Palm Rumput 2

39
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Tinea krusis adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini disebabkan oleh infeksi Trichophyton rubrum ( Djuanda. Dkk., 2010 ). Trichophyton rubrum Saat ini penelitian tentang tumbuhan obat tradisional sudah sangat berkembang, hal ini disebabkan oleh mulai sadarnya dan munculnya pemikiran dimasyarakat untuk mengurangi pengunaan obat-obatan kimia. Hal ini disadari karena penggunaan obat kimia yang harganya relatif mahal dan mengingat efek samping dari obat-obatan kimia tersebut juga dapat mendatangkan masalah baru bagi kesahatan pengguna obat-obatan itu sendiri. Tumbuhan obat tradisional adalah obat-obatan yang berasal dari bahan-bahan atau tumbuhan alami yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magis maupun berasal dari pengetahuan tradisional. Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi 1

description

cdz

Transcript of Palm Rumput 2

Page 1: Palm Rumput 2

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Tinea krusis adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum, dan sekitar

anus. Kelainan ini disebabkan oleh infeksi Trichophyton rubrum ( Djuanda. Dkk.,

2010 ). Trichophyton rubrum

Saat ini penelitian tentang tumbuhan obat tradisional sudah sangat

berkembang, hal ini disebabkan oleh mulai sadarnya dan munculnya pemikiran

dimasyarakat untuk mengurangi pengunaan obat-obatan kimia. Hal ini disadari

karena penggunaan obat kimia yang harganya relatif mahal dan mengingat efek

samping dari obat-obatan kimia tersebut juga dapat mendatangkan masalah baru

bagi kesahatan pengguna obat-obatan itu sendiri.

Tumbuhan obat tradisional adalah obat-obatan yang berasal dari bahan-

bahan atau tumbuhan alami yang diolah secara tradisional, turun-temurun,

berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan

setempat, baik bersifat magis maupun berasal dari pengetahuan tradisional.

Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi

kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau

masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Beberapa perusahaan telah

melakukan pengolahan terhadap obat-obatan tradisional yang kemudian

dimodifikasi lebih lanjut.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia

mengeluarkan Undang-Undang No.381 tahun 2007 tentang Kebijakan Obat

Tradisional Nasional. Di dalam salah satu subsistem SKN (Sistem Kesehatan

Nasional) disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional

ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki

khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk

1

Page 2: Palm Rumput 2

pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan

kesehatan formal. Penggunaan obat tradisional di Indonesia merupakan bagian

dari budaya bangsa dan banyak dimanfaatkan masyarakat sejak berabad-abad

yang lalu. Namun demikian pada umumnya efektivitas dan keamanannya belum

sepenuhnya didukung oleh penelitian yang memadai.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah:

- Apakah kandungan kimia ekstrak rumput palem (Molineria capitulata)?

- Apakah ekstrak tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata) memiliki

daya hambat sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus?

1.3 Hipotesis

H0: Tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata) tidak memiliki kandungan

kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

H1: Tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata) memiliki kandungan kimia

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya

kandungan kimia yang dimiliki tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata)

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.4.2 Tujuan Khusus

2

Page 3: Palm Rumput 2

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1.4.2.1 Mengetahui kandungan kimia yang dimiliki tumbuhan rumput palem.

1.4.2.2 Membandingkan efektivitas antara ekstrak daun, buah, dan umbi

tumbuhan palm rumput palem dalam menghambat pertumbuhan

bakteri Staphylococcus aureus.

1.4.2.3 Membuktikan adanya efek daya hambat bakteri Staphylococcus

aureus dari ekstrak tumbuhan rumput palem pada berbagai

konsentrasi tertentu, terhadap daya hambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi peneliti

Hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi peneliti untuk mengetahui

kandungan kimia ekstrak rumput palem dan kemampuannya dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.5.2 Bagi Instansi terkait

Hasil penelitian dapat bemanfaat sebagai acuan atau laporan dalam

melihat kandungan kimia yang dimiliki tumbuhan rumput palem dan

kemampuanya untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus.

1.5.3 Bagi Program Studi Pendidikan Dokter

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kandungan

tumbuhan ruput palem dan efek yang ditimbulkan Tumbuhan rumput

palem dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

1.5.4 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat bahwa

obat tradisional yang digunkan tersebut terbukti khasiatnya dan dapat

didayah guna dalam penatalaksaanan penyakit akibat infeksi bakteri

Staphylococcus aureus.

3

Page 4: Palm Rumput 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus

Klasifikasi Staphylococcus aureus ( Kenneth, 2012) :

Kingdom: Bacteria

filum: Firmicutes

kelas: Bacilli

Ordo: Bacillales

4

Page 5: Palm Rumput 2

Famili: Staphylococcaceae

Genus: Staphylococcus

Spesies: Staphylococcus Aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram-positif bola yang terjadi

dalam kelompok mikroskopis menyerupai buah anggur. Bakteri ini merupakan

flora normal yang terdapat di hidung dan kulit manusia, meskipun bakteri ini

dapat bersifat patogen ( Kenneth, 2012). S. aureus memiliki bentuk bulat dengan

diameter 0,8-1mm, dapat dengan mudah tumbuh pada kebanyakan media

pembenihan yang bersifat aerobik atau mikroaerobik. Suhu yang paling tepat

untuk pembenihan S. aureus adalah pada suhu 37oC. Bentuk dan paling baik

membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25oC) dan pada media dengan pH 7,2-

7,4. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat, menonjol halus, berwarna

abu – abu sampai kuning tua keemasan (Jawetz.dkk., 2004)

S. aureus merupakan bakteri yang bersifat koagulase positif, hal inilah

yang membedakannya dengan spesies lainnya. S. aureus menjadi patogen

merupakan bakteri patogen utama bagi manusia dan hewan, sering menghemolisa

darah, dapat mengkoagulasi plasma, dan dapat menghasilkan toksin dan enzim

ekstraseluler. Bakteri ini mudah untuk menjadi resisten terhadap berbagai macam

antibiotik sehingga dapat menyebabkan masalah dalam pengobatannya

(Jawetz.dkk., 2004).

S. aureus dapat menyebabkan penyakit dimulai dari yang ringan sampai

yang berat bahkan dapat menyebabkan sepsis (Nascimento.dkk., 2000). Pada

penyakit yang ringan S. aureus dapat menyebabkan acne dan furunkulosis pada

kulit, infeksi pada tulang dapat menyebabkan peradangan tulang yang disebut

osteomielitis, Infeksi pada organ dapat menyebabkan endokarditis, pneumonia

dan berbagai macam infeksi berat lainya. Pada luka luka terbuka S. aureus juga

sering dapat menyebabkan infeksi (Lowy, 1998).

Faktor patogenitas S. aureus berhubungan dengan adanya produksi enzim

koagulase, yang membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Jawetz dkk,

5

Page 6: Palm Rumput 2

2004; Qahtani, 2004), selain itu S. aureus dibedakan dengan adanya fermentasi

mannitol pada Manitol Salt Agar (Sari, 2003). S. aureus juga dapat diisolasi

dengan media selektif seperti Baird Parker Agar, lipase salt mannitol agar,

DNAse Test (Kloos and Lambe, Jr., 1991; Qahtani, 2004). Penggunaan media

selektif sangat berguna untuk mengisolasi S. aureus dari sampel yang

terkontaminasi, namun menjadi tidak ekonomis sebab tidak bisa mendeteksi

bakteri lain sedangkan beberapa media umum secara rutin telah digunakan untuk

membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Boerlin.dkk., 2003).

2.2 Rumput palem (Molineria capitulata)

Klasifikasi tanaman rumput palem (Anonim, 2013) :

Kingdom : Plantae 

divisi : Magnoliophyta 

kelas : Liliopsida 

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae 

Genus : Molineria

Spesies : Molineria   capitulata  

6

Page 7: Palm Rumput 2

(foto. Rahmadinata, 2013)

Sinonim :

Curculigo capitulata (Anonim, 2013)

Nama lokal :

Conkok (sunda), bedur (jawa), nyeyor-nyeyoran (madura) (Wardani.dkk.,

2010).

Deskripsi :

Merupakan tumbuhan herba berambut, panjang mencapai 1,5 m. Panjang

tangkai daun mencapai 1 m; helaian daun berbentuk elips dengan ukuran 60-150

cm X 5-15cm, gundul. Tandan bunga berukuran 2,5-7cm X 2,5-7cm dengan

panjang pedunculus 7-30 cm, berambut halus sampai gundul saat berbuah. Buah

membulat sampai lonjong, panjang 10-15 mm berwarna hijau sampai keputihan,

rasa tidak begitu manis (Wardani.dkk., 2010).

Tempat tumbuh :

Di Jawa tumbuhan ini ditemukan pada hutan primer dan skunder pada

ketinggian mencapai 2000m (Wardani.dkk., 2010).

Persebaran :

7

Page 8: Palm Rumput 2

Tumbuhan ini tersebar di Asia selatan (India, Srilangka, Bangladesh,

Nepal) melalui asia tenggara ke Taiwan, Australia dan kepulauan Pasifik

(Solomon Island, Hawaii). Di Asia tenggara menyebar di semenanjung Malaysia,

Indonesia ( Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi), Singapura, Filipina, Papua

New Guinea (Wardani.dkk., 2010).

Perbanyakan :

Dilakukan dengan pembagian rimpang, umbi, menaburkan biji masak dan

segar. Membutuhkan Konsistensi tanah lembab dengan pH tanah agak asam 6,1-

6,5 atau netral 6,6-7,5 (Wardani.dkk., 2010).

2.3 Uji Aktivitas Antibakteri

Pada uji ini diukur respons pertumbuhan populasi mikroorganisme

terhadap agen antimikrob. Tujuan assay antimikrob (termasuk antibiotik dan

substansi antimikrob nonantibiotik, misalnya fenol, bisfenol, aldehid), adalah

untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa

antimikrob di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau

manusia, dan untuk memonitor dan mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji

antimikrob adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien.

Terdapat bermacam-macam metode uji antimikrob seperti yang dijelaskan berikut

ini (Pratiwi, 2008).

2.3.1 Metode Dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan

dilusi padat (solid dilution).

2.3.1.1 Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)

Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration) atau kadar

hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal concentration atau

kadar bunuh minim um, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri

8

Page 9: Palm Rumput 2

pengenceran agen antimikrob pada medium cair yang ditambahkan dengan

mikroba uji. Larutan uji agen antimikrob pada kadar terkecil yang terlihat jernih

tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan dengan KHM. Larutan yang

ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair

tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama

18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih seletah inkubasi ditetapkan

sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

2.3.1.2 Metode dilusi padat/ solid dilution test

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media

padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikrob

yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008)

2.3.2 Metode Difusi

2.3.2.1 E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory

concentration) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal

suatu agen antimikrob untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Pratiwi,

2008).

Pada metode ini digunakan strip plastic yang mengandung antigen

antimikrob dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan

media agar yang telah ditanami mikroba. Pengamatan dilakukan pada area jernih

yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikrob yang

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).

2.3.2.2 Ditch-plate technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikrob yang diletakkan pada

parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada

9

Page 10: Palm Rumput 2

bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam)

digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikrob (Pratiwi, 2008).

2.3.2.3 Cup-plate technique

Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur

pada media agar yang telah ditanami dengan mikroba dan pada sumur tersebut

diberi agen antimikrob yang akan diuji (Pratiwi, 2008).

2.3.2.4 Gradient-plate technique

Pada metode ini konsentrasi konsentrasi agen antimikrob pada media agar

secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan

larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri dan

diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang di atasnya

(Pratiwi, 2008).

Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikrob

berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam)

digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil

diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroba maksimum yang

memungkinkan dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan

(Pratiwi, 2008).

Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang didapat dari

lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen antimikrob dapat mempengaruhi

keseluruhan hasil pada media padat (Pratiwi, 2008).

2.3.2.5 Metode Disc Difussion (tes Kirby dan Bauer)

Metode ini untuk menentukan aktivitas agen antimikrob. Piringan yang

berisi agen antimikrob diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroba

yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasi adanya

hambatan pertumbuhan mikroba oleh agen antimikrob pada permukaan media

agar (Pratiwi, 2008).

10

Page 11: Palm Rumput 2

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikrob:

2.4.1 pH Lingkungan

.2.4.2 Komponen-komponen perbenihan

2.4.3 Stabilitas obat

2.4.4 Besarnya inokulum bakteri

2.4.5 Masa pengeraman

2.4.6 Aktivitas metabolik mikroba (Jawetz.dkk., 2004)

2.5. Uji Fitokimia dan Golongan Senyawa Metabolit Sekunder

2.5.1 Uji fitokimia

Uji fitokimia adalah uji yang dilakukan untuk menentukan ciri senyawa

aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukan oleh

ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis. Pemanfaatan prosedur

uji fitokimia telah mempunyai peranan yang baik dalam cabang ilmu tumbuhan.

Meskipun cara ini penting  dalam ldentifikasi kimia dan biokimia juga telah

dimanfaatkan dalam kajian biologis (Robinson, 1991).

Pada tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang

menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Bidang perhatiannya adalah aneka ragam

senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, mengenai struktur

kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara

ilmiah dan fungsi biologisnya (Harborne, 1987).

2.5.2 Golongan Senyawa Metabolit Sekunder

Metabolik sekunder adalah hasil metabolisme yang disintesis oleh beberapa

organisme tertentu yang tidak merupakan kebutuhan pokok untuk hidup dan

tumbuh dan dapat berfungsi sebagai nutrien darurat untuk pertahanan hidup

(Judoamdjojo, 1990). Pada penjelasan lain disebutkan pula bahwa metabolik

sekunder adalah bahan kimia non-nutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam

11

Page 12: Palm Rumput 2

lingkungan atau memainkan peranan penting dalam koeksistensi dan koevolusi

spesies (Sastrohamidjojo, 1996). senyawa metabolit sekunder yang umum

terdapat pada tanaman adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid

dan tannin (Harborne, 1987).

2.5.2.1 Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa  yang tersebar luas hampir pada

semua jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom

nitrogen yang biasanya bersifat basa dan membentuk cincin heterosiklik

(Harborne, 1987).

Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit kayu dari

tumbuh-tumbuhan. Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%.

Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam

pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik

aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan

(misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin.dkk., 1994).

2.5.2.2 Flavonoid

Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di

alam  terutama pada jaringan tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa ini merupakan

produk metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan terakumulasi dari tubuh

tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1991).

Flavonoid umumnya terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon

flavonoid. Uji warna yang penting dalam larutan alkohol ialah direduksi dengan

serbuk Mg dan HCl pekat. Diantara flavonoid hanya flavalon yang menghasilkan

warna merah ceri kuat (Harborne, 1987).

2.5.2.3 Terpenoid

Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat didalam

sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya diekstraksi memakai petrolium eter, eter atau

12

Page 13: Palm Rumput 2

kloroform dan dapat dipisahkan  secara  kromatografi pada silika gel dengan

pelarut ini (Harborne, 1987).

2.5.2.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin merupakan senyawa

aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan

kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel

darah merah (Harborne, 1987),. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis

sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang

dapat menyebabkan keracunan pada ternak (Robinson, 1991).

2.5.2.5 Tanin

Secara  kimia terdapat  dua jenis tanin, yaitu:

2.5.2.5.1      Tanin terkondensasi atau flavolan

Tersebar luas dalam tumbuhan angiospermae, terutama pada tumbuhan-

tumbuhan berkayu. Nama lainnya adalah proantosianidin karena bila direaksikan

dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus

dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Kebanyakan proantosianidin adalah

prosianidin karena bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin.

Proantosianidin dapat dideteksi  langsung dengan mencelupkan jaringan

tumbuhan ke dalam HCl 2M mendidih selama setengah jam yang akan

menghasilkan warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol.

Bila digunakan jaringan kering, hasil tanin agak berkurang karena terjadinya

pelekatan tanin pada tempatnya didalam sel (Harborne, 1987).

2.5.2.5.2     Tanin yang terhidrolisis

Terbatas pada tumbuhan berkeping dua. Terutama terdiri atas dua kelas,

yang paling sederhana adalah depsida galoiglukosa. Pada senyawa ini glukosa

dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. Jenis kedua, inti molekul berupa

senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat yang berikatan

dengan glukosa. Bila dihidrolisis menghasilkan asam angelat. Cara deteksi tanin

13

Page 14: Palm Rumput 2

terhidrolisis adalah dengan mengidentifikasi asam galat/asam elagat dalam ekstrak

eter atau etil asetat yang dipekatkan (Harborne, 1987).

2.6 Kerangka Pemikiran

2.6.1 Kerangka Teori

2.6.2 Kerangka Konsep

Bab III

METODOLOGI PENELITIAN

14

Antibakteri: Antibiotik dan

Antibakteri Herbal

Pertumbuhan dihambat atau

tidak

Staphylococcus

aureus

Antibakteri Herbal

Staphylococcus aureus

Uji Anktivitas Antibakteri; Metode Disc Difussion

Ekstrak tumbuhan

palm rumput

Prtumbuhan dihambat atau

tidak

Uji Fitokimia

Page 15: Palm Rumput 2

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian studi eksperimental ini dilakukan di Laboratorium mikrobiologi

Fakultas MIPA Universitas Bengkulu. Penelitian ini direncanakan akan

berlangsung selama 4 bulan (16 minggu), dimulai dari bulan April 2012 sampai

dengan Juli 2013.

Tabel 3.1 Alokasi waktu penelitian

No Kegiatan

April

2012

Mei

2013

Juni

2013

Juli

2013

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Studi Pendahuluan

2 Pengajuan Judul

3 Penyusunan proposal

penelitian

4 Pengajuan izin

penggunaan

laboratorium

5 Persiapan alat dan

bahan

6 Pengumpulan Data

Tabel 3.1 Lanjutan, Alokasi waktu penelitian

No Kegiatan April Mei Juni Juli

15

Page 16: Palm Rumput 2

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

7 Analisis data

dan pembahasan

8 Konsultasi

laporan

penelitian

9 Pelaporan hasil

penelitian

3.2 Alat dan Bahan yang Digunakan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini, meliputi: 1) Handscoon ; 2)

Pipet mikro; 3) Pipet tetes; 4) Pemanas, 5) Kertas saring whatman 3M; 6) Gelas

ukur; 7) Labu Erlenmeyer; 8) Tabung reaksi; 9) Pinset; 10) Cawan petri; 11)

Autoklaf; 12) Kawat ose; 13) Bunsen; 14) Pipet Pasteur; 16) Spuit 5 ml; 17)

Kertas kacang; 18) Laminar air flow; 19) Timer; 20) Lemari pendingin; 21)

Incubator; 22) Rotary vacum evaporator .

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain tumbuhan rumput

palem (daun, buah, umbi), aquadest, etanol 96%, asam sulfat 2 N, pereaksi

Dragendorff, pereaksi Meyer, dan perekasi Wagner, serbuk magnesium, amil

alkohol, alkohol, kloroform, anhidra asetat, FeCl3 1 % , nutrient broth (NB)

sebagai media cair, nutrient agar (NA) sebagai media padat, dan biakan bakteri

Staphylococcus aureus.

3.3 Desain Penelitian

16

Page 17: Palm Rumput 2

Jenis penelitian ini adalah studi analitik eksperimental laboratorium,

dilakukan pengujian fitokimia ekstrak tumbuh rumput palm dan pengujian

aktivitas antibakteri menggunakan uji difusi cakram (disk diffusion test). Metode

ini merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengamati aktivitas

antibakteri, dengan indikator adanya zona hambat yang terbentuk di sekitar area

perlakuan. Semakin besar efektivitas daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri,

maka zona hambat yang terbentuk juga akan semakin luas.

Studi eksperimental ini digunakan karena penelitian ini menguji

kandungan fitokimia dari tumbuhan rumput palem dan pengujian efek daya

hambat ekstrak tumbuhan rumput palem terhadap pertumbuhan in-vitro bakteri

Staphylococcus aureus, dalam beberapa variasi konsentrasi dari ekstrak tumbuhan

rumput palem yang diperoleh dari pengekstrakan batang, buah dan umbi setelah

melakukan uji Fitokimia sebelumnya.

Dalam menunjang validitas hasil penelitian, peneliti menggunakan data

primer. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran zona hambat pertumbuhan

bakteri Staphylococcus aureus yang terbentuk pada nutrient agar berdasarkan

konsetrasi ekstrak tersebut.

3.4 Teknik Penyedian Bahan

Sampel ekstrak rumput palem (daun, buah, umbi) yang digunakan pada

penelitian ini diperoleh dari tumbuhan rumput palem (daun, buah, umbi) yang

diperoleh dari wilayah Bengkulu. Pelarut yang digunakan untuk mendapatkan

adalah etanol 96 % untuk ekstrak daun dan aquadest untuk ekstrak buah dan umbi.

Biakan bakteri Staphylococcus aureus yang digunakan pada penelitian ini

diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Bengkulu.

3.5 Cara Kerja

3.5.1. Pensterilan peralatan

17

Page 18: Palm Rumput 2

Alat-alat yang akan digunakan pada penelitian ini akan disterilisasi dengan

menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15-20 menit (Irianto, 2007) .

3.5.2. Pembuatan ekstrak daun rumput palem

Setelah memilih daun rumput palem dicuci bersih lalu diangin-anginkan

pada tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung (Harborne, 1987).

Kemudian diblender sehingga menjadi serbuk sebanyak 300 gram dan direndam

selama tiga hari dalam pelarut etanol 96%. Penyarian dilakukan sebanyak 3 kali

pada filtrat. Ekstrak yang didapatkan diuapkan dalam penguap putar (Rotary

Vacum Evaporator) pada suhu 30 oC – 40 oC (Harborne, 1987).

3.5.3. Pembuatan ekstrak buah rumput palem

Setelah memilih buah rumput palem dicuci bersih kemudian ambil 300

gram buah rumput palem yang sudah diris-iris kemudian direndam dengan

aquadest (Hukmah, 2007 dalam Hidayah, 2009) dalam erlenmeyer dan diaduk

menggunakan shaker dengan kecepatan 120 (rpm rotation per minutes) selama 24

jam (Hartini, 2004 dalam Hidayah, 2009) Larutan Ekstrak buah rumput palem

disaring. Filtrat ekstrak buah rumput palem dipekatkan dengan rotatory vacum

evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat.

3.5.4. Pembuatan ekstrak umbi rumput palem

Setelah memilih umbi rumput palem dicuci bersih kemudian ambil 300

gram umbi rumput palem yang sudah diris-iris kemudian direndam dengan

aquadest (Hukmah, 2007 dalam Hidayah, 2009) dalam erlenmeyer dan diaduk

menggunakan shaker dengan kecepatan 120 rpm (rotation per minutes) selama 24

jam (Hartini, 2004 dalam Hidayah, 2009) Larutan Ekstrak umbi rumput palem

disaring. Filtrat ekstrak umbi rumput palem dipekatkan dengan rotatory vacum

evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat.

3.5.5 Uji Fitokimia

3.5.5.1 Uji Alkaloid

18

Page 19: Palm Rumput 2

Sejumlah sampel ekstrak dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem

dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga

peraksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan perekasi

Wagner. Hasil uji dinyatakan positif jika adanya endapan putih kekuningan untuk

pereaksi Meyer, endapan coklat untuk Wagner dan endapan merah jingga untuk

pereaksi Dragendorff (Harborne, 1987).

3.5.5.2 Uji Flavonoid

Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem ditambahkan

dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg dan 0,40 ml amil alkohol dan 4 ml

alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama).

Jika terbentuk warna merah, kuning, atau jingga menunjukkan adanya flavonoid

(Harborne, 1987).

3.5.5.3 Uji Saponin (Uji busa)

Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem dimasukan

kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan aquades dan disaring. Filtrat yang

disaring kocok kuat dan dibiarkan selama 10 menit jika terbentuk busa maka

saponin positif (Harborne, 1987).

3.5.5.4 Uji Steroid/triterpenoid

  Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem dilarutkan

dalam 2 ml kloroform dalam tabung rekasi yang kering. Lalu 10 tetes anhidra

asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat ditambahkan ke dalamnya. Jika larutan

berwarna merah yang terbentuk untuk pertama kali kemudian berubah menjadi

biru dan hijau menunjukan reaksi positif (Harborne, 1987).

3.5.5.5 Uji Tanin

19

Page 20: Palm Rumput 2

Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem dimasukan

kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan aquades dan disaring. Filtrat yang

disaring ditambahkan FeCl3 1 % jika terbantuknya warna biru atau hitam

kehijauan menunjukan adanya tanin (Harborne, 1987).

3.5.6 Pembuatan Media Tumbuh Bakteri

Media tumbuh bakteri yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari

media cair atau yang sering disebut NB (Nutrient Broth), dan media padat atau

yang sering disebut NA (Nutrient Agar). Media cair atau NB (Nutrient Broth)

digunakan untuk penyegaran bakteri, sedangkan Media padat atau (Nutrient Agar)

digunakan untuk pembiakan bakteri pada uji efektivitas nantinya.

Untuk media cair NB (Nutrient Broth): ditimbang sebanyak 8 gram serbuk

NB, kemudian dilarutkan dengan aquades pada volume 1 liter. Setelah itu, larutan

tersebut dipanaskan di atas hot plate sampai semua bahan larut dan homogen dan

dilakukan sterilisasi pada autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit. Setelah

dipanaskan, masukkan larutan tersebut ke dalam labu Erlenmeyer dan selanjutnya

disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121˚C selama 15 menit. Setelah itu,

masukkan galur murni bakteri S. aureus ke dalam media cair tersebut dan

diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.

Untuk media padat NA (Nutrient Agar): ditimbang sebanyak 23 gram

serbuk NA, kemudian dilarutkan dengan aquades pada volume 1 liter. Kemudian

larutan tersebut dipanaskan di atas hot plate sampai semua bahan larut dan

homogen. Setelah dipanaskan, masukkan larutan tersebut ke dalam labu

Erlenmeyer dan selanjutnya disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121˚C

selama 15 menit. Setelah itu, tuangkan NA secara aseptic pada cawan petri, dan.

Setelah sterilisasi didinginkan hingga menjadi padat di tempat yang steril dan

tertutup.

3.5.7 Pembuatan Suspensi Bakteri

20

Page 21: Palm Rumput 2

Pembuatan suspensi bakteri dilakukan untuk perbanyakan stok, dengan

cara menginokulasikan 1 ose biakan murni ke dalam 5 ml Nutrient Broth (NB),

kemudian diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam di dalam inkubator.

3.5.8 Uji Inhibitor Concentation

Pada uji inhibitor concentration dilakukan pengamatan pada konsentrasi

berapa yang memiliki daya hambat 70 -80% pada masing – masing perlakukan

ekstrak rumput palem. Pembuatan konsentrasi dilakukan dengan cara

pengenceran, pengenceran dimulai dari variasi konsentrasi 0% sampai 100%.

Untuk pembuatan 10% ekstrak etanol 96% daun rumput palem diambil ekstrak

kental daun rumput palem sebanyak 0,5 gram, ekstrak daun rumput palem

kemudian dilarutkan dengan aquades sampai 5 ml begitu seterusnya pada

konsentrasi lain sampai konsentrasi 100%. Sedangkan untuk pembuatan variasi

konsentrasi dari ekstrak umbi dan buah dilakukan dengan cara yang sama,

sehingga didapatkan variasi konsentrasi yang sama dengan ekstrak daun rumput

palem. Dari pengenceran didapatkan variasi konsentrasi seperti dibawah ini :

3.5.8.1. Ekstrak daun rumput palem (larutan A)

A1 : 0 %

A2 : 10 %

A3 : 20 %

A4 : 30 %

A5 : 40 %

A6 : 50 %

3.5.8.2 Ekstrak umbi rumput palem (larutan B)

B1 : 0 %

B2 : 10 %

B3 : 20 %

B4 : 30 %

21

A7 : 60 %

A8 : 70 %

A9 : 80%

A10 : 90 %

A11 : 100 %

B7 : 60 %

B8 : 70 %

B9 : 80%

B10 : 60 %

B11 : 70 %

Page 22: Palm Rumput 2

B5 : 40 %

B6 : 50 %

3.5.8.3 Ekstrak buah rumput palem (larutan C)

C1 : 0 %

C2 : 10 %

C3 : 20 %

C4 : 30 %

C5 : 40 %

C6 : 50 %

Selanjutnya setelah didapatkan variasi konsentrasi dilakukan penentuan uji inhibitor concentration dengan cara pengamatan zona bening yang timbul di sekitar biakan bakteri pada media NA setelah di diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o C. Dari hasil penentuan inhibitor concentration dilakukan uji efektifitas antibakterinya.

3.5.9 Pengujian Aktivitas Antibakteri

Setelah dilakukan uji inhibitor concentration akan didapatkan konsentrasi

yang daya hambatnya 70-80 %, kemudian diambil 6 perlakuan konsentrasi yang

mendekati nilai daya hambat 70-80 % tersebut. Untuk pengujian aktivitas

antibakteri dilakukan dengan uji difusi cakram (disk diffusion test) yang terdiri

dari 44 perlakuan dan 3 kali pengulangan. Beberapa perlakuan pada pengujian

aktivitas antibakteri ini, diantaranya:

3.5.9.1 Perlakuan ekstrak daun rumput palem dengan konsentrasi daya hambat

yang paling baik mendekati angka 70 – 80 % setalah uji inhibitor

concentration ( dikodekan sebagai larutan R4). Kemudian buat

pengenceran ke konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dengan jarak 7,5 %

( dikodekan sebagi larutan R2, R3 < R4 > R5, R6. Dan R1 = 0 %)

3.5.9.2 Perlakuan ekstrak umbi rumput palem dengan konsentrasi daya hambat

yang paling baik mendekati angka 70 – 80 % setalah uji inhibitor

22

C7 : 60 %

C8 : 70 %

C9 : 80%

C10 : 90 %

C11 : 100 %

Page 23: Palm Rumput 2

concentration ( dikodekan sebagai larutan S4). Kemudian buat

pengenceran ke konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dengan jarak 7,5 %

( dikodekan sebagi larutan S2, S3 < S4 > S5, S6. Dan S1 = 0 %)

3.5.9.3 Perlakuan ekstrak buah rumput palem dengan konsentrasi daya hambat

yang paling baik mendekati angka 70 – 80 % setalah uji inhibitor

concentration ( dikodekan sebagai larutan T4). Kemudian buat

pengenceran ke konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dengan jarak 7,5 %

( dikodekan sebagi larutan T2, T3 < T4 > T5, T6. Dan T1 = 0 %).

3.5.9.4 Perlakuan antibiotik: antibiotik yang digunakan adalah Gentamicin.

3.5.9.5 Perlakuan kombinasi :

Tabel 3.2 Perlakuan kombinasi ekstrak rumput palem

R2 R3 R4 R5 R6

S2

R2S2T2 R3S2T2 R4S2T2 R5S2T2 R6S2T2 T2

S3

R2S3T3 R3S3T3 R4S3T3 R5S3T3 R6S3T3 T3

S4

R2S4T4 R3S4T4 R4S4T4 R5S4T4 56S4T4 T4

S5

R2S5T5 R3S5T5 R4S5T5 R5S5T5 R6S5T5 T5

S6

R2S6T6 R3S6T6 R4S6T6 R5S6T6 R6S6T6 T6

3.5.9.6 Setiap perlakuan ini akan diuji dengan cara :

3.5.9.6.1 Inokulasikan suspensi bakteri pada nutrient agar yang telah memadat,

dan ratakan menggunakan pipet Pasteur yang telah dilengkungkan.

23

Page 24: Palm Rumput 2

3.5.9.6.2Meletakkan kertas 3 saring yang berdiameter 6 ml (sebagai cakram) di

atas permukaan nutrient agar yang telah diinokulasi bakteri

Staphylococcus aureus tersebut pada cawan petri.

3.5.9.6.3 Teteskan 20 μl masing-masing larutan pada perlakuan tersebut di salah

satu kertas saring (langkah 2 dan langkah 3 harus sudah selesai

dilakukan setelah 15 menit langkah 1).

3.5.9.6.4 Inkubasi agar tersebut pada suhu 37oC selama 24 jam.

3.5.10. Penghitungan Zona Hambat

Penghitungan zona hambat degan cara disk difusi di ukur dengan

penggaris. Adanya area jernih mengindikasi adanya hambatan pertumbuhan

mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar. Hambatan

akan terlihat sebagai area yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus di sekitar cakram. Perhitungan diameter daya hambat

termasuk diameter cakram kertas saring (6 mm).

Tabel 3.3 Ketentuan kekuatan anti bakteri

No Daerah hambatan Ketentuan

1 > 20 mm Sangat kuat

2 10-20 mm Kuat

3 5-10 mm Sedang

5 < 5mm Lemah

Sumber: (Stout dalam Ardinsyah, 2005)

24

Page 25: Palm Rumput 2

3.6 Identifikasi Variabel

Variabel bebas pada penelitian ini adalah penambahan berbagai variasi

konsentrasi ekstrak-ekstrak tersebut pada inokulasi bakteri Staphylococcus aureus

di nutrient agar. Skala variabel yang digunakan pada variabel terikat ini adalah

skala rasio-kontinu. Variabel terikat pada penelitian ini adalah zona hambat yang

terbentuk di sekitar cakram pada perlakuan variasi konsentrasi ekstrak tersebut.

3.7 Analisis Masalah

Hasil pengukuran zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram yang

ditetesi barbagai variasi konsentrasi eksrtak tersebut, ditampilkan dalam bentuk

tabel dan grafik. Kemudian, untuk ekstrak daun, umbi dan buah rumput palem

data tersebut dianalisis dengan uji statistik menggunakan metode Anova One Way

( Analisis Varian Satu Arah) dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur, untuk

mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki pengaruh sama atau

berbeda antara satu dengan yang lainya. Sementara untuk perlakuan kombinasi

dilakukan uji statistik menggunakan metode Anova faktor acak lengkap, dan

dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (Kusriningrum, 2010).

25

Page 26: Palm Rumput 2

Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Classification for Kingdom Plantae Down to Species Curculigo capitulata (Lour.) Kuntze. USDA (online) http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol=CUCA3&display=31. Diakses 7 mei 2013

Ardiansyah.2005. Daun Bluntas sebagai Bahan Antibakteri dan Antioksidan (online).http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2005-03-31-Daun-Bluntas-Sebagai-Bahan-Antibakteri-dan-Antioksidan.shtml . Diakses tanggal 4 Mei 2013

Boerlin, P., P. Kuhnert, D. Hussy and M. Schaellibaum. 2003. Methods for Identification of Staphylococcus aureus Isolates in Cases of Bovine Mastitis. Journal of Clinical Microbiology. American Society for Microbiology. 41 (2): 767 - 769.

Hariana,H.Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.cet 5 – Jakarta: Penebar Swadaya.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Jilid II. Bandung: Penerbit ITB.

Hartini,S.2004. Daya Antibakteri Campuran Ekstrak Buah Adas dan Kulit Batang Pula Sari. Dalam: Hidayati, Nurul.2009. Uji Efektifitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Teh (Camellia Sinensis L,v.assamica) Tua Hasil Ekstraksi menggunakan Pelarut Aquadest dan Etanol.UINM. Malang.

Hukmah,S.2007. Aktivitas Antioksidan Katekin dari Teh Hijau Hasil Ekstraksi dengan Variasi Pelarut Suhu. Dalam: Hidayati, Nurul.2009. Uji Efektifitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Teh (Camellia Sinensis L,v.assamica) Tua Hasil Ekstraksi menggunakan Pelarut Aquadest dan Etanol.UINM. Malang.

Irianto K.2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid I. Bandung: YramaWidya. p: 87.

Judoamidjojo M., Darwis A.A., Gumbira E., 1990. Teknologi Fermentasi. IPB. Bogor.

Jawetz,E.,J.L.Melnick, Adelberg. 2008 . Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XXIII. Jakarta: EGC.

26

Page 27: Palm Rumput 2

Kenneth, T. 2012. Todar's Online Textbook of Bacteriology. www.textbookofbacteriology.net. Diakses tanggal 25 april 2013

Kloos, W. E. and D. W. Lambe, Jr. 1991. Staphylococcus. In: A. Balows, W. J. Hausler, Jr., K. L. Herrmann, H. D. Isenberg, H. J. Shadomy (Eds.). Manual of Clinical Microbiology. 5th ed. American Society for Microbiology. Washington, DC. USA. 222 - 232.

Kusriningrum, R.S. 2010. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya. 213 -215.

Lowy,D.Franklin. 1998. Staphylococcus aureus Infection. The new england of journal of medicine. Diakses 23 April 2013.

Nascimento.G.F.Gislene, Juliana Localleti, Paulo C. Freitas, Giuliani L. Silva. 2000. Antibacterial activity of plant extracts and phytochemicals on Antibiotic Resistence Bacteria. Brazilian Journal of microbiology.

Pratiwi ST .2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. pp: 188-191.

Qahtani . Bello, C. S. S. 2005. Pitfalls in the Routine Diagnosis of Staphylococcus aureus. African Journal of Biotechnology. 4 (1): 83 - 86.

Rahmadinata, R. 2013. Foto Pribadi Molineria capitulata. Bengkulu.

Robinson, T., 1991. The Organic Constituen of HigherPlants. 6th Edition. Department of Biochemistry. University of Massachusetts.

Sabirin, M., Hardjono S., dan Respati S., 1994. Pengantar Praktikum Kimia Organik II.UGM-Yogyakarta.

Sari, R. W. 2003. Pengaruh Pemberian Gerusan Daun Sirih Hitam, Gerusan Daun Sirih Jawa dan Oksitetrasiklin Secara Topikal Terhadap Lama dan Waktu Kesembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus Putih. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Sastrohamidjojo, H., 1996. Sintesis Bahan Alam. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta.

Wardani.M,Kalima.T.,Yafid.2010. Eksplorasi Jenis-Jenis Tumbuhan Hutan Sumber Pangan Berdasarkan Topologi Hutan. Bogor: Kementrian Kehutanan.pdf- diakses 2013.

27

Page 28: Palm Rumput 2

Proposal Penelitian

Uji Fitokimia Ekstrak dan Uji Antibakteri Tumbuhan Rumput Palem (Molineria capitulata) terhadap Bakteri

Staphylococcus aureus

Nama: Reza Rahmadinata

NPM: H1A009038

Program Studi Pendidikan Dokter

Universitas Bengkulu

2013

28