Palm Rumput 2
-
Upload
tarafitrah -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
description
Transcript of Palm Rumput 2
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Tinea krusis adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum, dan sekitar
anus. Kelainan ini disebabkan oleh infeksi Trichophyton rubrum ( Djuanda. Dkk.,
2010 ). Trichophyton rubrum
Saat ini penelitian tentang tumbuhan obat tradisional sudah sangat
berkembang, hal ini disebabkan oleh mulai sadarnya dan munculnya pemikiran
dimasyarakat untuk mengurangi pengunaan obat-obatan kimia. Hal ini disadari
karena penggunaan obat kimia yang harganya relatif mahal dan mengingat efek
samping dari obat-obatan kimia tersebut juga dapat mendatangkan masalah baru
bagi kesahatan pengguna obat-obatan itu sendiri.
Tumbuhan obat tradisional adalah obat-obatan yang berasal dari bahan-
bahan atau tumbuhan alami yang diolah secara tradisional, turun-temurun,
berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
setempat, baik bersifat magis maupun berasal dari pengetahuan tradisional.
Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi
kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau
masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Beberapa perusahaan telah
melakukan pengolahan terhadap obat-obatan tradisional yang kemudian
dimodifikasi lebih lanjut.
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang No.381 tahun 2007 tentang Kebijakan Obat
Tradisional Nasional. Di dalam salah satu subsistem SKN (Sistem Kesehatan
Nasional) disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional
ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki
khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk
1
pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan
kesehatan formal. Penggunaan obat tradisional di Indonesia merupakan bagian
dari budaya bangsa dan banyak dimanfaatkan masyarakat sejak berabad-abad
yang lalu. Namun demikian pada umumnya efektivitas dan keamanannya belum
sepenuhnya didukung oleh penelitian yang memadai.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
- Apakah kandungan kimia ekstrak rumput palem (Molineria capitulata)?
- Apakah ekstrak tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata) memiliki
daya hambat sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus?
1.3 Hipotesis
H0: Tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata) tidak memiliki kandungan
kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
H1: Tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata) memiliki kandungan kimia
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
kandungan kimia yang dimiliki tumbuhan rumput palem (Molineria capitulata)
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
1.4.2 Tujuan Khusus
2
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1.4.2.1 Mengetahui kandungan kimia yang dimiliki tumbuhan rumput palem.
1.4.2.2 Membandingkan efektivitas antara ekstrak daun, buah, dan umbi
tumbuhan palm rumput palem dalam menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus.
1.4.2.3 Membuktikan adanya efek daya hambat bakteri Staphylococcus
aureus dari ekstrak tumbuhan rumput palem pada berbagai
konsentrasi tertentu, terhadap daya hambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi peneliti
Hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi peneliti untuk mengetahui
kandungan kimia ekstrak rumput palem dan kemampuannya dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
1.5.2 Bagi Instansi terkait
Hasil penelitian dapat bemanfaat sebagai acuan atau laporan dalam
melihat kandungan kimia yang dimiliki tumbuhan rumput palem dan
kemampuanya untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus.
1.5.3 Bagi Program Studi Pendidikan Dokter
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kandungan
tumbuhan ruput palem dan efek yang ditimbulkan Tumbuhan rumput
palem dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
1.5.4 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat bahwa
obat tradisional yang digunkan tersebut terbukti khasiatnya dan dapat
didayah guna dalam penatalaksaanan penyakit akibat infeksi bakteri
Staphylococcus aureus.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Staphylococcus aureus
Klasifikasi Staphylococcus aureus ( Kenneth, 2012) :
Kingdom: Bacteria
filum: Firmicutes
kelas: Bacilli
Ordo: Bacillales
4
Famili: Staphylococcaceae
Genus: Staphylococcus
Spesies: Staphylococcus Aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram-positif bola yang terjadi
dalam kelompok mikroskopis menyerupai buah anggur. Bakteri ini merupakan
flora normal yang terdapat di hidung dan kulit manusia, meskipun bakteri ini
dapat bersifat patogen ( Kenneth, 2012). S. aureus memiliki bentuk bulat dengan
diameter 0,8-1mm, dapat dengan mudah tumbuh pada kebanyakan media
pembenihan yang bersifat aerobik atau mikroaerobik. Suhu yang paling tepat
untuk pembenihan S. aureus adalah pada suhu 37oC. Bentuk dan paling baik
membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25oC) dan pada media dengan pH 7,2-
7,4. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat, menonjol halus, berwarna
abu – abu sampai kuning tua keemasan (Jawetz.dkk., 2004)
S. aureus merupakan bakteri yang bersifat koagulase positif, hal inilah
yang membedakannya dengan spesies lainnya. S. aureus menjadi patogen
merupakan bakteri patogen utama bagi manusia dan hewan, sering menghemolisa
darah, dapat mengkoagulasi plasma, dan dapat menghasilkan toksin dan enzim
ekstraseluler. Bakteri ini mudah untuk menjadi resisten terhadap berbagai macam
antibiotik sehingga dapat menyebabkan masalah dalam pengobatannya
(Jawetz.dkk., 2004).
S. aureus dapat menyebabkan penyakit dimulai dari yang ringan sampai
yang berat bahkan dapat menyebabkan sepsis (Nascimento.dkk., 2000). Pada
penyakit yang ringan S. aureus dapat menyebabkan acne dan furunkulosis pada
kulit, infeksi pada tulang dapat menyebabkan peradangan tulang yang disebut
osteomielitis, Infeksi pada organ dapat menyebabkan endokarditis, pneumonia
dan berbagai macam infeksi berat lainya. Pada luka luka terbuka S. aureus juga
sering dapat menyebabkan infeksi (Lowy, 1998).
Faktor patogenitas S. aureus berhubungan dengan adanya produksi enzim
koagulase, yang membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Jawetz dkk,
5
2004; Qahtani, 2004), selain itu S. aureus dibedakan dengan adanya fermentasi
mannitol pada Manitol Salt Agar (Sari, 2003). S. aureus juga dapat diisolasi
dengan media selektif seperti Baird Parker Agar, lipase salt mannitol agar,
DNAse Test (Kloos and Lambe, Jr., 1991; Qahtani, 2004). Penggunaan media
selektif sangat berguna untuk mengisolasi S. aureus dari sampel yang
terkontaminasi, namun menjadi tidak ekonomis sebab tidak bisa mendeteksi
bakteri lain sedangkan beberapa media umum secara rutin telah digunakan untuk
membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Boerlin.dkk., 2003).
2.2 Rumput palem (Molineria capitulata)
Klasifikasi tanaman rumput palem (Anonim, 2013) :
Kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta
kelas : Liliopsida
Ordo : Liliales
Famili : Liliaceae
Genus : Molineria
Spesies : Molineria capitulata
6
(foto. Rahmadinata, 2013)
Sinonim :
Curculigo capitulata (Anonim, 2013)
Nama lokal :
Conkok (sunda), bedur (jawa), nyeyor-nyeyoran (madura) (Wardani.dkk.,
2010).
Deskripsi :
Merupakan tumbuhan herba berambut, panjang mencapai 1,5 m. Panjang
tangkai daun mencapai 1 m; helaian daun berbentuk elips dengan ukuran 60-150
cm X 5-15cm, gundul. Tandan bunga berukuran 2,5-7cm X 2,5-7cm dengan
panjang pedunculus 7-30 cm, berambut halus sampai gundul saat berbuah. Buah
membulat sampai lonjong, panjang 10-15 mm berwarna hijau sampai keputihan,
rasa tidak begitu manis (Wardani.dkk., 2010).
Tempat tumbuh :
Di Jawa tumbuhan ini ditemukan pada hutan primer dan skunder pada
ketinggian mencapai 2000m (Wardani.dkk., 2010).
Persebaran :
7
Tumbuhan ini tersebar di Asia selatan (India, Srilangka, Bangladesh,
Nepal) melalui asia tenggara ke Taiwan, Australia dan kepulauan Pasifik
(Solomon Island, Hawaii). Di Asia tenggara menyebar di semenanjung Malaysia,
Indonesia ( Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi), Singapura, Filipina, Papua
New Guinea (Wardani.dkk., 2010).
Perbanyakan :
Dilakukan dengan pembagian rimpang, umbi, menaburkan biji masak dan
segar. Membutuhkan Konsistensi tanah lembab dengan pH tanah agak asam 6,1-
6,5 atau netral 6,6-7,5 (Wardani.dkk., 2010).
2.3 Uji Aktivitas Antibakteri
Pada uji ini diukur respons pertumbuhan populasi mikroorganisme
terhadap agen antimikrob. Tujuan assay antimikrob (termasuk antibiotik dan
substansi antimikrob nonantibiotik, misalnya fenol, bisfenol, aldehid), adalah
untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa
antimikrob di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau
manusia, dan untuk memonitor dan mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji
antimikrob adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien.
Terdapat bermacam-macam metode uji antimikrob seperti yang dijelaskan berikut
ini (Pratiwi, 2008).
2.3.1 Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan
dilusi padat (solid dilution).
2.3.1.1 Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)
Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration) atau kadar
hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal concentration atau
kadar bunuh minim um, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri
8
pengenceran agen antimikrob pada medium cair yang ditambahkan dengan
mikroba uji. Larutan uji agen antimikrob pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan dengan KHM. Larutan yang
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair
tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama
18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih seletah inkubasi ditetapkan
sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
2.3.1.2 Metode dilusi padat/ solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikrob
yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008)
2.3.2 Metode Difusi
2.3.2.1 E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory
concentration) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal
suatu agen antimikrob untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Pratiwi,
2008).
Pada metode ini digunakan strip plastic yang mengandung antigen
antimikrob dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan
media agar yang telah ditanami mikroba. Pengamatan dilakukan pada area jernih
yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikrob yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).
2.3.2.2 Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikrob yang diletakkan pada
parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada
9
bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam)
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikrob (Pratiwi, 2008).
2.3.2.3 Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur
pada media agar yang telah ditanami dengan mikroba dan pada sumur tersebut
diberi agen antimikrob yang akan diuji (Pratiwi, 2008).
2.3.2.4 Gradient-plate technique
Pada metode ini konsentrasi konsentrasi agen antimikrob pada media agar
secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan
larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri dan
diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang di atasnya
(Pratiwi, 2008).
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikrob
berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam)
digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil
diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroba maksimum yang
memungkinkan dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan
(Pratiwi, 2008).
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang didapat dari
lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen antimikrob dapat mempengaruhi
keseluruhan hasil pada media padat (Pratiwi, 2008).
2.3.2.5 Metode Disc Difussion (tes Kirby dan Bauer)
Metode ini untuk menentukan aktivitas agen antimikrob. Piringan yang
berisi agen antimikrob diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroba
yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasi adanya
hambatan pertumbuhan mikroba oleh agen antimikrob pada permukaan media
agar (Pratiwi, 2008).
10
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikrob:
2.4.1 pH Lingkungan
.2.4.2 Komponen-komponen perbenihan
2.4.3 Stabilitas obat
2.4.4 Besarnya inokulum bakteri
2.4.5 Masa pengeraman
2.4.6 Aktivitas metabolik mikroba (Jawetz.dkk., 2004)
2.5. Uji Fitokimia dan Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
2.5.1 Uji fitokimia
Uji fitokimia adalah uji yang dilakukan untuk menentukan ciri senyawa
aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukan oleh
ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis. Pemanfaatan prosedur
uji fitokimia telah mempunyai peranan yang baik dalam cabang ilmu tumbuhan.
Meskipun cara ini penting dalam ldentifikasi kimia dan biokimia juga telah
dimanfaatkan dalam kajian biologis (Robinson, 1991).
Pada tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang
menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Bidang perhatiannya adalah aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, mengenai struktur
kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara
ilmiah dan fungsi biologisnya (Harborne, 1987).
2.5.2 Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
Metabolik sekunder adalah hasil metabolisme yang disintesis oleh beberapa
organisme tertentu yang tidak merupakan kebutuhan pokok untuk hidup dan
tumbuh dan dapat berfungsi sebagai nutrien darurat untuk pertahanan hidup
(Judoamdjojo, 1990). Pada penjelasan lain disebutkan pula bahwa metabolik
sekunder adalah bahan kimia non-nutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam
11
lingkungan atau memainkan peranan penting dalam koeksistensi dan koevolusi
spesies (Sastrohamidjojo, 1996). senyawa metabolit sekunder yang umum
terdapat pada tanaman adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid
dan tannin (Harborne, 1987).
2.5.2.1 Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada
semua jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom
nitrogen yang biasanya bersifat basa dan membentuk cincin heterosiklik
(Harborne, 1987).
Alkaloid dapat ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit kayu dari
tumbuh-tumbuhan. Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%.
Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam
pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik
aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan
(misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin.dkk., 1994).
2.5.2.2 Flavonoid
Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di
alam terutama pada jaringan tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa ini merupakan
produk metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan terakumulasi dari tubuh
tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1991).
Flavonoid umumnya terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon
flavonoid. Uji warna yang penting dalam larutan alkohol ialah direduksi dengan
serbuk Mg dan HCl pekat. Diantara flavonoid hanya flavalon yang menghasilkan
warna merah ceri kuat (Harborne, 1987).
2.5.2.3 Terpenoid
Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat didalam
sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya diekstraksi memakai petrolium eter, eter atau
12
kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel dengan
pelarut ini (Harborne, 1987).
2.5.2.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin merupakan senyawa
aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel
darah merah (Harborne, 1987),. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis
sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang
dapat menyebabkan keracunan pada ternak (Robinson, 1991).
2.5.2.5 Tanin
Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu:
2.5.2.5.1 Tanin terkondensasi atau flavolan
Tersebar luas dalam tumbuhan angiospermae, terutama pada tumbuhan-
tumbuhan berkayu. Nama lainnya adalah proantosianidin karena bila direaksikan
dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus
dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Kebanyakan proantosianidin adalah
prosianidin karena bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin.
Proantosianidin dapat dideteksi langsung dengan mencelupkan jaringan
tumbuhan ke dalam HCl 2M mendidih selama setengah jam yang akan
menghasilkan warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol.
Bila digunakan jaringan kering, hasil tanin agak berkurang karena terjadinya
pelekatan tanin pada tempatnya didalam sel (Harborne, 1987).
2.5.2.5.2 Tanin yang terhidrolisis
Terbatas pada tumbuhan berkeping dua. Terutama terdiri atas dua kelas,
yang paling sederhana adalah depsida galoiglukosa. Pada senyawa ini glukosa
dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. Jenis kedua, inti molekul berupa
senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat yang berikatan
dengan glukosa. Bila dihidrolisis menghasilkan asam angelat. Cara deteksi tanin
13
terhidrolisis adalah dengan mengidentifikasi asam galat/asam elagat dalam ekstrak
eter atau etil asetat yang dipekatkan (Harborne, 1987).
2.6 Kerangka Pemikiran
2.6.1 Kerangka Teori
2.6.2 Kerangka Konsep
Bab III
METODOLOGI PENELITIAN
14
Antibakteri: Antibiotik dan
Antibakteri Herbal
Pertumbuhan dihambat atau
tidak
Staphylococcus
aureus
Antibakteri Herbal
Staphylococcus aureus
Uji Anktivitas Antibakteri; Metode Disc Difussion
Ekstrak tumbuhan
palm rumput
Prtumbuhan dihambat atau
tidak
Uji Fitokimia
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian studi eksperimental ini dilakukan di Laboratorium mikrobiologi
Fakultas MIPA Universitas Bengkulu. Penelitian ini direncanakan akan
berlangsung selama 4 bulan (16 minggu), dimulai dari bulan April 2012 sampai
dengan Juli 2013.
Tabel 3.1 Alokasi waktu penelitian
No Kegiatan
April
2012
Mei
2013
Juni
2013
Juli
2013
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Studi Pendahuluan
2 Pengajuan Judul
3 Penyusunan proposal
penelitian
4 Pengajuan izin
penggunaan
laboratorium
5 Persiapan alat dan
bahan
6 Pengumpulan Data
Tabel 3.1 Lanjutan, Alokasi waktu penelitian
No Kegiatan April Mei Juni Juli
15
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
7 Analisis data
dan pembahasan
8 Konsultasi
laporan
penelitian
9 Pelaporan hasil
penelitian
3.2 Alat dan Bahan yang Digunakan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini, meliputi: 1) Handscoon ; 2)
Pipet mikro; 3) Pipet tetes; 4) Pemanas, 5) Kertas saring whatman 3M; 6) Gelas
ukur; 7) Labu Erlenmeyer; 8) Tabung reaksi; 9) Pinset; 10) Cawan petri; 11)
Autoklaf; 12) Kawat ose; 13) Bunsen; 14) Pipet Pasteur; 16) Spuit 5 ml; 17)
Kertas kacang; 18) Laminar air flow; 19) Timer; 20) Lemari pendingin; 21)
Incubator; 22) Rotary vacum evaporator .
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain tumbuhan rumput
palem (daun, buah, umbi), aquadest, etanol 96%, asam sulfat 2 N, pereaksi
Dragendorff, pereaksi Meyer, dan perekasi Wagner, serbuk magnesium, amil
alkohol, alkohol, kloroform, anhidra asetat, FeCl3 1 % , nutrient broth (NB)
sebagai media cair, nutrient agar (NA) sebagai media padat, dan biakan bakteri
Staphylococcus aureus.
3.3 Desain Penelitian
16
Jenis penelitian ini adalah studi analitik eksperimental laboratorium,
dilakukan pengujian fitokimia ekstrak tumbuh rumput palm dan pengujian
aktivitas antibakteri menggunakan uji difusi cakram (disk diffusion test). Metode
ini merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengamati aktivitas
antibakteri, dengan indikator adanya zona hambat yang terbentuk di sekitar area
perlakuan. Semakin besar efektivitas daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri,
maka zona hambat yang terbentuk juga akan semakin luas.
Studi eksperimental ini digunakan karena penelitian ini menguji
kandungan fitokimia dari tumbuhan rumput palem dan pengujian efek daya
hambat ekstrak tumbuhan rumput palem terhadap pertumbuhan in-vitro bakteri
Staphylococcus aureus, dalam beberapa variasi konsentrasi dari ekstrak tumbuhan
rumput palem yang diperoleh dari pengekstrakan batang, buah dan umbi setelah
melakukan uji Fitokimia sebelumnya.
Dalam menunjang validitas hasil penelitian, peneliti menggunakan data
primer. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran zona hambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus yang terbentuk pada nutrient agar berdasarkan
konsetrasi ekstrak tersebut.
3.4 Teknik Penyedian Bahan
Sampel ekstrak rumput palem (daun, buah, umbi) yang digunakan pada
penelitian ini diperoleh dari tumbuhan rumput palem (daun, buah, umbi) yang
diperoleh dari wilayah Bengkulu. Pelarut yang digunakan untuk mendapatkan
adalah etanol 96 % untuk ekstrak daun dan aquadest untuk ekstrak buah dan umbi.
Biakan bakteri Staphylococcus aureus yang digunakan pada penelitian ini
diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Bengkulu.
3.5 Cara Kerja
3.5.1. Pensterilan peralatan
17
Alat-alat yang akan digunakan pada penelitian ini akan disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15-20 menit (Irianto, 2007) .
3.5.2. Pembuatan ekstrak daun rumput palem
Setelah memilih daun rumput palem dicuci bersih lalu diangin-anginkan
pada tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung (Harborne, 1987).
Kemudian diblender sehingga menjadi serbuk sebanyak 300 gram dan direndam
selama tiga hari dalam pelarut etanol 96%. Penyarian dilakukan sebanyak 3 kali
pada filtrat. Ekstrak yang didapatkan diuapkan dalam penguap putar (Rotary
Vacum Evaporator) pada suhu 30 oC – 40 oC (Harborne, 1987).
3.5.3. Pembuatan ekstrak buah rumput palem
Setelah memilih buah rumput palem dicuci bersih kemudian ambil 300
gram buah rumput palem yang sudah diris-iris kemudian direndam dengan
aquadest (Hukmah, 2007 dalam Hidayah, 2009) dalam erlenmeyer dan diaduk
menggunakan shaker dengan kecepatan 120 (rpm rotation per minutes) selama 24
jam (Hartini, 2004 dalam Hidayah, 2009) Larutan Ekstrak buah rumput palem
disaring. Filtrat ekstrak buah rumput palem dipekatkan dengan rotatory vacum
evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat.
3.5.4. Pembuatan ekstrak umbi rumput palem
Setelah memilih umbi rumput palem dicuci bersih kemudian ambil 300
gram umbi rumput palem yang sudah diris-iris kemudian direndam dengan
aquadest (Hukmah, 2007 dalam Hidayah, 2009) dalam erlenmeyer dan diaduk
menggunakan shaker dengan kecepatan 120 rpm (rotation per minutes) selama 24
jam (Hartini, 2004 dalam Hidayah, 2009) Larutan Ekstrak umbi rumput palem
disaring. Filtrat ekstrak umbi rumput palem dipekatkan dengan rotatory vacum
evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat.
3.5.5 Uji Fitokimia
3.5.5.1 Uji Alkaloid
18
Sejumlah sampel ekstrak dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem
dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga
peraksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan perekasi
Wagner. Hasil uji dinyatakan positif jika adanya endapan putih kekuningan untuk
pereaksi Meyer, endapan coklat untuk Wagner dan endapan merah jingga untuk
pereaksi Dragendorff (Harborne, 1987).
3.5.5.2 Uji Flavonoid
Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem ditambahkan
dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg dan 0,40 ml amil alkohol dan 4 ml
alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama).
Jika terbentuk warna merah, kuning, atau jingga menunjukkan adanya flavonoid
(Harborne, 1987).
3.5.5.3 Uji Saponin (Uji busa)
Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem dimasukan
kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan aquades dan disaring. Filtrat yang
disaring kocok kuat dan dibiarkan selama 10 menit jika terbentuk busa maka
saponin positif (Harborne, 1987).
3.5.5.4 Uji Steroid/triterpenoid
Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem dilarutkan
dalam 2 ml kloroform dalam tabung rekasi yang kering. Lalu 10 tetes anhidra
asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat ditambahkan ke dalamnya. Jika larutan
berwarna merah yang terbentuk untuk pertama kali kemudian berubah menjadi
biru dan hijau menunjukan reaksi positif (Harborne, 1987).
3.5.5.5 Uji Tanin
19
Sejumlah sampel dari daun, buah, umbi tumbuhan rumput palem dimasukan
kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan aquades dan disaring. Filtrat yang
disaring ditambahkan FeCl3 1 % jika terbantuknya warna biru atau hitam
kehijauan menunjukan adanya tanin (Harborne, 1987).
3.5.6 Pembuatan Media Tumbuh Bakteri
Media tumbuh bakteri yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari
media cair atau yang sering disebut NB (Nutrient Broth), dan media padat atau
yang sering disebut NA (Nutrient Agar). Media cair atau NB (Nutrient Broth)
digunakan untuk penyegaran bakteri, sedangkan Media padat atau (Nutrient Agar)
digunakan untuk pembiakan bakteri pada uji efektivitas nantinya.
Untuk media cair NB (Nutrient Broth): ditimbang sebanyak 8 gram serbuk
NB, kemudian dilarutkan dengan aquades pada volume 1 liter. Setelah itu, larutan
tersebut dipanaskan di atas hot plate sampai semua bahan larut dan homogen dan
dilakukan sterilisasi pada autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit. Setelah
dipanaskan, masukkan larutan tersebut ke dalam labu Erlenmeyer dan selanjutnya
disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121˚C selama 15 menit. Setelah itu,
masukkan galur murni bakteri S. aureus ke dalam media cair tersebut dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Untuk media padat NA (Nutrient Agar): ditimbang sebanyak 23 gram
serbuk NA, kemudian dilarutkan dengan aquades pada volume 1 liter. Kemudian
larutan tersebut dipanaskan di atas hot plate sampai semua bahan larut dan
homogen. Setelah dipanaskan, masukkan larutan tersebut ke dalam labu
Erlenmeyer dan selanjutnya disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121˚C
selama 15 menit. Setelah itu, tuangkan NA secara aseptic pada cawan petri, dan.
Setelah sterilisasi didinginkan hingga menjadi padat di tempat yang steril dan
tertutup.
3.5.7 Pembuatan Suspensi Bakteri
20
Pembuatan suspensi bakteri dilakukan untuk perbanyakan stok, dengan
cara menginokulasikan 1 ose biakan murni ke dalam 5 ml Nutrient Broth (NB),
kemudian diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam di dalam inkubator.
3.5.8 Uji Inhibitor Concentation
Pada uji inhibitor concentration dilakukan pengamatan pada konsentrasi
berapa yang memiliki daya hambat 70 -80% pada masing – masing perlakukan
ekstrak rumput palem. Pembuatan konsentrasi dilakukan dengan cara
pengenceran, pengenceran dimulai dari variasi konsentrasi 0% sampai 100%.
Untuk pembuatan 10% ekstrak etanol 96% daun rumput palem diambil ekstrak
kental daun rumput palem sebanyak 0,5 gram, ekstrak daun rumput palem
kemudian dilarutkan dengan aquades sampai 5 ml begitu seterusnya pada
konsentrasi lain sampai konsentrasi 100%. Sedangkan untuk pembuatan variasi
konsentrasi dari ekstrak umbi dan buah dilakukan dengan cara yang sama,
sehingga didapatkan variasi konsentrasi yang sama dengan ekstrak daun rumput
palem. Dari pengenceran didapatkan variasi konsentrasi seperti dibawah ini :
3.5.8.1. Ekstrak daun rumput palem (larutan A)
A1 : 0 %
A2 : 10 %
A3 : 20 %
A4 : 30 %
A5 : 40 %
A6 : 50 %
3.5.8.2 Ekstrak umbi rumput palem (larutan B)
B1 : 0 %
B2 : 10 %
B3 : 20 %
B4 : 30 %
21
A7 : 60 %
A8 : 70 %
A9 : 80%
A10 : 90 %
A11 : 100 %
B7 : 60 %
B8 : 70 %
B9 : 80%
B10 : 60 %
B11 : 70 %
B5 : 40 %
B6 : 50 %
3.5.8.3 Ekstrak buah rumput palem (larutan C)
C1 : 0 %
C2 : 10 %
C3 : 20 %
C4 : 30 %
C5 : 40 %
C6 : 50 %
Selanjutnya setelah didapatkan variasi konsentrasi dilakukan penentuan uji inhibitor concentration dengan cara pengamatan zona bening yang timbul di sekitar biakan bakteri pada media NA setelah di diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o C. Dari hasil penentuan inhibitor concentration dilakukan uji efektifitas antibakterinya.
3.5.9 Pengujian Aktivitas Antibakteri
Setelah dilakukan uji inhibitor concentration akan didapatkan konsentrasi
yang daya hambatnya 70-80 %, kemudian diambil 6 perlakuan konsentrasi yang
mendekati nilai daya hambat 70-80 % tersebut. Untuk pengujian aktivitas
antibakteri dilakukan dengan uji difusi cakram (disk diffusion test) yang terdiri
dari 44 perlakuan dan 3 kali pengulangan. Beberapa perlakuan pada pengujian
aktivitas antibakteri ini, diantaranya:
3.5.9.1 Perlakuan ekstrak daun rumput palem dengan konsentrasi daya hambat
yang paling baik mendekati angka 70 – 80 % setalah uji inhibitor
concentration ( dikodekan sebagai larutan R4). Kemudian buat
pengenceran ke konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dengan jarak 7,5 %
( dikodekan sebagi larutan R2, R3 < R4 > R5, R6. Dan R1 = 0 %)
3.5.9.2 Perlakuan ekstrak umbi rumput palem dengan konsentrasi daya hambat
yang paling baik mendekati angka 70 – 80 % setalah uji inhibitor
22
C7 : 60 %
C8 : 70 %
C9 : 80%
C10 : 90 %
C11 : 100 %
concentration ( dikodekan sebagai larutan S4). Kemudian buat
pengenceran ke konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dengan jarak 7,5 %
( dikodekan sebagi larutan S2, S3 < S4 > S5, S6. Dan S1 = 0 %)
3.5.9.3 Perlakuan ekstrak buah rumput palem dengan konsentrasi daya hambat
yang paling baik mendekati angka 70 – 80 % setalah uji inhibitor
concentration ( dikodekan sebagai larutan T4). Kemudian buat
pengenceran ke konsentrasi lebih kecil dan lebih besar dengan jarak 7,5 %
( dikodekan sebagi larutan T2, T3 < T4 > T5, T6. Dan T1 = 0 %).
3.5.9.4 Perlakuan antibiotik: antibiotik yang digunakan adalah Gentamicin.
3.5.9.5 Perlakuan kombinasi :
Tabel 3.2 Perlakuan kombinasi ekstrak rumput palem
R2 R3 R4 R5 R6
S2
R2S2T2 R3S2T2 R4S2T2 R5S2T2 R6S2T2 T2
S3
R2S3T3 R3S3T3 R4S3T3 R5S3T3 R6S3T3 T3
S4
R2S4T4 R3S4T4 R4S4T4 R5S4T4 56S4T4 T4
S5
R2S5T5 R3S5T5 R4S5T5 R5S5T5 R6S5T5 T5
S6
R2S6T6 R3S6T6 R4S6T6 R5S6T6 R6S6T6 T6
3.5.9.6 Setiap perlakuan ini akan diuji dengan cara :
3.5.9.6.1 Inokulasikan suspensi bakteri pada nutrient agar yang telah memadat,
dan ratakan menggunakan pipet Pasteur yang telah dilengkungkan.
23
3.5.9.6.2Meletakkan kertas 3 saring yang berdiameter 6 ml (sebagai cakram) di
atas permukaan nutrient agar yang telah diinokulasi bakteri
Staphylococcus aureus tersebut pada cawan petri.
3.5.9.6.3 Teteskan 20 μl masing-masing larutan pada perlakuan tersebut di salah
satu kertas saring (langkah 2 dan langkah 3 harus sudah selesai
dilakukan setelah 15 menit langkah 1).
3.5.9.6.4 Inkubasi agar tersebut pada suhu 37oC selama 24 jam.
3.5.10. Penghitungan Zona Hambat
Penghitungan zona hambat degan cara disk difusi di ukur dengan
penggaris. Adanya area jernih mengindikasi adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar. Hambatan
akan terlihat sebagai area yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus di sekitar cakram. Perhitungan diameter daya hambat
termasuk diameter cakram kertas saring (6 mm).
Tabel 3.3 Ketentuan kekuatan anti bakteri
No Daerah hambatan Ketentuan
1 > 20 mm Sangat kuat
2 10-20 mm Kuat
3 5-10 mm Sedang
5 < 5mm Lemah
Sumber: (Stout dalam Ardinsyah, 2005)
24
3.6 Identifikasi Variabel
Variabel bebas pada penelitian ini adalah penambahan berbagai variasi
konsentrasi ekstrak-ekstrak tersebut pada inokulasi bakteri Staphylococcus aureus
di nutrient agar. Skala variabel yang digunakan pada variabel terikat ini adalah
skala rasio-kontinu. Variabel terikat pada penelitian ini adalah zona hambat yang
terbentuk di sekitar cakram pada perlakuan variasi konsentrasi ekstrak tersebut.
3.7 Analisis Masalah
Hasil pengukuran zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram yang
ditetesi barbagai variasi konsentrasi eksrtak tersebut, ditampilkan dalam bentuk
tabel dan grafik. Kemudian, untuk ekstrak daun, umbi dan buah rumput palem
data tersebut dianalisis dengan uji statistik menggunakan metode Anova One Way
( Analisis Varian Satu Arah) dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur, untuk
mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki pengaruh sama atau
berbeda antara satu dengan yang lainya. Sementara untuk perlakuan kombinasi
dilakukan uji statistik menggunakan metode Anova faktor acak lengkap, dan
dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (Kusriningrum, 2010).
25
Daftar Pustaka
Anonim. 2013. Classification for Kingdom Plantae Down to Species Curculigo capitulata (Lour.) Kuntze. USDA (online) http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol=CUCA3&display=31. Diakses 7 mei 2013
Ardiansyah.2005. Daun Bluntas sebagai Bahan Antibakteri dan Antioksidan (online).http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2005-03-31-Daun-Bluntas-Sebagai-Bahan-Antibakteri-dan-Antioksidan.shtml . Diakses tanggal 4 Mei 2013
Boerlin, P., P. Kuhnert, D. Hussy and M. Schaellibaum. 2003. Methods for Identification of Staphylococcus aureus Isolates in Cases of Bovine Mastitis. Journal of Clinical Microbiology. American Society for Microbiology. 41 (2): 767 - 769.
Hariana,H.Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.cet 5 – Jakarta: Penebar Swadaya.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Jilid II. Bandung: Penerbit ITB.
Hartini,S.2004. Daya Antibakteri Campuran Ekstrak Buah Adas dan Kulit Batang Pula Sari. Dalam: Hidayati, Nurul.2009. Uji Efektifitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Teh (Camellia Sinensis L,v.assamica) Tua Hasil Ekstraksi menggunakan Pelarut Aquadest dan Etanol.UINM. Malang.
Hukmah,S.2007. Aktivitas Antioksidan Katekin dari Teh Hijau Hasil Ekstraksi dengan Variasi Pelarut Suhu. Dalam: Hidayati, Nurul.2009. Uji Efektifitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Teh (Camellia Sinensis L,v.assamica) Tua Hasil Ekstraksi menggunakan Pelarut Aquadest dan Etanol.UINM. Malang.
Irianto K.2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid I. Bandung: YramaWidya. p: 87.
Judoamidjojo M., Darwis A.A., Gumbira E., 1990. Teknologi Fermentasi. IPB. Bogor.
Jawetz,E.,J.L.Melnick, Adelberg. 2008 . Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XXIII. Jakarta: EGC.
26
Kenneth, T. 2012. Todar's Online Textbook of Bacteriology. www.textbookofbacteriology.net. Diakses tanggal 25 april 2013
Kloos, W. E. and D. W. Lambe, Jr. 1991. Staphylococcus. In: A. Balows, W. J. Hausler, Jr., K. L. Herrmann, H. D. Isenberg, H. J. Shadomy (Eds.). Manual of Clinical Microbiology. 5th ed. American Society for Microbiology. Washington, DC. USA. 222 - 232.
Kusriningrum, R.S. 2010. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya. 213 -215.
Lowy,D.Franklin. 1998. Staphylococcus aureus Infection. The new england of journal of medicine. Diakses 23 April 2013.
Nascimento.G.F.Gislene, Juliana Localleti, Paulo C. Freitas, Giuliani L. Silva. 2000. Antibacterial activity of plant extracts and phytochemicals on Antibiotic Resistence Bacteria. Brazilian Journal of microbiology.
Pratiwi ST .2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. pp: 188-191.
Qahtani . Bello, C. S. S. 2005. Pitfalls in the Routine Diagnosis of Staphylococcus aureus. African Journal of Biotechnology. 4 (1): 83 - 86.
Rahmadinata, R. 2013. Foto Pribadi Molineria capitulata. Bengkulu.
Robinson, T., 1991. The Organic Constituen of HigherPlants. 6th Edition. Department of Biochemistry. University of Massachusetts.
Sabirin, M., Hardjono S., dan Respati S., 1994. Pengantar Praktikum Kimia Organik II.UGM-Yogyakarta.
Sari, R. W. 2003. Pengaruh Pemberian Gerusan Daun Sirih Hitam, Gerusan Daun Sirih Jawa dan Oksitetrasiklin Secara Topikal Terhadap Lama dan Waktu Kesembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus Putih. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Sastrohamidjojo, H., 1996. Sintesis Bahan Alam. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta.
Wardani.M,Kalima.T.,Yafid.2010. Eksplorasi Jenis-Jenis Tumbuhan Hutan Sumber Pangan Berdasarkan Topologi Hutan. Bogor: Kementrian Kehutanan.pdf- diakses 2013.
27
Proposal Penelitian
Uji Fitokimia Ekstrak dan Uji Antibakteri Tumbuhan Rumput Palem (Molineria capitulata) terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus
Nama: Reza Rahmadinata
NPM: H1A009038
Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Bengkulu
2013
28