Referat PA

8
1. Patofisiologi Tembaga adalah unsur esensial yang digunakan untuk kerja sel, walaupun tembaga dalam bentuk bebas adalah racun dan dapat menimbulkan kerusakan sel yang ireversible. Untuk menangani hal ini, tubuh memiliki molekul yang mengikat tembaga dalam proses transportasi ke tempat yang membutuhkan dan tempat eliminasi tembaga yang berlebihan melalui sistem biliaris. Protein ATP7B dan ceruloplasmin berperan dalam transportasi tembaga dalam tubuh ini (Pfeiffer, 2007). Protein ATP7B normalnya akan berhenti pada badan golgi, salah satu organela pada hepatosit, yang memediasi pemecahan enam molekul tembaga menhadi apoceruloplasmin, sebagai bahan pembentuk ceruloplasmin. Pada beberapa kondisi, protein ATP7B juga terdistribusi pada vesikel- vesikel pada sitoplasma, yang akan menerima kelebihan tembaga pada membran apikal yang akan mengalir ke kanalikulus biliaris untuk membantu ekskresi biliaris. Pada Wilson Disease, protein ATP7B mengalami mutasi, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi ini. Tembaga akan mengalami akumulasi pada hepar yang menganggu fungsi hati. Tembaga dalam bentuk bebas akan keluar dari hepar saat kapasitas hepar berlebih dan tembaga tersebut akan terakumulasi pada organ dan jaringan lain, yang akan memicu kerusakan dan disfungsi. Ekskresi tembaga melalui urin akan bertambah drastis, tetapi tidak bisa memperbaiki defek dari ekskresi biliaris. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan sel dari Wilson Disease

description

good

Transcript of Referat PA

1. PatofisiologiTembaga adalah unsur esensial yang digunakan untuk kerja sel, walaupun tembaga dalam bentuk bebas adalah racun dan dapat menimbulkan kerusakan sel yang ireversible. Untuk menangani hal ini, tubuh memiliki molekul yang mengikat tembaga dalam proses transportasi ke tempat yang membutuhkan dan tempat eliminasi tembaga yang berlebihan melalui sistem biliaris. Protein ATP7B dan ceruloplasmin berperan dalam transportasi tembaga dalam tubuh ini (Pfeiffer, 2007).

Protein ATP7B normalnya akan berhenti pada badan golgi, salah satu organela pada hepatosit, yang memediasi pemecahan enam molekul tembaga menhadi apoceruloplasmin, sebagai bahan pembentuk ceruloplasmin. Pada beberapa kondisi, protein ATP7B juga terdistribusi pada vesikel-vesikel pada sitoplasma, yang akan menerima kelebihan tembaga pada membran apikal yang akan mengalir ke kanalikulus biliaris untuk membantu ekskresi biliaris. Pada Wilson Disease, protein ATP7B mengalami mutasi, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi ini. Tembaga akan mengalami akumulasi pada hepar yang menganggu fungsi hati. Tembaga dalam bentuk bebas akan keluar dari hepar saat kapasitas hepar berlebih dan tembaga tersebut akan terakumulasi pada organ dan jaringan lain, yang akan memicu kerusakan dan disfungsi. Ekskresi tembaga melalui urin akan bertambah drastis, tetapi tidak bisa memperbaiki defek dari ekskresi biliaris. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan sel dari Wilson Disease merupakan efek langsung dari tembaga yang berlebihan. Studi terbaru menunjukkan adanya reduksi pada protein, penghambat apoptosis sel X-linked (XIAP), diinduksi elevasi temabaga, mengakibatkan ada kenaikan dari caspase-3-initiated, suatu enzim yang berfungsi untuk meningkatkan kematian sel (Pfeiffer, 2007).Akibat adanya defek pada protein ATP7B yang tidak dapat membentuk apoceruloplasmin, terjadi defisiensi ceruloplasmin, yang merupakan salah satu ciri khas dari Wilson Disease. Tetapi, kekurangan ceruloplasmin ini bukan suatu gold standard dari diagnosis. Sekitar 5-15% dari pasien Wilson Disease memiliki ceruloplasmin yang normal atau sedikit menurun, dimana 10-20% heterozigot memiliki gejala asimptomatik walaupun memiliki ceruloplasmin dengan kadar yang kurang dari normal (Pfeiffer, 2007).Penyakit akibat gangguan resesif autosomal dimana defek primernya adalah kegagalan ekskresi tembaga ke dalam empedu. Akumulasi tembaga dalam hati menghambat pembentukan seruloplasmin. Bila sudah melewati kemampuan penyimpanan pada hepatosit, tembaga akan dilepaskan ke dalam darah dan tersimpan dala beberapa organ dan menimbulkan beberapa efek, misalnya pada hati, akan menimbulkan ikterus, hepatomegalis, dan sirosis hepatis, demensia dan labilitas emosional bila mengenai serebrum, osteoporosis, osteosrtritis, anemia hemolitik, dan asidosis tubulus renalis pada kasus yang jarang (Rubenstein, 2005).2. Penegakan diagnosis

a. Anamnesis

Dari hasil anamnesis dapat ditemukan beberapa gejala dan tanda yang sesuai dengan patofisiologi dari Wilson Disease. Penyakit yang merupakan penyakit yang dibawa secara genetik autosom resesif ini dapat menimbulkan keluhan pada beberapa organ yang mengalami kerusakan. Biasanya pasien akan mengeluhkan adanya edema pada ekstremitas atau abdomen, mudah lelah, gangguan pada bicara, menelan, atau koordinasi fisik, tremor atau pergerakan tidak terkontrol, kelemahan otot, dan perubahan perilaku (NIDDK, 2014).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pasien yang dicurigai menderita Wilson Disease akan diperiksa menggunakan lampu untuk melihat tanda Kayser-Fleischer pada mata. Tanda Kayser-Fleischer adalah sebuah timbunan tembaga berwarna coklat di tepi mata mengelilingi pupil. Kornea tampak membran luar yang transparan yang menutupi mata. Tanda ini menunjukkan adanya gangguan neurologis, tapi hanya muncul pada 50% pasien dengan tanda gangguan hati. Dapat pula ditemukan pembengkakan pada hepar dan spleen, serta ikterus pada sklera dan kulit pada pemeriksaan fisik (NIDDK, 2014).

Tumpukan tembaga dalam berbagai organ, misalnya di hati, dapat menyebabkan insufisiensi hepar dan sirosis, yang dapat dikenali dari beberapa gejala, yaitu asites, spider navi, eritema palmaris, jari tabuh, hematemesis, dan ikterus. Selain itu, bila terdapat deposisi tembaga pada ganglia basalis, dapat menyebabkan disfagia, inkoordinasi, kesulitan menggerakan otot motorik, dan lain-lain (Roberts, 2008).

c. Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium yang dapat mengukur kadar tembaga dan darah, urin, dan jaringan hepar merupakan tes yang paling utama untuk mendeteksi Wilson Disease. Sebagian besar orang dengan Wilson Disease memiliki kadar tembaga yang lebih rendah daripada nilai normalnya dalam darah. Selain itu, ceruloplasmin, protein yang membawa tembaga ke aliran darah juga ikut berkurang. Pada kasus gagal hati akut karena Wilson Disease, kadar dari tembaga sedikit naik. Pada urin koleksi 24 jam ditemukan adanya kadar tembaga yang meningkat, terutama pada pasien yang menunjukkan gejala. Bila dilakukan biopsi hepar, akan ditemukan banyak unsur tembaga pada hepar. Analisis dari jaringan hepar yang dibiopsi dengan mikroksop dapat mendeteksi kerusakan hepar, yang memiliki pola khusus pada Wilson Disease. Biopsi hati juga bermanfaat untuk pengukuran kandungan tembaga hari, yang akan meningkat pada penyakit ini. Tes genetik juga dapat membantu diagnosis, karena penyakit ini memiliki hubungan dengan riwayat penyakit keluarga (NIDDK, 2014). Selain itu, dapat pula diperiksa menggunakan radiasi sinar X yang tidak sensitif, dan deteksi elektrolitas elektron dengan lisosom hepatosit yang berisi. Lisosom hepatosit yang mengandung tembaga berguna untuk mendiagnosis tahap awal dari Wilson Disease, dengan tambahan pemeriksaan kuantifikasi tembaga hati menggunakan spektrofotometri absorbsi atomik (Gilroy, 2014; Kliegman, 2011).d. Gambaran histopatologi

Gambar..... Biopsi dari Wilson Disease (Gilroy, 2014)

Gambar.... Biopsi dari Wilson Disease dengan steatosis (1) dan inflamasi fokal (2) dengan pewarnaan HE (Yokoyama, 2010)

Gambaran paling awal dari histopatologi pada hepar termasuk steatosis, baik mikronodular maupun makronodular, nukleus dengan glikogen pada hepatosit, dan nekrosis hepatoseluler fokal. Biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran histologi pada hepatitis autoimun. Dengan kerusakan parenkim yang progresif, fibrosis dengan perkembangan menuju sirosis hepatis. Sirosis biasanya ditemukan pada pasien pada usia dekade kedua dengan sebagian besar bentuknya adalah makronodular. Terdapat beberapa pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda sirosis, memiliki gangguan neurologi, dan histologi dari hepar abnormal. Pada gagal hati akut akibat Wilson Disease, terdapat degenerasi hepatoseluler dan parenkim hepar, yang dapat menjadi awal terbentuknya sirosis. Apoptosis hepatosit adalah suatu lesi khas yang menyebabkan gagal hati akut akibat Wilson Disease. Lesi mungkin tidak bisa dibedakan dari heaptitis kronis aktif, yang memiliki gambaran perubahan lemak, hepatosis balon, granula glikogen, radang minimal, dan pembesaran sel Kuppfer. Perubahan ultrastruktural adalah mitokondria besar dan padar dengan perubahan retikulum endoplasmik halus. (Kliegman, 2011Roberts, 2008).e. Prognosis

Pasien dengan indeks prognosis lebih dari sama dengan tujuh dipertimbangkan untuk mendapatkan transplantasi hepar. Semua pasien yang berkaitan dengan studi indeks prognosis ini meninggal dalam waktu 2 bulan setelah diagnosis, diakibatkan karena pengobatan yang tidak optimal. Prognosis pasien yang menjalani transplantasi hepar cenderung bagus. Studi menunjukkan 55 pasien dengan Wilson Disease yang mendapat transplantasi hepar, 1-year survival rate sebesar 79%, dan dapat bertahan selama 3 bulan sampai 20 tahun sebesar 72%. Studi lain menunjukkan dari 32 pasien dengan transplantasi hepar akibat Wilson Disease, dilaporkan 1-year survival rate sekitar 90,6%, 5-year survival rate 83,7%, dan 10-year survival rate sebesar 79,9%. Pasien yang meninggal dengan penyakit ini dikarenakan adanya komplikasi pada hati, saraf, ginjal dan hematologis. Transplantasi hari harus dipertimbangkan untuk penderita dengan penyakit hati fulminan. Pada saudara penderita yang terkena tanpa gejala, ekspresi penyakit dapat dicegah dengan pemberian terapi khelasi awal. Prognosis dari Wilson Disease ini juga ditentukan dari adanya gangguan hati yang muncul sebelum gangguan neurologis dan derajat sirosis hepatis (Hull, 2008; Kliegman, 2011;Yoshitoshi, 2009).Tabel..... Indeks Prognosis pada Fulminant Wilsonian Hepatitis (Yoshitoshi, 2009)

Skor01234

Bilirubin serum (mmol/L)300

Serum aspartate transaminase (IU/L)300

Perpanjangan waktu protrombin (detik)20

Gilroy, Richard K. 2014. Wilson DiseaseWorkup. Medscape.

NIDDK. 2014. Wilson Disease. Available at: http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/wilson/#screen (diakses pada 10 Juni 2014)Pfeiffer, Ronald F. 2007. Wilsons Disease. Semin Neurol. 2007 April;27(2):123-132.Roberts, Eve A. and Michael L. Schilsky. 2008. Diagnosis and Treatment of Wilson Disease: An Update. Hepatology, Vol. 47, No. 6, 2008Yokoyama, Sandy Cope, Milton J Finegold, Giacomo Carlo Sturniolo, Kyoungmi Kim, Claudia Mescoli, Massimo Rugge, et al. 2010. Wilson disease: Histopathological correlations with treatment on follow-up liver biopsies. World J Gastroenterol. Mar 28, 2010; 16(12): 14871494.Yoshitoshi, EY, Takada Y, Oike F, et al. 2009. Long-term outcomes for 32 cases of Wilson's disease after living-donor liver transplantation.Transplantation. Jan 27 2009;87(2):261-7.[Medline].Kliegman, Robert M, Bonita, Stanton. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier Saunders.Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley, 2005. Kedokteran Klinis Edisi 6. Jakarta: Erlangga Medical Series

Hull, David, Derek I. Johnston. 2008. Dasar-dasar Pediatrik Edisi 3. Jakarta: EGC.2

1