Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

55
ISSN 1411 4577 Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak Volume 13 (1) April 2019 Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar

Transcript of Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Page 1: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

ISSN 1411 – 4577

Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak

Volume 13 (1) April 2019

Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak

Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

Makassar

Page 2: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

ISSN 1411 - 4577

Buletin

Nutrisi dan Makanan Ternak

Volume 13 (1) April 2019

Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

Makassar

Page 3: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

PETUNJUK PENULISAN NASKAH ARTIKEL ILMIAH

1. Artikel ilmiah berupa hasil penelitian yang orisinil dan belum pernah diterbitkan,

diserahkan (dan/atau dikirim via e-mail) kepada dewan redaksi selambat-

lambatnya 1 bulan sebelum rencana penerbitan buletin.

2. Artikel ilmiah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik dengan

huruf Times New Roman Font 12 spasi ganda pada kertas A4 dengan batas

margin sebelah kiri 4 cm, sebelah atas, bawah dan kanan 3 cm.

3. Jumlah halaman setiap artikel ilmiah tidak boleh lebih dari 15 halaman (termasuk

gambar, tabel dan daftar pustaka)

4. Artikel ilmiah hendaknya ditulis dengan menggunakan program Microsoft office

word

5. Penulis bertanggung jawab penuh terhadap kualitas gambar dalam artikel ilmiah,

dan dewan editor tidak akan mengedit ulang setiap gambar dalam setiap artikel

tersebut.

6. Struktur penulisan artikel ilmiah hendaknya mengikuti standart penulisan artikel

ilmiah secara internasional, sebagai berikut : judul (diikuti nama, alamat penulis),

abstrak, kata kunci, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan,

kesimpulan, ucapan terima kasih (bila dianggap perlu), daftar pustaka, ilustrasi

(bila dianggap perlu).

7. Pemuatan makalah sepenuhnya merupakan hak redaksi. Redaksi berhak mengedit

tanpa merubah isi.

Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak (ISSN 1411-4577) terbit dua kali dalam setahun.

Harga langganan Rp. 100.000,-/tahun sudah termasuk ongkos kirim. Redaksi

menerima sumbangan tulisan/karya ilmiah hasil-hasil penelitian dalam bidang nutrisi

dan makanan ternak yang belum pernah dipublikasikan.

Page 4: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Buletin

Nutrisi dan Makanan Ternak

ISSN 1411-4577 Volume 13 (1), April 2019

CHIEF EDITOR

Prof. Dr. Ir. Budiman, MP.

MANAGING EDITOR

Dr. Ir. Jamila, S.Pt. M.Si IPM

SECTION EDITOR

Dr. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si.

Dr. Ir. Rohmiyatul Islamiyati, MP

Dr. Rinduwati, S.Pt. M.P

Dr. A. Mujnisa, S.Pt. M.Si

COPY EDITOR

Jamilah, S.Pt. M.Si

LAYOUT EDITOR

Muhammad Fadlirrahman Latief, S.Pt. M.Si

PENERBIT DAN ALAMAT REDAKSI

Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak

Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin

Kampus Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10, Makassar-90245 Tlp / Fax. (0411)587217

E-mail : [email protected], web : http://journal.unhas.ac.id/index.php/bnmt.

Page 5: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 13 (1) : 2019 ISSN 1411-4577

Daftar Isi

PENGARUH PEMBERIAN MOLASES DAN GULA PASIR

TERHADAP PH DAN PRODUKSI SILASE RUMPUT GAJAH

(PENNISETUM PURPUREUN SP).

Fahruddin Wakano, Budiman Nohong, dan Rinduwati,.......................

1-9

KANDUNGAN PROTEIN DAN SERAT KASAR TONGKOL JAGUNG

YANG DIINOKULASI Trichoderma sp. PADA LAMA INKUBASI

YANG BERBEDA

Jamila Mustabi, Rinduwati, Mutmainna....................................................

10-16

PEMANFAATAN JERAMI KACANG HIJAU DENGAN PENAMBAHAN

FACES SAPI DAN EFFECTIVE MICROORGANISME TERHADAP

KUALITAS KOMPOS DI KELURAHAN MANGGALI KECAMATAN

PALLANGGA

Anie Asriany.................................................................................................

17-25

PENGARUH PEMBERIAN BAHAN ADDITIF BERBEDA

TERHADAP pH DAN KANDUNGAN BAHAN KERING SILASE

SORGUM MANIS (Sorghum bicolor L.)

Mugfira, Budiman Nohong, dan Syamsuddin Nompo................................

26-33

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO

DAUN MAJA (Aegle marmelos) DAN DAUN GAMAL (Gliricidia

sepium)

Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo..............................................

34-37

PENGARUH PENGUNJUNG TERHADAP TINGKAH LAKU

KONSUMSI MAKAN RUSA TOTOL (Axis-axis) PADA

PENANGKARAN RUSA TOTOL DI FAKULTAS PETERNAKAN

UNHAS

Agil Suharto, Anie Asriany, dan Ismartoyo................................................

38-47

Page 6: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Pengaruh Pemberian Molases dan Gula Pasir Terhadap pH dan

Produksi Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureun sp).

Wakano F.1)*

, B. Nohong 2)

, Rinduwati 2,

1)Mahasiswa Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak,

Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. 2)

Dosen Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas

Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Email: [email protected].

Abstrak

Pengawetan hijauan dengan metode silase telah banyak dipraktekkan oleh peternak,

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan silase adalah

penambahan zat aditif, seperti molases. Namun, molases tidak tersedia disemua

daerah. Untuk itu diperlukan suatu bahan yang dapat menjadi alternatif pengganti

silase, yaitu gula pasir, selain memiliki nilai nutrisi yang hampir sama dengan

molases, gula pasir juga mengandung water soluble carbohydrate (WSC) yang

mudah dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat sebagai sumber energi selama proses

ensilage. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh level molases dan gula

pasir terhadap nilai pH dan bahan kering silase rumput gajah. Penelitian

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan

yaitu P1: kontrol, P2: Molases 4%, P3: Gula Pasir 4%, P4: Molases 6% dan P5: Gula

pasir 6%. Sehingga total unit sampel sebanyak 15 unit serta satu unit sampel bahan

segar. Sampel dianalisis di laboratorium untuk mengetahui nilai pH dan bahan kering

dari silase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian aditif gula pasir pada

level 4% pada silase memiliki kualitas yang sama dengan silase yang diberi molases

dengan level 4%. Namun, pada taraf 6% silase yang diberi molases memiliki kualitas

yang lebih baik dibanding dengan silase yang diberi gula pasir. Hal ini menunjukkan

bahwa gula pasir dapat dijadikan alternatif pengganti molases pada pembuatan silase.

Kata Kunci: Rumput Gajah, Silase, Gula Pasir, Molases, pH dan Bahan Kering

Page 7: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

2

Abstract

Preservation of forage with silage method has been widely practiced by farmers, one

of the factors that influence the success of making silage is the addition of additives,

such as molasses. However, molasses is not available in all regions. For that we need

a material that can be an alternative substitute for silage, namely granulated sugar,

besides having nutritional value that is almost the same as molasses, sugar also

contains water soluble carbohydrate (WSC) which is easily utilized by lactic acid

bacteria as an energy source during the ensilage process. This study aims to

determine the effect of molasses and sugar levels on pH values and dry matter of

elephant grass silage. The study used a completely randomized design (CRD) with 5

treatments and 3 replications, namely P1: control, P2: Molases 4%, P3: Sugar 4%,

P4: Molases 6% and P5: 6% sugar. So that the total sample unit is 15 units and one

unit of fresh material samples. Samples were analyzed in the laboratory to determine

the pH value and dry matter of silage. The results showed that the administration of

sugar additives at the level of 4% in silage had the same quality as silage which was

given molasses at the level of 4%. However, at the level of 6% silage which is given

molasses it has better quality than silage which is given sugar. This shows that

granulated sugar can be used as an alternative to molasses in making silage.

Keywords: Elephant Grass, Silage, Sugar, Molases, pH and Dri Matter

PENDAHULUAN

Rumput gajah (Pennisetum purpureum sp) adalah tanaman yang dapat

tumbuh di daerah marginal. Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana

tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sadjadi dkk., 2017). Rumput

gajah dipilih sebagai pakan ternak karena memiliki produktifitas yang tinggi dan

memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah (Rahmawati, 2014). Pada saat musim

hujan, produksi hijauan sangat berlimpah namun sebaliknya saat musim kemarau

produksi hijauan terbatas. Sehingga diperlukan suatu metode pengawetan untuk

memperpanjang masa simpan hijauan tersebut, salah satunya ialah pembuatan silase.

Silase adalah pakan yang diawetkan melalui proses ensilase, yaitu proses

pengawetan pakan atau hijauan melalui fermentasi asam laktat dalam kondisi

anaerob. Bakteri asam laktat (BAL) memfermentasi karbohidrat terlarut dalam air

pada tanaman menjadi asam laktat dan sebagian kecil diubah menjadi asam asetat.

Produksi asam dari proses ensilase membuat pH silase mengalami penurunan dan

akibatnya aktivitas mikrobia pembusuk dapat dihambat pertumbuhannya (Chen dan

Page 8: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

3

Weinberg, 2008).Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan silase ialah

penambahan zat aditif.

Penambahan zat aditif pada silase bertujuan untuk mendapatkan fermentasi

yang berkualitas, mengurangi fermentasi yang tidak diinginkan dan meningkatkan

nilai nutrisi silase sehingga dapat meningkatkan performa ternak (Harahap, 2017).

Molases umumnya digunakan sebagai zat aditif silase namun, molases tidak tersedia

di semua daerah, sehingga perlu mencari suatu bahan yang dapat menjadi alternatif

pengganti molases salah satunya ialah gula pasir.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018. Pembuatan silase

dilaksanakan di Laboratorium Uji Pakan dan Nutrisi Ternak Ruminansia Fakultas

Peternakan Universitas Hasanuddin. Pengukuran parameter dilakukan di

Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

Materi Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, parang, wadah, pH

meter, dan seperangkat alat pengukuran bahan kering.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas rumput gajah

(Pennisetum purpureum sp), molases, gula pasir, lakban, kantong plastik, amplop

kertas dan air.

Metode Penelitian

a. Rancangan percobaan

Penelitian ini disusun menurut rancangan acak lengkap (RAL) menurut

Gazperz, (1991) yang terdiri atas 5 perlakuan dan 3 ulangan, sebagai berikut ; P1

(Rumput gajah tanpa aditif (Kontrol)); P2 (Rumput gajah + 4% molases); P3 (Rumput

gajah + 4% larutan gula pasir); P4 (Rumput gajah + 6% molases); dan P5 (Rumput

gajah + 6% larutan gula pasir)

Page 9: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

4

b. Pelaksanaan penelitian

Rumput gajah yang berumur + 2 bulan dipotong kemudian dilayukan

beberapa jam hingga kadar air berkisar antara 65-70%, kemudian rumput dicacah

sepanjang + 3 cm dan ditimbang 2,5 kg untuk masing-masing kantong. Setelah itu

rumput dimasukkan kedalam silo/kantong, untuk yang diberi aditif pemberian aditif

dilakukan secara bertahap didalam silo sambil diaduk agar aditif merata. Setelah itu,

kantong plastik kemudian di tutup rapat sambil ditekan kuat agar kondisi hampa

udara dapat tercapai. Kemudian silase disimpan ditempat yang tidak terkena sinar

matahari secara langsung dan difermentasikan selama + 21 hari. Setelah + 21 hari

silase kemudian dibuka untuk dilakukan pengukuran parameter.

Pengukuran parameter dilakuan dengan cara membuka silo kemudian

mengukur pH silase dengan menggunakan pH meter digital. Selanjutnya,

memisahkan silase yang baik dengan silase yang rusak. Setelah itu, mengambil

sampel sebanyak 100 g untuk dilakukan pengukuran bahan kering. Sampel dioven

selama + 24 jam setelah itu sampel dikeluarkan kemudian melakukan penimbangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata hasil pengukuran parameter silase rumput gajah yang diberikan

molases dan gula pasir dengan level berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai

berikut.

Tabel 1. Rata-rata nilai pH, produksi dan bahan kering silase yang diberi level

molases dan gula pasir yang berbeda

Perlakuan pH

Silase

BK (%) Segar

(g/polybag)

Kering

(g/polybag)

P1 4,67c 1419,33

c 356,10

c 25,00

a

P2 3,90ab

2266,00b 577,75

b 25,50

a

P3 4,00b 2348,00

ab 611,00

ab 26,03

a

P4 3,77a 2380,00

ab 630,86

ab 26,50

a

P5 4,03b 2407,33

a 650,12

a 27,00

a

Keterangan : Huruf yang berbeda (a,b) dan (a,c) pada kolom yang sama menunjukkan

berbeda nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01).

Page 10: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

5

Nilai pH Silase

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan aditif berupa

molases dan gula pasir dengan level berbeda memberikan pengaruh yang nyata

(P<0,05) terhadap nilai pH silase rumput gajah (Tabel 1).

Uji Duncan menunjukkan bahwa nilai pH silase rumput gajah pada

perlakuan P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan

P2 dan P4 dan berbeda nyata (P<0,05) dengan P3 dan P5, sedangkan perlakuan P2,

P3 dan P5 tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan nilai pH silase pada Tabel 1,

menunjukkan bahwa pemberian aditif molases dan gula pasir 4-6% menghasilkan

silase yang berkualitas baik. Menurut Skerman dan Riveros (1990), standar kualitas

silase dari nilai pH yaitu ; pH <4,2 berkualitas baik, pH 4,3 – 4,5 berkualitas sedang

dan pH >4,5 berkualitas buruk. Penggunaan gula pasir 4% menghasilkan nilai pH

yang sama dengan penggunaan molases 4%. Jadi, gula pasir dapat digunakan sebagai

aditif silase yang sama baiknya dengan silase yang menggunakan aditif molases 4%.

Pada taraf 6% molases menghasilkan silase yang lebih baik (pH 3,77) dibandingkan

dengan menggunakan aditif gula pasir (pH 4,03).

Penurunan pH silase terjadi akibat dari aktifitas mikroba selama proses

ensilage, bakteri asam laktat (BAL) akan memanfaatkan gula sederhana pada hijauan

maupun aditif sebagai sumber energi dan merombak senyawa kompleks menjadi zat-

zat sederhana, aktifitas tersebut akan menurunkan pH dari silase. Hal ini sejalan

dengam pendapat Wyss dan Rubenshuh (2012) bahwa efek utama dari mikroba

(inokulan) adalah meningkatkan produksi asam laktat yang berkaitan dengan

penurunan nilai pH yang signifikan, meningkatkan kualitas silase dan meminimalkan

kehilangan bahan kering.

Produksi Silase Segar

Rata-rata produksi silase segar yang diberi aditif molases dan gula pasir

dengan level yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menunjukkan

bahwa pemberian bahan aditif berupa molases dan gula pasir dengan level berbeda

Page 11: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

6

memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01) terhadap

produksi silase segar pada tiap perlakuan.

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa produksi silase segar pada perlakuan

P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibanding dengan perlakuan P5 dan

berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P2, P3 dan P4, sedangkan perlakuan P2

berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P5, dan pada perlakuan P2, P3, dan P4

tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan produksi silase pada Tabel 1.

menunjukkan bahwa pemberian aditif molases dan gula pasir 4 - 6% menghasilkan

silase dengan tingkat kerusakan lebih sedikit dibanding dengan silase tanpa aditif.

Rata-rata persentase tingkat kerusakan silase yang diberi aditif lebih rendah (P2:

9,36%; P3 : 6,0%; P4: 4,80%; dan P5: 3,70%) dibanding dengan silase yang

difermentasi tanpa aditif (P1: 43%). Hal ini menunjukkan bahwa silase pada

perlakuan P2 sampai P5 berkualitas baik. Menurut Horrocks danVallentine (1999)

kerusakan bahan kering selama fermentasi umumnya berkisar antara 5-20%, dengan

rata-rata 10-11%. Kehilangan gas berkisar antara 5-10% dan kelembaban berkisar

antara 72-82%, dan rembesan dibawah 65% dapat dikategorikan normal

Kerusakan bahan kering umumnya terjadi di permukaan silo yang

disebabkan proses pengemasan yang kurang padat sehingga terdapat udara didalam

silo yang menyebabkan tumbuhnya jamur dan merusak kualitas dan produksi silase.

Menurut Ratnakomala dkk. (2006) kerusakan silase diperhitungkan sebagai

persentase dari silase yang rusak dibandingkan dengan jumlah keseluruhan silase

dalam satu silo. Silase yang mengalami kerusakan dapat terlihat dari tekstur silase

yang rapuh berwarna coklat kehitaman dan berbau busuk serta banyak ditumbuhi

jamur. Poin terpenting dalam pembuatan silase yang baik yaitu berat kering dari

material antara 35-40%, pengemasan yang kuat dan rapat, temperatur penyimpanan

dan adanya bakteri asam laktat homofermentatif.

Page 12: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

7

Produksi Silase Kering

Rata-rata produksi silase kering yang diberi aditif molases dan gula pasir

dengan level yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menunjukkan

bahwa pemberian bahan aditif berupa molases dan gula pasir dengan level berbeda

memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01) terhadap

produksi silase kering pada tiap perlakuan.

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa produksi silase kering pada perlakuan

P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibanding dengan perlakuan P5 dan

berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P2, P3 dan P4, sedangkan perlakuan P2

berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P5, dan pada perlakuan P2, P3, dan P4

tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pemberian aditif

molases dan gula pasir 4 - 6% menghasilkan silase kering yang lebih tinggi dibanding

dengan silase tanpa aditif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan bahan

kering silase yang diberi aditif lebih sedikit. Rata-rata tingkat kerusakan bahan kering

masing-masing yaitu P1: 25,75%; P2: 27,92%; P3: 30,24%; P4: 33,97% dan P5

59,45%. Menurut Muck dan Kung (2007) bahwa kerusakan menyatakan bahwa

kisaran persentase kehilangan bahan kering pada setiap jenis silo dan metode

penyimpanan silase yaitu; penyimpanan dengan cara ditumpuk berkisar antara 10-

35%, penyimpanan didalam silo 8-30% dan penyimpanan didalam plastik yang

dipadatkan berkisar antara 3-40%.

Bahan Kering

Uji Duncan menunjukkan bahwa bahan kering silase pada perlakuan P1, P2,

P3, P4 dan P5 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Perlakuan P4

(molases 6%) dan P5 (gula pasir 6%) memiliki rataan bahan kering yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan P1 (kontrol) yang tidak menggunakan aditif.

Penambahan bahan aditif molases dan gula pasir tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap persentase bahan kering, meskipun demikian ada kecenderungan

peningkatan persentase bahan kering seiring dengan peningkatan level bahan aditif

yang digunakan. Peningkatan bahan kering disebabkan karena aditif yang digunakan

Page 13: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

8

mengandung bahan kering yang cukup tinggi. Penelitian dari Faturrahman dkk.

(2015) didapatkan bahwa terjadi kenaikan kandungan bahan kering seiring dengan

penambahan molases pada pembuatan silase dari yang terendah (P0) sampai yang

tertinggi (P3). Pada kejadian ini dapat dijelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena

adanya penambahan molases yang memiliki kandungan bahan kering yang tinggi

sehingga meningkatkan kandungan bahan kering silase.

Pada umumnya, proses fermentasi akan menurunkan kandungan bahan kering

pada hijauan, hal ini disebabkan karena adanya peristiwa kehilangan bahan kering

selama proses ensilage berlangsung. Sehingga, persentase bahan kering dari hijauan

asal sebesar 35% turun menjadi 25-27%. Hal ini sesuai dengan pendapat Köhler et al.

(2013), yang menyatakan bahwa kehilangan bahan kering selama proses ensiling

berlangsung pada rumput yaitu 2-25%, pada jagung 4-19% dan pada alfalfa 6-15%.

Kehilangan bahan kering juga dapat disebabkan oleh pemanasan saat pengovenan

sampel. Hal sesuai dengan pendapat Robinson et al. (2016) yang menyatakan bahwa

kehilangan bahan kering juga terjadi karena proses penguapan senyawa volatil selama

proses pengeringan di dalam oven.

KESIMPULAN

Berdasar hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa silase

yang difermentasikan menggunakan gula pasir pada level 4% memiliki kualitas yang

tidak jauh berbeda dengan silase yang difermentasikan dengan molases pada level

yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa gula pasir dapat digunakan sebagai bahan

aditif alternatif pengganti molases.

DAFTAR PUSTAKA

Chen, Y. dan Z. G. Weinberg. 2008. Changes during aerobic exposure of wheat

silages. Anim. Feed Sci. Technol. 154:76-82.

Faturrahman, F. Atun, B. dan Tidi, D. 2015. Pengaruh tingkat penambahan molases

pada pembuatan silase kulit umbi singkong (Mannihot esculenta) terhadap

kandungan bahan kering, bahan organik, dan HCN. Fakultas Peternakan,

Universitas Padjadjaran.

Page 14: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9

9

Horrocks, R. D. and Vallentine, J. F. 1999. Harvested Forages. Academic Press. New

York.

Köhler, B., M. Diepolder, J. Ostertag, S. Thurner, and H. Spiekers. 2013. Dry matter

losses of grass, lucerne and maize silages in bun-ker silos. Agric. Food Sci.

22:145–150.

Muck, R.E., and Kung, Jr. L. (2007). Forages : silage production. The Science af

Grassland Agriculture. 11(40) : 617-633.

Rahmawati. 2014. Kandungan ADF, NDF selulosa, hemiselulosa dan lignin silase

pakan komplit berbahan dasar rumput gajah (Pennisetum pupureum) dan

beberapa level biomassa murbei (Morus alba). Skripsi Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin.

Ratnakomala, S., R. Ridwan, G. Kartina dan Y. Widyastuti. 2006. Pengaruh

inokulum lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap kualitas silase

rumput gajah (Pennisetum purpureum). Biodiversitas. 7(2) : 131-134.

Robinson, P. H., N. Swanepoel, J. M. Heguy, and D. M. Meyer. 2016. Total ‘shrink’

losses and where they occur in commercially sized silage piles constructed from

mature and immature cereal crops. Sci. Total Environ. 559:45–52

Sadjadi, B. Herlina, dan W. Supendi. 2017. Level penambahan bokashi kotoran sapi

terhadap pertumbuhan dan produksi pada panen pertama rumput raja

(Pennisetum purpureophiodes). Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 12(4): 411-

418.

Skerman, P.J. dan F. Riveros. 1990. Tropical Grasses. Food and Agriculture

Oerganization. United Nations

Wyss, U. and Rubensuh, U. 2012. Effect of three different silage inoculants on the

fermentation quality abd aerobic stability of ryegrass ansiled with three

different prewilting degrees. In: kuoppala, K. et al. (eds) Proceedings of the

16th

international silage conference, 2-4 july, MTT Agrifood Research Finland.

University of Helsinki, Hameenlinna, Finland. P. 386-387.

Page 15: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

10

KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR SILASE

RANSUM KOMPLIT PADA BERBAGAI BENTUK DAN

LAMA PENYIMPANAN

Jamila Mustabi1, Rinduwati

1, Mutmainna

2

1Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

2Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

Abstrak

Ransum dapat dinyatakan berkualitas apabila mampu memberikan seluruh

kebutuhan nutrien secara tepat, baik jenis, jumlah, serta imbangan nutrien bagi

ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk dan lama

penyimpanan terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar pada ransum

komplit. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola

faktorial yang terdiri dari 2 faktor diantaranya faktor A (Betuk silase ransum

komplit) yaitu : silase, pellet dan blok; faktor B (Lama penyimpanan) yaitu 0, 1

dan 2 bulan, setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil analisis ragam

menunjukkan bahwa bentuk silase ransum komplit tidak berpengaruh nyata

(P>0,05), Namun lama penyimpanan memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05), ini

membuktikan bahwa tidak ada interaksi yan terjadi antara bentuk ransum komplit

dengan lama penyimpanan terhadap kandungan protein kasar, akan tetapi jika

dilihat pada kandungan serat kasar terdapat interaksi yang terjadi pada bentuk

ransum dan lama penyimpanan. Hasil penelitian ini diperoleh kandungan protein

kasar berkisar antara 10.79% -13,86% yang tertinggi pada penyimpanan 0 bulan

dan kandungan serat kasar yaitu 14,24% -18,93% yang tertinggi pada

penyimpanan 2 bulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

semakin lama penyimpanan ransum komplit maka kandungan protein kasar akan

semakin menurun dan kandungan serat kasar akan semakin meningkat. Silase

ransum komplit dalam semua bentuk masih mempunyai kualitas yang baik pada

penyimpanan 2 bulan

Kata Kunci : Bentuk pakan, lama penyimpanan, ransum komplit.

Page 16: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M., Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10- 16

PENDAHULUAN

Faktor keberhasilan suatu peternakan salah satunya adalah dengan adanya

ketersediaan hijauan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan khususnya

pada ternak ruminansia. Hijauan memegang peranan penting pada produksi ternak

ruminansia karena pakan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut sebagian besar

dalam bentuk hijauan, akan tetapi ketersediaan hijauan sangat bervariasi. Pada

musim hujan ketersediaan cukup melimpah, namun sebaliknya pada musim

kemarau ketersediaan hijauan masih sangat terbatas. Sehingga peternak kesulitan

untuk mendapatkan hijauan dengan kualitas yang baik. Pemanfaatan limbah

pertanian dan perkebunan dapat menjadi salah satu opsi untuk mengatasi hal

tersebut.

Pakan komplit merupakan pakan yang mengandung nutrien yang cukup

memenuhi kebutuhan ternak pada berbagai tingkat fisiologis tertentu yang

diberikan sebagai satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup

pokok ternak. Semua bahan pakan, baik hijauan (pakan kasar) maupun konsentrat

dicampur menjadi satu. Pembuatan pakan komplit berbahan limbah pertanian dan

limbah industri pertanian merupakan salah satu alternatif pemecah suatu masalah

untuk mengatasi penyediaan pakan secara kontinu

Pakan komplit dalam bentuk campuran berbagai bahan pakan yang sudah

terfermentasi dapat menjadi solusi dalam pemberian pakan ruminansia dalam

berbagai kondisi. Kelebihan pakan komplit adalah nilai nutrisi yang dapat diatur

dengan menentukan jumlah dan jenis campuran, ternak tidak berkesempatan

memilih pakan sehingga memperkecil sisa pakan yang tidak termakan, praktis,

dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pakan komplit dapat diproduksi

dalam skala kecil, yaitu untuk peternak rumah tangga maupun dalam skala besar

yaitu untuk ternak dalam skala industri. Pakan komplit dapat menjadi solusi

persoalan terbuangnya waktu peternak karena tiap hari harus mencari rumput

untuk menyediakan pakan ternak. Penggunaan pakan komplit diharapkan mampu

meningkatkan kualitas pakan dan mengatasi keterbatasan pakan, serta

meningkatkan komsumsi dan kecernaan terhadap pakan.

Page 17: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

11

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Alat yang digunakan yaitu timbangan, mesin gilingan, cetakan pellet dan

wafer, baskom, terpal, sekop, karung goni dan alat-alat yang digunakan untuk

analisis protein kasar dan serat kasar. Bahan yang yang digunakan adalah rumput

gajah (dengan kandungan protein kasar 8,69% dan serat kasar 3,23%), konsentrat

(protein kasar 13,29% dan 13,78%) dan bahan-bahan yang digunakan untuk

analisis protein kasar dan serat kasar.

Prosedur Pembuatan Pakan Komplit

Pembuatan pakan komplit didahului dengan mencampur rumput gajah

yang telah dipotong-potong (2-3 cm) dan konsentrat ditimbang dengan

perbandingan 50% : 50% dan dicampur sampai homogen, kemudian dibuat silase

yang difermentasi terlebih dahulu selama 15 hari. Setelah itu dicetak

menggunakan cetakan pellet dan blok, dan bentuk silase. Setiap bentuk pakan

dianalisis kandungan protein kasar dan serat kasar. Perlakuan terdiri dari 2 faktor

yaitu bentuk dan lama penyimpanan, dan diulang sebanyak 3 kali setiap

perlakuan. Rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial. Perlakuannya sabagai

berikut :

A = Bentuk Ransum

1. Pellet

2. Blok

3. Silase

B = Lama Penyimpanan

0 bulan

1 bulan

2 bulan

Parameter yang Diukur

Parameter yang diukur pada pengaruh bentuk dan lama penyimpanan

ransum komplit terhadap kandungan protein kasar melalui metode Kjedahl dan

serat kasar (AOAC, 1991)

Page 18: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Protein Kasar Ransum Komplit pada Berbagai Bentuk dan

Lama Penyimpanam

Kandungan protein kasar pada (ransum komplit bentuk pellet, blok dan

silase ransum komplit) pada lama penyimpanan (0,1 dan 2 bulan) dapat dilihat

pada Gambar 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bentuk pakan tidak

berpengaruh nyata (P>0,05), sedangkan lama penyimpanan berpengaruh nyata

(P<0,05), ini membuktikan bahwa tidak ada interaksi yang terjadi antara bentuk

dan lama penyimpanan terhadap kandungan protein kasar. Hasil uji Duncan

menunjukkan bahwa kandungan protein kasar tidak berbeda antara pakan yang

disimpan selama 1 dan 2 bulan tertapi berbeda dangan penyimpanan 0 bulan.

Gambar 1. Kandungan protein kasar ransum komplit bentuk pellet, block dan

silase pada lama penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan.

Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa pada masa penyimpanan 0

bulan kandungan protein kasar ransum komplit bentuk pellet dan blok

berkisar antara 13,86%±0,45%, perbedaan ini disebabkan oleh proses

pengolahan pakan sebelum dilakukan penyimpanan. Pada lama penyimpanan

1 bulan yang tertinggi adalah dalam bentuk silase akan tetapi menurun drastis

pada penyimpanan 2 bulan bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan

bentuk pellet dan blok. Hal ini dapat disebabkan karena proses fermentasi

tidak terjadi lagi pada penyimpanan silase ransum komplit sehingga terdapat

aktivitas mikroorganisme yang mengubah asam amino. Hal ini sesuai dengan

0 1 2

Pelet 14.36 10.79 11.19

Block 13.82 12.21 13.29

Silase 13.40 12.81 11.11

0.002.004.006.008.00

10.0012.0014.0016.00

Pro

tein

Kas

ar (

%)

Lama Penyimpanan (bulan)

Pelet

Block

Silase

Page 19: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

13

pendapat Wallace dan Chesson (1995) yang berpendapat bahwa clostridia

proteolitik akan menfermentasi asam amino menjadi bermacam-macam

produk termasuk amonia, amina, dan asam organik yang mudah menguap.

Fermentasi juga memiliki peran penting dalam proses peningkatan

protein, karena dalam proses fermentasi terdapat mikroba yang berperan

dalam meningkatkan kandungan protein kasar silase. Hal ini sesuai dengan

pendapat Zakaria,(2012) yang menyatakan bahwa fermentasi merupakan

proses pemecah senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan

mikroorganisme. Proses fermentasi dapat meningkatkan ketersediaan zat -zat

makanan seperti protein dan energi metabolis serta mampu memecah

komponen kompleks menjadi komponen sederhana. Selain itu fermentasi

juga dapat meningkatkan nilai gizi bahan berkualitas rendah serta berfungsi

dalam pengawetan bahan pakan dan merupakan suatu cara untuk

menghilangkan zat anti nutrisi atau racun yang terkandung dalam suatu

pakan. Kandungan protein kasar yang diperoleh pada penelitian ini adalah

10,79-14,36%. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian

yang dilakukan Fitriani dan Hasyim (2017) yang memperoleh kandungan

protein kasar yaitu 9,45-10,50% pada pakan komplit yang berbahan dasar

tongkol jagung.

Kandungan Serat Kasar Ransum Komplit Pada Berbagai Bentuk Dan

Lama Penyimpanan

Hasil analisis ragam pada kandungan serat kasar menunjukkan bahwa

bentuk pakan dan interaksi yang terjadi tidak berpengaruh nyata (P>0,05),

akan tetapi jika dilihat pada lama penyimpanan, interaksi antara bentuk

dalam penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan

menunjukkan bahwa lama penyimpanan 1 bulan tidak berbeda dengan

penyimpanan 2 bulan tetapi berbeda dengan penyimpanan 0 bulan. Hasil ini

dapat dilihat pada Gambar 2

Page 20: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

14

Gambar 2. Kandungan serat kasar ransum komplit bentuk pellet, block dan silase

pada lama penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan.

Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa pada kandungan serat kasar

dengan lama penyimpanan 0 bulan antara bentuk pakan memiliki perbedaan,

hal ini disebabkan akibat proses pengolahan yang terjadi. Selain itu terlihat

pula bahwa semakin lama penyimpanan maka semakin tinggi pula kandungan

serat kasar didalam ransum komplit pada semua bentuk. Hal ini menunjukkan

bahwa akan terjadi kerusakan pasa bahan pakan jika disimpan lebih lama

dalam bentuk apapun. Hal ini sesuai dangan pendapat Hall (1980) yang

menyatakan bahwa penyimpanan yang terlalu lama akan berkibat buruk pada

bahan makanan yang selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas

ransum. Semakin lama penyimpanan maka akan dihasilkan suatu komponen

cita rasa (flavor) yang lain sebagai akibat dari kegiatan biologis, contohnya

pemecahan lemak yang menyebabkan ketengikan.

Menurut pendapat soesarsono (1988) yang menyatakan bahwa

penyimpanan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis

pakan, periode atau lama penyimpanan, metode penyimpanan, temperatur,

kandungan air dan kelembaban udara. Kerusakan bahan pakan yang dapat

terjadi dalam penyimpanan pakan yaitu kerusakan fisik dan kerusakan

kimiawi. Penyimpana yang melebih waktu tertentu daln dalam kondisi yaang

kurang baik dapat menyebabkan kualitas pakan mengalami penurunan

(Syamsu,2002).

Penyimpanan dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan

pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada hijauan (hausler, 2007) dan

aspergillus flavus pada beras (Winarno, 1992). Kandungan serat kasar yang

diperoleh oleh penelitian ini yaitu 14,00-18,93%, lebih rendah jika

dibandingkan dengan Fitriani dan Asyari (2017) yang memperoleh

kandungan serat kasar berkisar antara 20,79-21,01% pada pakan komplit

0 1 2

Pelet 14.69 15.98 15.59

Block 14.03 17.11 17.21

Silase 14.00 16.03 18.93

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00Se

rat

Kas

ar (

%)

Lama Penyimpanan (bulan)

Pelet Block Silase

Page 21: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

15

berbahan dasar tongkol jagung. Hai ini membuktikan bahwa pakan komplit

pada penelitian ini mempunyai kualitas yang baik sampai lama penyimpanan

mencapai waktu 2 bulan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa semakin lama penyimpanan ransum komplit makan kandungan protein

kasar akan semakin menurun namun kandungan serat kasar semakin meningkat.

Silase ransum komplit dalam semua bentuk masih mempunyai kualitas yang baik

pada penyimpanan 2 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. Association of Official Analytical Chemists. 1991. Official Methods of

Analysis, of The Association of Official Analytical Chemist, Washington,

D.C.

Fitriani dan Hasyim, A. 2017. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar

Pakan Komplit Berbasis Tongkol Jangung dengan Penambahan Azolla

sebagai Pakan Ruminansia. Jurnal Galung Tropika, Vol 6 (1), Hlm 16-

17.

Gomez, K.A.,A.A. Gomez. 2010 Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian

(Terjemahkan) Endang Sjamsuddin dan J.S. Baharsjah. Edisi Kedua. UI

Press. Jakarta.

Hall, C.W. 1980. Drying and Storage of Agricutural Crops. The AVI

publising co., Inc westport. Connecticut.

Hausler, A. 2007. Fungi. www.microbeworld.org.(20 juli 2017)

Soesarsono. 1988. Teknologi Penyimpanan komoditas Pertanian. Penerbit:

sinar Tani ,Bogor.

Syamsu. J. A. 2002. Pengaruh waktu penyimpanan dan jenis kemasan

terhadap kualitas dedak padi. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak.

Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Vol 1(2) :

75-83

Wallace, J. Dan A. Chesson. 1995. Biotecnology in Animal fedds and Animal

Feeding. Nutrition Division Rowett Research Institute Bucksburn.

Aberdeen

Page 22: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16

16

Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Zakariah,M. A. 2012. Fermentasi Asam Laktat pada Silase. Fakultas

Peternakan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Page 23: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Pemanfaatan Jerami Kacang Hijau Dengan Penambahan Feses Sapi Dan

Effective Microorganisme Terhadap Kualitas Kompos

Di Kelurahan Manggali Kecamatan Pallangga

Utiliation of Straw With Addition Feces Green Bean Beef and Effective Microorganism

The uality of Compost in Villages Manggalli Sub Pallangga

Anie Asriany

Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak

Fakultas Peternakan

Email : [email protected]

Abstrak Pengomposan merupakan proses bahan organic yang mengalami penguraian secara biologis, khususnya

mikroba yang dimanfaatkan sebagai sumber energy. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk

kandang karena kandungan unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dibutuhkan

oleh tanaman dan kesuburan tanah. Limbah pertanian antara lain dapat berupa jerami tanaman pangan,

limbah tanaman perkebunan, dan kotoran ternak. Limbah pertanian berupa jerami kacang hijau

sebagai kompos karena menpunyai kandungan kalium yang tinggi, dapat meningkatkan kandungan

unsur hara K pada pupuk kandang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui melihat kualitas kompos

jerami kacang hijau dengan penambahan feses sapi dan EM4, terhadap waktu optimal pengomposan

dan kualitas pupuk kandang sesuai dengan SNI 19-7030-2004. Pupuk kandang yang diperoleh dianalisis

kadar N, P, K, C-organik, rasio C/N, dan kadar airnya. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI 19-7030-

2004. Analisis pupuk kandang dilakukan pada 30, hari Hasil analisis kompos dengan EM4 lebih efektif

dan memerlukan waktu yang lebih cepat untuk mendekomposisi bahan organik dalam kompos. Kualitas

kompos yang memenuhi SNI 19-7030-2004 (rasio C/N, kadar N, P, K, air, dan C-organik).

Kata kunci: pengomposan, feses sapi, jerami kacang hijau, EM4, Kualitas Kompos

Abstract

Composting is the process of organic materials that undergo biological decomposition, particularly

microbes used as a source of energy. Animal manure can be used as fertilizer because it contains

nutrients such as nitrogen (N), phosphours (P) and Potassium (K) reuired by plants and soil fertility.

Agricultural ates, among others, can be straw crops, plantation crop aste, and manure. Agricultural aste

such as stra beans as compost for ……a high potassium content, can increase the nutrient content of K in

the manure. This study aims to determine see the uality bean stra compost ith addition of co feses and

EM4, against the optimal timing and uality of manure composting in accordance ith SNI 19-7030-2004.

Manure as analied levels of the N, P,K K, organic C, C/N rasio, and ater content. The results of the

analysis compared with SNI 19-7030-2004. Manure analysis performed during the 30 day of analysis

results ith EM4 compost more effectively and require faster time to decompose organic matter into

compost. Qulity compost that meet SNI 19-7030—2004 (C/N rasio, levels of N, P, K, Water, and C

organic.

Keywords: composting, cattle feces, stra green beans, EM4, Quality compost

Page 24: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

PENDAHULUAN

Pertanian terpadu dan terintengrasi yang dinamakan bioindustri bertujuan tidak adanya

limbah pertanian yang terbuang. Ternak memiliki peran penting bila diintegrasikan dengan

tanaman pangan. Adapun keuntungan integrasi tersebut akan menjadikan ekologi lingkungan

yang baik, memberikan keuntungan akibat efisiensi penggunaan komponen produksi. Hal ini

akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani. Pupuk organik bersifat

bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah

banyak. Meskipun kandungan haranya rendah, penggunaan pupuk organik semakin meningkat

seiring dengan maraknya pertanian organik. Jerami dan pupuk kandang merupakan sumber

pupuk organik yang biasa dimanfaatkan petani.

Sektor peternakan di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya pada Kecamatan Pallangga,

sampai hari ini masih merupakan salah satu sumber ketahanan pangan yang sangat

strategis. Namun kondisi di lapangan belum terkelolah secara professional, karena sebagian

besar usaha peternakan rakyat hanya berskala kecil dan masih menggunakan teknologi secara

sederhana atau tradisional. Menurut Nastiti (2008), usaha peternakan di Indonesia

didominasi oleh usaha rakyat dengan menggunakan cara tradisional yang masih merupakan

usaha sampingan serta lebih menjadi ―tabungan‖ dan salah satu indikator ―status sosia.

Pengembangan sektor usaha peternakan, baik ternak ruminansia besar maupun ruminansia

kecil, sekarang ini diarahkan tidak hanya terkait dengan pemenuhan pangan tetapi sudah mulai

diterapkan pada pemanfaatan limbah berupa padat dan limbah cair berupa urin dan feses menjadi

pupuk organik.

Limbah peternakan seperti feces, urine, dan sisa pakan yang dibiarkan tanpa

penanganan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan

kesehatan pada masyarakat di sekitar peternakan. Pengolahan kotoran ternak perlu dilakukan

untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pengolahan kotoran ternak dapat dilakukan

dengan cara menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Kotoran ternak

dimanfaatkan sebagai pupuk kandang karena kandungan unsur haranya seperti nitrogen (N),

fosfor (P), dan kalium (K) serta unsur hara mikro diantaranya kalsium, magnesium, belerang,

natrium, besi, dan tembaga yang dibutuhkan tanaman dan kesuburan tanah (Hapsari, 2013).

Masalah lain yang di jumpai di Desa Manggalli Kecamatan Palangga adalah masalah

limbah kacang hijau setelah panen. Hal ini disebabkan karena sisa panen tidak dimanaatkan,

akan tetapi sisa panen berupa jerami kacang hijau hanya dibuang dan dibakar tanpa adanya

pengolahan lebih lanjut.

Kebiasaan petani di lapangan yang biasanya membakar jerami dan sangat jarang

dimanfaatkan oleh petani sebagai sumber bahan organik merupakan suatu kebiasaan yang salah,

selain menyebabkan kerusakan pada lingkungan ternyata juga menyebabkan kerusakan pada

tanah areal persawahan karena lama kelamaan unsur hara yang terdapat pada tanah sawah akan

selalu berkurang tanpa adanya pengembalian kembali. Dengan membakar jerami justru akan

menghancurkan sebagian bahan organiknya. Pengolahan jerami membutuhkan tenaga, waktu,

Page 25: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

18

dan pekerjaan tambahan yang banyak, sehingga perlu dicari cara lain agar jerami tersebut dapat

dimanfaatkan oleh para petani. Salah satu alternatif yaitu dengan pembuatan kompos.

Salah satu cara untuk memanfaatkan jerami kacang hijau adalah dijadikan kompos.

Menurut Hengki (2006) kompos merupakan salah satu bentuk pupuk organik yang dapat

digunakan sebagai suplemen ataupun pengganti pupuk kimia (anorganik). Proses pengomposan

adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh

mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Faktor-faktor

yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain: ukuran bahan, ratio Karbon –Nitrogen

(C/N), kelembaban dan aerasi, temperature pengomposan, derajad keasaman ,

mikroorganisme yang telibat.

Kompos adalah istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang dibuat dari proses

pembusukan sisa-sia buangan makhluk hidup (Yuwono,2005). Pengomposan adalah proses

dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis kususnya oleh mikro-mikroba

yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Isroi,2007). Kompos memiliki

banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek (Susanto 2002), seperti aspek

ekonomi, aspek lingkungan, aspek bagi tanaman.

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup Proses pengomposan

secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan.

peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Pengomposan

yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup d a l a m k o m p o s . Proses

pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang optimum dalam proses pengomposan

berkisar antara 6.5 sampai 7.5 .

Berdasarkan suhu yang sesuai untuk metabolisme dan pertumbuhannya, mikroorganisme

diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu Psychrophiles (mikroba temperature rendah) pada

suhu kurang dari 200C, Mesophiles (mikroba temperature sedang) pada suhu antara 25-40

0C,

dan Thermophiles (mikroba temperature tinggi) pada suhu diatas 650C.

Pembuatan kompos dapat dinilai dari lamanya waktu pengomposan. Semakin cepat

kompos dihasilkan maka semakin tinggi pula tingkat kesuksesannya. Pada prinsipnya, kompos

dapat terbentuk secara alami, tetapi akan membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 2-3 bulan.

Bahkan, ada yang mencapai 6-12 bulan, tergantung dari bahan organik yang digunakan. Oleh

karena itu, perlu diterapkan berbagai perlakuan untuk mempercepat waktu pengomposan.

EM4 (Effective Microorganism) merupakan bahan yang mengandung beberapa

mikroorganisme yang sangat bermanfaat dalam proses fermentasi. Mikroorganisme yang

terdapat dalam EM4 dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik,

meningkatkan ketersedian unsur hara untuk tanaman, serta menigkatkan aktivitas serangga,

hama dan mikroorganisme patogen (Djuarnani, dkk., 2005). EM4 mampu mempercepat proses

dekomposisi bahan organik dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman serta telah

diterapkan pada berbagai jenis tanaman dan kondisi tanah. (Sumber :Yuwono, 2007).

Nilai rasio C/N kotoran sapi umumnya diatas 30, oleh karena itu kotoran kambing harus

dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan ke tanaman. Prinsip pengomposan adalah

Page 26: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

19

untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20) (Siboro et al.,

2013). Pengomposan adalah proses penguraian bahan-bahan organik secara biologis oleh

mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Dewi dan

Treesnowati, 2012). Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan

lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan telah dikembangkan teknologi-teknologi

pengomposan, antara lain dengan menggunakan aktivator sehingga pengomposan berjalan

dengan lebih cepat dan efisien (Arisha et al., 2003). Bioaktivator yang

Berpijak dari permasalahan tersebut, maka penulis terdorong untuk membahas tentang

sistem pemanfatan limbah jerami kacang hijau di desa Manggali kecamatan Pallangga dengan

judul ‗Penambahan feses sapi pada jerami kacang hijau sebagai kompos‘.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen yaitu jenis penelitian yang

sistematis, logis dan teliti didalam melakukan kontrol terhadap kondisi yang ada.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dimulai pada bulan Februari sampai April 2019.

Persiapan pembuatan kompos bertempat di kelurahan Manggali Kecamatan Pallangga

Kabupaten Gowa, sedangkan untuk analisa parameter kualitas kompos sebelum dan setelah

matang dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas

Pertanian Universitas Hasanuddin.

Sebelum pengomposan dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk

mengetahui karakteristik dari jerami kacang panang dan feses sapi, yang meliputi nilai C-

organik, N-total, rasio C/N, kadar air, temperatur, dan pH.

Bahan utama kompos adalah Jerami Kacang Hijau dan Kotoran sapi, sedangkan

Bioaktivator yang digunakan dalam pengomposan adalah EM4. Bahan penelitian yang

digunakan antara lain, kotoran sapi yang berasal dari peternakan rakyat. Alat yang digunakan,

yaitu tempat pengomposan, sekop, plastik terpal, ember, gelas ukur, dan karung.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode statistic deskriptif, yaitu metode dengan cara

menghitung rata-rata setiap parameter yang diukur kemudian disajikan dalam bentuk Tabel dan

Grafik. Selanjutnya data yang diperoleh dijadikan acuan terhadap hasil penelitian mengenai

kompos. Setelah bahan dan wadah telah siap, maka akan dilakukan penentuan variasi komposisi

bahan kompos. Variasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat di lihat pada Tabel berikut:

Page 27: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

20

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930

suh

u k

om

po

s

Suhu Kompos

P0

P1

P2

P3

Tabel 1. Skema Variasi Penelitian Bahan Kompos

Keterangan : JKT = jerami Kacang Hijau

D. TeknikPengumpulan Data

a. Cara Pengumpulan Data

- Data Primer,diperoleh melalui pemeriksaan kadar air, suhu dan karakteristik fisik di

lapangan serta pemeriksaan C-Organik, N-Total, dan rasio C/N pada awal dan akhir

penelitian di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas

Pertanian Universitas Hasanuddin.

- Data Sekunder ,diperoleh melalui penelusuran ke perpustakaan berupa hasil penelitian

sebelumnya serta artikel-artikel mengenai pemeriksaan C-Organik, N-Total, rasioC/N,

kadar air dan suhu kompos.

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan kompos dilakukan dengan sistem anaerob. Bahan-bahan mentah akan

dihaluskan dengan cara mencacah untuk memperkecil ukuran partikel yang akan

dikomposkan. Setelah bahan kompos dicacah kemudian dicampurkan dengan aktivator

dan kotoran ternak sesuai dengan variasi yang telah ditentukan. Kompos yang telah

tercampur selanjutnya di masukkan ke dalam komposter. Setelah semua proses selesai,

keranjang ditutup dengan penutupnya kemudian kompos disimpan di tempat yang teduh

(memiliki sirkulasi udara yang lancar) serta terlindung dari sinar matahari.

E. Pengolahan/ Analisa Data

Analisa data yang dilakuakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Data dan hasil

pengukuran yang diperoleh dianalisis dan disajikan dalam bentuk table dan grafik

menggunakan software EXCEL.

Variasi Keterangan

Po 5 kg Jerami Kacang Hijau

P1 5 kg JKH + 4 kg kotoran sapi

P2 5 kg JKH+ 20 ml EM4

P3 5 kg JKH + 4 kg kotoran sapi + 20 ml EM4

Page 28: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Uji dan Analisis Bahan Kompos

1. Suhu

Suhu mempengaruhi jenis mikroorganisme yang hidup dalam medai. Ruskandi

(2001), dalam proses pengomposan aerobic terdapat dua fase yaitu fase mesolitik 23-

450 C dan fase termolitik 45-65

0C. Kisaran tempratur yang ideal kompos adalah 55-

650C, sedang fluktuasi suhu pada penelitian ini tidak

Keterangan

P0 = JKH (control)

P1 = JKH + Kotoran Sapi

P2 = JKH + EM4

P3 = JKH + Kotoran Sapi + ME4

lebih dari 470C, sedang mikroorganisme pengurai yang mampu berkembang biak

hanya bakteri mesofilik. Hasil pengukuran suhu selama proses pengomposan dapat dilihat

pada gambar 1.

Berdasarkan gambar 1 tersebut, bahwa suhu kompos selama 30 hari pengamatan

menggunakan EM4, menunjukkan peningkatan suhu secara bertahap, pada grafik dapat

dilihat bahwa suhu tertinggi pada variasi P2, P3, sedangkan pada suhu terendah pada P0.

Kematangan kompos terjadi pada suhu 26-280 C, pada hari ke 30. Hal tersebut

disebabkan aktivitas mikroorganisme yang membantu dalam proses pengomposan.

Dengan adanya decomposer menjadikan mikroorganisme pada kompos lebih aktif.

Aktivitas mikroorganisme yang tinggi menunjukkan dengan adanya peningkatan suhu,

sehingga pada hari ke 7 sampai hari ke 15 terjadi fluktuasi suhu pengomposan dari seluruh

perlakuan, sedangkan pada minggu ke 15 mulai terjadi fase pendinginan yang ditandai

dengan penurunan dari suhu 530

C. Pada hari ke 30 terjadi kestabilan suhu 26-270C, Suhu

ini sama dengan suhu tanah yang sesuai dengan persyaratan kompos matang.

2. Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH berungsi sebagai indicator proses pengomposan pada berbagai

activator. Mikroba kompos ada bekerja pada pada keadaan pH netral sampai sedikit

masam, dengan kisaran pH antara 5,5 sampai 7,5. Hasil analisa derajat keasaman (pH)

disajikan pada Tabel 1

Page 29: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

22

Tabel 1:: Derajat Keasaman (pH) pada Kompos

Sumber : Hasil Penelitian 2019

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai pH berada pada rentang nilai normal

proses pengomposan. Pada proses pengomposan berlangsung, peningkatan pH pada

masing-masing kompos bejalan dengan baik. Menurut SNI 19-7030-2004, nilai pH pada

suatu kompos yang matang yaitu antara 6,8 – 7,49 sehingga dari hasil pengomposan

tersebut semua variasi kompos memenuhi standarisai pengomposan.

3. C – Organik

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap proses fermentasi

pengomposan yang menggunakan jerami kacang hijau dan feses sapi dapat dilihat pada

Tabel sebagai berikut:

Tabel 2: Kandungan Unsur C Organik Kompos

No Perlakuan C- Organik (%)

Awal Akhir

1 P0 34,20 31.16

2 P1 33.15 29.30

3 P2 32.22 30.31

4 P3 34.22 29,35

Sumber: Hasil Analisa 2019

C- Organik pada kompos setelah mengalami proses dekomposisi,kandunganC –

Organik semakin menurun sehingga pada akhir pengomposan semua ariasi

menghasilkan nilai karbon sebesar 31.16, 29.30, 30.31, 29.35. C- Organik kompos

menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Permentan SR. 140/10/2011,

menyatakan bahwa syarat pupuk organic C – Organik yaitu min 15 %. Total C –

Organik dalam pupuk diengruhi oleh kualitas bahan organik dan aktivitas

NO Perlakuan Nilai pH

0 1 2 3 4

1 P0 6,73 6,83 6,87 6,94 6,92

2 P1 7,10 7.06 7,09 7,14 7,15

3 P2 7,05 7,23 7,28 7,26 7,29

4 P3 6,98 7,18 7,23 7,30 7,20

Page 30: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

23

mikroorganisme yang terlibat dalam penguraian bahan organic. Menurut Setyorini,

et,al, (2006), menyatakan baha peningkatan kadar C – Organik diduga terjadi karena

penurunan aktivitas mikroorganisme dan terdapat pula mikroorganisme yang mati

kematian mikroorganisme pengomposan akan menambah iomassa sehingga

meningkatkan C-Organik

4. Kandungan Unsur Nitrogen (NTotal)

Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam tanah yang

berperan penting dalam proses pelapukan atau dekomposisi bahan organic. Berdasarkan

hasil yang di dapat kandungan unsure nitrogen dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Kandungan N-Total Kompos

No Perlakuan N-Total ( % )

Awal Akhir

1 P0 0.65 1.36

2 P1 0.62 1.4

3 P2 0.66 1.58

4 P3 0.59 1.64

Sumber : Hasil Analisis 2019

Hasil penelitian yang di tunjukkan pada gambar di atas menunjukkan nilai N

pada kompos mengalami kenaikan. Kenaikan N-Total terbesar pada kompos yaitu pada

variasi KP 3 yakni sebesar 1.05%, sedangkan kenaikan terendah terdapat pada variasi KP 0

dengan nilai penurunan sebesar 0.71%. Nilai kandungan N-Total pada semua variasi

mengalami peningkatan padaakhir pengomposan. Peningkatan kandungan N-Total pada

kedua jenis kompos tersebut sudah memenuhi SNI yakni minimum 0.40%.

5. Analisis Rasio C/N

Rasio C/N merupakan perbandingan antara unsur karbon dan nitrogen. Prinsip dari

pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan organik mendekati nilai rasio C/N

tanah, yaitu berkisar antara 10-20. Berikut adalah hasil analisa C/N selama proses

pengomposan yang disajikan pada Tabel 4.

Page 31: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

24

Tabel 4 Nilai Rasio C/N Kompos

No Perlakuan Rasio C/N ( % )

Awal Akhir

1 P0 51.04 20,19

2 P1 53.46 20,25

3 P2 49.18 18.57

4 P3 57.98 17.21

Sumber: Hasil Analisis ,2019

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh bahwa rasio C/N masing-masing variasi mengalami

penurunan selama proses pengomposan. Hal ini disebabkan karena proses dekomposisi

yang sedang berlangsung dalam komposter, dan bahan yang digunakan seimbang antara

feses sapi dengan limbah jerami kacang hijau pada akhir pengomposan didapatkan nilai

pada masing-masing variasi kompos yaitu 20.9%, 20.25%, 18.00%, 17.333%. Berdasarkan

SNI, kompos yang matang memiliki nilai rasio C/N antara 10 – 20%, sehingga pada

kompos ini variasi kompos yang memenuhi SNI yaitu P1, P2 dan P3. Pada nilai rasio C/N

di antara 30 – 40 mikroba, mendapatkan cukup C untuk energy dan N untuk sintesis

protein. Apabila nilai C/N terlalu tinggi, maka mikroba akan kekurangan N untuk sintesis

protein sehingga dekomposisi berjalan lambat (Isro, 2008).

Selama proses pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan penurunan kadar

karbon dan peningkatan kadar nitrogen sehingga rasio C/N kompos menurun. Rasio C/N

yang terlalu tinggi akan menghambat proses pembusukan, sebaliknya jika terlalu

rendah mikroorganisme akan kekurangan C sebagai sumber energy (Pandebesei dan

Rayuanti,2013).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

bahwa Parameter yang diuji yaitu C-Organik, N-Total, Rasio C/N, Kadar Air dan pH. Senyawa

senyawa tersebut sangat berperan penting dalam proses pengomposan hingga pelaksanaan

pengomposan selesai sehingga dapat menghasilkan kompos matang.

DAFTAR PUSTAKA

Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Kajian penggunaan jerami dan pupuk N, P, dan K pada lahan

sawah irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 4 (1):15-24

Djuarnani, N., Kristian dan Setiawan. BS. 2005. Cara cepat membuat kompos. Agromedia

Pustaka. Jakarta.

Page 32: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25

25

Dobermann, A. dan T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management Potash

& Potash Institute of Canada.

Dwiyanto, K dan E. Handiwirawan. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola

integrasi tanaman-ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman dan

Ternak. Puslitbangnak. Bogor.

http://isroi.wordpress.com/2008/02/25/cara-mudah-mengomposkan-tandankosong- kelapa-

sawit/. (diunduh 25 April 2010).

http://isroi.wordpress.com/2008/02/25/kompos-jerami-mudah-murah/.(diunduh 23 April 2010).

http://www.knoledgebank.irri.org/ricedoctor. (diunduh tanggal 23 April 2010)

Indriani, Y. H, 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta p. 5-7.

Musnamar. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Purwa, D.R. 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2007. Kedelai: teknik produksi dan

pengembangan. Bogor. 523 hal.

Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan

Pengembangannya). Kanisius Yogyakarta.

SNI 19-7030-2004, --, Spesifikasi Kompos Dan Sampah Organik, --

-------,2004, Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik, Standar Nasional Indonesia

19-7030-2004

Page 33: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

26

Pengaruh Pemberian Bahan Aditif Berbeda terhadap pH dan

Kandungan Bahan Kering Silase Sorgum Manis (Sorghum

bicolor L.)

Mugfira1)

, B. Nohong 2)

, S. Nompo 2,

1)Mahasiswa Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak,

Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.

2)

Dosen Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas

Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Email: [email protected]

Abstrak

Sorgum memiliki kemampuan untuk tumbuh baik disaat musim hujan maupun

kemarau serta memiliki kandungan nutrisi yang hampir setara dengan rumput

gajah. Hal ini tentunya dapat menjadi solusi dalam penyediaan pakan hijauan yang

tidak kontinyu. Dalam pembuatan silase penambahan bahan aditif diperlukan

untuk memperoleh hasil silase yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pH dan kandungan bahan kering silase sorgum manis yang diberi

bahan aditif berbeda. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)

dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu P0: Kontrol, P1: Tepung Sagu 5%, P2:

Dedak Padi 5%, dan P3: Dedak Jagung 5%. Sampel dianalisis di Laboratorium

untuk mengetahui pH dan bahan kering dari silase. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pH silase sorgum pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata

(P>0,05). pH dari silase sorgum yang dihasilkan berkisar antara 3,83 – 3,89 yang

berarti merupakan silase dengan kualitas sangat baik. Sedangkan untuk kandungan

bahan kering, silase pada perlakuan P0 (kontrol) sangat nyata lebih rendah

(P<0,01) dibandingkan P2 dan nyata lebih rendah (P<0,05) terhadap P1 dan P3.

Hal ini menunjukkan bahwa silase sorgum manis dengan 13% bx yang dibuat

tanpa penambahan bahan aditif cukup layak untuk diterapkan melihat dari pH

silase yang dihasilkan merupakan pH dengan kategori sangat baik.

Kata kunci: Bahan Kering, pH, Silase, dan Sorgum

Abstract

Sorghum has the ability to grow during the rainy and dry seasons and has a

nutrient content that is almost equivalent to elephant grass. This certainly can be

a solution in the provision of non-continuous forage feed. The addition of

additives is needed when making silage to obtain better silage results. This study

aims to determine the pH and dry matter content of sweet sorghum silage given

different additives. The study used a completely randomized design (CRD) with 4

treatments and 4 replications, namely P0: Control, P1: Sago Flour 5%, P2: Rice

Page 34: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

27

Bran 5%, and P3: Corn Bran 5%. Samples were analyzed in the laboratory to

determine the pH and dry matter of silage. The results showed that sorghum

silage pH in treatments P0, P1, P2, and P3 were not significantly different

(P>0,05). The pH of the produced sorghum silage ranged from 3,83 – 3,89 which

means it is a silage with very good quality. As for the content of dry matter, silage

in P0 (control) significantly lower (P<0.01) than P2 and significantly lower

(P<0.05) than P1 and P3. This shows that sweet sorghum silage with 13% bx

made without the addition of additives is quite feasible to apply, seeing that the

pH of the resulting silage is a pH with a very good category.

Keywords: Dry Matter, pH, Silage, and Sorghum.

PENDAHULUAN

Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai

potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi

yang baik, toleran terhadap kekeringan dan genangan air, serta relatif tahan

terhadap gangguan hama atau penyakit (Silalahi dkk., 2018). Sorgum dapat

tumbuh dilahan kering, dan banyak berguna baik sebagai sumber bahan pangan,

pakan ternak maupun bahan baku bermacam industri. Potensi sorgum untuk

industri pakan (pengganti jagung) juga cukup tinggi (Nurharini, 2013).

Pemanfaatan tanaman sorgum sebagai pakan memiliki peluang yang

sangat terbuka, sebab kandungan nutrisi pada batang dan daun sorgum hampir

setara dengan rumput gajah yang sudah lebih dahulu populer sebagai bahan pakan

ternak ruminansia (Irawan dan Sutrisna, 2011). Menurut Suarni dan Firmansyah

(2016) kandungan nutrisi dasar sorgum adalah karbohidrat 70,7%, lemak 3,1%,

protein 10,4%, serat 2,0% dan kadar pati sorgum berkisar antara 56-73% dengan

rata-rata 69,5%. Pati sorgum terdiri atas amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-

80%), bergantung pada faktor genetik dan lingkungan.

Kandungan nutrisi sorgum yang baik, merupakan salah satu kelebihan

tanaman ini untuk dijadikan pakan. Selain itu, sorgum memiliki kemampuan

untuk tumbuh baik di saat musim hujan maupun kemarau. Hal ini tentunya dapat

menjadi solusi atas permasalahan peternak dalam hal penyediaan pakan hijauan

yang tidak kontinyu, dimana pada musim penghujan produksi hijauan melebihi

kebutuhan dan pada musim kemarau produksi hijauan kurang dari kebutuhan

(Malik, 2013). Menurut Syahrir dkk. (2013) agar pakan dapat tersedia secara

berkelanjutan, perlu metode khusus untuk mengefisienkan penyimpanan pakan,

Page 35: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

28

tanpa mengurangi massa dan kualitas pakan, dan teknologi tepat guna yang

aplikatif adalah pakan komplit berbentuk silase.

Silase merupakan teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air

tertentu melalui proses fermentasi oleh bakteri yang berlangsung di dalam tempat

yang disebut silo dengan tujuan untuk meningkatkan nilai gizi serta mengawetkan

pakan (Haresta, 2017). Untuk mempercepat proses fermentasi, perlu ditambahkan

zat atau bahan aditif dalam pembuatan silase. Menurut Stefani et al. (2010)

macammacam aditif silase seperti water soluble carbohydrat, bakteri asam laktat,

garam, enzim, dan asam. Dalam proses pembuatan silase, bahan tambahan sering

digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas dari

silase (Kojo dkk., 2015).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari tahun

2019, di Lahan Pastura dan Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan,

Universitas Hasanuddin, Makassar.

Materi Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, parang, chopper,

gunting, kantong plastik, tali raffia, lakban, label, timbangan, pH meter, amplop,

alat cetak UMB dan peralatan untuk analisis bahan kering

Bahan hijauan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman

sorgum yang berumur 80 hari dengan kandungan brix 13%. Bahan aditif yang

digunakan adalah tepung sagu, dedak padi, tepung jagung.

Metode Pelaksanaan a. Rancangan penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode Rancangan Acak

Lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu:

P0: Tanpa penambahan bahan aditif (kontrol)

P1: Penambahan tepung sagu 5%

P2: Penambahan dedak padi 5%

P3: Penambahan tepung jagung 5%

Page 36: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

29

b. Prosedur penelitian

Tanaman sorgum yang telah berumur 80 hari dipanen kemudian dilayukan

selama 3 jam hingga mencapai kadar air 70%. Selanjutnya dicacah + 3 cm

menggunakan mesin chopper. Tujuan pencacahan adalah agar hijauan sorgum

lebih mudah dipadatkan. Setiap satu plastik silo berisi 4,5 kg silase. Sorgum yang

telah dicacah selanjutnya ditambahkan bahan aditif sesuai dengan perlakuan yaitu

tanpa bahan aditif (P0), tepung sagu 5% (P1), dedak padi 5% (P2), dan dedak

jagung 5% (P3). Setelah itu, bahan atau hijauan silase dipadatkan sepadat

mungkin hingga yang tersisa hanya udara yang ada diantara rongga hijauan.

Plastik kemudian diikat dan dibungkus rapat untuk selanjutnya disimpan di tempat

teduh selama 25 hari untuk proses fermentasi. Setelah 25 hari, silase yang telah

jadi dibuka dan dipisahkan antara silase yang baik dan rusak. Tahap selanjutnya

yaitu melakukan pengukuran berdasarkan parameter yang hendak diuji.

Pengukuran parameter dilakukan dengan cara mengukur pH silase yang telah

dibuka menggunakan pH meter digital. Setelah itu mengambil sampel silase

sebanyak 100 g untuk dimasukkan kedalam oven selama 24 jam untuk

mengetahui kandungan bahan kering dari silase sorgum manis. c. Analisis data

Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan (Gaspersz, 1994) dengan

model matematika sebagai berikut:

Yij = µ + πi + Ʃij Keterangan:

Yij = Nilai Pengamatan dengan ulangan ke-j

µ = Rata-rata umum (nilai tengah pengamatan)

πi = Pengaruh perlakuan ke-I (I = 1, 2, 3, 4)

Ʃij = Galat percobaan dan perlakuan ke-I pada pengamatan ke-j (j = 1, 2, 3, 4)

Page 37: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis sidik ragam nilai pH dan kandungan bahan kering silase sorgum

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Pengukuran pH dan BK Silase Sorgum

Perlakuan Parameter

Nilai pH BK (%)

P0 3,88 + 0,09 23,00 + 0,82

a

P1 3,85 + 0,06 24,75 + 0,96

b

P2 3,88 + 0,05 27,75 + 1,26

c

P3 3,83 + 0,09 26,00 + 1,99

b

Keterangan: abc

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh

nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01). Hasil analisis Laboratorium Kimia Pakan

Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (2019).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan aditif tidak

memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pH silase sorgum. pH pada

perlakuan P3 atau silase dengan penambahan 5% dedak jagung menunjukkan pH

yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 3,83. pH yang

dihasilkan dari seluruh perlakuan silase berkisar antara 3,83 – 3,88. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa silase yang dibuat memiliki kualitas yang sangat baik. Hal

ini sesuai dengan pendapat Malik (2013) bahwa kualitas silase dibedakan menjadi

beberapa kategori, yaitu baik sekali (pH 3,2 – 4,2), baik (pH 4,2 – 4,5), sedang

(pH 4,5 – 4,8), dan buruk (pH > 4,8).

pH silase pada perlakuan tanpa bahan aditif (P0) tidak berbeda nyata (P>0,05)

dengan silase yang diberi bahan aditif (P1, P2, dan P3). Hal ini disebabkan

tanaman sorgum yang digunakan mengandung brix (kadar gula) sekitar 13%. Hal

tersebut menyebabkan penurunan pH dapat tetap terjadi mengingat gula

(karbohidrat) merupakan salah satu sumber makanan atau energi bagi bakteri

asam laktat. Perry et al. (2003) menyatakan bahwa penambahan bahan kaya akan

karbohidrat dapat mempercepat penurunan pH silase karena karbohidrat

merupakan energi bagi bakteri pembentuk asam laktat.

Despal et al. (2011) menyatakan bahwa penambahan water soluble

carbohydrates akan meningkatkan fermentable carbohydrate silase yang

menyediakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya bakteri untuk

Page 38: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

31

memproduksi asam laktat serta penurunan pH silase. Penambahan bahan aditif

untuk proses ensilase sering digunakan untuk memperbaiki kualitas silase.

Penambahan sumber water soluble carbohydrates menyebakan produksi asam

laktat yang cukup untuk menurunkan pH dan memperbaiki kualitas silase

(Bureenok et al., 2005).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan aditif

memberikan hasil kandungan bahan kering (BK) yang berbeda sangat nyata

(P<0,01) dan nyata (P<0,05) terhadap silase sorgum. Uji Duncan menunjukkan

bahwa perlakuan P0 sangat nyata lebih rendah (P<0,01) dibandingkan dengan

perlakuan P2 dan nyata lebih rendah (P<0,05) terhadap perlakuan P1 dan P3.

Adapun pada perlakuan P1 dan P3 nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan

perlakuan P2, sedangkan antara perlakuan P1 dan P3 tidak berbeda nyata

(P>0,05). Kandungan BK secara berurut dari yang paling rendah sampai yang

paling tinggi adalah P0 (24,00%), P1 (25,75%), P3 (27,00%) dan P2 (28,75%).

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan P0 (tanpa bahan aditif)

memiliki BK terendah, hal ini disebabkan karena kurangnya sumber energi bagi

bakteri asam laktat yang menyebabkan fase anaerob berlangsung lebih lama

dibanding perlakuan lain sehingga menghasilkan panas, CO2 dan H2O.

Peningkatan kadar H2O selama ensilase akan menyebabkan kandungan bakan

kering pada silase menurun sehingga menyebabkan peningkatan kehilangan bahan

kering (Surono dan Budhi, 2006). Riswandi (2014) bila sumber energi yang

digunakan oleh mikroba hanya berasal dari hijauan, mikroba akan memecah

komponen bahan makanan dari hijauan sehingga menyebabkan kandungan bahan

kering menjadi rendah.

Peningkatan kandungan BK tertinggi pada perlakuan P2 dapat disebabkan

oleh penggunaan bahan aditif (dedak padi) dalam pembuatan silase. Hasil

penelitian Santi dkk. (2012) menyatakan bahwa peningkatan level akselerator

memacu aktifitas fermentasi sehingga produksi H2O menurun dan kandungan BK

meningkat. Sawen dkk. (2003) melaporkan bahwa, dedak padi yang diberikan ke

dalam silase menambah kandungan bahan kering silase menjadi lebih tinggi antara

26,93% – 34,42%. Hasil penelitian Riswandi (2014) menunjukkan bahwa

kandungan bahan kering silase yang ditambahkan dedak halus 2,5% dan ubi kayu

Page 39: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

32

2,5% menghasilkan kandungan bahan kering silase tertinggi yaitu sebesar 13,43%.

Kandungan BK merupakan aspek penting dalam penentuan kualitas silase.

Bahan segar atau hijauan sorgum yang digunakan dalam penelitian memiliki

kandungan BK 30%. Dari data pada Tabel 2 diketahui bahwa pebuatan pakan

fermentasi berupa silase menurunkan kandungan BK dan meningkatkan kadar air

silase. Menurut Hu et al. (2009) silase berkualitas baik mengandung kadar air

sebesar 67% dan dalam kondisi ini pertumbuhan Clostridia sudah dapat ditekan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian silase sorgum, dapat disipulkan bahwa:

1. Perlakuan tanpa penambahan bahan aditif maupun dengan penambahan bahan

aditif memiliki pH berkisar 3,83 – 3,88. Untuk itu, pengaplikasian silase

sorgum manis dengan kandungan 13% bx, tanpa bahan aditif cukup layak

untuk diterapkan melihat dari pH yang dimiliki merupakan kategori silase

dengan kualitas sangat baik.

2. Kandungan BK silase secara berurut dari yang paling rendah sampai yang

paling tinggi adalah P0 (24,00%), P1 (25,75%), P3 (27,00%) dan P2 (28,75%).

DAFTAR PUSTAKA

Bureenok, S., T. Namihira, M. Tamaki, S. Mizumachi, Y. Kawamoto, and T.

Nakada. 2005. Fermentative quality of guineagrass by using fermented juice

of the epiphytic lactic acid bacteria (FJLB) as a silage additive. Asian-Aust.

J. Anim. Sci. 18:807-811.

Despal, I.G. Permana, S.N. Safarina, and A.J. Tatra. 2011. Addition of water

soluble carbohydrate sources prior to ensilage for ramie leaves silage

qualities improvement. Med. Pet. 34: 69-76.

Gaspersz, V. 1994. Metode Rancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian,

Teknik dan Biologi. Bandung: CV Armico. 472.

Haresta, J. 2017. Produksi Biomassa dan Silase Beberapa Genotipe Sorgum

(Sorghum bicolor (L.) Moench) yang Ditanam Secara Tumpangsari dengan

Ubikayu pada Dua Lokasi Berbeda. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar

Lampung.

Hu, E., R.J. Schmidt, E.E. McDonell, C.M. Klingerman, and L. Kung Jr. 2009.

The Effect of Lactobacillus buchneri 40788 or Lactobacillus plantarum

Page 40: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

33

MTD-1 on the Fermentation and Aerobic Stability of Corn Silage Ensiled at

Two Dry Matter Cortents. J. Dairy Sci. 92: 3907-3914.

Irawan, B., N. Sutrisna. 2011. Prospek pengembangan sorgum di Jawa Barat

mendukung diversivikasi pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 29(2):

99-113.

Kojo, R.M., Rustandi, Y.R.L. Tulung, dan S.S. Malalantang. 2015. Pengaruh penambahan dedak padi dan tepung jagung terhadap kualitas fisik silase rumput gajah (Pennisetum purpureumcv). Jurnal Zootec. 35(1): 21-29.

Malik, M.A. 2013. Kualitas Fisik dan Kimiawi Silase Tanaman Sorgum Manis

(Sorghum bicolor L. Moench) Umur 70 Hari dengan Penambahan Aditif.

Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nurharini, A. I. 2013. Pengaruh Waktu Panen Batang Sorgum Manis (Sorghum

bicolor (L) Moench) terhadap Nira yang Dihasilkan. Skripsi. Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Perry, E., J.E. Oldfield, and W.W. Heinemann. 2003. Feeds and nutrition. 2nd

Edition. California: The Ensminger Publishing Company.

Riswandi.2014. Kualitas Silase Eceng Gondok (Eichornia crassipers) dengan

Penambahan Dedak Halus dan Ubi Kayu. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3(1).

Santi, R.K., D. Fatmasari, S.D. Widyawati dan W.P.S. Suprayogi. 2012. Kualitas

dan Nilai Kecernaan InVitro Silase Batang Pisang (Musa paradisiaca)

dengan Penambahan Beberapa akselerator. Journal Tropical Animal

Husbandry. 1(1): 15-23.

Sawen, D., O. Yoku, dan M. Junaidi. 2003. Kualitas Silase Rumput Irian (Sorgum

sp) dengan Perlakuan Penambahan Dedak Padi pada Berbagai Tingkat

Produksi Bahan Kering. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Negeri Papua, Monokwari.

Silalahi, M.J., A. Rumambi, M.M. Telleng, W.B. Kaunang. 2018. Pengaruh

pemberian pupuk kandang ayam terhadap pertumbuhan tanaman sorgum

sebagai pakan. Zootec. 38(2) :286-295.

Stefani, J.W.H., F. Driehuis, J.C. Gottschal, and S.F. Spoelstra. 2010. Silage

fermentation processes and their manipulation: Electronic Conference on

Tropical Silage. FAO: 6-33.

Suarni dan I.U. Firmansyah. 2016. Struktur, Komposisi Nutrisi dan Teknologi

Pengolahan Sorgum. Inovasi Teknologi dan Pengembangan. Balai

Penelitian Tanaman Serealia.

Surono, M.S., dan S.P.S. Budhi. 2006. Kehilangan Bahan Kering dan Bahan

Organik Silase Rumput Gajah pada Umur Potong dan Level Aditif yang

Berbeda. Journal Indonesia Tropical Animal Agricultur. 31(1): 62-67.

Syahrir, S., M.Z. Mide dan Harfiah. 2013. Evaluasi Fisik Ransum Lengkap

Berbentuk Wafer Berbahan Bahan Utama Jerami Jagung dan Biomassa

Page 41: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33

34

Murbei. Proseding Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri

Peternakan. Bogor, 18–19 September 2013.

Page 42: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO

DAUN MAJA (Aegle marmelos) DAN DAUN GAMAL (Gliricidia sepium)

Digestibility of Dry Matter and Organic Matter in vitro Aegle marmelos and Gliricidia sepium Leaves

Harniati*, Rohmiyatul Islamiyati**, Ismartoyo**

*)Alumni Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

**)Staf Pengajar Fakultas Peternakan - Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalenrea Makassar.

email: [email protected].

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan organik in

vitro daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal (Gliricidia sepium). Penelitian ini dianalisis

menggunakan uji T dengan lima ulangan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan

bahan kering dan bahan organik in vitro tidak berbeda nyata (P>0,05) antara daun maja dan

daun gamal. Disimpulkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro daun maja

dan daun gamal adalah sama

Kata kunci : Daun maja, daun gamal, kecernaan, in vitro

PENDAHULUAN

Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman leguminosa yang memiliki kandungan

protein cukup tinggi, daun gamal ini banyak di manfaatkan di antaranya pakan ternak

ruminansia. Sebaliknya daun maja (Aegle marmelos) kurang dimanfaatkan oleh peternak

sebagai pakan ternak, padahal tanaman ini juga memiliki kandungan protein yang tinggi. Maka

dari itu pada penlitian ini akan membandingkan nilai kecernaan daun gamal dan daun maja.

Daun maja (Aegle marmelos) memiliki kandungan nutrisi seperti kadar air 10,07%,

protein kasar 18,20%, lemak kasar 3,84%, serat kasar 16,16% dan kadar abu 23,18% (Singh dkk,

2012). Adapun zat anti nutrisi pada daun maja (Aegle marmelos) yaitu tannin 2,3% saponin 3,7%

dan phytic 0,6 (Harniati 2018). Sedangkan kandungan nutrisi yang terkandng pada daun gamal

(Gliricidia sepium) yaitu kadar protein 25,7%, serat kasar 13,3%, kadar abu 8,4% dan BETN

4,0%(Hartadi et al, 1997)

Metode in vitro adalah suatu metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung yang

dilakukan di laboratorium dengan meniru proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan

ruminansia. Keuntungan metode in vitro adalah waktu lebih singkat dan biaya lebih murah.

Metode in vitro bersama dengan analisis kimia saling menunjang dalam membuat evaluasi pakan

hijauan (Pell dkk, 1993).

Kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap

sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Kecernaan

Page 43: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-37

35

bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan. Setiap jenis ternak

ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam

mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan (Sutardi dkk, 2001).

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun maja (Aegle marmelos), daun

gamal (Gliricidia sepium), dan cairan rumen. Peralatan yang digunakan adalah blender, termos,

dan alat-alat laboratorium untuk analisis bahan kering dan bahan organik in vitro

Metode Penelitian

Persiapan sampel daun maja dan daun gamal. Hijauan dipilih dalam keadaan segar dan

diambil bagian yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Hijauan ditimbang, setelah itu bahan dioven

dengan suhu 60oC sampai kering, digiling lalu diayak melalui saringan berdiameter 1 mm. Tahap

kedua yaitu pengujian kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro dengan metode Tilley dan

Terry (1963).

Parameter yang Diukur

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kecernaan in vitro bahan kering

(KCBK) dan kecernaan in vitro bahan organik (KCBO) daun maja (Aegle marmelos) dan daun

gamal (Gliricidia sepium.

Keterangan :

DCBK = Daya Cerna Bahan Kering

BKS = Bahan Kering Sampel

BKR = Bahan Kering Residu

BKRB = Bahan Kering Residu

Blanko

Keterangan :

DCBO = Daya Cerna Bahan Organik

BOS = Bahan Organik Sampel

BOR = Bahan Organik Residu

BORB = Bahan Organik Residu

Blanko

Analisis data

Page 44: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-37

36

Data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan SPSS uji T (uji independen

sampel T Test) (Sugiyono, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecernaan bahan kering dan bahan organik daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal

(Gliricidia sepium) pada hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar4.

Gambar 3. Kecernaan Bahan Kering In vitro Daun Maja (Aegle marmelos) dan Daun Gamal (Gliricidia

sepium).

Gambar 4. Kecernaan Bahan Organik in vitro Daun Maja (Aegle marmelos) dan Daun Gamal

(Gliricidia sepium)

Berdasarkan uji t bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro tidak berbeda

nyata (P <0.05) antara daun maja dan daun gamal. Kecernaan bahan kering daun gamal (

59,44%) dan kecernaan bahan kering daun maja (50%). Kecernaan bahan organik daun gamal

(57.95%) dan kecernaan bahan organik daun maja (50.83%). Hal ini menunjukkan bahwa

tingginya kecernaan bahan kering pakan juga diikuti oleh kecernaan bahan organik. Sutardi, dkk

(2001) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan

organik merupakan bagian terbesar dari bahan kering. Tinggi rendahnya konsumsi bahan organik

akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsumsi bahan kering.

Kecernaan bahan kering dan bahan organik hasil penelitian yang didapatkan lebih rendah

dibanding dengan penelitian Hadi dkk (2011) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering

gamal (Gliricidia sepium) 60,06% dan bahan organik gamal (Gliricidia sepium) 59,13%, adanya

perbedaan nilai yang didapat cenderung dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanaman, umur tanaman dan

lama pakan dalam rumen. Semakin tinggi kecernaan bahan kering suatu bahan pakan semakin

tinggi pula peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk pertumbuhan. MCdonald

daun gamal, 59.44%

daun maja, , 50%

44%46%48%50%52%54%56%58%60%62%

daun gamal, 57.95%

daun maja, , 50.83%

46%

48%

50%

52%

54%

56%

58%

60%

Page 45: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-37

37

et al,.(2002) menyatakan bahwa nilai daya cerna bahan kering dan bahan organik dapat

dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan, perlakuan pakan dan taraf pemberian pakan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disimpulan bahwa kecernaan bahan kering

dan bahan organik in vitro daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal (Gliricidia sepium)

adalah sama.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi. R.F., Kustantinah., H. Hartadi.(2011). Kecernaan in-sacco hijauan leguminosa dan hijauan

non leguminosa dalam rumen sapi peranakan oongole. Buletin Peternakan

Vol.35(2):79-85

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk

Indonesia. Cetakan III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

McDonald, p.,r.a. Edwards, j.f.d. greenhalg and c.a. morgan. 2002. Animal nutrition. 6th

ed.

Ashford color pr., gosport.

Pell., Cherney and J.S. Jones. 1993. Technical note: Forage In vitro Dry Matter Digestibility as

influenced by Fibre Source in The Donor Cow Diet. J. Animal Sci 71.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Sutardi, T., N. A. Sigit, T. Toharmat. 2001. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan

Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikroba Rumen. Fapet

IPB Bekerjasama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Tilley, J.M. A. dan R.A. Terry, 1963. The relationship between the soluble

constitutent herbage and their dry matter digestibility. J. British Feed Sci. 18:104-

111

Page 46: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

38

Pengaruh Pengunjung Terhadap Tingkah Laku dan Konsumsi Makan Rusa Totol

(Axis-axis) Pada Penangkaran Rusa Totol di Fakultas Peternakan Unhas

Agil Suharto1, Anie Asriany

2, Ismartoyo

3

ABSTRAK

Rusa totol ( axis – axis ) merupakan salah satu spesies yang tinggal di daerah tropis yang

disebut Indian Deerpopulasinya sebanyak di temukan di luar habitat aslinya, khusus di

penangkaran, Rusa dapat menjadi daya tarik pengunjung di penangkaran, karena

penampilannya yang menarik. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai juli 2019. Di

penangkaran rusa Fakultas Peternakan Unhas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

pengaruh pengunjung terhadap pemberian pakan oleh pengunjung terhadap konsumsi

makan dan tingkah laku rusa. Metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung di

lapangan ( observasi survey ) dengan metode Time Sampling dilakukan terhadap rusa yang

berada di penangkaran, wawancara dengan pengunjung serta studi pustaka. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa jenis pakan yang diberikan oleh pengunjung meliputi kangkung,

wortel, sawi. rumput lapangan, hal ini tidak berpengaruh terhadap tingkah laku dan

konsumsi makan rusa, akan tetapi memberikan perubahan pada tingkah laku dan konsumsi

makan yang meningkat.

Kata Kunci: Pengunjung, Komsumsi rusa, rusa totol (Axis-axis), tingkah laku

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rusa totol (Axis axis) merupakan salah satu spesies rusa yang tinggal di daerah tropis

yang disebut indian deer, spotted deer atau chital deer.Rusa totol (Axis axis) pada saat ini

termasuk satwa yang dilindungi dalam habitat yang baik, mudah berkembangbiak, sehingga

satwa ini sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan dapat dibudidayakan dengan

memberikan nilai ekonomis.Sebagai sumber daya alam rusa mempunyai banyak manfaat

terutama sebagai sumber pangan dan objek wisata, disamping sebagai ilmu pengetahuan,

pendidikan serta estetika.Hal ini cukup menguntungkan bagi Indonesia yang memiliki

potensi rusa cukup besar.

Ciri Rusatotol (Axis axis) mempunyai lingkar dada 75-79 cm, memiliki panjang ekor

20-30 cm, tinggi bahu 110-40 cm, dan berat hidup dewasa 75-100 Kg (Fajri, 2000).

Menurut Harianto dan Dewi (2012) berat badan jantan mencapai 70-90 kg dengan tinggi

mencapai 90 cm, berat betina mencapai 40-50 kg, dengan tinggi 80 cm dan berat lahir 3,5

kg, rusa totol (Axis axis)memiliki kulit yang berwarna coklat kemerah-merahan, dipenuhi

dengan bintik-bintik besar berwarna putih. Garis gelap membujur sepanjang punggung rusa

totol(Axis axis) bagian perut dan kaki berwarna putih.Leher terdapat bagian yang berwarna

putih, moncongnya berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan bagian wajah.Ekornya

berukuran lebih besar bila dibandingkan dengan jenis rusa pada umumnya dan rusa jantan

memiliki alat pertahanan berupa tanduk (ranggah).

Manfaat yang dimiliki rusa menyebabkan perburuan tidak terkendali, sehingga

populasi rusa di alam mengalami penurunan.Selain itu, rusaknya habitat di alam baik akibat

kegiatan perburuan maupun rusak secara alami, menjadi faktor penting yang mengancam

keberlangsungan hidup rusa,untuk menjaga populasi di alam tetap terjaga maka dilakukan

Page 47: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

39

upaya penangkaran.(Semiadi dan Nugroho, 2004). Usaha penangkaran rusa saat ini telah

banyak dilakukan, baik secara in-situ(pemeliharaan atau penangkaran satwa di habitat alam

atau di habitat aslinya) maupun ex-situ( pemeliharaan atau penangkaran satwa di luar habitat

aslinya)untuk mencapai keberhasilan dalam perkembangbiakannya perlu dipelajari berbagai

aspek fisiologi dan ekologinya salah satunya adalah pengetahuan tingkah laku satwa, dan

jenis pakan yang diberikan.

Habitat adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik

yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta

berkembangbiaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan

yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi

menyediakan makanan, air dan pelindung. Tipe habitat yang diperlukan suatu satwa

diidentifikasi melalui pengamatan fungsi-fungsinya, misalnya untuk makan atau bertelur,

struktur vegetasi berfungsi sebagai pengaturan ruang hidup suatu individu dengan unsur

utama adalah: bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk (Alikodra, 1990).

Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang

dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk

tempat bernaung (istirahat), kawin, dan menghindarkan diri dari predator (Garsetiasih dan

Takandjandji.,2006). Habitat penangkaran berbeda dengan habitat alami, berdasarkan ciri

habitatnya, pada habitat penangkaran terdapat peningkatan nutrisi, bertambahnya persaingan

intraspesifik untuk memperoleh pakan, berkurangnya pemangsaan oleh predator alami,

berkurangnya penyakit dan parasit serta meningkatnya kontak dengan manusia (Dewi dan

Wulandari.,2011).

Awal pemeliharaan rusa totol (Axis axis) di Universitas Hasanuddin didatangkan dari

Bogor pada tahun 2011 dengan jumlah populasi sebanyak 40 ekor, dengan sistem

pemeliharan ekstensif dengan pakan yang diberikan berupa wortel dan kangkung,

perpindahan rusa dari tempat penangkaran sebelumnya yaitu di taman pintu satu Univesitas

Hasanuddin ke Fakultas Peternakan pada tahun 2017 dengan jumlah populasi 32 ekor, yang

berada di penangkaran rusa totol (axis axis) Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,

dengan pola pemeliharaan ekstensif serta pakan yang di berikan berupa wortel dan

kangkung.

Sebagai satwa ruminansia, rusa totol (Axis axis) lebih dominan mengkonsumsi

rumput-rumputan.Meski rusa totol (Axis axis) lebih dominan mengkonsumsi rumput-

rumputan, rusa totol (Axis axis) hampir menyukai segala jenis pakan tambahan, seperti biji-

bijian, pelet, jagung, kentang dan buah-buahan, serta sayur-sayuran, bahkan limbah

pertanian (Semiadi dan Nugroho., 2004). Lebih lanjut dijelaskan nutrisi pada pakan yang

diberikan sebaiknya terdiri dari air, protein, lemak, energi, mineral dan vitamin yang cukup,

karena pada titik tertentu penggabungan protein, lemak dan energi akan menjadi sumber

energi bagi rusa tersebut. Misalnya dedak padi mengandung lemak dan energi yang lebih

banyak yaitu sekitar 5% dan 68% dibanding rumput-rumputan yang hanya sekitar 3% dan

53% dan jenis pakan kacang-kacangan misalnya turi, lamtoro mengandung protein yang

lebih tinggi yaitu 22% dibanding rumput-rumputan yang hanya sekitar 10-13%.

Secara umum, jenis hijauan pilihan yang digunakan sebagai pakan rusa memiliki

kandungan gizi yang tinggi dibandingkan dengan rumputlapang yang sehari-hari diberikan

di penangkaran.Rusamembutuhkan protein, kalsium, dan fosfor masing-masing adalah 13-

16%, 0.45%, dan 0.35% dari bahan kering pakannya untuk pertumbuhan optimal

(Garsetiasih, 1990). Kebutuhan protein rusa totol (Axix axis) yang berumur lebih dari 12

bulan adalah19% dari bahan kering sedangkan kebutuhan energi rusa adalah

3381Kkal/ekor/hari. Oleh sebab itu, pemberian pakan perlu dibuat formulasi(pencampuran

bahan pakan lainnya), sehingga kebutuhan pertumbuhan rusa dapat terpenuhi dan tidak

terjadi defisiensi zat gizi pakan (Setio, dkk., 2011). Penggunaan energi seekor rusa betina

Page 48: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

40

untuk keperluan metabolisme, berdiri, berlari, berjalan (1,63 km per hari), mencari makan,

bermain dan memamah biak rata-rata 1.908 kcal, sedangkan seekor rusa jantan untuk

berbagai aktivitas membutuhkan energi 1.907 kcal. Energi yang terkandung dalam hijauan

(bahan kering) yang dikonsumsi rusa per ekor per hari yaitu 863 gram daun (per gram daun

= 3,542 kcal) dan 107 gram (per gram rumput = 3,174 kcal) rumput, maka jumlah energi

yang tersedia adalah 3.381 kcal (Mukhtar, 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pakan rusa yang diberikan oleh

pengunjung dipenangkaran serta mengidentifikasi ada tidaknya perubahan konsumsi makan

dan tingkah laku rusa totol di penangkaran akibat pemberian pakan oleh pengunjung.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2019 di penangkaran Rusa Totol

(Axis-axis)Universitas Hasanuddin.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, kamera, timbangan,danalat

tulis.Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: wortel, kangkung, konsentrat

dan rumput gajah. Sedangkan satwa yang diamati dalam penelitian ini adalah:Rusatotol

(Axis axis). Rusa yang dijadikan satwa percobaan sebanyak 30 ekor merupakan rusa totol

(Axis axis)jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda dan anakan (pedet).Di

penangkaran rusa totol (Axis axis) Universitas Hasanuddin.

Metode penelitian

a. Metode pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode Observasi/Survei, pengamatan tingkah laku

harian dilakukan dengan tekhnik kombinasi antara Scan Sampling Method dan Time

Sampling Method (Martin dan Bateson.,1986).Yaitu pengamatan tingkah laku berjalan,

mencari makan, istirahat, berdiri.Pencatatanmengikuti pergerakan rusa totol dengan

memperhatikan jenis dan frekuensi kegiatan.Setiap individu diamati secara

bergantian.Setelah satu individu diamati maka pengamatan dilakukan terhadap individu

yang lain (Altman, 1974).

Tabel 1. Perubah Yang Diukur Dalam Penelitian

Tujuan Peubah Data Metode

Tingkah Laku

Konsumsi

Makan

Istirahat

Sosial

Jenis

Frekwensi

Jumlah

Aktivitas

Waktu Aktivitas

Distribusi

Jenis Pakan

Waktu Pemberian Pakan

Jumlah Pemberian Pakan

Observasi

Observasi

Wawancara

Fokus Pengamatan dilakukan pada satu kelompok rusa totol (axis axis)yang terdiri

dari jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda dan anakan. Waktu

pengamatan dilakukan setiap 2 jam dari pengamatan selama 12 jam pada pagi hari (pukul

07.00 - hingga pukul 18.00 Wita), dan total pengamatan selama 4 minggu.

Page 49: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

41

Wawancara dilakukan pada pengunjung untuk mengetahui pakan yang diberikan meliputi

jenis pakan dan jumlah pakan.. Pengunjung banyak yang datang terjadi pada hari libur,

dengan jumlah pengunjung 10 – 40 orang, sedangkan pengunjung pada hari kerja, dengan

jumlah 5 – 15 orang.

Analisis Data

Data dan informasi hasil pengamatan rusa di penangkarang di analisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Penangkaran Rusa Totol (Axis-axis) Fakultas Peternakan

Penangkarang rusa fakultas peternakan merupakan lokasi dilakukannya

pemeliharaan dan pengembangan jenis rusa totol (Axis-axis). Penangkarang rusa totol yang

berada di Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin memiliki luas kandang 2024,88m2,

yang memiliki lokasi strategis berhadapan sekolah pasca sarjana universitas hasanuddin dan

jalan utama kampus, sehingga mudahnya akses ke penangkarang rusa.

Populasi Rusa totol pada penangkaran rusa sebanyak 30 ekor yang terdiri dari Rusa jantan,

betina dan anakan. Struktur populasi rusa totol (Axix-Axis) pada Tabel berikut.

Tabel 2. Struktur Populasi Rusa Totol Di Penangkaran.

Jenis rusa Jumlah rusa kandang I

(Ekor)

Jumlah rusa kandang II

(Ekor)

Jantan 6 5

Betina 7 3

Anak 8 1

Sumber : Hasil pengamatan di penangkaran rusa totol fakultas peternakan (2019).

Di penangkaran rusa di fakultas peternakan terdapat 3 jenis pohon yang tumbuh

yaitu pohon mangga, pohon nangka dan pohon tranda besi. Pohon yang ada di penangkaran

dimanfaatkan rusa tempat istirahat, bernaung dan tidur . Hal ini sependapat dengan pendapat

semiadi dan taufik (2004) yang menyatakan bahwa naungan sangat diperlukan bagi rusa

untuk yang berada di penangkaran. Di alam bebas, naungan akan dicari sendiri oleh rusa

manakala diperlukan. Namun didalam penangkaran harus disediakan naungan untuk

menghindari stres akibat dari ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim (panas dan hujan) salah

satunya dengan penanaman pohon pada area penangkaran. Selain naungan berupa pohon,

pagar juga merupakan salah satu fasilitas yang harus tersedia pada penangkaran.

Sistem penangkaran rusa totol di fakultas peternakan berbeda dengan habitat aslinya

di alam liar. Sistem penangkaran rusa di fakultas peternakan yaitu sistem semi-intensif. Hal

pemberian pakan diatur pengelolah dan pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pagi hari dan

sore, sedangkan aktivitas lainnya dibiarkan secara alaminya. Menurut Setio (2008), pola

pemeliharaan pada sistem penangkaran menyebabkan perbedaan tingkah laku pada rusa. Tingkah laku pada rusa dengan sistem pemeliharaan secara ekstensif masih menunjukkan

sifat liar dibandingkan dengan sistem intensif. Pada sistem intensif, cenderung lebih jinak

jika dibandingkan dengan sistem ekstensif dan semi-intensif. Oleh karenanya, domestika

baik dilakukan pada penangkaran dengan sistem semi-intensif dan intensif. Namun dalam

pembuatan habitat dengan sistem semi-intensif dan intensif tetap harus memenuhi

kebutuhan hidup rusa seperti dihabitat alaminya, seperti sumber air dan tempat berlindung.

Tingkah Laku Rusa Akibat Pemberian Pakan Oleh Pengunjung

Page 50: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

42

Aktivitas harian rusa di penangkaran termasuk rendah, dibanding dengan aktivitas di alam.

Wirdateti et al. (1997) diacu oleh Dewi at all (2015) bahwa pada rusa merah kegiatan

hariannya sebagian besar 56% digunakan untuk merumput, 22% memamah biak, 12% tidur,

5% berdiri, dan 3% berjalan-jalan. Hal ini dimungkinkan karena pakan rusa di penangkaran

telah disediakan, sementara di alam rusa mencari pakan sepuasnya karena ketersediannya

cukup banyak. Menurut Dewi et al. (201`5) kegiatan rusa sehari-hari di alam dan di

penangkaran mempunyai proporsi yang berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan dan jenis rusa.

Hasil pengamatan pada tingkah laku rusa di penangkaran yaitu tingkah laku makan,

tingkah laku ruminasi, tingkah laku istirahat dan tingkah laku bermain, dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Tingkah Laku Rusa di Penangkaran

Parameter P1 P2 P3

Tingkah laku makan (menit) 141,75ᵃᵇ±13,67 95,75ᵃ±25,47 157,00ᵇ±43,73

Tingkah laku ruminasi (menit) 104,00ᵃ±27,82 74,00ᵃ±15,64 147,50ᵇ±23,74

Tingkah laku istirahat (menit) 75,00ᵃᵇ±23,07 98,25ᵇ±24,00 63,00ᵃ±11,10

Tingkah laku bermain (menit) 63,00ᵇ±23,45 32,00ᵃ±7,57 44,50ᵃᵇ±19,33

Hasil pengamatan rata-rata tingkah laku makan rusa, yaitu 13,67 % (Tabel 2),

dengan lama waktu makan 141,75 menit/12 jam. Lama waktu makan menurut Ismail (2001),

yaitu 192,67±59,88 menit/ 12 jam, dan menurut Wirdateti et al. (2005), 25–190 menit. Hal

ini menunjukan bahwa lamanya waktu yang dibutuhkan rusa untuk memakan rumput tidak

jauh berbeda meskipun berada di tempat yang berbeda. Perbedaan lama makan rusa

disebabkan adanya perbedaan bobot badan dan jenis pakan yang diberikan (Afzalani et al.,

2008). Tingkah laku makan tertinggi ditunjukkan pada saat pakan tersedia, yaitu ketika pagi

pukul 08.00 – 10.00 dan sore hari pukul 16.00–18.00. Lelono (2004) menyatakan pola

perilaku makan harian rusa timor terdiri atas empat periode puncak, yaitu dini (01.00–

03.00), pagi (06.00–08.00), siang (11.00–14.00), dan malam (17.00–20.00). Alokasi waktu

untuk merumput selama periode waktu 24 jam menurut Arnold (1981) dipengaruhi oleh

kebutuhan pakan, jumlah, dan distribusi vegetasi pakan, serta kecepatan makan hewan.

Tingkah laku makan rusa berbeda ketika ada pengunjung, semakin banyak

pengunjung, semakin tinggi tingkah laku makan rusa. Hal ini terlihat ketika pengunjung

yang datang hanya sedikit tingkah laku makan rusa rendah, sedangkan ketika pengunjung

banyak yang datang tingkah laku makan rusa tinggi menjadi . Jumlah pengunjung saat

kunjungan tinggi, yaitu hari minggu pagi dan sore mencapai 50 orang sehari. Pengunjung

yang datang umumnya adalah anak-anak . Anak-anak senang dengan hal-hal baru yang tidak

biasa dilakukan seperti memberi makan. Adanya pengunjung dapat mempengaruhi tingkat

perilaku makan rusa. Rusa selalu mendekati pengunjung yang menghampiri sisi kandang

walaupun tidak beri pakan.

Hasil pengamatan rata-rata waktu istirahat yaitu 23,07%, dengan lama waktu

istirahat 75,00 menit/12 jam.. Waktu istirahat rusa tertinggi terjadi pada siang hari, yaitu

sekitar pukul 12.00–14.00 WITA, hal ini sesuai dengan pernyataan Wirdateti et al. (1997),

rataan kegiatan istirahat lebih tinggi di siang hari, yaitu setelah makan sekitar pukul 13.00–

16.30 WIB. Menurut Lelono (2004), aktivitas istirahat dilakukan pada pagi dan sore hari

setelah aktivitas makan. istirahat rusa berbeda ketika adanya pengunjung, yaitu semakin

banyak pengunjung, semakin berkurang istirahat rusa Hal ini karena adanya gangguan

pengunjung, ketika ada pengunjung, rusa berdiri dan bergerak mendekati pengunjung di

pinggir kandang, setelah pengunjung pergi rusa kembali berbaring untuk istirahat.

Pengunjung dapat mempengaruhi waktu istirahat rusa dipenangkaran, kondisi tersebut akan

berpengaruh terhadap kesehatan rusa, karena terganggunya aktivitas istirahat.

Page 51: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

43

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa lama waktu ruminasi rusa

totol terjadipada komsumsi pakan rumput gajah dengan waktu 147,5 menit. Sedangkan

tingkah laku ruminasi antara pakan wortel tidak berbeda nyata meskipun lama waktu

ruminasi pakan wortel lebih lama dibandingkan dengan lama waktu ruminasi pada pakan

konsentrat. Hal ini disebakankarena rumput gakah memiliki kandungan serqt tinggi dan

tekstur yang kasar sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dicerna berbeda

dengan wortel dan konsentrat yang kadar seratnya relatif lebih rendah. Hal ini berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Wulandari (2011) melaporkan bahwa

aktivitas ruminasi berkisar antara 254,92-281,28 menit per 12 jam. Perbedaan hasil

penelitian yang cukup signifikan dari hasil penelitian sebelumnya disebabkan oleh

perbedaan jenis rusa yang digunakan dan jenis pakan yang diberikan..

Selain aktivitas makan, ruminasi dan istirahat, rusa juga melakukan aktivitas lain

disela waktu makan yaitu aktivitas bermain seperti anakan berlari dengan anakan lainnya

atau berlari berkejaran dengan rusa betina dewasa lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan

jumlah waktu bermain yang cukup tinggi yaitu 63 menit pada pemberian pakan

wortel.Tingkah laku bermain pada pemberian pakan rumput gajah tidak berbeda nyata

dengan tingkah laku bermain pada pemberian konsentrat.Begitupun tingkah bermain pada

pemberian pakan rumput gajah dengan wortel. Menurut wirdateti,dkk (1997) ketika makan

rusa biasanya akan diselingi dengan bermain antara rusa, dalam keadaan lapar menjelang

makan, rusa jarang diam, selalu berjalan-jalan disekitar lokasi penangkaran

Konsumsi Rusa Akibat Pemberian Pakan Oleh Pengunjung

Dipenangkaran rusa Fakultas Peternakan unhas pakan yang dikonsumsi rusa selain yang

diberikan oleh pengelolah maupun pengunjung yang datang di penangkaran. Pemberian

pakan oleh pengelolah sebanyak dua kali perhari, yaitu pukul 08.00 WIT dan sore pukul

14.00 WIT. Jenis pakan yang diberikan oleh pengelola yaitu wortel dan konsentrat,

sedangkan Pakan yang diberikan pengunjung di penangkaran, yaitu wortel, kangkung, sawi,

rumput liar yang ada di sekitar penangkaran.Rusa sangat menyukai pakan yang diberikan

oleh pengunjung, semua jenis-jenis pakan tersebut dimakan rusa. Kandungan gizi pakan

rusa disajikan pada Tabel 3.

.

Tabel 3. Kandungan gizi pakan rusa di penangkaran rusa fakultas peternakan

Bahan pakan BK PK SK LK

Rumput setaria2

Rumput lapang1

21

24,40

12,7

2,80

35

25,70

0,99

0,30

Wortel1

91,67 13,16 6,15 2,05

Kangkung1

- 28,5 10,0 54

Konsentrat1

Sawi2

100,00

8,32

19,16

2,46

19,79

1,10

5,85

0,12

Sumber:

Dilla (2019)

Dewi at all (2015)

Hasnawati et al. (2006) menyatakan bahwa pakan rusa selain rerumputan dan dedaunan,

sebagai tambahannya dapat berupa konsentrat, sayurmayur, umbi-umbian atau limbah

pertanian. Tingkat kesukaan rusa terhadap pakan yang diberikan oleh pengunjung di

penangkaran Fakultas Peternakan adalah disukai rusa. Hal ini dikarenakan pakan utama rusa

adalah hijauan dan sayuran, di seperti wortel dan kangkung. Selain wortel dan kangkung,

Page 52: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

44

rusa juga menyukai daun mangga yang jatuh di dalam kandang. Konsumsi rusa di

Penangkaran Fakultas Peternakan pemberian pakan yang berbeda menunjukan tingkat

konsumsi yang berbeda pula. Hal ini akibat adanya pemberian pakan tambahan dari

pengunjung. Pemberian pakan oleh pengunjung tidak memberikan pengaruh yang terhadap

pola konsumsi rusa di penangkaran

Hasil pengamatan dilapangan pengaruh pola makan rusa dipenangkaran rusa di Fakultas

Peternakan terhadap banyak tidaknya pengunjung yang datang dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rata-rata Konsumsi Rusa Per Ekor Per Hari Pada Kondisi Tanpa Pengunjung

Konsumsi Oleh

Jumlah Pengunjung

Tanpa Pengunjung Sedikit (3-10) Banyak (5-50)

Pengelola (Kg)

Pengunjung

(Kg)

9,52

0,00

2,300

0,022

3,300

0,330

Total (Kg) 9,52 2,322 3,630

Perilaku sosial meningkat berhubungan dengan meningkatnya aktivitas makan yang

diakibatkan adanya pemberian pakan oleh pengunjung dan menyebabkan terjadinya

interaksi rusa dalam memperebutkan makanan. Tingkat konsumsi pakan pada rusa tanpa

pengunjung sebanyak 9,52 kg, tingkat pengunjung sedikit sebanyak 2,300 kg dan

pengunjung banyak 3,300 kg secara nominal ada perbedaan. Pada rusan dipenangkaran ka

pakan yang diberikan bervariasi, yaitu secara kualitas sudah mencukupi kebutuhan rusa.

Hal ini disebabkan pakan yang diberikan pengelola pada rusa berupa rumput gajah ditambah

wortel dan kangkung yang diberikan oleh pengunjung mempunyai kandungan nutrisi relatif

tinggi dibanding dengan rumput.

KESIMPULAN

Pemberian pakan oleh pengunjung tidak memberikan perubahan tingkah laku dan pola

konsumsi harian rusa, tetapi pemberian pakan oleh pengunjung menimbulkan persaingan

antar rusa, sehingga perlu pengelompokan di setiap kandang berdasarkan kelas umur rusa.

DAFTAR PUSTAKA

Adiati, U. Soepono, E., Handiwirawan, A. Gunawan Dan D. Anggraeni. 1995. Pengaruh

Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Produksi Rumput Gajah( Pennisetum Purpureum) Di Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional

Peternakan Dan Veteriner, 7-8 November Di Bogor, Jilid 2:583-586.

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Departemen Kebudayaan. Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian

Bogor.

Almatzier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.

Page 53: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

45

Amiati D.A.,B. Masyud dan R. Garsetiasih. 2015. Pengaruh pengunjung terhadap perilaku

dan komsumsi rusa timor ( rusa timorensis de blainville 1822 ) di penangkaran hutan

penelitian dramaga. Bul. Plasma nutfah 21 (2):47-60.

AOAC. 1980. Official methods of analysis of the association of official analytical chemists.

Edisi ke tiga.PO BOX 540.Benjamin Franklin Station Washington DC 2004.

Bismark RM, Mukhtar AS, Takandjandji M, Garsetiasih R, Setio P, Sawitri R, Subiandono

E, Iskandar S, Kayat. 2011. Sintesis Hasil Litbang:Pengembangan Penangkaran Rusa

Timor. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Bunga R, M.M.H Kawatu, R.S.H Wungow dan J.J.I Rompas. 2018. Aktivitas harian rusa

timor ( cervus timorensis ) di tanam marga satwa tandurusa aertembaga, bitung-

sulawesi utara. Zootec.38(2) : 345 – 356.

Departemen Kesehatan (Depkes). 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit

Bharata. Jakarta.

Dewi BS, Wulandari E. 2011. Studi Perilaku Harian Rusa Sambar (Cervus Unicolor) Di

Taman Wisata Alam Bumi Kedaton.J.Sains MIPA. 17(2):75-82.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan

Indonesia.Departemen kesehatan RI. Jakarta.

Dradjat, A. S. 2000. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan, Embrio Transfer dan In Vitro

Fertilisasi pada Rusa di Indonesia: Suatu Cara UntukMencegah Hewan Langka dari

Kepunahan. Laporan Riset UnggulanTerpadu V Bidang Teknologi Perlindungan

Lingkungan.KantorMenteri Negara Riset dan Teknologi.Dewan Riset Nasional.

Jakarta.

Fajri, 2000. Perilaku harian Rusa Totol (Axis axis) yang dikembangbiakan di padang rumput

halaman Istana Negara Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Produksi Ternak,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Garsetiasih R, dan Takandjandji M. 2006. Model Penangkaran Rusa. ProsidingEkspose

Hasil-hasil Penelitian.Konservasi dan Rehabilitasi SumberdayaHutan.PSIH-IPB;

Puslit Biologi; Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam,Departemen Kehutanan.

Bogor.

2007. Model Penangkaran Rusa. ProsidingEkspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang. Hlm 12.

Garsetiasih. 1990. Potensi Lapangan Rerumputan Rusa di P. Menipo pada Musim Kemarau.

Laporan Teknis. Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Hasnawati, H. S. Ali kodra, dan A. H. Mustari 2006. Analisi Populasi dan Habitat sebagai

dasar pengelolah Rusa Totol ( axis – axis ) di jakarta, Media konservasi II (2) 46 – 57.

Intannita, T. 2003. Performans mandalung (mule duck) dengan taraf penambahan

kangkung(ipomoea aquatica) yang berbeda dalam ransum.Skripsi. Fakultas peternakan

institute pertanian bogor. Bogor.

Page 54: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

46

IUCN, 2015 International Union for Conservation of Nature and Natural Reserves. 2015.

The Redlist of Threathened Species. http://www.iucnredlist.org. diakses 8 Oktober

2015.

Lelono, A. 2004. Ekologi Perilaku Makan Rusa (cervus timorensis Lyd) dalam Penankaran

di Ranca Upas Ciwidey. Tesis S2, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Lugiyo dan Sumarto. 2000. Teknik BudidayaRumput Gajah cv Hawaii

(Pennisetumpurpureum). Prosiding Temu TeknisFungsional Non Peneliti.Diterbitkan

PusatPenelitian dan Pengembangan Pertanian.Departemen Pertanian :Hal.120 - 125.

Makmun, C. 2007. Wortel Komoditas Ekspor Yang Gampang Dibudidayakan.Hortikultura:

Hal. 32.

Malasari. 2005. Sifat fisik dan organoleptic nugget ayam dengan penambahan

wortel(Daucuscarota L.,). Skripsi.FakultasPeternakan.Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Masy’ud, B., R. Wijaya, dan I.B. Santoso. 2007. Pola distribusi dan aktivitas harian rusa

timor (Cervustimorensis de Blainville 1822) di Taman Nasional Bali Barat. Media

Konservasi 12(3):10–15.Mendukung Pembangunan Daerah dan Kesejahteraan

Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak: hal.11-13 Desember 2007.

Mas’ud AF, Dewodaru, Komar TE, Muktar AS, Bismark M, Sawitri R, Iskandar S, Kosasi

AS, Pratiwi And Anwar C. 2011. Status dan sintesa hasil litbang : konservasi

keanekaragaman satwaliar. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Mihran, 2008.Evaluasi penyuluhan penggunaan bokashi kotoran sapi terhadap pertumbuhan

dan produksi rumput gajah, Jurnal Agrisistem, juni 2008 Vol.4 no.1.

Muchtadi, D. 1998. Kajian Terhadap Serat Makanan Dan Antioksidan Dalam Berbagai Jenis

Sayuran Untuk Pencegahan Penyakit Degenerative.Press. Bogor.

Mukhtar, A.S. 1996. Studi Dinamika Populasi Rusa (Cervus TIMORENSIS)

DALAMMenunjang Manajemen Taman Buru Pulau Moyo. Disertasi S3 Institut

PertanianBogor, Bogor.

Pattiselanno F, Isir DA, Takege A, Seseray D. 2008. Kajian awal penangkaran Rusa (Cervus

timorensis) sistem back yard di Manokwari, Papua Barat. Biodfer. 25(2): 95-100.

Polii, G.M.M. 2009. Respon Produksi Tanaman Kangkung Darat ( Ipomean Reptans Poir)

Terhadap Variasi Waktu Pemberian Pupuk Kotoran Ayam. Journal Soil Environment

Vol. VII No.1.5hlm.

Rihatni, R. 2013. Resfrensi Pakan Tambahan Limbah Sayuran pada Rusa Timor (Rusa

Timorensis) di penangkaran dan pengaruhnya Terhadap Periku Makan. Skripsi. Intitut

Pertanian Bogor. Bogor.

Rosviani, L. 2018. Manajemen Penangkaran Rusa Timor ( rusa timorensis ) di taman Rusa

Bumi Patra, Indramayu, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian

Bogor.

Page 55: Nutrisi dan Makanan Ternak - Unhas

Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47

47

Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi. 1997. Sayuran Dunia 2. Agromedia pustaka, Jakarta.

Rukmana, R. 1995. Bertanam Wortel, kanisius, Yogyakarta. Hal 13-18.

2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Kanisius.Yogyakarta.

Rusilanti dan C. M. Kusharto. 2007. SehatDengan Makanan Berserat.

AgromediaPustaka.Jakarta Selatan.

Santoso, S I. 2011.Rusa Timorensis (Cervus timorensis). Graha Ilmu.Indonesia: Hal.1-3.

Sari, N. K. 2009.Produksi bioethanol darirumput gajah secara kimia. Jurnal TeknikKimia, 4

(1): 265 - 273.

Semiadi, G. dan R. T. Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian

Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.

Semiadi , G., Barry, dan T.N. Muir, P.D 1998. Perubahan berat badan rusa sambar (cervus

unicolor) pada kondisi padang rumput di daerah beriklim sedang. Bogor. Biologo

Indonesia. 2: 104 – 108.

Setio P. 2008. Penangkaran Rusa. Prosiding Ekspose dan Gelar Teknologi Hasilhasil

Penelitian.

Setio P, Iskandar S, Sudaryo C. 2011. Teknik peningkatan reproduksi penangkaran rusa.

Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Kehutanan,

Bogor (ID).

Sita, V., dan aunurohim. 2013. Tingkah laku makan rusa sambar rusa unicolor dalam

konservasi ex-situ di kebun binatang surabaya. Institut Teknologi Sepuluh November.

Surabaya. 2(1):174.

Suratman, Dwi Priyanto, Ahmad Dwi Setyawan. 2000. Analisis Keragaman Genus

(Ipomoea )Berdasarkan Karakter Morfologi. Jurusan Biologi Fmipa Uns Surakarta

Voume 1, Nomor 2 Halaman: 72 – 79.

Takandjandji, M. 2009. Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen

Bioekologi Dan Fisik Di Hutan Penelitian Dramaga.Tesis S2, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Tillman, A.D. 1991. Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia.Gadjah Mada

University Press.Yogyakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1999. Ilmu Makanan

Ternak Dasar. Gadjah Mada university Press, Yogyakarta.

Wanamarta, G. 1981. Produksi Dan Kadar Protein Umbi 5 Varietas Ubi Jalar Pada Tingkat

Pemupukan NPK. Departemen agronomi, fakultas pertanian institute Atlanta. Hlm 11-12.

Wirdateti, W. R. Farida, dan M. S. A. Zein. 1997. Perilaku harian rusa jawa (cervus

timorensis) di penangkaran taman safari Indonesia. Biota 2 (2):78-81.