempunyai peran utama dalam sistem Imun dibantu oleh sel-sel asesori yaitu makrofag, sel penyaji antigen (APC=Antigen Presenting Cell) misalnya sel Langerhans, dan sel dendritik,sel natural killer, sel mast dan sel basofil 1.Limfost B Setelah dirangsang oleh protein (antigen) berkembang menjadi sel plasma dan menghasilkan Imunoglobulin 2.Limfosit T. Terdapat beberapa subpopulasi: a.T helper (penolong) memaparkan antigen deferensiasi kelompok (cluster defferntiation = CD 4 ) pada permukaannya, dan Limfost T supresor (Ts / sitotoksik) yang memaparkan CD8 pada pemukaannya. Sek T helper (Th) berfungsi memacu respons imun baik humoral maupu selular. Sel T supresor ( Ts) berperan menekan respons imun T helper dikenal:

T helper 1 (Th1) menghasilkan Interferon gamma / alfa T helper 2 (Th2) menghasilkan IL-4, IL-5 dan IL-6

Perannya dimulai dari sel pre-B dengan awalnyaa memproduksi produk ganda IgM dan IgD, selanjutnya melaksanakan perubahan idiotipe (ideotype switch) molekul immunoglobulin sehingga pembentukan antibody yang bervariasi, sesuai dengan mediator yang mempengaruhinya. Sel Th 1 memproduksi IFN-gamma memacu sel B memproduksi IgG Sel Th 2 memproduksi IL-5 memacu sel B memproduksi IgA Sek Th 2 memproduksi IL-4 memacu sel B memproduksi IgE b.T cytotoxic (Tc) = cytotoxic T lymphocytes (CTL) atau sel killer (Tk) menjalankan kekebalan seluler dengan mengeluarkan perforin bersifat sitotoksik mematikan sel sasaran

1

Page 2: Pa Imunopatologi 2014

c.Td (berperan dalam kekebalan seluler lambat dalam bentuk reaksi hipersensitifitas lambat, delayed hypersensitivity reaction) bekerja sama dengan Makrofag d.T supressor memaparkan CD 8 pada permukaannya, berfingsi menekan respons imun3.Makrofag Berfungsi:

Memfagosit sel sasaran / antigen setelah diaktifkan oleh limfokin atau dengan perantaran opsonisasi oleh immunoglobulin

Mempresentasikan antigen kepada sel T (Antigen Presenting cell, APC) bersama-sama dengan sel Langerhans dan sel dendritik.

Memproduksi sitokin yang dapat memacu respons immune serta enzym proteolitik yang dapat mencerna antigen.

4.Sel dendritik Merupakan Antigen Presenting cell (APC) tersebar diseluruh organ (sel Langerhans berasa dalam epidermis). Pada permukaannya mengandung molekul histokompatibilitas II (MHC II) berperan menyajikan antigen kepada limfosit 5.Immunoglobulin. dikenal immunoglonulin M.G.A,D dan E Merupakan mediator yang berperan dalam respons imun; dikenal 5 macam mediator Imunoglobulin: IgM pertama dikeluarka oleh sel B. IgG berperan sebagai antigen bacterial IgA berperan pada pertahanan mukosa IgE berperan pada antigen parasit dan alergi / atopi IgD belum jelas aktgifitasnya.6.Limfokin Mediator yang diproduksi oleh Limfosit T

Interleukin Interferon gamma MAF (macrofag activataing factor) MIF (migration inhibitory factor) Fibroblast activating factor Leucocyte inhibitory factor

7.Complemen (C)Mediator yang terdapat dalam plasma adalah Complemen ( C ). Yalah protein plasma yang perlu diaktifkan lebih dulu untuk dapat berfungsi. Aktifasi complemen berlangsung secara berantai dari C1 sampai C9. Aktifasi Complemen dapat melalui classical pathway yaitu melalui kompleks antigem-antibody (kompleks imun) atau aktifasi Complemen dapat tanpa didahului adanya ikatan antigen-antibodi

terlebih dahulu yaitu melalui jalur alternatif alternate pathway

2

Page 3: Pa Imunopatologi 2014

Aktifasi berantai Complemen yaitu pembentukan C1, C1q, C1r, C1s, C4, C2 serta C3,C5,C6,C7,C9 dan C9. Produk akhir dari aktifasi Complemen dapt melisiskan antigan / sel dan memacu fagositosi.

Mekanisme koordinasi kerja sel dan mediator pada respons imun.

1.Respons imun humoralAntigen diproses oleh makrofag, sel dentritik atau sel Langerhans

disajikan kepada sel T sel T menjadi aktif kemudian mengeluarkan limfokin-limfokin. Interleukin I (IL-I) dibentuk oleh makrofag, dan IL-2 dibentuk oleh selT yang merangsang proses deferensiasi sel B yang kemudian berubah menjadi sel plasma dan mengeluarkan antibody spesifik. Secara aktif antibody spesifik akan berikatan dengan antigen dan terjadi proses netralisasi antigen (termasuk mikroba / toksin kuman ) atau lisis kuman / sel atau memacu makrofag untuk memfagosit kuman / sel setelah dilapisi oleh antibody (proses opsonisasi) Antibodi yang menyelubungi antigen / sel dapat juga memacu aktifitas komplemen sehingga dapat melisiskan sel / antigen

2.Respons imun selular.Sel Th yang dirangsang oleh antigen akan mengeluarkan IL-2 yang

bersifat memacu proliferasi sel Th sendiri secara autokrin. Sel Tc juga dapat dipacu untuk membunuh sel / antigen melalui

reaksi antara reseptor Fc di permukaan Tc dan fragmen Fc molekul immunoglobulin (antibody) yang telah melapisi sel sasaran (reaksi ADCC=antibody dependentc ellular cytotoxicyty)

DEFISIENSI IMUNOLOGI (IMUNODEFISIENSI)

1.Imunodefisiensi primer Umumnya menunjukkan gejala kliniknya pada masa kanak-kanak (6 bulan- 2 tahun) berwujud sebagai infeksi berulang

a.Agammaglobulinemia tipe Bruton, yang terkait pada kromosome X (X-linked)

Paling sering ditemukan. Umumnya pada laki-laki Diturunkan melalui kromosomX (X-linked) Kelainan nya berupa kekurangan Limfosit B pada darah tepi,

dan organ imun perifer seperti tonsil, kelenjar getah bening, akibat kelainan gen yang membentuk enzyme yang diperlukan untuk deferensiasi sel pre-B menjadi sel B

3

Page 4: Pa Imunopatologi 2014

Pemeriksaan darah menunjukkan tidak adanya limfosit B dan immunoglobulin

Penderita ini cenderung menderita penyakit autoimun seprti artritis rheumatoid, LE. Dermatomicosis,sera infeksi persisten dengan Giardia lamblia yang menyebabkan malabsorbsi (agamaglobulinemia)

b.Common variable immunodeficiency (CVI) Kelompok kelainan dengan mekanisme dasar defisiensi

immunoglobulin yang bervariasi Sel B jumlahnya cukup tetapi perubahan menjadi sel plasma

tidak sempurna sehingga pembentukan imunoglobulin berkurang. Darah tepi menunjukkan jumlah sel B cukup tetapi sel plasma berkurang.Imunodefisiensi umumnya mencakup semua kelas. Pada sebagian kasus mungkin hanya defisiensi IgG saja.

c.Defisiensi IgA selektif (Isolated or selective IgA dificiency) Lebih banyak ditemukan pada orang kulit putih Timbul secara familial atau sekunder sesudah infeksi campak Mekanisme yang mendasarinya adalah cacat pada proses

deferensiasi sel B pembentuk IgA Jumlah Limfosit B cukup, tetapi menunjukkan fenotipe yang imatur ditandai dengan koekpresi dengan Ig D dan Ig M, sehinggan hanya sebagian dari limfosit B yang dapat berdeferensiasi menjadi sel plama

Mekanisme lain adalah adanya antibody terhadap Ig A, yaitu ditemukan pada sekitar 40 % penderita sehingga Ig A dirusak dan berkurang kadarnya.Pemberian transfuse darah yang mengandung Ig A akan menyebabkan reaks anafilakt.

Penderita kelainan ini dapat asimtomatik; gejala klinik berupa infeksi berulang pada daerah mukosa seperti saluran pernafasan, saluran cerna dan urogenital.Seperti diketahui Ig A merupakan pertahan itama pada mukosa dalam hal ini jumlahnya berkurang dan cenderung mengalami penyakit alergi dan autoimun.

d.Sindroma Di George (Hipoplasia Timus) Disebabkan oleh kegagalan perkembangan kantong faringeal ke

3 dan ke 4 pada masa embrional sekitar minggu ke 8 masa kehamilan akibatnya terjadi hipoplasis atau aplasis timus dan paratiroid serta malformasi jantung dan pembuluh darah besar

Bentuk mulut dan hidung juga bisa abnormal. Jumlah sel T berkurang atau tidak ada baik didalam serum

maupun pada daerah parakorteks KGB,dan periarteriola limpa imunitas seluler tidak ada.

4

Page 5: Pa Imunopatologi 2014

Se plasma dan Imunoglobulin cenderung normal Klinik: penderita rentan terhadap infeksi virus dan jamur disertai

tetani karena aplasia kelenjar paratiroid. Pemberian transplantasi timus penderita dapat tertolong.

e.Sindroma Wiskott-Aldrich (Immunodefisienci disertai trombositopenia dan eksema)

X-linked recessive Cacat pada glileonilisasi protein membrane dan cacat pada

pematangan sel pokok hematpoietik (sel B, selT, makrofag, neutrofil dan trombosit)

Klinik : trombositopeni, eksema dan infeksi berulang, rentan terhadap keganasan imfoid dan dapat bersifat fatal.

f.Penyakit immunodeficiency gabungan yang berat (Severe Combined immunodrficiency Disease = SCID)

Kombinasi defisiensi seluler dan humoral.Dikenal 2 kelompok kelainan yaitu diturunkan secara autosomal recessive dan X-linked recessive

Limapuluh persen (50 %) autosomal recessive merupakan cacat pada ekspresi gen MHC II. AntigenMHC II tidak terpajan pada pada permukaan limfosit B, makrofag dan sel dentritik, kegagalan pada presentasi antigen kepada sel T penolong (CD4+),sehingga terjadi cacat reaksi hipersensitifitas lambat dan reaksi antibody terhadap antigen yang bergantung pada sel T

Limapuluh persen (50 %) x-linked recessive menunjukkan mutasi sehingga terjadi gangguan yang yang mempengaruhi reseptor sitokin Il2,4 dan 7 yang menghambat proses aktifa

sel T. Klinik: Rentan terhadap berbagai jenis infeksi baik bakteri, jamur

maupun virus dan tidak dijumpai immunoglobulin dalam darah. Histopatologik: kelenjar Timus hipoplastik dengan pengurangan

jumkah sel limfosit T Pengonatan masih dalam taraf percobaan yaitu dengan

transplantasi sungsumtulan atau terpi gen

g.Defisiensi system komplemen Complemen merupakan factor penting untuk reaksi radang Defisienci C3 rentan terhadap infeksi bacteri pyogenik Defisiensi C1q 2 dan 4 rentan terhadap penyakit kompleks

imun karena terhambatnya pemusnahan kompleks imun dari sirkulasi.

5

Page 6: Pa Imunopatologi 2014

Defisiensi juga dapat terjadi pada enzyme penghambat aktifasi komplemen. Contoh: Adanya enzyme C1q esterase aktifasi C1 secara tidak terkendali angioedema heriditer berupa pembengkakan pada kult dan mukosa secara berulang.

Defisiensi C 5-8 rentan terhadap infeksi golongan Neisseria (Gonorhoe atau meningokokus)

h.Cacat fungsi system fagosit Terjadi manifestasi radang granulomatosa dikenal Job syndrome

kegagalam melawan infeksi Terjadi kelainan kongenital lainnya.

2.Imunodefisiensi sekunder. Contoh AIDS akibat infeksi HIV (Human imunodefisiency Virus) Ditemukan pertama kali pada tahun 1981, pada 5 pria homoseksual

yang menderita infeksi paru dengan kuman oportunistik Pneumocystis carinii di Amerika Serikat yang menimbulkan kematian akibat AIDS (Aquired Imunodefisiency Syndrome)

Etiologinya yalah infeksi HIV-1 dan HIV-2 yang saling bereaksi silang pada uji serologic.

HIV-1 banyak ditemukan sebagai factor etiologi AIDSdi Amerika Serikat, Eropa dan Afrika Timur.

HIV-2 terutama di Afrika Barat. Organ yang terserang adalah system imunitas dan susunan saraf

pusat

a.Patogenesis yang melibatkan system imun Virus HIV menyerang limfost T imunitas seluler terganggu.CD4 / OKT 4 adalah molekul yang terdapat pada permukaan Th danRasio CD4 (OKT4) : CD 8 (OKT 8) menurun artinya kurang dari 1

b.Patogenesis pada susunan saraf Monosit / makrofag terinfeksi oleh strain HIV tertentu. HIV-1 sebagai factor etiologi banyak ditemukan di Amerika Serikat, Eropa dan Afrika Timur, HIV-2 terutama di Afrika Barat. HIV menyebarkan virus ke Susunan Saraf Pusat(SSP) Perjalanan klinik dapat dibagi menjadi

(a).Fase akut, terjadi viremia(b).Fase laten (kronik), timbul limfadenopati umum(c).Fase krisis, Timbul infeksi oportunistik atara lain Candida albicans, PneumocysticCarinii, Cytomegalovirus, Mycobacteria,Cryptococusneoformans, Histoplasma capsulatum, Toxoplasma gondii dan Neoplasma Sarkom

6

Page 7: Pa Imunopatologi 2014

Kaposi. (d).Fase laten. (ARC, AIDS related complex) Persisten Generalized Lymphadenopaty (PGL), disertai demam, ruam kulit , rasa lelah, berkeringat waktu malam, berat badan menurun,diare, infeksi jamur di mulut

c.Transmisi. Sexual Transfusi darah IV drug abuser Saliva Semen

d.Individu dengan resiko tinggi Pria homosexual Wanita berpasangan dengan pria bisexual IV drug abuser Penduduk Afrika tengah Penerima transfuse darah tanpa diseleksi

e. Akibat imunodefisiensi: Infeksi Neoplasma Autoimun (Bruton’s agamaglobulinemia, Selective IgA deficiency) Penyakit Graft versus Host.

REAKSI HIPERSENSITIFITASDikenal ada 4 jenis hipersensitifitas yaitu:

1.Hipersensitifitas jenis I (anafilaktik)2.Hipersensitifitas jenis II (antbody dependent)3.Hipersensitifitas jenis III (immune complex – mediated) (a).Penyakit kompleks imun sistemik penyakit serum sickness (b).Penyakit complex imun local (reaksi Arthus)4.Hipersensitifitas jenis IV (delayed / cytotoxic type cell mediated hypersensitivity)

HIPERSENSITIVITAS IMUNOLOGIK1. Reaksi hipersensitf artinya reaksi imunologik tubuh yang

berlebihan terhadap antigen asing.2. Dikenal ada 4 macam mekanisme timbulnya reaksi

hepersensitivitas (3 jenis dimediasi oleh antibody (humoral) dan tipe ke 4 dimediasi oleh sel (cell-mediated)

7

Page 8: Pa Imunopatologi 2014

3. Semua jenis hipersensitivitas memerlukan perjumpaan pertama (exposure pertama kali) dan disebut dosis sensitisasi dan akan menimbulkan respons immune (sensitisasi) dalam waktu pendek (1-2 minggu)

4. Pada perjumpaan berikutnya dengan antigen asing yang sama (chalence dose) akan menimbulkan reaks1hipersensitivitas.

Hipersensitivitas tipe I immediate, segera timbul(Atopy, anafilaksis)

Jenis ini dapat menimbulkan reaksi yang sangat cepat hanya dalam beberapa menit dan dapat sangat berat fatal.A.Mekanisme:

Pada pertemuan pertama (dosis sensitisasi) Limfost yang terekpose pada antigen berubah menjadi sel plasma dan membentuk Ig E yang segera melekat pada sel Mast. Pada pertemuan kedua (chalence dose), antigen akan melekat padaIg E yang telah menempel pada sel Mastsel Mast akan terangsang dan terjadi degranulasi ,kemudian mengeluarkan mediator antara lain Histamin yang mempunyai efek peningkatan permeabilitas vasculer, vasodilatasi,bronkhospasme dan peningkatan pembentukan lendir.

Contoh lain mediator anafilaktik:Histamin spasme otot Heparin, Eosinofilik chemotactic factor (ECF), Neutrophyl chemotactic Factor (NCF), dan protease netral reaksi radang.B.Gangguan akibat reaksi hipersensitivitas tipe I1.Lokal:

a.Kulitb.Hidungc.Parud.Intestinum

Keadaan dimana segolongan individu rentan terhadap anafilasis local disebut Atopi 2.Sistemik:

a.Angioneurotic edemab.Shock anafilaktik

Hipersensitivitas tipe II (Antibody-mediated)Pada fase sensitisasi sel yang terifeksi oleh antigen baik

intrinsik maupun ektrinsik akan melekat pada limfosi B yang selektif dan Limfosit B berubah menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi Imunoglobulin Ig G atau Ig M yang kemudian terlepas beredar dalam darah. Pada pertemuan berikutnya

8

Page 9: Pa Imunopatologi 2014

(chalence dose), maka Ig G atau Ig M akan melekat pada sel tubuh yang terinfeksi oleh antigen yang sama dan selanjutnya akan menimbulkan gangguan / kerusakan kepada sel lyang terinfeksi / terkena antigen sekaligus antigennya.A.Mekanisme

Dikenal beberapa jenis mekanisme kerusakan pada hipersensitifitas jenis ini (tipe II). Terjadi reaksi antigen-antibodi pada permukaan sel host. Pada dosis sensitisasi sel yang terinfeksi oleh antigen menimbulkan respons terbentuknya Imunoglobulin(antibodi). Pada challenge dose, sel host yang terinfeksi oleh antigen yang sama akan bereaksi dengan Imunoglobulin (antibodi) yang sudah terbentuk menimbulkan kompleks antigen-antibodi, kemudian timbul reaksi hipersensitifitas tipe II sebagai berikut.

1. Lisis. Kompleks antigen-antibodi menimbulkan aktifasi sistem complemen. Setelah sistem komplemen aktif maka terjadi lisis sel yang terinfeksi / tertempel antigen lisis karena terjadi perforasi oleh perforin.

2. Phagositosis. Sel yang terinfeksi / sudah membawa antigen (teropsonisasi), dikenal olah Makrofag dan terjadi phagositosis

3. Antibody-dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) Adanya reseptor pada Natural Killer (NK) yang belum tersensitisasi mengenal antigen-antibodi kompleks dan NK mengancurkan antigen –antibodi kompleks bersama sel yang terkena sekaligus. Reaksi hipersensitifitas tipe ini kadang-kadang disebut reaksi hipersensitivitas tipe VI

4. Perubahan fungsi seluler.Antibodi menempel pada reseptor sel lalu menimbulkan perubahan fungsi sel yang terkena dapt meningkatkan atau menghambat fungsi (stimulasi atau inhibisi terhadap fungsi sel yang bersangkutan) tanpa menimbulkan nekrosis.

Gangguan akibat hipersensitifitas tipe II

1. Antigen pada eritrosit.a. Reaksi transfusi darah:

Antibodi pada serum pasien bereaksi dengan antigen pada darah yang ditrasfusikan menimbulkan

9

Page 10: Pa Imunopatologi 2014

“complemen-mediated intravascular hemolisis” atau delayed hemolisis karena fagositosis oleh makrofag dalam limpa.Banyak antigen eritrosit yang dikenal yang mengakibatkan hemolisis, A,B.O.Rh,Kell, Kidd, Lewis dll

b.Hemolytic disease of the newbornAntibodi maternal yang aktif terhadap antigen eritrosit

fetal, masuk kedalam sirkulasi darah fetal melaui plasenta dan menghancurkan eritrosit fetal . Hemolitic disease of the newborn banyak dijumpai pada Rh dan ABO. Imunoglobulin pada anti-Rh adalaj Ig G yang dapat menembus plasenta, sedangkan imunoglobulin anti - A dan anti - B biasanya IgM dan tidak menembus plasenta.

c.Reaksi hemolitik yang lain Hemolisis dapat diakibatkan oleh obat-obatan yang

bertindak sebagai Hapten dalam kombinasi dengan membrana eritrosit , atau dapat sebagai akibat dari infeksi yang berhubungan dengan timbulnya antigen eritrosit sepert infectious mononucleosis, mycoplasma pneumonia.

2. Antigen pada neutrophyl.Antibodi maternal terhadap antigen neutrofil fetal dapat menyebabkan leukopeni, apabila melewati plasenta

3. Antigen pada trombosit Timbul autoantibody terhadap trombosit ITP ) Idiopatic Trombositopenik Purpura.

4. Antigen pada membrana basalisAntibodi terhadap membrana basalis glomerulus dan alveolus menimbulkan jejas jaringan akibat aktifitas Complemen (Sindroma Goodpsture) Gambaran mikroskopik dengan Mikroskop immunofluoresens memberikan gambaran linier Hal ini disebabkan oleh defek pada membrana basalis yang juga merupakan dasar dari Alport’s syndrome berhubungan dengan “nerve deafness”(autosomal dominat atau X-linked pattern )

5. Stimulasi dan inhibisi pada reaksi hipersesitifitasBeberapa penulis menamai hipersensitifitas tipe ini sebagai hipersensitifitas tipe V mengakibatkan sel yang terkena antigen berubah fungsi, mrnimbulkan stimulasi atau inhibisia.Stimulasi-penyakit Graves. Disebabkan oleh stimulasi Ig G yang berikatan dengan antigen yang berada di

10

Page 11: Pa Imunopatologi 2014

permukaan sel Tiroid stimulasi sel Tiroid hipertiroidi primer b.Inhibisi. Menghambat transmisi rangsangan pada neuromuscular juncion. Disebabkan oleh stimulasi Iog G yang tertuju kapada reseptor asetilkolinotot lemah (myastenia gravis). Pda anemia pernisiosa, Ig berikatan dengan intrinsic factor inhibisi absorsi Vit B12

Reaksi hipersensitivitas tipe III (Imune complex-mediatedMekanisme:

Pada fase sensitisasi antigen akan menstimuli limfost B akhirnya menghasilkan antibodi Imunoglobulin (Ig G, Ig M atau Ig A tetapi jarang)

Pada fase challence dose Ig G, Ig M atau Ig A yang sudah ada akan berikatan dengan Antigen yang sama dengan fase sensitisasi Kompleks Antigen-Antibodi (kompleks imun Ag-Ab)

Kompleks imun yang terbentuk dan beredar dalam sirkulasi, selanjutnya terjadi deposisi diberbagai tempat dan mengakibatkan pengaktifan Complemen dan menimbulkan proses peradangan dan kerusakan jaringan

Kompleks imun terbentuk oleh antigen yang berasal dari luar (virus, bakteri), atau antigen berasal dari tubuh sendiri kompleks imun beredar dalam darah kemudian tersangkut pada tempat-tempat tertentu. Apabila kompleks imun diendapakan secara luas diberbagai system / organ kerusaka sistemik (penyakit kompleks imun sistemik atau penyakit serum, serum sickness) Bila kompleks imun terbentuk secara local,kerusakan lokal atau reaksi Arthus.Penyakit serum (serum sickness): Penderita mengalami demam, ruam pada kulit, pembengkakan sendi yang nyeri dan bahkan dapat terjdi hematuriReaksi Arthus: Edema lokal,kemerahan dan indurasi kemudian ulserasi. Dapt pula terjadi rupture pembuluhdarah serta mikrotrombi.

Dikenal 2 tipe jejas kompleks immune1. Tipe Arthus. Reaksi local akibat pemberian vaccin berulang

ditempat yang sama menimbulkan pembentukan kompleks imun yang banyak dan menimbulkan jejas kompleks imun dan pengaktifan Complemen dan terjadilah jejas kompleks immune, contohnyaa.vaccinasi rabies yang diberikan berulang-ulang ditempat yang sama menimbulkan nekrosis b.Pneumonitis hipersensitivitas, yang ditandai batuk,

11

Page 12: Pa Imunopatologi 2014

sesak dan febris 6-8 jam setelah memghirup bahan antigen

2. Tipe Serum sickness.Setelah pertemuan dengan protein asing, obat-obatan,virus dan mikroorganisme lain, maka kompleks imun terbentuk, menembus pembuluh darah dan menimbulkan “necrotizing necrosis”

B.Diagnosis penyakit kompleks imun Dengan mikroskop immunofluorecence gambaran mikroskopik yang terlihat yang terlihat adalah gambaran “granuler” dengan mikroskop imunofluoresence

Reaksi hipersensitivitas tipe IVA.Mekanisme:

Berbeda dengan reaksi hipersensitifitas tipe I,IIdan III, maka reaksi hipersensitifitas tipe IV ini dimediasi bukan olah antibody, melainkan olah limfosit T yang tersensitisasi menjadi sel T sitotoksik (T reseptor bertemu dengan antigen)

Sel T sitotoksik langsung melakukan sitotoksik atau mengeluarkan limfokin yang mengadakan perubahan pada jaringan, atau “lymphokin-mediated granulomatous inflammation” dengan nekrosisn kaseosa. Limfokin disbut jiga sitokin antara lain: Macrofages chemotactic factor (MCF), Makrofages inhibitory factor, interleukin I , Tumor necrosis factor alfa dan Inteferon gamma. Sitokin tersebut akan merekrut sel radang terutama sel T dan makrofag ditempat antigen. Contoh kulit test Mantoux dengan PPo (purified protein derivative) dari tuberculin yang berasal dari kuman tuberculosis dan diperiksa 72 jam kemudian berupa pembentukan granuloma, pada lepromatous lepra,skistosoma, dan yang antigennya sulit ditentukan (sarcoidosis dan penyakit Crohn.

Hipersensitifitas tipe IV ini bertanggung jawab pada:1. Kontak dermatitis2. Respons terhadap sel cancer, infeksi virus,

transplantasi sel yang membawa antigen asing dan beberapa reaksi autoimun

3. Radang granulomatosa yang merupakan respons terhadap infeksi mycobacteria dan jamur.

4. Merupakan dasar pada tuberculin test dan lepromtous test Disini protein berasal dari Mycobacterium tuberculosis diberikan intra dermal dan timbul radang

12

Page 13: Pa Imunopatologi 2014

granulomatosa dalam waktu 24-72 jam.yang membuktikan adanya ekspose sebelumnyha.

Gambaran Patologinya berupa nekrosis sel dan infiltrasi limfosit pada jaringan yang terkena

B.Gangguan akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV Delayed hipersenstivity dapa tterjadi pada:

1. Infeksi. Hipersensitivitas tipe IV terjadi pada infeksiyang disebabkan oleh organisme yang intraseluler fakultatif, seperti mycobacteria dan jamur. Nekrosis jaringan berupa jaringan nekrosis perkijuan (caseosa) dikelilingi sel epiteloid granulomatosa.

2. Penyakit outoimmune Contoh: ”Tiroiditis Hashimoto”, Gastritis yang berhubungan dengan anemia Pernisiosa, Reaksi sel limfosit T terhadap antigen pada permukaan sel epitel Tiroid dan sel parietal gasternekrosis pada 2 macam sel tersebut.

3. Contact dermatitis. Akibat kontak langsung antigen dengan kulit memacu hipersensitivitas tipe IV disekitar tempat kontak (dibalik jam tangan). Antigen yang sering antara lain nikel, dichromate compound pada kulit, tumbuh-tumbuhan, termasuk racun pada ivy (tumbuhan yang menjalar) dan poison oak (tumbuhan beracun). Reaksinya berupa eczema, pruritus.

4. Graft rejection pada transplantasi.Dikenal

Autografting, autologous graft, autograft. Transplastasi berasal dari tubuh sendiri (kulit, tulang, vena) Tidak menimbulkan reaksi

rejection (penolakan) Isograft.Transplantasi berasal dari kembar identik

Tidak menimbulkan reaksi rejection (penolakan) Alograft, (allotransplant). Transplantasi berasal dari

sesama spesies (manusia dan manusia) Timbul reaksi rejection

Xenograft (heterologous graft). Transplantasi berasal dari beda spesies (manusia dan anjing)Timbul reaksi penolakan

PENYAKIT AUTOIMUNSistem immune dapat mengenali antigen dalam badan sendiri (self

antigen) dan tidak menimbulkan reaksi ,hal ini disebut toleransi natural Pada keadaan tersebut system kekebakan tidak bereaksi terhadap antigen

13

Page 14: Pa Imunopatologi 2014

yang lazimnya berpotensi menimbulkan respons imun. Keadaan seperti ini disebut toleransi kekebalan juga immunological tolerance

Dikenal antigen diri (self antigen) dan antigen asing (non self antigen)

Apabila system kekebalan tidak dapat membedakan antara antigen diri dan antigen asing maka limfosit T dan B mengembangkan reaksi terhadap antigen diri dan disebut reaksi auto imun

Beberapa penyakit yang tidak jelas penyebab dan patogenesanya ternyata mempunyai autoimunitas dan disebut penyakit autoimune. Patogenesanya masih rumit dan belum jelas, bervariasi dengan ciri-ciri sebagai berikut

1. Biasanya bersifat multifactorial,memerlukan minimal satu gen sebagai faktor heriditas dan satu atau lebih faktor lingkungan

2. Seringkali perkembangannya jauh lebih lambat daripada proses penyakit infeksi

3. Cenderung terjadi kekambuhan. Dikenal 3 macam teori yang mencoba menerangkan mekanisme timbulnya toleransi natural:

1. Sequestered antigen. Antigen jaringan biasanya ditemukan didalam sel dan tidak diekspose atau dilepaskan.Baru dimunculkan ketika jaringan tersebut terkena jejas.Ketika sudah dikeluarkan dan beredar dalam sirkulasi, maka timbul respons imun. Contoh teori ini adalah antibodi terhadap spermatozoa, lens, dan myelin.Walaupun autoantibodi dapat terbentuk terhadap “sequestered antigen”, antigen terasing, tetapi angat kecil akibat kelainan patologi yang timbul.

2. Fungsi sel T abnormal. Autoimunitas timbul karena limfosit T abnormal. Hampir semua respons imunitas memerlukan bantuan limfosit T untuk mengaftifkan sel limfosit B. Oleh karena itu, maka ketidak mampuan T h atau Ts, akan menghambat kemapuan sel B untuk membangkitkan imunitas.

3. Delesi clonal. Selama pertumbuhan fetal reseptor pada limfosit yang dapat mengenal antigen terhapus (Burnet ’s clone deletion theory) sehingga setelah dewasa organisme tersebut akan kehilangan reaktive clone yang dapat mengenal self antigen. Perkembangan pembentukan autoimunity timbul ketika terbentunya limfosit B dan limfosit T baru dan menimbulkan clone baru yang disebut forbidden clone yang bereaksi terhadap self antigen yang sudah ada yang tadinya didalam badan tidak ada clone tertetu yang mengenalnya.

4. Specific Cell Supression theory.Limfost yang bertanggung jawab dapat mengenal “self antigen” aktifitasnya dihambat atau paling tidak tercegah untuk bereaksi dengan “self antigen” . Ditemukan

14

Page 15: Pa Imunopatologi 2014

aktifitas “masking efek” terhadap “self antigen” sehingga limfosit yang bertanggung jawab tidak dapat mengenalnya. Teori lain mengatakan self antigen bereaksi dengan reseptor pada limfost dan menghalangi pengenalan terhadap “self antigen”tidak terdeleksi tetapi ditekan dan tidak menimbulkan reaksi. Selanjutnya T supressor akan aktif (mekanismenya belum jelas)Contoh penyakit auto imun :

Hipertiroidisme (Graves) DM tipe I Anemia pernisiosa Arthritis rematika SLE (systemic Lupus erythematosis)

Penyakit Autoimmun dikenal dua golongan

1.Organ spesifik,pembentukan antibody khas untuk organ tertentu, artinya terhadap sel organ tersebut Contoh;

Tiroiditis ,dengan auto-antibody terhadap sel Tiroid Diabetes mellitus, dengan auto-antibody terhadap sel beta pankreas Sklerosis multiple,dengan auto-antibodi terhadap sel susunan

syaraf Radang usus, dengan auto-antibody terhadap sel usus

2.Non Orga spesifik.Timbul antibody terhadap komponen sel tubuh ( Antimitochondrial antibody) berbagai organ Contoh:

System Lupus Eritematosus (SLE) Artritis Rematika Vaskulitis sistemik Skeroderma

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit autoimun

Penyhakit auto-immun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri dan dipengaruhi oleh berbagai factor (multi factor)

1. Genetik2. Gender (jenis seks)3. Infeksi4. Sifat autoantigen y.i enzyme dan protein (heat shock protein)

sering sebagai antigen sasaran dan mungkin beraksi silang dengan antigen mikro-obatan

5. Umur.

15

Page 16: Pa Imunopatologi 2014

Timbulnya reaksi autoimun tergantung pula pada beberapa factor:

1.Faktor system imun:a. Pelewatan (bypass) toleransi sel ThDalam keadaan normal, terjaddi delesi atau anergi clon sel T yang bersifat carrier spsific sehingga walaupun sel B yang bersifat hapten dalam keadaan kompeten tidak terjadi pemacuan oleh sel Th, untuk bereaksi membentuk antibody. Selanjutnya terjadi perubahan / modifikasi molekul tertentu (hapten) pada sel yang bergabung dengan molekul carrier lain. Dalam keadaan ini klon sel Th yang ada tidak mengenal carrier baru itu sebagai “self” dianggal “non self”, terus mamacu sel B untuk bereaksi . Contohnya penyatuan obat tertentu misalnya metal dopa atau mikroorganisme tertentu (contoh virus EBV) pada antigen self sehinggan tidak lagi dikenal sebagai entigen self. Atau dalam keadaan lain yang disebut molecular mimicry dimana beberapa mikroorganisme memiliki determinant / hapten yang bereaksi silang sengan antgen “self” Carier hapten ini jelasbersifat asing dam memacu sel B membentuk antibody terhadap mikroorganisme sekaligus bereaksi silang dengan antigen diri. Contonya demam rheuma pasca infeksi streptococcus hemolitikus dimana protein M kuman bereaksi silang dengan protein M sarkolemma otot jantung. b.Aktifasi limfosit poliklonalBeberapa mikroorganisme (EBV,cytomegalovirus, endotoksi bakteri dapat melakukan perangsangan nonspesifik berbagai klon B untuk memproduksi berbagai jenis antibody termasuk autoantibody.c.Ketidak seimbangan Th-TsBerkurangnya jumlah dan fungsi sel Ts akan menyebabkan sel B kehilangan kendali dalam membentuk antibody; sama halnya dengan berlebihnya jumlah dan funsi sel Th.d,Munculnya antigen yang rusak(sequestered antigen) Salah satu proses yang memunculkan self tolerance adalah interaksi atara antigen dengan system imun dengan dosis antigen kecil (dibawah ambang imunogenik).Jadi antigen diri yang tersembunyi dan tidak pernah terpajan pada system imun sejak perkembangan embriologik akan dianggap asing oleh system imun. Sebagai contoh spermatozoa, myetin basic protein dan lensa mata, pada satu saat akibat trauma atau radang akan menimbulkan reaksi autoimun.

e.Munculnya clon terlarang (forbidden clone)Kelompok sel (clon) yang secara hipotestis mempunyai reaksi imunologik terhadap beberapa otoantigen, menurut teori seleksi clonal telah ditekan selama perkembangan fetus tetapi mungkin teraktifasi

16

Page 17: Pa Imunopatologi 2014

dalam masa dewasa. Clon tersebut dikenal sebagai forbidden clone yang dapat menyebabkan penyakit otoimun.

2.Faktor geneticBanyak bukti-bukti penyakit yang bersifat familial antara lain LE,

anemia hemolitik dan tiroiditis seta kaitan antara penyakit dan otoimun dengan HLA khususnya kelas II. Mekanismenya diduga sbb:

a.Rangsangan sel Th akan terjadi oleh pemajanan antigen yang terikat pada molekul HLA kelas II sel penyaji antigen. Jika sel molekul HLA kelas II juga mampu berikatan dengan antigen diri, atau unsur self ternyata juga mengekpresikan molekul HLA kelas II, maka sel Th akan dipacu untuk bereaksi terhadap antigen diri tersebut.

b.Antigen HLA juga berperan pada proses delesi sel Th yang autoreaktif dalam kelnjar Timus. Proses delesi bergantung kepada kuatnya penyajian antigen diri oleh molekul HLA kelas II kepada sel Th tersebut, sehingga jika molekul HLA kelas II sifatnya kurang kuat menyajikan antigen diri maka clon sel Th tersebut tidak akan didelesi. Dan individu dengan jenis HLA kelas II semacam ini rentan menderita penyakit autoimun.

3.Faktor hormonalFaktor hormonal juga dianggap merupakan salah satu penentu

munculnya penyakit autoimun, karena pada umumnya penyakit ini diderita oleh wanita dalam masa reproduktif dan muncul berkaitan dengan siklus haid.

Mekanisme kerusakan jaringan pada penyakit autoimunReaksi antara antigen yang berupa sel atau jaringan dengan

autoantibodinya akan membentuk kompleks imun . Kompleks imun ini kemudian akan mengaftifkan complement yang selanjutnya akan mengundang reaksi radang berupa eksudasi, sbukan neutofil dan sel mononuclear sampai pada lisis sel atau nekrosis jaringan (reaksi hipersensitifitas tipe II dan III)

Spektrum penyakit autoimundan autoantibodyPewnyakit autoimun ada yang organ spesifik dan non-organ

spesifik. Contoh yang organ spesifik antara lain:a.Tiroiditis Hashimoto.b.Diabetes mellitus NIDDMc.Anemia hemolitik

Dalam halini dijumpai autoantibody yang spesifik terhadap organ tertentu misalnya

antibody anti tiroid

17

Page 18: Pa Imunopatologi 2014

,antibody anti sel Langerhansdan ditemuka pula antibody non organ spesifik seperti:

Antibodi anti nucleus. Antibodi anti DNA Antibodi anti mitochondria dll.

Gambaran umum pemyakit autoimun sbb:a. Penderita kabanyakan wanita usia reproduktifb. Bersifat familialc. Adanya autoantibody bertiter tinggid. Adanya kompleks imune. Hipergamaglobulinemiaf. Hipokomplementemiag. Defisiensi sel Ts atau kelebihan sel Th

Beberapa contoh penyakit autoimun1. Lupus Eritematosus , merupakan Non organ spesifik, merupakan

reaksi radang yang mengenai organ multi system terutama (yang sering ditemukan) pada ginjal, sendi (arthritis), membrane serosa (pleuritis) dan kulit, berupa ruam kulit pada pipi dan hidung menyerupai kupu-kupu (butterfly rash), dan fotosensitif.

2. Lupus eritematosus discoid, kelainan kulit berupa ruam discoid tanpa disertai manifestasi pada multi organ seperti SLE.

3. Sindroma Syorgen, adalah penyakit autoimun ditandai dengan keroconjunctivitis sicca dengan kekeringan pada mata (xerophtalmia) dan mulut (xerostomia), tanpa diketemukan kelainan pada jaringan ikat yang lain.

4. Skleroderma (progressive systemic sclerosis), suatu penyakit autoimun, berupa pembentukan jaringan ikat kolagen yang berlebihan pada kulit dan organ internal

5. Syndroma Myastenia Gravis, Gangguan pada neuromuscular junction berupa hambatan perangsangan asetilkolin karena adanya autoantibody terhadap reseptor asetilkolin sehingga ikatan aseilkolin dengan reseptornya terjadi hambatanrangsangan tidak terjadi

6. Sindroma Myastenia Lambert-Eaton,dibentuk autoantibody terhadap protein kanal kalsium (calsium canal protein) yang menghambat pelepasan asetilkolin

PENYAKIT IMUNOPROLIFERATIFNeoplasma system imun yang meliputi sel limfosit dalam berbagai

tahap deferensiasi termasuk sel plasma dan histiosit / makrofag.

Neoplasma sel limfosit

18

Page 19: Pa Imunopatologi 2014

Neoplasma sel limfosit dikenal sebagai Limfoma malignum yaitu proliferasi sel limfosit yang terutama terjadi dalam organ limfoid, misalnya KGB, tonsil, timus dan limpa. Dapat juga terjadi dimana saja pada jaringan bukan limfoid misalnya payudara, ovarium atau testis.

Bentuk lain dari neoplasma limfosit adalah Leukemia, yaitu proliferasi neoplastik sel limfosit yang beredar dalam sirkulasi darah. Limfoma malighnum pada tahap akhir dapat mengadakan leukemisasi,begitu pula leukemia dalam perjalanannya dapat menginfiltrasi organ limfoid.

Dikenal ada 2 jenis limfoma Limfoma non-Hodgkin dan Limfoma Hodgkin. Yang pertama dapat merupakan limfoma sel B, limfoma sel T atau sel null. Limfoma Hodgkin belum jelas asalnya, tetapi ditandai dengan adanya sel Reed-Stenberg yaitu sel datia berinti dua dengan anak inti mirip mata burung hantu.

Neoplasma sel plasma Neoplasma sel plasma (Plasmasitoma) merupakan tumor di

sumsum tulang (meduler) atau diluar sumsum tulang (ekstra meduler). Karena sel plasma juga membentuk Imunoglobulin, maka kelainan ini biasanya disertai pembentukan immunoglobulin yang jumlahnya, strukturnya dan sfatnya patologis. Dan protein yang terbentuk ini disebut disebut paraprotein atau M protein (M-mieloma). Kelainannya disebut monoclonal gammanopati. Kadar yang berlebihan akan terlihat pada pemeriksaan elektroforesis serum sbagai pita lebar. Kadang hanya ditemukan protein rantai berat saja atau kadang hanya ditemukan protein rantai ringan saja.Kelebihan ranti ringan bersifat toksik pada jaringan tertentu misalnya tubulus ginjal dan akan dikeluarkan melalui urrine sebagai protein Bence jones. paraproteinemia memperburuk keadaan.Gambaran umum kelainan ini adalah sebagai berikut:

1. Penderita usiadewasa2. Nyeri tulang3. Fraktur tulang4. Ditemukan masa tumor tunggal atau multiple5. Umumnya disertai paraproteinemia6. Protein Bence-Jones dalam urine7. Anemia.8. Rentan terhadap infeksi.

Komplikasi:1. Sindroma hiperviscositas

Karena serum darah banyak mengandung Ig, serum menjadi lebih pekat gangguan sirkulasi umum

2. Hiperkalsemia

19

Page 20: Pa Imunopatologi 2014

Karena masa tumor tulang destruksi tulang pelepasan kalsium masuk kedalamsirkulasi umum gawat darurat penderita akan jatuh dalam dehidrasi, aritmia jantung dan koma

3. Gagal ginjalIg tertimbun dalam glomerulus dan tubulus ginjal, amiloidosis, hiperkalsemia,hiperurikemia,akanmemberatkanginjal Gagalginjal.

4. Infeksi rekuranIg yang terbentuk tidak spesifik dan patologis tidak efisien dalam menanggulangi infeksi

5. Kompresi medulla spinalis.Masa tumor dalam medulla spinalis kompresi medulla spinalis atau kerusakan corpus vertebragangguan neurologist sesuai dengan lokasi lesi

Kelainan pada sel plasma dikenal juga sebagai plasma cell dyscrasia. Yang tergolong ganas disebut Malignant monoclonal gammopathy

1. Plasmacitoma soliterKelainan bersifat tunggal, dapat intra maupun ekstra meduler.Yang intrameduler umumnya bersifat sekretorik dan dikemudian hari dapat berubah menjadi multiple myeloma. Yang ekstra meduler non sekretorik, bersifat indolen dan jarang berkembang menjadi multiple myeloma

2. Mieloma multiple Ditandai dengan lesi litik di hampir seluruh tulang terutama

tulang rusuk dan vertebra. Jarang yang sekretorik (1 %) Paraprotein yang terbanyak adalah Ig G (50 %), IgA (25%)

dan Ig D(2%) Sedangkan rantai ringannya kebanyakan jenis lamda pada Ig D paraprotein(90%) dan kappa pada IgG dan Ig A (30%)

Mieloma Ig D biasanya ditemukan pada usia lebih muda, lebih agresif dan masa hidupnya lebih singkat.

Protein Bence Jones dalam urine hanya ditemukan pada 20 % penderita, dan lebih sering menunjukkan gejala gangguan fungsi ginjal

Mieloma dengan Bence Jones lebih berat dibandingkan mielomaIg G atau Ig A.

3. Macroglobulinemia WaldelstromCiri khas penyakit ini adalah kelas Imunoglobulin yang ditemukan yaitu Ig M (Imunoglobulin terberat)tersering mengalami sindroma hiperviskositas, berupa gagal jantung, hiprvolemia, gangguan neurologik (vertigo, nyeri kepala, tuli), gangguan mata,

20

Page 21: Pa Imunopatologi 2014

(visus menurun, perdarahan retina) dan gangguan hematologik (anemia, perdarahan ).

4. Penyakit rantai berat Jarang ditemukan. Ig yang diproduksi hanya merupakan rantaiberat saja. Secara klinik ditandai limfadenopati, hepatoslenomegali dan edema palatum / uvula.Penyaki rantai berat ini bermanifestasisebagai leukemia limfositik dengan hepatosplenon\megali progresif.

5. Gamanopati monoclonal jinak (Benign monoclonal gammanopathy)Yang termasuk jinak yaitu Benign monoclonal gammopathy. Secara klinik diketemukan protein monoclonal dalam serum tetapi dalam urine tidak ditemukan. Tanpa discrasia ganas. Dapat dijumpai 5-8 % pada usia diatas 50 tahun.

IMUNOLOGI TUMORDikenal beberapa jenis antigen tumor

1. Antigen khas tumor (Tumor specific antigen)2. Antigen yang berkaitan dengan tumor (Tumor associated antigen)

Contoh (AFP,Alfa feto Protein, CEA,Carcino Embrionic Antigen, keduanya dibentuk pada masa fetal dan menghilang menginjak dewasa, selanjujtnya muncul kembali sewaktu jaringan yang bersangkutan berubah menjadi tumor)

Respons immune terhadap tumor1. Respons sel T

Sel T sangat penting karena selain sebagai efektor, selT juga sebagai pemacu sel B dan unsur lainnya. Sel Th akan bereaksi pada pemajanan antigen tumor yang berikatan dengan MHC II. Oleh karena kebanyakan sel tumor memajankan MHC I, maka sel T akan bergantung kepada sel-sel penyaji antigen yang menampilkan MHC II. Setelah sensitisasi, maka sel T akan mengeluarkan berbagai limfokin yang selanjutnya akan memacu sel efektor lain seperti makrofag, sel killer lainnya.untuk menginfiltrasi dan melisiskan tumor.Sel Th juga menghasilkan TNF, tumor necrosis antigen

Sel Th beraktifitas : Mengasilkan TNF Mengeluarkan berbagai limfokin yang memacu sel efektor Terpacu langsung oleh sel tumor yang menampilkan MHC I Bergantung pada sel penyaji antigen yang menampilkan

MHC II Th memacu sel B untuk beraktifitas

21

Page 22: Pa Imunopatologi 2014

2. Respons sel BLimfokin sel T akan membantu sel B untuk berdeferensiasi dan dan berptensi memproduksi antibody spesifik terhadap tumor. Antibodi ini akan memusnahkan tumor melalui mekanisme ADCC atau melalui fiksasi Complemen. Antibodi tumor telah terbukti ada pada penderita tumor Disamping itu Limfosit B mempunyai Ig pada permukaan selnya dan kemudian menyajikannya kepada sl T.

3. MakrofagBerfungsi sebagai APC serta sel pemusnah tumor. Sebagai sel pemusnah tumor, makrofag bergantung pada sel T h yang mengeluarkan (MAF, macrofag activating tumor). Makrofag sendiri dapat menghasilkan zat-zat tumorisidal, dapat membunuh tumor yaitu TNF

4. Natural killer (NK)Mampu melisiskan tumor tanpa memerlukan sensitisasi terlebih dahulu, belum jelas cara membedakan sel tumor dan bukan tumor. Sel NK dapat melisiskan sel tumor dengan ekspresi MHC kelas I yang sedikit.Aktifitas NK dapat ditingkatkan oleh Il-2 dan interferon; sel NK juga dapat turut berperan dalam proses ADCC.

5. Mekanisme yang menyebabkan sel tumor terhindar dari respons immune Tumor mempunyai tumor antigen yang bersifat imunogenik, yang

dapat dimusnahkan oleh sistem imun tubuh manusia. Tetapi tumor masih mempunyai neoantigen yang tidak bersifat imunogenik, sehingga tidak dapat dimusnahkan oleh sistim imun, akibatnya tumor masih mampu tumbuh terus. Selama pertumbuhannya tumor antigen dapat mengalami mutasi gen sehingga neoantigen non imunogenik dapat berubah menjadi imunogenik. Tumor antigen dapat terlepas dari tomor, masuk dalam sirkulasi da melekat pada permukaan sel T atau imunoglobulin sel B sehingga terjadi blockung pada bagian yang dilekati antigen tumor dan dapat mengaganggu aktifitas limfosit T maupun B dan tidak mampu mengenal antigen tumor yang lain (yang sejenis)tumor tumbuh terus.

6. Imunoterapi munisasi baik dengan sel tumor maupun antigen tumor

hasilnya belum memuaskan.

REAKSI PENOLAKAN JARINGAN TRANSPLANTASI.Tranplantasi ada beberapa macam

a.Autografi. Tranplantasi berasal dari jaringan tubuh sendiri.

22

Page 23: Pa Imunopatologi 2014

b.Isografi / Synergeic Donor berasal dari tubuh lain yang genetic identik, misalnya dari saudara kembar identik/monozygote (synergic graft, tidak menunjukkan penolakan))c.Allografi / allogenic //homograft. Donor berasal dari spesies sama tetapi tidak genetic identik. Misalnya dari saudara kembar non identik /dizygoted.Xenograft xenogenicheterografi, Donor berasal dari spesies tidak sama misalnya dari donoe hewan, bukan sesame manusia.

Dikenal First set rejection, timbul penolakan pada transplantasi pertama dengan jaringan allograft. Dan terjadi beberapa waktu setelah transplantasi. Second set rejection, timbul reaksi penolakan pada transplantasi ulangan dengan allograft yang sama dan terjadi lebih cepat daripada firs set rejection.Phenomena lain timbul sebagai berikut: tidak timbul penolakan apabila penerima donor telah dilumpuhkan system imunitasnya terlebih dahulu, tetapi penolakan akan timbul lbila disuntikkan limfosit T dismpulkan bahwa reaksi penolakan dilakukan oleh reaksi imunologi seluler.

Faktor genetic dan imuniologik sangat berperan dalam keberhasilan program ini.

1. Faktor genetic:Pada manusia factor yang berperan dalam keberhasilan transplantasi adalah polimorfic gen MHC (mayor histocompatibility), terletak pada kromosome pendek nomer 6 dan terdiri dari dua lokus yang menyandi MHC I dan MHC IIMHC cocok antara donor dan resipien akan mengurang kemunkkina reaksi penolakan, tetapai masih ada factor lain yang ikut menentukan yait Minor histocompatibility.

2. Faktor imun: Antigen

Sel donor akan dianggap asing oleh system imun pejamu melaui pengenalan antigen HLA yang ditampilkan oleh sel donor. HLA kelas I ditampilkan di permukaan sel sel berinti (parenkhm), sedangkan HLA II ditampilkan oleh sel dendritik, monosit, dan endotel Penampilan HLA akan dipicu oleh sitokin yang dihasilkan oleh limfpsit atau makrofag.

Respons imuna.Fase aferen, Pengenalan antigen donor oleh pejamu. Yang berperan adalah sel dendritik donor yang merupakan sumber antigen HLA, yang terpajan pada limfosit T pejamu. Pemajanan antigen donor juga dimungkiklan oleh

23

Page 24: Pa Imunopatologi 2014

dilepaskannya antigen donor dan ditangkap oleh makrofag pejamu dan disajikan ke limfosi T.b.Fase sentral. Setelah limfosit T pejamu mengenal antigen donor, maka limfosit T teraktifasi dan terjadi proliferasi dan defensiasi. Th akan teraktifasi oleh antigen HLA kelas II, sedangkan sel Tc akan teraktifasi oleh antigen HLA kelas Ic.Fase eferen, Limfosit Th dan Tc setelah teraktifasi akan menjalankan fungsinya. T h akan memproduksi Il-2, Il-4 damn Il-5 yang memicu limfosi B untuk memproduksi antibodi. Limfosit Th akan membentuk interferon gamma dan sitokin yang pengaruhnya meningkatkan penampilan antigen HLA sek donor dan peningkatan ini menambah reaksi penolakan. Disamping itu, sitokin juga akan memacu reaksi makrofag untuk menginfiltrasi jaringan donor sbagai mekanisme hipersensitifitas tipe IV, Sel limfosit akan melakukan fungsi lisisnya pada sel donor yang menampilkan antigenHLA kelas I di permukaannya.

3.Jenis reaksi penolakan: Hiperakut. Terjadi segera setelah transplantasi berlangsung,

atau transplantasi sedang dikerjakan. Hal ini terjadi karena resipien mempunyai antibodi terhadap salah satu antigen donor, akibat transplantasi atau transfusi yang telah diterima sebelumnya.Antibodi ini akan merusak endotel donor yang mengakibatkan vaskulitis dan nekrosis iskhemik.

Khronik. Timbul setelah organ transplant berfungsi normal selama beberapa bulan. Kemudian timbul reaksi penolakan akibat terapi imunosupresive dihentikan; hal ini terjadi akibat sensitifitas terhadap antigen transplant atau intoleransi limfosit T.

Graft versus host (GvH). Terjadi pada trnsplantasi sungsum tulang karena sungsum tulang tidak berfungsi, kemudian diberikan persiapan imunosupresi ; setelah itu dilakukan transplantasi dengan sungsun tulang yang kaya sel-sel yang imunokompeten, akibatnya terjadilah pertemuan sungsum tulang yang mengandung imunosupresiv dan sungsum tulang dengan sel-sel imunokompeten dan terjadi perusakan sel-sel resipien oleh sungsum tulang donor.Klinis terhadi deskuamasi luas, pengelupasan epidermis..Reaksi GvH ini terutama diperankan oleh limfosi T oleh karenanya perlu dipersiapkan dengan membuang sel T sebelum transplantasi diberikan

24

Page 25: Pa Imunopatologi 2014

25

Page 26: Pa Imunopatologi 2014

26

Page 27: Pa Imunopatologi 2014

27

Page 28: Pa Imunopatologi 2014

28

Page 29: Pa Imunopatologi 2014

29

Page 30: Pa Imunopatologi 2014

30

Page 31: Pa Imunopatologi 2014

31

Page 32: Pa Imunopatologi 2014

32

Page 33: Pa Imunopatologi 2014

33

Page 34: Pa Imunopatologi 2014

34

Page 35: Pa Imunopatologi 2014

35

Page 36: Pa Imunopatologi 2014

36

Page 37: Pa Imunopatologi 2014

37

Page 38: Pa Imunopatologi 2014

5

38

Page 39: Pa Imunopatologi 2014

39

Page 40: Pa Imunopatologi 2014

40

Page 41: Pa Imunopatologi 2014

41

Page 42: Pa Imunopatologi 2014

42

Page 43: Pa Imunopatologi 2014

43

Page 44: Pa Imunopatologi 2014

44

Page 45: Pa Imunopatologi 2014

45

Page 46: Pa Imunopatologi 2014

46

Page 47: Pa Imunopatologi 2014

47

Page 48: Pa Imunopatologi 2014

48

Page 49: Pa Imunopatologi 2014

49

Page 50: Pa Imunopatologi 2014

50

Page 51: Pa Imunopatologi 2014

51

Page 52: Pa Imunopatologi 2014

52

Page 53: Pa Imunopatologi 2014

53

Page 54: Pa Imunopatologi 2014

6

54

Page 55: Pa Imunopatologi 2014

55

Page 56: Pa Imunopatologi 2014

56

Page 57: Pa Imunopatologi 2014

57

Page 58: Pa Imunopatologi 2014

58