OVERRIDE PARADE: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUTAN …

19
ISSN 16935969 Media Wi https://amptajurnal.ac.id/index.p Doi: 10.36276/mws/v17i2 OVERRIDE PARADE DESTI Politeknik Pariw Pariwisa yang tid dari tiga bentuk i mempro ekologis itu yan dikaitka jauh dar 67 artik serta la melihat bagaimana sebenarn Indonesiaadalah overtourism pariwisata harus dipahami luas.Rekomendasi dari tulisa sustainable mobilities melal pariwisata dapat dilihat sec pariwisata. Keywords: pariwisata berkela big data OVERRIDE PARADE: SU D Tourism today has a probl sustainability goals. Despite tourism authorities worlwide and social limits of living on Indonesia overtourism and facing.Therefore this article a wider context of sustainabili sufficiency approach to touri Recommendations include Su strategies for development an sustainable mobility through from approach that be analyze problems. Keywords: sustainable touris data Histori Artikel Submitted: 1 September 2019 Reviewed: 14 September 2019 Accepted: 1 Oktober 2019 Published: 15 November 2019 isata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 php/MWS E: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUT INASI KEPULAUAN DI INDONESIA Putu Diah Sastri Pitanatri wisata Bali, Bali, Indonesia, Email:[email protected] ABSTRAK ata saat ini memiliki masalah; relatif kecand dak sesuai dengan tujuan keberlanjutan.Mesk a decade pariwisata berkelanjutan terus dide ideal dari pariwisata; otoritas pariwisata di s omosikan aspek-aspek pertumbuhan mesk s dan social telah menjadi isu strategis di ba ng menjadi permasalahan kemudian, par an dengan berbagai isu yang relative memil ri pariwisata itu sendiri. Dengan melakukan kel baik dari prosiding, jurnal nasional dan i aporan dari lembaga nasional dan interna nya esensi dasar dari permasalahan uta mdan tourism leakage.Karena itu tulisan ini b dan dikelola dengan konteks keberlan an ini diantaranya dibutuhkan riset-riset lui big data sehingga beragam pendekat cara real time dan menyasar langsung p anjutan, overtourism, tourism leakage, sustain USTAINABLE TOURISM ISSUES IN ISLA DESTINATION IN INDONESIA ABSTRACT lem. It is addicted to growth, which is three decades discussing pathways to su has continue to promote tourism growth des n a finite planet. Looking to it’s case to isl tourism leakage are two major problem argues that tourism must be understood an ity. Additionally, strategic approaches to ism and leisure is essential if sustainability ustainable Mobilities, fostering diverse appr nd regulating and managing tourism. An up big data is reccomended to further diverse zed in real time and directly targeted at touri sm, overtourism, tourism leakage, sustainable EISSN 26858436 TAN PADA om duan pertumbuhan, kipun selama lebih dengungkan sebagai seluruh dunia tetap kipun keterbatasan anyak negara.Selain riwisata seringkali liki spectrum yang n studi literatur dari internasional, buku, asional, artikel ini ama sector ini di berpendapat bahwa njutan yang lebih terbarukan seperti tan untuk strategi pada permasalahan nable mobilities, ANDS TOURISM incompatible with ustainable tourism, spite the ecological land destination in m the industry are nd managed with a transitioning to a y is to be secured. roaches to tourism pgraded reseach in e tourism strategies ism and destination e mobilities, big

Transcript of OVERRIDE PARADE: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUTAN …

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWSDoi: 10.36276/mws/v17i2

OVERRIDE PARADE: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUTAN PADADESTINASI KEPULAUAN DI INDONESIA

Putu Diah Sastri PitanatriPoliteknik Pariwisata Bali, Bali, Indonesia, Email:[email protected]

ABSTRAK

Pariwisata saat ini memiliki masalah; relatif kecanduan pertumbuhan,yang tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan.Meskipun selama lebihdari tiga decade pariwisata berkelanjutan terus didengungkan sebagaibentuk ideal dari pariwisata; otoritas pariwisata di seluruh dunia tetapmempromosikan aspek-aspek pertumbuhan meskipun keterbatasanekologis dan social telah menjadi isu strategis di banyak negara.Selainitu yang menjadi permasalahan kemudian, pariwisata seringkalidikaitkan dengan berbagai isu yang relative memiliki spectrum yangjauh dari pariwisata itu sendiri. Dengan melakukan studi literatur dari67 artikel baik dari prosiding, jurnal nasional dan internasional, buku,serta laporan dari lembaga nasional dan internasional, artikel ini

melihat bagaimana sebenarnya esensi dasar dari permasalahan utama sector ini diIndonesiaadalah overtourismdan tourism leakage.Karena itu tulisan ini berpendapat bahwapariwisata harus dipahami dan dikelola dengan konteks keberlanjutan yang lebihluas.Rekomendasi dari tulisan ini diantaranya dibutuhkan riset-riset terbarukan sepertisustainable mobilities melalui big data sehingga beragam pendekatan untuk strategipariwisata dapat dilihat secara real time dan menyasar langsung pada permasalahanpariwisata.

Keywords: pariwisata berkelanjutan, overtourism, tourism leakage, sustainable mobilities,big data

OVERRIDE PARADE: SUSTAINABLE TOURISM ISSUES IN ISLANDS TOURISMDESTINATION IN INDONESIA

ABSTRACT

Tourism today has a problem. It is addicted to growth, which is incompatible withsustainability goals. Despite three decades discussing pathways to sustainable tourism,tourism authorities worlwide has continue to promote tourism growth despite the ecologicaland social limits of living on a finite planet. Looking to it’s case to island destination inIndonesia overtourism and tourism leakage are two major problem the industry arefacing.Therefore this article argues that tourism must be understood and managed with awider context of sustainability. Additionally, strategic approaches to transitioning to asufficiency approach to tourism and leisure is essential if sustainability is to be secured.Recommendations include Sustainable Mobilities, fostering diverse approaches to tourismstrategies for development and regulating and managing tourism. An upgraded reseach insustainable mobility through big data is reccomended to further diverse tourism strategiesfrom approach that be analyzed in real time and directly targeted at tourism and destinationproblems.

Keywords: sustainable tourism, overtourism, tourism leakage, sustainable mobilities, bigdata

Histori Artikel

Submitted:1 September 2019

Reviewed:14 September 2019

Accepted:1 Oktober 2019

Published:15 November 2019

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWSDoi: 10.36276/mws/v17i2

OVERRIDE PARADE: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUTAN PADADESTINASI KEPULAUAN DI INDONESIA

Putu Diah Sastri PitanatriPoliteknik Pariwisata Bali, Bali, Indonesia, Email:[email protected]

ABSTRAK

Pariwisata saat ini memiliki masalah; relatif kecanduan pertumbuhan,yang tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan.Meskipun selama lebihdari tiga decade pariwisata berkelanjutan terus didengungkan sebagaibentuk ideal dari pariwisata; otoritas pariwisata di seluruh dunia tetapmempromosikan aspek-aspek pertumbuhan meskipun keterbatasanekologis dan social telah menjadi isu strategis di banyak negara.Selainitu yang menjadi permasalahan kemudian, pariwisata seringkalidikaitkan dengan berbagai isu yang relative memiliki spectrum yangjauh dari pariwisata itu sendiri. Dengan melakukan studi literatur dari67 artikel baik dari prosiding, jurnal nasional dan internasional, buku,serta laporan dari lembaga nasional dan internasional, artikel ini

melihat bagaimana sebenarnya esensi dasar dari permasalahan utama sector ini diIndonesiaadalah overtourismdan tourism leakage.Karena itu tulisan ini berpendapat bahwapariwisata harus dipahami dan dikelola dengan konteks keberlanjutan yang lebihluas.Rekomendasi dari tulisan ini diantaranya dibutuhkan riset-riset terbarukan sepertisustainable mobilities melalui big data sehingga beragam pendekatan untuk strategipariwisata dapat dilihat secara real time dan menyasar langsung pada permasalahanpariwisata.

Keywords: pariwisata berkelanjutan, overtourism, tourism leakage, sustainable mobilities,big data

OVERRIDE PARADE: SUSTAINABLE TOURISM ISSUES IN ISLANDS TOURISMDESTINATION IN INDONESIA

ABSTRACT

Tourism today has a problem. It is addicted to growth, which is incompatible withsustainability goals. Despite three decades discussing pathways to sustainable tourism,tourism authorities worlwide has continue to promote tourism growth despite the ecologicaland social limits of living on a finite planet. Looking to it’s case to island destination inIndonesia overtourism and tourism leakage are two major problem the industry arefacing.Therefore this article argues that tourism must be understood and managed with awider context of sustainability. Additionally, strategic approaches to transitioning to asufficiency approach to tourism and leisure is essential if sustainability is to be secured.Recommendations include Sustainable Mobilities, fostering diverse approaches to tourismstrategies for development and regulating and managing tourism. An upgraded reseach insustainable mobility through big data is reccomended to further diverse tourism strategiesfrom approach that be analyzed in real time and directly targeted at tourism and destinationproblems.

Keywords: sustainable tourism, overtourism, tourism leakage, sustainable mobilities, bigdata

Histori Artikel

Submitted:1 September 2019

Reviewed:14 September 2019

Accepted:1 Oktober 2019

Published:15 November 2019

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWSDoi: 10.36276/mws/v17i2

OVERRIDE PARADE: ISU-ISUPARIWISATA BERKELANJUTAN PADADESTINASI KEPULAUAN DI INDONESIA

Putu Diah Sastri PitanatriPoliteknik Pariwisata Bali, Bali, Indonesia, Email:[email protected]

ABSTRAK

Pariwisata saat ini memiliki masalah; relatif kecanduan pertumbuhan,yang tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutan.Meskipun selama lebihdari tiga decade pariwisata berkelanjutan terus didengungkan sebagaibentuk ideal dari pariwisata; otoritas pariwisata di seluruh dunia tetapmempromosikan aspek-aspek pertumbuhan meskipun keterbatasanekologis dan social telah menjadi isu strategis di banyak negara.Selainitu yang menjadi permasalahan kemudian, pariwisata seringkalidikaitkan dengan berbagai isu yang relative memiliki spectrum yangjauh dari pariwisata itu sendiri. Dengan melakukan studi literatur dari67 artikel baik dari prosiding, jurnal nasional dan internasional, buku,serta laporan dari lembaga nasional dan internasional, artikel ini

melihat bagaimana sebenarnya esensi dasar dari permasalahan utama sector ini diIndonesiaadalah overtourismdan tourism leakage.Karena itu tulisan ini berpendapat bahwapariwisata harus dipahami dan dikelola dengan konteks keberlanjutan yang lebihluas.Rekomendasi dari tulisan ini diantaranya dibutuhkan riset-riset terbarukan sepertisustainable mobilities melalui big data sehingga beragam pendekatan untuk strategipariwisata dapat dilihat secara real time dan menyasar langsung pada permasalahanpariwisata.

Keywords: pariwisata berkelanjutan, overtourism, tourism leakage, sustainable mobilities,big data

OVERRIDE PARADE: SUSTAINABLE TOURISM ISSUES IN ISLANDS TOURISMDESTINATION IN INDONESIA

ABSTRACT

Tourism today has a problem. It is addicted to growth, which is incompatible withsustainability goals. Despite three decades discussing pathways to sustainable tourism,tourism authorities worlwide has continue to promote tourism growth despite the ecologicaland social limits of living on a finite planet. Looking to it’s case to island destination inIndonesia overtourism and tourism leakage are two major problem the industry arefacing.Therefore this article argues that tourism must be understood and managed with awider context of sustainability. Additionally, strategic approaches to transitioning to asufficiency approach to tourism and leisure is essential if sustainability is to be secured.Recommendations include Sustainable Mobilities, fostering diverse approaches to tourismstrategies for development and regulating and managing tourism. An upgraded reseach insustainable mobility through big data is reccomended to further diverse tourism strategiesfrom approach that be analyzed in real time and directly targeted at tourism and destinationproblems.

Keywords: sustainable tourism, overtourism, tourism leakage, sustainable mobilities, bigdata

Histori Artikel

Submitted:1 September 2019

Reviewed:14 September 2019

Accepted:1 Oktober 2019

Published:15 November 2019

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 132

PENDAHULUANSejak dijadikannya sebagai sektor unggulanpembangunan nasional, pemerintahIndonesia melalui program Nawa Cittamenjadikan pariwisata sebagai salah satucoreeconomy. Pariwisata dianggap sangat vitaluntuk pembangunan ekonomi karena dapatmenciptakan lapangan kerja, meningkatkanpendapatan bisnis lain, dan dapat mendorongpemerintah daerah membangun danmemelihara infrastruktur.Keseriusanpemerintah ditandai dengan penerbitanPeraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun2016 tentang Percepatan Pelaksanaan ProyekStrategis Nasional. Melalui Perpres ini,pemerintah melakukan percepatanpembangunan infrastruktur transportasi,listrik dan air bersih guna menunjangpengembangan kawasan pariwisataunggulan.

Selain itu, didasarkan amanat RPJMN 2015-2019 bidang infrastruktur, DirektoratJenderal Cipta Karya Kementerian PekerjaanUmum dan Perumahan Rakyat(KemenPUPR) mendukung pengembanganekonomi lokal dan pariwisata melalui duajenis dukungan. Pertama, sebagai pelakulangsung ekonomi, yang mencakuppenyediaan ruang terbuka publik/hijau,pengembangan gedung hijau, dan mendorongekonomi lokal melalui penyediaaninfrastruktur.Kedua, sebagai pendukungpengembangan ekonomi, antara lain meliputipenyediaan infrastruktur permukiman padakawasan ekonomi kreatif (air minum,sanitasi, jalan lingkungan),penerapanbantuan Gedung, dan FasilitasiPemda melalui program Kota Hijau dan KotaPusaka.

Pariwisata disebut mampu menghadirkanbelanja wisatawan yang langsung diterimaoleh masyarakat lokal sehingga diproyeksidapat menjadi alat pemerataan ekonomipaling ampuh yang mampu menyentuhhingga ke level bawah masyarakat.Pariwisatajuga diyakini sebagai komoditas yang palingberkelanjutan dan menyentuh hingga ke levelbawah masyarakat. Setiap tahun, performapariwisata Indonesia menanjak di saat

beberapa komoditas lain, seperti minyak, gas,batu bara, serta kelapa sawit terusmerosot.Dalam angka, untuk tahun 2019 inipariwisata diproyeksikan mampumenyumbang produk domestik bruto sebesar15%, Rp 280 triliun untuk devisa negara, 20juta kunjungan wisatwan mancanegara, 275juta perjalanan wisatawan nusantara danmenyerap 13 juta tenaga kerja pada tahun2019 (Kompas, 2018; SindoNews, 2018).Lebih jauh, sektor pariwisata diyakinimampu menciptakan pusat-pusatpertumbuhan ekonomi yang tersebar diseluruh negeri.Sebagai sektor “super”,pariwisata juga diharapkan mampu berperansebagai “pil-ajaib” yang mampumenyembuhkan segala macam penyakitkronis Negara ini.

"Diharapkan pula mampu memutusrantai kemiskinan, pengangguran, jugakesenjangan dengan cepat dan tepat,"Arief Yahya, Menteri Pariwisata(Republika, 2017)

Over-promise inilah yang kemudian menjadititik awal permasalahan pengembangankepariwisataan di Indonesia yang menjaditerlalu addicted to growth. Seringkali saatsebuah destinasi populer karena pariwisata,maka seluruh permasalahan akan ditujukanpada sektor ini. Mulai dari kemacetan,narkoba, seks bebas, isu lingkungan sepertisampah dan alih fungsi lahan sampaiperubahan budaya menjadi “karenapariwisata”.Pertayaannya kemudian, kemanasector-sektor lainnya?Sebagai contoh, saatsebuah destinasi kesulitan air, maka yangbermasalah adalah pariwisata. Sedikit sekaliyang melihat permasalahan ini sebagai akibatdari pertumbuhan penduduk, perusahaan airmineral dalam kemasan dan climate changeyang menyebabkan perubahan iklim globalsehingga air menjadi sulit.

Memang tidak dapat dipungkiri pariwisatatentu memberi dampak baik positif maupunnegative pada sebuah destinasi, namunsebagai peneliti pariwisata makapermasalahan seharusnya dilihat darikacamata pariwisata. Selain itu, dalam studi-

133 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

studi sebelumnya cukup banyak literaturyang menekankan adanya multiplyer effectdari pariwisata (Hughes, 1994; Adams danParmenter, 1995; Zhou et al, 1997; Dwyer etal, 2000; Blake dan Sinclair, 2003; Dwyer etal, 2006; Blake et al, 2008; Pratt dan Blake,2009). Oleh sebab itu, artikel hanya ini akanmembahas dua pokok permasalah sebagaidampak langsung dari pertumbuhanpariwisata yang terlalu pesat di suatudestinasi sehingga berimpliasi terhadapkeberlanjutannya, yaitu: overtourismdantourism leakageUntuk mempertajambahasan, artikel ini hanya membatasi padakonteks destinasi kepulauan di Indonesia.

LITERATIR REVIEW

Pentingnya aspek keberlanjutan pada sectorpariwisata telah menjadi prioritas oraganisasidunia seperti United Nations, Bank Dunia,Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO),World Travel & Tourism Council (WTTC)dan World Wide Fund for Nature. MenurutSaarinen (2006), 'istilah dan gagasankeberlanjutan dialihkan ke pariwisata dariideologi pembangunan berkelanjutan setelahpublikasi laporan Komisi Brundtland padaStockholm Conference on Human andEnvironment“Our Common Future” padatahun 1987', mendefinisikan pembangunanberkelanjutan sebagai berikut: sustainabledevelopment is defined as a process ofmeeting the present needs withoutcompromising the ability of the futuregenerations to meet their own needs(WCED,1987).

Secara singkat dapat dijelaskan bahwapembangunan berkelanjutan merupakansuatu proses pembangunan yang berusahauntuk memenuhi kebutuhan (segala sesuatuyang kita nikmati) sekarang dan selanjutnyadiwariskan kepada generasi mendatang. Jadi,dengan pola pembangunan berkelanjutangenerasi sekarang dan generasi yang akandatang mempunyai hak yang sama untukmenikmati alam beserta isinya ini.

Dalam laporan yang sama disebutkan jugakonsep pembangunan berkelanjutan sebagai

suatu proses yang memenuhi kebutuhangenerasi sekarang tanpa membahayakankemampuan generasi mendatang untukmemenuhi kebutuhan mereka sendiri(WCED, 1987). Dalam konsep ini, prinsip-prinsip keberlanjutan dirancang untukmemanfaatkan sumber daya secara optimalsambil secara simultan melindungi danmeningkatkannya (Butler, 1999; Saarinen,2006; Cawley dan Gillmor, 2007).

…the drive towards sustainable tourismhas been prompted by concerns aboutthe tourismenvironment relationship aswell as interest in developing conceptsthat might help bring this relationshipmore in line with the ideology of “OurCommon Future” (WCED, 1987).

Jika merujuk pada lingkup akademis;Bramwell dan Lane (1993) menyebutkanbahwa istilah pariwisata berkelanjutan(sustainable tourism) pertama kali ada dalampublikasi di tahun 1973 (oleh Dasmann et al.,1973) yang kemudian menjadi salah satupertimbangan politis di tahun 1980 dalamWorld Conservation Strategy (IUCN,1980dalam Mihalic 2016). Semenjak saatitu, pariwisata model ini digaungkan sebagaiprinsip-pripsip pembangunan yangbertemakan keberlanjutan. Prinsip ini – yangkemudian dikenal dengan istilah the threepillars atau the three elements ofsustainability merupakan prinsip yangdiadopsi dari pembangunan berkelanjutan(UNEP & WTO, 2005). Ketiga prinsip ituekonomi, lingkungan serta keberlanjutansisial budaya kemudian menjadi konsepdasar penelitian-penelitian yang bertemakanpariwisata berkelanjuan.

Lebih lanjut, United Nation EnvironmentalProgramme (UNEP, 2009) menekankanperbedaan antara pertumbuhan pariwisata(tourism growth) dan pembangunanpariwisata (tourism development).Secararingkas, penambahan jumlah pengunjungadalah indikator utama pertumbuhanpariwisata.Sementara pembangunanpariwisata ditandai dengan terjadinyapertumbuhan pendapatan dan penyerapantenaga kerja lokal serta manfaat lingkungan

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 134

yang disebabkan karena aktivitas pariwisatayang dilakukan berdasarkan daya dukunglingkungan.Perbedaan antara pertumbuhandan pembangunan pariwisatamengimplikasikan bahwa pembangunanpariwisata adalah pariwisata berkelanjutan,sementara pertumbuhan pariwisata belumtentu berkelanjutan.

UNWTO (2011) menekankan suatu kondisiideal, yaitu bahwa semua pariwisataseharusnya merupakan kegiatan yangberkelanjutan.Namun yang terjadi yaitumasih banyak negara, daerah dan entitasresmi yang belum memahami hal ini.Sebagaiakibatnya, keuntungan yang sebesar-besarnya dikejar dengan cara mengorbankan

dan pada akhirnya merusak sumberdayapariwisata.Dunia kemudian mengenalpariwisata dua kutub yaitu konvensional danberkelanjutan.

Sesungguhnya terdapat perbedaan yangsubstansial antara pariwisata biasa ataukonvensional dan pariwisata berkelanjutan.Inti pariwisata berkelanjutan yaitu bahwakegiatan pariwisata secara lingkungan tidakmerusak alam, secara budaya dan sosial tidakmengubah tatanan masyarakat, dan secaraekonomi memberikan dampak positif bagimasyarakat lokal. Dilihat dari beberapaindikator, berikut perbedaan antarapariwisata konvensional dan berkelanjutan.

Tabel 1. Perbedaan Pariwisata Konvensional dengan Pariwisata Berkelanjutan

Indikator Pariwisata Konvensional Pariwisata Berkalanjutan1. Tujuan

UtamaProfit sebagai satu-satunya tujuanutama

Direncanakan dengan tiga tujuan, yaitukeuntungan, lingkungan, dan masyarakat

2. Perencanaan(planning)

Seringkali tidak dirancang sebelumnyabaik oleh penyedia jasa maupunpengunjung

Umumnya memiliki proses perencanaanyang baik, jauh hari sebelum destinasi itudibuka untuk turis dan umumnyamelibatkan berbagai pihak

3. Orientasi Kepuasan pengunjung/wisatawan saja Berorientasi kepentingan bersama,terfokus pada kepentingan lokal

4. FungsiKontrol

Dikontrol orang luar/investor yangmengutamakan profit

Dikontrol dan dikelola sebagian besaratau seluruhnya orang lokal atau “greeninvestor” yang mengutamakankeuntungan bagi orang lokal

5. Fokuskunjungan

Fokus untuk menyenangkanwisatawan – yang seringkalimenciptakan tourist bubble padadestinasi tersebut (misal membukarestoran khusus untuk wisatawan dariNegara A)

Fokus untuk memberi pengalamankepada pengunjung (creatingexperiences) dimana wisatwan misalnyadiajak untuk menikmati makanan lokal

6. AspekKonservasilingkungan

Konservasi bukan menjadi prioritas Konservasi merupakan prioritas

7. Masyarakatlokal

Masyarakat lokal bukan prioritaspengembangan. Hal ini seringberujung pada tenaga kerja yangbukan dari mayarakat lokal karenapengalaman yang ingin diciptakanbukan local expertise dari destinasitersebut

Masyarakat adalah prioritas karenamerekalah yang berperan dalampenciptaan experience untuk wisatawan.Oleh sebab itu ada apresiasi akan budayalokal.

8. Profit sharing Lebih besar porsi keuntungandinikamti orang luar sebagai investordan operator

Porsi pendapatan terbesar mengalir kemasyarakat lokal

Dari berbagai sumber, konstruk penulis, 2019

Meskipun demikian, secara empiris dapatdilihat bahwa penekanan terhadapkeberlanjutan ekonomis di industry

pariwisata mendapat prioritas tertingisementara aspek lingkungan merupakanprioritas terendah (Blackstock et al., 2008;

135 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Bohdanowicz et al., 2005; Bramwell et al.,2008; Mihaliec et al., 2012). Seolah-olahlebih mudah menerapkan agendakeberlanjutan bagi sector publicdibandingkan swasta karena bagainapun jugakeuntungan perusahaan adalah top notchpriority dibandingkan lainnya.

Berbeda halnya dengan turunan dari prinsipkeberlanjutan seperti konsep the triplebottom line (TBL) atau corporate socialresponsibility (CRS) yang sejatinya lebihmendekati industry sehingga dapatdiadaptasikan dan diaplikasikan secaralangsung.Keengganan industry untukberbicara keberlanjutan melahirkan istilahbaru seperti green tourism,sebagai sinonimdari terminology ini. Dalam konsep moderndiskusi dan debat terkait perbedaansustainable, CSR, TBL ataugreentourismmenjadi kontra produktif karenasejatinya seluruh terminologi ini merujukpada ketiga pilar yang sama.

Yang menarik,berkembang juga konsepyang disebut sebagai pariwisata bertanggungjawab atau responsible tourism yang menjadiwarna dari pariwisata berkelanjutan. Jikasustainable tourism lebih kepada konsepmakro, maka responsible tourism lebihkepada aspek bisnisnya. Konsep ini telahada sejak tahun 1980an, dengan kajian-kajianyang berfokus pada permasalahanlingkungan dalam lingkup pariwisata(Bramwell et al., 2008; Butler, 1995;Chettiparamb and Kokkranikal, 2012;Goodwin, 2011; Leslie, 2012b, 2012c).

Bertentangan dengan konsensus relatif padamakna tiga pilar pada pariwisataberkelanjutan, yang diamati sebagai sebuahkonsep, gagasan pariwisata yangbertanggung jawab (atau responsibletourism) belum begitu kuat atau seringditerapkan. Menurut beberapa penulis,responsibility dan responsible tourismdapatberarti "apa saja" (Chettiparamb danKokkranikal, 2012, hlm. 302; van Marrewijk,2003), dan penggunaannya tidak menambahpemahaman konseptual tentang pariwisata.Literatur dan studi yang ada tentangpariwisata yang bertanggung jawab

mengungkapkan banyak pemahaman yang:bervariasi mengenai apakah subjeknyaadalah konsep, teori atau praktik (Leslie,2012a, b, c); apakah kemudian melibatkanberbagai pemangku kepentingan dan tujuanyang berbeda; ataukah model inimenciptakanpariwisata yang ramah lingkungan ataumenciptakan tempat yang lebih baik bagimasyarakat lokal untuk tinggal dan turisuntuk berkunjung (RTP, 2002). Dalam kajianliterature lebih lanjut, ditemukan pemahamanbahwa pariwisata model ini berfokus padakonsumsi dan proses produksi yangbertanggung jawab (Budeanu, 2005;Stanford, 2008; Bramwell et al., 2008; Hall,2012, Kusworo, 2015). Penekanan ini berartibaik masyarakat lokal, turis, penyediaamenitas pariwisata serta pemerintah lokalmemiliki relasi atau nexus yang kuat dalammewujudkan pariwisata yang bertanggungjawab.

Oleh sebab itu, pariwisata yang bertanggungjawab bukan sinonim untuk pariwisataberkelanjutan. Pariwisata yang bertanggungjawab membahas wacana pariwisataberkelanjutan dalam implementasi dan lebihmerupakan ungkapan untuk menggambarkanpariwisata yang berkelanjutan karena ia“bertindak” berkelanjutan. Ini bukan halyang baru, bukan alternatif baru untukbentuk pariwisata lain atau cara baru"melakukan" pariwisata berkelanjutan,seperti yang dinyatakan oleh beberapapenulis (Blackstock et al., 2008).

Dengan demikian, pariwisata yangbertanggung jawab dibangun di atas strategidan kebijakan berbasis keberlanjutan yangtepat dan menambahkan perilaku yangsesuai, yang berarti tindakan yangberkelanjutan (kembali) atau, sesuai dengankonsep Goodwin, dimana kemampuanmerespon, didukung oleh kesadaran dan etikadalam lingkungan pariwisata itu sendiri(Fennell, 2006). Lebih lanjut, Mihalic(2016) menyebutkan penggabungan antarapariwisata berkelanjutan dengan pariwistayang bertanggung jawab kemudianmelahirkan terminology yang disebut sebagairesponsutabletourism sebagaimodel baru

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 136

yang dapt menjadi jembatan antara gap yangmuncul dari responsible dengan sustainabletourism.

Merging the words responsible(behaviour-based) and sustainable(concept and values-based) produces thenew term responsustable tourism. It isargued that this new term fully reflectsthe academic and practical debate andaction that is increasingly labelled

“responsible” tourism, yet de factobased on sustainability (Mihalic, 2016).

Koneksi antara pariwisata bertanggung jawabyang keberlanjutan ini diilustrasikan padaGambar. 1 dibawah ini di mana pilarpembangunan berkelanjutan berdiri di ataspersyaratan pariwisata berkelanjutan.Atapstruktur disebut pariwisata responsustable(responsibility & sustainability), yangmenunjukkan tanggung jawab dankeberlanjutan dalam perilaku pariwisata.

Gambar 1. Model Responsustable TourismSumber: Mihalic, (2016)

Tidak hanya konsep responsustable; sampaisaat ini begitu banyak publikasi yangmenuliskan pengembangan konseppariwisata berkelanjutan. Ada yangmenghubungkannya dengan United NationsSustainable Development Gaals (UN-SDG);ada juga yang melihatnya dalam aspekaplikatif sehingga menghasilkan berbagaimodel pariwisata baru seperti ecotourism,pilgrimage tourism, bahkan walking tourism.Di satu sisi, konsep keberlanjutan telahberfungsi untuk beberapa orang sebagai

magic wand yang mengarah ke model danbentuk pengembangan pariwisata yang lebihberkelanjutan, ramah lingkungan dan sosial(Ritchie dan Crouch, 2000; Swarbrooke,1999). Di sisi lain, konsep ini terus-menerusdikritik karena cacat dan tidak memadai(Higgins-Desbiolles, 2010). Dengan katalain, diskusi keberlanjutan telah membantumenarik perhatian pada perlunyakeseimbangan antara kepentingan ekonomidan lingkungan dalam pariwisata.

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 136

yang dapt menjadi jembatan antara gap yangmuncul dari responsible dengan sustainabletourism.

Merging the words responsible(behaviour-based) and sustainable(concept and values-based) produces thenew term responsustable tourism. It isargued that this new term fully reflectsthe academic and practical debate andaction that is increasingly labelled

“responsible” tourism, yet de factobased on sustainability (Mihalic, 2016).

Koneksi antara pariwisata bertanggung jawabyang keberlanjutan ini diilustrasikan padaGambar. 1 dibawah ini di mana pilarpembangunan berkelanjutan berdiri di ataspersyaratan pariwisata berkelanjutan.Atapstruktur disebut pariwisata responsustable(responsibility & sustainability), yangmenunjukkan tanggung jawab dankeberlanjutan dalam perilaku pariwisata.

Gambar 1. Model Responsustable TourismSumber: Mihalic, (2016)

Tidak hanya konsep responsustable; sampaisaat ini begitu banyak publikasi yangmenuliskan pengembangan konseppariwisata berkelanjutan. Ada yangmenghubungkannya dengan United NationsSustainable Development Gaals (UN-SDG);ada juga yang melihatnya dalam aspekaplikatif sehingga menghasilkan berbagaimodel pariwisata baru seperti ecotourism,pilgrimage tourism, bahkan walking tourism.Di satu sisi, konsep keberlanjutan telahberfungsi untuk beberapa orang sebagai

magic wand yang mengarah ke model danbentuk pengembangan pariwisata yang lebihberkelanjutan, ramah lingkungan dan sosial(Ritchie dan Crouch, 2000; Swarbrooke,1999). Di sisi lain, konsep ini terus-menerusdikritik karena cacat dan tidak memadai(Higgins-Desbiolles, 2010). Dengan katalain, diskusi keberlanjutan telah membantumenarik perhatian pada perlunyakeseimbangan antara kepentingan ekonomidan lingkungan dalam pariwisata.

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 136

yang dapt menjadi jembatan antara gap yangmuncul dari responsible dengan sustainabletourism.

Merging the words responsible(behaviour-based) and sustainable(concept and values-based) produces thenew term responsustable tourism. It isargued that this new term fully reflectsthe academic and practical debate andaction that is increasingly labelled

“responsible” tourism, yet de factobased on sustainability (Mihalic, 2016).

Koneksi antara pariwisata bertanggung jawabyang keberlanjutan ini diilustrasikan padaGambar. 1 dibawah ini di mana pilarpembangunan berkelanjutan berdiri di ataspersyaratan pariwisata berkelanjutan.Atapstruktur disebut pariwisata responsustable(responsibility & sustainability), yangmenunjukkan tanggung jawab dankeberlanjutan dalam perilaku pariwisata.

Gambar 1. Model Responsustable TourismSumber: Mihalic, (2016)

Tidak hanya konsep responsustable; sampaisaat ini begitu banyak publikasi yangmenuliskan pengembangan konseppariwisata berkelanjutan. Ada yangmenghubungkannya dengan United NationsSustainable Development Gaals (UN-SDG);ada juga yang melihatnya dalam aspekaplikatif sehingga menghasilkan berbagaimodel pariwisata baru seperti ecotourism,pilgrimage tourism, bahkan walking tourism.Di satu sisi, konsep keberlanjutan telahberfungsi untuk beberapa orang sebagai

magic wand yang mengarah ke model danbentuk pengembangan pariwisata yang lebihberkelanjutan, ramah lingkungan dan sosial(Ritchie dan Crouch, 2000; Swarbrooke,1999). Di sisi lain, konsep ini terus-menerusdikritik karena cacat dan tidak memadai(Higgins-Desbiolles, 2010). Dengan katalain, diskusi keberlanjutan telah membantumenarik perhatian pada perlunyakeseimbangan antara kepentingan ekonomidan lingkungan dalam pariwisata.

137 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Penetrasi aktual pariwisata berkelanjutan kedalam strategi dan kebijakan telahmenghasilkan banyak implikasi baik sepertipenghematan energi, daur ulang,pengurangan limbah dan emisi dan upayauntuk meningkatkan mata pencaharianpenduduk lokal.Namun, ada juga buktisignifikan dari efek sebaliknya. Wheelerberpendapat bahwa konsep pariwisataberkelanjutan yang “menarik secaraintelektual” memiliki aplikasi praktis yangsangat rendah karena berada dalam tatarankonsep dan perdebatan akademis tanpa solusiaplikatif— sehingga pada dasarnyamemungkinkan perilaku yang sama sepertisebelumnya (Wheeller, 1993).

Memang, konsensus tentang keefektifanpengembangan pariwisata berkelanjutantetap sulit dipahami (Chettiparamb danKokkranikal, 2012), dan implementasinyadalam praktiknya tetap sulit, sehingga sampaisaat ini meninggalkan banyak industripariwisata menjadi "... sangat tidakberkelanjutan" (Higgins-Desbiolles, 2010,hlm. 117)

METODE

Untuk mendapatkan gambaran komprehensifterhadap permasalahan yang ada, artikel inimempergunakan metode deskriptif analitisdengan dukungan rujukan dari sumber beritaonline yang kredibel, analisa perkembanganpembangunan pariwisata dari Bapenas danKementerian Pariwisata yang diperkuatdengan pendalaman materi melaluipengumpulan data sekunder yang diperolehdaridesk study.

Studi literature mempergunakan 67 artikelbaik dari prosiding, jurnal nasional daninternasional,buku, serta laporan dariBAPPENAS, Badan Pariwisata Internasional(UNWTO) dan World Economy Forum(WEF). Didalam melakukan resensipublikasi, tulisan ini dibantu dengan programMendeley sehingga kajian literatur dapatdibuat dengan padat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fenomena Overtourism dan DestinasiKepulauan

Fenomena overtourism saat ini diindikasitelah terjadi di banyak destinasi dunia.Secara awam overtourism dimaknai sebagaiangka turis yang sangat tinggi dan melebihidaya tampung ekosistem pariwisata di tempatitu, namun apa sebenarnya overtourismmasih menjadi sebuah perdebatan sampaisaat ini karena termilogi tersebut sangatmirip dengan apa yang telah lebih duludikenal oleh dunia akademisi sebagai overcarrying capacity.

Jika merujuk kebelakang, istilah ini pertamakali muncul sebagai (hashtag) #overtourismdi Twitter pada 2012. Istilah tersebut menjadipopuler dan mengacu pada destinasi di manaturis, tuan rumah, dan warga lokalnyamerasakan adanya terlalu banyak turissehingga kualitas kehidupan di daerah itu danpengalaman di destinasi itu telah menurun diluar batas yang bisa diterima.

Destinasi seperti Mallorca dan Barcelona diSpanyol, New Orleans di AS, Santorini diYunani, dan Reykjavik di Islandia menjadibeberapa destinasi yang ‘terpapar’overtourism Pada Mei 2016 pemerintahThailand juga menutup secara sementaraPulau Koh Tachai, yang terkenal sebagaidestinasi menyelam dan pantai yang indah,karena kerusakan lingkungan dansumberdaya alam akibat terlalu banyaknyawisatawan yang datang ke destinasi tersebut.

Overtourism sendiri menjadi cukupfenomenal setela cukup banyak publikasiyang mulai menjadikan terminology inisebagai rujukan bagi destinasi yang terpaparpariwisata yang terlalu besar, sehinggamenimbulkan permasalahan bagi destinasidan masyarakat lokal (Capocchi, Vallone,Pierotti, & Amaduzzi, 2019; Innerhofer,2018; Séraphin, Zaman, Olver, Bourliataux-Lajoinie, & Dosquet, 2019). Sebelumnya,hubungan “putus nyambung” antara host danguest telah menjadi teori-teori fenomenalseperti Tourism Area Life Cycle (TALC)Butler dan Doxey Irritation Index.

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 138

Overtourism merangkum narasi tentangpersepsi negatif terhadap turis dan turisme dibanyak tempat di Eropa. Amsterdam,Venezia, Dubrovnik, Barcelona, dan Islandiaadalah beberapa nama yang sering munculdalam bahasan (yang mengkritisi)pertumbuhan pariwisata yang berlebihansehingga berdampak negatif bagi destinasitersebut. Dampaknya adalah masyarakatlokal tidak lagi nyaman tinggal di destinasitersebut. Penyebabnya bisa beragam—mulaidari ada kerumunan turis yang ‘mengambilalih’ jalan-jalan tempat mereka biasabersepeda dan berjalan kaki, atau karenaharga sewa rumah dan tanah melonjak naikakibat mekanisme bisnis pariwisata(Capocchi, et all, 2019; Séraphin, et all,2019; Condé Nast Traveler,2018; Innerhofer,2018).

Selain itu, bagi sebuah negara dengan basiskepulauan terbesar di dunia, telah cukupbanyak kritisi terhadap pengembangandestinasi kepulauan yang terlalu “Bali danJawa sentris”.Beberapa destinasi disinyalirberada pada ambang overtourism seperti Bali(CNTraveler, 2018), Labuan Bajo (Cole,2017) dan Kepulauan Gili (Budilestari, et all,2014; Hampton & Jeyacheya, 2015;Kurniawan, et all, 2016, 2019; Pitanatri,2018).

Pariwisata sebagai sebuah industrimerupakan sebuah sistem yang kompleksdan melibatkan banyak elemen. Mengelola

potensi pulau-pulau kecil di Indonesia yangdemikian terisolir dan susah dijangkaumenjadi semakin mendekati momentumnya.Pasalnya, selain memiliki nilai strategis,muncul kecenderungan perubahan titikepisentrum ekonomi dunia, yang kinisemakin bergeser dari kawasan petro-dollardi Timur Tengah ke kawasan Pasifik yangpotensial. Pakar futurologi John Hay dalamNaisbitt dan Aburdene (1990)mengungkapkan, "Atlantik adalah samudramasa lampau, Mediterania (laut tengah)adalah samudra masa kini, dan Pasifik adalahsamudra masa depan atau ocean of the future.Hal inilah yang kemudian menjadi peluangnamun sekaligus tantangan bagi pengelolaandestinasi kepulauan di Indonesiakedepannya.

Sebagai contoh, berikut komparasi fotoAerialkepulauan Gili pada tahun 2010, 2014(diambil oleh Kurniawan et all) dan googleEarth 2019 yang menunjukkan bagaimanakepadatan pembangunan di kepulauan ini.Padahal di tiga pulau ini terdapat pelarangankendaraan bermotor dan seluruh bahanbangunan berasal dari pulau seberang.Hal inirelatif menyulitkan pembangunan bangunan,namun hal tersebut tidak menyurutkanpertumbuhan pembangunan akomodasi danhotel di kawasan ini—dapat dibayangkanbagaimana dengan pertumbuhan kepadatandi pulau-pulau lain yang tidak memilikipelarangan seperti di kepulauan Gili.

139 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Gambar 2. Pertumbuhan Kepadatan Kepulauan Gili 2010, 2014 (atas) dan 2019 (bawah)Sumber: Kurniawan et al. 2016; Google Earth, 2019.

Padahal, United Nation World TourismOrganization (UNWTO) pada tahun 1988telah mendeklarasikan pariwisata

berkelanjutan sebagai suatu upayapengelolaan yang terarah atas seluruhsumberdaya sedemikian rupa sehingga

139 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Gambar 2. Pertumbuhan Kepadatan Kepulauan Gili 2010, 2014 (atas) dan 2019 (bawah)Sumber: Kurniawan et al. 2016; Google Earth, 2019.

Padahal, United Nation World TourismOrganization (UNWTO) pada tahun 1988telah mendeklarasikan pariwisata

berkelanjutan sebagai suatu upayapengelolaan yang terarah atas seluruhsumberdaya sedemikian rupa sehingga

139 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Gambar 2. Pertumbuhan Kepadatan Kepulauan Gili 2010, 2014 (atas) dan 2019 (bawah)Sumber: Kurniawan et al. 2016; Google Earth, 2019.

Padahal, United Nation World TourismOrganization (UNWTO) pada tahun 1988telah mendeklarasikan pariwisata

berkelanjutan sebagai suatu upayapengelolaan yang terarah atas seluruhsumberdaya sedemikian rupa sehingga

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 140

kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapatdipenuhi sambil mempertahankan integritasbudaya, proses ekologi, keragaman biologidan sistem yang mendukung kehidupan.Dalam pelaksanaannya, UNWTO UNWTOmenilai begitu pentingnya menentukanKawasan Konservasi Perairan (MarineProtected Area) sebagai elemen penting daripariwisata bahari. Selain itu, budayamasyarakat lokal serta pentingnya kegiatanpariwisata bagi ekonomi lokal adalah jugaunsur penting dan perlu dipertimbangkansetiap saat dalam pembangunan pariwisataberkelanjutan.

Permasalahan overtourism jika tidakditanggulangiakan menjadi bom bunuh diribagi pariwisata Indonesia. Tawaran darikonsep sustainable dan responsibletourismdapat menjadi obat penawarmenangani kesemrawutan akibat pariwisata;namun seperti yang telah didiskusikan diatassata ini yang dibutuhkan adalahimplementasi bukan sekedar konsep danteori.Bagaimanapun juga kelestarianlingkungan, keterlibatan masyarakat, danpeningkatan ekonomi adalah faktor kunciyang harus mendapat perhatian dalampengembangan destinasi kepualauan diIndonesia.

Kebocoran Pariwisata akibat Indikatoryang Salah?

Permasalahan kedua yang selanjutnyamenjadi isu strategis pengembanganpariwisata adalah isu kebocoran pariwisataatau disebut sebagai tourism leakage.Isu inimerupakan implikasi langsung daripertumbuhan pariwisata yang tidakberkelanjutan dimana aktivitas pariwisatatidak dirancang dan dilaksanakan secaraberkelanjutan dan pada akhirnya mengalamikemunduran atau stagnasi.

Dalam lingkup makro, salah satupenyebabnya adalah kinerja pariwisatadiukur dengan menggunakan indikator-indikator yang tidak tepat maka sebagaiakibatnya pembangunan pariwisata menjadimasalah karena pertumbuhan pariwisata yangtidak terkendalikan.Sebagai contohpertumbuhan pariwisata di suatu daerah atau

negara biasanya diukur dengan empatindikator utama yaitu: Jumlah kunjunganwisatawan, Nilai pengeluaran per wisatawan,Lama tinggal, Pendapatan pemerintah.

Jumlah kunjungan wisatawan (numbers oftourist), baik secara absolut maupun relatifterhadap jumlah penduduk, atau juga relatifterhadap pada periode sebelumnya.

Nilai pengeluaran per wisatawan (touristexpenditure). Angka ini sering digunakansebagai indicator yang menunjukkan kelasekonomi wisatawan. Di saat yang samapengeluaran per wisatawan inimenggambarkan daya saing suatu daerahterhadap daerah lain. Semakin besarpengeluaran atau belanja wisatawan untukjenis jasa dan produk yang sama di suatudaerah dapat menggambarkan kurangnyadaya saing daerah tersebut. Nilai pengeluaranper wisatawan juga merupakan potensipenerimaan atau pendapatan daerah tujuanwisata.

Lama tinggal di suatu daerah (length of stay).Indikator ini biasanya diukur dalam satuanhari. Semakin lama wisatawan tinggal disuatu daerah merupakan proksi dari dayatarik daerah tersebut. Lama tinggal suatudaerah berkorelasi positif dengan jumlahpengeluaran pariwisata.

Pendapatan pemerintah pada tingkat nasionalmaupun daerah Gross National Product danGross Domestic Product). Indikator iniadalah hasil perkalian dari tiga indikatorsebelumnya. Poin ini sering dipakai sebagaiindikator makro pertumbuhan pariwisata.

Pertanyaannya kemudian, apakah keempatindikator ini sudah cukup untukmenggambarkan pariwisataberkelanjutan?Bila yang dievaluasi adalahpertumbuhan pariwisata maka keempatindikator sudah sangat tepat sebagai alatukur.Namun demikian, keempat indikator inihanya mengukur pertumbuhanpariwisata.Secara konvensional, keempatindikator ini memang selalu digunakan untukmengukur perkembangan atau keragaanpariwisata pada umumnya.Sesungguhnyakeempat indikator ini belum cukup untuk

141 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

mengukur atau mengevaluasi kinerjapariwisata berkelanjutan.

Seperti yang ditunjukkan oleh Carbone(2005), keberlanjutan ekonomi misalnya,harus mengacu pada pendapatan tambahanyang diberikan kepada penduduk setempatuntuk mengkompensasi mereka atas bebanyang mungkin ditimbulkan oleh kehadiranwisatawan.Selain itu, keberlanjutan ekonomidari pertumbuhan pariwisata dapat disebutsebagai peningkatan ekonomi bagimasyarakat lokal yang dapat dihasilkan olehpengembangan pariwisata dalam jangkapanjang, dengan mempertimbangkan semuadampak beragam yang mempengaruhiberbagai sektor dan industri.

Namun demikian, keberlanjutanpengembangan pariwisata secara umum, dankhususnya keberlanjutan ekonomi daripertumbuhan pariwisata, harus diukur agarbermanfaat (Garrigós et all, 2004), danmeskipun pertanyaan dan tantangannyaadalah apakah ini mungkindilakukan?(Buckley, 1999). Garrigós et al(2004) menyatakan bahwa pengukurankeberlanjutan seharusnya mengukur berbagaifaktor berpengaruh sehingga dapatmeningkatkan perencanaan dan prosesmanajerial, serta mampu meningkatkan levelkeberlanjutan suatu wilayah (Cooper et al,1998). Jika berbicara keberlanjutan makapengukuran yang tepat menjadi sangatpenting dalam industri pariwisata, apalagididestinasi dan Negara yang menjadikanpertumbuhan dan indikator-indikatorekonomis sebagai capaian pembangunansector ini.

Whether the benefits of tourism as aneconomic base are equivalent to those ofother sectors depends on the degree oflinkage within or leakage from theregional economy (Haddad et al, 2013)

Sebagaimana yang disebutkan oleh Haddadet all (2013) pariwisata ‘layak’ diukur dalambasis ekonomi jika manfaatnya jugaperhitungannya juga mempertimbangkankebocoran yang muncul. Masalah utama darikeberlanjutan ekonomi atau pertumbuhanekonomi adalah meskipun pendapatan yang

dihasilkan oleh pariwisata melimpah tetapiseringkali bocor keluar dari wilayah tersebutkarena impor, atau kepemilikan asing atasfasilitas wisata di destinasi tersebut(Budeanu, 2007).Oleh karena itu, menurutSheng dan Tsui (2009), pendapatan bersihpariwisata sebenarnya adalah jumlahpengeluaran wisatawan yang tinggal didestinasi setelah dikurangi keuntungan danupah dibayarkan di luar daerah dan setelahimpor dibeli. Jumlah yang harus dikurangiinilah disebut sebagai “kebocoran”

The real tourism revenue is the amountof tourist spending that remains locallyafter profits and wages are paid outsidethe area and after imports arepurchased. The amounts to be subtractedare called leakage (Sheng and Tsui,2009)

Kebocoran dapat didefinisikan sebagai'kegagalan pengeluaran wisatawan untuktetap berada dalam ekonomi tujuan'(Sandbrook, 2010, hal 125), atau 'hilangnyavaluta asing dan biaya tersembunyi lainnyayang berasal dari kegiatan terkait pariwisata'(Cernat dan Gourdon, 2005). Semakin tinggikebocoran sebuah destinasi, maka akansemakin rendah dampak ekonomi pariwisata;dimana manfaat dari sector ini tidak“tinggal” di destinasi. Sebagai contoh, dibeberapa daerah, penduduk lokal tidakmemperoleh manfaat yang cukup daripengembangan pariwisata ketika manajerhotel lebih suka mempekerjakan pekerjaasing daripada pekerja lokal (Hohl danTisdell, 1995). Hal yang sama juga terjadijika operator brand hotel internasionalberoperasi di destinasi tersebut, maka dapatdipastikan porsi yang cukup besar akankembali ke negara asal operator tersebutberoperasi.

Selain itu, kadang-kadang hanya sebagiankecil dari nilai produktif sektor pariwisatatetap ada di daerah setempat, dan banyakpengeluaran wisatawan kembali ke daerahasal (misalnya, ketika turis membeli produkimpor, atau ada sedikit pajak) atau tidakpernah meninggalkan negara asal (Lejarragadan Walkenhorst, 2010). Misalnya

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 142

kecenderungan wisatawan Jepang yangmempergunakan agen perjalanan, operatortur, maskapai penerbangan bahkan hotel asalJepang.Dalam istilah akademis, kondisi inilazim disebut sebagai “tourist bubble”(Pitana & Gayatri 2005). Seperti misalnyayang terjadi di beberapa destinasi di Bali,yang seringkali terlalu mengakomodir touristbubblesehingga yang banyak berkembangjustru restoran-restoran Jepang, Italia atauPrancis—yang tentu membutuhkan imporbahan dan tenaga kerja (Pitanatri, 2016).

Ada yang disebut sebagai kebocoran importdan kebocoran eksport dan kebocoran yangsifatnya tidak terlihat atau invisible leakage.Biasanya kebocoran import terjadi ketikaterjadinya permintaan terhadap peralatan-peralatan yang berstandar internasional yangdigunakan dalam industry pariwisata, bahanmakanan dan minuman import yang tidakmampu disediakan oleh masyarakat lokalatau dalam negeri. Sedangkan kebocoraneksport seringkali terjadi pada pembangunandestinasi wisata khususnya pada negaramiskin atau berkembang yang cenderungmemerlukan modal dan investasi yang besaruntuk membangun infrastruktur dan fasilitaswisata lainnya. Kondisi seperti ini, akanmengundang masuknya penanaman modalasing yang memiliki modal yang kuat untukmembangun resort atau hotel serta fasilitasdan infrastruktur pariwisata, sebagaiimbalannya, keuntungan usaha dan investasimereka akan mendorong uang merekakembali ke negara mereka tanpa bisadihalangi, hal inilah yang disebut dengankebocoran eksport

Ada banyak faktor yang menyebabkanpeningkatan kebocoran suatu daerah.Faktor-faktor ini sesuai dengan beberapa situasiseperti perencanaan liburan, transportasi danakomodasi (Supradist, 2004). Salah satusituasi ini adalah ketika perusahaan asingmencoba menjual kepada wisatawan semuapaket inklusif untuk memaksimalkankeuntungan mereka.Selain itu, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebocoranseperti tenaga kerja, infrastruktur, teknologi,

dan barang dan jasa yang diimpor (Thomaset al, 2005).

Economic leakage ini dianggap paling sulituntuk mengatasinya karena sangat sulit untukmengukur secara pasti. Permasalahan in jugaditambah dengan kondisi pembangunanpariwisata paling memungkinkan terbukanyaproses liberalisasi sehingga kemungkinanterjadinya economic leakage padasetiapaktivitas perekonomian yang terjadi menjadisangat besar. Pertanyaannyasekarangbukanlah apakah hal tersebutmemang dimungkinkan, tetapi jika haltersebut memangterjadi, apakah industripariwisata Indonesia akan mampu menguasaipasar?

Jika dilihat dari aspek tingkat leakage(kebocoran devisa), sejumlahpendapatmengatakan bahwa pariwisata Indonesiamenciptakan leakage antara 50%hingga80%.Jika data tersebut akurat, makaleakageyang terjadi di Indonesia tergolong cukupbesar. Sebagai komparasi sembilan negara dikepualauan Karibia memiliki import ratepada kisaran 45% hingga 90% sehingga padakondisi ini, economic leakages terjadipadapersentase yang sangat tinggi (RamjeeSingh 2008). Hasil penelitian yang berbedadi New Zealand dan Philippinesmenunjukkan economic leakages terjadisangat rendah yaitu kisaran 11 hingga 20%hal ini disebabkan kebutuhan komponenimport relative rendah.

Destinasi kepulauan memiliki potensileakage yang sangat besar karena memilikiketergantung import yang tinggi karena tidakmemiliki kapasitas produksi untukmenghasilkan barang dan jasa yangdiperlukan oleh sektor pariwisata.Selain itudestinasi kepulauan juga relatif memilikiketerbatasan Infrastruktur sehingga justrumembuka masuknya perusahaan asing kedalam negeri (Karagiannis, 2003). Danakhirnya sumberdaya domestik tidak mampumemenuhi kebutuhan sektor pariwisata, dansektor pendukung pariwisata sepertipertanian tidak efisien bahkan justru berbiayatinggi sehingga import dianggap menjadialternatif yang lebih baik.

143 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Alernatif Solusi

Apa yang kemudian menjadi permasalahandi banyak destinasi sebenarnya adalahadanya ego sektoral dalam pengembanganpariwisata.Penta helix (Akademisi-Bisini-Government-Community dan Media) jugaseringkali tidak berjalan dengansinergis.Sebagai contoh, hasil penelitian dariakademisi yang sering menjadi menaragading sehingga sulit diakses dandilaksanakan masyarakat dan pelaku usahapariwisata.

Selain itu, salah satu permasalahan utamadalam pengelolaan pariwisata adalah tidakterjadinya simbiosis antara pengembanganpariwisata di destinasi dengan masyarakatlokal.Pariwisata yang diharapkan sebagaikatalis pembangunan, malah berbalikmenimbulkan konflik antara wisatawan,masyarakat lokal, dan investor; yang kinijuga berpotensi terpapar overtourism danpotensi leakage yang besar. Alhasil, berbagaipermasalahan ekonomi-social-budayaseringkali dikaitkan sebagai imbas dariperkembangan sector pariwisata di destinasitertentu.

Penerapan ambang batas daya dukungpariwisata sebenarnya telah tertuang dalamPeraturan Pemerintah 50 Tahun 2011mengenai Rencana Induk PembangunanKepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.

Peraturan ini menjelaskan strategipengendalian pembangunan prasaranaumum, fasilitas umum, dan fasilitaspariwisata bagi wilayah yang sudahmelampaui ambang batas dengan menyusunregulasi perijinan demi menjaga daya dukunglingkungan.Hanya saja implementasikebijakan ini belum banyak diterapkan didaerah-daerah wisata.Pembangunanpariwisata jangka pendek yang hanyamementingkan jumlah wisatawan bisadikatakan hanya target politikbelaka.Pemerintah, baik pusat maupundaerah, sebaiknya melakukan investasimelalui pembelajaran dan pendampingan,dan menyiapkan agar masyarakat di daerahtujuan wisata mampu masuk dan bertahan diindustri ini.Yang terpenting adalahbagaimana melihat pariwisata dapatbermanfaat untuk kesejahteraan rakyat dankelestarian alam.

Solusi aplikatif yang ditawarkan adalahkembali ke fitrah awal, menciptakanekosistem yang harmonis antara host andguest. Dalam kaitannya dengan potensiovertourism Capocchi et al., (2019)menyebutkan sekurang-kurangnya ada tigaalasan mengapa terjadi overtourism di suatudestinasi yaitu ketidakseimbangan antaragrowth, concentration dan governancesebagaimana yang tampak pada gambar 1berikut ini.

Gambar 3. Faktor Pencetus OvertourismSumber: Capocchi et al (2019)

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 144

Concrentration dapat diurai denganmemanfaatkan teknologi yang ada, misalnyaMobile Data Positioning (MDP) yangmelihat pola pergerakan wisatawan secarareal time . Mengetahui pola pergerakanwisatawan akan memberi kesempatan bagidestinasi untuk melihat pola dan “memecahkonsentrasi” dengan penciptaan produk yangsesuai dengan pola pergerakan tersebut.Regulasi kemudian haruslah mengikuti apayang menjadi temuan dari penelitian-penelitian berbasis MDP. Selain itu MDPmemberi kesempatan bagi systemkepariwisataan destinasi kepulauan diIndonesi untuk mengurai benang kusutsehingga terjadi keimbangan antara touristgenerating areas dengan tourist receivingdetinations.

MDP juga dapat disandingkan denganprogram Sustainable Tourism forDevelopment (STDev) yang dituangkandalam Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun2016 tentang Pedoman Destinasi PariwisataBerkelanjutan yang mengadopsi standarinternasional dari Global SustainableTourism Council (GSTC). Kriteria GSTCberfungsi sebagai standar dasar global untukkeberlanjutan dalam pariwisata.Kriteriadigunakan untuk pendidikan dan peningkatankesadaran, pembuatan kebijakan untuk bisnisdan lembaga pemerintah dan jenis organisasilainnya, pengukuran dan evaluasi, dansebagai dasar untuk sertifikasi.

SIMPULAN

Penerapan pariwisata berkelanjutanseharusnya menyesuaikan karakteristik danpotensi yang dimiliki olehdestinasi.Masyarakat lokal sangat didoronguntuk ambil bagian dalam pengelolaanpariwisata sekitar tempat tinggal merekaterutama masyarakat di pedesaan, tujuannyauntuk mencegah masyarakat menjadi orang-orang yang dikalahkan oleh investasipemodal besar.Masyarakat harus menjadikonseptor yang mengambil peran ataspengelolaan fasilitas utama (contoh: situswisata) maupun pendukung (contoh: hotel,restoran) di lingkungan mereka

tinggal.Pelibatan ini jangan hanya dimaknaimenjadi perekrutan masyarakat lokal yangkemudian sekadar dipekerjakan sebagaipegawai rendahan pada perusahaan yangdimiliki investor besar diluar masyarakatlokal.

Pengembangkan pariwisata di masamendatang juga sangat perlu memperhatikankelestarian lingkungan.Dunia sudah semakin‘sakit-sakitan’ akibat peradaban manusia kiniyang selalu menghasilkan eksesdestruktif.Adanya peran masyarakat lokaldalam pengelolaan pariwisata tentu membuatlangkah ini lebih mudah. Masyarakat lokallebih memperhatikan aksi yang akandilakukan dengan mempertimbangkandampak apa yang terjadi dalam kehidupansehari-hari. Mengawal kelestarianlingkungan menjadi lebih mudah apabilasedari awal telah dibuat peta jalan konservasialam, pengolahan limbah, dan perihal lainyang seringkali tidak sejalan dengan industripariwisata. Perencanaan perlindunganlingkungan menjadi lebih mudah bila dimulaisebelum gelombang kedatangan aruswisatawan yang semakin besar.

Pariwisata berkelanjutan berpijak padapembangunan sektor pariwisata yangmeningkatkan pendapatan ekonomi yangmelibatkan aspek sosial terutama masyarakatlokal sekitar destinasi wisata dan tentunyabersahabat dengan lingkungan hidup.Perludiingatkan kembali pariwisata berkelanjutanyang dengan pijakan yang adiluhung diatastentu harus membawa pengalaman lebih baikbagi wisatawan yang berkunjung, karenahakikat manusia berwisata adalah untukmendapat kesenangan.

Rekomendasi ini didasarkan atas pemahamanbahwa index kebahagiaan masyarakat lokalakan berkontribusi positif terhadappengalaman wisatawan saat mengunjungidestinasi tersebut (Croes, Ridderstaat, & vanNiekerk, 2018; Croes, Rivera, Semrad, &Khalizadeh, 2017). Oleh sebab itupenelitian-penelitian solusi overtourismdantourism leakage haruslah menjadi top-notchpriority bagi pengembangankepariwisataan di Indonesia. Selain itu,

145 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

dukungan politis serta komitmen daripemerintah pusat sampai daerah sangatdibutuhkan dalam proses pembangunanpariwisata berkelanjutan, sehingga pariwisatasebagaimana yang dicita-citakan— dapatmenjadi motor penggerak dalammenciptakan lapangan pekerjaan,melestarikan budaya, melestarikanlingkungan serta penghapusan kemiskinan.

REFERENSI

Adams, P.D., and Parmenter, B.R. (1995),‘An applied general equilibriumanalysis of the economic effects oftourism in a quite small, quite openeconomy’, Applied Economics, Vol 27,pp 985–994.

Blackstock, K.L., White, V., McCrum, G.,Scott, A., Hunter, C., (2008).Measuring re- sponsibility: an appraisalof a Scottish National Park'ssustainable tourism indicators. J.Sustain. Tour. 16 (3), 276-297.

Blake, A., and Sinclair, M.T. (2003),‘Tourism crisis management USresponse to September 11. Annals ofTourism Research, Vol 30, No 4, pp813–832.

Blake, A., Arbache, J.S., Sinclair, M.T., andTeles, V. (2008), ‘Tourism and povertyrelief’. Annals of Tourism Research,Vol 35, No 1, pp 107–126.

Bohdanowicz, P., Simanic, B., Martinac,I.V.O., (2005). Environmental trainingand measures at scandic hotels,Sweden. Tour. Rev. Int. 9 (1), 7-19.

Bramwell, B., Lane, B., (1993). Sustainabletourism: an evolving global approach.J. Sustain. Tour. 1 (1), 1-5

Bramwell, B., Lane, B., McCabe, S.,Mosedale, J., Scarles, C., (2008).Research per- spectives on responsibletourism. J. Sustain. Tour. 16 (3), 253-

257

Budilstari, N., Hutomo, M., & Ardiwidjaja,R. (2014). Permasalahan LingkunganDi Sempadan Pantai Taman WisataPerairan Gili Trawangan, NusaTenggara Barat. JurnalKepariwisataan Indonesia, 9(1), 91-107.

Budeanu, A., (2005). Impacts andresponsibilities for sustainable tourism:a tour operator's perspective. J. Clean.Prod. 13 (2), 89-97.

Butler, R. (1999). Sustainable tourism: astate-of-the-art review. TourismGeographies, Vol 1, pp 7– 25.

Butler, R., (1995). Introduction. In: Butler,R., Pearce, D. (Eds.), Change inTourism: People, Places and Processes.Routledge, New York, pp. 1-11.

Capocchi, Vallone, Pierotti, & Amaduzzi.(2019). Overtourism: A LiteratureReview to Assess Implications andFuture Perspectives. Sustainability,11(12), 3303.https://doi.org/10.3390/su11123303

Carbone, M. (2005), ‘Sustainable tourism indeveloping countries: povertyalleviation, participatory planning, andethical issues’, European Journal ofDevelopment Research, Vol 17, No 3,pp 559–565.

Cawley, M., and Gillmor, D.A. (2007),‘Integrated rural tourism: concepts andpractice’, Annals of Tourism Research,Vol 35, No 2, pp 316–337.

Chettiparamb, A., & Kokkranikal, J. (2012).Responsible tourism and sustainability:the case of Kumarakom in Kerala,India. Journal of Policy Research inTourism, Leisure and Events, 4(3),302-326.

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 146

Cernat, L., and Gourdon, J. (2005), ‘Is theconcept of sustainable tourismsustainable?’, Developing theSustainable Tourism BenchmarkingTool, MPRA Paper No 4178(http://mpra.ub.uni-muenchen.de/4178/, accessed 20October 2019).

Cole, S. (2017). Water worries: Anintersectional feminist political ecologyof tourism and water in Labuan Bajo,Indonesia. Annals of TourismResearch, 67, 14-24.

Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D.,Shepherd, R., and Wanhill, S. (1998),Tourism Principles and Practice, 2ndedn, Longman, Harlow.

CNTraveler. (2018). 15 Beloved PlacesStruggling With Overtourism.Retrieved October 2, 2019, fromhttps://www.cntraveler.com/galleries/2015-06-19/barcelona-bhutan-places-that-limit-tourist-numbers

Dasmann, R.F., Freeman, P.H., Milton, J.P.,(1973). Ecological Principles forEconomic Development. John Wiley &Sons, Washington.

Dwyer, L., Forsyth, P., Madden, J., andSpurr, R. (2000), ‘Economic impacts ofinbound tourism under differentassumptions regarding themacroeconomy’, Current Issues inTourism, Vol 3, No 4, pp 325–363.

Dwyer, L., Forsyth, P., and Spurr, R. (2006),‘Assessing the economic impacts ofevents: a computable generalequilibrium approach’, Journal ofTravel Research, Vol 45, No 1, pp 59–66.

Fennell, D.A., (2006). Tourism Ethics.Channel View, Clevedon.

Fennell, D., Malloy, D., 2007. Codes of

Ethics in Tourism. Practice, Theory,Synthesis. Channel View Publications,Clevedon.

Garrigós Simon, F., Narangajavana, Y., andMarques, D. (2004), ‘Carrying capacityin the tourism industry: a case study ofHengistbury Head’, TourismManagement, Vol 25, No 2, pp 275–283.

Goodwin, H., (2011). Taking Responsibilityfor Tourism. Goodfellow PublishersLimited, Oxford.

Haddad, E.A., Porsse, A.A., and Rabahy, W.(2013), ‘Domestic tourism and regionalinequality in Brazil’, TourismEconomics, Vol 19, No 1, pp 173–186.

Hall, M., (2012). Governance andresponsible tourism. In: Leslie, D.(Ed.), Responsible Tourism. Concepts,Theory and Practice. CABI,Wallingford, pp. 107-118.

Hampton, M. P., & Jeyacheya, J. (2013).Bio-rock and roll? Dive tourism andisland communities: the case of GiliTrawangan, Indonesia.

Hohl, A.E., and Tisdell, C.A. (1995),‘Peripheral tourism: development andmanagement’, Annals of TourismResearch, Vol 22, No 3, pp 517–534.

Hughes, H.L. (1994), ‘Tourism multiplierstudies: a more judicious approach’,Tourism Management, Vol 15, No 6,pp 403–406.

Higgins-Desbiolles, F., 2010. Theelusiveness of sustainability in tourism:the culture-ideology of consumerismand its implications. Tour. Hosp. Res.10 (2), 116-115.

Lejarraga, I., and Walkenhorst, P. (2010),‘On linkages and leakages: measuringthe secondary effects of tourism’,

147 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Applied Economics Letters, Vol 17, pp417–421.

Karagiannis, N. (2003).Tourism, linkages,and economic development in Jamaica.International Journal of ContemporaryHospitality Management, 15(3), 184-187.

Kurniawan, F., Adrianto, L., Bengen, D. G.,& Prasetyo, L. B. (2016). Patterns oflandscape change on small islands: Acase of Gili Matra Islands, MarineTourism Park, Indonesia. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 227,553-559.

Kusworo, H. A. (2015). Framing poverty: aninstitutional entrepreneurship approachto poverty alleviation through tourism.University of Groningen.

Leslie, D., (2012a). Responsible Tourism.Concepts, Theory and Practice. CABI,Wallingford

Leslie, D., (2012b). Introduction. In: Leslie,D. (Ed.), Responsible Tourism.Concepts, Theory and Practice. CABI,Wallington, pp. 1e16.

Leslie, D., (2012c). The responsible tourismdebate. In: Leslie, D. (Ed.),Responsible Tourism. Concepts,Theory and Practice. CABI,Wallingford, pp. 17e42. Mc Gugan, S.,2002. Asynchronous computermediated conferencing to

Mihalic, T. (2016). Sustainable-responsibletourism discourse–Towards‘responsustable’tourism. Journal ofCleaner Production, 111, 461-470.

Mihalič, T., Žabkar, V., & Cvelbar, L. K.(2012). A hotel sustainability businessmodel: evidence from Slovenia.Journal of Sustainable Tourism, 20(5),701-719.

Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentangPercepatan Pelaksanaan ProyekStrategis Nasional.

Pitana, I. G., & Gayatri, P. G. (2005).Sosiologi Pariwisata: Kajian sosiologisterhadap struktur, sistem, dan dampak-dampak pariwisata. Andi.

Pitanatri, P.D. S. (2018). Learn to Earn:Assessing Economic Impact ofCommunity Based Tourism in GiliTrawangan, Indonesia. InternationalJournal Of MultidisciplinaryEducational Research, 7 (1). Pp 220-236

Pitanatri, P. D. S., & Putra, I. N. D. (2016).Wisata kuliner: atribut baru destinasiUbud. JagatPress bekerja sama denganProgram Studi Magister KajianPariwisata, Universitas Udayana.

Pratt, S., and Blake, A. (2009), ‘Theeconomic impact of Hawaii’s cruiseindustry’, Tourism Analysis, Vol 14,No 3, pp 337–352.

Republika (2017).Prestasi PariwisataSumbang Suksesi PembangunanNasional. Retrieved October 14, 2019,fromhttps://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/pesona-indonesia/ov14x5280/prestasi-pariwisata-sumbang-suksesi-pembangunan-nasional

Ritchie, J.R.B., Crouch, G.I., 2000. Thecompetitive destination: a sustainableperspective. Tour. Manag. 21 (1), 1-7.

RPJMN 2015-2019 bidang infrastruktur,Direktorat Jenderal Cipta KaryaKementerian Pekerjaan Umum danPerumahan Rakyat (KemenPUPR)

RTP, (2002). Cape Town Declaration onResponsible Tourism. ResponsibleTourism Partnership. Retrieved

ISSN 16935969 Media Wisata, Volume 17, Nomor 2, November 2019 EISSN 26858436

https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS 148

October 14, 2019 from: http://www.responsibletourismpartnership.org/RTWorld.html.

Saarinen, J. (2006). Traditions ofsustainability in tourism studies.Annals of Tourism Research, 33(4),1121–1140.

Sandbrook, C.G. (2010), ‘Putting leakage inits place: the significance of retainedtourism revenue in the local context inrural Uganda’, Journal of InternationalDevelopment, Vol 22, No 1, pp 124–136.

Séraphin, H., Zaman, M., Olver, S.,Bourliataux-Lajoinie, S., & Dosquet, F.(2019). Destination branding andovertourism. Journal of Hospitality andTourism Management, 38 (November2018), 1–4.https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2018.11.003

Sheng, L., and Tsui, Y. (2009),’ Taxingtourism: enhancing or reducingwelfare?’, Journal of Sustain- ableTourism, Vol 17, No 5, pp 627–635.

SindoNews. (2018). Kontribusi PertumbuhanPariwisata di Sektor EkonomiTerbesar... Retrieved October 14, 2019,fromhttps://ekbis.sindonews.com/read/1231216/34/kontribusi-pertumbuhan-pariwisata-di-sektor-ekonomi-terbesar-dan-tercepat-1502940648

Singh, D. R. (2008). Small IslandDeveloping States (SIDS): tourism andeconomic development. TourismAnalysis, 13(5-6), 629-636.

Stanford, D., (2008). Exceptional visitors:dimensions of tourist responsibility inthe context of New Zealand. J. Sustain.Tour. 16 (3), 258-275

Supradist, N. (2004). ‘Economic leakage in

tourism sector’, IIIEE master’s theses(http://luplub.lu.se/luur/download?func=downloadFileandrecordOId=1329250andfileOId=132925, accessed 21October 2019).

Swarbrooke, J., 1999. Sustainable TourismManagement. CABI, Wallingford.

Thomas, R.N., Pigozzi, B.W. and Sambrook,R.A. (2005), ‘Tourist carrying capacitymeasures: crowding syndrome in theCaribbean’, The ProfessionalGeographer, Vol 57, pp 13–20.

United Nation World Tourism Organization.(2011). Sustainable Development andTourism Program. Brochure. 2 p.

United Nation Environmental Programme.(2009). Sustainable Coastal Tourism.An Integrated Planning andManagement Approach. Nairobi,Kenya, 164p.

United Nations Environment Programme danUnited Nation World TourismOrganization (2005). Making TourismMore Sustainable. Paris: UnitedNations Envi- ronment Programme.World Tourism Organization, Madrid.UNWTO,

United Nations Environment Programme.(2010). Assessing the EnvironmentalImpacts of Consumption andProduction: Priority Products andMaterials, A Report of the WorkingGroup on the Environmental Impactsof Products and Materials to theInternational Panel for SustainableResource Management. Hertwich, E.,van der Voet, E., Suh, S., Tukker, A.,Huijbregts M., Kazmierczyk, P.,Lenzen, M., McNeely, J., Moriguchi,Y.

WCED, 1987. Our Common Future. OxfordUniversity Press, Oxford.

149 https://amptajurnal.ac.id/index.php/MWS

Van Marrewijk, M., 2003. Concepts anddefinitions of CSR and corporatesustain- ability: between agency andcommunion. J. Bus. Ethics, 44 (23),95-105.

Zhou, D., Yanagida, J.F., Chakravorty, U.,and Leung, P. (1997), ‘Estimatingeconomic impacts from tourism’,Annals of Tourism Research, Vol 24,No 1, pp 76–89.

BIODATA PENULIS

Putu Diah Sastri Pitanatri, adalah dosenPoliteknik Pariwisata Bali Bali yang saat inisedang melanjutkan studi doctoral padakajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada.Selain aktif dalam berbagai asosiasi nasionaldan internasional, Diah telah menulisbeberapa buku diantaranya MozaikPariwisata Berbasis Kerakyatan (2018, edsbersama I Wayan Mertha), dan bersama INyoman Darma Putra menulis buku WisataKuliner Atribut Baru Destinasi Ubud (2016).Penghargaan yang pernah diterima antaralain dosen terbaik di Kementerian Pariwisatadalam Win Way Award (2018) dan bestpaper presenter dalam 1st InternationalConference OBOROT-Palembang (2018)Id Scholar:https://scholar.google.com/citations?user=9GHeVtkAAAAJ&hl=en