osteomielitis pasca fraktur
-
Upload
margareta-grace-h -
Category
Documents
-
view
192 -
download
25
description
Transcript of osteomielitis pasca fraktur
LAPORAN KELOMPOKBLOK XI MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 1
Osteomyelitis yang Terjadi Pasca-Fraktur Tulang
Agatha D. G0008002Ancilla C. G0008004Damarjati G0008006Denny A. G0008008Dika A G0008010Galih R G0008012
Margareta G0008124Maulia P G0008126Maytia G0008128Merida L G0008130M. Muamar G0008134
Tutor : M. Arief Tq, dr, MS
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sistem Muskuloskeletal atau sistem lokomotor merupakan penentu bentuk tubuh
dan bertanggung jawab dalam gerakan tubuh manusia. Komposisi utama sistem ini
adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,
ligamen, bursa, dan jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini.
Infeksi yang terjadi pada tulang dan persendian menimbulkan rasa sakit dan
frustasi pada penderita. Tingkat kesuksesan dari terapi antimikrobial pada sebagian
besar penyakit infeksi belum bisa diperoleh untuk infeksi pada tulang dan persendian.
Hal ini dikarenakan karakteristik fisiologis dan anatomi tulang yang tertutup dan sulit
dijangkau darah yang membawa obat. Kunci sukses dari penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami infeksi tulang adalah diagnosis dini termasuk pemeriksaan
histopatologis dari jaringan tulang untuk menentukan diagnosis yang tepat dan terapi
antimikrobial jangka panjang. Osteomielitis memiliki beberapa tipe yang
membutuhkan strategi terapi medis dan bedah yang berbeda-beda.
Pada skenario 1 blok muskuloskeletal ini, kita dihadapkan pada kasus dimana
wanita,18 tahun nyeri tungkai bawah kiri, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit hilang
timbul. 2,5 tahun yang lalu mengalami kecelakaan sehingga terjadi patah tulang di
tungkai bawah dimana tulang tampak dari luar lalu dibawa ke dukun tulang. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan deformitas, scarr tissue diameter 10 cm regio anterior
tibia kiri. Sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang dibawahnya,
ekskoriasi kulit sekitar sinus. Pada plain photo didapatkan penebalan periosteum,
bone resorpsion, sclerosis sekitar tulang, involucrum, squester, dan angulasi tibia-
fibula (varus). Pasien dinyatakan menderita osteomyelitis. Pasien merupakan pemilik
kartu asuransi, tapi kartu itu tidak dapat digunakan sehingga harus menanggung
seluruh biaya sendiri.
Hipotesis
Berdasarkan gejala yang dialami pasien, maka dapat disimpulkan pasien mengalami
osteomielitis yang merupakan radang yang disebabkan oleh karena infeksi pasca
fraktura tulang.
Rumusan Masalah
Bagaimana struktur dan pembentukan tulang, meliputi anatomi, histologi, dan
fisiologi ?
Apakah hubungan antara riwayat fraktur terbuka dengan keluhan yang dialami
pasien ?
Bagaimana patofisiologi dan patogenesis dari gejala, pemeriksaan fisik, dan
hasil plain foto pada keluhan yang dialami pasien ?
Bagaimanakah penatalaksanaan pada pasien dan prognosis penyakitnya ?
Tujuan
Mengetahui struktur dan pembentukan tulang, meliputi anatomi, histologi,
dan fisiologi
Mengetahui hubungan antara riwayat fraktur terbuka dengan keluhan pasien
Mengetahui patofisiologi dan patogenesis dari gejala, pemeriksaan fisik, dan
hasil plain foto pada keluhan yang dialami pasien
Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dan prognosis penyakitnya
Manfaat
Dapat menjelaskan prinsip ilmu dasar yang berhubungan dengan sistem
muskuloskeletal
Dapat menjelaskan penegakan diagnosis yang tepat dan hasil pemeriksaan
penunjang
Dapat menjelaskan penatalaksanaan pada kelainan muskuloskeletal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TULANG
Tulang merupakan rangka penunjang tubuh dan pelindung bagi tubuh dan tempat
melekatnya otot yang menggerakkan tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu
berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk sel darah. Tulang juga merupakan
tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat (Carter, 2006).
Tulang juga merupakan jaringan ikat yang yang dinamis yang selalu diperbarui
melalui proses remodelling yang terdiri dari proses resorpsi dan formasi. Dalam
keadaan normal, massa tulang yang diresorpsi akan sama dengan massa tulang yang
diformasi, sehingga terjadi keseimbangan (Setiyohadi, 1998).
Komponen-komponen nonselular utama dari jaringan tulang adalah mineral-
mineral dan matriks organik (kolagen dan proteoglikan). Kasium dan fosfat
membentuk suatu garam kristal (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen
dan proteoglikan. Mineral-mineral ini memampatkan kekuatan tulang. Matriks
organik ini disebut juga osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang
kaku dan memberikan daya rentang tinggi kepada tulang. Materi organik lainnya
yang menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat (Guyton, 1997).
Hampir semua tulang berongga di bagian tengahnya. Struktur demikian
memaksimalkan kekuatan struktural tulang dengan bahan yang relatif ringan.
Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen dan mineral dalam jaringan
tulang (Carter, 2006).
Setiap serat kolagen dari tulang padar terdiri atas segmen periodik yang berulang.
Di mana di dekat setiap segmen serat ini ada kristal hidroksiapatit, yang terikat
dengan kuat pada segmen tersebut. Ikatan ini mencegah “terkupasnya” tulang; jadi,
ikatan tersebut mencegah kristal dan serat kolagen tergelincir dari tempatnya, yang
diperlukan untuk menjaga kekuatan tulang. Selain itu segmen serat-serat kolagen
yang berdekatan itu saling tumpang tindih satu sama lain, sehingga juga
menyebabkan kristal hidroksiapatit saling tumpang tindih seperti susunan dinding
pada dinding batu bata (Guyton, 1997).
Serat kolagen tulang, seperti tendo mempunyai kekuatan regang yang besar,
sedangkan garam kalsium, yang mirip dengan sifat fisik marmer, mempunyai
kekuatan kompresi yang besar. Gabungan sifat ikatan ini, ditambah dengan besarnya
kekuatan ikatan antara serat kolagen dan kristal, menyebakan tibulnya susunan tulang
yang mempunyai kekuatan regang dan kekuatan kompresi yang besar (Guyton,
1997).
Tulang panjang dibagi menjadi beberapa bagian-bagian yang khas, yaitu diafisis,
metafisis, dan epifisis. Diafisis atau batang adalah bagian tengah tulang yang
berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan
yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir diafisis.
Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang
mengandung sel-sel hematopoietik. Sumsum merah juga didapatkan pada bagian
epifisis dan diafisis tulang. Pada orang dewasa, aktivitas hematopoietik menjadi
terbatas hanya pada sternum dan krista iliaka (Carter, 2006).
B. FISIOLOGI TULANG
Secara fisiologis, metabolisme dan pertumbuhan tulang dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal dari mulai hormon estrogen (dapat menstimulasi osteoblast), hormon
parathormon/ PTH (mempengaruhi aktivitas osteoklas) dan vitamin D (bekerja sama
dengan hormon PTH dalam mengabsorbsi tulang).
Pada keadaan normal tulang mengalami pembentukan dan absorbsi pada tingkat
konstan kecuali pada masa pertumbuhan. Pada masa pertumbuhan, pertumbuhan
tulang melebihi proses resorbsi tulang.
Tulang dapat dibentuk dalam dua cara yaitu melalui mineralisasi langsung pada
matriks yang disekresi oleh osteoblas (osifikasi intramembranossa) atau melalui
penimbunan matriks tulang pada matriks tualng rawan sebelumnya (ossifikasi
endikondral)
a. Osteogenesis
Pada osifikasi intramembranosa, titik awal osifikasi disebut pusat osifikasi
primer. Proses simulai bila kelompok sel-sel berdiferensiasi menjadi osteoblas.
Matriks tulang yang baru terbentuk dan diikuti kalsifikasi, mengakibatkan
terkurungnya beberapa osteoblas, yang kemudian menjadi osteosit. Pulau-pulau
tulang yang berkembang ini dikenal sebagai spikul karena penampakan mereka pada
sediaan histologis; mereka adalah bagian dinding yang melukiskan kavitas panjang
yang mengandung kapiler, sel-sel sumsum tulang, dan sel-sel pra kembang.
Kelompok spikul ini timbul serentak pada pusat osifikasi, sehingga peleburan
spikul-spikul ini memberi tulang perangai spons. Jaringan ikat yang tertinggal di
antara spikul tulang dimasuki oleh pembuluh-pembuluh darah serta sel-sel mesenkim
pra-kembang tambahan, menghasilkan sel-sel sumsum tulang.
Osifikasi endokondral terjadi dalam sepotong tulang rawan hialin dan terutama
bertugas membentuk tulang panjang dan pendek. Osifikasi endokondral terbagi dalam
2 tahap. Tahap pertama mencakup hipertrofi dan destruksi kondrosit dari model
tulang, berakibat terjadinya lakuna melebar yang dipisahkan oleh septa matriks tulang
rawan yang mengapur. Pada tahap kedua, sebuah kuncup osteogenik terdiri atas sel-
sel osteoprogenitor dan kapiler-kapiler darah menerobos ke celah-celah yang
ditinggalkan oleh kondrosit yang berdegenerasi. Sel osteoprogenitor menghasilkan
osteoblas, yang menutupi septa tulang rawan dengan matriks tulang. Septa jaringan
tulang rawan yang mengapur berfungsi sebagai penunjang bagi awal osifikasi.
Jaringan pertama yang dibentuk terjadi melalui cara osifikasi intramembranosa di
dalam perikondrium yang mengelilingi diafisis. Silinder tulang berongga, kerah
tulang, dibentuk pada bagian dalam perikondrium yang mengelilingi tulang rawan.
Perikondrium ini kemudian disebut sebagai periosteum. Di bagian kerah tulang,
kondrosit mulai berdegenerasi dan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
matriks. Kemudian terbentuk timbunan kalsium, dan tulang rawannya menjadi
terkalsifikasi. Selanjutnya pembuluh darah di periosteum masuk menerobos matriks
tulang rawan yang mengapur. Bersama dengan pembuluh darah, sel-sel
osteoprogenitor masuk ke daerah ini; mereka berproliferasi dan menghasilkan
osteoblas. Osteoblas ini membentuk lapisan utuh di atas matriks tulang. Pusat
osifikasi ini terdapat di diafisis, disebut pusat osifikasi primer. Bila seluruh diafisis
telah dihuni, pertumbuhan memanjang berhenti. Perluasan kerah tulang kemudian
mengarah ke epifisis. Di epifisis pertumbuhan tulang arahnya ke radial, bukan
memanjang. Pusat osifikasinya disebut pusat osifikasi sekunder.
Setelah terbentuk jaringan tulang, masih ada tempat dimana tulang rawan
dipertahankan yaitu pada kartilago artikularis yang menetap seumur hidup dan
lemepeng epifisis yang akan menghilang pada usia dewasa. Pada lempeng epifisis
dibagi dalam 5 zona yaitu: (1) daerah istirahat terdiri dari tulang rawan hialin tanpa
perubahan morfologis, (2) daerah proliferasi terlihat kondrosit dengan cepat
membelah dan membentuk kolom-kolom sel sejajar dengan sumbu panjang tulang,
(3) daerah tulang rawan hipertrofik mengandung kondrosit–kondrosit besar yang
sitoplasmanya berisi glikogen, (4) zona kalsifikasi ditandai dengan kematian
kondrosit timbul septu tipis dari matriks yang mengalami kalsifikasi melalui
pengendapan garam-garam anorganis terutama kalsium, dan (5) zona osifikasi yang
akan muncul jaringan tulang muda terbentul secara endokondral.
b. Bone Resorpsion
Fase awal dari proses resorbsi adalah aktivasi yang melibatkan rekruitment
prekursor osteoklast pada tulang dan diferensiasi dan fusi dalam osteoklas fungsional.
Penempelan osteoklast pada matriks tulang melibatkan beberapa glikoprotein surface
sebagai adhesi molekul intercelluler, yaitu immunoglobulin, integrin, dan cadherin.
Pada tahap awal, osteoklast akan menyamakan gradient pH antara sel dengan
permukaan tulang. Keadaan pH asam mampu mencerna mineral hidroksiapatit tulang
dan menyediakan kondisi optimal untuk aksi enzim proteinase yang dihasilkan
osteoklast. Resorbsi dilakukan oleh osteoklast yang menghasilkan enzim β-
glukoronidase untuk mencerna mukopolisakarida dan enzim proteinase untuk
mencerna glikoprotein. Carbonat Anhidrase II (CA II) adalah enzim sitoplasma yang
menghidrolisis karbon dioksida menjadi bicarbonat dan protons. CA II menjadi
sumber utama asidifikasi dalam resorbsi tulang. V-ATPase berperan dalam
mentranspor proton yang dihasilkan CA II dari sitoplasma ke dalam lakuna.
Hidroksiapatit dan derivat kolagen dicerna dalam keadaan asam oleh enzim
proteolitik dan beta glukoronidase.
Setelah osteoklas berhenti resorbsi, fagosit akan membersihkan sisa dan membuat
ruang bagi osteoblast untuk memeulai pembentukan tulang. Regulasi aktivitas
osteoklast dipengaruhi parathyroid hormone, IL-1, TNF, TGF-α yang berperan
menginhibisi aktivitas dan diferensiasi osteoklast. Hormon Calcitonin menginhibisi
aktivitsa resorbsi tulang dan mendukung ekskresi kalsium melalui ginjal. 1,25
dihidroxyvitamin D3 yang menstimulasi resorbsi tulang dengan peningkatan aktivitas
osteoklast dan mendukung diferensiasi prekursor osteoklast menajdi osteoklast
mature.
C. OSTEOMYELITIS
Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan struktur
sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik. Infeksi pada osteomyelitis dapat
terjadi secara lokal atau dapat menyebar melalui periosteum, korteks, sumsum tulang,
dan jaringan retikular. Jenis bakteri bervariasi berdasarkan pada umur pasien dan
mekanisme dari infeksi itu sendiri. Rasio terjadinya Osteomyelitis pada pria dan
wanita adalah 2:1.
Etiologi pada Osteomyelitis adalah Staphylococcus aureus, Enterobacter Sp, dan
Streptococcus Sp group A dan B, serta Haemophillus Influenza. Gejala Osteomyelitis
yang sudah kronik adalah timbul tanda-tanda inflamasi (rubor, kalor, tumor, dolor,
dan fungsiolesa), ulkus yang tidak kunjung sembuh, drainase saluran sinus sebagai
tempat keluarnya pus, dan nyeri pada penekanan dan palpasi.
Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis terdiri dari pemeriksaan radiologis, aspirasi, kultur jaringan, dan uji
sensitifikasi. Kultur jaringan dan uji sensitifikasi dari cairan yang berasal dari edema
untuk menentukan jenis etiologi yang tepat sekaligus jenis antibiotik yang tepat untuk
penatalaksanaan
Bentuk penatalaksanaan yang sampai sekarang masih digunakan adalah
pemberian antibiotik yang tepat dan squestrektomi atau operasi pengangkatan
squester. Jika pada masa Golden parriot ( 6-8 jam setelah fraktur) tidak segera
ditangani dengan tepat, maka prognosis Osteomyelitis tidak dapat sempurna karena
biasanya fokus infeksi telah menyebar, untuk itu pasien harus terus menerus
mengonsumsi antibiotik untuk menghambat perkembangan kuman penyebab infeksi.
(Sjamsuhidajat, R dan De Jong, W, 2003).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario 1 blok muskuloskeletal ini, disebutkan bahwa wanita, 18 tahun,
keluhan utama: nyeri tungkai bawah kiri, pyrexia, kemerahan, sinus kulit hilang
timbul. Riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami fraktur terbuka pada
tulang tungkai bawah akibat kecelakaan. Kemudian pasien berobat ke dukun. Pada
pemeriksaan fisik sekarang didapatkan deformitas, scarrtissue 10 cm regio tibia
kanan. Sinus discharge seropurulen melekat di tulang bawahnya, eksoriasi kulit.
Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil Plain foto penebalan periosteum, bone
resorpsion, sclerosis, Involucrum, Squester, Angulasi fibia dan tibula (varus).
Dua setengah tahun lalu, pasien pernah mengalami fraktur terbuka pada tulang
tungkai bawah. Fraktur terbuka dapat diartikan sebagai fraktur dengan kulit
ekstremitas yang terlibat telah ditembus. Fragmen fraktur ini dapat menembus kulit
pada saat terjadinya cedera, terkontaminasi, kemudian kembali hampir pada posisinya
semula. Untuk mengurangi infeksi terjadinya osteomielitis, harus dilakukan operasi
irigasi dan debridement dalam waktu 6 jam dan pemberian antibiotika. Akan tetapi,
pasien tidak mengobati lukanya di rumah sakit ataupun puskesmas, melainkan
pengobatan ke dukun tulang. Pengobatan pada dukun tulang tidak mungkin
melakukan tindakan debridement dan pemberian antibiotika dan juga tidak
memperhatikan kesterilitas proses pengobatan sehingga meningkatkan risiko infeksi.
Jika tulang patah, maka jaringan lunak di sekitarnya juga rusak, periosteum
terpisah dari tulang dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk
pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi di dalamnya
dengan sel-sel osteogenik berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblast.
Kondroblast akan mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk
lapisan tebal (kalus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas
bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen satunya dan menyatu. Penyatuan dari
kedua fragmen ini terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblast yang
melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur. Penyatuan tulang
povisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan
terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami remodelling untuk mengambil bentuk
tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast tulang baru dan osteoklast akan
menyingkirkan bagian yang rusak dan tulang sementara.
Sifat fragmen tulang yang sangat mudah menyambung dijadikan prinsip
pengobatan pada dukun. Biasanya pengobatan yang dilakukan adalah meraba dan
mereposisikan tulang yang patah secara manual dengan tangan kemudian difiksasi
dengan balutan kertas karton atau kardus selama beberapa hari. Reposisi tulang patah
yang dilakukan berdasarkan perkiraan dari dukun tulang saja tanpa petunjuk hasil
plain foto. Akibatya, reposisi ini meningkatkan risiko penyambungan pada tulang
yang salah sehingga terjadi malunion yang dapat menimbulkan deformitas.
Dua setengah tahun kemudian pasien baru datang ke dokter untuk memeriksakan
keluhan utama nyeri tungkai bawah kiri. Dokter melakukaan anamnesa pada tahap
awal pendiagnosaan yang didapatkan riwayat fraktur terbuka tulang tungkai bawah
kanan dan pengobatan ke dukun tulang. Anamnesa ini menunjukkan kemungkinan
terjadinya infeksi pada tulang karena proses penyembuhan yang tidak steril.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya deformitas pada tulang tungkai bawah kiri.
Deformitas adalah abnormalitas bentuk dari extremitas ataupun trunk yang terkena.
Deformitas muskuloskeletal dapat timbul pada tulang, persendian, dan jaringan lunak
yang melibatkan satu atau dua struktur tersebut. Tipe dari deformitas ada 3 macam
yakni kehilangan alignment, panjang abnormal (misal limb length discrepancy), dan
Pertumbuhan berlebih dari tulang (seperti pada osteochondroma). Pada tipe
kehilangan alignment dapat disebabkan terbelit pada axis panjangnya yang disebut
torsional deformity, dan karena patah yang membentuk angulatory deformity.
Proses peradangan memiliki dua proses pemulihan yakni regenerasi jaringan yang
mempunyai jejas oleh sel parenkim yang sama dan penggantian oleh jaringan ikat
(fibrosis) yang membentuk jaringan parut atau scarrtissue. Pada pasien ini, ditemukan
scarr tissue sebesar 10 cm pada regio tibia kiri. Fibrosis dapat terjadi jika kehilangan
sel atau jaringan terjadi lebih luas seperti pada infark, ulserasi radang, pembentukan
abses, dan luka besar sehingga proses pemulihannya menjadi lebih kompleks. Pada
keadaan ini, regenerasi sel parenkim tidak bisa mengembalikan arsitektur asal.
Akibatnya, terjadi pertumbuhan jaringan granulasi yang luas ke arah dalam dari tepi
luka, diikuti dengan penumpukan ECM serta pembentukan jaringan parut.
Proses penyembuhan luka dapat diringkas sebagai berikut induksi respon
peradangan akut oleh jejas awal termasuk terjadinya angiogenesis, regenerasi sel
parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim dan jaringan ikat, sintesis protein
ECM, remodelling unsur parenkim untuk mengembalikan, dan remodelling jaringan
ikat untuk memperoleh kekuatan luka. Pada dasarnya, ada dua proses penyembuhan
luka yakni penyembuhan primer jika terjadi robekan fokal pada kesinambungan
membran basalis epitel hingga timbul kematian sel epitel dan jaringan ikat sedikit
hingga membutuhkan banyak regenerasi epitel dan penyembuhan sekunder jika
terjadi kehilangan sel lebih luas.
Prinsip penyembuhan primer dan sekunder sama yakni:
1. Pada 24 jam pertama muncul neutrofil pada tepi insisi dan bermigrasi ke bekuan
fibrin, sel basal pada tepi irisan epidermis terjadi peningkatan aktivitas mitosis, sel
epitel dari kedua tepi irisan telah mulai bermigrasi dan berproliferasi di sepanjang
dermis kemudian terjadi deposit komponen membran basalis hingga bertemu di
garis tengah bawah keropeng.
2. Pada hari ke-3 muncul neutrofil digantikan oleh makrofag dan jaringan granulasi,
timbul serat kolagen pada tepi insisi mengarah vertikal, dan proliferasi sel epitel
berlanjut membentuk lapisan epidermis penutup
3. Pada hari ke-5 terjadi puncak neovaskularisasi sehingga jaringan granulasi
mengisi ruang insisi, terjadi limpahan serabut kolagen menjembatani insisi, serta
epidermis kembali ke ketebalan normal.
4. Pada minggu ke-2 terjadi penumpukan kolagen dan proliferasi fibroblast, infiltrasi
leukosit dan edema serta terjadi pemutihan dengan peningkatan deposisi kolagen
dalam jaringan parut dan regresi pembuluh darah.
5. Pada akhir bulan pertama, jaringan parut yang terdiri dari jaringan ikat tanpa sel
radang dan ditutupi epidermis normal.
Letak perbedaan antara proses penyembuhan primer dan sekunder antara lain
pada penyembuhan sekunder terjadi kerusakan jaringan yang luas hingga jumlah
debris nekrotik, eksudat dan fibrin lebih besar, terbentuk jaringan granulasi lebih
besar, serta timbul kontraksi luka yang dilakukan oleh sel miofibroblast.
Pada tahap infeksi akut, diawali dengan proses inflamasi. Invasi bakteri piogenik
sebagai penyebab tersering osteomielitis merangsang terjadinya peradangan
polimorfonukleus supuratif yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskular
dan eksudasi neutrofil. Neutrofil tertarik ke tempat infeksi akibat pelepasan
kemoatraktan residu N-formil. Berkumpulnya neutrofil menyebabkan terbentuknya
pus. Vasodilatasi arteriol dan peningkatan aliran darah meningkatkan tekanan
hidrostatik intravaskular dan pergerakan cairan kapiler atau transudat. Pelebaran
pembuluh darah merupakan penyebab timbulnya warna merah (eritema) dan hangat
yang khas pada inflamasi. Peningkatan permeabilitas vaskular memungkinkan
pergerakan cairan kaya protein atau eksudat ke dalam interstitium yang akan
meningkatkan tekanan osmotik cairan interstitial. Akumulasi cairan ini dinamakan
edema.
Tulang dapat dianggap sebagai ruang yang rigid dan tertutup sehingga proses
edema ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraosseus yang tajam.
Peningkatan intraosseus ini menimbulkan gejala rasa nyeri lokal dan konstan. Pus
yang terbentuk dapat meningkatkan tekanan intraosseus. Peningkatan masuknya
cairan eksudat atau stasis dan pembentukan pus menyebabkan terjadinya
intravascular thrombosis sehingga aliran darah terhambat. Iskemi dari tulang
mendorong terjadinya nekrosis tulang.
Infeksi yang tidak dirawat akan menyebar melalui beberapa rute. Melalui
pembuluh darah yang rusak pada lesi lokal, sejumlah besar bakteri mereinvasi aliran
darah sehingga secara klinis dari tahapan bakteremia yang belum terdeteksi menjadi
septikemia, yang ditandai dengan malasia, anoreksia, dan pireksia.
Pireksia dapat diartikan sebagai kenaikan suhu tubuh hingga suhu central di atas
38º. Pireksia merupakan tanda terjadinya SIRS. Endotoxin (lipopolysaccharides)
yang dikeluarkan bakteri piogenik, circulating immune complexes, tissue breakdown
products, inflammatory mediators dan pirogen lain seperti IL1, IL6, dan TNF yang
bekerja pada pre-optic nucleus dari hypothalamus. Akibatnya terjadi synthesis dan
pelepasan prostaglandin E2 yang mengatur ulang hypothalamic temperature set
point.
Pada keadaan kronis seperti pada skenario, bila infeksi berlanjut maka
pembentukan pus akan terus terjadi hingga menembus involucrum menuju ke bawah
kulit melalui cloaka membentuk Sinus discharge seropurulen yang tampak pada
pemeriksaan fisik pasien.
Setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien dapat didiagnosa
sementara menderita osteomyelitis. Tahap selanjutya adalah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti aspirasi untuk memperoleh pus dari subkutis, subperiost, atau lokus
radang dimetafisis, pemeriksaan sintigrafi, biakan darah dan pemeriksaa pencitraan.
Sclerosis merupakan gambaran response healing yang dikarakteristikan sebagai
peningkatan radiodensitas dan irregualritas dari kontur tulang kadang dengan
perubahan kistik. Pada subacute and chronic osteomyelitis, pembentukan periosteum
meningkat sehingga terjadi gambaran penebalan periosteum. Selain Osteomielitis,
Diagnosis banding yang dapat menunjukkan gambaran sklerosis antara lain Osteoid
osteoma, fibrous dysplasia, and Ewing's sarcoma.
Squester dapat merupakan gambaran khas dari Osteomyelitis kronik hematogen
yang lebih sering terjadi pada tulang pipa daripada tulang pendek. Squester
merupakan fragmen sisa tulang nekrotik yang akan meningkatkan densitas dari
radiograf konvensional akibat kekurangan suplai darah. Squester dapat terdiri dari
tulang cortical ataupun cancellous bone dan biasanya dikelilingi jaringan granulasi
atau eksudat. Kadang sequestra dapat keluar melalui traktus sinus dan muncul pada
permukaan kulit. Involucrum merupakan cincin tulang reaktif yang mengelilingi
squester yang akan tampak hypodens.
Reaksi pemulihan pada osteomyelitis kronis dapat memberikan gambaran
peningkatan aktivitas osteoklast untuk mereabsorbsi tulang-tulang yang nekrotik
sehingga timbullah gambaran Bone resorpsion.
Deformitas yang tampak pada pemeriksaan fisik semakin diperjelas bentuknya
pada hasil plain foto berupa Angulasi fibia dan tibula membentuk varus. Deformitas
angulasi tibia dan fibula disebabkan fraktur oleh fraktur pada regio cruris dexter yang
pernah dialaminya dua tahun lalu. Deformitas angulasi dapat menimbulkan bentuk
varus dan valgus.
Penatalaksanaan tehadap pasien antara lain mengistirahatkan ekstremitas yang
terkena dan segera memberikan antibiotik yang efektif terhadap gram negatif maupun
postif secara parenteral selama 3-6 minggu bila terdapat perbaikan sambil menunggu
hasil pemeriksaan pembiakan darah dan uji sensitivitas mikroba. Selanjutnya dapat
diberikan antibiotika oral selama 4-6 minggu. Jika terapi intensif selama 24 jam tidak
didapati perbaikan, dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena di beberapa
tampat untuk mengurang tekanan intraostal. Cairan tersebut perlu dibiakkan untuk
menentukan jenis kuman dan resistensinya. Pembedahan dilakukan dengan indikasi
Adanya sequester, abses, rasa sakit yang hebat, bila mencurigakan adanya perubahan
kearah keganasan (karsinoma epidermoid).
Prognosis pasien tergantung pada kecepatan dalam mendiagnosa dan melakukan
penanganan. Ada empat faktor penentu prognosis yakni interval waktu onset infeksi
dengan waktu memulai pengobatan, efektivitas obat antibacterial terhadap bakteri
spesifik penyebab kausa, dosis obat antibakterial, dan durasi terapi antibakterial.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
Secara histologis, tulang tersusun atas sel tulang (osteoblast, osteosit, dan
osteoklast) dan matriks tulang
Pertumbuhan tulang biasanya berhubungan dengan resorbsi parsial (dilakukan
osteoklast) dari jaringan yang telah dibentuk sebelumnya dan sekaligus peletakan
tulang baru
Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan struktur
sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik.
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan plain foto, pasien dapat
didiagnosis menderita infeksi tulang yang disebut osteomielitis.
Saran:
Pemeriksaan penunjang penting lain yang perlu dilakukan adalah pembiakan pus
dan pembiakan darah untuk mengetahui jenis kuman yang menginfeksi serta
dilakukan uji sensitivitas mikroba untuk mendapatkan antimikroba yang tepat.
Keluarga pasien sebaiknya segera mengurus asuransi kesehatan yang tidak bisa
digunakan dengan memperbaruinya sehingga dapat digunakan membantu
pembayaran pengobatan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Carter, Michael A., 2006. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi. Dalam : Price, Sylvia A. Patofisiologi, 6th ed vol.2. Jakarta, EGC
Carter, Michael A., 2006. Fraktur dan Dislokasi. Dalam : Price, Sylvia A. Patofisiologi, 6th ed vol.2. Jakarta, EGC
Dorland, W.A. Newman. 2000. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Guyton, dkk. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Mansjoer, Arief, et. al., 2001. Kapita Selekta Kedokteran 3thed vol.2. Jakarta, Media Aesculapius
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
Syamsuhidajat R., Jong, Wim de., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC