Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah...

182
OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG PROVINSI SULAWESI SELATAN HASNI YULIANTI AZIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Transcript of Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah...

Page 1: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG

PROVINSI SULAWESI SELATAN

HASNI YULIANTI AZIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 2: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2011 Hasni Yulianti Azis NIM. C261050101

Page 3: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

ABSTRACT

HASNI YULIANTI AZIS. Optimized seaweed resources management in the coastal region of Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN and WIDODO FARID MA’RUF. Seaweed culture has been growing fast in Bantaeng Regency as it creates benefits with small capital and low risks, making fishermen and fish farmers change their works to be seaweed farmers. Main problem in seaweed culture management is high enthusiasm of coastal community cause the uncontrolled seaweed culture development without concerning suitability principles and capacity region for seaweed culture. Besides un-optimum harvesting. The aims of the study were to evaluate suitability and carrying capacity of region; to study sustainability of seaweed culture management; to optimize seaweed culture management. The study was conducted in two disctricts within Bantaeng Regency, namely Bantaeng District and Bissapu District. Survey method was applied to evaluate biophysic characteristic of seaweed culture region as a basis for suitability and capacity determination of seaweed culture. Region suitability was analyzed by GIS and carrying capacity was measured based on two approaches, that are region capacity approach and N assimilation approach; optimized utilization with dynamic system and sustainability analysis with RAP-RL, modification of RAPFISH. Results of the study revealed that suitable region for seaweed culture in the study area was 2 313.29 ha, consisted of highly suitable region of 415.31 ha and conditional suitable region of 1 897.99 ha. Aquatic carrying capacity with marine waters capacity approach was 1 203.23 ha, which was equal to 5 942 units. Meanwhile, with assimilation capacity approach was 1 650.64 ha or 6 603 units for brown Kappaphycu alvarezii (doty) and 2 073.72 ha or 8 295 culture units for green Kappaphycu alvarezii (doty). Optimization analysis showed in optimistic scenario was anthropogenic waste input to the coastal waters environment of Bantaeng and Bissapu Districts increased 50% from beginning condition (current condition), and this provided best result compared to increased 10% and 25% anthropogenic waste input from beginning condition, either in production, income, income contribution to the government, and labour use aspects. Analysis results from RAP-RL showed that sustainability value index of ecology dimension was 67.95% and economy dimension was 67.95% (enough sustainable); socio-culture dimension was 56.47% (enough sustainable); technology dimension was 32.42% and institution dimension was 39.83% (less sustainable). While, index value of sustainable multidimensions was 54.11% (enough sustainable).

Key words: seaweed cultivation, area suitability, carrying capacity, Optimized and

sustainable.

Page 4: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

RINGKASAN HASNI YULIANTI AZIS. Optimasi Pengelolaan Sumberdaya RL di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G BENGEN, dan WIDODO FARID MA’RUF.

Potensi budidaya rumput laut wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi beberapa Kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun mempunyai kontribusi yang besar bagi masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat umumnya bahkan Pemda Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen Kappaphycus alvarezii. Panjang garis pantainya secara keseluruhan hanya 21 km dan khusus untuk wilayah kajian panjang garis pantainya hanya 10.6 km.

Permasalahan utama dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut sangat pesat sehingga tidak terkendali akibatnya hampir semua wilayah pesisir telah ditanami rumput laut, menjorok ke laut hingga 3-4 km. Dan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut ini adalah pengelolaan yang tidak memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya.

Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dan pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, menentukan daya dukung lingkungan, optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut untuk keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. Metoda dalam penelitian meliputi : (i) survei lapang untuk menilai kelayakan biofisik wilayah kajian; (ii) kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS); (iii) daya dukung kawasan menggunakan 2 pendekatan; (iv) optimasi dengan sistem dinamik; dan (v) keberlanjutan dengan Rapfish. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Sementara kondisi oseanografi (kec.arus dan gelombang) hanya layak pada musim Barat dan musim Transisi.

Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) = 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) = 1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha.

Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas perairan adalah 1 203.23 ha. Dan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh daya dukung kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2 073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Penggunaan dua varietas rumput laut yakni

Page 5: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut.

Untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut digunakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Biaya investasi Rp19 135 457; biaya operasional Rp3 324 764; biaya pemeliharaan Rp382 052; Pendapatan Rp33 659 130. Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai Rp18 040 887. Hasil perhitungan BCR memberikan nilai 9.58

Skenario yang paling optimal adalah skenario ke 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir wilayah kajian mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 978.03 ha–2 815.16 ha atau 7 912 unit–11 261 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2 485.03 ha–3 536.73 ha atau 9 940 unit–14 147 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan menjadi 1 312.94 ton/hari–1 868.59 ton N/hari. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16 013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23 492.29 ton.

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat: jarak tanam 25 cm sebesar Rp7 217 626 176.22–Rp10 272 233 877.83; jarak tanam 35 cm sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30; jarak tanam 45 cm sebesar Rp7 274 921 213.44–Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78; Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73; Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii hijau: jarak tanam 25 cm sebesar Rp9 067 611 041.88; jarak tanam 35 cm sebesar Rp9 144 455 203.25–Rp13 014 525 862.06; jarak tanam 45 cm sebesar Rp9 139 591 648.73 – Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp906 761 104.19–Rp1 290 516 009.85; Rp914 445 520.32– Rp1 301 452 586.21; dan Rp913 959 164.87–Rp1 300 760 397.83

Tingkat serapan tenaga kerja untuk K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–810 766.44 HOK/th. Sedangkan K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.

Hasil analisis Rap-RP (adaptasi dari Rapfish) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95%, ekonomi sebesar 67.95%, sosial-budaya 56.47% dengan status cukup berkelanjutan, teknologi sebesar 32.42% dan kelembagaan 39.84% dengan status kurang berkelanjutan. Sedangkan nilai indeks multi-dimensi sebesar 54.11 % dengan status cukup berkelanjutan.

Kata kunci: rumput laut, kesesuaian kawasan, daya dukung perairan, Optimasi dan keberlanjutan

Page 6: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 7: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG,

PROVINSI SULAWESI SELATAN

HASNI YULIANTI AZIS

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 8: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Ujian Tertutup Tanggal 22 November 2010

Penguji Luar Komisi:

1. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)

2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)

Ujian Terbuka Tanggal 24 Januari 2011

Penguji Luar Komisi:

1. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)

2. Prof. Ir. Nurdin Abdullah, MSc., Ph.D (Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bantaeng)

Page 9: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Judul Disertasi : Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan

Nama : Hansi Yulianti Azis

NIM : C261050101 Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Anggota

Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc. Ph.D

Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian 22 November 2010 Tanggal Lulus....................

Page 10: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan”.

Disertasi ini memuat 9 bab yang terdiri atas pendahuluan; tinjauan pustaka; metodologi penelitian; kondisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi; kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya; optimasi pemanfaatan wilayah pesisir; keberlanjutan usaha budidaya rumput laut; arahan pengelolaan sumberdaya rumput laut dan kesimpulan dan saran. Bagian dari disertasi ini akan dimuat pada buletin penelitian Seri Sosial Budaya dan Humaniora serta jurnal Nusa Esda.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

o Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing serta Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Bengen, DEA dan Bapak Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc., Ph.D masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebaikan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

o Keluarga Bapak Drs.H.Nurland/Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MSi, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Hasanuddin dan Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Restu, Msi. Dekan Fak. Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala doa, semangat dan bantuan materi selama penulis dalam proses pendidikan Doktoral.

o Bapak Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Sc. sekeluarga, Bupati Bantaeng atas segala fasilitas dan bantuan dana selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Bantaeng.

o Bapak Ir. Muh. Kasang, Msi, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan Kabupaten Bantaeng; Bapak Ir. Edy Wahyudi, KaSubdin Perikanan Kabupaten Bantaeng, atas segala bantuan dan kemudahan yang penulis alami selama penelitian.

o Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS selama tiga tahun. o Coremap yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi o Pimpinan Universitas Hasanuddin dan Dekan FIKP Unhas yang telah

memberikan izin studi. o Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas perkenannya sehingga saya

bisa kuliah di sini. o Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf

Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL.

o Rekan-rekan di FIKP Unhas yang selalu menyemangati supaya cepat selesai. Juga kepada Nur Ikhsan (Iccank) yang telah membatu selama survey dan pengambilan sampel di Laut serta Baharuddin yang sangat lihay mengendalikan

Page 11: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

perahunya sehingga penulis tetap bisa mengukur dan mengambil sampel di tengah gelombang.

o Rekan – rekan pada Program Studi SPL dan terkhusus kepada Pak David Hermawan, Ibu Fatmawati, dan Ibu Nirmala atas segala persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta adik Awir, Ir. Muh Yusuf Halim, MSi, Dr. Rahman Kurniawan, Dr. Muhammad Hery Riyadi Alauddin, Dr. Alimuddin Laapo, Ir. Dori Rachmawani, MSi atas segala bantuannya selama proses analisis data serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini.

o Kepada Ibu Nadiarti, Kel. Bapak Haris Bahrun, Kel. Bapak Arif Nasution, Kel. Ibu Rosmawaty Anwar, teman dalam suka dan duka selama pendidikan.

o Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ibundaku tercinta, Hanisa (almarhumah), yang single parent, dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh dari mencukupi, berjuang dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi semoga semuanya menjadi amal ibadah Ibunda disisiNya; untuk Ayahanda tercinta Abd. Azis (almarhum) yang telah pergi mendahului sejak kami kecil, atas semangat juang yang diwariskan kepada anak-anaknya; kepada Bapaknya anak-anak Ir. Syamsul Holiq dan anak-anakku tersayang Arga Probowisesa, Sudewo Were ri Langi dan Rio Priantoro, adik-adikku Ir. Muh. Natsir Azis sekeluarga dan Haslinda Azis, SE sekeluarga; keluarga besar Bapak Mayor (Purnawirawan) H.P. Jaya dan seluruh keluarga yang lain atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama penulis mengikuti pendidikan di IPB serta yang tak kalah besar peranannya, Bi Tinah, yang setia membantu membereskan segala urusan rumah tangga sejak kami di Bogor.

Saya menyadari bahwa penelitian dan disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bisa diaplikasikan oleh masyarakat nelayan rumput laut umumnya dan khususnya nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng.

Bogor, Januari 2011

Hasni Y. Azis

Page 12: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada 27 Juli 1964. Merupakan sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Hanisa (almarhumah) dan Abd. Azis (almarhum).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perikanan Universitas Hasanuddin dan Magister sains di Program Sistem-Sistem Pertanian Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kemudian melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) di IPB sejak tahun 2005.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi budidaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1991.

Page 13: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................

DAFTAR TABEL .........................................................................................

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

ix

xvii

xix

xxvii

I

PENDAHULUAN………………………………………...…………

1.1 Latar Belakang …………………….…..………………………..

1.2 Rumusan Masalah …………………………….……...…………

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………….………………

1.3.1 Tujuan Penelitian ………………………….……………

1.3.2 Kegunaan Penelitian ………………………….…………

1.4 Kerangka Pikir …………………………………………………

1.5 Novelty Penelitian ………………………………………………

1

1

3

4

4

4

5

7

II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………

2.1 Pengertian Wilayah Pesisir ……………………………………..

2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ………………………………

2.3 Rumput Laut …………………………………………………..

2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii……………………….

2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut …….…

2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut………………………

2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut ..

2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia …

2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut …….………….

2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut….……………

2.6 Pemodelan Sistem Dinamik ……………………………………

9

9

10

20

20

22

22

23

25

27

29

31

III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………

3.2 Tahapan Penelitian ……………………………………………

3.3 Metode Penelitian ………………………………………………

37

37

38

38

Page 14: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xvi

3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian ……………………

3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir …………………

3.4 Analisis Data ……………………………………………………

3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut .....

3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut..

3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha.................................................

3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut dengan Pendekatan Sistem Dinamik ..................................

3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut ....................

38

38

40

40

42

44

45

52

IV

V

KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG ………………………………………

4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) .....................................................

4.1.1 Administrasi ......................................................................

4.1.2 Topografi ...........................................................................

4.1.3 Iklim ..................................................................................

4.1.4 Kondisi Oseanografi ..........................................................

4.1.5 Parameter Kualitas Air ......................................................

4.2 Aspek Sosial-Budaya ..................................................................

4.2.1 Penduduk ...........................................................................

4.2.2 Pendidikan..........................................................................

4.2.3 Kesehatan...........................................................................

4.2.4 Kelembagaan .....................................................................

4.3 Aspek Perekonomian ..................................................................

4.3.1 Sumberdaya Perikanan.......................................................

4.3.2 Kegiatan Usaha Budidaya Rumput Laut............................

KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT ………………………………………………….

5.1 Kesesuaian Kawasa Budidaya Rumput Laut................................

5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut ........................

5.2.1 Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut..........................

59

59

59

60

60

63

66

73

73

75

78

79

83

84

87

91

91

93

96

Page 15: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xvii

VI

VII

OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG ………………………………….……

6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ………………….

6.2 Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……………

6.3 Sub Model Ekonomi ……………………………………………

6.4 Sub Model Tenaga Kerja ……………………………………….

6.5 Simulasi Skenario Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut ………………………………………. KEBERLANJUTAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT ……

7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ........................................

7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ......................................

7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya..............................

7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi.....................................

7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan...............................

7.6 Status Keberlanjutan Multi-Dimensi............................................

99

101

102

103

104

104

129

129

132

135

137

141

144

VIII

IX

ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT……………………………………………………………….. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………

5.1 Kesimpulan …………………………………………………….

5.2 Saran ……………………………………………………………

149

155

155

155

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 157

Page 16: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

1

2

3

4

5 6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Kondisi dan persyaratan tumbuh Kappaphycus alvarezii.............................

Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 ...............................

Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun 2001-2004 ........................................................................ Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten. Bantaeng Tahun 2001-2008 ........................................................................................ Jenis, alat/cara analisis dan sumber data dalam rencana penelitian.............. Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line. ...................................................................................................... Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kab. Bantaeng ................................................................................... Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng ......................................................... Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.......................................................................... Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ...................................................................................................... Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng .................................................................................... Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan …..

Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut ……………………………..

Luas Wilayah Daratan dan Pembagian Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007 ........................................................................... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 ......................................................... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007........................................................... Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009.....

22

25

26

27

38

40

46

50

50

51

52

54

56

59

77

77

78

Page 17: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xix

18 19 20

21

22

23

24

Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut Kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007 ............................................................................................. Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008.................. Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008 ........................................................................................................................ Hasil analisis usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009 …. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……………………………………………………..…………… Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo.............................................................................................................. Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²)…..

84

85

87

96

100

147

147

Page 18: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

Alur Pikir Optimasi Pengelolaanan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng………………………………. Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)...............

Kappaphycus alvarezii (doty) (Doty, 1985) ..........................................

Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010)............................................. Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007................

Peta lokasi penelitian .............................................................................

Tahapan rencana penelitian ..................................................................

Skema unit budidaya rumput laut. …………………………………….

Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.............................................................................. Diagram input-output (Hartrisari, 2007)................................................

Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998) ..............................................

Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng.................................................................... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut …………………………………………………………..

Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha rumput lautn di Kabupaten Bantaeng………………………………………………….

Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng................................................................................................. Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng................................................................................................ Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……………

Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…………………….

Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng….

Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……..

Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..

6

15

21

24

26

37

38

43

47

48

49

51

56

57

61

62

64

66

67

68

69

Page 19: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxi

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..

Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…

Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…

Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun 2003-2007 .............................................................................................. Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Persentase mata pencaharian masyarakat pesisir yang menjadi responden………………………………………………………….. Persentase kisaran usia responden. ……………………………………

Peta kesesuaian lahan budidaya rumput Laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…………………………………………………. Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut …………………………

Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut …………………....

Sub Model Ekonomi Rumput Laut ……………………………..….…

Sub Model Tenaga Kerja budidaya Rumput Laut ………………..…..

Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………………………………………………… Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………..…….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………..

70

71

72

74

76

87

88

93

101

102

103

104

106

106

107

107

108

108

Page 20: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxii

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

52

Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal

selama pemeliharaan ………………………………………………..

Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)………………………………………………………………….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) ………………………………………………………………….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah …………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min– maks.)………………………………………………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….. Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….

108

109

110

110

111

111

112

112

112

113

113

114

Page 21: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxiii

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

64

Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………………………... Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut 5jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………... Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam

114

115

115

116

116

117

117

118

118

119

119

119

Page 22: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxiv

65

66

67

68

69

70

71

72

73

74

75

76

77

( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)…… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)……… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah …………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi peraira pesisir Kabupaten Bantaeng ……………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………….……………..

120

121

121

121

122

122

123

123

124

124

125

125

125

Page 23: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxv

78

79

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitasasimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm) ………………………………………...……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Indeks keberlanjutan dimensi ekologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ..……………………………… Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS).................................................. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).................................................... Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………… Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)..................................... Indeks keberlanjutan dimensi teknologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)....................................... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………………………….. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan

126

127

127

128

128

130

131

133

134

136

137

138

142

143

Page 24: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxvi

92

93

94

dalam bentuk nilai root mean square (RMS)......................................... Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng .............................................................................. Indeks keberlanjutan multidimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)...................................................

144

145

146

147

Page 25: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Produsen dan jumlah produksi K.alvarezii dunia.................................

Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng ............................................................................ Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng ............................................................................................... Data oseanografi dan kualitas air wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 2009 …………………………………………………………………... Unit pelayanan kesehatan menurut Kecamatan di Kabupaten. Bantaeng, 2007 …………………………………………………… Perkembangan personil lingkup kesehatan di Kabupaten Bantaeng 2002-2007 ……………………………………………..…………….. Produksi Subsektor Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000-2004 ........................................................................................... Identitas nelayan budidaya rumput laut (responden) ..........................

Luas lahan budidaya rumput laut per responden di Kabupaten Bantaeng 2009 ………………………………………………………. Layer/peta tematik analisis kesesuaian kawasan budidaya rumput alut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu……………………………………………………………...... Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan ………………………………………. Estimasi luas kawasan budidaya ruput laut berdasarkan kapasitas asimilasiperairan pesisir Kabupaten Bantaeng………………………. Biaya investasi budidaya rumput laut ………………………..………

Biaya operasional budidaya rumput laut ……………………….……

Biaya pemeliharaan budidaya rumput laut per panen ………………..

165

165

166

166

167

167

168

169

170

171

175

176

182

183

185

Page 26: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

xxix

16

17

Analisis Biaya usaha budidaya rumput laut ………………….………

Analisis B/C Ratio budidaya rumput laut………………………….…

188

189

18

19

20

21

Model matematis sub produksi rumput laut..........................................

Model matematis sub daya dukung rumput laut...................................

Model matematis sub ekonomi rumput laut.........................................

Model matematis sub tenaga kerja usaha budidaya rumput laut........

191

194

197

199

Page 27: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau

dari berbagai macam peruntukannya (Supriharyono 2000) dan sumberdaya yang

dimilikinya (Dahuri 2001). Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah

pesisir antara lain; pemukiman, industri, pengilangan minyak, rekreasi dan

pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap (Bengen 2005), dan

sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati,

sumberdaya nir-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya

hayati terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove

dan biota laut lain; sumberdaya nir-hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar

laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan

dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar

laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta

energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Undang undang Republik

Indonesia Nomor 27 Tahun 2007).

Realitas sebagaimana dikemukakan di atas juga dijumpai di wilayah

pesisir Kabupaten Bantaeng, diantaranya saat ini masyarakat memanfaatkan

wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput

laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan serta

mahalnya biaya operasional akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus

naik. Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir

Kabupaten Bantaeng bisa dilihat dari produksi dan area budidaya yang terus

meningkat. Pada tahun 2001, luas area yang dimanfaatkan sebesar 505.2 ha

dengan total produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar 120.1 ton, sedangkan

pada tahun 2008 luas areal yang dimanfaatkan telah bertambah menjadi 3 792 ha

dengan produksi 7 677.55 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten

Bantaeng 2009). Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun 2001-2008

untuk luas areal budidaya telah bertambah menjadi 3 286.8 ha (657%) dan untuk

produksi rumput laut yang dihasilkan telah bertambah menjadi 7 557.44 ton

(630%).

Page 28: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

2

Terjadinya peningkatan budidaya rumput laut diantaranya diakibatkan oleh

meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap karagenan (Ma’ruf 2005).

Karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (K.alvarezii).

Permintaan pasar karagenan pada tahun 2005 adalah 260 571.05 ton dan

diproyeksikan pada tahun 2008 permintaan akan mencapai 1 643 561 ton.

Karagenan diperlukan sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental),

pembentuk gel, pengemulsi pada industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil,

cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1996) dan menurut Ma’ruf (2005),

dari jumlah kebutuhan tersebut pada saat ini produsen rumput laut dunia baru

dapat memenuhi sekitar 70%. Dengan demikian, seiring dengan pertambahan

penduduk dunia, yang tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhkan pangan,

obat-obatan dan industri lainnya, maka pasar karagenan semakin terbuka lebar

baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik.

Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di

dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Adapun Provinsi Sulawesi Selatan

merupakan Provinsi penyumbang rumput laut K.alvarezii terbesar di Indonesia,

memiliki luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut sekitar 250 000 ha

dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas

Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581

Ton berat kering. Menurut Subdin Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng

2006, dari produksi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, Kabupaten Bantaeng

menyumbang sekitar 720.4 ton berat kering yang diproduksi dari lahan seluas

1 875 ha Hasil penelitian Crawford (2002) di Sulawesi Utara dan Filipina,

mendapatkan kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian

alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Demikian halnya

dengan masyarakat pesisir Kabupaten Bantaeng. Saat ini kegiatan rumput laut

bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan

tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Bahkan

kegiatan rumput laut menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi

ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik

dengan kemiskinan.

Page 29: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3

Kegiatan budidaya rumput laut K.alvarezii dipilih oleh masyarakat karena

beberapa kelebihannya, antara lain: 1) masa panen relatif singkat yaitu 45 hari,

tanpa menggunakan pupuk dan bibit yang khusus, mempunyai nilai ekonomis

yang tinggi tanpa merusak lingkungan, 2) budidaya mudah dan biaya rendah, dan

3) pasar tersedia, terutama melalui ponggawa (Ma’ruf 2005).

Selain itu, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan rumput laut juga

dipacu dengan tingginya harga rumput laut. Pada bulan Juli 2008, harga rumput

laut kering di tingkat petani Kabupaten Bantaeng, mencapai Rp8 000,- /kg berat

kering dan naik lagi menjadi sekitar Rp12 000,-/kg berat kering pada Mei 2010

(komunikasi pribadi).

Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan kegiatan rumput laut di pesisir

Kabupaten Bantaeng, menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan setiap

jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai

Kabupaten Bantaeng, telah ditanami rumput laut hingga lebih 3 km ke arah laut

yang diduga tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung

lingkungan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi

degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput

laut yang dihasilkan sehingga kegiatan rumput laut yang saat ini telah menjadi

harapan baru bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya,

diduga bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu, penelitian tentang kesesuaian

lahan dan daya dukung lingkungan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya

rumput laut, perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah

utama dalam upaya optimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir

Kabupaten Bantaeng, sebagai berikut:

1. Pengembangan yang tidak terencana dengan baik

2. Meningkatnya harga rumput laut akibat permintaan pasar

3. Dasar pengelolaan yang belum tepat

Page 30: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

4

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan

penelitian yang dilakukan adalah:

1. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan

rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

2. Mengoptimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten

Bantaeng.

3. Menelaah keberlanjutan pengelolaan kegiatan rumput laut di wilayah pesisir

Kabupaten Bantaeng.

1.3.2 Kegunaan Penelitian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Ilmu Pengetahuan. Selama ini penelitian tentang kegiatan rumput laut

dilakukan secara parsial, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan melihat

berbagai dimensi secara menyeluruh, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-

budaya, teknologi dan kelembagaan. Karena itu, diharapkan dapat menjadi

acuan yang lebih komprehensif bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi

dalam pengembangan kegiatan rumput laut yang berkelanjutan.

2. Nelayan rumput laut. Pengembangan kegiatan rumput laut oleh masyarakat

akan disesuaikan dengan daya dukung lahan, sehingga kegiatan mereka dapat

optimal dan berkelanjutan.

3. Pengusaha. Akan diperoleh bahan baku yang memiliki kualitas, kuantitas dan

kontinyuitas yang terjamin untuk industri pengolahan rumput laut.

4. Pemerintah. Pertama, suatu referensi tentang tata ruang terkait dengan

pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; kedua, mendukung pemerintah di

dalam penentuan produk unggulan daerah; dan ketiga, sebagai bahan acuan

dalam merumuskan kebijakan pada pengembangan kegiatan rumput laut agar

menjadi basis yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir, utamanya bagi petani rumput laut yang selama ini masih

hidup dalam kemiskinan.

Page 31: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

5

1.4 Kerangka Pikir

Kegiatan rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten

Bantaeng. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan luas lahan budidaya rumput laut

setiap tahun, yakni pada tahun 2001 baru 505.2 ha; tahun 2002 menjadi 885.2 ha;

tahun 2003, 1 875 ha; tahun 2004, 1952 ha; dan pada tahun 2005 telah mencapai

1965 ha (Subdin Perikanan dan Kelautan 2006). Akan tetapi pengelolaannya

belum optimal, baik dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologinya

maupun kelembagaannya.

Penanaman rumput laut yang dilakukan di sepanjang wilayah pesisir yang

lebarnya mencapai 3-5 km ke arah laut tidak memperhatikan unsur kesesuaian

lahan dan daya dukung lingkungan sehingga bisa berakibat terjadinya degradasi

lahan budidaya jika dilihat dari dimensi ekologi. Efek selanjutnya kemungkinan

produktivitas dan kualitas bisa menurun yang berarti akan mempengaruhi dimensi

ekonomi dengan menurunnya pendapatan yang diperoleh petani rumput laut.

Menurunnya tingkat pendapatan akan mempengaruhi kesejateraan keluarga petani

sehingga sulit memenuhi kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya dan

kesehatan keluarga. Budidaya yang memanfaatkan wilayah pesisir secara

maksimal tanpa menyisakan jalur lalu lintas perahu dan ruang untuk kegiatan

memancing kadang-kadang menimbulkan konflik diantara stakeholder. Sampai

saat ini, belum ada kelembagaan yang bisa memfasilitasi petani rumput laut dalam

mengakses modal, keterampilan budidaya, peningkatan kualitas produk dan

informasi pasar.

Permasalahan rumput laut sampai saat ini di Kabupaten Bantaeng adalah

pemanfaatan lahan yang tidak terkendali akibat antusiasme masyarakat yang

sangat tinggi terhadap kegiatan rumput laut. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa

adanya pengaturan, dikhawatirkan akan mengakibatan terlampauinya daya

dukung perairan terhadap budidaya rumput laut yang bisa menyebabkan degradasi

lahan yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap produktivitas, kualitas dan

kontinuitas produksi rumput laut. Lebih ke belakang lagi, faktor-faktor penyebab

permasalahan ini disebabkan karena para stakeholder belum terkoordinir serta

belum mempunya visi yang sama pada pengelolaan kegiatan rumput laut, mulai

dari petani rumput laut sebagai produsen, pedagang pengumpul (ponggawa),

Page 32: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

6

pedagang besar hingga ke pengusaha pengolah chip dan powder serta semua jasa

pendukungnya dalam rangka kemajuan bersama.

Gambar 1 Alur Pikir Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Rumput Laut di

Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng

Kawasan Pesisir Kabupaten Bantaeng

Analisis Pengelolaan RL di Kawasan pesisir Kab. Bantaeng

Kesesuaian Biofisik

1. Teknologi BD 2. Pascapanen 3. SDM 4. Kelembagaan

Akar Permasalahan 1. Antusiasme

masyarakat 2. Pengelolaan

belum tepat

1. Konflik Pemanfaatan Tata Ruang

2. Pencemaran

Analisis: 1. Kelayakan

Kegiatan 2. Teknologi BD 3. Kelembagaan 4. Kebutuhan

Daya Dukung Kawasan

Keberlanjutan

Kesesuaian Oseanografi

Kesesuaian Kualitas Air

Analisis Kesesuaian

MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBEDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG

Ekologi Teknologi Kelembagaan Sosial-Budaya Ekonomi

Page 33: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

7

Pengelolaan yang optimal dan terpadu diantara semua stakeholder,

merupakan salah satu konsep yang bisa mengatasi permasalahan tersebut dari

akarnya. Dan agar semua stakeholder bisa dikoordinir maka konsep pengelolaan

tersebut harus bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap

stakeholder. Konsep pengelolaan yang terpadu dan bisa memberikan keuntungan

secara proporsional kepada setiap stakeholder, dengan dukungan data dari

berbagai hasil analisis seperti hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung

lingkungan, ekonomi, sosial budaya, supply-demand, teknologi budidaya dan

pasca panen, diharapkan akan bisa menjamin keberlanjutan kegiatan budidaya

rumput laut masyarakat, baik dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi

maupun kelembagaan.

1.5 Novelty Penelitian:

Hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, diperoleh informasi

bahwa penelitian rumput laut yang telah dilakukan sudah sangat banyak, seperti

yang telah dilakukan oleh Syahputra (2005) tentang pertumbuhan dan kandungan

karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan

dan jarak tanam yang berbeda; tentang pengelolaan sumberdaya perairan Teluk

Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut

K.alvarezii (Amarullah 2007); Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan

karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di

perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara (Kusdi HI Iksan 2005); Kajian

ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di

kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT (Kamlasi 2008); Kajian

ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu

karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Lukas Lotharius Jansen

Josef Mondoringin 2005); Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan

rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari

Kepulauan Seribu (Amiluddin 2007) serta Kajian potensi sumberdaya untuk

pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan

Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sallata 2007).

Penelitian yang telah dilakukan tersebut, adalah penelitian aspek-aspek

budidaya, ekonomi, ekologi, penanganan pascapanen dan pengolahan pasca panen

Page 34: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

8

yang dilaksanakan secara parsial pada setiap aspek. Belum dilakukan secara

menyeluruh pada setiap aspek. Lokasi dari setiap penelitian di atas merupakan

daerah terlindung, seperti teluk, sesuai dengan referensi bahwa salah satu

kriteria/persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah wilayah yang terlindung

atau perairan pulau-pulau kecil yang tidak terlalu dipengaruhi oleh gelombang dan

arus kuat, pencemaran antropogenik dan limpasan air tawar dari aliran sungai.

Berbeda dengan wilayah kajian yang merupakan peraian terbuka yang berada

pada wilayah pesisir pulau besar.

Ditinjau dari aspek produksi rumput laut yang dihasilkan, produksi pada

perairan terbuka pada musim timur sama atau bahkan lebih tinggi bila

dibandingkan dengan perairan terlindung. Produktivitas pada wilayah kajian

adalah 2-3 ton//ha/panen sementara hasil penelitian Kamlasi 2008, menemukan

1.5 ton/ha/panen; Budiyono 2003, mendapatkan 40-60 ton berat basah/ha/Tahun;

Mondoringi 2005, mendapatkan 3 093 ton berat kering/ha/panen

Novelty dari penelitian ini adalah:

1. Dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dari berbagai aspek yaitu aspek

ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan mulai dari tahap

budidaya sampai tahap pemasaran.

2. Lokasi penelitian yang merupakan perairan terbuka menurut panduan teknis

budidaya tidak memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut ternyata

produktivitasnya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan perairan yang

terlindung

3. Lokasi penelitian merupakan perairan pulau besar (main land).

Page 35: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Wilayah Pesisir

Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah

pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat

kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan

dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir

mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai

(long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang

Undang No. 27 Tahun 2007, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah

peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di

darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen

(2004a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak

tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin

laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang

dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke

laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di

daratan. Demikian juga menurut Carter (1988) dalam Haslett (2000) bahwa

wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke

arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (1994)

dalam Dahuri (2001) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan

sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah

yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut

meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (2005)

melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai

organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar

dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan

biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan.

Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan

wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Menurut Rokhmin (2001),

Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi

Page 36: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

10

daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan

pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan

komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta

dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu

menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar

masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang

terus meningkat.

Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait

(stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk

meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut

menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun

pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan

tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila

konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya

sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik.

Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai

tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya

terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih

(overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong;

meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya

sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10 Tahun

2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab

itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus

berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu.

2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah

Pesisir Secara Terpadu

Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki

fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun

melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan

pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara

Page 37: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11

ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

(Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri

(2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu

pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih

ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang

ilmu dan keterkaitan ekologis.

Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang

akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan

didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas

hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan

mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam

pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan

batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui

dengan jelas.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain

dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat

keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir

dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya

pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan

sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat

memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi

yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe

(2002) menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah

pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the

World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987

dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht,

1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan

Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin

oleh Gro Harlem Brundtland. Di dalam laporan tersebut terdapat definisi

Page 38: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

12

pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan

saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam

literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey,

1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991;

Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997).

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju

kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan

alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa

lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi

mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan

sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi

dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001).

Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan

pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya

pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam

kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders)

sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan

jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)

kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).

Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan

definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan

berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan

(Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya

3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas

lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai

mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi

budaya selain dimensi ekonomi.

Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang

sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen

tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan

tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,

Page 39: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

13

khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan.

Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi.

Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia,

pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi

(Munasinghe 2002).

Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan

berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi,

sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan

upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta

mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi

sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan

pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun

dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan

terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya

alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi

yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth),

keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta

keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological

balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi

sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang

dalam pembangunan berkelanjutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara

garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya,

sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001).

1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin

tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial;

(ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan

spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya

tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus

dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis

seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan

Page 40: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

14

suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan

pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996).

2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan

penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus

diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan

tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin

kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.

3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya

akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis

dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini,

maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat

ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.

4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak

lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui

penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan

konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan

berkelanjutan

Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus

berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan

dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus

dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4)

dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya.

Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan

persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu:

1) integrasi antara konservasi dan pengembangan;

2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia;

3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi;

4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan;

5) penghormatan dan dukungan terhadap keragaman budaya;

Page 41: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

15

6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan

sikap percaya diri; dan

7) memelihara integritas ekologi.

Pitcher dan Preikshot (2001) membagi komponen pembangunan

berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan

etika. Sedangkan Charles (2001) mengemukakan konsep pembangunan

berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara

keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta

meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2)

Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan

pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat

kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3)

Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas

atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang

berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut

pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan

pada Gambar 2.

KEBERLANJUTAN EKOLOGI

KEBERLANJUTAN KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS

Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)

Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring

kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan

dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak

KEBERLANJUTAN INSTITUSI

Page 42: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

16

tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan,

pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi

ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin

keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif

(Munasinghe 2002).

Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam

pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia,

yaitu:

1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan;

2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan;

3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan;

4) laut dikelola secara co-management;

5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat;

6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.

Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang

berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasa-

jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan

ekonomi (Haq 1997).

Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas

disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput

laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi

merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan

bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang

mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang

lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai

indikator tingkat keberlanjutan.

Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003)

diuraikan sebagai berikut:

Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam

dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya

dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,

Page 43: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

17

misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab

praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah

kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan

ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya

tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan

membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan

menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu

penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam

kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang

keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya

alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan

usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara

ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya

karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan

berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi

mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi

indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap

pendapatan asli daerah (PAD).

Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut

berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada

akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman

masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi,

tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah

keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke

keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta

tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif

terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis).

Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun

dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.

Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat

kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan

Page 44: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

18

pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan

adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut,

adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga

keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun

tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen

dan Rizal (2002) menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar

yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.

Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan

merupakan empat dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan

berkelanjutan (Charles 2001). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan

wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan

yang telah dibuat (Susilo, 2003).

Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai

salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan

berkelanjutan. Menurut OECD (1993), indikator-indikator tersebut adalah:

1. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman,

industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah,

reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir,

kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi

pantai; perubahan tingkat permukaan laut;

2. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil;

distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi;

jumlah species terancam punah;

3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs

yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan

terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang

akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri)

dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik

pemerintah dan politikus.

Sedangkan yang diadaptasi dari Charles (2001) dan Susilo (2003), atribut-atribut

untuk rumput laut adalah:

Page 45: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

19

1) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan

karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit.

2) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan

pasar (lokal, nasional dan internasional).

3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi

masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan

budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam

pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif

usaha selain menanam rumput laut.

4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama,

koperasi/kelompok tani rumput laut.

Bengen (2004) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya

yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi.

Kompleksitas yang dimaksud adalah 1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah

darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal

kawasan tersebut; 2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik

antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan

kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa

lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan

sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor

pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih

dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya

sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan

ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat

pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas

permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk

pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara

sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya

pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir,

maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar

tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan

dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.

Page 46: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

20

2.3 Rumput Laut

Rumput laut merupakan salah satu komoditi sub-sektor perikanan yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar-agar dan

karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan mempunyai tingkat kegunaan tinggi

dalam berbagai bidang, seperti industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Seiring

dengan berkembangnya industri tersebut, menyebabkan permintaan rumput laut

terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor.

Secara ekonomi rumput laut dapat memberikan sumbangan devisa bagi

negara dan meningkatkan pendapatan nasional. Di samping itu budidaya rumput

laut ternyata mampu mengubah tingkat sosial-ekonomi masyarakat pantai dan

meningkatkan pendapatan serta dapat melindungi sumberdaya pesisir melalui

pengalihan kegiatan yang dapat merusak lingkungan misalnya pengambilan

karang dan penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan (Madeali et al.

1999).

Perairan Indonesia memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut

kurang lebih 555 jenis (Basmal 2001). Beberapa jenis rumput laut tersebut telah

mampu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri.

Rumput laut yang dikembangkan di Kabupaten Bantaeng adalah jenis K.alvarezii.

Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil

karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan mempunyai manfaat

yang sama dengan agar-agar dan alginat, yakni digunakan sebagai bahan baku

untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 1990).

2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Menurut Doty (1985), K.alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut

merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi K.alvarezii karena karaginan

yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi

disebut K.alvarezii . Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa

dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi

K.alvarezii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :

Page 47: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

21

Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales

Famili : Solieracea Genus : Eucheuma

Species : Kappaphycus alvarezii (Doty)

Ciri fisik K.alvarezii adalah mempunyai tallus silindris, permukaan licin,

cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau,

hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena

faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu

penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Duri-

duri pada tallus runcing memanjang agak jarang-jarang dan tidak bersusun

melingkari tallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama

keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat

dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh

dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah

datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996) (Gambar 3). Rumput laut

bereproduksi dengan tiga cara, yaitu: vegetatif, generatif dan pembelahan sel.

Berbagai faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput

laut seperti suhu, salinitas, cahaya, arus, dan unsur hara (Departemen Pertanian

2001).

Gambar 3 Kappaphycus alvarezii (Doty) (Sumber gambar: Yulianda 2003).

Page 48: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

22

2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut

Lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh merupakan salah satu

faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya rumput laut. Faktor-

faktor lainnya adalah teknis budidaya atau penanaman, bibit unggul, sosial

ekonomi dan pemasaran. Wilayah perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, secara

umum dapat dikatakan cukup memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut,

walaupun berhadapan langsung dengan Laut Flores sehingga pada bulan

Desember-Februari ombak besar. Hal tersebut terbukti dengan semakin

berkembangnya usaha rumput laut di wilayah tersebut. Pertumbuhan K.alvarezii

membutuhkan kondisi perairan seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Kondisi dan persyaratan tumbuh K.alvarezii

No. Parameter Kondisi/Persyaratan Tumbuh

1. Kec. Arus (m/det.) 0.2-0.3

2. Substrat dasar Pasir, pecahan karang

3. Salinitas (‰) 28-34

4. Keterlindungan Terlindung

5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30

6. Suhu (0 28-30 C)

7. Kecerahan (%) 80-100

8. Derajat keasaman 7.5-8.5

9. Kedalaman (m) 2-10

Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Sulistijo (1996); Aslam (1998); FAO (2008).

2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu diperhatikan. yaitu

pemilihan bibit dan metoda budidaya. Dikenal lima metode budidaya rumput laut,

yaitu: metode lepas dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur dan

metode keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya

2006). Penerapan metode tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan

dimana rumput laut akan dibudidayakan. Di Kabupaten Bantaeng petani rumput

laut menggunakan metode long line karena dianggap cocok dengan kondisi

Page 49: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

23

biofisik perairan serta biaya konstruksinya lebih murah bila dibandingkan dengan

metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan,

pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi

pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam.

Aji dan Murdjani (1986) menyebutkan bahwa dengan sistem pemeliharaan

yang baik untuk budidaya tambak dapat dicapai produksi sebanyak 1 000 sampai

dengan 1 500 kg berat kering/ha/panen atau sekitar 6-9 ton/ha/tahun. Untuk

budidaya dengan sistem rakit dapat mencapai produksi sekitar 2 kg/m 2 /tahun.

Sedangkan untuk metode long line, rumput laut yang dipanen pada umur 45 hari

menghasilkan rumput laut basah antara 25 600 kg-51 200 kg/ha atau setara

dengan 2 800-5 600 kg/ha rumput laut kering (Direktorat Produksi Dirjen

Perikanan Budidaya 2006).

2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut

Secara umum ada beberapa permasalahan pengembangan rumput laut di

Indonesia, antara lain: 1) sumberdaya manusia yang tersedia walaupun dalam

jumlah cukup namun dalam hal mutu masih relatif rendah akibatnya rumput laut

yang dihasilkan, produktivitas dan kualitasnya rendah; 2) belum menguasai

teknologi untuk mengolah rumput laut menjadi karaginan agar bisa memperoleh

nilai tambah; dan 3) petani rumput laut umumnya kesulitan dalam hal permodalan

karena belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada sehingga kesulitan

dalam mengembangkan usahanya.

Disisi lain, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan rumput

laut karena didukung oleh potensi kawasan yang sesuai untuk budidaya hampir di

seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan total luas lahan

perairan yang potensial dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut

jenis K.alvarezii seluas 1 471 532 ha (Ma’ruf 2010). Bahkan Master Plan

Budidaya Laut tahun 2004 (Nurdjana 2006) menyatakan bahwa potensi indikatif

mencapai 4 720 000 ha dan potensi efektif 2 350 000 ha. Kemudian, sinar

matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tersedia sepanjang tahun dan

sumberdaya manusia yaitu nelayan juga cukup tersedia, maka Indonesia

Page 50: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

24

berpotensi besar untuk menimba untung dari bisnis ini. Proyeksi pengembangan

rumput Laut 2006-2009 adalah sebagai berikut (Tabel 2).

Sulawesi Selatan memiliki potensi budidaya laut sekitar 600 500 Ha. Dari

potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya

rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun

(Anonim 2004). Jenis K.alvarezii merupakan salah satu komoditas ”unggulan

perikanan” Sulawesi Selatan yang cenderung mengalami peningkatan produksi

dan volume ekspor. Pada tahun 2003 volume ekspor mencapai 15 339 ton dengan

nilai US$ 5.7 juta dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada

sektor produksi, pengolahan dan pemasaran.

Gambar 4 Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di

Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010).

Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu produsen rumput laut di Provinsi

Sulawesi Selatan mempunyai potensi lahan sekitar 6 000 ha dan sudah dikelola

seluas 1 965 ha. Adapun produksi rumput laut yang dihasilkan antara 1 000-1 500

kg/ha/siklus berat kering pada musim baik (Maret-Juli) dan dari segi kualitas,

rendemen yang dihasilkan berkisar 25-30% (Subdiskan Bantaeng 2006).

Page 51: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

25

Tabel 2 Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009

No Parameter Tahun 2006 2007 2008 2009

1 Produksi (ton) 1 120 010 1 343 696 1 611 911 1 900 000 - Gracillaria sp. 235 800 282 880 339 360 400 000 - K.alvarezii. 884 210 1 060 816 1 272 631 1 500 000 2 Luas lahan (ha) 18 220 21 453 25 336 29 283 - Pengembangan Gracillaria sp. 5 895 7 072 8 484 10 000 - Pengembangan K.alvarezii. 8 842 10 608 12 726 15 000

- Tambahan Pengembangan K.alvarezii. 3 483 3 773 4 126 4 283

3 Pengembangan Kebun Bibit Rumput Laut 1 474 1 767 2 121 2 500

- Gracillaria sp. 590 707 848 1 000 - K.alvarezii. 884 1 060 1 273 1 500 4 Investasi dan Modal Kerja 46 231 54 747 65 662 70 484 - Gracillaria sp. (Rp. Juta) 1 912 1 765 2 118 2 274 - K.alvarezii. (Rp. Juta) 44 319 52 982 63 544 68 210

5 Kebutuhan Mesin Pre-Processing (unit) 88 106 127 150

6 Tenaga kerja (Orang) 150 315 180 336 216 342 255 000 Sumber: Nurdjana 2006.

2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut

Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di

dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Peningkatan produksi setiap tahun sangat

signifikan. Pada tahun 2002 produksi Indonesia baru 25 700 ton, merupakan 25 %

dari produksi Filipina tetapi pada tahun 2007 produksi K.alvarezii Indonesia

sudah hampir menyamai jumlah produksi Filipina (Gambar 5 dan Lampiran 1).

Produk rumput laut Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk kering

tanpa olahan lebih lanjut. Padahal beberapa pabrik pengolahan di dalam negeri

masih kekurangan bahan baku dan kebutuhan Indonesia terhadap produk olahan

rumput laut baik karaginan, alginat maupun agar-agar sangat tinggi (DKP 2006)

Kebutuhan karaginan untuk beberapa industri di Indonesia pada tahun 2002

adalah sebesar 1 864 ton dan baru sebagian kecil (740 ton) yang bisa dipasok oleh

industri pengolahan karaginan dalam negeri. Sisanya diimpor dari luar negeri

(DKP 2006). Tingginya pemanfaatan karaginan menyebabkan permintaan

terhadap rumput laut juga cenderung meningkat setiap tahun (Tabel 3)

Page 52: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

26

Gambar 4 Produsen rumput laut (K.alvarezii) tahun 2002-2007

Gambar 5 Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007. Tabel 3 Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut

Indonesia Tahun 2001-2004

No. Tahun Produksi (Ton) Volume Ekspor (Ton)

Nilai Ekspor (US$ 1000)

1. 2001 212 478 27 874 17 230 2. 2002 223 080 28 560 17 230 3. 2003 231 927 40 162 20 511 4. 2004 410 570 51 011 25 296

Sumber: Nurdjana 2006.

Potensi lahan budidaya untuk lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ± 600 500

Ha, dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha

budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat

kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Pemanfaatan lahan di

Sulawesi Selatan sampai saat ini masih kurang dari 50% dengan produksi pada

tahun 2003 mencapai 21 581 ton kering atau baru 20% dari produksi nasional.

Produksi dan luas lahan Kabupaten Bantaeng sejak tahun 2001 – 2008 tertera

pada Tabel 4.

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

2002 2003 2004 2005 2006 2007

96,12094,960102,820

96,60093,000

92,700

25,700

36,15045,000

62,300

86,00092,000

Pro

duks

i (To

n)

Tahun

Filipina

Indonesia

Malaysia

Afrika Timur

China

Vietnam

India

Page 53: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

27

Tabel 4 Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng

Tahun 2001-2008

No. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha) 1 2001 120.10 505.20 2 2002 360.50 885.20 3 2003 720.40 1 875.00 4 2004 999.40 1 952.00 5 2005 1 395.00 1 965.00 6 2006 3 521.95 2 377.00 7 2007 5 700.25 3 102.00 8 2008 7 677.55 3 792.00

(Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009).

2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut

Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan

penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna

lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan

penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya

(Hardjowigeno 2001). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian

sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya ke dalam kategori

berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian

lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno 2001). Proses

penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara

syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut

dengan kualitas lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat

penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat

penggunaan lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang

berbeda dan tergantung pada letak geografis (Diadaptasi dari FAO 1976).

Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan

untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan

untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin

ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat

berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis,

ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.

Page 54: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

28

Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput

laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi

ekologi. Akan tetapi menurut Aji dan Murdjani (1986), sangat sulit untuk

menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi

pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat

bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa

nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan

membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel.

2) Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras.

3) Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan

kebutuhan terhadap sinar matahari untuk proses fotosintesis bagi

pertumbuhan rumput laut.

4) Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm

agar rumput laut tidak mengalami kekeringan.

5) Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan

dan kotoran.

6) Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu

babi).

7) Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan dan lain-lain, yang tumbuh

dengan baik.

8) Perubahan kadar garam tidak telalu besar.

9) Kaya akan nutrien.

10) Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (pH 7-8).

11) Bebas dari aliran bahan pencemar.

Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan

kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa

optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus

diperhatikan (Deptan DKI, 2001), adalah sebagai berikut:

1) lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas

laut.

Page 55: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

29

2) lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain.

3) tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut

merupakan usaha yang padat karya.

4) Mudah terjangkau dengan alat transportasi.

Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi

yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan

bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi

ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan

kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan,

tersedianya lembaga yang dapat membantu petani rumput laut dalam hal

permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, informasi pasar dan lain-

lain, akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang

berkelanjutan.

2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut

Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini

dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan

lingkungan. Sebagian besar permasalahan yang bertalian dengan pengelolaan

pembangunan wilayah pesisir, seperti pencemaran, overfishing, erosi dan

sedimentasi pantai, kepunahan jenis, dan konflik penggunaan ruang, merupakan

akibat dari terlampau tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh

penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap

lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri 2001).

Daya dukung lingkungan atau kawasan sendiri didefinisikan sebagai kapasitas

yang dimiliki oleh suatu area yang penggunaan berbagai sumberdayanya tetap

berlanjut (aktivitas pembangunan) (Clark 1992). Atau menurut Turner (1988),

daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh

suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan

mutu. Sedangkan Quano (1993), menyatakan daya dukung adalah kemampuan

perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya

penurunan kualitas air yang ditetapkan. Mirip dengan pernyataan Krom (1986),

Page 56: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

30

bahwa daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk

menerima sejumlah limbah sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan.

Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran

bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu

pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi empat macam, yaitu:

1. Daya dukung ekologis, yaitu tingkat maksimum (jumlah dan volume)

pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi;

2. Daya dukung fisik, adalah jumlah maksimum pemanfatan suatu sumberdaya

atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan

penurunan kualitas fisik;

3. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu

sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna

lain dalam waktu bersamaan;

4. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu

suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara

berkesinambungan.

Daya dukung lingkungan menurut Scones (1993) dalam Asbar (2007)

dibagi atas dua, yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya

dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang

dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta

tidak terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi

adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan

ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.

Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: (1) kondisi biogeofisik

wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam (SDA) dan jasa

lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung

wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan (assessed) dengan cara

menganalisis: (1) kondisi (variabel) biogeofisik yang menyusun kemampuan

wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan SDA dan jasa lingkungan, dan

(2) variabel sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di

wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi

Page 57: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

31

berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan SDA dan jasa lingkungan yang

terdapat di wilayah pesisir (Dahuri, 2001).

Lebih lanjut Dahuri (2001) menyatakan bahwa daya dukung suatu wilayah

tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi

biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia

akan SDA dan jasa lingkungan (goods and service). Daya dukung suatu wilayah

dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural

forces), seperti bencana alam. Atau, dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan

melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi, dan impor

(perdagangan). Ketika SDA dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan

melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut

secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan

menurunnya perekonomian (economic decline) wilayah, serta penurunan

kesempatan kerja, pendapatan, dan devisa.

Fenomena yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, dimana masyarakat begitu

antusias dalam pengembangan rumput laut menimbulkan kekhawatiran akan

terjadinya pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya. Sehingga

kemungkinan hal tersebut di atas, yakni menurunnya keuntungan pembangunan

wilayah secara keseluruhan yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan

perekonomian wilayah serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat

dan devisa, bisa terjadi.

2.6 Pemodelan Sistem Dinamik

Sistem didefiniskan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek yang

saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain (Eriyatno dan

Sofyar 2007). Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan elemen-

elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional

terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan

(goals). Pengertian sistem menurut Marimin (2007), adalah suatu kesatuan usaha

yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha

mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Menurut Handoko

(2005), sistem adalah suatu mekanisme dari interaksi berbagai komponen sebagai

Page 58: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

32

suatu cara untuk membentuk sebuah fungsi. Dalam suatu sistem setiap komponen

dan fungsinya dapat diidentifikasi seperti interaksi diantara komponen dan di

dalam komponen. Demikian juga menurut Hartrisari (2007), bahwa sistem dapat

didefinisikan sebagai sekumpulan elemen (komponen) yang saling berinteraksi

dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dijelaskan bahwa

sistem dapat digolongkan pada 2 jenis, yaitu:

• Sistem terbuka (open system)

• Sistem tertutup (closed system)

Sistem terbuka adalah sebuah sistem di mana output yang dihasilkan merupakan

tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap input. Atau Sistem

yang tidak menyediakan sarana koreksi, sehingga perlakuan koreksi

membutuhkan faktor eksternal. Sedangkan Sistem tertutup adalah sistem di mana

output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input, dan perilaku sistem

akan dipengaruhi output tersebut. Atau sistem yang menyediakan sarana koreksi

di dalam sistem itu sendiri dalam rangka pencapaian tujuan sistem

Para ahli sistem memberikan batasan permasalahan yang solusinya

sebaiknya menggunakan teori sistem adalah yang memenuhi karakteristik, 1)

kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; 2) dinamis, dalam arti

faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan;

dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi

kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno dan Sofyar 2007). Manfaat utama dari

sistem dinamik menurut Coyle (1996) dalam Eriyatno dan sofyar (2007) adalah

mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja

dan sistem yang dapat dikelola.

Langkah pertama untuk melakukan permodelan sistem dinamis adalah

dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan gambaran

bentuk dan perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku

simpal umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Perilaku model

dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari

hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala

atau proses tersebut di masa depan. Dalam pendekatan analisis sistem dinamis,

struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh ini akan

Page 59: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

33

memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada (Eriyatno dan

sofyar 2007).

Hubungan sebab akibat yang dinyatakan dalam suatu diagram (causal loop

diagram) dapat menjelaskan dinamika yang berlaku pada sistem tersebut.

Hubungan sebab akibat dibedakan dua macam, yaitu:

1. Hubungan positif, dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar

pula nilai faktor akibat.

2. Hubungan negatif, yaitu makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil

nilai faktor akibat.

Dapat pula akibat dari suatu sebab mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga

terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan sebab

akibat yang lain. Sehingga terbentuk suatu untaian tertutup, yang disebut loop.

Akibat dicatu balikkan ke penyebabnya, maka terbentuk untaian catu balik atau

feed back loop.

Konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu

kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai

perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya. Sehingga kaitan antara

faktor-faktor ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan politik makin lama makin

erat sehingga gerakan disalah satu faktor akan mempunyai pengaruh pada faktor

lain (Marimin 2007).

Model merupakan representasi dari sistem. Model yang dibangun tidak

akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang

dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi

(Forrester 1965 dalam Hartrisari 2007). Pemodelan dapat diartikan sebagai suatu

gugus aktivitas pembuatan model. Dari terminologi penelitian operasional, secara

umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah

obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Model memperlihatkan hubungan-

hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik yang

diistilahkan sebab akibat. Karena suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas,

maka pada wujudnya kurang kompleks dari pada realitas itu sendiri. Model dapat

dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai dimensi dari realitas yang

sedang dikaji.

Page 60: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

34

Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk

menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah

tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang

terdapat diantara peubah. Lebih lanjut Eriyatno (1998), menyatakan bahwa model

dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau

derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah jenis model yang pada dasarnya

dapat dikelompokkan menjadi (1) model ikonik, adalah perwakilan fisik dari

beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda misalnya:

foto, peta, prototip, alat; (2) model analog, dapat mewakili situasi dinamik, yaitu

keadaan yang berubah menurut waktu, contohnya: kurva permintaan; (3) model

simbolik, pada hakekatnya ilmu sistem memusatkan perhatian pada model

simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik

dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai

adalah suatu persamaan (equation).

Sedangkan (Handoko 2005), membagi tipe model menjadi: (1) Fisik vs.

mental . Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), seperti boneka,

prototipe pesawat terbang dan mobil sedangkan model mental menggambarkan

sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis; (2)

Deskriptif vs. numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan

hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep

sementara model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga

mempunyai kemampuan prediksi; (3) Empirik vs. mekanistik. Model empirik juga

disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan

pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut ‘black

box’ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sebaliknya model

mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada

level model tersebut. Model yang tingkatannya lebih tinggi akan menjadi model

‘empirik’ jika dibandingkan model dengan tingkat yang lebih rendah. Tidak ada

model yang benar-benar (100 %) mekanistik; (4) Statis vs. dinamis. Model statis

tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, tidak ada fungsi waktu

sebaliknya model dinamis memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam

model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut ‘parameter’

Page 61: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

35

atau ‘konstanta’ dan; (5) Deterministik vs. stokastik. Model deterministik

menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak

memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai

faktor eksternal berbeda dengan keluaran model stokastik, dengan masukan

(input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam

ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output)

model.

Dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap

yang saling berhubungan yang perlu diperhatikan (Djojomartono 1993), sebagai

berikut :

1) Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi

masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas

tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah

tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang

menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup.

Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang

lingkup sistem.

2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi

terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh

penting yang akan beroperasi didalam sistem. Dalam tahap ini, sistem dapat

dinyatakan diatas kertas dengan beberapa cara, yaitu : (i) diagram lingkar

sebab akibat dan diagram kotak; (ii) menghubungkan secara grafis antara

peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif

dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan

mempengaruhi efektivitas model.

3) Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan

keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan

dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk

kode-kode yang dapat dimasukkan kedalam komputer. Penentuan akan

bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi

model.

Page 62: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

36

4) Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan

untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem

berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi.

5) Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah

dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar

memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan

data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter-

parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat

dilakukan setelah model divalidasi.

6) Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan

model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat

dilaksanakan.

Page 63: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan

Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Gambar 6).

Penelitian dilaksanakan pada Februari 2009-Maret 2010.

PEMERINTAH KABUPATEN BANTAENGSULAWESI SELATAN

PETA WILAYAH ADMINISTRASI KABUPATEN BANTAENGSULAWESI SELATAN

Kab. Bantaeng

Ulu Ere

Sinoa

Tompobulu

Gantarangkeke

Bantaeng

Eremerasa

Pa'jukukang

Bissappu

Bonto Lojong

Labbo

Layoa

Tombolo

Onto

Kayuloe

Baji Minasa

Bonto Karaeng Bonto Bullaeng

Pattallassang

Barua

Pattaneteang

Kaloling

Pa'jukukangBorong Loe

Papan Loe

Baruga

Kampala

Pa'bumbungang

Lamalaka

Lonrong

Banyorang

Bonto Tallasa

Ulugalung

Parang Loe

Bonto Langkasa

Bonto Daeng

Bonto Loe

Bonto Tappalang

Nipa Nipa

Bonto Tiro

Bonto Tangnga

Lumpangang

Balumbung

Biang keke

Bonto Mate'ne

Karatuang

Pa'bentengang

Rappoa

Campaga

Bonto Jaya

Bonto Manai

Bonto Rannu

Mappilawing

Batu Karaeng

Tanah Loe

Bonto SungguBonto Rita

Lembang Gantareng Keke

Mallilingi

Gantareng Keke

Bonto Salluang

Ereng Ereng

Bonto Maccini

Bonto Lebang

Bonto Cinde

Bonto Bontoa

Biang Loe

Bonto Jai

Bonto Marannu

Bonto Majannang

Lembang

Pallantikang

Bonto Atu

Let ta

Mamampang

Tappanjeng

815000

815000

820000

820000

825000

825000

830000

830000

835000

835000

840000

840000

845000

8450009380000 9380000

9385000 9385000

9390000 9390000

9395000 9395000

9400000 9400000

9405000 9405000

2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 KilometersSkala :

Sungai

Batas Kecamatan

Batas Desa

Jalan

Legenda :

N

EW

S

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Lokasi penelitian L a u t F l o r e s

Page 64: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

38

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan dalam beberapa tahap seperti tertera pada

Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Tahapan rencana penelitian.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data

primer didapatkan melalui observasi, pengukuran langsung di lapangan maupun

analisa di laboratorium dan dari hasil wawancara langsung di lokasi penelitian.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah dan swasta

yang terkait dengan penelitian ini.

3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir.

Parameter biofisik yang akan diamati, seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis, alat/cara analisis, dan sumber data dalam rencana penelitian

No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber I. Data Primer 1. Kelayakan lahan

- Suhu - Kecerahan - Salinitas - pH air - Kecepatan arus - Kedalaman

Water Quality Checker Secchi disk Water Quality Checker Water Quality Checker Layang-layang arus Eikman Grab

In situ In situ In situ In situ In situ In situ

Analisis Biofisik

Penentuan Kesesuaian Lahan

Penentuan Daya Dukung Lahan

Penentuan Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut

Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut

Page 65: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

39

No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber - Substrat - Tinggi gelombang - Hama/predator rumput laut

Eikman Grab/analisis tanah In situ In situ In situ

2.. Aspek ekologi - mutu dan ketersediaan bibit - pertumbuhan RL - luasan areal yang sesuai Aspek konomi - Kelayakan usaha - Keuntungan - Pendapatan petani - Sistem permintaan Pasar

(Domestik dan Ekspor), Aspek Sosial-budaya - Tingkat pendidikan, - Jumlah RT petani - Sistem sosial dalam

pengelolaan budidaya rumput laut

- Kemandirian petani, - Partisipasi keluarga - Sosialisasi pekerjaan - Alternatif usaha - Pemberdayaan masyarakat Aspek Teknologi - Sarana dan prasarana - Standarisasi mutu - Teknologi pengolahan - Ketersediaan informasi rl - Tingkat penguasaan teknologi

budidaya rl Aspek Kelembagaan. - Ada tidaknya kelompok tani - Zonasi peruntukan

lahan/perairan - Ketersediaan Perda - Ketersediaan hukum

adat/agama - Adanya tokoh masyarakat -

Wawancara langsung (kuesioner)

Ada tidaknya lembaga keuangan/sosial

Sampling

II. Data Sekunder 1. Citra Landsat ETM 7 Tahun

2005 Er Mapper 6.0 dan Arc View 3.3.

Biotrop,BPPT

2. Peta : - Peta rupa bumi - Peta lingkungan pantai

Arc View 3.3.

Bakosurtanal, BPN, BPPT,

Page 66: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

40

No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber (LPI)

- Peta kemampuan lahan - Peta batimetri - Peta administrasi

Puslitanak, BMG Maritim Makassar, Bappeda

3. Pustaka yang terkait dengan penelitian ini.

Instansi terkait

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut

Analisis kesesuaian lahan kawasan pesisir Kabupaten Bantaeng

dikhususkan pada kesesuaian lahan bagi peruntukan budidaya rumput laut jenis

K.alvarezii melalui analisis kondisi lingkungan perairan. Parameter lingkungan

perairan merupakan faktor pembatas dan menjadi pertimbangan utama dalam

penentuan tingkat kesesuaian lahan bagi budidaya rumput laut dengan metode

long line, seperti di tampilkan pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line.

No.

Parameter

Kriteria Kesesuaian

Sangat Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak sesuai

1. Kec. Arus (m/det.) 0.2-0.3 0.10-<0.20; >0.30-≤0.40

<.10; >0.40

2. Substrat dasar Pasir,pecahan karang

Pasir sedikit berlumpur

berlumpur

3. Salinitas (‰) 28-34 25-<28; >34-≤35 <25; >35 4. Keterlindungan Terlindung Cukup terlindung terbuka 5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30 0.10-<0.20;

>0.30-≤0.40 <0.10-≥0.40

6. Suhu (0 28-30 C) 26-<28; >34-≤35 <26; >35 7. Kecerahan (%) 80-100 60- <80 <60 8. Derajat keasaman 7.5-8.5 6.5-<7.5 <6.5->8.5 9. Kedalaman (m) 2-10 1-<2; >10-≤30 <1; >30 Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Hidayat (1994); Sulistijo (1996);

Aslam (1998); Effendi (2004); FAO (2008).

Secara umum terdapat lima tahapan dalam melakukan analisis kesesuaian

lahan, yaitu: 1). Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan

skoring. Parameter yang menentukan diberikan bobot terbesar sedangkan kriteria

Page 67: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

41

yang sesuai diberikan skor tertinggi; 2). Penghitungan nilai dengan skor (S)

dijumlah secara keseluruhan sehingga didapat total nilai bobot-skor maksimal

dikurangi total nilai bobot-skor minimal, kemudian dibagi tiga kategori skor;

3). Pembagian kelas lahan dan nilainya. Pada penelitian ini kelas kesesuaian lahan

akan dibedakan pada tiga tingkatan kelas dan didefinisikan sebagai berikut:

Kelas S1 : Sangat sesuai. Lahan atau kawasan yang sangat sesuai untuk budidaya

rumput laut tanpa adanya faktor pembatas yang berarti, dimana

parameter-parameter fisika kimia dan biologi perairan memenuhi

persyaratan atau ketentuan yang ideal, atau memiliki faktor pembatas

yang bersifat minor dan tidak akan menurunkan produktivitasnya

secara nyata terhadap kegiatan atau produksi hasil. Lahan kelas S1

memiliki nilai sebesar 99-135 dari nilai maksimum peruntukan

budidaya rumput laut.

Kelas S2 : Sesuai Bersyarat. Lahan atau kawasan mempunyai pembatas

(Penghambat) yang serius, pembatas tersebut akan mengurangi

aktivitas/produktivitas rumput laut dan keuntungan serta

meningkatkan masukan yang diperlukan dimana parameter fisika,

kimia dan biologi perairan tidak terlalu memenuhi persyaratan /

ketentuan yang ideal. Di dalam pengelolaannya diperlukan tambahan

masukan (input) teknologi dan tingkatan perlakuan. Lahan kelas S2

memiliki nilai sebesar 62-98 dari nilai maksimum peruntukan

budidaya rumput laut.

Kelas S3 : Tidak Sesuai. Lahan atau kawasan yang tidak sesuai diusahakan

untuk budidaya rumput laut yang lestari karena mempunyai faktor

pembatas yang berat/bersifat permanen dimana parameter tidak

memenuhi persyaratan/ketentuan yang ideal. Lahan kelas S3

memiliki nilai di bawah 61 dari nilai maksimum peruntukan

budidaya rumput laut.

Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh

masing-masing kelas lahan, semakin kecil faktor pembatas dan semakin besar

peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya;

4). Membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan. Pada

Page 68: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

42

cara ini, kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya rumput laut

diperoleh; 5). Pemetaan kesesuaian lahan yang dilakukan dengan program spasial

Arc View 3.3. untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut dilakukan

operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai sebagai kriteria.

Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing coverage

tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap penentuan

kesesuaian budidaya rumput laut. Hasil akhir dari analisa SIG melalui pendekatan

indeks overlay model adalah diperolehnya rangking (urutan) kelas kesesuaian

lahan untuk budidaya rumput laut tersebut.

3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Budidaya Rumput Laut

Analisis daya dukung perairan untuk pengelolaan budidaya rumput laut di

Kabupaten Bantaeng dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan

kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N.

Pertama; pendekatan kapasitas lahan sesuai dengan metode budidaya yang

diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan

tersebut menurut Rauf (2007), adalah:

a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai

Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil

analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG.

b. Kapasitas perairan

Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang

secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak

mengganggu ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan

dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai beriut:

Keterangan: KK = Kapasitas Perairan ℓ1 = lebar unit budidaya ℓ2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya p1 = panjang unit budidaya p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya

Page 69: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

43

Gambar 8 Skema unit budidaya rumput laut.

Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai

dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali 100%.

Luas unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya

yang ada di Kab. Bantaeng, yaitu 45x45 m. Luas yang sesuai untuk satu unit

budidaya (L2) ditentukan berdasarkan hasil survey lapang. Daerah yang

berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan 10 m

yaitu 2 x lebar maksimal badan perahu dengan penyeimbangnya yang dipakai

petani rumput laut dalam melakukan aktivitasnya di Kab. Bantaeng.

c. Luasan unit budidaya

Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit

budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda

tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan

satu unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 45 m x 45

m = 2 025 m2

d. Daya dukung perairan

atau 0.2025 ha.

Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk

mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan

penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan

pendekatan tersebut diatas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput

laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

P2

ℓ2 L2 10m

p1

ℓ1 L1

DDPRL = LPS x KP

Page 70: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

44

Keterangan:

DDPRLLPS = Luas perairan yang sesuai (ha)

= Daya dukung perairan budidaya rumput laut (ha)

KP = Kapasitas perairan (ha) Perhitungan berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh perairan

berdasarkan daya dukung yang diperoleh, digunakan persamaan, sebagai

berikut:

JUBRL

Keterangan:

= DDK/LUB

JUBRL DDP = daya dukung perairan (ha)

= jumlah unit budidaya rumput laut (unit)

LUB = luas unit budidaya (unit/ha)

Kedua; pendekatan kapasitas asimilasi N perairan dengan rumus:

(N BM x Vtot x FT) x 10

Keterangan :

-6

NBM V

= N Baku Mutu (Kep.Men LH 2004) : 1.0 mg/l tot = Vps

FT = 1/D, D=koefisien flushing x2

3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut

Analisis kesesuaian ekonomi dilakukan pada pemanfaatan existing

sumberdaya di wilayah pesisir. Penekanan tujuan analisis ini pada kelayakan

usaha yang dilakukan, meliputi penentuan biaya investasi, biaya operasional, dan

penerimaan. Analisis ini menggunakan:

- Benefit Cost Ratio (R/C),

Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana usaha budidaya rumput

laut tersebut menguntungkan, dengan menggunakan rumus :

R/C = TR/TC

Keterangan: TR = Total penerimaan usaha (Rp/ha/tahun)

TC = Total biaya usaha (Rp/ha/tahun)

Kriteria pengambilan keputusannya adalah : R/C > 1, usaha budidaya menguntungkan R/C = 1, usaha budidaya impas (break even point) R/C < 1, usaha budidaya rugi.

Page 71: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

45

Selanjutnya, untuk menetukan kelayakan pengembangan usaha budidaya

rumput laut dilakukan penghitungan besar penerimaan (benefit) dan besarnya

biaya (cost) yang dihitung berdasarkan nilai kini (present value). Kriteria

kelayakan yang digunakan adalah:

- Net Present Value (NPV)

NPV adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa

yang akan datang, dengan menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini.

Menggunakan persamaan sebagai berikut :

∑n

1=tttt

i)+(1C-B=NPV

Keterangan : Bt C

= benefit kotor tahunan, selama t tahun. t

1/(1+i)= biaya kotor tahunan, selama t tahun.

t

i = tingkat suku bunga bank (Discount rate) = discount factor (DF)

n = Umur ekonomis dari unit usaha r = discount rate t = 0, 1, 2, 3, …… tahun ke n

Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: NPV > 0 ; budidaya rumput laut layak diusahakan NPV = 0 ; budidaya rumput laut impas (break even point) NPV < 0 ; budidaya rumput laut tidak layak diusahakan

3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut

Analisis optimasi pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng untuk

pengembangan budidaya rumput laut dilakukan dengan pendekatan sistem

dinamik. Model sistem dinamik ini dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada

data–data empiris sistem teknologi budidaya yang ada, faktor-faktor ekologis

perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut, faktor-faktor ekonomi

dan sosial yang mempengaruhi pengembangan rumput laut, faktor kelembagaan.

Model sistem dinamik ini digunakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya

rumput laut berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan di Kabupaten

Bantaeng.

Metode analisis data dalam model sistem dinamik optimasi pengelolaan

sumberdaya rumput laut terdiri atas analisis kebutuhan, formulasi masalah,

Page 72: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

46

identifikasi sistem melalui diagram causal loop dan diagram input-output,

simulasi model, dan verifikasi dan validasi model.

a) Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap

pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam pemanfataan rumput laut. Berdasarkan

observasi dilapangan, stakeholders yang terlibat seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng

No. Stakeholders Kebutuhan

1. Petani/Masyarakat 1.1 .............................. 1.2 .............................. 1.3 ..............................

2. Pemerintah 2.1 .............................. 2.2 .............................. 2.3 ..............................

3. Pedagang pengumpul/ 3.1 .............................. 3.2 .............................. 3.3 ..............................

4. Pedagang besar /Pengusaha 4.1 ............................. 4.2 ............................. 4.3 .............................

5. Lembaga keuangan 5.1 ............................ 5.2 .............................. 5.3 ...............................

6. Industri pengolahan 6.1 ............................... 6.2 ................................ 6.3 ................................

7. Penyedia jasa transportasi 7.1 ................................ 7.2 ................................. 7.3 ................................

8. LSM 8.1 ................................ 8.2 ................................ 8.3 ................................

b) Formulasi Masalah

Formulasi masalah merupakan identifikasi dari kebutuhan stakeholders

yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan konflik pada pencapaian tujuan

(Hartrisari, 2007). Contoh kebutuhan stakeholders yang kontradiktif sehingga bisa

menimbulkan konflik adalah masalah harga komoditas rumput laut. Petani rumput

Page 73: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

47

laut menginginkan harga yang tinggi sementara disisi lain, pedagang

pengumpul/pengusaha menginginkan harga yanng rendah.

c) Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan

dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan

dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk

memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling

mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem.

Hubungan antara faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar

sebab-akibat (causal loop) seperti terlihat pada Gambar 9, kemudian dilanjutkan

dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box) atau

diagram input-output (Gambar 10). Dalam menyusun black box, jenis informasi

dikategorikan kedalam tiga golongan yaitu peubah input, peubah output dan

parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. salinitas kecerahan kecepatan

luas lahanyang sesuai

daya dukung

pertumbuhan RL

produksi

mutu bibitberat awal

bibit

kualitas RL

musimpemeliharaan

lama pemeliharaan

jarak tanam

kontribusiterhadap PAD

penerimaanpetani RL

harga RLpasar domestik

pasar ekspor

kontinyuitas

tingkat pendidikan

status kesehatan

penyerapantenaga kerja pekerjaan alternatif

jumlah RTpetani RL

pemberdayaanmasyarakat

++

+

+

+

luas unit usaha+

+

+

++

++

+

+

+

+

+

++

+

+

+

+

+

++ +

+

++

+

+

+

+

++

+

kuantitas RL+

+ ++

+

+

+

+

Ket:

Sub model ekologi (daya dukung)Sub model ekonomiSub model sosialSub model teknologi

+

Gambar 9 Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di

Kab. Bantaeng.

Page 74: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

48

Gambar 10 Diagram input-output (Hartrisari 2007).

d) Simulasi Model

Simulasi model merupakan peniruan perilaku dari suatu proses atau

kecenderungan yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat

analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.

Tahapan-tahapan dalam simulasi model adalah: penyusunan konsep, pembentukan

model, simulasi, dan validasi hasil simulasi.

e) Verifikasi dan Validasi Model

Uji validasi perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah keilmuan pada model

sistem. Validasi merupakan penilaian keobjektifan dari status pekerjaan ilmiah.

Validasi model akan menggambarkan sejauh mana status model dapat menirukan

fakta. Tahapan-tahapan pendekatan sistem secara sederhana dapat dilihat pada

Gambar 11.

Umpan Balik

Input Terkendali

• Jumlah pop. manusia• Limbah domestik• Masa tanam• Grazing oleh ikan

Output yang Dibutuhkan

•Kualitas RL baik•Produksi RL kontinyu•Kesejahteraan masy. meningkat•Ketrampilan dan wawasannelayan RL meningkat

Output yg tidak dibutuhkan• Konflik antar stakeholder• Produksi RL tidak kontinyu• Kualitas produksi RL

menurun

PengelolaanBudidaya RL

Input Lingkungan• Perda• Aturan lokal•UU No. 27/2007

Input Tak Terkendali

•Pencemaran non-point source•Arus dan gelombang•Penyakit

Page 75: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

49

Gambar 11 Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998).

f) Analisis Prospektif

Analisis prospektif dilakukan untuk menghasilkan skenario pengelolaan

sumberdaya rumput laut yang optimal dengan menetukan faktor yang dominan

yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor

dengan menggunakan pedoman penilaian analisis perospektif seperti pada Tabel

8 di bawah ini.

Page 76: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

50

Tabel 8 Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng

Skor Keterangan

0 Tidak ada pengaruh

1 Berpengaruh kecil

2 Berpengaruh sedang

3 Berpengaruh sangat kuat

Adapun pedoman pengisian pengaruh antar faktor berdasarkan pedoman penilaian

dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut:

1. Apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain. Jika ya,

beri nilai 0.

2. Jika tidak, apakah pengaruhnya sangat kuat. Jika ya, beri nilai 3.

3. Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, atau sedang = 2.

Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks

seperti pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9 Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.

Dari

terhadap

A

B

C

D

E

F

A

B

C

D

E

F

Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan

berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari berbagai faktor-faktor

yang sangat berpengaruh terhadap optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut

Page 77: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

51

yang menuntut untuk segera dilakukan tindakan. Adapun cara menentukan faktor

kunci, dapat dilihat seperti Gambar 12, di bawah ini.

Gambar 12 Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput

lautdi Kabupaten Bantaeng.

Hasil analisis berbagai faktor seperti pada Gambar 12 di atas,

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berada pada kwadran I berupa INPUT dan

pada kwadran II berupa STAKES, dapat dijadikan acuan dalam pengambilan

tindakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di masa yang akan

datang. Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka

dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor

tersebutsebagai alternatif penyusunan skenario pengelolaan sumberdaya rumput

laut yang optimal, seperti disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di

Kabupaten Bantaeng.

Faktor Keadaan 1A 1B 1C

Faktor 1 2A 2B 2C

Faktor 2 3A 3B 3C

Faktor 3 nA nB nC

Faktor n

Pengaruh

Ketergantungan

Faktor penentu INPUT

Faktor bebas UNUSED

Faktor terikat OUTPUT

Faktor penghubung STAKES

Page 78: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

52

Berdasarkan Tabel 10 di atas, maka dibangun skenario optimasi

pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Selanjutnya disusun

tiga skenario yang mungkin terjadi di masa depan seperti terlihat pada Tabe 11.

Tabel 11 Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di

Kabupaten Bantaeng

3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut

Análisis keberlanjutan usaha rumput laut dilakukan dengan pendekatan

multidimensional scaling (MDS) yang disebut RAP-RL yang merupakan

pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status

keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001; Kavanagh and

Pitcher 2004). Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam indeks keberlanjutan

budidaya rumput laut (ikb-RL).

Analisis dilakukan melalui tiga tahapan:

1). Penentuan atribut usaha rumput laut yang mencakup lima dimensi, yaitu

dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan; Pada setiap

dimensi dipilih beberapa atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan

untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari

dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi memang sangat banyak tetapi

untuk memudahkan analisis selanjutnya maka dipilih yang benar-benar secara

kuat mewakili dimensi yang bersangkutan, tidak tumpang tindih dengan

atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya.

Adapun atribut-atribut dari setiap dimensi yang akan digunakan untuk

menilai keberlanjutan usaha rumput laut adalah sebagai berikut (diadaptasi dari

Charles, 2001) :

(1) Dimensi Ekologi:

• Kualitas lingkungan • Mutu bibit, dan pertumbuhan RL

No. Skenario Urutan faktor

1. Konservatif-pesimistik 1A-2A-3A-4A

2. Moderat-optimistik 1B-2B-3B-4B

3. Progresif-optimistik 1C-2C-3C-4C

Page 79: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

53

• Luasan areal yang sesuai

(2) Dimensi Ekonomi:

• Keuntungan • Pendapatan petani rumput laut • Sistem permintaan Pasar (domestik dan ekspor),

(3) Dimensi Sosial budaya:

• Kualitas SDM (tingkat pendidikan) • Penyerapan tenaga kerja, • Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (partisipasi

keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya,,jumlah RT petani rumput laut,) • Alternatif usaha selain menanam rumput laut,

(4) Dimensi Teknologi:

• Tingkat penguasaan teknologi budidaya RL • Ketersediaan informasi RL • Ketersediaan industri pengolahan hasil RL • Standarisasi mutu produk RL • Dukungan sarana dan prasarana

(5) Dimensi Kelembagaan:

• Lembaga ekonomi/sosial yang ada, • Adanya kelompok petani rumput laut • Ketersediaan Perda/aturan adat/ kepercayaan/agama • Adanya tokoh masyarakat yang disegani • Zonasi peruntukan lahan/perairan

2). Penilaian setiap atribut dalam skala ordinasi berdasarkan kriteria

keberlanjutan setiap dimensi; berdasarkan pengamatan di lapangan ataupun data

sekunder yang tersedia, yang sesuai dengan scientific judgment dari pembuat skor,

maka setiap atribut diberikan skor yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi

usaha rumput laut tersebut. Rentang skor berkisar antara 0-3 atau tergantung pada

keadaan masing-masing atribut yang dimulai dari nilai buruk (0) sampai baik (3).

Nilai ”buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi

pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya nilai ”baik” mencerminkan kondisi

yang paling menguntungkan bagi keberlanjutan pembangunan. Diantara dua

ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara, tergantung dari jumlah

peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan sangat

ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menetukan

jumlah peringkat.

Page 80: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

54

Tabel 12 Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan Atibut Skor Baik Buruk Keterangan

Dimensi Ekologi (bobot: 5) Kualitas lingkungan: - Kecepatan arus - Salinitas (ppt)

- Kedalaman air pada saat surut (m)

- Substrat Dasar

- Kecerahan (m)

- keterlindungan

0; 1; 2 0; 1; 2 0; 1 0; 1; 2 0; 1; 2

0; 1

2 2 2 0 2

1

0 0 0 2 0

0

Mengacu pada Puslitbangkan, 1991. (0)tidak sesuai (< 20 m/dtk, atau >40 m/dtk) (1) sesuai (20-40 m/dtk)

(0) tidak sesuai (<26; >35); (1) cukup sesuai (25-<28; >34-35); (2) sesuai (28-34)

(0) tidak sesuai (<1; >30); (1)cukup sesuai (1-<2; >10-<30); (2) sesuai (2-10)

(0) lumpur; (1) pasir sedikit berlumpur (2) pasir, pecahan karang, karang, lamun.

0) tidak sesuai (<0.60); (1) cukup sesuai (0.60- <0.80); (2) sesuai (0.80-0.10)

0) tidak terlindung; (1) terlindung (Puslitbankan, 1991)

Mutu bibit ketersediaan bibit

0; 1; 2 0; 1; 2; 3

2 3

0 0

(0) jelek ; (1) sedang ; (2) baik (0) tidak tersedia; (1) jarang tersedia; (2) sering tersedia ; (3) selalu tersedia

Pertumbuhan RL 0; 1; 2 2 0 (0) jelek ; (1) sedang ; (2) baik Luasan areal yang sesuai untuk RL

0; 1; 2; 3 3 0 (0)<25%; (1) 26%-%50%; (2) 51%-75%; (3) >76%

Dimensi Ekonomi (bobot: 3,5) Kelayakan usaha 0; 1; 2 2 0 Mengacu pada.....

(0) tidak layak Net B/C=<1

(1) impas; (2) untung Kontribusi terhadap pendapatan asli daerah

0; 1 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi

Pemasaran 0; 1; 2 2 0 (0) lokal; (1) nasional; (2) internasional (RAPFISH)

Page 81: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

55

Atibut Skor Baik Buruk Keterangan Rantai pemasaran rumput laut

0; 1; 2 2 0 (0) tidak efisien; (1)cukup efisien; (2) sangat efisien

Dimensi Sosial (bobot: 3,5) Kualitas SDM: - Tingkat pendidikan

0; 1; 2; 3

3

0

(0) tidak tamat SD; (1) tamat SD-SMP; (2) tamat SMA; (3) S0-S1

jumlah rumah tangga petani rumput laut

0; 1; 2 2 0 (0) <1/3; (1) 1/3-2/3; (2) >2/3; dari total rumah tangga komunitasnya (RAPFISH)

Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut:

kemandirian petani,

Partisipasi keluarga dalam usaha rumput laut

0; 1; 2

0; 1; 2 0;1; 2

2

2 2

0

0 0

(0) individual, (1) melibatkan keluarga; (2) kelompok

(0) sangat tergantung; (1) sedang; (2) mandiri (0) tidak berpartisipasi; (1) sebagian berpartisipasi; (2) semua berpartisipasi

Sosialisasi pekerjaan

0; 1; 2

2

0

(0) individual; (1) kerjasama keluarga; (2) kerjasama kelompok

Alternatif usaha selain menanam rumput laut,

0; 1; 2; 3

3

0

(0) tidak ada; (1) sedikit; (2) sedang; (3) banyak; (RAPFISH)

Pemberdayaan masyarakat

0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) sedikit;(2) tinggi

Dimensi Kelembagaan (bobot: 1) Ada tidaknya kelompok tani

0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada

Zonasi peruntukan lahan/perairan

0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap (2) baik/lengkap (RAPFISH)

Ketersediaan Perda 0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap (2) baik/lengkap (RAPFISH)

Ketersediaan aturan adat dan agama/kepercayaan

0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap; (2) baik/lengkap (RAPFISH)

Adanya tokoh panutan yang disegani

0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada

Ada tidaknya lembaga keuangan/lembaga sosial

0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada

(Diadaptasi dari Sulistijo (1996); Aslan (1998); Chales, AT (2001) dan Susilo, 2003).

Page 82: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

56

3). Penyusunan indeks dan status keberlanjutan usaha rumput laut.

Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk

menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan

usaha rumput laut yang dikaji relatif terhadap titik acuan yaitu titik baik (good)

dan titik buruk (bad). Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilhat pada

Tabel 13.

Tabel 13 Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut

Status Keberlanjutan Nilai Indeks Kategori

<50 buruk 50 – 75 baik

>75 Sangat baik Budiharsono (2002)

Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat

divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses

rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai

indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem

yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan ≥50% maka sistem dikatakan

berkelanjutan dan jika nilai indeks ≤50% berarti tidak berkelanjutan. Ilustrasi hasil

ordinasi nilai indeks berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 13, di bawah ini.

0% (buruk) 50% 100%(baik)

Gambar 13 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut

Nilai indeks keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-

layang (kite diagram) seperti pada gambar 14.

Page 83: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

57

Gambar 14 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.

Análisis sensivitas dapat memperlihatkan atribut yang paling sensitif

memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan usaha rumput

laut dengan melihat perubahan bentuk root mean square (RMS) ordinasi pada

sumbu x. Semakin besar perubahan

Dalam análisis tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat

disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena

pemahaman terhadap atribut atau kondisi lapangan yang belum sempurna, variasi

skor akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti, proses análisis MDS yang

berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan

tingginya nilai stres (nilai stres dapat diterima jika nilainya <25% (Kavangh 2001;

Fauzi dan Anna 2002). Untuk menganalisis nilai galat pada pendugaan nilai

ordinasi optimasi pemanfaatan sumberdaya rumput laut digunakan análisis Monte

Carlo.

nilai RMS, maka semakin sensitif atribut

tersebut dalam pengelolaan usaha rumput laut.

Page 84: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

IV. KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG

4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi)

4.1.1 Administrasi

Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ± 120 km arah selatan Kota

Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 50 21’13” – 5o 35’ 26”

lintang selatan dan 119o 51’ 42” – 120o

Luas wilayahnya 539.3 km

05’ 27”bujur timur. Wilayah

administratifnya di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan

Kabupaten Bulukumba, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah

timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba dan sebelah barat berbatasan

dengan Kabupaten Jeneponto. 2, terdiri atas daratan seluas 395.83 km2 dan

lautan seluas 144 km2

Tabel 14 Luas wilayah daratan dan pembagian wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007

yang terbagi dalam 8 kecamatan, 111 Desa dan 42

kelurahan (Tabel 14). Tiga kecamatan diantaranya terletak di wilayah pesisir,

yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa’jukukang

dengan panjang garis pantai ± 21.5 km. Dalam penelitian ini wilayah yang

menjadi kajian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan

Bissapu dengan panjang garis pantai 10,6 km.

No. Kecamatan Luas (km2) Jumlah Desa/Kelurahan 1. Bissapu 32.84 11 2. Bantaeng 28.85 9 3. Tompobulu 76.99 10 4. Uluere 67.29 6 5. Pajjukukang 48.90 10 6. Ere Merasa 45.01 9 7. Sinoa 43.00 6 8. Gantarang Keke 52.95 6

Jumlah 395.83 78

Sumber : BPS 2008.

Secara administratif Kecamatan Bantaeng beribu kota di Kelurahan

Pallantikang. Kecamatan Bantaeng memiliki batas sebelah utara berbatasan

dengan Kecamatan Eremerasa’, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan

Eremerasa’ dengan Kecamatan Pa’jukukang, sebelah selatan berbatasan dengan

Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bissapu. Sedangkan

Page 85: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Kecamatan Bissapu batas wilayah administrasinya adalah sebelah utara

berbatasan dengan Kecamatan Uluere’, sebelah timur berbatasan dengan

Kecamatan Bissapu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bantaeng dan

Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Uluere’ dan

Kabupaten Jeneponto (BPS Kecamatan 2008).

4.1.2 Topografi

Kondisi topografi Kabupaten Bantaeng terdiri atas pegunungan, lembah,

daratan dan pesisir pantai. Ketinggian wilayahnya antara 0 – 1 000 m di atas

permukaan laut, mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan sekitar Gunung

Lompobattang. Wilayah pesisir dengan ketinggian 0 -25 m di atas permukaan laut,

berada pada areal bagian selatan dengan luas sekitar 10.3 %, ketinggian 26-99 m

sekitar 19.5%, ketinggian 100-500 m sekitar 29.6 % dan ketinggian di atas 500

seluas 40.6 % dari luas daratan Kabupaten Bantaeng. Wilayah dengan kelerengan

0-2 % hanya seluas 14.9 %, kelerengan 2–15 % seluas 42.64 %, kelerengan 15-40

% 20.77 % sedangkan wilayah yang berlereng di atas 40%, tidak diusahakan,

seluas 21.69 % dari wilayah Kabupaten Bantaeng.

Wilayah Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, masing-masing

dialiri 6 dan 4 sungai. Sungai yang mengalir di Kecamatan Bantaeng adalah

sungai Kassi-Kassi, Kayu Loe, Kariu, Calindu, Bialo dan Sungai Bolong Sikuyu,

sedangkan sungai yang mengalir di Kecamatan Bissapu adalah Sungai Tino,

Cabodo, Batu Rinring dan Sungai Lamosa.

4.1.3 Iklim

Iklim dipengaruhi oleh musim. Secara umum pergantian musim di

Kabupaten Bantaeng berlangsung dua kali, yaitu musim barat pada bulan

Oktober-Maret dan musim timur pada bulan April-September. Iklim di daerah ini

tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 71.8 mm/bulan dan

jumlah hari hujan berkisar 64 hari pada tahun 2007. Berdasarkan pencatatan

Subdin Pengairan Dinas PU Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten

Bantaeng pada tahun 2007, khusus untuk Kecamatan Bantaeng curah hujan sekitar

770 mm dengan rataan 10.40 mm/bulan, jumlah hari hujan 74 hari dan puncak

curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Di Kecamatan Bissapu jumlah curah

Page 86: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

hujan adalah 414 mm dengan jumlah hari hujan 107. Jumlah hari hujan tertinggi

terjadi pada bulan Februari dan Desember tetapi curah hujan tertinggi terjadi pada

bulan Maret.

Rincian jumlah curah hujan di Kabupaten Bantaeng tahun 2002-2007

memperlihatkan pada tahun 2002 curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan

curah hujan tahun yang lain (Lampiran 2). Diantara data curah hujan selama enam

tahun, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2005. Curah hujan pada tahun 2005

berpuluh kali lipat tingginya dibandingkan dengan curah hujan tiga tahun

sebelumnya maupun curah hujan dua tahun setelahnya. Curah hujan tertinggi

cenderung terjadi pada Januari, Februari dan Desember. Curah hujan rendah

cenderung terjadi pada Agustus, September, Oktober dan November, bahkan pada

September tahun 2002, 2006 dan 2007 tidak ada curah hujan sama sekali (Gambar

15). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang

ditunjukkan curah hujan rendah terjadi pada bulan musim timur/kemarau. Pada

bulan yang cenderung curah hujan rendah tersebut merupakan musim

timur/kemarau.

Gambar 15 Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di

Kabupaten Bantaeng.

Selain curah hujan, jumlah hari hujan setiap bulan juga berpengaruh

terhadap kondisi perairan. Rincian hari hujan dalam enam tahun terakhir

(Lampiran 2), jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 2005, jauh lebih tinggi dari

pada tahun-tahun yang lainnya. Frekuensi hari hujan umumnya tinggi pada bulan

Page 87: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Januari, Februari dan Desember dan cenderung rendah pada bulan Agustus,

September, Oktober dan November (Gambar 16).

Apabila dicermati, terdapat kesamaan antara jumlah curah hujan dengan

jumlah hari hujan, yakni bulan dengan curah hujan cenderung tinggi/rendah maka

jumlah hari hujan juga demikian. Fenomena ini terjadi tiap tahun. Akan tetapi

tetap ada pergeseran waktu puncak tertinggi curah hujan dan jumlah hari hujan

tiap tahun. Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan

pergeseran waktu curah hujan tertinggi yang merupakan prediksi dari hasil

analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) wajib disampaikan pemerintah

kepada nelayan rumput laut agar mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut.

Gambar 16 Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten

Bantaeng.

Data curah hujan yang akurat, penting dan sangat dibutuhkan oleh nelayan

rumput laut untuk menentukan jadwal tanam. Curah hujan terkait erat dengan

salinitas perairan, khususnya di perairan Bantaeng yang menjadi muara banyak

sungai. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan salinitas perairan turun ke

level yang tidak sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Apabila nelayan

menanam pada bulan yang curah hujannya relatif tinggi maka produksinya akan

cenderung lebih rendah dibandingkan dengan menanam pada bulan yang curah

hujannya lebih rendah. Selain itu, musim hujan menyebabkan peningkatan

dinamika laut yang ditunjukkan oleh arus kuat dan gelombang tinggi yang dapat

menghambat pertumbuhan rumput laut. Nelayan rumput laut akan menyesuaikan

Page 88: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

jadwal tanam dengan kondisi alam sehingga tidak akan mengalami kegagalan

dalam kegiatan budidaya rumput laut.

4.1.4 Kondisi Oseanografi

Kondisi oseanografi merupakan salah satu faktor yang menjadi

persyaratan untuk keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut. Kondisi

oseanografi, dalam hal ini gelombang dan arus, terkait dengan konstruksi unit

budidaya dan pertumbuhan rumput laut. Arus dan gelombang merupakan bentuk

pergerakan air di laut. Namun dibandingkan dengan gelombang, pergerakan air

yang disebabkan oleh arus dianggap lebih baik karena arus lebih dapat diprediksi

arah dan kekuatannya dan tidak terlalu merusak (Nugroho et al. 1986).

Pertumbuhan rumput laut yang baik membutuhkan kecepatan arus dan gelombang

tertentu.

4.1.4.1 Gelombang

Ketinggian gelombang yang diperoleh dari hasil pengukuran pada Musim

Timur berkisar antara 0.05 m sampai 0.45 m (Gambar 17). Pengukuran ini

dilakukan pada musim timur. Sedangkan pada musim barat gelombang bisa

mencapai ketinggian 1.5-2 meter yang berarti 3-4 kali lebih tinggi dari pada

musim timur. Tingginya gelombang ini disebabkan wilayah pesisir Kabupaten

Bantaeng posisinya terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa

adanya penghalang. Sehingga gelombang yang berasal dari arah laut dalam (Laut

Flores) akan berpengaruh pada kondisi perairan pantai. Kondisi ini menyebabkan

ketinggian gelombang meningkat pada musim barat. Gelombang yang

ketinggiannya melebihi dari persyaratan tumbuh rumput laut bisa merusak

budidaya rumput laut dan konstruksi unit budidaya.

Budidaya rumput laut membutuhkan gelombang dalam batas ketinggian

tertentu. Tinggi gelombang yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah 0.20-

0.30 m sangat sesuai; 0.10 m-<0.20 m; >0.30 m-≤0.40 m sesuai dan tidak sesuai

adalah 0,10 m->0.40 m (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslan

1998; Efendi 2004; FAO 2008). Di lapangan ditemukan hal yang agak berbeda

dengan referensi di atas. Pada lokasi yang tinggi gelombangnya melebihi 0.40,

pertumbuhan rumput laut justru lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Doty 1971 dalam Sulistijo 2002 bahwa semakin cepat pergerakan air semakin

Page 89: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

cepat pertumbuhan rumput laut. Pergerakan air dalam bentuk gelombang dan arus,

merupakan faktor yang penting dalam mempegaruhi pertumbuhan rumput laut

sebab gelombang dan arus memegang peranan penting dalam transportasi unsur

hara, menghidari adanya fluktuasi temperatur, pH, salinitas, oksigen terlarut dan

lain-lain.

Gambar 17 Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 4.1.4.2 Arus

Kecepatan arus yang terjadi di perairan Bantaeng pada musim timur

berkisar antara 0.104-0.566 m/detik. Dinamika kecepatan arus berbeda sesuai

dengan lokasi titik sampling. Semakin jauh lokasinya ke arah laut semakin tinggi

kecepatan arus dan sebaliknya semakin mendekati pantai semakin berkurang

kecepatannya. Hal ini terjadi karena pengaruh jarak tempuh arus ke pantai dan

teredam oleh hamparan budidaya rumput laut (Gambar 18).

Rumput laut memerlukan kecepatan arus tertentu untuk pertumbuhannya.

Menurut Sulistijo 1997, kecepatan arus antara 0.20-0.30 m/detik adalah sangat

sesuai, sedangkan 0.30-0.40 m/detik adalah kategori sesuai. Arus yang terlalu

cepat akan mematahkan rumput laut dan merusak bentangan sedangkan arus yang

sangat lambat bisa menyebabkan rumput laut kekurangan nutrien yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan dan akan menyebabkan kotoran dan organisme pengganggu

(hama) gampang menempel. Organisme pengganggu atau hama bisa memakan

rumput laut atau bersaing dalam penggunaan nutrien sedangkan kotoran yang

Page 90: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

menempel akan menyebabkan proses fotosintesa tidak maksimal karena

menghalangi penetrasi cahaya matahari sampai ke thallus. Namun yang

ditemukan di lapangan, pada kecepatan arus sekitar 0.57 m/detik pun

pertumbuhan rumput laut masih bagus dengan unit budidaya yang juga tetap

stabil. Hasil penelitian Mansyur (2010) juga menemukan laju pertumbuhan harian

tertinggi rumput laut adalah pada bagian terjauh dari pulau yang berarti lebih

tinggi terpapar arus yang kecepatannya lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan hasil

wawancara terhadap nelayan rumput laut di wilayah kajian. Menurut para nelayan

rumput laut, pada musim timur pertumbuhan rumput laut yang berada pada unit

budidaya di bagian luar arah ke laut, lebih bagus pertumbuhannya bila

dibandingkan dengan rumput laut yang ditanam di pinggir pantai karena yang

terdapat pada bagian luar selalu bergerak terkena arus dan gelombang.

Temuan ini sesuai dengan pendapat Doty 1971 dalam Sulistijo 2002,

bahwa semakin besar pergerakan air akan semakin cepat pertumbuhan rumput

laut, karena proses difusi makin banyak sehingga proses metabolisme bertambah

cepat. Difusi yang dimaksud adalah masuknya nutrien ke dalam sel tanaman dan

keluarnya hasil metabolisme.

Gambar 18 Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Page 91: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

4.1.5 Parameter Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu penentu utama keberhasilan suatu

kegiatan budidaya rumput laut, selain kondisi oseanografis. Kualitas air juga akan

menetukan daya dukung perairan terhadap kegiatan budidaya rumput laut.

Kualitas air yang rendah akan menyebabkan daya dukung perairan juga rendah.

Pada lokasi penelitian dari hasil pengukuran, didapatkan hasil sebagai berikut:

4.1.5.1 Kecerahan Perairan

Kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat tinggi, yakni berkisar

antara 0.2-2.98 m. tingkat kecerahan perairan semakin jauh ke arah laut semakin

tinggi. Di beberapa titik sampling terdapat kekeruhan terutama pada daerah yang

lebih dekat dengan pantai, hal ini dapat terlihat pada kondisi kecerahan yang

paling rendah yaitu hanya 0.2 m (Gambar 19).

Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman

penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air

(Nybakken 1988). Kecerahan tidak berdampak langsung pada pertumbuhan

rumput laut akan tetapi secara tidak langsung melalui penetrasi cahaya. Penetrasi

cahaya ke dalam perairan yang menyebabkan proses foto sintesis semakin tinggi

jika semakin tinggi tingkat kecerahannya semakin efektif untuk pertumbuhan

rumput laut. Tingkat kecerahan di kelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni

sangat sesuai 0.80-1.00 meter, sesuai bersyarat 0.60-0.80 meter dan tidak sesuai

jika kecerahan sudah di bawah 0.60 meter. (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994;

Sulistijo 1996; Efendi 2004; FAO 2008).

Page 92: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 19 Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

4.1.5.2 Salinitas.

Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data salinitas yang berkisar antara

26.7-30.6 ‰. Salinitas rendah terdapat pada daerah sekitar muara sungai dan

semakin ke tengah perairan salinitas semakin tinggi walaupun perbedaannya

relatif kecil (Gambar 20). Salinitas pada wilayah perairan Kabupaten Bantaeng

penting untuk diperhatikan perubahannya pada musim hujan karena banyaknya

aliran sungai yang bermuara pada perairan tersebut. Sepanjang 21 km garis pantai

terdapat 11 muara sungai dan khusus untuk wilayah kajian, pada dua kecamatan

tersebut mengalir 10 sungai sehingga pada musim hujan salinitas bisa turun sangat

rendah khususnya pada muara sungai dan bagian permukaan perairan.

Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Apabila

salinitas rendah, jauh di bawah batas toleransinya maka rumput laut akan

berwarna pucat, gampang patah dan lunak akhirnya membusuk. Rumput laut jenis

K.alvarezii membutuhkan kisaran salinitas untuk pertumbuhan maksimal 29-

34‰. (doty 1987), 28-35‰ (Ditjenkan Budidaya 2005), 30-37‰ (Kadi dan

Atmadja 1988, Sulistijo 1997).

Page 93: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 20 Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

4.1.5.3 Suhu

Suhu perairan Kabupaten Bantaeng berkisar antara 29.5–32.7 °C. Perbedaan

suhu diantara titik sampling tidak berbeda jauh, hanya sekitar 2.2 °C, suhu

tertinggi terdapat pada daerah sekitar pantai (Gambar 21). Suhu secara tidak

langsung berhubungan dengan kedalaman. Makin dangkal perairan maka

cenderung semakin cepat terjadi perubahan suhu sebab dengan sumber panas yang

sama besarnya, perairan dangkal yang memiliki volume air yang lebih kecil akan

lebih cepat panas. Fenomena ini juga terjadi di perairan Bantaeng dimana perairan

di dekat pantai yang lebih dangkal memiliki suhu yang lebih tinggi bila

dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Nontji (1987), menyebutkan

bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara 28–38 °C dan suhu di dekat

pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di laut lepas.

Suhu berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme organisme. Setiap

organisme memiliki suhu optimal yang berbeda untuk pertumbuhannya. Menurut

Yulianda et al, (2001) untuk rumput laut jenis K.alvarezii kisaran suhu air laut

antara 27-30 ºC, sesuai dengan pendapat Kadi dan Atmadja (1988), bahwa rumput

laut, khususnya K.alvarezii tumbuh dengan baik pada suhu 27-30 °C. Jadi secara

Page 94: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

umum suhu perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berada dalam kisaran

yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut.

Gambar 21 Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

4.1.5.4 Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH di perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, berkisar

antara 6.82-8.14. Pada daerah sekitar muara sungai pHnya relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan lokasi lainnya (Gambar 22). Temuan ini menarik karena

umumnya daerah muara sungai mempunyai pH lebih rendah akibat penguraian

bahan organik yang biasanya menumpuk pada dasar muara sungai. Hal ini berarti

bahwa pada daerah muara sungai tidak terjadi penumpukan dan penguraian bahan

organik yang bersifat masam. Kemungkinan hal ini terjadi karena wilayah kajian

adalah perairan terbuka yang mempunyai waktu pembilasan (flushing time) relatif

cepat sehingga bahan organik tidak sempat menumpuk pada muara sungai sudah

mengalami pembilasan. Data substrat dasar juga menunjang penjelasan ini sebab

pada muara sungai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, substrat dasar

umumnya berupa karang, pecahan karang dan pasir bukan lumpur (bahan

organik).

Setiap organisme membutuhkan kondisi pH tertentu untuk kelangsungan

hidupnya, kondisi yang sama juga terjadi pada rumput laut jenis K.alvarezii.

Untuk pertumbuhan yang optimal, rumput laut K.alvarezii membutuhkan pH

Page 95: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

antara 7-9 dengan kisaran optimum 7.3-8.2 (Zatnika dan Angkasa 1994).

Sehingga sebaiknya perairan budidaya mempunyai pH antara 7.8-8.2 (Indriani dan

Sumiarsih 1999).

Gambar 22 Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

4.1.5.5 Substrat Dasar

Substrat dasar perairan Bantaeng umumnya terdiri dari karang, pecahan

karang dan pasir. Hanya sebagian kecil yang berupa lumpur. Hal yang menarik

dari hasil pengamatan dan analisis laboratorium adalah substrat dasar pada bagian

muara sungai bukan berupa lumpur seperti umummnya muara sungai akan tetapi

terdiri atas karang, pecahan karang dan pasir (Gambar 23).

Substrat dasar berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat yang

berupa lumpur apabila kedalamannya rendah gampang teraduk oleh arus dan

gelombang sehingga menyebabkan kekeruhan. Selanjutnya kekeruhan bisa

menghambat penetrasi cahaya matahari yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut

dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan. Karena itu untuk pertumbuhan

rumput laut yang baik bagi lokasi budidaya yang tidak terlalu dalam, disyaratkan

substrat dasarnya berupa karang, pecahan karang, pasir atau campuran ke tiganya.

Sementara untuk lokasi budidaya yang mempunyai kedalaman tinggi, substrat

dasar tidak terlalu berpengaruh atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali karena

relatif stabil dari pengaruh pengadukan oleh gelombang maupun arus laut.

Page 96: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 23 Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

4.1.5.6 Kedalaman.

Hasil pengukuran kedalaman perairan pada kawasan budidaya rumput laut

di lokasi penelitian didapatkan kedalaman dari 1-21 m. Kedalaman tertinggi

cenderung berada pada perairan sebelah Barat kawasan dan perairan yang dangkal

berada pada bagian Timur arah ke pantai (Gambar 24). Kedalaman berhubungan

dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan rumput laut. Dengan penggunaan metode long line pertambahan

kedalaman perairan tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan rumput laut,

karena tanaman rumput laut tetap berada disekitar permukaan bagaimanapun

dalamnya perairan tersebut, berbeda apabila menggunakan metode lepas dasar.

Pada perairan yang dalam, pertumbuhannya malahan lebih baik sebab airnya

jernih sehingga penetrasi sinar matahari ke dalam perairan yang sangat

dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses fotosintesa tidak terhalang. Namun dari

aspek ekonomi, tidak terlalu ideal karena membutuhkan biaya investasi, biaya

operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi.

Setiap metode budidaya rumput laut membutuhkan persyaratan kedalaman

yang berbeda. Metode lepas dasar membutuhkan kedalaman 0.3 – 0.6 m, metode

rakit 0.6-2 m dan metode long line 2-10 m (Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI

2002). Sedangkan menurut Yulianda et al, (2001) kedalaman perairan untuk jenis

Page 97: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

K.alvarezii yaitu kedalaman air pada waktu surut terendah 50-100 cm, dan tidak

lebih dari 200-300 cm pada waktu pasang.

Gambar 24 Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

Pada metode long line, kedalaman perairan di kawasan budidaya tersebut

merupakan kisaran kedalaman yang masih sesuai untuk budidaya rumput laut dari

dimensi ekobiologi. Namun dari aspek ekonomi kisaran kedalaman tersebut tidak

terlalu ideal. Kedalaman yang tinggi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya

investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi.

Kebutuhan terhadap bahan konstruksi bentangan juga lebih banyak seperti tali,

pelampung, dan pemberat. Dalam hal aksespun lebih sulit dan lebih jauh dari

pantai sehingga membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih besar.

Namun secara biologis tidak berpengaruh buruk pada pertumbuhan rumput laut.

Kedalaman juga berhubungan dengan kecerahan. Pada perairan yang

dangkal besar kemungkinan terjadi pengadukan sampai ke dasar oleh gelombang

dan arus, sehingga bisa menyebabkan kekeruhan apabila dasar perairan berupa

lumpur. Kekeruhan yang terjadi menghambat menetrasi matahari ke dalaam

perairan sehingga bisa mengganggu proses fotosintesa pada rumput laut. Hal ini

sesuai dengan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara bahwa semakin

keluar lokasi unit budidaya yang berarti semakin dalam perairannya maka

Page 98: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

semakin baik pertumbuhan rumput laut, dengan syarat budidaya dilakukan pada

musim Timur.

4.1.5.7 Keterlindungan

Wilayah pesisir Bantaeng merupakan daerah terbuka yang berhadapan

langsung dengan laut Flores tanpa ada penghalang seperti pulau atau gusung. Jika

hanya dilihat dari aspek ini, kawasan tersebut tidak ideal untuk budidaya rumput

laut. Karena pada musim Barat areal budidaya rumput laut tidak terlindung sama

sekali dari hempasan gelombang dan arus yang kuat. Pada hal menurut

Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslam 1998; Efendi 2004;

FAO 2008, salah satu persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah harus

terlindung dari hempasan gelombang atau arus yang kuat. Sehingga umumnya

lokasi budidaya rumput laut berada pada teluk atau perairan yang dihadapannya

terdapat pulau kecil atau gusung. Kondisi perairan wilayah pesisir Kabupaten

Bantaeng yang terbuka ternyata tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini

merupakan pertanda bahwa kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan tetap

menguntungkan. Namun nelayan rumput memang tidak bisa melakukan budidaya

rumput laut sepanjang tahun, mereka harus menyesuaikan jadwal tanamnya

dengan kondisi alam yang memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut. Yakni pada

musim Timur dan musim transisi pada saat dimana kondisi kecepatan arus dan

gelombang memuungkinkan untuk budidaya rumput laut. Data pengukuran

oseanografi dan kualitas air secara lengkap terdapat pada Lampiran 4.

4.2 Aspek Sosial-Budaya

4.2.1 Penduduk

Penduduk merupakan faktor produksi dalam memanfaatkan potensi

sumberdaya perairan. Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng pada tahun 2007

tercatat sebanyak 173 308 jiwa. Penduduk perempuan lebih banyak jumlahnya

dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki, yakni 89 165 jiwa perempuan

dan penduduk laki-laki 84 143 jiwa (BPS 2008) (Gambar 25).

Berdasarkan catatan kependudukan Kecamatan Bantaeng dalam Angka

2008, bahwa jumlah penduduk Kecamatan Bantaeng sekitar 33 694 jiwa terdiri

dari laki-laki sebanyak 16 314 jiwa dan perempuan sebanyak 17 380 jiwa pada

tahun 2007. Diantara jumlah penduduk tersebut terdapat penduduk usia kerja

Page 99: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

sebanyak 22 331 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 577 jiwa dan perempuan 11

754 jiwa. Penduduk Kecamatan Bissapu berjumlah 29 617 yang terdiri dari

perempuan 15 302 jiwa dan laki-laki 14 315 jiwa dan diantaranya terdapat

penduduk usia kerja sebanyak 21 652 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 183 jiwa

dan perempuan 11 469 jiwa. Mata pencaharian dari penduduk Kecamatan

Bantaeng sebagian besar adalah nelayan rumput laut dan yang lainnya sebagai

pedagang, tukang batu, buruh bangunan, pegawai negeri sipil dan penjual

makanan, demikian juga dengan mata pencaharian penduduk Kecamatan Bissapu

(BPS Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dalam Angka 2008).

Gambar 25 Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun

2003-2007.

Rumah tangga perikanan (RTP) di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2002

sekitar 1 630 yang terdiri atas 8 032 jiwa yang tersebar pada tiga kecamatan yaitu

kecamatan Bissapu, kecamatan Bantaeng dan kecamatan Pajjukukang. Diantara

RTP tersebut, sebagian besar yaitu 1 448 (89 %) merupakan RTP penangkapan

(nelayan tangkap) dan sisanya, yakni 160 orang (11 %) adalah RTP nelayan

rumput laut. Enam tahun kemudian, yakni pada tahun 2008, RTP nelayan rumput

laut telah meningkat lebih dari 1 500 % menjadi 2.458 RTP (Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009). Konsekwensi dari semakin meningkatnya

jumlah RTP nelayan rumput laut adalah bertambahnya luasan kawasan budidaya

rumput laut. Apabila pertambahannya tidak terkendali dan tidak dikelola dengan

Page 100: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

baik maka akan berdampak buruk terhadap kualitas kawasan budidaya yang pada

akhirnya juga akan mempengaruhi kegiatan budidaya rumput laut.

4.2.2 Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu penentu dari kualitas sumberdaya

nelayan rumput laut. Pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal

dasar bagi nelayan rumput laut untuk dapat mengakses informasi melalui berbagai

media sehingga memudahkan mereka menyerap suatu perubahan atau inovasi

yang berhubungan dengan perilaku. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir

dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh faktor

pendidikan yang dimiliki. Pendidikan merupakan proses pengetahuan,

keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga

diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Slamet (2003),

mendefinisikan pendidikan sebagai kegiatan untuk menghasilkan perubahan-

perubahan pada perilaku manusia.

Kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Bantaeng, jika dilihat dari

tingkat pendidikan masih tergolong rendah. Penduduk usia 10 ke atas yang tidak

sekolah atau belum pernah sekolah persentasenya cukup tinggi, yakni 19.43%,

Sekolah Dasar 8.36 %, Sekolah Menengah Pertama 4.77 %, Sekolah Menengah

Atas 3.14%, Perguruan Tinggi 1.19% dan tidak bersekolah lagi 63.10% (Gambar

26).

Gambar 26 Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di

Kabupaten Bantaeng.

Page 101: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Jika diasumsikan bahwa penduduk yang tidak sekolah atau belum pernah

sekolah tidak bisa baca tulis latin berarti angka tingkat buta huruf di Kabupaten

Bantaeng cukup tinggi, minimal 19.43%. Penduduk yang tidak sekolah/belum

pernah sekolah itu lebih dari 50% adalah perempuan, yakni 15 849 perempuan

dan 10 922 adalah laki-laki. Selain angka yang tidak/belum pernah sekolah cukup

tinggi, angka tidak bersekolah lagi (drop out) pun sangat tinggi, yakni mencapai

63.10%. Angka drop out ini tidak dirinci pada jenjang pendidikan apa yang paling

tinggi, apakah drop out pada jenjang SD, SMP, atau pada jenjang pendidikan

yang lebih tinggi. Jumlah perempuan juga lebih besar yang drop out dibandingkan

dengan laki-laki. Namun yang cukup menggembirakan pada level perguruan

tinggi, jumlah perempuan jauh lebih tinggi (954 jiwa) dibandingkan dengan laki-

laki (694 jiwa) (Tabel 15). Dengan pendidikan yang lebih tinggi maka kesempatan

perempuan berkiprah pada rana publik akan lebih terbuka pada masa yang akan

datang.

Tabel 15 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis

kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007

No. Tingkat Pendidikan Laki Perempuan ∑ (Orang) 1. Tidak/blm pernah sekolah 10 922 15 849 26 771 2. S D / M I 5 775 5 736 11 511 3. S L T P 2 736 3 840 6 576 4. S M U / S M K 2 054 2 271 4 325 5. Perguruan Tinggi 694 954 1 648 6. Tidak bersekolah lagi 42 145 44 778 86 923

Jumlah 64 326 73 428 137 754 Sumber data: BPS 2008

Angka buta huruf atau tidak dapat membaca usia 10 tahun ke atas ternyata

lebih besar, yakni 29 920 orang dari pada penduduk yang tidak/belum pernah

sekolah yakni 26 771 orang. Selisih ke dua angka tersebut, yakni 3 149 orang,

bisa berarti bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak bersekolah lagi

(drop out) tidak punya kemampuan baca/tulis (buta huruf). Hal ini merupakan

angka buta huruf yang cukup tinggi, dan sekali lagi jumlah penduduk buta huruf

lebih banyak perempuan yakni 17 654 orang dan laki-laki hanya berjumlah 12 266

orang (Tabel 16).

Page 102: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Tabel 16 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007

Kemapuan baca/tulis Laki-laki Perempuan Jumlah Huruf latin 512 453 55 293 106 746

Huruf lainnya 607 481 1 088

Tidak dapat 12 266 17 654 29 920

Jumlah 64 326 73 428 137 754

Sumber : BPS 2008.

Secara khusus, pendidikan dasar nelayan rumput laut lebih rendah

dibandingkan tingkat pendidikan masyarakat Bantaeng secara umum yakni: tidak

pernah sekolah-Sekolah Dasar (SD) 76.1%, Sekolah Menengah Pertama 6.52%,

Sekolah Menengah Atas 13.04% dan Dipl-S1 4.35% (Tabel 17). Hal ini sesuai

dengan hasil survey Bina Mitra (2004) yang mendapatkan, tingkat pendidikan

kepala keluarga nelayan rumput laut rata-rata tidak lulus Sekolah Dasar-lulus

Sekolah Dasar (57%), lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (33%), lulus

Sekolah Lanjutan Atas 10%.

Tabel 17 Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009

Tingkat pendidikan Jenis kelamin Jumlah Laki-laki perempuan orang %

Tidak pernah sekolah-SD 33 2 35 76.10 SMP 3 - 3 6.52 SMA 6 - 6 13.04 Dipl-S1 2 - 2 4.35

Total 44 2 46 100 Sumber data: Hasil wawancara responden nelayan rumput laut Kabupaten

Bantaeng 2009.

Tingkat pendidikan masyarakat selain sebagai penentu kualitas

sumberdaya manusia, juga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan

masyarakat. Semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin kecil

angka buta huruf dan semakin besar angka partisipasi sekolah masyarakat serta

semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh.

Dalam rangka meningkatkan partisipasi sekolah masyarakat maka

pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng menyediakan sarana dan prasarana yang

dibutuhkan, baik untuk pendidikan formal maupun non formal. Di Kabupaten

Page 103: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Bantaeng terdapat TK 39 buah, SD Negeri dan Swasta 143, SD Luar Biasa 1,

SLTP 61, SLTP Terbuka dan SLTA 38 yang ditunjang oleh Laboratorium dan

Perpustakaan.

4.2.3 Kesehatan

Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan

masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin

tinggi derajat kesehatannya. Masyarakat yang sudah sejahtera berarti kebutuhan

primernya sudah terpenuhi, termasuk aspek kesehatan. Kalaupun mereka sakit,

mereka punya kemampuan pendanaan untuk berobat.

Pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Bantaeng diarahkan agar

pelayanan kesehatan meningkat lebih luas, lebih merata dan lebih terjangkau oleh

masyarakat sehingga dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih

tinggi. Dan pada akhirnya setiap orang bisa hidup lebih produktif secara sosial

maupun secara ekonomis.

Penyediaan sarana pelayanan kesehatan berupa rumah sakit puskesmas

dan tenaga kesehatan semakin ditingkatkan sesuai dengan rencana pentahapannya.

Demikian juga dengan penyediaan obat-obatan, alat kesehatan, pemberantasan

penyakit menular dan peningkatan penyuluhan dibidang kesehatan. Sarana unit

pelayanan kesehatan yang tersedia sudah cukup memadai, dan lokasinya sudah

menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Bantaeng ( Lampiran 5).

Demikian juga dengan berbagai jenis tenaga dalam lingkup kesehatan.

Dilihat dari jumlah dan jenisnya sudah cukup lengkap sesuai dengan kelas unit

pelayanan yang tersedia (Lampiran 6). Selain itu. juga terdapat terdapat aspek

penunjang di bidang kesehatan yakni apotek 5 buah dan toko obat 18 buah. Baik

personil lingkup kesehatan maupun unit pelayanannya cukup memadai dan akses

ke lokasinya terjangkau oleh transportasi umum.

4.2.4 Kelembagaan

Cooley dalam Soemardjan dan Soemardi (1964) mendefinisikan lembaga

sebagai Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap. Menurut Kartodiharjo et al.

(1999), kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak,

yang mencakup idiologi, hukum adat-istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak

terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan

Page 104: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

oleh individu atau perorangan maupun organisasi. Oleh karena itu kelembagaan

adalah instrumen yang mengatur hubungan antara individu.

Sesuai dengan rumusan tersebut di atas maka kelembagaan yang dimaksud

adalah kelembagaan modern berupa Perda maupun kelembagaan tradisional yang

berupa aturan adat dan kehidupan sosial masyarakat. Kelembagaan yang

berhubungan langsung dengan kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten

Bantaeng berupa Peraturan Pemerintah (Perda) dan aturan lokal . Dalam bentuk

Perda yakni Perda No. 5 Tahun 2004 tentang perizinan dan retribusi kegiatan-

kegiatan di wilayah perairan Kabupaten Bantaeng. Perda ini belum secara spesifik

mengatur tentang budidaya rumput laut,dalam hal zonasi, waktu menanam agar

masyarakat tidak mengalami kerugian akibat musim yang tidak cocok untuk

budidaya rumput laut, ataupun hal-hal yang bisa berkontribusi untuk

mengembangkan dan memajukan kegiatan budidaya rumput laut. Perda tersebut

hanya terbatas pada peraturan pemungutan retribusi saja. Setiap lahan kegiatan

budidaya rumput laut seluas satu ha dikenakan retribusi Rp50 000/tahun. Aturan

lokal yang ada dan disepakati oleh nelayan rumput laut hanya mengatur tentang

ganti rugi. Nelayan rumput laut yang lahannya ataupun budidaya rumput lautnya

rusak akibat kelalaian pihak lain, karena tertabrak perahu misalnya, akan diganti

oleh orang yang menyebabkan kerusakan tersebut dengan nilai sesuai harga yang

dirusak dan hasil kesepakatan.

Lembaga (institusi) adalah sistem, norma untuk mencapai suatu tujuan

atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan

kebiasaan atau tata kelakuan yang berkisar pada suatu pokok manusia. (Horton

dan Hunt 1991; Cohen 1992). Lembaga (institusi) lingkungan yang dikemukakan

oleh Alikodra (2004) mencakup berbagai organisasi yang ada, seperti lembaga

formal yang memiliki fungsi dan peranan dibidang lingkungan, LSM, norma dan

nilai-nilai sosial, termasuk frame-work politik, program-program lingkungan, pola

komunikasi dan gerakan-gerakan sosial.

Ada beberapa macam lembaga yang berkaitan dengan kegiatan budidaya

rumput laut antara lain, lembaga sosial, lembaga ekonomi dan lembaga

penyuluhan. Lembaga sosial di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng yang

berkaitan dengan kegiatan budidaya rumput laut adalah kelompok nelayan rumput

laut.

Page 105: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Kelompok nelayan rumput laut terbentuk pertama kali pada tahun 1999 di

kecamatan Bissapu dengan nama kelompok nelayan rumput laut Mattoanging.

Namun kelompok nelayan rumput laut ini hanya aktif pada awal terbentuknya dan

pada saat akan ada bantuan dari pemerintah. Selebihnya hanya tinggal nama saja.

Kemudian pada tahun 2004, Mitra Bahari, salah satu LSM di Kabupaten Bantaeng

membentuk kelompok nelayan rumput laut untuk mewadahi pemberdayaan

masyarakat khususnya nelayan rumput laut yang difasilitasi oleh Bappenas dalam

bentuk program pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan kecil (marginal

fishing community development pilot). Namun kelompok yang telah terbentuk ini

tidak bertahan lama. Nama kelompok nelayan rumput laut tetap ada akan tetapi

aktifitas kelompok tani rumput laut ini tersendat setelah proyek berakhir.

Kelembagaan ekonomi, seperti koperasi simpan pinjam, koperasi yang

menyediakan peralatan budidaya rumput laut, atapun lembaga perkreditan rakyat,

yang sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput laut sampai saat ini belum tersedia.

Seperti umumnya masyarakat nelayan dan nelayan rumput laut di Indonesia,

nelayan rumput laut di Kabupaten Bantaeng juga mengalami kendala permodalan

untuk mengembangkan kegiatan budidayanya. Lembaga keuangan umum yang

ada seperti Bank sangat sulit bahkan tidak mungkin diakses oleh nelayan rumput

laut. Di samping karena persyaratan administrasi yang rumit juga karena harus

punya agunan. Nelayan rumput laut hanya punya lahan yang sampai saat ini masih

berupa hak pakai sehingga tidak ada nilai agunanannya. Sebab itu untuk

memenuhi segala kebutuhannya baik dalam hal permodalan, pemenuhan

kebutuhan sehari-hari ataupun bahan untuk konstruksi areal budidaya rumput laut,

nelayan rumput laut umumya meminjam pada rentenir dan pedagang pengumpul

rumput laut. Cara ini sebenarnya memberatkan dan merugikan nelayan rumput

laut karena mereka menjadi terikat, dalam menjual hasil produksi rumput laut.

Mereka harus menjualnya kepada sipemberi pinjaman dan harga produksi rumput

laut ditentukan oleh si pemberi pinjaman.

Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan

budidaya rumput laut terbilang cukup lumayan. Tanpa mengurangi peran

pemerintah dalam membantu nelayan rumput laut untuk mengelola kegiatan

budidaya rumput lautnya, nelayan lebih banyak belajar secara otodidak dan

belajar dari sesama nelayan rumput laut. Mereka bisa melakukan hal-hal yang

Page 106: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

benar untuk menyelamatkan kegiatan budidaya mereka. Misalnya pada saat

musim hujan mereka akan menenggelamkan bentangan rumput laut mereka

dengan cara mengisi air pada botol pelampungnya. Namun untuk masalah yang

lebih rumit dan pengetahuan yang masih baru mereka memerlukan penyuluh

budidaya rumput laut untuk membantu mereka. Akan tetapi sampai saat ini

pemerintah belum menyediakan tenaga kerja penyuluh yang khusus untuk

budidaya rumput laut.

Informasi yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap responden,

bahwa sistem sosial dalam kegiatan budidaya rumput laut masih memiliki ikatan

yang sangat kuat. Secara umum kebiasaan bergotong royong dalam melakukan

suatu pekerjaan masih terpelihara dengan baik. Hanya sebagian kecil saja nelayan

rumput laut yang tidak mau repot, terutama yang mempunyai modal lumayan,

yang mengupahkan sebagian besar kegiatan budidayanya. Beberapa jenis kegiatan

dalam kegiatan budidaya rumput laut umumnya masih dilakukan secara gotong

royong oleh sesama nelayan rumput laut, misalnya, pemasangan bentangan bibit

(penanaman) pada areal budidaya dan pemanenan dilakukan dengan cara

bergiliran diantara para nelayan rumput laut tersebut. Pemilik yang sedang

dikerjakan lahannya hanya menyiapkan makanan, kopi dan rokok untuk para

nelayan rumput laut yang membantu. Pekerjaan lainnya seperti penjemuran dan

pengepakan rumput laut ke dalam karung, dilakukan bersama-sama dengan

anggota keluarga lainnya, sehingga yang diupahkan hanya pekerjaan pengikatan

bibit pada bentangan.

Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng telah menjadi mata

pencaharian utama ribuan RTP sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Kegiatan budidaya juga sangat baik ditinjau dari aspek sosial karena mampu

mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir

khususnya nelayan rumput laut dan berkontribusi terhadap PAD walaupun masih

kecil nilai nominalnya. Hal yang tak kalah pentingnya, kegiatan budidaya rumput

laut mampu diandalkan dalam upaya konservasi sumberdaya laut dengan

mengalihkan mata pencaharian yang selama ini merusak sumberdaya laut

tersebut.

Sebagai mata pencahariaan utama, tingkat ketergantungan masyarakat

wilayah pesisir khususnya nelayan rumput laut terhadap kegiatan budidaya

Page 107: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

rumput laut cukup tinggi. Hal ini disebabkan relatif masih kurangnya pekerjaan

alternatif di wilayah pesisir. Selain itu, saat ini kegiatan budidaya rumput laut

merupakan mata pencaharian yang paling menguntungkan dan menjadi harapan

untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya

nelayan rumput laut di masa depan.

Budidaya rumput laut juga telah mengubah salah satu aspek sosial-budaya

dan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari kegiatan

penangkapan ikan yang menjadi mata pencaharian utama, seperti perempuan,

anak-anak dan orang tua, kini bisa terlibat dan mendapat manfaat langsung dalam

kegiatan budidaya rumput laut. Mereka mengerjakan pengikatan bibit rumput laut

pada bentangan yang akan ditanam. Upahnya memang relatif kecil namun bagi

mereka yang selama ini tidak berpendapatan, sudah sangat berarti untuk

membantu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu mereka juga

memungut sisa panen yang banyak tercecer pada saat pemindahan rumput laut

dari perahu ke tempat penjemuran, kemudian dijual ke pedagang pengumpul.

Waktu mereka terisi dengan sesuatu yang produktif. Selama mereka mau bekerja

tidak ada lagi waktu yang terbuang percuma yang sebelumnya hanya diisi dengan

duduk-duduk tanpa penghasilan. Hasil wawancara dengan nelayan rumput laut

yang ditunjang dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan

budidaya rumput laut memberikan keuntungan dan berkontribusi besar terhadap

tingkat kesejahteraan mereka.

4.3 Aspek Perekonomian

Kondisi perekonomian suatu daerah/wilayah sangat tergantung pada

potensi dan sumberdaya alam yang dimiliki dan kemampuan daerah itu untuk

mengembangkan segala potensi yang dimilki. Dalam untuk mengembangkan

potensi tersebut, pemerintah Kabupaten Bantaeng telah melakukan berbagai

upaya, langkah dan kebijakan.

Semua kebijakan dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah

Kabupaten Bantaeng telah menunjukkan hasil yang memadai. Hal tersebut dapat

dilihat dari besarnya nilai PDRB yang terus meningkat, yakni pada tahun 2006

nilai PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp899.1 milyar. Nilai PDRB pada

saat penelitian sebesar Rp781.9 milyar, sehingga jika dibandingkan dengan tahun

2005, terjadi kenaikan sebesar 15%.

Page 108: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Struktur perekonomian Kabupaten Bantaeng masih didominasi oleh sektor

pertanian yang salah satu diantaranya adalah dari sub sektor perikanan, termasuk

komoditas rumput laut. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap

pembentukan total PDRB tahun 2006 sebesar 57.62%, urutan ke dua sektor jasa-

jasa sebesar 12.75% dan urutan ke tiga sektor perdagangan sebesar 10.07%.

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu

wilayah/daerah adalah PDRB perkapita. PDRB perkapita penduduk Kabupaten

Bantaeng dari tahun 2001-2006 telah berkembang. Pada tahun 2001 PDRB

perkapita penduduk Kabupaten Bantaeng hanya mencapai Rp2 826 321 dan pada

tahun 2006 telah meningkat menjadi Rp5 267 781 (BPS 2008).

Walaupun PDRB telah meningkat dengan cepat yang berarti ada perbaikan

dan peningkatan kesejahteaan penduduk, namun jika dilihat dari angka keluarga

prasejahtera maka tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bantaeng, masih

tergolong rendah. Angka keluarga pra-sejahtera relatif lebih tinggi bila

dibandingkan dengan keluarga sejahtera I, II dan III apalagi dengan keluarga

sejatera III+ ( Tabel 18).

Tabel 18 Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007

No. Kecamatan Pra sejaht Sejaht I Sejaht II Sejaht III Sejaht III+

1. Bissapu 2 828 1 844 1 496 1 246 727 2. Bantaeng 1 340 2 243 3 382 1 324 375 3. Tompo bulu 1 546 1 773 1 677 1 133 367 4. Ulu ere’ 797 1 057 635 301 21 5. Pa’jukukang 3 620 1 906 1 242 655 184 6. Eremerasa 2 518 1 285 557 371 151 7. Sinoa 1 438 965 600 283 26

8. Gantarang keke 1 240 1 631 1 072 717 148

Jumlah 15 327 12 704 10 661 6 030 1 999 Sumber : BPS 2008.

4.3.1 Sumberdaya Perikanan

Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di wilayah Kabupaten

Bantaeng terdapat pada bagian selatan dengan garis pantai sepanjang ±21.5 km

dan luas wilayah perairan ± 144 km2. Wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

mencakup tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan

Page 109: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Kecamatan Pa’jukukang. Hasil kajian penggunaan lahan perairan pada wilayah

studi lebih dominan pada penggunaan untuk budidaya rumput laut. Hanya

sebagian kecil lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya tambak, itupun tidak

intensif dikelola pada saat ini.

Produksi perikanan laut pada tahun 2003 tercatat sebanyak 3 661 ton

dengan nilai produksi Rp9 152 milyar sementara produksi budidaya 124 ton

dengan nilai Rp5 580 milyar (Subdin Perikanan Dinas Peternakan Kabupaten

Bantaeng 2003). BPS 2008, mencantumkan data nilai produksi budidaya air payau

dan budidaya kolam, masing-masing sebesar Rp3 172 000 000 dan Rp51 450 000

(BPS 2008). Data dari Dinas Perikanan Kabupaten Bantaeng (2009), selain

mencantumkan data produksi perikanan payau dan tawar juga memasukkan data

produksi rumput laut (Tabel 19). Baik BPS Kabupaten Bantaeng 2008 maupun

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009, tidak mencantumkan

data tentang produksi ikan laut.

Tabel 19 Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008

Sumberdaya perikana

Tahun (Ton)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Bandeng udang windu Ikan air tawar Rumput laut

45.0 39.9 - 120.1

58.5 65.3 - 360.5

65.0 67.1 0.5

170.4

72.0 69.3 1.5 988.4

70.1 69.2 3.5 2 334.6

202.6 97.8 1.7 3 521.95

131.7 50.74 0 5 700.25

104.9 31.3 0 7677.5

Sumber data: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009.

Data produksi ikan laut tidak tercatat sebab memang sudah tidak ada hasil

tangkapan yang didaratkan pada TPI di Kabupaten Bantaeng. Jumlah nelayan

tangkap yang melaut semakin sedikit dengan jumlah trip yang juga semakin kecil

karena umumnya sudah beralih menjadi nelayan rumput laut. Para nelayan

tangkap Kabupaten Bantaeng yang melautpun, hasil tangkapannya hanya untuk

dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, jumlahnya sedikit dan pembeli

langsung mendatangi dan membelinya dipantai tempat pendaratan nelayan di luar

TPI, sehingga tidak tercatat.

Hal yang menarik dari hasil wawancara dengan masyarakat pesisir, bahwa

setelah beberapa tahun kegiatan rumput laut berjalan terjadi perubahan pada

keberadaan ikan di perairan pantai. Spesies ikan yang selama ini sudah jarang

bahkan sudah beberapa tahun tidak ditemukan, kembali bisa ditangkap dan itu

Page 110: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

disekitar kawasan budidaya rumput laut. Ditemukannya kembali spesies ikan-ikan

yang pernah menghilang diduga ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama,

budidaya rumput laut menyebabkan kondisi perairan lebih baik. Munculnya

kembali spesies ikan-ikan tersebut merupakan salah satu indikator membaiknya

atau pulihnya kondisi habitat. Kedua, selama ini spesies ikan-ikan tersebut

sebenarnya tetap ada pada wilayah perairan tersebut, hanya populasinya sangat

sedikit akibat tekanan penangkapan yang tinggi sehingga kemungkinan

tertangkapnya sangat kecil. Begitu intensitas kegiatan penangkapan jauh

berkurang karena beralihnya nelayan menjadi nelayan rumput laut maka spesies

ikan-ikan tersebut bisa merecovery keberadaannya sehingga populasinya besar

kembali. Atau kemungkinan penyebabnya adalah kedua-duanya.

Produksi perikanan Kabupaten Bantaeng dari Tahun 2001-2008

berfluktuasi. Mulai tahun 2007 produksi ikan Bandeng dan Udang windu

menurun. Bahkan produksi ikan air tawar sudah menurun sejak tahun 2006 dan

tidak ada lagi produksi yang tercatat pada tahun 2007-2008. Hanya produksi

rumput laut yang terus meningkat sampai saat ini (Tabel 19). Produksi perikanan

payau maupun perikanan tawar yang menurun tersebut secara tidak langsung

berkaitan erat dengan semakin meningkatnya produksi rumput laut. Kegiatan

rumput laut yang lebih menguntungkan dengan resiko kegagalan yang lebih kecil

menyebabkan masyarakat yang sebelumnya memelihara Bandeng, udang windu

dan ikan air tawar beralih memelihara rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari data

RTP rumput laut yang meningkat, yakni 160 RTP rumput laut pada tahun 2002

(Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2003) dan telah menjadi 2

458 RTP pada tahun 2008 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng

2009).

Aktifitas kegiatan perikanan telah mengalami pergeseran orientasi dari

kegiatan penangkapan ikan ke kegiatan budidaya rumput laut sejak tahun 2002.

Dari hasil survey Bina Mitra (2004) yang tidak dipublikasikan didapatkan data

pada tahun 2002, sekitar 86% nelayan beralih profesi menjadi pembudidaya

rumput laut. Hal ini disebabkan semakin menurunnya hasil tangkapan dan

semakin tingginya biaya opersional melaut. Temuan Bina Mitra (2005) tersebut

ditunjang dengan data dari Balitbangda (2005) tentang produksi subsektor rumput

laut di Kabupaten Bantaeng yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada

Page 111: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

periode tersebut. Pada tahun 2002 produksi rumput laut hanya 39.4 ton dan

meningkat dengan tajam pada tahun 2003 menjadi 421.0 ton (Lampiran 3). Pada

daerah studi, hanya satu jenis rumput laut yang dibudidayakan, yaitu K.alvarezii

dengan metode budidaya yang hanya satu juga, yakni long line.

Luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut di Kabupaten

Bantaeng sekitar 5 375 Ha dan sampai dengan tahun 2008 sudah dikelola seluas

3 792 Ha dengan jumlah nelayan rumput laut sebanyak 2 458 RTP. Khusus untuk

wilayah kajian yaitu Kecamatan Bissapu dan Kecamatan Bantaeng, luas lahan

yang potensial adalah 2 525 ha dan yang sudah dikelola seluas 1 214.7 ha (Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009) (Tabel 20).

Tabel 20 Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008

No. Wilayah Panjang garis pantai (km)

Potensi (ha)

Sudah dikelola (ha)

Jumlah RTP

1. Kec. Bissapu 5.9 1 475 531.7 409 2. Kec. Bantaeng 4.2 1 050 683.0 899 3. Kec. Pa’jukukang 11.4 2 850 2 577.3 1 150

Sumber data: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009.

4.3.2 Kegiatan Budidaya Rumput Laut

Kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan nelayan rumput laut di

wilayah pesisir Bantaeng diperoleh melalui survey terhadap rumah tangga nelayan

rumput laut. Masyarakat pesisir dalam penelitian ini, semuanya merupakan

nelayan rumput laut yang umumnya menjadikan kegiatan budidaya rumput laut

sebagai mata pencaharian utama. Dan untuk menopang kehidupannya, beberapa

masyarakat pesisir melakukan pekerjaan tambahan, seperti menangkap ikan,

membuat batu merah, buruh bangunan dan menjual makanan kecil . Hanya

beberapa nelayan yang mata pencaharian utamanya bukan kegiatan budidaya

rumput laut, seperti tertera pada Gambar 27, di bawah ini.

Page 112: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 27 Persentase mata pencaharian utama masyarakat pesisir yang menjadi

responden. Dilihat dari segi usia dalam hubungannya dengan usia produktif, usia

responden berberkisar antara 14–64 tahun (Lampiran 7). Terdapat seorang

nelayan rumput laut yang masih berusia 14 tahun sehingga tergolong masih anak-

anak. Responden yang masih tergolong anak-anak ini bekerja di bawah bimbingan

dan pantauan bapaknya dalam mengelola kegiatan budidaya rumput laut. Namun

bertanggung jawab dan mengelola kegiatan budidayanya sendiri. Kemudian satu

responden berusia di atas 60 tahun. Akan tetapi secara umum masih usia produktif

yakni 44 responden (95.5%), 1 orang (2.2%) responden yang berusia 14 tahun dan

1 orang (2.2%) berusia di atas 60 tahun ( Gambar 28).

Gambar 28 Persentase kisaran usia responden.

Page 113: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Luas kepemilikan lahan kegiatan budidaya rumput laut berkisar antara

60–1 000 bentang dan panjang satu bentangan adalah 15 meter dan jarak antar

bentangan 0.5-0.6 meter, diantara beberapa bentangan atau antara bentangan satu

pemilik dengan pemilik lain terdapat jalur perahu dengan lebar sekitar 10 m.

Sehingga setiap ha lahan berisi antara 300-350 bentangan. Rata-rata luas lahan

budidaya adalah 301 bentangan atau sekitar satu ha/orang (Lampiran 8)

Lahan budidaya rumput laut tersebut umumnya hanya diusahakan pada

musim Timur dan musim Transisi, dimana kondisi lingkungan terutama kecepatan

arus dan tinggi gelombang memungkinkan untuk melakukan budidaya. Adapun

nelayan rumput laut yang tetap menanam pada musim Barat, biasanya hanya

untuk persiapan bakal bibit pada musim berikutnya agar tidak mengalami

kesulitan bibit pada saat musim tanam.

Sampai saat ini, belum ada kegiatan pembibitan yang bisa mensuplai bibit

unggul untuk kegiatan budidaya rumput laut. Para nelayan rumput laut hanya

menggunakan bibit dari hasil panen yang disisihkan, secara terus menerus,

sehingga mutu bibit yang baik, yang merupakan salah satu faktor produksi, tidak

terpenuhi. Sebagaimana rekomendasi dari hasil penelitian Mubarak (1978), bahwa

penggunaan bibit rumput laut maksimal 4 kali sudah harus diganti dengan bibit

yang baru, sebab pemakaian lebih dari 4 kali akan menyebabkan produktivitas

rumput laut cenderung menurun.

Nelayan rumput laut mengetahui bahwa bibit unggul akan memberikan

produksi yang lebih tinggi akan tetapi mereka kesulitan mendapatkan bibit unggul

tersebut pada saat musim tanam. Kadang-kadang tersedia bibit unggul namun

harganya relatif mahal karena didatangkan dari Maumere, Nusa Tenggara Timur

dan jumlahnyapun tidak mencukupi kebutuhan.

Produktivitas rumput laut dalam sekali panen di kabupaten Bantaeng rata-

rata 500 kg berat kering/unit budidaya atau 2 000 kg berat kering/ha. Produktivitas

ini masih bisa ditingkatkan apabila menggunakan bibit unggul, teknik budidaya

dengan menggunakan berat bibit yang cukup yakni 100 g-125g/rumpun, sesuai

dengan hasil penelitian Iksan 2005, yang mendapatkan produksi tertinggi

dihasilkan dari penggunaan bibit seberat 125 g/rumpun, dan pemeliharaan yang

benar, panen pada umur 45 hari dan perlakuan pasca panen yang sesuai. Panen

dilakukan rata-rata 4 kali dalam setahun.

Page 114: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN

BUDIDAYA RUMPUT LAUT

5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut

Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh

faktor lahan perairan, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang optimal dari

kegiatan tersebut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan aspek

ekobiologinya (persyaratan tumbuhnya), seperti pemilihan bibit yang bagus,

perairan yang cukup tenang dan terlindung dari pengaruh angin, gelombang dan

arus yang kuat serta tingkat kecerahan perairan yang tinggi. Kondisi ini biasanya

ditemukan pada teluk-teluk yang agak tertutup atau di sekitar gugus pulau-pulau

kecil (Puslitbangkan 1991).

Kondisi yang ideal ini tidak ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten

Bantaeng. Wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng merupakan laut terbuka yang

berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya pelindung. Pada musim

Barat sangat dipengaruhi oleh angin, gelombang dan arus yang kuat. Untuk

menyiasati kondisi ini maka nelayan rumput laut umumnya hanya menanam pada

musim Timur dan musim transisi. Karena itu wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

jika dilihat dari aspek keterlindungan maka dikategorikan ke dalam sesuai

bersyarat dimana persyaratannya adalah waktu penanaman harus pada musim

Timur atau musim transisi.

Bengen (2005) menyatakan bahwa proses penentuan kesesuaian lahan

harus dilakukan dengan membandingkan kriteria faktor-faktor penentu kesesuaian

lahan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan

analisis tubular dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Selanjutnya hasil

analisis kesesuaian lahan menjadi bahan bagi analisis daya dukung perairan untuk

budidaya rumput laut.

Analisis kesesuian lahan yang dilakukan tidak mencakup seluruh

Kecamatan yang mempunyai garis pantai dan areal budidaya rumput laut.

Diantara tiga Kecamatan yang mempunyai areal budidaya rumput laut, hanya

dilakukan pada dua Kecamatan yakni Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan

Bissapu. Panjang garis pantai kedua Kecamatan tersebut masing-masing

Kecamatan Bissapu 5.9 km dan Kecamatan Bantaeng 4.2 km.

Page 115: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Penilaian kesesuaian lahan sebagai faktor penentu dalam pengembangan

kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu

didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kecepatan arus,

kedalaman, kecerahan, gelombang, pH, salinitas, substrat, keterlindungan dan

suhu perairan (Lampiran 10). Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan

untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh

hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

(sangat sesuai) seluas 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) seluas 1 897.99 ha.

Gambar 29, memperlihatkan hasil analisis kesesuaian lahan pada dua Kecamatan

lokasi studi penelitian, yakni Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu.

Kawasan perairan pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau

sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha. Walaupun kawasan yang sesuai untuk budidaya

rumput laut masih cukup luas belum dikelola akan tetapi untuk pengembangan

budidaya rumput laut ke depan yang perlu diperhitungkan adalah daya dukung

perairan. Sebab apabila daya dukung kawasan budidaya terlampaui maka kegiatan

budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan masyarakat pesisir untuk

memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan berkelanjutan.

Luas kawasan yang sesuai secara ekologis untuk budidaya rumput laut

tidak digunakan semua untuk budidaya akan tetapi tetap disiapkan peruntukan

bagi kebutuhan stakeholders lainnya. Karena untuk keberlanjutan kegiatan

budidaya rumput laut bukan hanya dimensi ekologi saja yang berperan namun

dimensi-dimensi yang lainpun berperan tidak kalah pentingnya. Kalau dari aspek

ekologi sudah sesuai akan tetapi terjadi konflik diantara sesama stakeholders

karena tidak jelasnya zonasi dan aturan main dalam budidaya rumput laut maka

pada akhirnya kegiatan budidaya rumput laut tersebut akan mengalami kegagalan.

Oleh sebab itu semua dimensi perlu disinergikan untuk pengelolaan budidaya

rumput laut.

Page 116: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

LETTA

LAMALAKALEMBANG

BONTO MANAI

BONTO SUNGGU

TAPPANJENGPALLANTIKANG

MALLILINGIBONTO LEBANGKec. Bantaeng

Kec. Bissapu#Y

#Y5°

36'00

"5°

34'30

"5°

33'00

"

5°36'00"5°34'30"

5°33'00"

119°55'30" 119°57'00" 119°58'30"

119°55'30" 119°57'00" 119°58'30" Peta KesesuaianBudidaya Rumput LautDi Pesisir Kab. Bantaeng

N

EW

S

1 0 1 km

Keterangan :

Kesesuaian Budidaya Rumput Laut:Sangat SesuaiSesuaiTidak Sesuai

Batas Desa/Kelurahan

Garis PantaiBatas Kecamatan

Hasni Yulianti AzisNRP. C261050101

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan LautanSekolah Pascasarjana

Institut Pertanian BogorSumber Peta :1. Peta Digital Baseline Sulawesi Selatan2. Survei Lapangan

Bantaeng

#Y Makassar

Peta Tunjuk :Sulawesi Selatan

Gambar 29 Peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di wilayah pesisir

Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng.

5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut

Melihat perkembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng

begitu pesat maka untuk pengembangan kawasan ke depan perlu dibuat model-

model estimasi daya dukung yang disesuaikan dengan kondisi wilayah.

Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir

memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme.

Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut adalah

konsep daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang

lain.

Penentuan daya dukung perairan secara ekologis ini tetap

mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisa spasial dapat

menghitung luasan dan jumlah unit budidaya maksimum dengan memperhatikan

dimensi teknologi dengan menyesuaikan antara metode budidaya yang digunakan

dengan kondisi kawasan budidaya, memperhatikan dimensi sosial-budaya dan

ekonomi seperti alur pelayaran, areal penangkapan/pemancingan ikan, arena olah

raga laut dan kawasan pelabuhan. Dengan maksud agar budidaya rumput laut

tidak mengganggu alur pelayaran dan akses nelayan pergi dan pulang melaut serta

Page 117: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

pengguna lain sehingga menghindari terjadinya konflik kepentingan diantara

sesama stakeholders.

Daya dukung perairan sangat menentukan keberlanjutan kegiatan budidaya

rumput laut tersebut. Apabila kegiatan budidaya tersebut melampaui daya dukung

kawasan maka akan terjadi degradasi terhadap kualitas perairan kawasan tersebut

yang pada akhirnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan rumput laut untuk

bertumbuh.

Analisis Daya dukung perairan pada daerah kajian menggunakan dua

pendekatan, yakni (1) pendekatan kapasitas perairan dan (2) pendekatan kapasitas

asimilasi N. Para peneliti sebelumnya, umumnya menggunakan pendekatan

kapasitas perairan dalam menghitung daya dukung perairan untuk budidaya

rumput laut. Pendekatan kapasitas perairan dipengaruhi oleh luas areal budidaya

yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai bersyarat) dan metode budidaya

yang diterapkan. Namun kondisi lokasi penelitian yang unik yakni merupakan

perairan yang terbuka tanpa terlindung, berbeda dengan lokasi budidaya yang

dikenal selama ini yakni, terlindung atau berada di daerah teluk, menimbulkan ide

untuk menggunakan pendekatan asimilasi dalam menghitung daya dukungnya.

Analisis daya dukung dengan pendekatan asimilasi N memperhitungkan flushing

time. Dan perairan terbuka memiliki flushing time yang lebih singkat

dibandingkan dengan perairan yang terlindung sehingga akan menghasilkan daya

dukung yang lebih besar.

Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan

Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas

perairan adalah 1 203.23 ha (Lampiran 10). Jumlah unit kegiatan budidaya rumput

laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit.

Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N, diperoleh daya dukung

kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2

073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Jika luas lahan

yang sudah dikelola dikonversi ke dalam unit budidaya maka jumlah unit

budidaya yang operasional di wilayah kajian saat ini adalah sekitar 4 856.

Penggunaan dua varietas rumput laut yakni rumput laut berwarna coklat dan

berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput

laut tersebut.

Page 118: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Daya dukung perairan juga dapat diestimasi dengan mengkonversinya ke

dalam produksi rumput laut yang dihasilkan per unit budidaya. Estimasi produksi

rumput laut di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dapat dihitung dari

jumlah produksi rumput laut per unit budidaya. Setiap unit budidaya berisi 75-90

bentangan dan setiap bentangan umumnya menghasilkan 5 kg berat kering rumput

laut. Beberapa nelayan rumput laut bahkan bisa menghasilkan 7 kg berat kering

per bentangan, dengan catatan mereka menggunakan bibit yang baik dengan berat

100-125 gram/ikatan serta dipanen pada saat cukup umur (45 hari). Jumlah unit

budidaya rumput laut yang dapat didukung tanpa menurunkan kualitas kawasan

budidaya adalah 5 942 unit budidaya atau dengan produksi 375-450 kg berat

kering perunit maka total produksi kawasan budidaya adalah 2 228 193.75-2 673

900 kg/panen. Frekuensi panen dalam setahun rata-rata empat kali panen.

Sehingga daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan

kapasitas perairan jika dikonversi ke dalam jumlah produksi tanpa menurunkan

kualitas perairan adalah 8 912 775-10 695 600 kg berat kering rumput laut

pertahun atau 8 912.78-10 695.6 ton/tahun. Sedangkan jika menggunakan analisis

daya dukung perairan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N diperoleh 9 903.84

ton berat kering/tahun untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 12 442.35 ton berat

kering/tahun untuk K.alvarezii (doty) hijau.

5.2.1 Kelayakan Kegiatan Budidaya Rumput Laut

Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng menyerap banyak

tenaga kerja. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya Rumah Tangga Perikanan (RTP)

rumput laut, yakni sebanyak 2 458 dan bukan berarti yang terlibat hanya 2 458

orang itu sebab dari hasil wawancara pada responden, hampir semua anggota

keluarga terlibat. Kemudian tenaga lepas yang bukan termasuk RTP nelayan

rumput laut akan tetapi terlibat dalam proses budidaya sebagai pengikat bibit

rumput laut. Juga yang terlibat secara tidak langsung,yakni pedagang pengumpul,

penjual alat dan bahan konstruksi bentangan, pembuat konstruksi unit budidaya

dan sebagainya.

Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng mulai dilakukan

sejak tahun 1998 dan pada tahun 2001 mulai berkembang. Jenis rumput laut yang

diusahakan hanya satu jenis yaitu K.alvarezii dengan metode budidaya juga hanya

satu yaitu long line. Pemilihan jenis rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan

Page 119: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

rumput laut berdasarkan hasil dari pengalaman mereka selama ini. Produksi

terbaik dan menguntungkan diantara jenis rumput laut yang pernah mereka

budidayakan adalah jenis K.alvarezii. Demikian juga dengan pemilihan metode

budidaya. Mereka memilih metode long line, karena menurut mereka metode ini

lebih murah biaya investasinya, lebih mudah mendapatkan bahan konstruksi dan

pembuatan konstruksi unit budidayanya, serta lebih mudah pemeliharaannya.

Sementara itu harga rumput laut di tingkat nelayan rumput laut saat ini mencapai

Rp12 000/kg berat kering (komunikasi pribadi, 23 Mei 2010).

Saat ini kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat hal

ini dapat dilihat dari pertambahan luasan areal budidaya dan semakin banyaknya

RTP nelayan rumput laut (Tabel 4 dan Tabel 19).

Untuk mengetahui sejauh mana kegiatan budidaya rumput laut yang

dilakukan oleh masyarakat ini menguntungkan sehingga layak dikegiatankan atau

merugi secara ekonomi, dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan

kegiatan budidaya rumput laut. Untuk analisis kelayakan kegiatan budidaya

rumput laut harus didukung oleh data-data yang memadai seperti data pengeluaran

untuk berbagai sarana produksi, upah, biaya pemeliharaan dan ongkos yang

lainnya dan data-data pemasukan. Analisis yang digunakan meliputi analisis Net

Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio).

(1) Net Present Value (NPV)

Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75%

memberikan nilai yang sangat signifikan keuntungannya. Nilai NPV yang

diperoleh adalah Rp18 040 887.11 (Tabel 21).

Tabel 21 Hasil analisis kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009

(2) Benefit Cost Ratio (BCR)

No. Aspek Biaya 1. a. biaya investasi Rp19 135 457

b. Biaya operasional Rp3 324 764 c. Biaya pemeliharaan Rp382 052

Total biaya (a+b+c) Rp22 842 273 2. Pendapatan Rp33 659 130 3. discount rate 7.75% 4. present value Rp22 842 273.74 5. Net present value (10 tahun) Rp18 040 887.11 6. B/C 9.58

Page 120: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

BCR menunjukkan ukuran berapa kali lipat keuntungan (benefit) yang

akan diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Hasil perhitungan BCR

kegiatan budidaya rumput laut di Bantaeng memberikan nilai BCR 9.58 (Tabel

21). Jadi kegiatan budidaya rumput laut memberikan keuntungan yang berlipat

dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.. Sebab itu hal yang sangat wajar

apabila nelayan tangkap maupun nelayan pembudidaya ikan dan udang di

Kabupaten Bantaeng beralih menjadi nelayan rumput laut. Adapun perhitungan

biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, analisa biaya kegiatan dan

analisa B/C Ratio masing-masing di Lampiran 9, 10, 11, 12 dab 13.

Page 121: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

VI. OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG UNTUK

PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Pendekatan sistem dinamik ini digunakan sebagai alat analisis untuk dapat

dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan dalam memformulasikan pengembangan

budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi kapasitas

asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng. Sistem dinamik dikembangkan

dengan mengacu dari beberapa parameter ilmiah yang diperoleh melalui hasil

penelitian serta menggunakan data dari referensi yang terkait. Sistem dinamik ini

dioperasionalkan pada berbagai skala waktu dan intensitas kegiatan budidaya

rumput laut sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem yang

dipelajari akibat intervensi manusia. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat

digunakan untuk pemahaman, pendugaaan, dan alokasi budidaya rumput laut pada

batas maksimum dan minimum kapasitas asimilasi perairan pesisir, resiko

kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Nilai atau

informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya

rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng dapat dilihat pada Tabel 22.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan

budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan

Bissapu, yaitu :

◊ Tipe model yang digunakan adalah kompartemen yaitu variabel didefinisikan

dan dikuantifikasi dimana waktu sebagai faktor penentu.

◊ Berat biomassa rumput laut (awal tanam), lama pemeliharaan dan

pertumbuhan rumput laut sesuai yang terdapat dilokasi penelitian

◊ Buangan limbah antropogenik (external loading) di sekitar wilayah pesisir

Kabupaten Bantaeng memberikan pengaruh terhadap kapasitas asimilasi

perairan untuk pengembangan rumput laut (San Diego- McGlone et al. 1999)

◊ Rumput laut mempunyai kemampuan penyerapan terhadap beban limbah N

sehingga dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir dan daya

dukung rumput laut

◊ Kapasitas asimilasi didasarkan pada nilai baku mutu air laut N minimal (0.5

mg/l) dan maksimal (1.0 mg/l) untuk kegiatan budidaya (Kep Men LH 2004).

Page 122: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

◊ Dinamika yang ada merupakan nilai hasil pengamatan dari setiap parameter

selama penelitian.

Sub model pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir

Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dapat dilihat pada Gambar 30-33

dan model persamaan matematisnya pada Lampiran 18-21.

Tabel 22 Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

No Parameter Nilai Sumber data 1. Luas lahan layak 2 313.29 Penelitian ini 2. Kedalaman perairan 9.73 m (rata-rata) Penelitian ini 3. Pola pasang surut

2 kali pasang dan 2 kali surut

Penelitian ini

4. Volume total perairan pesisir (Vtot

438 251 599.40 m)

Penelitian ini 3

5. Pasang tertinggi (spring tide) (pt)

0.966 m Penelitian ini

6. Surut terendah (st) 0.21 m Penelitian ini 7. Berat RL awal tebar : a. Jarak tanam 25 cm 125 gram Penelitian ini b. Jarak tanam 35 cm 125 gram Penelitian ini c. Jarak tanam 45 cm 125 gram Penelitian ini 8. Laju penyerapan rumput laut

K.alvarezii 18.43779 mg/g berat kering/jam (jenis coklat)

Pong-Masak (2007); Herlinah (2008)

14.67609 mg/g berat kering/jam (jenis hijau)

Pong-Masak (2007); Herlinah (2008)

9. Biaya produksi RL Rp4 150 Penelitian ini 10. Harga jual RL di tingkat

pembudidaya Rp6 500 Penelitian ini

11. Tenaga kerja aktual 2 – 3 orang per unit RL Penelitian ini 12. Jam kerja efektif (JKE) 8 jam/hari Hasil wawancara

Page 123: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Panen RL1 coklat BM Maks

LBRL coklat BM Maks

~Wt 25 cm

~LPH 25 cm

Rearing Period

~wt 45 cm

Panen RL 2 BM Maks

LBRL1 coklat BM Maks

~wt35 cm Rearing Period

~LPH35cm

Panen RL3 BM Maks

LBRL2 coklat BM Maks

Rearing Period

~LPH45 cm

DDL RL Coklat BM Maks

~Wt 25 cm

~LPH 25 cm

DDL RL Coklat BM Min

Panen RL 1 coklat BM Min

LBRL coklat BM Min

~wt35 cm

~LPH35cm

Panen RL 2 BM min

LBRL1 coklat BM Min

~wt 45 cm

~LPH45 cm

Panen RL 3 BM Min

LBRL2 coklat BM Min

~Wt 25 cm

~LPH 25 cm

Panen RL hijau BM Maks

LBRL hijau BM MaksDDL RL Hijau Maks

Panen RL1 hijau BM Maks

LBRL1 hijau BM Maks

~wt35 cm

~LPH35cm

Panen RL 3 hijau BM Maks

LBRL 2 hijau BM Maks

~wt 45 cm

~LPH45 cm

~Wt 25 cm

~LPH 25 cm

Panen RL hijau BM Min

LBRL hijau BM Min

DDL RL Hijau Min

Panen RL1 hijau BM Min

LBRL 1hijau BM Min

~wt35 cm

~LPH35cm

Panen RL2 hijau BM Min

LBRL 2 hijau BM Min

~wt 45 cm

~LPH45 cm

SUB MODEL PRODUKSI

6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ( SM PRL)

Sub model ini dibangun berdasarkan bobot (biomassa) rumput laut, laju

pertumbuhan rumput laut, SR, lama pemeliharaan dan jarak tanam.

Gambar 30 Konsep sub model produksi budidaya rumput laut.

Page 124: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

LA Perikanan KLPt NKLP N

NBM Maksimal

NMB Minimal

KLPerik NT1LA 1

Antropogenik N

KLS N

TL Pertanian N

T2 T3KLT1 N KLT2 N KLT3 N

TLT N

TL Perikanan NLA pertanian

TRT N

Kum N Antropogenik

Antropogenik 1

LA 1KLP P

Kum P antropogenik

Antropogenik 2

KLS P KLT1 PT1 T2 KLT2 P T3 KLT3 P

TRT PTLT P

LA Perikanan KL Perik P

LA pertanianKLpt P

TL Perikanan PTL Pertanian P

Antropogenik P

KL Det

Pct Antropogenik

Total Antropogenik

Kum N Antropogenik

Kum P antropogenik

Luas SIG

KdlmPasut St

Pasut nt

Frekuensi pasut

Volume pasang

Volume surut

Vtot

Konv m2 Dillution Rate

FT

DDL RL Coklat BM Min

L Peny e RL Coklat

Kapasitas asimilasi maksimal BM

Kapasitas asimilasi minimal BM

Kapasitas RL Coklat

KPRL Coklat

Pen RL Coklat

L peny e RL Hijau

KPRL Hijau

Peny RL Hijau

Kapasitas RL Hijau

JTL Coklat BM Maks

JTL Hijau Maks

JTL Coklat BM Min

JTL Hijau Min

DDL RL Coklat BM MaksKg RL per ha

EC

Kg RL per ha

DDL RL Hijau Maks

DDL RL Hijau Min

Penurunan KA Maks

Penurunan KA Min

KABM Maks

KABM Min

Unit coklat BM Maks

Unit hijau BM Maks

Unit coklat Bm Min

Unit hijau BM Min

SUB MODEL DDL RUMPUT LAUT

6.2 Sub Model Daya Dukung Rumput Laut (DD RL)

Sub model ini dibangun berdasarkan volume total air laut tersedia (Vtot

),

kisaran pasang surut, frekuensi pasang surut, kemampuan penyerapan rumput laut,

kapasitas asimilasi perairan, baku mutu lingkungan, masukan limbah

antropogenik (external loading). Sub model ini menggambarkan kapasitas

asimilasi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut.

Gambar 31 Konsep sub model daya dukung lingkungan.

Page 125: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Biay a Produksi RL Harga RL

LBRL coklat BM Maks

Prof it coklat 25 cm BM Maks

Total biay a produksiTotal pendapata RL

PD 25 cm coklat Maks

PPH

Prof it RL coklat 25 cm BM Min

Biay a Produksi RL LBRL coklat BM Min Harga RL

PD 25 cm coklat Min

LBRL1 coklat BM MaksBiay a Produksi RL Harga RL

Prof it coklat 35 cm BM Maks

PD 35 cm coklat MaksPPH

Biay a Produksi RL LBRL1 coklat BM Min

Prof it Coklat 35 cm BM Min

Harga RL

PD 35 cm coklat Min

Biay a Produksi RLHarga RL

PPH

Prof it coklat 45 cm BM MaksPD 45 cm coklat Maks

Biay a Produksi RL

Harga RLProf it Coklat 45 cm BM Min

PD 45 cm coklat MinLBRL2 coklat BM Maks

LBRL2 coklat BM Min

LBRL hijau BM MaksBiay a Produksi RL

Harga RL

Prof it hijau 25 cm BM Maks

PD 25 cm hijau Maks

PPH

PD 25 cm hijau Min

Biay a Produksi RL

Harga RL

LBRL hijau BM Min

Prof it hijau 25 cm BM Min

LBRL1 hijau BM MaksBiay a Produksi RL

Harga RL

Pf of it hijau 35 cm BM Maks

PD 35 cm hijau BM Maks

PPH

Biay a Produksi RL

Harga RL

Prof it hijau 35 cm BM Min

LBRL 1hijau BM Min

PD 35 cm hijau BM Min

Biay a Produksi RL

Harga RLLBRL 2 hijau BM Maks

Prof it hijau 45 cm BM Maks

PD 45 cm hijau BM Maks

Biay a Produksi RL

Harga RL

Prof it hijau 45 cm BM Min

LBRL 2 hijau BM Min

PD hijau 45 cm BM Min

SUB MODEL EKONOMI

6.3 Sub Model Ekonomi

Sub model ekonomi (pendapatan kegiatan) dibangun untuk memberikan

gambaran tingkat keuntungan (pendapatan kegiatan) budidaya rumput laut selama

satu siklus pemeliharaan (MT) yang dipengaruhi oleh tingkat produksi rumput

laut, biaya produksi (total cost), dan harga rumput laut ditingkat pembudidaya.

Gambar 32 Konsep sub model ekonomi.

Page 126: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

KTK ha

JKEJMT ha th

TK RL 1

DDL RL Coklat BM Maks

KTK ha JKE JMT ha th

TK RL 2DDL RL Coklat BM Min

KTK ha JKE JMT ha th

DDL RL Hijau Maks

TK RL 3

KTK ha JKE JMT ha th

DDL RL Hijau MinTK RL 4

TK1

TK3

TK2

TK4

SUB MODEL TENAGA KERJA

6.4 Sub Model Tenaga Kerja

Sub model ini dibangun untuk menggambarkan total tenaga kerja (orang)

atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan budidaya

rumput laut yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan

tenaga kerja aktual per ha, luas luas rumput laut, jumlah musim tanam per tahun,

dan lama pemeliharaan (rearing period).

Gambar 33 Konsep sub model tenaga kerja.

6.5 Simulasi Skenario Pemanfatan Wilayah Pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengembangan Budidaya Rumput Laut

Skenario sebagai dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan simulasi

sebagai rancangan kebijakan yang mungkin dilakukan dalam kondisi nyata (real

world) berdasarkan pada model sistem dinamik yang dibuat. Dalam hal ini

dilakukan perubahan pada peubah tertentu yang terdapat di dalam model sistem

dinamik, sehingga skenario yang dibuat dapat disimulasikan. Variabel indikator

(indicator variable) dalam simulasi model sistem dinamik yaitu perubahan luasan

Page 127: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

rumput laut, produksi rumput laut (sub model produksi rumput laut), pendapatan

kegiatan dan pendapatan daerah (sub model ekonomi), dan tenaga kerja (sub

model tenaga kerja). Variabel pembatas (limiting variable) adalah kapasitas

asimilasi perairan (sub model daya dukung lingkungan). Variabel keputusan

(decision variable) adalah beban limbah antropogenik (external loading). Alasan

yang mendasari beban limbah antropogenik (external loading) yang menjadi

komponen dalam skenario pengembangan budidaya rumput laut karena masukan

limbah antropogenik (external loading) dapat memberikan pengaruh terhadap

kapasitas asimilasi perairan pesisir untuk pengembangan budidaya rumput laut.

Beberapa skenario yang dilakukan dalam simulasi sistem dinamik ini yaitu:

Skenario 1. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir pada

kondisi saat ini

Skenario 2. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir

Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 10 % dari

kondisi saat ini

Skenario 3. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir

Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 25 % dari

kondisi saat ini

Skenario 4. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir

Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 50 % dari

kondisi saat ini.

Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut :

Skenario 1. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke

lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai

hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 252.43 ton. Masukan limbah

antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan

Bantaeng dan Kecamatan Bissapu untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini,

luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal –

maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 217.43 ha–2 054.56 ha atau

4 870 unit–8 218 unit sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 1 529.48 ha–

Page 128: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

7:11 AM Tue, Aug 10, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

350

750

1150

-250

200

650

1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min

1

1

1

1

2

2

2

2

7:19 AM Tue, Aug 10, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

1100

1250

1400

550

700

850

1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM

1

1

1

1

2

2

2

2

2 581.18 ha atau 6 118 unit–10 325 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan

kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu

menjadi 808.08 ton/hari–1 363.74 ton N/hari.

Gambar 34 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)

Gambar 35 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan

budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Page 129: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

7:12 AM Tue, Aug 10, 2010

Untitled

Page 1

0.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

1650

1900

2150

800

1050

1300

2100

2350

2600

1050

1300

1550

1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

7:32 AM Wed, Aug 18, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 36 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan

(minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari masa pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.

Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada

kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 7 374.25–12 473.39

ton, jarak tanam 35 cm sebesar 7 701.12–13 026.29 ton, dan jarak tanam 45 cm

sebesar 8 100.15–13 701.23 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan

jarak tanam 25 cm sebesar 9 264.38–15 670.50 ton, jarak tanam 35 cm sebesar

9 675.04–16 365.12 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 10 176.34–17 213.06 ton.

Gambar 37 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam

(25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Page 130: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

7:43 AM Wed, Aug 18, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

4000

8000

0

4500

9000

1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

7:45 AM Wed, Aug 18, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

1: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

7:47 AM Wed, Aug 18, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

500

5000

9500

500

5500

10500

1: LBRL hijau BM Min 2: LBRL 1hijau BM Min 3: LBRL 2 hijau BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 38 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.

Gambar 39 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Gambar 40 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.

Page 131: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:48 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4e+009.

8e+009.

0

2.5e+009

5e+009.

0

400000000

800000000

0

250000000

500000000

1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp5 580 903 051.72

dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp558 090 305.17–

Rp941 845 210.84. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan

budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar

Rp5 628 198 840.29–Rp9 498 269 499.11 dengan kontribusi pendapatan ke

daerah sebesar Rp562 819 884.03–Rp949 826 949.91. Sedangkan tingkat

keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii

jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp5 626 205 435.95–

Rp9 493 217 765.52 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp562 819 884.03–Rp949 321 776.55. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk

pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 25 cm)

sebesar Rp4 442 280 526.48– 7 496 888 228.09 dengan kontribusi pendapatan ke

daerah sebesar Rp444 228 052.65–Rp749 688 822.81. Tingkat keuntungan yang

diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak

tanam 35 cm) sebesar Rp4 479 926 971.62–Rp7 560 421 179.17 dengan

kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp447 992 697.16–Rp756 042 117.92.

Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp4 477

544 285.22–Rp7 556 400 106.32 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp447 754 428.52–Rp755 640 010.63.

Gambar 41 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).

Page 132: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:49 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4e+009.

8e+009.

0

2.5e+009

5e+009.

0

400000000

800000000

0

250000000

500000000

1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

11:50 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4e+009.

8e+009.

0

2.5e+009

5e+009.

0

400000000

800000000

0

250000000

500000000

1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Gambar 42 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)

Gambar 43 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah.

Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut

K.alvarezii jenis coklat sebanyak 14 609–24 654 orang atau 350 620–591 714.08

HOK/thn. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 18 353–30 974 orang atau 440 489–

743 379 HOK/thn.

Page 133: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:50 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

20000

40000

0

10000

20000

0

400000

800000

0

250000

500000

1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

11:50 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

15000

30000

0

10000

20000

0

300000

600000

0

200000

400000

1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Gambar 44 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min– maks.)

Gambar 45 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Skenario 2. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke

lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai

hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 353.40 ton. Masukan limbah

antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir wilayah

kajian untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang dapat

dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal–maksimal) untuk K.alvarezii

jenis coklat seluas 1 369.55–2 206.68 ha atau 5 478.20–8 826.73 unit sedangkan

untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 1 720.59–2 772.29 ha atau 6 882.35– 11 089.15

unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir

Kabupaten Bantaeng menjadi 909.05 ton N/hari–1 464.71 ton N/hari.

Page 134: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:27 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

450

800

1150

-150

250

650

1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min

1

1

1

1

2

2

2

2

11:28 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 1

0.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

1650

1950

2250

800

1100

1400

2100

2450

2800

1050

1400

1750

1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

11:29 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

1100

1300

1500

550

750

950

1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM

1

1

1

1

2

2

2

2

Gambar 46 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).

Gambar 47 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.

Gambar 48 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Page 135: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:30 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

11:31 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

4000

8000

0

4500

9000

0

5000

10000

1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada

kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 7 792.50 – 12 588.93

ton, jarak tanam 35 cm sebesar 8 651.51–13 976.67 ton, dan jarak tanam 45 cm

sebesar 9 099.78–14 700.86 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan

jarak tanam 25 cm sebesar 9 789.89–15 815.80 ton, jarak tanam 35 cm sebesar

10 869.02–17 559.10 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 11 432.19–18 468.91

ton.

Gambar 49 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Gambar 50 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.

Page 136: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:32 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

1: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

11:32 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

500

5500

10500

0

10000

20000

1: LBRL hijau BM Min 2: LBRL 1hijau BM Min 3: LBRL 2 hijau BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 51 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Gambar 52 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput

laut K.alvarezii jenis coklat jarak tanam 25 cm sebesar Rp4 997 349 656.43– Rp8

051 957 358.04 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp499 734

965.64–Rp805 195 735.80; jarak tanam 35 cm sebesar Rp5 039 700 077.24–Rp8

120 194 284.80 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp503 970

007.72–Rp812 019 428.48. Sedangkan jarak tanam 45 cm sebesar Rp5 037 019

670.75– Rp8 115 875 491.97 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp503 701 967.09 – Rp811 587 549.20.

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp6 278 244 649.75–

Page 137: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:41 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4.5e+009

9e+009.

0

3e+009.

6e+009.

0

450000000

900000000

0

300000000

600000000

1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

11:42 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4.5e+009

9e+009.

0

2.5e+009

5e+009.

0

450000000

900000000

0

250000000

500000000

1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Rp10 115 793 706.39 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp627 824 464.98–Rp1 011 579 370.64. Tingkat keuntungan yang diperoleh

untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35

cm) sebesar Rp6 331 450 112.88–Rp10 201 520 771.70 dengan kontribusi

pendapatan ke daerah sebesar Rp633 145 011.29–Rp1 020 152 077.17.

Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp6 328 082

678.51–Rp10 196 095 008.07 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp632 808 267.85–Rp1 019 609 500.81.

Gambar 53 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).

Gambar 54 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)

Page 138: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:39 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4.5e+009

9e+009.

0

3e+009.

6e+009.

0

450000000

900000000

0

300000000

600000000

1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

11:44 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

15000

30000

0

10000

20000

0

350000

700000

0

200000

400000

1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Gambar 55 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah

Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut

K.alvarezii coklat sebanyak 16 434–26 480 orang atau 394 430–635 524 HOK/th.

Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput

laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 20 647–33 267 orang atau 495 529–798 418

HOK/th.

Gambar 56 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Page 139: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

11:45 AM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

20000

40000

0

15000

30000

0

400000

800000

0

250000

500000

1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

12:49 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

600

900

1200

50

350

650

1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min

1

1

1

1

2

2

2

2

Gambar 57 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Skenario 3. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke

lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai

hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 504.86 ton. Masukan limbah

antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten

Bantaeng untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang

dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal–maksimal) untuk jenis

coklat seluas 1 597.73–2 434.86 ha atau 6 390.92–9 739.45 unit sedangkan untuk

K.alvarezii jenis hijau seluas 2 007.25–3 058.95 ha atau 8 029.01–12 235.81 unit.

Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir

Kabupaten Bantaeng menjadi 1 060.51 ton/hari–1 616.17 ton N/hari.

Gambar 58 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).

Page 140: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

12:50 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 1

0.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

1650

2050

2450

800

1200

1600

2100

2600

3100

1050

1550

2050

1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

12:50 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

1100

1400

1700

550

850

1150

1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM

1

1

1

1

2

2

2

2

Gambar 59 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng

Gambar 60 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada

kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 9 076.54–13 872.97

ton, jarak tanam 35 cm sebesar 10 077.08–15 402.25 ton, dan jarak tanam 45 cm

sebesar 15 599.22–16 200.30 ton. Sedangkan untuk jenis hijau dengan jarak

tanam 25 cm sebesar 11 402.99–17 428.81 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12

659.99–19 350.07 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 315.96–20 352.68 ton.

Page 141: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

12:51 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

12:52 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

5000

10000

0

5500

11000

0

10000

20000

1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

12:52 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

0

15000

30000

1: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 61 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan

Gambar 62 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan

Gambar 63 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Page 142: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

12:52 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

5000

10000

0

5500

11000

0

10000

20000

1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 64 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp5 829 953 351–

Rp8 884 561 052.04 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp582 995

335.13–Rp888 456 105.30. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk

pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 35 cm)

sebesar Rp5 879 359 735.68–Rp8 959 853 943.29 dengan kontribusi pendapatan

ke daerah sebesar Rp587 935 973.57–Rp895 985 394.32. Sedangkan tingkat

keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii

jenis coklat (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp5 876 232 749.33–

Rp8 955 088 570.43 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp587 623 274.93–Rp895 508 857.04

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp7 324 257 046.80

–Rp11 161 806 103.44 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp732 425 704.68 – Rp1 116 180 610.34. Tingkat keuntungan yang diperoleh

untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35

cm) sebesar Rp7 386 327 021.77–Rp11 256 397 680.59 dengan kontribusi

pendapatan ke daerah sebesar Rp738 632 702.18–Rp1 125 639 768.06.

Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar

Rp7 382 398 542.34–Rp11 250 410 871.91 dengan kontribusi pendapatan ke

daerah sebesar Rp738 239 854.23–Rp1 125 041 087.19

Page 143: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

12:54 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4.5e+009

9e+009.

0

3e+009.

6e+009.

0

450000000

900000000

0

300000000

600000000

1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

12:54 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4.5e+009

9e+009.

0

3e+009.

6e+009.

0

450000000

900000000

0

300000000

600000000

1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

12:54 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

4.5e+009

9e+009.

0

3e+009.

6e+009.

0

450000000

900000000

0

300000000

600000000

1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Gambar 65 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).

Gambar 66 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm).

Gambar 67 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah

Page 144: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

12:54 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

15000

30000

0

10000

20000

0

400000

800000

0

250000

500000

1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

12:54 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

20000

40000

0

15000

30000

0

450000

900000

0

300000

600000

1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut

K.alvarezii jenis coklat sebanyak 19 172–29 218 orang atau 460 146–701 240

HOK/th. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 24 087–36 707 orang atau 578 088–

880 978 HOK/th.

Gambar 68 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Gambar 69 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Page 145: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3:03 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

850

1000

1150

300

450

600

1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3:04 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 1

0.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

1500

2500

3500

500

1500

2500

2000

3000

4000

1000

2000

3000

1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

4

4

4

4

Skenario 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke

lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai

hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Masukan limbah

antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten

Bantaeng untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang

dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk

K.alvarezii jenis coklat seluas 1978.03 ha–2815.16 ha atau 7912.12 unit–

11 260.65 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2485.03 ha–3536.73 ha atau

9940.11 unit–14 146.92 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas

asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng menjadi 1312.94 ton/hari–

1868.59 ton N/hari.

Gambar 70 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).

Gambar 71 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.

Page 146: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3:05 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

1100

1500

1900

550

950

1350

1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM

1

1

1

1

2

2

2

2

3:06 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

20000

1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

.

Gambar 72 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan

pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16

013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam

45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau

dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm

sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23

492.29 ton.

Gambar 73 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Page 147: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

200001: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

10000

200001: LBRL hijau BM Min 2: LBRL 1hijau BM Min 3: LBRL 2 hijau BM Min

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

0

15000

300001: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks

1

1

1

1

2

2

2

2

3

3

3

3

Gambar 74 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.

Gambar 75 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.

Gambar 76 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.

Page 148: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

1e+010.

2e+010.

0

4e+009.

8e+009.

0

1e+009.

2e+009.

0

400000000

800000000

1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp7 217 626

176.22–Rp10 272 233 877.83 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78. Tingkat keuntungan yang diperoleh

untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam

35 cm) sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30 dengan kontribusi

pendapatan ke daerah sebesar Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73.

Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii coklat (jarak tanam 45 cm) sebesar Rp7 274 921 213.44 –

Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar

Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45

Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp9 067 611 041.88

dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp906 761 104.19–

Rp1 290 516 009.85. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan

budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar

Rp9 144 455 203.25–Rp13 014 525 862.06 dengan kontribusi pendapatan ke

daerah sebesar Rp914 445 520.32–Rp1 301 452 586.21. Sedangkan tingkat

keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm)

diperoleh sebesar Rp9 139 591 648.73 –Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi

pendapatan ke daerah sebesar Rp913 959 164.87 – Rp1 300 760 397.83

Gambar 77 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).

Page 149: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

1e+010.

2e+010.

0

4e+009.

8e+009.

0

1e+009.

2e+009.

0

400000000

800000000

1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

1e+010.

2e+010.

0

4e+009.

8e+009.

0

1e+009.

2e+009.

0

400000000

800000000

1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Gambar 78 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm).

Gambar 79 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah.

Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut

K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–

810 766.44 HOK/th. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk

pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–

42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.

Page 150: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

20000

40000

0

15000

30000

0

450000

900000

0

300000

600000

1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

3:07 PM Fri, Aug 20, 2010

Untitled

Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00

Day s

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

0

25000

50000

0

15000

30000

0

1000000

2000000

0

400000

800000

1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4

1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4

Gambar 80 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Gambar 81 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).

Hasil simulasi ke 4 skenario memperlihatkan peningkatan limbah

antropogenik yang masuk ke dalam kawasan budidaya rumput laut belum

berpengaruh negatif terhadap budidaya rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari

peningkatan produksi biomassa secara linear sesuai dengan semakin

meningkatnya limbah antropogenik. Ini bisa diasumsikan bahwa rumput laut

masih mampu menyerap limbah yang masuk dan memanfaatkannya sebagai

sumber nutrient. Sebab itu, sampai batas tertentu rumput laut mampu

meningkatkan kapasitas asimilasi perairan, sehingga skenario ke 4 merupakan

kondisi yang paling optimal.

Page 151: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

VII. KEBERLANJUTAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Analisis keberlanjutan kegiatan rumput laut dilakukan dengan pendekatan

multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rap-RL. Rap-RL ini merupakan

pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status

keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001). Hasil analisis

keberlanjutan ini dinyatakan dalam indeks keberlanjutan kegiatan budidaya

rumput laut (ikb-RL), dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status

keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut yang sedang diteliti berdasarkan

kondisi yang ada (existing). Nilai indeks berkelanjutan pada setiap dimensi

keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masing-

masing dimensi yang merupakan hasil dari pendapat pakar. Nilai skoring indeks

berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0 -100% dengan kriteria tidak

berkelanjutan (buruk) jika nilai indeks terletak antara 0–24.99%, kurang

berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25–49.99, cukup berkelanjutan jika

nilai indeks terletak antara 50–74.99 dan berkelanjutan (baik) jika nilai indeks

terletak antara 75–100%. Penelitian optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut

di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, indeks keberlanjutannya ditetapkan dalam

lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya,

dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan dengan atribut dan nilai skoring hasil

pendapat pakar.

7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-RL (MDS)

terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan

untuk dimensi ekologi sebesar 67.95% dengan status cukup berkelanjutan

(Gambar 82). Nilai indeks keberlanjutan ini menunjukkan bahwa apabila

pengelolaan dan pemanfaatan tetap seperti saat ini maka kegiatan budidaya

rumput laut, dilihat dari aspek ekologinya akan tetap bisa berkelanjutan tanpa

mendegradasi kualitas kawasan perairan. Karena itu, atribut-atribut yang

mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan aspek ekologi yang berdampak positif

tetap harus dijaga atau bahkan ditingkatkan dan atribut yang berdampak negatif

ditekan.

Page 152: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 82 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kegiatan budidaya rumput laut

di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari sepuluh atribut, yakni: (1)

kecepatan arus; (2) substrat dasar; (3) salinitas; (4) keterlindungan; (5) Ketinggian

gelombang; (6) kecerahan; (7) kedalaman; (8) mutu bibit; (9) ketersediaan bibit

dan (10) ketersediaan bibit bermutu baik. Atribut-atribut yang sensitif

memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dapat

diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Berdasarkan hasi analisis

Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan

dimensi ekologi yaitu (1) keterlindungan; (2) kecerahan dan (3) mutu bibit. Hasil

analisis Leverage (Gambar 83).

Page 153: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 83 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam

bentuk nilai root mean square (RMS).

Berdasarkan hasil survey, wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng merupakan

perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya

pelindung seperti pulau kecil atau gusung. Hasil analisis Leverage

mengindikasikan bahwa keterlindungan adalah atribut yang paling sensitif untuk

memberikan pengaruh pada nilai indeks keberlanjutan apabila dilakukan

treatment. Akan tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan teknologi yang

bisa berfungsi sebagai pelindung seperti pulau atau gusung. Adapun solusi dari

masalah ini adalah dengan menjadwalkan waktu tanam, yakni melakukan

penanaman pada musim timur dan peralihan yang kondisi kecepatan arus dan

ketinggian gelombangnya masih dalam batas-batas yang sesuai untuk

pertumbuhan rumput laut.

Atribut selanjutnya yang sensitif untuk mengubah nilai indeks

keberlanjutan dimensi ekologi adalah kecerahan. Secara umum kecerahan pada

lokasi penelitian tinggi, hanya ada beberapa spot yang mengalami sedikit

kekeruhan. Namun ternyata hal ini menjadi atribut yang sensitif. Tingkat

kecerahan yang rendah berada pada posisi sekitar pantai yang kedalaman

perairannya rendah sehingga pengadukan terjadi sampai ke dasar perairan. Atribut

mutu bibit bisa dipahami kalau menjadi atribut yang perlu dibenahi sebab sampai

Page 154: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

saat ini belum ada kegiatan pembibitan yang mampu menyiapkan bibit yang

bermutu baik. Masyarakat hanya menggunakan bibit yang disisihkan dari hasil

panen dan digunakan berulang-ulang. Pada hal Mubarak (1978) memperkirakan

bahwa paling lama 6 bulan bibit sudah harus diganti dengan bibit yang baru sebab

menggunakan bibit lebih dari 6 bulan produksi cenderung menurun. Salah satu

faktor produksi yang menentukan keberhasilan suatu kegiatan budidaya adalah

penggunaan bibit yang bermutu baik. Kalau nelayan rumput laut atau pihak

swasta belum mampu membuat pembibitan untuk menyiapkan bibit yang

bermutu, seharusnya pihak pemerintahlah dalam hal ini Dinas Perikanan dan

Kalautan Kabupaten Bantaeng yang menanganinya.

Upaya perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif

memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi akan

tetapi juga diupayakan mempertahankan atau meningkatkan atribut-atribut yang

berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dimensi

ekologi kegiatan budidaya rumput laut untuk lebih meningkatkan status

keberlanjutan.

7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Hasil analisis Rap-RL terhadap enam atribut dari dimensi ekonomi

memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 67.95% dengan status cukup

berkelanjutan (Gambar 84). Posisi titik nilai indeks keberlanjutan ekonomi berada

pada kwadran positif, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan

selama ini cenderung ke arah yang baik. atribut-atribut yang berdampak negatif

terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak

positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan nilai

indeks keberlanjutan tersebut maka. Atribut yang diperkirakan sensitif

memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah

(1) kelayakan kegiatan budidaya rumput laut; (2) keuntungan kegiatan budidaya

rumput laut; (3) kontribusi terhadap PAD; (4) pasar rumput laut; (5) rantai

pemasaran; dan (6) jumlah pasar.

Page 155: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 84 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kegiatan budidaya rumput

laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-

atribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas. Atribut-atribut tersebut

memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks

keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut

yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan

ekonomi. Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga

atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi ekonomi, yaitu (1) kontribusi

terhadap PAD; (2) pasar rumput laut; dan (3) rantai pemasaran. Hasil analisis

Leverage ditampilkan pada Gambar 85.

Page 156: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 85 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan

dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS).

Kontribusi budidaya rumput laut terhadap pendapatan asli daearah (PAD)

merupakan atribut yang paling sensitif. Melihat kondisi di lapangan, hal ini bisa

difahami. Sampai saat ini, kontribusi kegiatan budidaya rumput laut terhadap

PAD Kabupaten Bantaeng masih rendah. Kontribusi langsung kegiatan budidaya

rumput laut hanya berupa retribusi lahan sebesar Rp50 000/ha/tahun dan retribusi

angkutan produksi rumput laut sebesar Rp20 000/truk dan satu truk berisi 10-12

ton rumput laut kering. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang bisa

membantu pengembangan kegiatan budiaya rumput laut untuk meningkatkan

kontribusi terhadap PAD. Sebaiknya rumput laut diolah dulu menjadi bahan

setengah jadi atau bahan jadi sebelum dijual sehingga ada nilai tambah bagi

Pemda Kabupaten Bantaeng. Jika dilihat pada aspek pasar, komoditas ini tidak

perlu dipasarkan jauh-jauh karena pembeli siap mendatangi nelayan rumput laut

yang sudah panen setiap waktu. Masalahnya adalah cara pembeli atau pedagang

pengumpul mengendalikan harga komoditi. Nelayan rumput laut yang meminjam

uang pada pedagang pengumpul harus menjual rumput lautnya pada pedagang

tersebut. Harga penjualan ditentukan oleh pedagang pengumpul dan umumnya

dengan harga yang lebih rendah dibandingkan jika nelayan menjual ke pedagang

lain. Nelayan rumput laut tidak memiliki posisi tawar sebab selain mereka telah

Page 157: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

berhutang mereka juga tidak mempunyai akses terhadap informasi harga

komoditas.

Rantai pemasaran rumput laut masih tergolong panjang sehingga

keuntungan yang ada harus dibagi ke lebih banyak pihak. Untuk sampai ke pabrik

pengolahan, rumput laut mengalami beberapa kali pindah tangan baru kemudian

sampai di tangan eksportir atau pabrik pengolahan di Kabupaten Takalar atau

Makassar. Sebagai akibatnya nelayanlah menjadi pihak yang paling sedikit

menikmati pembagian keuntungan tersebut.

7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya

Dimensi sosial budaya yang telah dianalisis dengan Rap-RL memberikan

nilai indeks keberlanjutan sebesar 56.47% dengan status cukup berkelanjutan

(Gambar 86). Posisi titik nilai indeks yang berada pada sumbu x, merupakan

indikasi bahwa pengelolaan yang dilakukan sekarang cenderung ke arah yang

kurang baik walaupun masih dalam kategori cukup berkelanjutan. Karena itu

perlu upaya pengelolaan yang lebih baik untuk memperbaiki atribut-atribut yang

berpengaruh negatif terhadap nilai indeks tersebut. Sedangkan artribut yang

berpengaruh positif terhadap nilai indeks keberlanjutan harus dipertahankan atau

bahkan lebih ditingkatkan.

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan dimensi social-budaya, adalah: (1) tingkat pendidikan; (2) jumlah

rumah tangga nelayan rumput laut; (3) sistem sosial dalam pengelolaan budidaya

rumput laut; (4) kemandirian nelayan; (5) partisipasi keluarga dalam pengelolaan

budidaya rumput laut; (6) alternatif kegiatan selain budidaya rumput laut; (7)

tingkat pemberdayaan nelayan rumput laut. Berdasarkan hasil analisis Leverage

diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi

sosial-budaya, yakni: (1) sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut;

(2) kemandirian nelayan; dan (3) jumlah rumah tangga nelayan rumput laut.

Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan

dimensi sosial-budaya meningkat pada masa yang akan datang.

Page 158: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 86 Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya kegiatan budidaya

rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng

Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap

atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang yang

dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya

dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten

Bantaeng. Hasil analisis Leverage untuk dimensi sosial-budaya, dapat dilihat pada

Gambar 87.

Sistem sosial-budaya dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di

Kabupaten Bantaeng umumnya masih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia, yakni gotong royong. Sebagian besar pekerjaan dilakukan masih secara

gotong royong. Kecuali pada jenis kegiatan tertentu dalam kegiatan budidaya,

seperti pengikatan bibit pada bentangan.

Page 159: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Gambar 87 Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan

dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

Bagi masyarakat pesisir, tidak terlalu banyak pilihan pekerjaan yang bisa

diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecuali jika nelayan rumput laut

mencari pekerjaan diluar wilayahnya sehingga tingkat ketergantungan terhadap

kegiatan budidaya rumput laut cukup tinggi. Saat ini, pekerjaan yang paling

memberikan harapan perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir

adalah kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut mempunyai

kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh mata pencaharian lain antara lain,

modal relatif kecil, teknologi yang digunakan sederhana dan pasarnya selalu

tersedia. Karena itu jumlah rumah tangga nelayan rumput laut setiap tahun

semakin bartambah banyak. Hasil penelitian menunjukkan populasi RTP nelayan

rumput laut lebih 75% dari komunitas penduduk wilayah pesisir. Pertambahan

RTP nelayan rumput laut ini harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan

masalah dikemudian hari.

7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi

Hasil analisis Rap-RL dari enam atribut dimensi teknologi memberikan

nilai indeks keberlanjutan sebesar 32.42% dengan status kurang berkelanjutan

(Gambar 88). Nilai indeks keberlanjutan yang rendah ini menunjukkan perlunya

Page 160: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

segera dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang berpengaruh

negatif terhadap nilai indeks. Tanpa perbaikan yang signifikan maka kegiatan

budidaya rumput laut di masa yang akan datang akan mengalami stagnasi dalam

upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan nelayan rumput laut.

Gambar 88 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi kegiatan budidaya rumput

laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan dimensi teknologi, adalah (1) Tingkat penguasaan teknologi

budidaya RL; (2) Ketersediaan teknologi informasi RL; (3) Ketersediaan industri

pengolahan hasil RL; (4) Standarisasi mutu produk RL; (5) Standarisasi mutu

produk RL; dan (6) Dukungan sarana dan prasarana. Analisis Leverage dilakukan

untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai

indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Hasilnya diperoleh tiga atribut yang

paling sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan sebagai

berikut: (1) Dukungan sarana dan prasarana; (2) Ketersediaan teknologi informasi

RL; dan (3) Ketersediaan industri pengolahan hasil RL.

Kondisi sarana dan prasarana untuk menunjang perkembangan kegiatan

budidaya rumput laut masih minim di Kabupaten Bantaeng. Namun satu

keuntungan bagi wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng karena dilewati oleh sarana

Page 161: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

jalan antar kabupaten dan provinsi. Tetapi parasarana jalan ini hanya terbatas pada

jalanan poros, tidak menjangkau sampai ke jalan-jalan desa sehingga tetap

diperlukan prasarana jalan-jalan yang menjangkau sampai ke sentra produksi

rumput laut untuk mempermudah transportasi produksi.

Ketersediaan teknologi informasi khusus untuk kegiatan budidaya rumput

laut, sampai saat ini belum tersedia. Nelayan rumput laut melakukan kegiatannya

berdasarkan naluri, kebiasaan dan informasi sesama nelayan rumput laut yang

belum tentu benar. Informasi tentang harga pasar terhadap komoditas yang

mereka hasilkan tidak ada akibatnya, harga sangat ditentukan oleh pembeli.

Nelayan hanya menerima harga tersebut tanpa berdaya untuk menegosiasikannya.

Melihat perkembangan kegiatan budidaya rumput laut yang pesat dan

produksi yang dihasilkan cukup lumayan maka pemerintah seharusnya

membangun pabrik pengolahan rumput laut. Dengan adanya pabrik pengolahan

rumput laut di Kabupaten Bantaeng maka akan ada nilai tambah untuk Pemerintah

Daerah dan masyarakat di wilayah pesisir. Bagi nelayan rumput laut, harga

komoditasnya bisa lebih tinggi dihargai oleh pedagang karena tidak lagi

diperhitungkan ongkos transportasi. Di samping itu, produksi rumput laut dari

kabupaten tetangga seperti dari Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Selayar dan

Kabupaten Jeneponto, yang juga belum memiliki sarana pengolahan rumput laut,

dan selama ini mengolahnya di Kabupaten Takalar atau di makassar bisa beralih

mengolahnya di Kabupaten Bantaeng.

Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan

budidaya rumput laut cukup memadai di Kabupaten Bantaeng. Menyiasati kondisi

perairan yang tidak kondusif mereka telah memiliki pengetahuan sendiri,

misalnya pada saat curah hujan tinggi sehingga kemungkinan salinitas akan turun

ke level yang tidak aman bagi budidaya rumput laut, mereka akan mengisi air

pada botol-botol pelampung sehingga bentangan yang berisi rumput laut

tenggelam pada kedalaman yang tidak dipengaruhi air tawar (air hujan).

Pengalaman mereka menunjukkan bahwa kedalaman air tawar berkisar 10-20 cm

pada bagian permukaan. Mereka bisa membedakan antara lapisan air tawar

dengan lapisan air laut dari perbedaan suhu kedua lapisan tersebut, suhu air tawar

lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu air asin.

Page 162: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Standarisasi mutu rumput laut belum berjalan di Kabupaten Bantaeng.

Nelayan rumput laut tidak mengetahui dengan pasti perbedaan penampilan fisik

rumput laut yang bermutu baik atau yang bermutu jelek tetapi informasi yang

mereka peroleh dari pemerintah mereka tahu bahwa rumput laut yang dipanen

pada masa pemeliharaan 45 hari lebih bagus mutunya dibandingkan dengan yang

dipanen pada masa pemeliharaan 40 hari atau kurang. Masalahnya bagaimanapun

kondisi/kualitas rumput laut yang mereka hasilkan pedagang pengumpul tetap

membelinya dengan harga yang sama, rumput laut yang dipanen tepat waktu atau

45 hari masa pemeliharaan dengan yang dipanen 40 hari masa pemeliharaan atau

bahkan kurang dari itu harganya tetap sama demikian juga dengan rumput laut

yang dijemur menggunakan para-para sehingga pengeringannya lebih baik dan

lebih bersih dibandingkan dengan yang dijemur di atas pasir begitu saja tanpa

alas, harganya juga tetap sama. Karena itu nelayan rumput laut akan memanen

lebih awal apalagi kalau dipicu dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga

sehari-hari yang mendesak. Akibatnya nelayan rumput laut tidak terlalu

mementingkan masa pemeliharaan dan cara penjemuran sehingga mutu produk

yang dihasilkanpun bermutu rendah.

Fenomena ini terjadi sebab nelayan rumput laut masih fokus pada rumput

laut sebagai komoditas belum melihat rumput laut sebagai bahan baku industri

sehingga yang dipentingkan adalah bobot produksi bukan kualitasnya. Pada hal

untuk prospek ke depan, budidaya rumput laut harus lebih berorientasi kepada

kualitas karagenan yang dihasilkan untuk bahan baku industri agar bisa bersaing

dengan produksi Filipina dan China. Pada saat ini karagenan produksi Filipina

dan China yang dijual di Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan

karagenan produksi Indonesia, padahal bahan baku rumput lautnya berasal dari

Indonesia. Hal ini bisa terjadi sebab kegiatan rumput laut dari hulu sampai ke hilir

di Filipina dan China disuport secara total oleh semua lini dan sektor mulai dari

unsur pemerintah dari berbagai departemen yang ada kaitannya dengan segala

proses rumput laut menjadi karagenan sampai kepada pemasaran, perbankan dan

swasta. Sehingga produksi karagenan dan produksi hilir rumput laut lainnya

harganya bisa lebih murah. Sementara di Indonesia rumput laut hanya mendapat

perhatian khusus dari kemeterian Dinas Kelautan dan Perikanan. Sektor lain

Page 163: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

seperti Kementerian perindustrian dan perdagangan, Perhubungan, Perbankan,

swasta dan stakeholders lain saat ini belum betul-betul terlibat secara intensif.

Apabila atribut-atribut tersebut dikelola dengan baik maka nilai indeks

keberlanjutan bisa lebih meningkat dari status kurang berkelanjutan menjadi status

berkelanjutan. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran

setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang

memberikan dampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi

teknologi. Hasil analisis Leverage untuk dimensi teknologi, dapat dilihat pada

Gambar 89.

Gambar 89 Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan

dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Dimensi kelembagaan dengan tujuh atribut yang telah dianalisis Rap_RL

menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 39.84% dengan status kurang

berkelanjutan (Gambar 90). Walaupun posisi titik nilai indeks keberlanjutan

berada pada kwadran positif yang berarti kecenderungan pengelolaan sekarang ke

arah baik, akan tetapi nilai indeks yang rendah yang berada pada status kurang

berkelanjutan mengindikasikan adanya atribut-atribut yang perlu perbaikan

dengan segera. Apabila hal ini tidak dilakukan maka kegiatan budidaya rumput

laut yang eksis saat ini bisa mengalami penurunan nilai manfaat.

Page 164: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat

keberlanjutan dimensi kelembagaan, adalah (1) Ketersediaan lembaga kelompok

tani RL; (2) Ketersediaan zonasi peruntukan lahan wilayah pesisir; (3)

Ketersediaan Perda; (4) Ketersediaan aturan adat dan agama/kepercayaan; (5)

Adanya tokoh panutan yang disegani; (6) Ketersediaa lembaga keuangan/sosial;

(7) Keberadaan Balai Penyuluh pertanian untuk rumput laut.

Gambar 90 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan kegiatan budidaya rumput

laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif

memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan.

Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh tiga atribut paling sensitif diantara

atribut lainnya, yakni (1) Ketersediaan Perda; (2) Ketersediaan lembaga kelompok

tani; dan (3) Ketersediaan lembaga ekonomi/sosial (Gambar 91).

Secara khusus, belum ada Perda di Kabupaten Bantaeng yang mengatur

kegiatan budidaya rumput laut padahal kegiatan budidaya rumput laut telah

berkembang dengan pesat. Sehingga perlu aturan-aturan agar ke depan kegiatan

budidaya rumput laut bisa berkembang dan berkelanjutan tanpa menimbulkan

konflik yang bisa merugikan bukan hanya bagi nelayan rumput laut itu sendiri tapi

Page 165: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

juga masyarakat umum dan pemerintahan secara keseluruhan. Perda yang sudah

ada hanya mengatur pemungutan retribusi. Belum ada Perda yang mengatur

zonasi peruntukan perairan pesisir agar semua stakeholders bisa mengakses

perairan tersebut secara adil dan bisa berkelanjutan, khususnya dalam pengelolaan

kegiatan budidaya rumput laut. Tata letak unit budidaya rumput laut belum

teratur, jalur-jalur untuk lalu lalang perahu nelayan dan untuk para nelayan

rumput laut sendiri serta stakeholders lainya belum ditata dengan baik. Sehingga

kadang-kadang menyulitkan bagi stakeholders lain untuk memanfaatkan

sumberdaya wilayah pesisir. Untuk mengeliminir konflik yang bisa terjadi,

terdapat aturan adat yang mengatur tentang ganti rugi bagi nelayan rumput laut

yang rusak lahan maupun rumput lautnya karena kelalaian pihak lain, misalnya

tertabrak perahu nelayan atau perahu sesama nelayan rumput laut. Ganti rugi

disesuaikan dengan nilai kerusakan yang disepakati bersama diantara mereka.

Namun aturan lokal ini belum cukup memadai, dibutuhkan Perda yang lebih

mengikat dan komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin

terjadi pada masa yang akan datang.

Gambar 91 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan

dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

Page 166: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

7.6 Status Keberlanjutan Multidimensi

Perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terutama

terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan

perlu ditingkatkan agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang terus meningkat

sampai mencapai status berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan ke dua dimensi

tersebut berada pada status kurang berkelanjutan. Bukan hanya nilai indeks

keberlanjutan dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan yang perlu diperbaiki

akan tetapi nilai indeks keberlanjutan tiga dimensi yang lain juga masih bisa

ditingkatkan sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi

berkelanjutan. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-

RL seperti disajikan pada Gambar 92, di bawah ini.

Gambar 92 Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari

lima dimensi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Hasil analisis Rap-RL multidimensi keberlanjutan kegiatan budidaya

rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berdasarkan kondisi yang ada,

diperoleh nilai 54.11 % yang berarti termasuk kedalam status cukup

berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 36 atribut dari 5 dimensi

yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan. Posisi

titik nilai indeks keberlanjutan tersebut berada pada kwadran positif yang berarti

pengelolaan berjalan ke arah yang baik. Nilai indeks keberlanjutan tersebut

Page 167: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

disajikan pada Gambar 93. Nilai indeks keberlanjutan sudah cukup bagus namun

tetap harus ada upaya untuk memperbaiki atribut-atribut yang berdampak negatif

terhadap nilai indeks keberlanjutan serta mempertahankan bahkan meningkatkan

atribut-atribut yang selama ini telah berdampak positif terhadap nilai indeks

keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut.

Gambar 93 Indeks keberlanjutan multidimensi kegiatan budidaya rumput laut di

wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.

Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks

keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis Leverage dari kelima

dimensi sebanyak 16 atribut (Gambar 94). Perbaikan pada atribut-atribut tersebut

perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan budidaya

rumput laut. Atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks

keberlanjutan ditingkatkan kapasitasnya dan sebaliknya menurunkan atau

menekan kapasitas atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks

keberlanjutan.

Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan nilai

indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng

tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rap-RL. Hal ini berarti bahwa

kesalahan analisis dapat diperkecil dalam hal skoring setiap atribut, variasi

Page 168: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, proses analisis data yang

dilakukan secara berulang-ulang stabil, dan kesalahan dalam memasukka data dan

data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil

analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 23.

Gambar 94 Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam

bentuk nilai root mean square (RMS).

Tabel 23 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo

Dimensi keberlanjutan Nilai indeks keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo perbedaan

Ekologi Ekonomi Sosial-budaya Teknologi Kelembagaan Multi-Dimensi

67.94 67.54 56.47 32.41 39.62 54.11

65.85 65.83 56.35 31.20 39.13 53.43

2.09 1.71 0.12 1.21 0.49 0.68

Hasil analisis Rap-RL menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji

terhadap status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut cukup akurat. Ini

terlihat dari nilai stress yang berkisar antara 12-15 % dan nilai koefisien

determinasi (R²) berkisar antara 0.91-0.95. Hasil analisis cukup memadai apabila

Page 169: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25 %) dan nilai R² mendekati nilai 1.0, (Fisheries

1999), (Tabel 24).

Tabel 24 Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²) Parameter Dimensi keberlanjutan

A B C D E F Stress R² Iterasi

0.14 0.92

3

0.14 0.92

3

0.15 0.91

3

0.15 0.94

2

0,15 0.94

2

0,12 0.95

2

Page 170: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten

Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang telah

memenuhi sepanjang wilayah laut pesisir sejauh 3-5 km ke arah laut dan

produksinyapun cenderung terus meningkat setiap tahun. Kesesuaian lahan

merupakan hal penting dan pertama yang harus diperhatikan sebelum melakukan

budidaya rumput laut. Kesuksesan usaha budidaya sangat tergantung dari faktor

tersebut dan beberapa faktor lain. Bagaimanapun bermutunya bibit yang digunakan

kalau lahannya tidak sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan oleh rumput laut

maka hasilnya pasti tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil evaluasi

kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori

kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha

yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) seluas 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) seluas

1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi

kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha.

Dilihat dari aspek kesesuaian kawasan, masih cukup luas lahan yang belum

dikelola, akan tetapi untuk pengembangan budidaya rumput laut ke depan yang perlu

diperhitungkan adalah daya dukung perairan. Apabila daya dukung kawasan

budidaya terlampaui maka usaha budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan

masyarakat pesisir untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan

berkelanjutan.

Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir

memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme.

Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut adalah konsep

daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang lain. Dua

pendekatan digunakan untuk menghitung daya dukung perairan daerah kajian, yakni

pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N. Daya dukung

perairan yang dihitung dengan pendekatan kapasitas perairan adalah tersebut

sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh

daya dukung kawasan sebesar 6 603 unit budidaya untuk K.alvarezii (Doty) coklat

dan 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (Doty) hijau. Areal budidaya yang sudah

Page 171: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

150

dikelola menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng (2009)

adalah 1 214.7 ha.

Dilihat dari tingkat produktifitas, masih jauh dibawah daya dukung produksi.

Produktifitas rumput laut di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2008 baru 2

ton/ha/tahun atau produksi 7 677.55 ton dari luas lahan 3 792 ha (Dinas Perikanan

dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2009) dan dari hasil wawancara dengan

responden nelayan rumput laut, produktivitas sekitar 6-8.4 ton/ha/tahun. Sementara

daya dukung produksi sekitar 9 ton berat kering/ha/tahun dengan pendekatan luas

kawasan, bahkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N daya dukung mencapai

sekitar 12 500 ton berat kering/ha/tahun. Analisis optimasi dengan menggunakan

sistem dinamik memberikan hasil paling optimal pada skenario 4. Berbeda dengan

komoditas perikanan lainnya yang memberikan limbah pada proses budidayanya,

rumput laut justru memanfaatkan limbah organik yang masuk ke perairan sebagai

nutrient. Secara umum usaha budidaya rumput laut berada pada taraf berkelanjutan,

namun perlu perbaikan pada aspek/dimensi teknologi dan kelembagaan yang nilai

indeks keberlanjutannya berada pada status tidak berkelanjutan.

Berbagai alat analisis yang digunakan tersebut pada akhirnya

memperlihatkan bahwa usaha budidaya rumput laut di wilayah kajian secara umum

berada pada status cukup berkelanjutan walaupun dimensi teknologi dan dimensi

kelembagaan belum cukup berkelanjutan. Dengan mengacu pada atribut-atribut yang

sensitif dari hasil analisis Leverage maka untuk pengembangan kegiatan budidaya

rumput laut di Kabupaten Bantaeng, arahan pengelolaannya, adalah:

a. Dimensi Ekologi

1. Penyediaan bibit bermutu baik dan cukup melalui pengadaan pembibitan yang

profesional baik oleh pemerintah maupun swasta dan LSM. Sampai saat ini

nelayan rumput laut hanya menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen

yang disisihkan padahal bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan

suatu budidaya. Itulah sebabnya produktivitas rumput laut di wilayah kajian

masih tergolong rendah.

2. Menyiasati kondisi perairan yang tidak terlindung dengan mengatur jadwal

tanam pada musim Timur dan peralihan. Sebab pada musim barat kecepatan

Page 172: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

151

arus dan tinggi gelombang melampaui kondisi persyaratan tumbuh rumput

laut. Hal tersebut bisa menyebabkan rumput laut yang dibudidayakan patah-

patah demikian juga dengan konstruksi unit budidaya.

3. Tidak menanam rumput laut pada perairan yang tingkat kecerahannya tidak

memenuhi syarat tumbuh rumput laut. Pertumbuhan rumput laut pada perairan

yang keruh tidak akan maksimal sebab cahaya matahari yang dibutuhkan

untuk proses fotosintesa tidak optimal.

b. Dimensi Ekonomi

Ada beberapa solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah ini, antara

lain:

1. Koperasi. Koperasi rumput laut yang didirikan beranggotakan nelayan rumput

laut. Berfungsi untuk memberikan pinjaman modal kepada nelayan rumput

laut dan membeli semua produksi rumput laut dengan harga yang

menguntungkan bagi nelayan rumput laut. Namun dengan syarat produksi

rumput laut yang dihasilkan bermutu baik. Hal ini bisa memotong rantai

pemasaran rumput laut dan sekaligus berdampak pada jual beli yang lebih adil

bagi para pelaku;

2. Pembangunan dan perbaikan prasarana jalan dan transportasi agar

memperlancar pendistribusian bahan-bahan kebutuhan yang berkaitan dengan

kegiatan budidaya rumput laut dan pengangkutan produksi rumput laut.

3. Pabrik pengolahan. Pemerintah ataupun swasta membangun pabrik

pengolahan rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Hal ini akan menyebabkan

efek ganda. Antara lain, mengurangi pengangguran, biaya trasportasi untuk

mengangkut produksi rumput laut ke pabrik/eksportir bisa berkurang sehingga

harga yang diperoleh nelayan rumput laut bisa lebih tinggi, pemerintah daerah

bisa mendapatkan nilai tambah dari pajak pertambahan nilai, kegiatan industri

makanan kecil dari bahan rumput laut yang sudah diolah bisa tumbuh dan

berkembang, tercipta kegiatan informal untuk menunjang keberadaan

karyawan pabrik, seperti pemondokan, penjual makanan dan minuman serta

kebutuhan sehari-hari yang lain. Sehingga perekonomian masyarakat bisa

berkembang.

Page 173: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

152

4. Kebijakan. Pemerintah mengintervensi pasar rumput laut dengan menentukan

harga dasar rumput laut, mendorong kemajuan budidaya rumput laut sehingga

bisa berkontribusi lebih besar terhadap PAD, kebijakan pemberian bantuan

modal atau mempermudah nelayan rumput laut mengakses sumber modal

(misalnya, Bank Pembangunan Daerah) sehingga mengurangi peranan

tengkulak/ponggawa dan nelayan rumput laut bisa lebih mandiri dalam

menjual dan mempunyai posisi tawar terhadap tengkulak dalam menentukan

harga komoditasnya.

c. Dimensi Sosial-Budaya

1. Sifat gotong royong diantara para nelayan tetap harus dijaga agar

kesejahteraan sosial masyarakat bisa tercapai

2. Perlu diciptakan alternatif pekerjaan selain budidaya rumput laut untuk

mengurangi ketergantungan masyarakat secara langsung terhadap kegiatan

budidaya rumput laut

3. Anggota keluarga diupayakan terlibat secara aktif dalam kegiatan budidaya

rumput laut agar tercipta suasana yang harmonis.

d. Dimensi Teknologi

1. Perlu ketersediaan prasarana jalan yang bisa menjangkau kesemua sentra

produksi rumput laut untuk mempermudah transportasi dan pemasaran.

2. Informasi teknologi tepat guna bagi pengelolaan kegiatan budidaya rumput

laut perlu disiapkan untuk mempermudah nelayan rumput laut

mengaksesnya.

3. Industri pengolahan rumput laut perlu diupayakan ketersediaannya agar

nelayan rumput laut tidak lagi menjual produksinya hanya dalam bentuk

rumput laut kering dan ada nilai tambah bagi Pemda.

e. Dimensi Kelembagaan

1. Perlu Perda yang bisa mengatur kegiatan budidaya rumput laut baik dari segi

zonasi maupun pengaturan unit-unit budidaya untuk mengatisipasi

kemungkinan terjadinya konflik kepentingan diantara stakeholders.

Page 174: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

153

2. Kelompok tani yang sudah ada perlu diaktifkan dan diberdayakan untuk

mempermudah kegiatan penyuluhan dan tukar menukar informasi tentang

masalah-masalah dan kemajuan-kemajuan yang mereka alami.

3. Koperasi khusus untuk nelayan rumput laut untuk membantu kebutuhan

permodalan bagi pengembangan kegiatan budidaya rumput laut maupun

kebutuhan sehari-hari nelayan rumput laut.

Page 175: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan

1. Kawasan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada wilayah kajian adalah

2 313.29 ha dan sudah dikelola seluas 1 214.70 ha.

2. Daya dukung kawasan kajian adalah 5 941.85 unit budidaya atau setara dengan

produksi rumput laut 8 912.77 ton berat kering/tahun dengan pendekatan kapasitas

lahan. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N, diperoleh daya

dukung perairan sebesar 6 603 unit setara 9 903.84 ton bk/thn untuk K.alvarezii

(doty) coklat dan 8 295 unit budidaya yang setara dengan 12 442.35 ton berat

kerig/tahun untuk K.alvarezii (doty) hijau.

3. Optimalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya rumput laut memberikan hasil

yang paling optimal pada skenario ke empat, yakni asumsi penambahan limbah

organik ke dalam perairan sebesar 50% dari kondisi saat ini.

4. Dimensi teknologi dan kelembagaan nilai indeksnya belum berkelanjutan dan

atribut yang harus diperbaiki pada: dimensi teknologi : sarana dan prasarana,

informasi teknologi tepat guna dan industri pengolahan dan dimensi kelembagaan :

ketersediaan Perda, kelompok nelayan RL dan lembaga ekonomi & sosial

9.2 Saran

1. Masih memungkinkan penambahan sekitar 1 000-3 400 unit budidaya namun

sebaiknya lebih difokuskan kepada peningkatan produktivitas dan kualitas rumput

laut

2. Perlu Perda untuk mengatur zonasi, tata letak unit budidaya dan harga dasar

rumput laut

3. Perlu pengadaan bibit bermutu dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan

produktivitas rumput laut

4. Perlu disusun kriteria persyaratan lokasi budidaya, khusus untuk budidaya rumput

laut pada kawasan perairan terbuka.

Page 176: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

DAFTAR PUSTAKA Aji, N dan M. Murdjani. 1986. Budidaya Rumput Laut. Indonesian Fisheries

Information System, manual seri no. 32. Direktorat Jenderal Perikanan-International Development Research Center. Jakarta.

Amarullah. 2007. Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten

Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Amiluddin. 2007. Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan rumput

laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari Kepulauan Seribu. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Anggadiredja, J., Zatnika, A dan Istini, S. 1996. Potensi dan Manfaat Rumput

Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput laut. Jakarta.

Asbar, 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan

Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Aslan, LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Atmadja, WS, A. Kadi, Sulistijo dan R Satari. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis

Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseonologi Lipi. Jakarta. Basmal, J. 2001. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pasca Panen dan

Industri Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Bengen, DG. 2002. Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir. Prosiding Pelatihan

untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Penyunting: DG, Bengen. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB.

Bengen, DG. 2004a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut

serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Bengen, DG. 2004b. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut

Berkelanjutan Berbasis Eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.

Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Pembangunan Wilayah Pesisir: Antara

Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Warta Pesisir dan Lautan, No. 02/ Th. IV.

Page 177: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

158

Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan.INCUNE,No. 01/Th. II: 2-5.

Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menelusuri Peran Masyarakat Adat dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam. Warta Pesisir dan Lautan, No. 04/Th. III. Bengen, DG., A. Tahir, dan B. Wiryawan. 2003. Program Daerah Perlindungan

Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan: Tinjauan Aspek Keberlanjutan, Akuntabilitas dan Replikabilitas. Proyek Pesisir PKSPL-IPB.

Bengen, DG. 2005. Pentingnya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis

Kesesuaian Lingkungan bagi Keberlanjutan Pembangunan Kelautan. Perspektif Keterpaduan dalam Penataan Ruang Darat-Laut. Merajut Inisiatif Lokal Menuju Kebijakan Nasional. Mitra Pesisir (CRMP II). Jakarta.

BPS (Biro Pusat Statistik) Sulawesi Selatan. 2002. Kabupaten Bantaeng dalam

Angka. BPS Provinsi Sulawesi Selatan. Budiharsono, S. 2006. Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan

Perikanan Berkelanjutan. Dalam: Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekjen DKP Jakarta.

Charles, AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Science. Saint Mary’s

University Halifax, Nova Scotia, Canada. Chua, TE. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical

Application in Sustainable Coastal Development in East Asia. Partnership in Enviromental Management for the Seas of East Asia.

Cicin-Sain, B dan RW Knecht. 1998. Integrated Coartal and Ocean Management.

Island Press, Washington DC. Crawford, B. 2002. Seaweed Farming: An Alternative Livelihood Small-Scale

Fishers? Working Paper. Coastal Resources Center, Unversity of Rhode Island. http://www.google.com. (Tgl. 01 September 2008).

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber

Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita.

Dahuri, R. 2005. Potensi Ekonomi Kelautan (Menyambut Hari Nusantara 13

Desember). Republika, Selasa, 13 Desember 2005. http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Kebijakan DKP: Pengelohan dan

Pemasaran. Produk Olahan Rumput Laut Indonesia. www.dkp.go.id. Departemen Perdagangan. 1989. Ekspor Rumput Laut Indonesia. Jakarta

Page 178: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

159

Departemen Pertanian Kanwil DKI. 2001. Rumput Laut: Cara Budidaya dan

Pengolahannya. Jakarta. Djojomartono, M. 1993. Pengantar umum analisis sistem. Makalah pelatihan

analisis sistem dan informasi pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. 29 Juni – 26 Juli 199

Doty, MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp. Nov (Gigartinales, Rhodophyta) from

Malaysia In. I.A Abbot and J.N. Norris Eds. Taxonomy Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program.

Doty, MS. 1987. The Production and Uses of Eucheuma Di dalam: Doty MS,

Caddy JF, Santelices B (editors). Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. FAO Fish Techn. Paper 281. Rome.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB

Press. Bogor. Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk

Pascasarjana. IPB Press. Bogor. FAO, 2008. Cultured Aquatic Species Information Programme: Eucheuma spp.

Fisheries and Aquaculture Department. Fauzi, A. dan Anna, S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan

Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4930.

Fisheries. 1999. Rapfish Softwere for Exel. The Fisheries Centre, University of

British Columbia, Fisheries Center Research Reports. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol 2. CRC Press, Inc.Florida. Handoko. 2005. Quantitative Modelling of System Dynamics for Natural

Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Haq, SM. 1997. Ecology and Economic: Implication for Integrated Coastal Zone

Management. Dalam: Bilal UH, SM Haq, G.Kullemberg dan JH. Stel (Editor): Coastal Zone Management Imperative for Maritime Developing Nations. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Hardjowigeno S, Widiatmaka, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata

Guna Tanah. Fakultas Pertanian . IPB. Hartrisari, 2007. Sistem dinamik. Konsep system dan pemodelan untuk industri

dan lingkungan. SEAMEO BIOTROP Haslett, SK. 2000. Coastal Systems. Routledge Introductions to Environment

Series. London and New York.

Page 179: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

160

Herlinah. 2008. Laju Penyerapan Nitrat dan Fosfat oleh Rumput Laut

Kappaphycus alvarezii (Doty) di Perairan Kabupaten Takalar. Tesis Program Pascasarjana UNHAS.

Iksan, Kusdi HI. 2005. Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan karaginan

rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Kay, R. dan J. Alder. 2005. Coastal Planning and Management. Taylor and

Francis. London and York. (KPP RI) Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2003.

Bahan Pembelajaran Analisis Gender dalam Rangka Penyusunan Kebijakan, Program, Proyek dan Kebijakan yang Responsif Gender. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.

Kadi,A. dan Atmadja, WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae: Reproduksi,

Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kamlasi. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya

rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software

For Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall. Fisheries Centre Research Reports 12(2).

Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10-2002 - Pedoman Umum Perencanaan.

www.dkp.go.id. Krom, MD. 1986. An Evaluation of the Concept of assimilative Capacity as

Appliedto Marine water. Ambio XV (4). Luthfy S. 1988. Mempelajari ekstraksi karagenan dengan metode semi refined.

[skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ma’ruf, WF. 2005. Alih Teknologi Industri Rumput Laut Terpadu. Pusat Riset

dan Pengelolaan Produk dan Sosial ekonomi Kelautan dan Perikanan (PRPPSE), Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ma’ruf, WF. 2007. Klaster Industri Perumputlautan untuk Produk Karagenan

yang Kompetitif. craby & starky, Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Edisi juli 2007.

Page 180: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

161

Ma’ruf, FW. 2010. Isu Aktual Industri Rumput Laut Internasinal. Makalah pada SEABFEX III. Surabaya.

Madeali, M.I, M. Amin, dan E. Ratnawati. 1999. Budidaya Rumput Laut

Eucheuma sp dengan Sistem Rakit dan Lepas Dasar Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Balai Penelitian Perikanan Pantai. Maros.

Mansyur, Akhmad. 2009. Pengelolaan perairan pesisir gugus pulau Kaledupa

untuk usaha budidaya rumput laut. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial.

IPB Press. Bogor. Mondoringin, Lukas Lotharius Jansen Josef. 2005. Kajian ekologi-ekonomi

kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Moser, CON. 1993. Gender Planning and Developmen. Theory, Practice and

Training. Routledge. London. Mubarak, H. 1975. Budidaya Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut.

Jakarta. Mubarak, 1978. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di

Kepulauan Aru, Maluku. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. Jakarta. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. BadanLitbang Pertanian Departemn Pertanian.

Mubarak H, Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Puslitbangkan. IDRC-INFIS. Munasinghe, M. 2002. Environmental Economic and Sustainable development.

World Bank Environment Paper No. 3 The World Bank. Washington. Nurdjana, Made.L. 2006. Kebijakan dan Program Menuju Kejayaan perikanan

Budidaya. Makalah. Disampaikan pada Kuliah Umum di Departemen Budidaya, IPB.

OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). 1993.

Coastal Zone management: Integrated Policies. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris.

Pamungkas, KT. 1987. Mempelajari Hubungan antara Umur Panen dengan

Kandungan Karagenan dan Senyawa-Senyawa Lainnya pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spnosum. [skripsi]. Bogor. Jurusan Pengelolaan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Pitcher TJ dan D.Preikshot. 2001. RAPFISH: a Rapid Appraisal Technique to

Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49

Page 181: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

162

Pong-Masak PR. 2007. Hubungan Penyerapan Nitrogen dan Fosfat dalam Tallus Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut di Perairan Kabupaen Bantaeng, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros.

Pusat Penelitian Oseanografi. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Alga

Makro/Seaweed) di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

2001. Laporan Forum Rumput Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Puslitbangkan,1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) Dengan Rakit dan

Lepas Dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Jakarta. 9 hal.

Quano, 1993. Training Manual on Assesment of the Quantity ang Type of Land

Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environmental, UNEF. Bangkok.

Rauf, Abd. 2007. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan

Tanakeke Berbasis Daya dukung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Sallata. 2007. Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut

dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Slamet,M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Pembangunan. Editor. Ida Yustina dan

Adjat Sudradjat. Bogor. IPB Press. Sulistijo, Atmajaya WS. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di

Indonesia. Jakarta. Puslitbang-Oseanografi LIPI. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah

Pesisir Tropis. PT Gamedia Pustaka Utama. Jakarta. Suryaningrum, TD. 1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditas rumput laut budidaya

jenis Eucheuma cottonii dan eucheuma spnosum. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sushil 1993. Systems dynamics. A practical approach for managerial problems.

Wiley Eastern Limited, New Delhi. Susilo, SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus

Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepualauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Page 182: Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah ...repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46681/2011hya.pdf · yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1

163

Syahputra (2005). Pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Turner, GE. 1988. Codes of Practice and Manual of Procedures for Consideration

on Introduction and Transfer of Marine and Freshwater Organisms, EIFAC/CECPI, Occasional Paper No. 23.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 27.Tahun 2007. Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Winarno, FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan.

Jakarta. Yulianda, F. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Lautan. Materi

Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Zatnika, A dan Angkasa, WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah

pada Seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta.

.