Oral Medicine 09052011

48
Drg. Pujiana 1. Mekanisme peradangan Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002). Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973). Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan- perubahan imunologik (Rukmono, 1973). Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan,

Transcript of Oral Medicine 09052011

Page 1: Oral Medicine 09052011

Drg. Pujiana

1. Mekanisme peradangan

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).

Tanda-tanda radang (makroskopis)

Page 2: Oral Medicine 09052011

Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).

Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).

Mekanisme radang

Page 3: Oral Medicine 09052011

1. Radang akut

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003).

Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).

Page 4: Oral Medicine 09052011

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).

Page 5: Oral Medicine 09052011

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).

2. Radang kronis

Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).

Mediator kimia peradangan

Page 6: Oral Medicine 09052011

Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).

Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).

1. Amina vasoaktif

Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil. Segera setelah

Page 7: Oral Medicine 09052011

dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

2. Protease plasma

Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran, 2003).

Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor Xa menyebabkan

Page 8: Oral Medicine 09052011

peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).

Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik. Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi sistem pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).

Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut ”jalur klasik” yang tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).

a. Metabolit asam arakidonat

Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai

Page 9: Oral Medicine 09052011

komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2?, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).

Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).

b. Produk leukosit

Page 10: Oral Medicine 09052011

Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom menyebabkan pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).

Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya penting pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada radang kronik (Robbins & Kumar).

c. Mediator lainnya

Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion superoksida dan hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim. Akibatnya, akan dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins & Kumar, 1995).

Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena menyebabkan agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular, adhesi leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar, 1995).

Daftar Pustaka

1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).

Page 11: Oral Medicine 09052011

2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.

3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).

4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).

5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.

6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1987).

http://doctorology.net/?p=193

2. LESI PRIMER DAN LESI SEKUNDERLESI RONGGA MULUT Masalah kedokteran gigi tidak hanya membahas gigi geligi tetapi meluas ke rongga mulut yang terdiri dari jaringan keras maupun jaringan lunak. Penyakit jaringan lunak pada rongga mulut dewasa ini, menjadi perhatian serius para ahli terutama dengan meningkatnya kasus kematian yang disebabkan kanker yang ada di rongga mulut khususnya pada negara-negara berkembang di Asia (Saranath dkk,1991). Salah satu penyakit jaringan lunak pada rongga mulut adalah lesi putih yang merupakan lesi jaringan lunak yang relatif sering terjadi dan dapat berubah menjadi lesi ganas khususnya jika keadaan ini persisten di dalam mulut (Holmstrup dkk, 1992). Lesi atau kelainan pada jaringan lunak rongga mulut sering kali didiagnosis berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis yang singkat, tetapi sering kali cara tersebut tidak tepat dan mengarah ke diagnosis yang tidak tepat sehingga penatalaksanaannya pun tidak tepat. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena lesi pada jaringan lunak rongga mulut mempunyai kemiripan manifestasi klinis antara satu kelainan dengan kelainan lainnya. Ketepatan pemeriksaan klinis memerlukan proses pendeskripsian lesi yang akurat untuk mengidentifikasikan penyakit pada jaringan lunak rongga mulut maupun kulit, karena kebanyakan kelainan yang menyerang jaringan lunak rongga mulut juga menyerang kulit.

Page 12: Oral Medicine 09052011

Identifikasi lesi secara tepat membutuhkan pemahaman tentang anatomi jaringan lunak rongga mulut dan lesi-lesi dasar.

EPITEL MUKOSA RONGGA MULUT Epitel / Mukosa Rongga Mulut Berdasarkan struktur histologisnya, epitel/mukosa rongga mulut terbagi menjadi 2, yaitu Epitel Rongga Mulut dan Lamina Propia. 1 Struktur histologi Epitel rongga mulut • Fungsi: a. Sekresi b. Pertukaran gas dan absorpsi nutrisi dengan lingkungan c. Proteksi terhadap sinar UV, perlindungan fisik terhadap infeksi, dan pigmentasi d. Ekskresi → mengeluarkan nitrogen e. Reseptor stimulus → sensasi kemotatik: penciuman & pengecapan

• Struktur epitel rongga mulut adalah Stratified Squamous Epithelium: Stratified Squamous Epithelium a. Terletak diatas membrana basalis b. Biasanya terdiri dari sel-sel squamous, seringkali terdiri dari sel-sel polimorfik.

Sel-sel epitel rongga mulut: a. Keratinocyte: Sel epitel mukosa rongga mulut (stratified epithelial cells) yang mengalami diferensiasi. b. Non-keratinocyte: Sel pigmen dendritik atau sel tipe lain dalam epitel secara kolektif. Non-Keratinized Keratinized Lapisan superfisial Lapisan superfisial Sel berinti Sel-sel mati (dead cell) Fungsi: proteksi Sitoplasma diganti keratin Bersifat selalu basah Bersifat impermeable

Stratifikasi epitel rongga mulut (dari arah luar ke dalam): 1. Stratum Korneum = Keratinized Layer - sel terletak di permukaan - sel pipih, heksagonal & tak berinti 2. Stratum Lusidum - tidak ada - kalau ada, tidak berkembang dengan baik 3. Stratum Granulosum = Granular Layer - sel paling besar & pipih - sel berinti

Page 13: Oral Medicine 09052011

- sitoplasma Ú granula keratohialin basofilik 4. Stratum Spinosum = Prickle Cells Layer - di atas sel basal - bentuk sel Polihidral - berduri (Spiny) Ú perlekatan antar sel - sel berinti - masih terjadi mitosis - bersama-sama dengan stratum basale disebut Stratum Malpighi 5. Stratum Basalis = Basal Cells Layer - melekat pada membrana basalis - bentuk sel silindris → Stratum Silindrikum - sel berinti - pembelahan (mitosis) & penggantian sel rusak atau mati → Stratum Germinativum Catatan: makin ke permukaan → sitoplasma lebih eosinofil.

Stratifikasi epitel rongga mulut :Lamina propia Komponen lamina propia terdiri dari: 1. Serabut a. Serabut kolagen (collagen fibres) Struktur tersusun tiga dimensi yang menentukan: - stabilitas mekanik - mempertahankan bentuk dan ekstensibilitas jaringan b. Serabut elastik (elastic fibres) - jumlah sedikit - bantu mempertahankan bentuk jaringan c. Serabut retikulin (reticulin fibres) - mengikat serabut kolagen - dominan pada membrana basalis Sistem serabut tersebut berada dalam substansi dasar (matriks), yang terdiri dari: a. Kompleks karbohidrat-protein b. Fibroblas: - sel yang bertanggung jawab pada sekresi - serabut dan matriks 2. Saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe 3. Papillary layer a. serabut kolagen halus (Ø 0,3 - 3 μm) Ú tersusun sebagai jaringan ikat kendor. b. bagian atas: melekat pada membran basalis. c. bagian lebih dalam: melekat pada reticuler layer 4. Retikuler layer →Serabut kolagen lebih kasar dan padat (Ø 10 - 40 μm).

Lamina propia

Page 14: Oral Medicine 09052011

Pembagian mukosa Pembagian mukosa berdasarkan struktur histologi epitel mukosa rongga mulut dibagi menjadi 3, yaitu: Masticatory Mucosa, Lining Mucosa, dan Specialized Mucosa. Mastikatori mukosa • Sering untuk mengunyah • Pada epitel yang sering mengalami keratinisasi • Lamina propia padat dan terikat erat pada tulang • Terdiri dari: a. Gingiva dan ephitelial attachment (free dan attached gingiva) b. Interdental papil dan palatum durum • Sub mukosa bervariasi: a. Gingiva → submukosa (-) b. Palatum → submukosa (+) • Palatum Durum: a. Atap rongga mulut dilapisi dengan keratinized stratified squamous epithelium b. Pada daerah midline tidak ada submukosa c. Pada raphe mediana → terdapat papilla insisivus d. Pada sisi-sisi raphe mediana terdapat ridge yang disebut rugea e. Pada daerah anterolateral terdapat daerah berlemak yaitu daerah submukosa Lining mukosa • Lapisan epitel tebal • Umumnya tidak berkeratin • Lamina propia tipis dan elastis • Ikatan lamina propia dengan submukosa bervariasi (elastisitas tinggi dan terikat erat), tergantung regio. Misalnya: a. Mukosa pipi e. Mukosa bibir b. Ventral lidah f. Pallatum molle c. Vestibulum g. Mukosa alveolar d. Dasar mulut • Submukosa terikat pada otot (sering bergerak) → sering terkena trauma • Lining mukosa terdapat pada: a. Bibir b. Pallatum Molle c. Pipi d. Permukaan lidah e. Dasar muluta. BIBIR - kulit/pembungkus bagian luar - mucocutaneous junction - permukaan mukosa bagian dalam biasanya berkeratin - skeletal muscle - permukaan dalam terdapat:

Page 15: Oral Medicine 09052011

stratified squamous cell dan non keratinized glandulla seromukous pada lamina propia terdapat vermillion border → red area → menghubungkan mukosa rongga mulut dan daerah bibir yang berkulit. Red area karena: epitelnya tipis mengandung eleidin pembuluh darah dekat permukaan - terdapat glandulla cebacea pada sudut mulut, yang disebut Fordyce’s spots. b. PALLATUM MOLLE - banyak vaskularisasi pada lamina propia - lebih berwarna merah muda dibandingkan pallatum durum - submukosa terdiri dari otot-otot pallatum molle dan kelenjar mukous c. PIPI - seperti mukosa pallatum molle dan bibir - stratified squamose epithelium → non keratinized - terdapat sel-sel lemak dan glandula seromukous di dalam dan diantara sabut-sabut otot - lemak dan glandula memberikan gambaran histologis yang unik d. PERMUKAAN LIDAH (ventral lidah) - lining mukous juga terdiri dari lamina propia dan submukous - pada submukous terdapat sabut-sabut otot → di bawah permukaan lidah e. DASAR MULUT - dilapisi membrana mukosa non keratinisasi - di dasar mulut terdapat: - glandulla salivary minor - glandulla sub lingualis - Specialized mukosa • Epitel berkeratin • Lamina propia padat dan tipis • Lamina propia terikat erat pada otot dibawahnya • Pada regio terdapat Dorsum Lidah, terdiri dari: 1. PAPILLA Jenis-jenis papilla: a. Papilla Filliformis → mayoritas - merupakan permukaan lidah yang kasar. - kira-kira tingginya 2-3 mm dari permukaan lidah. - berperan pada pengunyahan dan gerakan makanan. b. Papilla Fungiformis - diantara papilla filliformis. - jumlahnya lebih sedikit. - bentuknya seperti jamur. - lapisan epitel tipis dan nonkeratinisasi.

Page 16: Oral Medicine 09052011

- papilla terlihat merah muda / kemerahan karena pembuluh darah dekat dengan permukaan. - taste bud kadang-kadang ditemukan pada permukaan superior papilla fungiformis. c. Papilla Circum Valata - jumlahnya 10-14. - besarnya/diameter 3 mm. - lokasinya di sepanjang sulcus terminalis. - bentuk huruf V. - sulcus terletak antara corpus dan radix linguae. - masing-masing papilla dikelilingi oleh grooves. - ductus kelenjar von ebner bermuara pada grooves. d. Papilla Foliata - terletak pada sisi lateral posterior lidah. - bentuk berupa groove yang vertikal. - berjumlah 4-11. - mengandung taste bud. TASTE BUD - sensitivitasnya pada lidah dan palatum. - mengandung indra rasa. Dapat merasakan 4 jenis rasa, yaitu manis, pahit, asam, asin. - rasa manis dan asin terdapat pada ujung lidah. - rasa asam pada lateral lidah. - rasa pahit pada daerah papila circum valata. Daerah ini sering overlap. Terbukti semua papilla merespon semua sensasi rasa, tetapi level sensitivitasnya berbeda. - biasanya dihubungkan dengan papilla pada lidah. - beberapa tersebar pada pallatum molle, epiglotis, larink, dan pharink. - mudah dikenali di bawah mikroskop karena struktur yang terbentuk ”Barrel-Shape”. - sel-sel epitelnya nampak ovoid. - berhubungan degan ujung saraf sensoris. - ujung saraf ini berasal dari Chorda Timpany dan kemudian terletak diantara taste bud. - beberapa jenis sel perasa terdapat diantara 10-14 sel pada taste bud. - setiap taste bud mengandung beberapa sel perasa (taste cell) yaitu Subtentacular yang terletak pada perifer taste bud. - terdapat juga jenis basal sel pada taste bud. Basal sel ini berdekatan dengan basal lamina. Perbedaan Mukosa Rongga Mulut Berdasarkan Struktur Histologis Epitel Rongga Mulut:DAERAH EPITEL LAMINA PROPIA SUBMUCOSA Masticatory Mucosa Attached gingiva Merah muda, tidak bergerak, kadang ada daerah berpigmen melanin, stipping bervariasi Keratinisasi tebal (terutama parakeratinisasi, beberapa ortokeratinisasi) Stratum papilare tinggi dan sempit Tidak ada Palatum durum Merah muda, tidak bergerak, terdapat rugae dan raphe

Page 17: Oral Medicine 09052011

Ortokeratinisasi tebal Bagian medial: rugae dan raphe Hanya pada daerah lateral, bagian anterior terdapat adiposa, bagian posterior glandula salivary Lining Mucosa Mucosa labial dan bukal Merah muda, mengkilat, banyak daerah mengalami berpigmen melanin, kadang2 terdapat fordysis spot Non Keratinisasi tebal Jaringan ikat pada papilla tak teratur, beberapa sabut elastis, perluasan suplai pembuluh darah Terdapat adipose dan glandula salivary minor, melekat kuat pada otot Alveolar mucosa Merah muda kemerahan, mengkilat, kebanyakan sangat mobile Non Keratinisasi tipis Jaringan ikat pada papil kadang tidak ada, banyak sabut elastis, suplai pembuluh darah banyak Terdapat glandula salivary minor, banyak sabut elastis, melekat tidak kuat pada otot atau tulang Dasar mulut dan ventral lidah Merah muda kemerahan, lembab mengkilat, dengan pembuluh darah, mobile Non Keratinisasi sangat tipis Perluasan suplai pembuluh darah Dasar mulut: Jaringan ikat pada papila luas. Ventral lidah: Jaringan ikat pada papila banyak, beberapa sabut elastis, glandula salivary minor Ada Dasar mulut : Adipose dengan glandula submandibular dan sublingual, perlekatan yang kendor pada tulang/otot Ventral Lidah : Sangat tipis dan melekat kuat pada otot

3 Lesi atau Luka

Lesi adalah suatu kelainan patologis pada jaringan yang menimbulkan gejala/simtom. Lesi terbagi menjadi 2 macam, yaitu Lesi Primer (pertama kali timbul) dan Lesi Sekunder (timbul setelah lesi primer).Macam-macam lesi jaringan lunak rongga mulut LESI PRIMER 1. Makula 2. Papula 3. Plak 4. Nodula (dungkul) 5. Vesikula 6. Bula (blister)

Page 18: Oral Medicine 09052011

7. Pustula 8. Keratosis 9. Wheals 10. Tumor SEKUNDER 1. Erosi 2. Ulseri 3. Fisura 4. Sikatrikas 5. Deskuamasi 6. Pseudomembran 7. Eschars 8. Krusta 9. Sinus

A. Lesi primer 1. MAKULA • Ukuran: - Titik sampai bercak - Diameter beberapa mm hingga cm • Warna: Merah, coklat keputihan, dsb → Tergantung penyebabnya: a. Berasal dari vaskularisasi - Warna: merah kecoklatan - Bila ditekan berwarna pucat - Misal: hiperemia b. Berasal dari pigmen darah - Warna: merah kebiruan - Misal: petechiae, purpura, ecchymoses (hematom) c. Berasal dari pigmen melanin - Warna: biru kecoklatan - Misal: hiperpigmentasi 2. PAPULA • Contoh: - Lichen planus (pada mukosa) adalah papula keputihan. - Fordyce’s spot adalah anomali pertumbuhan dmana kelenjar lemak tumbuh ektopik. • Makula dan papula Terasa gatal, rasa terbakar, dan nyeri • Permukaan papula:Erosi atau deskuamasi 3. PLAK • Contoh: Leukoplakia→ lesi praganas (ada kecenderungan menjadi ganas) 4. NODULA • Contoh: Iritasi fibroma

Page 19: Oral Medicine 09052011

- Tumor jinak dari jaringan ikat yang terjadi karena iritasi kronis (iritasi ringan yang terus menerus) - Dapat hilang sendiri atau tidak, setelah iritasi kronis dihilangkan (misal eksisi) 5. VESIKULA 6. BULA 7. PUSTULA 8. KERATOSIS • Adalah penebalan yang tidak normal dari lapisan terluar epitel (stratum korneum). • Warna: putih sampai keabuan. • Contoh: linea alba bukalis, leukoplakia, lichen planus. 9. WHEALS 10.TUMOR • Dapat berwarna apapun. • Lokasi: pada jaringan lunak RM manapun.

• Klinis: Lesi bulat menimbul dan tumor menetap bertangkai/ulseri ditengahnya.

B. Lesi sekunder 1. EROSI • Dapat sembuh tanpa jaringan parut. • Contoh: Lichen Planus tipe erosif. 2. ULSERI • Rasa nyeri bertambah dan bila ditekan menimbulkan perdarahan karena kerusakan sampai lamina propia. • Contoh: ulkus traumatikus; stomatitis aftosa rekuren. 3. FISURA 4. SIKATRIKS 5. DESKUAMASI 6. PSEUDOMEMBRAN • Adalah membran palsu. • Contoh: Kandidiasis Pseudomembran Akut. 7. ESCHARS • Adalah cacat atau kerusakan pada kulit / mukosa akibat luka bakar. 8. KRUSTA • Adalah lapisan luar yang terbentuk dari pengeringan eksudat. • Contoh: Eritema Multiformis 9. SINUS

Kesimpulan: Permukaan mukosa rongga mulut → BERBEDA, tergantung dari regionya. Perbedaan tersebut menunjukkan adaptasi fungsional. Mukosa rongga mulut (adaptasi fungsional)

Page 20: Oral Medicine 09052011

Lesi adalah suatu kelainan patologis pada jaringan yang menimbulkan gejala/simtom. Lesi ada 2 macam, yaitu Lesi Primer dan Lesi Sekunder.

http://choybuccuq.blogspot.com/2009/02/lesi-rongga-mulut-oral-lession.html

3. CANDID A SEBAGAI FLORA NORMALCandida albicans (C. albicans) merupakan salah satu organisme komensal yang bertindak sebagai flora normal pada tubuh manusia dan tidak berbahaya. Tetapi C. albicans juga merupakan jamur yang paling banyak menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksinya biasanya bersifat lokal seperti infeksi oral dan vaginal. Pada pasien-pasien penderita immunocompromise, seperti bayi yang lahir prematur, penderita luka bakar, leukemia, dan pasien-pasien penderita penyakit imunodefisiensi seperti AIDS, infeksi Candida dapat bersifat menyeluruh dan berakibat fatal, lebih dari 50% pasien immunocompromise dan imunodefisiensi meninggal akibat infeksi yang disebabkan oleh Candida (Brooks et al, 2004; Kuswadji, 2005; Schmid, 2006; Wikipedia, 2006).

Pengobatan pada infeksi oleh jamur Candida biasanya dimulai dengan menghindari atau menghilangkan faktor-faktor predisposisi sebelum pemberian pengobatan secara medikamantosa. Pengobatan medikamentosa memang memberikan hasil yang cukup memuaskan, tetapi adanya efek samping obat seperti demam, muntah, spasme otot, dan hipotensi dapat menyebabkan kegagalan terapi, dikarenakan keengganan untuk meneruskan terapi tersebut. Pengobatan tradisional merupakan salah satu alternatif yang banyak dipilih masyarakat yang enggan menggunakan pengobatan medikamentosa, sehingga diperlukan adanya penelitian tentang obat-obat tradisional tersebut (Brooks et al, 2004; Kuswadji, 2005; Sinaga, 2005; Kunia, 2007).

Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek antijamur ekstrak lengkuas merah terhadap pertumbuhan C.albicans secara in vitro didapatkan hasil adanya daya hambat terhadap pertumbuhan jamur C.albicans yang ditandai dengan adanya daerah bening (clear zone) di sekitar cakram. Penghambatan pertumbuhan jamur terlihat pada konsentrasi 25% dengan diameter hambatan 8 mm, 50% dengan diameter 13 mm, dan 100% dengan diameter hambatan 18 mm.

Kamis, 26 Jul 2007 | 0 Komentar | Bagikan cerita

Jamuran Di Mulut !?!Penulis: TanyaDokterAnda Beri nilai:

Page 21: Oral Medicine 09052011

Mungkin tidak semua orang pernah mendengarnya. Apa dan seperti apa infeksi jamur di mulut itu, infeksi apa yang paling sering dijumpai dan apa pentingnya bagi kesehatan kita? Penjelasan singkatnya dapat kita baca di bawah ini….

Benarkah jamur dapat menginfeksi mulut? Benar, jamur dapat menyebabkan infeksi di rongga mulut. Infeksi jamur yang paling sering terjadi adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida, khususnya Candida albicans. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida disebut Candidiasis.

Mengapa Candida albicans bisa berada di rongga mulut? Candida albicans merupakan mikroorganisme yang normal dijumpai di rongga mulut. Dalam rongga mulut 50% populasi orang sehat dijumpai Candida albicans. Biasanya Candida albicans sering ditemukan di permukaan lidah bagian belakang. Candida albicans lebih sering ditemukan pada:WanitaGolongan darah OPengkonsumsi diet tinggi karbohidratSerostomia (mulut kering)Penggunaan obat antibiotika spektrum luasPemakai gigi palsuPerokokPasien dengan gangguan pertahanan tubuhPasien yang sedang dirawat inap

Seperti apa gambaran Candidiasis di rongga mulut?Candidiasis di rongga mulut ada beberapa tipe. Yang sering terjadi adalah Candidiasis pseudomembranosa akut dan Candidiasis yang berkaitan dengan penggunaan gigi palsu (dinamakan Denture stomatitis). Pada tipe pertama, mulut tampak tertutup lapisan lunak berwarna putih. Lapisan putih ini menyerupai tumpahan susu atau kepala susu. Apabila dikerok, lapisan putih ini dapat hilang dan di bawahnya akan didapati area yang berwarna kemerahan atau dapat juga berdarah. Candidiasis tipe ini sering kali berkaitan dengan penggunaan obat-obatan jenis antibiotika, steroid, dan pada penderita dengan kondisi mulut kering.

Candidiasis pesudomembranosa akut ini dapat pula timbul pada bayi. Yang penting untuk diketahui adalah, tipe ini sering dijumpai pada penderita dengan gangguan sistem pertahanan tubuh, misalnya pada penderita leukemia, keganasan lainnya, penderita HIV positif dan pasien yang sedang mendapat obat-obatan immunosuppressive (bersifat menekan respons pertahanan tubuh).

Denture stomatitis adalah tipe Candidiasis yang sering ditemukan pada pemakai gigi palsu. Pada tipe ini, tidak tampak lapisan lunak berwarna putih melainkan area berwarna kemerahan yang

Page 22: Oral Medicine 09052011

menunjukkan adanya peradangan, pada area mulut yang tertutup gigi palsu. Tipe ini lebih sering terjadi pada orang tua.

Candidiasis, apa yang perlu diwaspadai? Pada orang sehat, Candida tidak akan menyebabkan infeksi karena terdapat keseimbangan antara jamur dan bakteri di rongga mulut. Jadi, apabila terjadi infeksi Candida, maka perlu diwaspadai adanya gangguan kesehatan umum orang tersebut. Yang paling perlu diwaspadai adalah adanya gangguan sistem pertahanan tubuh, misalnya pada penderita HIV positif. Pada kasus infeksi HIV, Candidiasis bukanlah disebabkan oleh infeksi HIVnya tetapi karena penurunan jumlah barisan sel darah putih (limfosit CD4) yang berguna dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi Candida.

Candidiasis, bagaimana mengatasinya? Candidiasis jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga diperlukan pengobatan anti jamur oleh dokter atau dokter gigi. Selain itu perlu juga dilakukan tindakan-tindakan berikut:Hindari atau kurangi konsumsi rokokFaktor lokal, contoh: kondisi mulut kering perlu diatasi (konsultasikan dengan dokter atau dokter gigi anda)Jaga dan perbaiki kebersihan mulut, termasuk kebersihan gigi palsuJadi, karena Candidiasis erat berhubungan dengan kondisi kesehatan secara umum, maka apabila ditemukan tanda-tanda Candidiasis di rongga mulut, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter atau dokter gigi. (drg. Nita Margaretha, SpPM – Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut FKUAJ)

Sariawan Tak Kunjung Sembuh? Hati-hati Kanker Mulut! Anda memiliki sariawan yang tak kunjung sembuh? Jangan anggap remeh, bisa saja itu adalah tanda kanker mulut. Kenali apa itu...Lidah Terasa Seperti Terbelah? Apakah Ini Kanker Mulut? Beberapa hari ini saya sangat resah dan gelisah, dikarenakan salah ......Bau Mulut? Jangan Sampe Deh! Bau mulut!!! Hal satu ini tidak hanya menimbulkan rasa malu tapi juga bisa berarti ada yang salah dari tubuh anda....Ihh… Kok Jamuran ! Jamuran, tentu tidak ada yang ingin memiliki penyakit ini. Bukan karena mematikan, tapi karna memalukan. Bagaimana menangani jamuran yang "menjamur"...Mari Cegah Kanker Mulut Rahim ! Kanker mulut rahim merupakan salah satu penyebab kematian pada wanita dan sering tak terdeteksi. Mari cegah penyakit satu ini ...

Page 23: Oral Medicine 09052011

GAMBARAN KLINIS KANDIDA

4. PENYAKIT SITEMIK DI RM

MANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK PADA RONGGA MULUT

Drg. Farah Dibayanti NoormaniahDr. Tetrawindu Agustiono Hidayatullah

Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mataram

Banyak penyakit sistemik yang mempunyai manifestasi di rongga mulut. Rongga mulut dapat menjadi jendela tubuh kita karena banyak manifestasi pada rongga mulut yang menyertai penyakit sistemik. Kami telah mempelajari beberapa makalah/artikel/jurnal dan menggambarkan manifestasi mulut dari beberapa penyakit sistemik. Banyak lesi pada mukosa mulut, lidah, gingiva, gigi, periodontal, glandula salivarius, tulang wajah, kulit disekitar mulut yang terkait dengan penyakit sistemik umum.

Penyakit-penyakit darahAnemiaAnemia defisiensi besi adalah penyakit darah yang paling umum. Manifestasi pada rongga mulut berupa atropik glossitis, mukosa pucat, dan angular cheilitis. Atropik glossitis, hilangnya papila lidah, menyebabkan lidah lunak dan kemerahan yang menyerupai migratori glossitis. Migratori glossitis, dikenal juga dengan sebutan geographic tongue, merupakan suatu kondisi lidah yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi 1-2% populasi. Hal tersebut mengakibatkan lesi kemerahan, non- indurasi, atropik dan dibatasi dengan sedikit peninggian pada lidah, pinggir yang nyata dengan warna yang bermacam-macam dari abu-abu sampai putih. Pada atropik glossitis, area-nya tidak mempunyai batas keratotik putih dan cenderung meningkat ukurannya

Page 24: Oral Medicine 09052011

daripada perubahan posisinya. Pada kasus yang lebih parah, lidah menjadi lunak. Angular cheilitis, terjadi pada sudut bibir, yang disebabkan karena infeksi candida albicans (1) menyebabkan kemerahan dan pecah-pecah, serta rasa ketidaknyamanan. Manifestasi Plummer-Vinson syndrome juga termasuk disfagi akibat ulserasi pharyngoesophageal. Komplikasi-komplikasi rongga mulut muncul bersamaan dengan anemia sickle sel berupa osteomyelitis salmonella mandibular yang tampak sebagai area osteoporosis dan erosi yang diikuti oleh osteosklerosis. Anesthesia atau paresthesia pada nervus mandibular, nekrosis pulpa asymptomatik mungkin juga dapat terjadi (2). Kondisi-kondisi tersebut semakin parah apabila terjadi proliferasi sumsum tulang yang hebat. Deformitas dentofacial yang berhubungan dicirikan secara radiograpfik sebagai area dengan penurunan densitas dan pola trabekular kasar yang paling mudah dilihat diantara puncak akar gigi dan batas bawah mandibula. Osteosklerosis dapat terjadi bersamaan dengan trombosis dan infarksi.

LeukimiaKomplikasi oral leukimia sering berupa hipertrofi gingiva, petechie, ekimosis, ulkus mucosa dan hemoragik (3). Keluhan yang jarang berupa neuropati nervus mentalis, yang dikenal dengan ”numb chin syndrome” (4). Ulserasi palatum dan nekrosis dapat menjadi pertanda adanya mucormycosis cavum nasalis dan sinus paranasalis (5). Enam belas persen dan 7% anak dengan leukimia akut dilaporkan mengalami gingivitis dan mucositis (6). Infeksi bakterial rongga mulut, yang dapat menjadi sumber septisemia, merupakan hal yang sering dan harus segera dideteksi dan diobati secara agresif. Pengobatan leukimia dengan agen kemoterapi dapat mengakibatkan reaktivasi Herpes Simplex Virus (HSV) yang dapat mengakibatkan terjadinya mukositis. Namun mukositis akibat kemoterapi dapat terjadi tanpa reaktivasi HSV, karena penipisan permukaan mukosa dan/atau supresi sumsum tulang yang mengakibatkan invasi organisme oportunistik pada mukosa

Multiple Myeloma (MM)Bila MM melibatkan rongga mulut, biasanya berupa manifestasi sekunder pada rahang, terutama mandibula, yang dapat mengakibatkan pembengkakan rahang, nyeri, bebal, gigi goyah, fraktur patologik (7). Punched out lesions pada tengkorak dan rahang merupakan gambaran radiografik yang khas. Insidensi keterlibatan rahang pada MM sekitar 15 % (8). Karena MM mengakibatkan immunosupresi, maka timbul beberapa infeksi seperti oral hairy leukoplakia dan candidiasis (9). Timbunan amyloid pada lidah menyebabkan macroglossia (10).

Penyakit rheumatologikSjogren’s syndrome Pasien Sjogren’s syndrome (SS) sering mengalami xerostomia dan pembengkakan kelenjar parotis (11). SS sering dihubungkan dengan arthritis reumatoid. Pada suatu penelitian (12), 88%

Page 25: Oral Medicine 09052011

pasien dengan SS mengalami abnormalitas aliran ludah pada submandibular/sublingual, dan 55% mengalami abnormalitas aliran kelenjar parotis. Pembengkakan kelenjar parotis atau kelenjar submandibular ditemukan pada 35% pasien SS. Xerostomia dapat dihubungkan dengan fissure tongue, depapilasi dan kemerahan yang terdapat pada lidah, cheilitis, dan candidiasi. Fungsi menelan dan bicara menjadi sulit karena adanya xerostomia persisten. Parotitis bakterial yang biasanya disertai demam dan discharge purulen dari kelenjar juga dapat terjadi. Hal tersebut meningkatkan karies gigi, terutama pada servik gigi (13). Penting untuk mengenal SS dengan cepat dan merujuk ke dokter gigi karena karies gigi dapat berkembang cepat. Diagnosa sering dipastikan dengan biopsi glandula salivarius labialis minor. Secara histologik, terdapat infiltrat limfosit periduktal.Scleroderma (Sclerosis sistemik progresif)Scleroderma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya sklerosis difus dari kulit, saluran gastrointestinal, otot jantung, paru-paru dan ginjal. Bibir pasien scleroderma tampak berkerut karena konstriksi mulut, menyebabkan kesulitan membuka mulut. Fungsi stomatognatik termasuk mulut dan rahang juga mengalami kesulitan. Fibrosis esophageal menyebakan hipotensi sphincter esophageal bawah dan gastroesophageal reflux, terjadi pada 75% pasien scleroderma (14). Disfagia dan rasa terbakar termasuk gejalanya. Mukosa mulut tampak pucat dan kaku. Telangietacsias multiple dapat terjadi. Lidah dapat kehilangan mobilitasnya dan menjadi halus seperti rugae palatal yang menjadi datar. Fungsi glandula saliva dapat menurun walaupun tidak separah Sjogren’s syndrome. Ligamen periodontal sering tampak menebal pada gambaran radiografik.Lupus erythematosus (LE)Lupus erythematosus terbagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan sistemik lupus erythematosus (SLE). Lesi-lesi mulut terjadi pada 25-50% pasien DLE dibandingkan dengan 7-26% pasien SLE (15). Pada DLE, lesi ini biasanya mulai tampak sebagai area keputihan irregular yang kemudian meluas kearah perife. Setelah lesi ini meluas, bagian tengah daerah ini menjadi merah dan menjadi ulcer sedangkan bagian tepi meninggi dan hyperkeratotik. Lesi mulut lichen planus mirip lesi mulut pada DLE baik secara klinis maupun histologi (16). Kriteria histologik yang jelas harus dilakukan untuk membedakan keduanya.Ulserasi mulut dan nasopharyngeal diketahui sebagai manifestasi diagnostik mayor pada SLE oleh American Rheumatism Association Commite on Diagnostic and Therapeutic Criteria. Ulserasi-ulserasi ini biasanya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan palatum(17). Lesi-lesi purpurik seperti ecchymosis dan petechiae juga dapat terjadi. Lebih dari 30% pasien SLE, sering melibatkan glandula saliva, yang mendorong terjadinya Sjogren’s syndrome sekunder dan xerostomia yang parah. Arthritis RheumatoidSendi Temporomandibular (TMJ) sering terlibat dalam arthritis rheumatoid. Hal ini sering dicirikan dengan erosi pada condylus yang mengakibatkan berkurangnya gerakan mandibula dan disertai nyeri ketika digerakkan. Mulut kering dan pembengkakan kelenjar ludah dapat juga ditemukan pada pasien arthritis rheumatoid (18). Pada pasien-pasien tersebut dapat juga timbul

Page 26: Oral Medicine 09052011

SS sekunder. Fungsi rahang yang menurun penting untuk dilakukan rekonstruksi TMJ segera setelah penyakit utamanya terkontrol. Sendi prosthetik dapat menjadi solusi sementara pada pasien tersebut.

Penyakit OnkologiKanker MetastaseTumor metastase rongga mulut dapat menyerang pada jaringan lunak atau keras. Namun hal ini sangat jarang, hanya sekitar 1% neoplasma maligna rongga mulut. Tumor lebih sering bermetastase ke rahang daripada jaringan lunak rongga mulut. Tumor pada rahang sering terdeteksi bila timbul keluhan bengkak, nyeri, paresthesia, atau setelah menyebar ke jaringan lunak. Secara keseluruhan, tempat tumor primer metastase ke rahang berasal dari payudara, sedangkan paru-paru merupakan tempat tumor primer tersering untuk metastase ke jaringan lunak rongga mulut. Pada laki-laki, paru-paru merupakan tempat primer tersering baik untuk metastase ke rahang dan jaringan lunak rongga mulut. Regio molar mandibula merupakan tempat metastase tersering. Pada 30% kasus, lesi metastase rongga mulut merupakan indikasi pertama adanya malignansi yang tidak terdeteksi dari tubuh (19).

Manifestasi awal metastase ke attached gingiva dapat menyerupai satu dari 3 macam lesi hyperplastik reaktif pada gingiva dan harus ditegakkan dengan biopsi. Fibroma ossifikasi perifer biasanya muncul dengan bentuk kecil, berbatas tegas, bermassa padat dengan dasar berbentuk sessile atau pedunculated pada margin gingiva bebas.Lesi merah muda pucat sampai merah diatas dapat menjadi besar dan dapat terjadi pada semua umur (insidensi puncak pada umur 20 th). Tumor pyogenik atau ”pregnancy tumor” yang mempunyai kecenderungan berdarah, juga dapat terjadi pada attached gingiva. Lesi ini biasanya kecil (diameter kurang dari 1cm), merah, dan berulserasi. Lesi lain yang juga kecil, berbatas tegas, bermassa padat merah gelap, sessile atau pedunculated pada attached gingiva adalah granuloma giant cell perifer (20). Sebagai kesimpulan, penting untuk mengetahui macam-macam tumor yang bermetastase ke rongga mulut.Histiocytosis sel Langerhans (Histiocytosis X)Histiocytosis sel Langerhans (HSL) mewakili spectrum ganguan klinik dari yang sangat agresive dan penyakit mirip leukemia parah pada bayi sampai lesi soliter pada tulang (21). Hilangnya tulang alveolar pada anak-anak dengan eksfoliasi prekok gigi susu harus diduga adanya HSL. HSL dapat juga terjadi pada usia remaja dan dewasa. Dari tulang-tulang rahang, mandibula yang paling sering terlibat. Tanda-tanda yang muncul adalah nyeri, pembengkakan, ulserasi, gigi tanggal (ompong). Gambaran radiografik menunjukkan gigi tampak melayang di udara (floating in air) dikelilingi daerah radiolusen yang luas. Hal ini berkaitan dengan hilangnya tulang alveolar yang cepat. Istilah granuloma eosinofilik tulang (eosinophilic granuloma of bone) digunakan bila lesi soliter ditemukan, namun lesi multipel dapat muncul kemudian (Gbr. 5).

Kelainan EndokrinDiabetes Mellitus (DM)

Page 27: Oral Medicine 09052011

Banyak manifestasi rongga mulut pada DM, beberapa diantaranya dapat diketahui sejak awal tahun 1862. Pada umumnya gejala-gejalanya tampak parah, dan sangat progresive pada pasien IDDM (Independent Insulin DM) yang tidak terkontrol dari ada pasien NIDDM yang terkontrol. Penelitian menunjukkan bahwa umur, lama penyakit, dan tingkat kontrol metabolik memegang peranan penting timbulnya manifestasi-manifestasi rongga mulut pasien diabetes daripada jenis diabetes apakah IDDM atau NIDMM (22). Sekitar sepertiga pasien diabetes mempunyai keluhan xerostomia yang mana hal ini berkaitan dengan menurunnya aliran saliva dan meningkatnya glukosa saliva. Kemudian, pembesaran glandula parotis bilateral difus, keras, yang disebut sialadenosis dapat timbul. Proses ini tidak reversibel meskipun metabolisme karbohidrat terkontrol baik. Perubahan pengecapan dan sindrom mulut terbakar juga dilaporkan pada pasien DM tak terkontrol. Xerostomia merupakan faktor predisposisi berkembangnya infeksi rongga mulut. Mukosa yang kering dan rusak lebih mudah timbulnya infeksi oportunistik oleh Candida albican. Candidiasis erytematosus tampak sebagai atropi papila sentral pada papila dorsal lidah dan terdapat pada lebih dari 30% pasien DM. Mucormycosis dan glossitis migratory benigna juga mempunyai angka insidensi yang tinggi pada IDDM di populasi umum (22).Telah ditemukan bahwa terdapat insidensi yang tinggi karies gigi pada pasien dengan DM yang tidak terkontrol. Hal ini dihubungkan dengan tingginya level glukosa saliva dan cairan krevikuler. Penyembuhan luka yang tidak sempurna, xerostomia yang diikuti dengan penimbunan plak dan sisa makanan, kerentanan terhadap infeksi, dan hiperplasi attached gingiva, semua memberi kontribusi meningkatnya insidensi penyakit periodontal pada pasien diabetes (23). HypoparatiroidismePenurunan sekresi hormon paratiroid (PTH) dapat terjadi setelah pengambilan glandula paratiroid, begitu juga destruksi autoimun terhadap glandula paratiroid. Sindrom-sindrom yang jarang, seperti Digeorge Syndrome dan Endocrine-candidiasis syndrome sering dihubungkan dengan keadaan ini. Hipocalcemia terjadi mengikuti turunnya hormon paratiroid (24). Chvostek sign, tanda khas hipokalsemia, dicirikan dengan berkedutnya bibir atas bila nervus facialis diketuk tepat dibawah proccesus zygomaticus. Jika hipoparatiroid timbul di awal kehidupan, selama proses odontogenesis/pertumbuhan gigi, dapat terjadi hipoplasi email dan kegagalan erupsi gigi. Adanya candidiasis oral persisten pada pasien muda menunjukkan mulai terjadinya sindrom endocrine-candidiasis (25). HyperparatiroidismeManifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas trabecular dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ”ground glass” pada gambaran radiografiknya (26). Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya muncul, seperti hiperparatiroid ”brown tumor”. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau multiloculer radiolusen yang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini soliter, namun lebih sering multipel. Lesi yan bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi cortical yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan granulasi

Page 28: Oral Medicine 09052011

vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-type giant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada rahang.HypercortisolismeHypercortisolisme atau Cushing’s syndrome, berasal dari meningkatnya glukokortikoid darah yang terus-menerus. Hal ini juga bisa berkaitan dengan terapi kortikosteroid lain atau produksi berlebih endogen dari glandula adrenal. Horman adrenokorticotropik (ACTH) yang berlebih dari tumor pituitari juga menyebabkan hipercortisolisme dan penyakit Cushing’s. Penumpukan jaringan lemak di area wajah dikenal sebagai ”moon facies”. Pasien juga mengalami facial hirsutism yang bervariasi. Fraktur patologis mandibula, maxilla atau tulang alveolar juga dapat terjadi karena trauma benturan ringan akibat osteoporosis. Penyembuhan fraktur, begitu juga penyembuhan tulang alveolar dan jaringan lunak setelah pencabutan gigi menjadi tertunda. HypoadrenocortisismeHypoadrenocortisisme berasal dari kurangnya produksi horman kortikosteroid adrenal karena adanya kerusakan cortex adrenal, kondisi ini dikenal sebagai hypoadrenocortisisme primer atau Addison’s disease. Hal ini biasanya berkaitan dengan autoimmune, juga dapat disebabkan karena infeksi seperti tuberculosis, tumor metastase, amyloidosis, sarcoidosis atau hemochromatosis. Hypoadrenocortisisme sekunder berkembang karena fungsi glandula pituitary yang inadequate. Manifestasi orofacial termasuk A ”bronzing” hyperpigmentasi pada kulit, terutama pada area yang paling banyak terpapar matahari (sun-exposed area). Hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar beta-lipotropin atau ACTH, yang keduanya dapat menstimulasi melanosit. Perubahan kulit ini didahului oleh melanosis mukosa mulut. Pigmentasi kecoklatan difus atau bercak sering terjadi di mukosa buccal, namun dapat terjadi di dasar mulut, ventral lidah dan bagian lain mukosa mulut.

Penyakit GinjalUremik Stomatitis Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal kronik yang tidak terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang nyeri sebagian besar terdistribusi di mukosa bukal, dasar atau dorsal lidah, dan pada dasar rongga mulut. Angka insidensinya telah menurun seiring dengan tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit. Mekanisme yang diterima yang melatarbelakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu luka pada mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk dari hidrolisis urea oleh urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea intraoral melebihi 30 mmol/L (27). Diatesis hemoragik yang berasal dari inhibisi agregasi platelet dapat juga berperan dalam terjadinya hemoragik lokal, yang menyebabkan turunnya viabilitas dan vitalitas jaringan yang terkena, yang akhirnya menyebabkan infeksi bakteri.

Ada 2 jenis uremik stomatitis (27), pada tipe I, terdapat eritema lokal atau general di mukosa mulut, dan eksudat pseudomembran tebal abu-abu yang tidak berdarah/ulserasi bila diambil. Gejala lain dapat berupa nyeri, rasa terbakar, xerostomia, halitosis, perdarahan gingiva, dysgeusia, atau infeksi candida. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila pseudomembran tersebut diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang lebih parah, infeksi sekunder,

Page 29: Oral Medicine 09052011

anemia atau gangguan hematologik sistemik yang mendasari ayn disebabkan oleh gagal ginjal. Secara histologik, kedua tipe uremik stomatitis tersebut menunjukkan proses inflamtorik yang berat, dengan infiltrasi berat lekosit pmn dan nekrosis mukosa mulut. Kolonisasi bakteri yan sering ditemukan adalah Fusobacterium, spirochaeta, atau candida.Penyakit GastrointestinalChron’s DiseasePada tahun 1969, manifestasi oral penyakit Chron’s digambarkan identik dengan yang terjadi di mukosa intestinal. Secara histologi, lesi ini mempunyai gambaran granuloma non-necrotik di submucosa, yang terdiri dari sel raksasa Langerhan multinuklear, sel epiteloid, limfosit, dan sel plasma. Granuloma-granulom ini dapat bervariasi dalam ukuran dan kedalamannya di submukosa, dan insidensinya bervariasi dari 10-99% (28). Kadang-kadang granuloma ini menonjol ke dalam lumen limfatik, suatu keadaan yang disebut ”limfangitis granulomatosa endovasal” (“endovasal granulomatous lymphangitis”) (29).

Secara klinik, pasien tersebut memiliki gejala pembengkakan difus pada satu atau kedua bibir, dengan angular cheilitis, dan ”cobblestone” pada mukosa buccal dengan mukosa yang rigid dan hiperplastik. Dapat juga terjadi nyeri ulserasi pada vestibulum bukal, pembengkakan terlokalisir yang tidak nyeri pada bibir atau wajah, fissure pada garis tengah bibir bawah, dan edema erythematos gingiva (30). Limfonodi servik dapat menjadi keras dan terpalpasi. Tidak ada hubungan waktu yang langsung antara intestinal dan lesi rongga mulut. Lesi rongga mulut telah terbukti mendahului lesi intestinal selama bertahun-tahun, dan pada beberapa kasus dapat menjadi satu-satunya manifestasi penyakit Chron’s. Lesi rongga mulut hanya dapat berefek dengan steroid sistemik.

Kolitis UlseratifKolitis Ulseratif telah dihubungkan dengan ulserasi oral destruktif akibat dari immunemediated vasculitis (31). Penyakit ini mirip dengan ulser aphtosa, namun lebih jarang dari Chron’s Disease. Pyostomatitis vegetans merupakan manifestasi oral dari colitis ulseratif, berwujud mikroabses intraepitelial multipel tanpa nyeri dalam garis lurus atau berkelok-kelok di mukosa lidah, soft palatum, ventral lidah. Pyostomatitis gangrenosum merupakan varian lain yang cukup hebat dengan ulser yang besar, destruktif, dan bertahan lama yang menimbulkan jaringan parut yang sangat nyata (32).

KesimpulanPenyakit sistemik sering muncul dengan abnormalitas struktur rahang dan rongga mulut. Pemahaman yang tepat tentang penyakit rongga mulut dapat mendukung pelacakan, penegakan dianosis dan pengobatan penyakit sistemik yang mendasarinya. Diagnosis yang tepat penting untuk memulai pengobatan yang benar. Dokter pada pelayanan primer serta dokter gigi sebaiknya mengetahui masalah tersebut.

Page 30: Oral Medicine 09052011

Tinjauan Pustaka

1. Zegarelli DJ. Fungal infections of the oral cavity. Otolaryngol Clin North Am 1993; 26:1069-1089.2. Kelleher M, Bishop K, Briggs P. Oral complications associated with sickle cell anemia: A review and case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:225-228.3. Lynch MA, Ship II. Initial oral manifestations of leukaemia. J Am Dent Assoc 1967; 75:932-940.4. Hiraki A, Nakamure S, Abe K, et al. Numb chin syndrome as an initial symptom of acute lymphocytic leukemia: Report of three cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:555-561.5. Jones AC, Bentsen TY, Freedman PD. Mucormycosis of the oral cavity. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:455-460.6. Childers NK, Stinnett EA, Wheeler P, et al. Oral complications in children with cancer. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:41-47.7. Lee S, Huang J, Chan C. Gingival mass as the primary manifestation of multiple myeloma: Report of two cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:75-79.8. Witt C, Borges AC, Klein K, Neumann H. Radiographic manifestations of multiple myeloma in the mandible: A retrospective study of 77 patients. J Oral Maxillofac Surg 1997; 55:450-453.9. Blomgren J, Back H. Oral hairy leukoplakia in a patient with multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:408-410.10. Reinish EI, Raviv M, Srolovitz H, Gornitsky M. Tongue, primary amyloidosis, and multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1994; 77:121-125.11. Lilly JP, Fotos PG. Sjogren's syndrome: Diagnosis and management of oral complications. Gen Dent l996; 44:404-408.12. Daniels TE. Sjogren's syndrome: Clinical spectrum and current diagnostic controversies. Adv Dent Res l996; 10:3-8.13. Atkinson JC, Fox PC. Sjogren's syndrome: Oral and dental considerations. J Am Dent Assoc 1993; 124:74-86.14. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 878-87915. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 800-801.16. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 93-94.17. Cohen AS, Canoso JJ. Criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1972; 15:540-543.18. Gynther GW, Tronje G, Holmlund AB. Radiographic changes in the temporomandibular joint in patients with generalized osteoarthritis and rheumatoid arthritis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 81:613-618.

Page 31: Oral Medicine 09052011

19. Hirshberg A, Leibovich P, Buchner A. Metastatic tumors to the jawbones: Analysis of 390 cases. J Oral Pathol Med 1994; 23:337-341.20. Bodner L, Peist M, Gatot A, Fliss DM. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Ora1 Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:548-551.21. Cleveland DB, Goldberg KM, Greenspan JS, et al. Langerhans' cell histiocytosis: report of three cases with unusual oral soft tissue involvement. Oral Surg Ora1 Med Oral Pathol Ora1 Radiol Endod 1996; 82:541-548.22. Oliver RC, Tervonen T, Flynn DG. Enzyme activation in crevicular fluid in relation to metabolic control of diabetes and other risk factors. J Periodontol 1993; 64:358-362.23. Falk H, Hugoson A, Thorstensson H. Number of teeth, prevalence of caries and periapical lesions in insulin-dependent diabetics. Scand J Dent Res 1989; 97:198-206.24. Spiegel AM. Hypoparathyroidism. In: Wyngaarden JB, Smith LH Jr, Bennett JC, editors. Cecil’s textbook of medicine. Philadelphia: W.B. Saunders; 1992. pp. 1419-1420.25. Walls AWG, Soames JV. Dental manifestations of autoimmune hypoparathyroidism. Oral Surg Oral Med Oral Path 1993; 75:445-452.26. Hayes CW, Conway WF. Hyperparathyroidism. Radiol Clin North Am 1991; 29:85-96.27. Ross WF, Salisbury PL. Uremic stomatitis associated with undiagnosed renal failure. Gen Dent 1994; 9/10:410-412.28. Giller JP, Vinciguerra M, Heller A, et al. Treatment of gingival Crohn=s disease with laser therapy.N Y State Dent J 1997; 5:32-35.29. Eveson JW. Granulomatous disorders of the oral mucosa. Semin Diagn Pathol 1996; 13(2):118-127.30. Williams AJK, Wray D, Ferguson A. The clinical entity of orofacial Crohn=s disease. Q J Med 1991; 289:451-458.31. Beitman RG, Frost SS, Roth JLA. Oral manifestations of gastrointestinal disease. Dig Dis Sci 1981; 26(8):741-747.32. Tyldesley WR. Mouth lesions as markers of gastrointestinal disease. Practitioner 1983; 227:587-590.

Drg. Nuzulul H.

heilitis angularis Cheilits angularis adalah infeksi yang terjadi pada sudut mulut, sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, namun umumnya penderita tidak memperhatikan keadaan ini karena penyakit ini tidak mengganggu kegiatannya sehari-hari.

Banyak factor predisposisi untuk terjadinya cheilitis angularis, baik local maupun sistemik, sehingga keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh factor tersebut. Infeksi sekunder dapat terjadi karena jamur candida albican, kuman streptokokus maupun stafilokokus. Infeksi ini bersifat kronik.

Page 32: Oral Medicine 09052011

Pemeriksaan klinis yang adekuat, anamnesis yang dilakukan penderita, serta memperhatikan kondisi rongga mulut dan kesehatan penderita secara menyeluruh akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, serta mempermudah dalam memberikan terapi.

Pada kasus tertentu perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan hematology terutama bila pada perawatan pertama tidak menunjukkan adanya perbaikan.

Cheilitis Angularis dapat mengenai anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Cheilitis Angularis pada anak, lebih sering terjadi hal ini disebabkan karena stretokokus. Keadaan ini bila tidak segera diatasi dapat menjadi empitigo yang mudah menular.

Angular cheilitis ditandai dengan adanya fisur-fisur, retak-retak pada sudut bibir, berwarna kemerahan, mengalami ulserasi disertai rasa terbakar, nyeri dan rasa kering pada sudut mulut. Banyak pendapat yang mengemukakan tentang etiologi dari angular cheilitis, antara lain defisiensi vitamin B kompleks, denture soremouth, defisiensi besi, kebiasaan bernafas melalui mulut, membasahi bibir dengan air ludah, menjilati samping mulut dan sering mengeluarkan air Iiur (mengences). Faktor terpenting terjadinya Cheilitis Angularis pada anak adalah keadaan dimana sudut mulut senantiasa basah oleh ludah sehingga terjadi gangguan pada barier kulit dan mengakibatkan terjadinya maserasi.

Angular cheilitis didiagnosa banding dengan lesi herpes Iabialis, ulser, impetigo dan lesi sifilis sekunder. Perawatan terhadap angular cheilitis adalah dengan menghilangkan faktor etiologinya. Harus diingat adanya infeksi merupakan hal sekunder. Bila penyebab primer tidak dikoreksi, perawatan terhadap infeksi tidak akan menghasilkan kesembuhan permanen.

http://gigidanmulutsehat.blogspot.com/2009/07/cheilits-angularis-adalah-infeksi-yang.html

Page 33: Oral Medicine 09052011

angular cheilitis: luka sudut mulut

Angular cheilitis pada umumnya dikenal dengan luka di sudut mulut.Memang kelainan ini tidak mengancam jiwa tetapi mengurangi kenikmatan hidup dengan menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan menurunnya rasa percaya diri oleh karena karena terlihat oleh orang lain dan mengurangi penampilan.

Gejala yang nampak adalah bahwa luka ini terasa nyeri dan akan menyebabkan sedikit berdarah bila penderita membuka mulut.Pada beberapa kasus mungkin akan terdapat jamur candida disana.Beberapa luka juga menimbulkan abses atau nanah.Masih belum diketahui penyebab yang jelas dari angular cheilitis ini, beberapa ahli mengatakan bahwa hal ini merupakan akibat dari defisiensi besi atau vitamin, meskipun dari beberapa kasus juga dijumpai hal ini merupakan akibat dari hal yang sederhana seperti kebiasaan menghisap bibir terlalu sering, karena iklim yang terlalu dingin, atau bibir yang terpapar angin dan sebagainya.Pada anak anak yang menggunakan dot, menghisap ibu jari atau yang menggunakan dot mainan, keadaan semua ini juga bisa menimbulkan angular cheilitis.Angular Cheilitis kemungkinan juga bisa disebabkan oleh kurangnya vitamins B2 (riboflavin), B3 (niacin), B6 (pyridoxine), or B12 (cyanocobalamin) bersamaan dengan kurangnya asupan besi atau bisa juga melemahnya daya tahan tubuh seperti pada penderita HIV.

Pasta gigi dan peralatan kosmetik juga telah diketahui merupakan penyebab dari kelainan ini. Bahkan kadang kala beberapa makanan dan minuman seperti orange juice akan bisa memperparah keadaan ini.Bila penyebab dari angular cheilitis (AC) ini oleh karena kekurangan vitamin B, hal ini bisa ditanggulangi dengan pemberian asupan vitamin ini yang memadai, hal ini bisa didapatkan dari produk makanan olahan yang mengandung susu,cereal atau biji bijian, kemudian sayuran yang berdaun dan sebagainya..Seorang dokter gigi akan mendiagnos AC ini tergantung dari kemungkinan penyebabnya.Bila hal ini disebabkan oleh karena gigi tiruan yang tidak pas posisinya, dokter akan mengkoreksi gigi tiruan ini.Terdapat beberapa penyebab kenapa angular cheilitis ini terjadi.Yang pertama adalah disebabklan oleh jamur ( candida albicans) atau infeksi jamur lainnya.Juga bakteri seperti streptokokus atau virus juga menyebabkan kelainan AC ini.AC ini juga bisa terjadi pada seseorang dengan gigi tiruan dimana gigi tersebut tidak fit ( pas ) lagi.Gesekan dan lipatan pada jaringan lunak rongga mulut oleh karena denture atau gigi tiruan yang tidak pas juga akan menciptakan kelainan ini. Gigi tiruan yang tidak pas akan menyebabkan air liur terkumpul di dalam sudut mulut dan bisa menimbulkan kelainan ini.Angular cheilitis kemungkinan juga disebabkan oleh deficiency vitamin B-2 (riboflavin), vitamin B-3 (niacin), vitamin B-6 (pyridoxine), or vitamin B-12 (cyanocobalamin), deficienci besi. Kebiasaan buruk seperi mengghisap jari, menghisap bibir, menggigit kuku, pemakaian dot pada

Page 34: Oral Medicine 09052011

bayi,hilangnya gigi , paparan sinar matahari,angin dan udara atau melemahnya sistem imune yang disebabkan oleh AIDS juga bisa menyebabkan kelainan ini. Beberapa kelainan kulit seperti atopic atau seborrhoiec dermatitis bisa memicu terbentuknya AC ini pada individu yang peka.Alaergi kontak yang disebabkan oleh pasta gigi dan kosmetik juga memicu terjadinya angular chelitis ini.Perawatan angular cheilitisAngular cheilitis dapat diterapi atau dicegah dengan beberapa cara yang tergantung dengan penyebabnya.Sebagai contoh, menghindari kebiasan buruk menghisap bibir akan bisa menghilngkan kelainan iniBila angular cheilitis disebabkan oleh bakteri atau jamur, maka diperlukan gel anti jamur yang diaplikasikan ke area yang terlibat.Dan bila penyebabnya adalah denture atau gigi palsu makan mutlak diperlukan perawatan atau pembuatan denture atau gigi tiruan yang baru.Jadi bisa disimpulan bahwa penyebab angular cheilitis terbanyak adalah : defisiensi atau kekurangan vitamne B, karena denture atau gigi tiruan dengan desain yang tidak baik, dan penyebab lain yang tersering adalah infeksi jamur( candida sp) dan infeksi virus, kemudian peringkat selanjutnya adalah kebiasaan buruk , sebagai contoh menghisap-hisap bibir dan yang terakhir pengaruh dari luar ( lingkungan ).

http://drgdondy.blogspot.com/2008/10/angular-cheilitis-luka-sudut-mulut.html