ISSN 1411 – 4577
Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak
Volume 13 (1) April 2019
Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Makassar
ISSN 1411 - 4577
Buletin
Nutrisi dan Makanan Ternak
Volume 13 (1) April 2019
Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Makassar
PETUNJUK PENULISAN NASKAH ARTIKEL ILMIAH
1. Artikel ilmiah berupa hasil penelitian yang orisinil dan belum pernah diterbitkan,
diserahkan (dan/atau dikirim via e-mail) kepada dewan redaksi selambat-
lambatnya 1 bulan sebelum rencana penerbitan buletin.
2. Artikel ilmiah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik dengan
huruf Times New Roman Font 12 spasi ganda pada kertas A4 dengan batas
margin sebelah kiri 4 cm, sebelah atas, bawah dan kanan 3 cm.
3. Jumlah halaman setiap artikel ilmiah tidak boleh lebih dari 15 halaman (termasuk
gambar, tabel dan daftar pustaka)
4. Artikel ilmiah hendaknya ditulis dengan menggunakan program Microsoft office
word
5. Penulis bertanggung jawab penuh terhadap kualitas gambar dalam artikel ilmiah,
dan dewan editor tidak akan mengedit ulang setiap gambar dalam setiap artikel
tersebut.
6. Struktur penulisan artikel ilmiah hendaknya mengikuti standart penulisan artikel
ilmiah secara internasional, sebagai berikut : judul (diikuti nama, alamat penulis),
abstrak, kata kunci, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan,
kesimpulan, ucapan terima kasih (bila dianggap perlu), daftar pustaka, ilustrasi
(bila dianggap perlu).
7. Pemuatan makalah sepenuhnya merupakan hak redaksi. Redaksi berhak mengedit
tanpa merubah isi.
Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak (ISSN 1411-4577) terbit dua kali dalam setahun.
Harga langganan Rp. 100.000,-/tahun sudah termasuk ongkos kirim. Redaksi
menerima sumbangan tulisan/karya ilmiah hasil-hasil penelitian dalam bidang nutrisi
dan makanan ternak yang belum pernah dipublikasikan.
Buletin
Nutrisi dan Makanan Ternak
ISSN 1411-4577 Volume 13 (1), April 2019
CHIEF EDITOR
Prof. Dr. Ir. Budiman, MP.
MANAGING EDITOR
Dr. Ir. Jamila, S.Pt. M.Si IPM
SECTION EDITOR
Dr. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si.
Dr. Ir. Rohmiyatul Islamiyati, MP
Dr. Rinduwati, S.Pt. M.P
Dr. A. Mujnisa, S.Pt. M.Si
COPY EDITOR
Jamilah, S.Pt. M.Si
LAYOUT EDITOR
Muhammad Fadlirrahman Latief, S.Pt. M.Si
PENERBIT DAN ALAMAT REDAKSI
Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Kampus Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10, Makassar-90245 Tlp / Fax. (0411)587217
E-mail : [email protected], web : http://journal.unhas.ac.id/index.php/bnmt.
Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 13 (1) : 2019 ISSN 1411-4577
Daftar Isi
PENGARUH PEMBERIAN MOLASES DAN GULA PASIR
TERHADAP PH DAN PRODUKSI SILASE RUMPUT GAJAH
(PENNISETUM PURPUREUN SP).
Fahruddin Wakano, Budiman Nohong, dan Rinduwati,.......................
1-9
KANDUNGAN PROTEIN DAN SERAT KASAR TONGKOL JAGUNG
YANG DIINOKULASI Trichoderma sp. PADA LAMA INKUBASI
YANG BERBEDA
Jamila Mustabi, Rinduwati, Mutmainna....................................................
10-16
PEMANFAATAN JERAMI KACANG HIJAU DENGAN PENAMBAHAN
FACES SAPI DAN EFFECTIVE MICROORGANISME TERHADAP
KUALITAS KOMPOS DI KELURAHAN MANGGALI KECAMATAN
PALLANGGA
Anie Asriany.................................................................................................
17-25
PENGARUH PEMBERIAN BAHAN ADDITIF BERBEDA
TERHADAP pH DAN KANDUNGAN BAHAN KERING SILASE
SORGUM MANIS (Sorghum bicolor L.)
Mugfira, Budiman Nohong, dan Syamsuddin Nompo................................
26-33
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO
DAUN MAJA (Aegle marmelos) DAN DAUN GAMAL (Gliricidia
sepium)
Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo..............................................
34-37
PENGARUH PENGUNJUNG TERHADAP TINGKAH LAKU
KONSUMSI MAKAN RUSA TOTOL (Axis-axis) PADA
PENANGKARAN RUSA TOTOL DI FAKULTAS PETERNAKAN
UNHAS
Agil Suharto, Anie Asriany, dan Ismartoyo................................................
38-47
Pengaruh Pemberian Molases dan Gula Pasir Terhadap pH dan
Produksi Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureun sp).
Wakano F.1)*
, B. Nohong 2)
, Rinduwati 2,
1)Mahasiswa Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. 2)
Dosen Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Email: [email protected].
Abstrak
Pengawetan hijauan dengan metode silase telah banyak dipraktekkan oleh peternak,
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan silase adalah
penambahan zat aditif, seperti molases. Namun, molases tidak tersedia disemua
daerah. Untuk itu diperlukan suatu bahan yang dapat menjadi alternatif pengganti
silase, yaitu gula pasir, selain memiliki nilai nutrisi yang hampir sama dengan
molases, gula pasir juga mengandung water soluble carbohydrate (WSC) yang
mudah dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat sebagai sumber energi selama proses
ensilage. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh level molases dan gula
pasir terhadap nilai pH dan bahan kering silase rumput gajah. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan
yaitu P1: kontrol, P2: Molases 4%, P3: Gula Pasir 4%, P4: Molases 6% dan P5: Gula
pasir 6%. Sehingga total unit sampel sebanyak 15 unit serta satu unit sampel bahan
segar. Sampel dianalisis di laboratorium untuk mengetahui nilai pH dan bahan kering
dari silase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian aditif gula pasir pada
level 4% pada silase memiliki kualitas yang sama dengan silase yang diberi molases
dengan level 4%. Namun, pada taraf 6% silase yang diberi molases memiliki kualitas
yang lebih baik dibanding dengan silase yang diberi gula pasir. Hal ini menunjukkan
bahwa gula pasir dapat dijadikan alternatif pengganti molases pada pembuatan silase.
Kata Kunci: Rumput Gajah, Silase, Gula Pasir, Molases, pH dan Bahan Kering
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
2
Abstract
Preservation of forage with silage method has been widely practiced by farmers, one
of the factors that influence the success of making silage is the addition of additives,
such as molasses. However, molasses is not available in all regions. For that we need
a material that can be an alternative substitute for silage, namely granulated sugar,
besides having nutritional value that is almost the same as molasses, sugar also
contains water soluble carbohydrate (WSC) which is easily utilized by lactic acid
bacteria as an energy source during the ensilage process. This study aims to
determine the effect of molasses and sugar levels on pH values and dry matter of
elephant grass silage. The study used a completely randomized design (CRD) with 5
treatments and 3 replications, namely P1: control, P2: Molases 4%, P3: Sugar 4%,
P4: Molases 6% and P5: 6% sugar. So that the total sample unit is 15 units and one
unit of fresh material samples. Samples were analyzed in the laboratory to determine
the pH value and dry matter of silage. The results showed that the administration of
sugar additives at the level of 4% in silage had the same quality as silage which was
given molasses at the level of 4%. However, at the level of 6% silage which is given
molasses it has better quality than silage which is given sugar. This shows that
granulated sugar can be used as an alternative to molasses in making silage.
Keywords: Elephant Grass, Silage, Sugar, Molases, pH and Dri Matter
PENDAHULUAN
Rumput gajah (Pennisetum purpureum sp) adalah tanaman yang dapat
tumbuh di daerah marginal. Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana
tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sadjadi dkk., 2017). Rumput
gajah dipilih sebagai pakan ternak karena memiliki produktifitas yang tinggi dan
memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah (Rahmawati, 2014). Pada saat musim
hujan, produksi hijauan sangat berlimpah namun sebaliknya saat musim kemarau
produksi hijauan terbatas. Sehingga diperlukan suatu metode pengawetan untuk
memperpanjang masa simpan hijauan tersebut, salah satunya ialah pembuatan silase.
Silase adalah pakan yang diawetkan melalui proses ensilase, yaitu proses
pengawetan pakan atau hijauan melalui fermentasi asam laktat dalam kondisi
anaerob. Bakteri asam laktat (BAL) memfermentasi karbohidrat terlarut dalam air
pada tanaman menjadi asam laktat dan sebagian kecil diubah menjadi asam asetat.
Produksi asam dari proses ensilase membuat pH silase mengalami penurunan dan
akibatnya aktivitas mikrobia pembusuk dapat dihambat pertumbuhannya (Chen dan
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
3
Weinberg, 2008).Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan silase ialah
penambahan zat aditif.
Penambahan zat aditif pada silase bertujuan untuk mendapatkan fermentasi
yang berkualitas, mengurangi fermentasi yang tidak diinginkan dan meningkatkan
nilai nutrisi silase sehingga dapat meningkatkan performa ternak (Harahap, 2017).
Molases umumnya digunakan sebagai zat aditif silase namun, molases tidak tersedia
di semua daerah, sehingga perlu mencari suatu bahan yang dapat menjadi alternatif
pengganti molases salah satunya ialah gula pasir.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018. Pembuatan silase
dilaksanakan di Laboratorium Uji Pakan dan Nutrisi Ternak Ruminansia Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin. Pengukuran parameter dilakukan di
Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, parang, wadah, pH
meter, dan seperangkat alat pengukuran bahan kering.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas rumput gajah
(Pennisetum purpureum sp), molases, gula pasir, lakban, kantong plastik, amplop
kertas dan air.
Metode Penelitian
a. Rancangan percobaan
Penelitian ini disusun menurut rancangan acak lengkap (RAL) menurut
Gazperz, (1991) yang terdiri atas 5 perlakuan dan 3 ulangan, sebagai berikut ; P1
(Rumput gajah tanpa aditif (Kontrol)); P2 (Rumput gajah + 4% molases); P3 (Rumput
gajah + 4% larutan gula pasir); P4 (Rumput gajah + 6% molases); dan P5 (Rumput
gajah + 6% larutan gula pasir)
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
4
b. Pelaksanaan penelitian
Rumput gajah yang berumur + 2 bulan dipotong kemudian dilayukan
beberapa jam hingga kadar air berkisar antara 65-70%, kemudian rumput dicacah
sepanjang + 3 cm dan ditimbang 2,5 kg untuk masing-masing kantong. Setelah itu
rumput dimasukkan kedalam silo/kantong, untuk yang diberi aditif pemberian aditif
dilakukan secara bertahap didalam silo sambil diaduk agar aditif merata. Setelah itu,
kantong plastik kemudian di tutup rapat sambil ditekan kuat agar kondisi hampa
udara dapat tercapai. Kemudian silase disimpan ditempat yang tidak terkena sinar
matahari secara langsung dan difermentasikan selama + 21 hari. Setelah + 21 hari
silase kemudian dibuka untuk dilakukan pengukuran parameter.
Pengukuran parameter dilakuan dengan cara membuka silo kemudian
mengukur pH silase dengan menggunakan pH meter digital. Selanjutnya,
memisahkan silase yang baik dengan silase yang rusak. Setelah itu, mengambil
sampel sebanyak 100 g untuk dilakukan pengukuran bahan kering. Sampel dioven
selama + 24 jam setelah itu sampel dikeluarkan kemudian melakukan penimbangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata-rata hasil pengukuran parameter silase rumput gajah yang diberikan
molases dan gula pasir dengan level berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai
berikut.
Tabel 1. Rata-rata nilai pH, produksi dan bahan kering silase yang diberi level
molases dan gula pasir yang berbeda
Perlakuan pH
Silase
BK (%) Segar
(g/polybag)
Kering
(g/polybag)
P1 4,67c 1419,33
c 356,10
c 25,00
a
P2 3,90ab
2266,00b 577,75
b 25,50
a
P3 4,00b 2348,00
ab 611,00
ab 26,03
a
P4 3,77a 2380,00
ab 630,86
ab 26,50
a
P5 4,03b 2407,33
a 650,12
a 27,00
a
Keterangan : Huruf yang berbeda (a,b) dan (a,c) pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01).
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
5
Nilai pH Silase
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan aditif berupa
molases dan gula pasir dengan level berbeda memberikan pengaruh yang nyata
(P<0,05) terhadap nilai pH silase rumput gajah (Tabel 1).
Uji Duncan menunjukkan bahwa nilai pH silase rumput gajah pada
perlakuan P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan
P2 dan P4 dan berbeda nyata (P<0,05) dengan P3 dan P5, sedangkan perlakuan P2,
P3 dan P5 tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan nilai pH silase pada Tabel 1,
menunjukkan bahwa pemberian aditif molases dan gula pasir 4-6% menghasilkan
silase yang berkualitas baik. Menurut Skerman dan Riveros (1990), standar kualitas
silase dari nilai pH yaitu ; pH <4,2 berkualitas baik, pH 4,3 – 4,5 berkualitas sedang
dan pH >4,5 berkualitas buruk. Penggunaan gula pasir 4% menghasilkan nilai pH
yang sama dengan penggunaan molases 4%. Jadi, gula pasir dapat digunakan sebagai
aditif silase yang sama baiknya dengan silase yang menggunakan aditif molases 4%.
Pada taraf 6% molases menghasilkan silase yang lebih baik (pH 3,77) dibandingkan
dengan menggunakan aditif gula pasir (pH 4,03).
Penurunan pH silase terjadi akibat dari aktifitas mikroba selama proses
ensilage, bakteri asam laktat (BAL) akan memanfaatkan gula sederhana pada hijauan
maupun aditif sebagai sumber energi dan merombak senyawa kompleks menjadi zat-
zat sederhana, aktifitas tersebut akan menurunkan pH dari silase. Hal ini sejalan
dengam pendapat Wyss dan Rubenshuh (2012) bahwa efek utama dari mikroba
(inokulan) adalah meningkatkan produksi asam laktat yang berkaitan dengan
penurunan nilai pH yang signifikan, meningkatkan kualitas silase dan meminimalkan
kehilangan bahan kering.
Produksi Silase Segar
Rata-rata produksi silase segar yang diberi aditif molases dan gula pasir
dengan level yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa pemberian bahan aditif berupa molases dan gula pasir dengan level berbeda
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
6
memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01) terhadap
produksi silase segar pada tiap perlakuan.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa produksi silase segar pada perlakuan
P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibanding dengan perlakuan P5 dan
berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P2, P3 dan P4, sedangkan perlakuan P2
berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P5, dan pada perlakuan P2, P3, dan P4
tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan produksi silase pada Tabel 1.
menunjukkan bahwa pemberian aditif molases dan gula pasir 4 - 6% menghasilkan
silase dengan tingkat kerusakan lebih sedikit dibanding dengan silase tanpa aditif.
Rata-rata persentase tingkat kerusakan silase yang diberi aditif lebih rendah (P2:
9,36%; P3 : 6,0%; P4: 4,80%; dan P5: 3,70%) dibanding dengan silase yang
difermentasi tanpa aditif (P1: 43%). Hal ini menunjukkan bahwa silase pada
perlakuan P2 sampai P5 berkualitas baik. Menurut Horrocks danVallentine (1999)
kerusakan bahan kering selama fermentasi umumnya berkisar antara 5-20%, dengan
rata-rata 10-11%. Kehilangan gas berkisar antara 5-10% dan kelembaban berkisar
antara 72-82%, dan rembesan dibawah 65% dapat dikategorikan normal
Kerusakan bahan kering umumnya terjadi di permukaan silo yang
disebabkan proses pengemasan yang kurang padat sehingga terdapat udara didalam
silo yang menyebabkan tumbuhnya jamur dan merusak kualitas dan produksi silase.
Menurut Ratnakomala dkk. (2006) kerusakan silase diperhitungkan sebagai
persentase dari silase yang rusak dibandingkan dengan jumlah keseluruhan silase
dalam satu silo. Silase yang mengalami kerusakan dapat terlihat dari tekstur silase
yang rapuh berwarna coklat kehitaman dan berbau busuk serta banyak ditumbuhi
jamur. Poin terpenting dalam pembuatan silase yang baik yaitu berat kering dari
material antara 35-40%, pengemasan yang kuat dan rapat, temperatur penyimpanan
dan adanya bakteri asam laktat homofermentatif.
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
7
Produksi Silase Kering
Rata-rata produksi silase kering yang diberi aditif molases dan gula pasir
dengan level yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa pemberian bahan aditif berupa molases dan gula pasir dengan level berbeda
memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01) terhadap
produksi silase kering pada tiap perlakuan.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa produksi silase kering pada perlakuan
P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibanding dengan perlakuan P5 dan
berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P2, P3 dan P4, sedangkan perlakuan P2
berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P5, dan pada perlakuan P2, P3, dan P4
tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pemberian aditif
molases dan gula pasir 4 - 6% menghasilkan silase kering yang lebih tinggi dibanding
dengan silase tanpa aditif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan bahan
kering silase yang diberi aditif lebih sedikit. Rata-rata tingkat kerusakan bahan kering
masing-masing yaitu P1: 25,75%; P2: 27,92%; P3: 30,24%; P4: 33,97% dan P5
59,45%. Menurut Muck dan Kung (2007) bahwa kerusakan menyatakan bahwa
kisaran persentase kehilangan bahan kering pada setiap jenis silo dan metode
penyimpanan silase yaitu; penyimpanan dengan cara ditumpuk berkisar antara 10-
35%, penyimpanan didalam silo 8-30% dan penyimpanan didalam plastik yang
dipadatkan berkisar antara 3-40%.
Bahan Kering
Uji Duncan menunjukkan bahwa bahan kering silase pada perlakuan P1, P2,
P3, P4 dan P5 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Perlakuan P4
(molases 6%) dan P5 (gula pasir 6%) memiliki rataan bahan kering yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan P1 (kontrol) yang tidak menggunakan aditif.
Penambahan bahan aditif molases dan gula pasir tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap persentase bahan kering, meskipun demikian ada kecenderungan
peningkatan persentase bahan kering seiring dengan peningkatan level bahan aditif
yang digunakan. Peningkatan bahan kering disebabkan karena aditif yang digunakan
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
8
mengandung bahan kering yang cukup tinggi. Penelitian dari Faturrahman dkk.
(2015) didapatkan bahwa terjadi kenaikan kandungan bahan kering seiring dengan
penambahan molases pada pembuatan silase dari yang terendah (P0) sampai yang
tertinggi (P3). Pada kejadian ini dapat dijelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena
adanya penambahan molases yang memiliki kandungan bahan kering yang tinggi
sehingga meningkatkan kandungan bahan kering silase.
Pada umumnya, proses fermentasi akan menurunkan kandungan bahan kering
pada hijauan, hal ini disebabkan karena adanya peristiwa kehilangan bahan kering
selama proses ensilage berlangsung. Sehingga, persentase bahan kering dari hijauan
asal sebesar 35% turun menjadi 25-27%. Hal ini sesuai dengan pendapat Köhler et al.
(2013), yang menyatakan bahwa kehilangan bahan kering selama proses ensiling
berlangsung pada rumput yaitu 2-25%, pada jagung 4-19% dan pada alfalfa 6-15%.
Kehilangan bahan kering juga dapat disebabkan oleh pemanasan saat pengovenan
sampel. Hal sesuai dengan pendapat Robinson et al. (2016) yang menyatakan bahwa
kehilangan bahan kering juga terjadi karena proses penguapan senyawa volatil selama
proses pengeringan di dalam oven.
KESIMPULAN
Berdasar hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa silase
yang difermentasikan menggunakan gula pasir pada level 4% memiliki kualitas yang
tidak jauh berbeda dengan silase yang difermentasikan dengan molases pada level
yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa gula pasir dapat digunakan sebagai bahan
aditif alternatif pengganti molases.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Y. dan Z. G. Weinberg. 2008. Changes during aerobic exposure of wheat
silages. Anim. Feed Sci. Technol. 154:76-82.
Faturrahman, F. Atun, B. dan Tidi, D. 2015. Pengaruh tingkat penambahan molases
pada pembuatan silase kulit umbi singkong (Mannihot esculenta) terhadap
kandungan bahan kering, bahan organik, dan HCN. Fakultas Peternakan,
Universitas Padjadjaran.
Wakano F, B. Nohong, Rinduwati /Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1) : 1- 9
9
Horrocks, R. D. and Vallentine, J. F. 1999. Harvested Forages. Academic Press. New
York.
Köhler, B., M. Diepolder, J. Ostertag, S. Thurner, and H. Spiekers. 2013. Dry matter
losses of grass, lucerne and maize silages in bun-ker silos. Agric. Food Sci.
22:145–150.
Muck, R.E., and Kung, Jr. L. (2007). Forages : silage production. The Science af
Grassland Agriculture. 11(40) : 617-633.
Rahmawati. 2014. Kandungan ADF, NDF selulosa, hemiselulosa dan lignin silase
pakan komplit berbahan dasar rumput gajah (Pennisetum pupureum) dan
beberapa level biomassa murbei (Morus alba). Skripsi Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin.
Ratnakomala, S., R. Ridwan, G. Kartina dan Y. Widyastuti. 2006. Pengaruh
inokulum lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap kualitas silase
rumput gajah (Pennisetum purpureum). Biodiversitas. 7(2) : 131-134.
Robinson, P. H., N. Swanepoel, J. M. Heguy, and D. M. Meyer. 2016. Total ‘shrink’
losses and where they occur in commercially sized silage piles constructed from
mature and immature cereal crops. Sci. Total Environ. 559:45–52
Sadjadi, B. Herlina, dan W. Supendi. 2017. Level penambahan bokashi kotoran sapi
terhadap pertumbuhan dan produksi pada panen pertama rumput raja
(Pennisetum purpureophiodes). Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 12(4): 411-
418.
Skerman, P.J. dan F. Riveros. 1990. Tropical Grasses. Food and Agriculture
Oerganization. United Nations
Wyss, U. and Rubensuh, U. 2012. Effect of three different silage inoculants on the
fermentation quality abd aerobic stability of ryegrass ansiled with three
different prewilting degrees. In: kuoppala, K. et al. (eds) Proceedings of the
16th
international silage conference, 2-4 july, MTT Agrifood Research Finland.
University of Helsinki, Hameenlinna, Finland. P. 386-387.
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
10
KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR SILASE
RANSUM KOMPLIT PADA BERBAGAI BENTUK DAN
LAMA PENYIMPANAN
Jamila Mustabi1, Rinduwati
1, Mutmainna
2
1Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
2Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Abstrak
Ransum dapat dinyatakan berkualitas apabila mampu memberikan seluruh
kebutuhan nutrien secara tepat, baik jenis, jumlah, serta imbangan nutrien bagi
ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk dan lama
penyimpanan terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar pada ransum
komplit. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola
faktorial yang terdiri dari 2 faktor diantaranya faktor A (Betuk silase ransum
komplit) yaitu : silase, pellet dan blok; faktor B (Lama penyimpanan) yaitu 0, 1
dan 2 bulan, setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa bentuk silase ransum komplit tidak berpengaruh nyata
(P>0,05), Namun lama penyimpanan memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05), ini
membuktikan bahwa tidak ada interaksi yan terjadi antara bentuk ransum komplit
dengan lama penyimpanan terhadap kandungan protein kasar, akan tetapi jika
dilihat pada kandungan serat kasar terdapat interaksi yang terjadi pada bentuk
ransum dan lama penyimpanan. Hasil penelitian ini diperoleh kandungan protein
kasar berkisar antara 10.79% -13,86% yang tertinggi pada penyimpanan 0 bulan
dan kandungan serat kasar yaitu 14,24% -18,93% yang tertinggi pada
penyimpanan 2 bulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
semakin lama penyimpanan ransum komplit maka kandungan protein kasar akan
semakin menurun dan kandungan serat kasar akan semakin meningkat. Silase
ransum komplit dalam semua bentuk masih mempunyai kualitas yang baik pada
penyimpanan 2 bulan
Kata Kunci : Bentuk pakan, lama penyimpanan, ransum komplit.
Jamila M., Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10- 16
PENDAHULUAN
Faktor keberhasilan suatu peternakan salah satunya adalah dengan adanya
ketersediaan hijauan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan khususnya
pada ternak ruminansia. Hijauan memegang peranan penting pada produksi ternak
ruminansia karena pakan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut sebagian besar
dalam bentuk hijauan, akan tetapi ketersediaan hijauan sangat bervariasi. Pada
musim hujan ketersediaan cukup melimpah, namun sebaliknya pada musim
kemarau ketersediaan hijauan masih sangat terbatas. Sehingga peternak kesulitan
untuk mendapatkan hijauan dengan kualitas yang baik. Pemanfaatan limbah
pertanian dan perkebunan dapat menjadi salah satu opsi untuk mengatasi hal
tersebut.
Pakan komplit merupakan pakan yang mengandung nutrien yang cukup
memenuhi kebutuhan ternak pada berbagai tingkat fisiologis tertentu yang
diberikan sebagai satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup
pokok ternak. Semua bahan pakan, baik hijauan (pakan kasar) maupun konsentrat
dicampur menjadi satu. Pembuatan pakan komplit berbahan limbah pertanian dan
limbah industri pertanian merupakan salah satu alternatif pemecah suatu masalah
untuk mengatasi penyediaan pakan secara kontinu
Pakan komplit dalam bentuk campuran berbagai bahan pakan yang sudah
terfermentasi dapat menjadi solusi dalam pemberian pakan ruminansia dalam
berbagai kondisi. Kelebihan pakan komplit adalah nilai nutrisi yang dapat diatur
dengan menentukan jumlah dan jenis campuran, ternak tidak berkesempatan
memilih pakan sehingga memperkecil sisa pakan yang tidak termakan, praktis,
dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pakan komplit dapat diproduksi
dalam skala kecil, yaitu untuk peternak rumah tangga maupun dalam skala besar
yaitu untuk ternak dalam skala industri. Pakan komplit dapat menjadi solusi
persoalan terbuangnya waktu peternak karena tiap hari harus mencari rumput
untuk menyediakan pakan ternak. Penggunaan pakan komplit diharapkan mampu
meningkatkan kualitas pakan dan mengatasi keterbatasan pakan, serta
meningkatkan komsumsi dan kecernaan terhadap pakan.
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
11
METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Alat yang digunakan yaitu timbangan, mesin gilingan, cetakan pellet dan
wafer, baskom, terpal, sekop, karung goni dan alat-alat yang digunakan untuk
analisis protein kasar dan serat kasar. Bahan yang yang digunakan adalah rumput
gajah (dengan kandungan protein kasar 8,69% dan serat kasar 3,23%), konsentrat
(protein kasar 13,29% dan 13,78%) dan bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis protein kasar dan serat kasar.
Prosedur Pembuatan Pakan Komplit
Pembuatan pakan komplit didahului dengan mencampur rumput gajah
yang telah dipotong-potong (2-3 cm) dan konsentrat ditimbang dengan
perbandingan 50% : 50% dan dicampur sampai homogen, kemudian dibuat silase
yang difermentasi terlebih dahulu selama 15 hari. Setelah itu dicetak
menggunakan cetakan pellet dan blok, dan bentuk silase. Setiap bentuk pakan
dianalisis kandungan protein kasar dan serat kasar. Perlakuan terdiri dari 2 faktor
yaitu bentuk dan lama penyimpanan, dan diulang sebanyak 3 kali setiap
perlakuan. Rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial. Perlakuannya sabagai
berikut :
A = Bentuk Ransum
1. Pellet
2. Blok
3. Silase
B = Lama Penyimpanan
0 bulan
1 bulan
2 bulan
Parameter yang Diukur
Parameter yang diukur pada pengaruh bentuk dan lama penyimpanan
ransum komplit terhadap kandungan protein kasar melalui metode Kjedahl dan
serat kasar (AOAC, 1991)
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Protein Kasar Ransum Komplit pada Berbagai Bentuk dan
Lama Penyimpanam
Kandungan protein kasar pada (ransum komplit bentuk pellet, blok dan
silase ransum komplit) pada lama penyimpanan (0,1 dan 2 bulan) dapat dilihat
pada Gambar 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bentuk pakan tidak
berpengaruh nyata (P>0,05), sedangkan lama penyimpanan berpengaruh nyata
(P<0,05), ini membuktikan bahwa tidak ada interaksi yang terjadi antara bentuk
dan lama penyimpanan terhadap kandungan protein kasar. Hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa kandungan protein kasar tidak berbeda antara pakan yang
disimpan selama 1 dan 2 bulan tertapi berbeda dangan penyimpanan 0 bulan.
Gambar 1. Kandungan protein kasar ransum komplit bentuk pellet, block dan
silase pada lama penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan.
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa pada masa penyimpanan 0
bulan kandungan protein kasar ransum komplit bentuk pellet dan blok
berkisar antara 13,86%±0,45%, perbedaan ini disebabkan oleh proses
pengolahan pakan sebelum dilakukan penyimpanan. Pada lama penyimpanan
1 bulan yang tertinggi adalah dalam bentuk silase akan tetapi menurun drastis
pada penyimpanan 2 bulan bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan
bentuk pellet dan blok. Hal ini dapat disebabkan karena proses fermentasi
tidak terjadi lagi pada penyimpanan silase ransum komplit sehingga terdapat
aktivitas mikroorganisme yang mengubah asam amino. Hal ini sesuai dengan
0 1 2
Pelet 14.36 10.79 11.19
Block 13.82 12.21 13.29
Silase 13.40 12.81 11.11
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.00
Pro
tein
Kas
ar (
%)
Lama Penyimpanan (bulan)
Pelet
Block
Silase
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
13
pendapat Wallace dan Chesson (1995) yang berpendapat bahwa clostridia
proteolitik akan menfermentasi asam amino menjadi bermacam-macam
produk termasuk amonia, amina, dan asam organik yang mudah menguap.
Fermentasi juga memiliki peran penting dalam proses peningkatan
protein, karena dalam proses fermentasi terdapat mikroba yang berperan
dalam meningkatkan kandungan protein kasar silase. Hal ini sesuai dengan
pendapat Zakaria,(2012) yang menyatakan bahwa fermentasi merupakan
proses pemecah senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan
mikroorganisme. Proses fermentasi dapat meningkatkan ketersediaan zat -zat
makanan seperti protein dan energi metabolis serta mampu memecah
komponen kompleks menjadi komponen sederhana. Selain itu fermentasi
juga dapat meningkatkan nilai gizi bahan berkualitas rendah serta berfungsi
dalam pengawetan bahan pakan dan merupakan suatu cara untuk
menghilangkan zat anti nutrisi atau racun yang terkandung dalam suatu
pakan. Kandungan protein kasar yang diperoleh pada penelitian ini adalah
10,79-14,36%. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan Fitriani dan Hasyim (2017) yang memperoleh kandungan
protein kasar yaitu 9,45-10,50% pada pakan komplit yang berbahan dasar
tongkol jagung.
Kandungan Serat Kasar Ransum Komplit Pada Berbagai Bentuk Dan
Lama Penyimpanan
Hasil analisis ragam pada kandungan serat kasar menunjukkan bahwa
bentuk pakan dan interaksi yang terjadi tidak berpengaruh nyata (P>0,05),
akan tetapi jika dilihat pada lama penyimpanan, interaksi antara bentuk
dalam penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa lama penyimpanan 1 bulan tidak berbeda dengan
penyimpanan 2 bulan tetapi berbeda dengan penyimpanan 0 bulan. Hasil ini
dapat dilihat pada Gambar 2
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
14
Gambar 2. Kandungan serat kasar ransum komplit bentuk pellet, block dan silase
pada lama penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan.
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa pada kandungan serat kasar
dengan lama penyimpanan 0 bulan antara bentuk pakan memiliki perbedaan,
hal ini disebabkan akibat proses pengolahan yang terjadi. Selain itu terlihat
pula bahwa semakin lama penyimpanan maka semakin tinggi pula kandungan
serat kasar didalam ransum komplit pada semua bentuk. Hal ini menunjukkan
bahwa akan terjadi kerusakan pasa bahan pakan jika disimpan lebih lama
dalam bentuk apapun. Hal ini sesuai dangan pendapat Hall (1980) yang
menyatakan bahwa penyimpanan yang terlalu lama akan berkibat buruk pada
bahan makanan yang selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
ransum. Semakin lama penyimpanan maka akan dihasilkan suatu komponen
cita rasa (flavor) yang lain sebagai akibat dari kegiatan biologis, contohnya
pemecahan lemak yang menyebabkan ketengikan.
Menurut pendapat soesarsono (1988) yang menyatakan bahwa
penyimpanan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis
pakan, periode atau lama penyimpanan, metode penyimpanan, temperatur,
kandungan air dan kelembaban udara. Kerusakan bahan pakan yang dapat
terjadi dalam penyimpanan pakan yaitu kerusakan fisik dan kerusakan
kimiawi. Penyimpana yang melebih waktu tertentu daln dalam kondisi yaang
kurang baik dapat menyebabkan kualitas pakan mengalami penurunan
(Syamsu,2002).
Penyimpanan dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada hijauan (hausler, 2007) dan
aspergillus flavus pada beras (Winarno, 1992). Kandungan serat kasar yang
diperoleh oleh penelitian ini yaitu 14,00-18,93%, lebih rendah jika
dibandingkan dengan Fitriani dan Asyari (2017) yang memperoleh
kandungan serat kasar berkisar antara 20,79-21,01% pada pakan komplit
0 1 2
Pelet 14.69 15.98 15.59
Block 14.03 17.11 17.21
Silase 14.00 16.03 18.93
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00Se
rat
Kas
ar (
%)
Lama Penyimpanan (bulan)
Pelet Block Silase
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
15
berbahan dasar tongkol jagung. Hai ini membuktikan bahwa pakan komplit
pada penelitian ini mempunyai kualitas yang baik sampai lama penyimpanan
mencapai waktu 2 bulan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa semakin lama penyimpanan ransum komplit makan kandungan protein
kasar akan semakin menurun namun kandungan serat kasar semakin meningkat.
Silase ransum komplit dalam semua bentuk masih mempunyai kualitas yang baik
pada penyimpanan 2 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. Association of Official Analytical Chemists. 1991. Official Methods of
Analysis, of The Association of Official Analytical Chemist, Washington,
D.C.
Fitriani dan Hasyim, A. 2017. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar
Pakan Komplit Berbasis Tongkol Jangung dengan Penambahan Azolla
sebagai Pakan Ruminansia. Jurnal Galung Tropika, Vol 6 (1), Hlm 16-
17.
Gomez, K.A.,A.A. Gomez. 2010 Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian
(Terjemahkan) Endang Sjamsuddin dan J.S. Baharsjah. Edisi Kedua. UI
Press. Jakarta.
Hall, C.W. 1980. Drying and Storage of Agricutural Crops. The AVI
publising co., Inc westport. Connecticut.
Hausler, A. 2007. Fungi. www.microbeworld.org.(20 juli 2017)
Soesarsono. 1988. Teknologi Penyimpanan komoditas Pertanian. Penerbit:
sinar Tani ,Bogor.
Syamsu. J. A. 2002. Pengaruh waktu penyimpanan dan jenis kemasan
terhadap kualitas dedak padi. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Vol 1(2) :
75-83
Wallace, J. Dan A. Chesson. 1995. Biotecnology in Animal fedds and Animal
Feeding. Nutrition Division Rowett Research Institute Bucksburn.
Aberdeen
Jamila M, Rinduwati, Mutmainna/Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 10-16
16
Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Zakariah,M. A. 2012. Fermentasi Asam Laktat pada Silase. Fakultas
Peternakan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Pemanfaatan Jerami Kacang Hijau Dengan Penambahan Feses Sapi Dan
Effective Microorganisme Terhadap Kualitas Kompos
Di Kelurahan Manggali Kecamatan Pallangga
Utiliation of Straw With Addition Feces Green Bean Beef and Effective Microorganism
The uality of Compost in Villages Manggalli Sub Pallangga
Anie Asriany
Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan
Email : [email protected]
Abstrak Pengomposan merupakan proses bahan organic yang mengalami penguraian secara biologis, khususnya
mikroba yang dimanfaatkan sebagai sumber energy. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
kandang karena kandungan unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dibutuhkan
oleh tanaman dan kesuburan tanah. Limbah pertanian antara lain dapat berupa jerami tanaman pangan,
limbah tanaman perkebunan, dan kotoran ternak. Limbah pertanian berupa jerami kacang hijau
sebagai kompos karena menpunyai kandungan kalium yang tinggi, dapat meningkatkan kandungan
unsur hara K pada pupuk kandang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui melihat kualitas kompos
jerami kacang hijau dengan penambahan feses sapi dan EM4, terhadap waktu optimal pengomposan
dan kualitas pupuk kandang sesuai dengan SNI 19-7030-2004. Pupuk kandang yang diperoleh dianalisis
kadar N, P, K, C-organik, rasio C/N, dan kadar airnya. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI 19-7030-
2004. Analisis pupuk kandang dilakukan pada 30, hari Hasil analisis kompos dengan EM4 lebih efektif
dan memerlukan waktu yang lebih cepat untuk mendekomposisi bahan organik dalam kompos. Kualitas
kompos yang memenuhi SNI 19-7030-2004 (rasio C/N, kadar N, P, K, air, dan C-organik).
Kata kunci: pengomposan, feses sapi, jerami kacang hijau, EM4, Kualitas Kompos
Abstract
Composting is the process of organic materials that undergo biological decomposition, particularly
microbes used as a source of energy. Animal manure can be used as fertilizer because it contains
nutrients such as nitrogen (N), phosphours (P) and Potassium (K) reuired by plants and soil fertility.
Agricultural ates, among others, can be straw crops, plantation crop aste, and manure. Agricultural aste
such as stra beans as compost for ……a high potassium content, can increase the nutrient content of K in
the manure. This study aims to determine see the uality bean stra compost ith addition of co feses and
EM4, against the optimal timing and uality of manure composting in accordance ith SNI 19-7030-2004.
Manure as analied levels of the N, P,K K, organic C, C/N rasio, and ater content. The results of the
analysis compared with SNI 19-7030-2004. Manure analysis performed during the 30 day of analysis
results ith EM4 compost more effectively and require faster time to decompose organic matter into
compost. Qulity compost that meet SNI 19-7030—2004 (C/N rasio, levels of N, P, K, Water, and C
organic.
Keywords: composting, cattle feces, stra green beans, EM4, Quality compost
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
PENDAHULUAN
Pertanian terpadu dan terintengrasi yang dinamakan bioindustri bertujuan tidak adanya
limbah pertanian yang terbuang. Ternak memiliki peran penting bila diintegrasikan dengan
tanaman pangan. Adapun keuntungan integrasi tersebut akan menjadikan ekologi lingkungan
yang baik, memberikan keuntungan akibat efisiensi penggunaan komponen produksi. Hal ini
akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani. Pupuk organik bersifat
bulky dengan kandungan hara makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah
banyak. Meskipun kandungan haranya rendah, penggunaan pupuk organik semakin meningkat
seiring dengan maraknya pertanian organik. Jerami dan pupuk kandang merupakan sumber
pupuk organik yang biasa dimanfaatkan petani.
Sektor peternakan di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya pada Kecamatan Pallangga,
sampai hari ini masih merupakan salah satu sumber ketahanan pangan yang sangat
strategis. Namun kondisi di lapangan belum terkelolah secara professional, karena sebagian
besar usaha peternakan rakyat hanya berskala kecil dan masih menggunakan teknologi secara
sederhana atau tradisional. Menurut Nastiti (2008), usaha peternakan di Indonesia
didominasi oleh usaha rakyat dengan menggunakan cara tradisional yang masih merupakan
usaha sampingan serta lebih menjadi ―tabungan‖ dan salah satu indikator ―status sosia.
Pengembangan sektor usaha peternakan, baik ternak ruminansia besar maupun ruminansia
kecil, sekarang ini diarahkan tidak hanya terkait dengan pemenuhan pangan tetapi sudah mulai
diterapkan pada pemanfaatan limbah berupa padat dan limbah cair berupa urin dan feses menjadi
pupuk organik.
Limbah peternakan seperti feces, urine, dan sisa pakan yang dibiarkan tanpa
penanganan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan pada masyarakat di sekitar peternakan. Pengolahan kotoran ternak perlu dilakukan
untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pengolahan kotoran ternak dapat dilakukan
dengan cara menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Kotoran ternak
dimanfaatkan sebagai pupuk kandang karena kandungan unsur haranya seperti nitrogen (N),
fosfor (P), dan kalium (K) serta unsur hara mikro diantaranya kalsium, magnesium, belerang,
natrium, besi, dan tembaga yang dibutuhkan tanaman dan kesuburan tanah (Hapsari, 2013).
Masalah lain yang di jumpai di Desa Manggalli Kecamatan Palangga adalah masalah
limbah kacang hijau setelah panen. Hal ini disebabkan karena sisa panen tidak dimanaatkan,
akan tetapi sisa panen berupa jerami kacang hijau hanya dibuang dan dibakar tanpa adanya
pengolahan lebih lanjut.
Kebiasaan petani di lapangan yang biasanya membakar jerami dan sangat jarang
dimanfaatkan oleh petani sebagai sumber bahan organik merupakan suatu kebiasaan yang salah,
selain menyebabkan kerusakan pada lingkungan ternyata juga menyebabkan kerusakan pada
tanah areal persawahan karena lama kelamaan unsur hara yang terdapat pada tanah sawah akan
selalu berkurang tanpa adanya pengembalian kembali. Dengan membakar jerami justru akan
menghancurkan sebagian bahan organiknya. Pengolahan jerami membutuhkan tenaga, waktu,
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
18
dan pekerjaan tambahan yang banyak, sehingga perlu dicari cara lain agar jerami tersebut dapat
dimanfaatkan oleh para petani. Salah satu alternatif yaitu dengan pembuatan kompos.
Salah satu cara untuk memanfaatkan jerami kacang hijau adalah dijadikan kompos.
Menurut Hengki (2006) kompos merupakan salah satu bentuk pupuk organik yang dapat
digunakan sebagai suplemen ataupun pengganti pupuk kimia (anorganik). Proses pengomposan
adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh
mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain: ukuran bahan, ratio Karbon –Nitrogen
(C/N), kelembaban dan aerasi, temperature pengomposan, derajad keasaman ,
mikroorganisme yang telibat.
Kompos adalah istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang dibuat dari proses
pembusukan sisa-sia buangan makhluk hidup (Yuwono,2005). Pengomposan adalah proses
dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis kususnya oleh mikro-mikroba
yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Isroi,2007). Kompos memiliki
banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek (Susanto 2002), seperti aspek
ekonomi, aspek lingkungan, aspek bagi tanaman.
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup Proses pengomposan
secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan.
peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Pengomposan
yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup d a l a m k o m p o s . Proses
pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang optimum dalam proses pengomposan
berkisar antara 6.5 sampai 7.5 .
Berdasarkan suhu yang sesuai untuk metabolisme dan pertumbuhannya, mikroorganisme
diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu Psychrophiles (mikroba temperature rendah) pada
suhu kurang dari 200C, Mesophiles (mikroba temperature sedang) pada suhu antara 25-40
0C,
dan Thermophiles (mikroba temperature tinggi) pada suhu diatas 650C.
Pembuatan kompos dapat dinilai dari lamanya waktu pengomposan. Semakin cepat
kompos dihasilkan maka semakin tinggi pula tingkat kesuksesannya. Pada prinsipnya, kompos
dapat terbentuk secara alami, tetapi akan membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 2-3 bulan.
Bahkan, ada yang mencapai 6-12 bulan, tergantung dari bahan organik yang digunakan. Oleh
karena itu, perlu diterapkan berbagai perlakuan untuk mempercepat waktu pengomposan.
EM4 (Effective Microorganism) merupakan bahan yang mengandung beberapa
mikroorganisme yang sangat bermanfaat dalam proses fermentasi. Mikroorganisme yang
terdapat dalam EM4 dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik,
meningkatkan ketersedian unsur hara untuk tanaman, serta menigkatkan aktivitas serangga,
hama dan mikroorganisme patogen (Djuarnani, dkk., 2005). EM4 mampu mempercepat proses
dekomposisi bahan organik dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman serta telah
diterapkan pada berbagai jenis tanaman dan kondisi tanah. (Sumber :Yuwono, 2007).
Nilai rasio C/N kotoran sapi umumnya diatas 30, oleh karena itu kotoran kambing harus
dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan ke tanaman. Prinsip pengomposan adalah
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
19
untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20) (Siboro et al.,
2013). Pengomposan adalah proses penguraian bahan-bahan organik secara biologis oleh
mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Dewi dan
Treesnowati, 2012). Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan
lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan telah dikembangkan teknologi-teknologi
pengomposan, antara lain dengan menggunakan aktivator sehingga pengomposan berjalan
dengan lebih cepat dan efisien (Arisha et al., 2003). Bioaktivator yang
Berpijak dari permasalahan tersebut, maka penulis terdorong untuk membahas tentang
sistem pemanfatan limbah jerami kacang hijau di desa Manggali kecamatan Pallangga dengan
judul ‗Penambahan feses sapi pada jerami kacang hijau sebagai kompos‘.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen yaitu jenis penelitian yang
sistematis, logis dan teliti didalam melakukan kontrol terhadap kondisi yang ada.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dimulai pada bulan Februari sampai April 2019.
Persiapan pembuatan kompos bertempat di kelurahan Manggali Kecamatan Pallangga
Kabupaten Gowa, sedangkan untuk analisa parameter kualitas kompos sebelum dan setelah
matang dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin.
Sebelum pengomposan dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk
mengetahui karakteristik dari jerami kacang panang dan feses sapi, yang meliputi nilai C-
organik, N-total, rasio C/N, kadar air, temperatur, dan pH.
Bahan utama kompos adalah Jerami Kacang Hijau dan Kotoran sapi, sedangkan
Bioaktivator yang digunakan dalam pengomposan adalah EM4. Bahan penelitian yang
digunakan antara lain, kotoran sapi yang berasal dari peternakan rakyat. Alat yang digunakan,
yaitu tempat pengomposan, sekop, plastik terpal, ember, gelas ukur, dan karung.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode statistic deskriptif, yaitu metode dengan cara
menghitung rata-rata setiap parameter yang diukur kemudian disajikan dalam bentuk Tabel dan
Grafik. Selanjutnya data yang diperoleh dijadikan acuan terhadap hasil penelitian mengenai
kompos. Setelah bahan dan wadah telah siap, maka akan dilakukan penentuan variasi komposisi
bahan kompos. Variasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat di lihat pada Tabel berikut:
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
20
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930
suh
u k
om
po
s
Suhu Kompos
P0
P1
P2
P3
Tabel 1. Skema Variasi Penelitian Bahan Kompos
Keterangan : JKT = jerami Kacang Hijau
D. TeknikPengumpulan Data
a. Cara Pengumpulan Data
- Data Primer,diperoleh melalui pemeriksaan kadar air, suhu dan karakteristik fisik di
lapangan serta pemeriksaan C-Organik, N-Total, dan rasio C/N pada awal dan akhir
penelitian di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin.
- Data Sekunder ,diperoleh melalui penelusuran ke perpustakaan berupa hasil penelitian
sebelumnya serta artikel-artikel mengenai pemeriksaan C-Organik, N-Total, rasioC/N,
kadar air dan suhu kompos.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan kompos dilakukan dengan sistem anaerob. Bahan-bahan mentah akan
dihaluskan dengan cara mencacah untuk memperkecil ukuran partikel yang akan
dikomposkan. Setelah bahan kompos dicacah kemudian dicampurkan dengan aktivator
dan kotoran ternak sesuai dengan variasi yang telah ditentukan. Kompos yang telah
tercampur selanjutnya di masukkan ke dalam komposter. Setelah semua proses selesai,
keranjang ditutup dengan penutupnya kemudian kompos disimpan di tempat yang teduh
(memiliki sirkulasi udara yang lancar) serta terlindung dari sinar matahari.
E. Pengolahan/ Analisa Data
Analisa data yang dilakuakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Data dan hasil
pengukuran yang diperoleh dianalisis dan disajikan dalam bentuk table dan grafik
menggunakan software EXCEL.
Variasi Keterangan
Po 5 kg Jerami Kacang Hijau
P1 5 kg JKH + 4 kg kotoran sapi
P2 5 kg JKH+ 20 ml EM4
P3 5 kg JKH + 4 kg kotoran sapi + 20 ml EM4
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji dan Analisis Bahan Kompos
1. Suhu
Suhu mempengaruhi jenis mikroorganisme yang hidup dalam medai. Ruskandi
(2001), dalam proses pengomposan aerobic terdapat dua fase yaitu fase mesolitik 23-
450 C dan fase termolitik 45-65
0C. Kisaran tempratur yang ideal kompos adalah 55-
650C, sedang fluktuasi suhu pada penelitian ini tidak
Keterangan
P0 = JKH (control)
P1 = JKH + Kotoran Sapi
P2 = JKH + EM4
P3 = JKH + Kotoran Sapi + ME4
lebih dari 470C, sedang mikroorganisme pengurai yang mampu berkembang biak
hanya bakteri mesofilik. Hasil pengukuran suhu selama proses pengomposan dapat dilihat
pada gambar 1.
Berdasarkan gambar 1 tersebut, bahwa suhu kompos selama 30 hari pengamatan
menggunakan EM4, menunjukkan peningkatan suhu secara bertahap, pada grafik dapat
dilihat bahwa suhu tertinggi pada variasi P2, P3, sedangkan pada suhu terendah pada P0.
Kematangan kompos terjadi pada suhu 26-280 C, pada hari ke 30. Hal tersebut
disebabkan aktivitas mikroorganisme yang membantu dalam proses pengomposan.
Dengan adanya decomposer menjadikan mikroorganisme pada kompos lebih aktif.
Aktivitas mikroorganisme yang tinggi menunjukkan dengan adanya peningkatan suhu,
sehingga pada hari ke 7 sampai hari ke 15 terjadi fluktuasi suhu pengomposan dari seluruh
perlakuan, sedangkan pada minggu ke 15 mulai terjadi fase pendinginan yang ditandai
dengan penurunan dari suhu 530
C. Pada hari ke 30 terjadi kestabilan suhu 26-270C, Suhu
ini sama dengan suhu tanah yang sesuai dengan persyaratan kompos matang.
2. Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH berungsi sebagai indicator proses pengomposan pada berbagai
activator. Mikroba kompos ada bekerja pada pada keadaan pH netral sampai sedikit
masam, dengan kisaran pH antara 5,5 sampai 7,5. Hasil analisa derajat keasaman (pH)
disajikan pada Tabel 1
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
22
Tabel 1:: Derajat Keasaman (pH) pada Kompos
Sumber : Hasil Penelitian 2019
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai pH berada pada rentang nilai normal
proses pengomposan. Pada proses pengomposan berlangsung, peningkatan pH pada
masing-masing kompos bejalan dengan baik. Menurut SNI 19-7030-2004, nilai pH pada
suatu kompos yang matang yaitu antara 6,8 – 7,49 sehingga dari hasil pengomposan
tersebut semua variasi kompos memenuhi standarisai pengomposan.
3. C – Organik
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap proses fermentasi
pengomposan yang menggunakan jerami kacang hijau dan feses sapi dapat dilihat pada
Tabel sebagai berikut:
Tabel 2: Kandungan Unsur C Organik Kompos
No Perlakuan C- Organik (%)
Awal Akhir
1 P0 34,20 31.16
2 P1 33.15 29.30
3 P2 32.22 30.31
4 P3 34.22 29,35
Sumber: Hasil Analisa 2019
C- Organik pada kompos setelah mengalami proses dekomposisi,kandunganC –
Organik semakin menurun sehingga pada akhir pengomposan semua ariasi
menghasilkan nilai karbon sebesar 31.16, 29.30, 30.31, 29.35. C- Organik kompos
menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Permentan SR. 140/10/2011,
menyatakan bahwa syarat pupuk organic C – Organik yaitu min 15 %. Total C –
Organik dalam pupuk diengruhi oleh kualitas bahan organik dan aktivitas
NO Perlakuan Nilai pH
0 1 2 3 4
1 P0 6,73 6,83 6,87 6,94 6,92
2 P1 7,10 7.06 7,09 7,14 7,15
3 P2 7,05 7,23 7,28 7,26 7,29
4 P3 6,98 7,18 7,23 7,30 7,20
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
23
mikroorganisme yang terlibat dalam penguraian bahan organic. Menurut Setyorini,
et,al, (2006), menyatakan baha peningkatan kadar C – Organik diduga terjadi karena
penurunan aktivitas mikroorganisme dan terdapat pula mikroorganisme yang mati
kematian mikroorganisme pengomposan akan menambah iomassa sehingga
meningkatkan C-Organik
4. Kandungan Unsur Nitrogen (NTotal)
Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam tanah yang
berperan penting dalam proses pelapukan atau dekomposisi bahan organic. Berdasarkan
hasil yang di dapat kandungan unsure nitrogen dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3 Kandungan N-Total Kompos
No Perlakuan N-Total ( % )
Awal Akhir
1 P0 0.65 1.36
2 P1 0.62 1.4
3 P2 0.66 1.58
4 P3 0.59 1.64
Sumber : Hasil Analisis 2019
Hasil penelitian yang di tunjukkan pada gambar di atas menunjukkan nilai N
pada kompos mengalami kenaikan. Kenaikan N-Total terbesar pada kompos yaitu pada
variasi KP 3 yakni sebesar 1.05%, sedangkan kenaikan terendah terdapat pada variasi KP 0
dengan nilai penurunan sebesar 0.71%. Nilai kandungan N-Total pada semua variasi
mengalami peningkatan padaakhir pengomposan. Peningkatan kandungan N-Total pada
kedua jenis kompos tersebut sudah memenuhi SNI yakni minimum 0.40%.
5. Analisis Rasio C/N
Rasio C/N merupakan perbandingan antara unsur karbon dan nitrogen. Prinsip dari
pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan organik mendekati nilai rasio C/N
tanah, yaitu berkisar antara 10-20. Berikut adalah hasil analisa C/N selama proses
pengomposan yang disajikan pada Tabel 4.
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
24
Tabel 4 Nilai Rasio C/N Kompos
No Perlakuan Rasio C/N ( % )
Awal Akhir
1 P0 51.04 20,19
2 P1 53.46 20,25
3 P2 49.18 18.57
4 P3 57.98 17.21
Sumber: Hasil Analisis ,2019
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh bahwa rasio C/N masing-masing variasi mengalami
penurunan selama proses pengomposan. Hal ini disebabkan karena proses dekomposisi
yang sedang berlangsung dalam komposter, dan bahan yang digunakan seimbang antara
feses sapi dengan limbah jerami kacang hijau pada akhir pengomposan didapatkan nilai
pada masing-masing variasi kompos yaitu 20.9%, 20.25%, 18.00%, 17.333%. Berdasarkan
SNI, kompos yang matang memiliki nilai rasio C/N antara 10 – 20%, sehingga pada
kompos ini variasi kompos yang memenuhi SNI yaitu P1, P2 dan P3. Pada nilai rasio C/N
di antara 30 – 40 mikroba, mendapatkan cukup C untuk energy dan N untuk sintesis
protein. Apabila nilai C/N terlalu tinggi, maka mikroba akan kekurangan N untuk sintesis
protein sehingga dekomposisi berjalan lambat (Isro, 2008).
Selama proses pengomposan CO2 menguap dan menyebabkan penurunan kadar
karbon dan peningkatan kadar nitrogen sehingga rasio C/N kompos menurun. Rasio C/N
yang terlalu tinggi akan menghambat proses pembusukan, sebaliknya jika terlalu
rendah mikroorganisme akan kekurangan C sebagai sumber energy (Pandebesei dan
Rayuanti,2013).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
bahwa Parameter yang diuji yaitu C-Organik, N-Total, Rasio C/N, Kadar Air dan pH. Senyawa
senyawa tersebut sangat berperan penting dalam proses pengomposan hingga pelaksanaan
pengomposan selesai sehingga dapat menghasilkan kompos matang.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Kajian penggunaan jerami dan pupuk N, P, dan K pada lahan
sawah irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 4 (1):15-24
Djuarnani, N., Kristian dan Setiawan. BS. 2005. Cara cepat membuat kompos. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Anie Asriany / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 17- 25
25
Dobermann, A. dan T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management Potash
& Potash Institute of Canada.
Dwiyanto, K dan E. Handiwirawan. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola
integrasi tanaman-ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman dan
Ternak. Puslitbangnak. Bogor.
http://isroi.wordpress.com/2008/02/25/cara-mudah-mengomposkan-tandankosong- kelapa-
sawit/. (diunduh 25 April 2010).
http://isroi.wordpress.com/2008/02/25/kompos-jerami-mudah-murah/.(diunduh 23 April 2010).
http://www.knoledgebank.irri.org/ricedoctor. (diunduh tanggal 23 April 2010)
Indriani, Y. H, 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta p. 5-7.
Musnamar. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Purwa, D.R. 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2007. Kedelai: teknik produksi dan
pengembangan. Bogor. 523 hal.
Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan
Pengembangannya). Kanisius Yogyakarta.
SNI 19-7030-2004, --, Spesifikasi Kompos Dan Sampah Organik, --
-------,2004, Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik, Standar Nasional Indonesia
19-7030-2004
26
Pengaruh Pemberian Bahan Aditif Berbeda terhadap pH dan
Kandungan Bahan Kering Silase Sorgum Manis (Sorghum
bicolor L.)
Mugfira1)
, B. Nohong 2)
, S. Nompo 2,
1)Mahasiswa Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
2)
Dosen Program Strata Satu Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Email: [email protected]
Abstrak
Sorgum memiliki kemampuan untuk tumbuh baik disaat musim hujan maupun
kemarau serta memiliki kandungan nutrisi yang hampir setara dengan rumput
gajah. Hal ini tentunya dapat menjadi solusi dalam penyediaan pakan hijauan yang
tidak kontinyu. Dalam pembuatan silase penambahan bahan aditif diperlukan
untuk memperoleh hasil silase yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pH dan kandungan bahan kering silase sorgum manis yang diberi
bahan aditif berbeda. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu P0: Kontrol, P1: Tepung Sagu 5%, P2:
Dedak Padi 5%, dan P3: Dedak Jagung 5%. Sampel dianalisis di Laboratorium
untuk mengetahui pH dan bahan kering dari silase. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pH silase sorgum pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata
(P>0,05). pH dari silase sorgum yang dihasilkan berkisar antara 3,83 – 3,89 yang
berarti merupakan silase dengan kualitas sangat baik. Sedangkan untuk kandungan
bahan kering, silase pada perlakuan P0 (kontrol) sangat nyata lebih rendah
(P<0,01) dibandingkan P2 dan nyata lebih rendah (P<0,05) terhadap P1 dan P3.
Hal ini menunjukkan bahwa silase sorgum manis dengan 13% bx yang dibuat
tanpa penambahan bahan aditif cukup layak untuk diterapkan melihat dari pH
silase yang dihasilkan merupakan pH dengan kategori sangat baik.
Kata kunci: Bahan Kering, pH, Silase, dan Sorgum
Abstract
Sorghum has the ability to grow during the rainy and dry seasons and has a
nutrient content that is almost equivalent to elephant grass. This certainly can be
a solution in the provision of non-continuous forage feed. The addition of
additives is needed when making silage to obtain better silage results. This study
aims to determine the pH and dry matter content of sweet sorghum silage given
different additives. The study used a completely randomized design (CRD) with 4
treatments and 4 replications, namely P0: Control, P1: Sago Flour 5%, P2: Rice
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
27
Bran 5%, and P3: Corn Bran 5%. Samples were analyzed in the laboratory to
determine the pH and dry matter of silage. The results showed that sorghum
silage pH in treatments P0, P1, P2, and P3 were not significantly different
(P>0,05). The pH of the produced sorghum silage ranged from 3,83 – 3,89 which
means it is a silage with very good quality. As for the content of dry matter, silage
in P0 (control) significantly lower (P<0.01) than P2 and significantly lower
(P<0.05) than P1 and P3. This shows that sweet sorghum silage with 13% bx
made without the addition of additives is quite feasible to apply, seeing that the
pH of the resulting silage is a pH with a very good category.
Keywords: Dry Matter, pH, Silage, and Sorghum.
PENDAHULUAN
Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai
potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi
yang baik, toleran terhadap kekeringan dan genangan air, serta relatif tahan
terhadap gangguan hama atau penyakit (Silalahi dkk., 2018). Sorgum dapat
tumbuh dilahan kering, dan banyak berguna baik sebagai sumber bahan pangan,
pakan ternak maupun bahan baku bermacam industri. Potensi sorgum untuk
industri pakan (pengganti jagung) juga cukup tinggi (Nurharini, 2013).
Pemanfaatan tanaman sorgum sebagai pakan memiliki peluang yang
sangat terbuka, sebab kandungan nutrisi pada batang dan daun sorgum hampir
setara dengan rumput gajah yang sudah lebih dahulu populer sebagai bahan pakan
ternak ruminansia (Irawan dan Sutrisna, 2011). Menurut Suarni dan Firmansyah
(2016) kandungan nutrisi dasar sorgum adalah karbohidrat 70,7%, lemak 3,1%,
protein 10,4%, serat 2,0% dan kadar pati sorgum berkisar antara 56-73% dengan
rata-rata 69,5%. Pati sorgum terdiri atas amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-
80%), bergantung pada faktor genetik dan lingkungan.
Kandungan nutrisi sorgum yang baik, merupakan salah satu kelebihan
tanaman ini untuk dijadikan pakan. Selain itu, sorgum memiliki kemampuan
untuk tumbuh baik di saat musim hujan maupun kemarau. Hal ini tentunya dapat
menjadi solusi atas permasalahan peternak dalam hal penyediaan pakan hijauan
yang tidak kontinyu, dimana pada musim penghujan produksi hijauan melebihi
kebutuhan dan pada musim kemarau produksi hijauan kurang dari kebutuhan
(Malik, 2013). Menurut Syahrir dkk. (2013) agar pakan dapat tersedia secara
berkelanjutan, perlu metode khusus untuk mengefisienkan penyimpanan pakan,
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
28
tanpa mengurangi massa dan kualitas pakan, dan teknologi tepat guna yang
aplikatif adalah pakan komplit berbentuk silase.
Silase merupakan teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air
tertentu melalui proses fermentasi oleh bakteri yang berlangsung di dalam tempat
yang disebut silo dengan tujuan untuk meningkatkan nilai gizi serta mengawetkan
pakan (Haresta, 2017). Untuk mempercepat proses fermentasi, perlu ditambahkan
zat atau bahan aditif dalam pembuatan silase. Menurut Stefani et al. (2010)
macammacam aditif silase seperti water soluble carbohydrat, bakteri asam laktat,
garam, enzim, dan asam. Dalam proses pembuatan silase, bahan tambahan sering
digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas dari
silase (Kojo dkk., 2015).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari tahun
2019, di Lahan Pastura dan Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, parang, chopper,
gunting, kantong plastik, tali raffia, lakban, label, timbangan, pH meter, amplop,
alat cetak UMB dan peralatan untuk analisis bahan kering
Bahan hijauan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman
sorgum yang berumur 80 hari dengan kandungan brix 13%. Bahan aditif yang
digunakan adalah tepung sagu, dedak padi, tepung jagung.
Metode Pelaksanaan a. Rancangan penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu:
P0: Tanpa penambahan bahan aditif (kontrol)
P1: Penambahan tepung sagu 5%
P2: Penambahan dedak padi 5%
P3: Penambahan tepung jagung 5%
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
29
b. Prosedur penelitian
Tanaman sorgum yang telah berumur 80 hari dipanen kemudian dilayukan
selama 3 jam hingga mencapai kadar air 70%. Selanjutnya dicacah + 3 cm
menggunakan mesin chopper. Tujuan pencacahan adalah agar hijauan sorgum
lebih mudah dipadatkan. Setiap satu plastik silo berisi 4,5 kg silase. Sorgum yang
telah dicacah selanjutnya ditambahkan bahan aditif sesuai dengan perlakuan yaitu
tanpa bahan aditif (P0), tepung sagu 5% (P1), dedak padi 5% (P2), dan dedak
jagung 5% (P3). Setelah itu, bahan atau hijauan silase dipadatkan sepadat
mungkin hingga yang tersisa hanya udara yang ada diantara rongga hijauan.
Plastik kemudian diikat dan dibungkus rapat untuk selanjutnya disimpan di tempat
teduh selama 25 hari untuk proses fermentasi. Setelah 25 hari, silase yang telah
jadi dibuka dan dipisahkan antara silase yang baik dan rusak. Tahap selanjutnya
yaitu melakukan pengukuran berdasarkan parameter yang hendak diuji.
Pengukuran parameter dilakukan dengan cara mengukur pH silase yang telah
dibuka menggunakan pH meter digital. Setelah itu mengambil sampel silase
sebanyak 100 g untuk dimasukkan kedalam oven selama 24 jam untuk
mengetahui kandungan bahan kering dari silase sorgum manis. c. Analisis data
Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan (Gaspersz, 1994) dengan
model matematika sebagai berikut:
Yij = µ + πi + Ʃij Keterangan:
Yij = Nilai Pengamatan dengan ulangan ke-j
µ = Rata-rata umum (nilai tengah pengamatan)
πi = Pengaruh perlakuan ke-I (I = 1, 2, 3, 4)
Ʃij = Galat percobaan dan perlakuan ke-I pada pengamatan ke-j (j = 1, 2, 3, 4)
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis sidik ragam nilai pH dan kandungan bahan kering silase sorgum
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil Pengukuran pH dan BK Silase Sorgum
Perlakuan Parameter
Nilai pH BK (%)
P0 3,88 + 0,09 23,00 + 0,82
a
P1 3,85 + 0,06 24,75 + 0,96
b
P2 3,88 + 0,05 27,75 + 1,26
c
P3 3,83 + 0,09 26,00 + 1,99
b
Keterangan: abc
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01). Hasil analisis Laboratorium Kimia Pakan
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (2019).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan aditif tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pH silase sorgum. pH pada
perlakuan P3 atau silase dengan penambahan 5% dedak jagung menunjukkan pH
yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 3,83. pH yang
dihasilkan dari seluruh perlakuan silase berkisar antara 3,83 – 3,88. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa silase yang dibuat memiliki kualitas yang sangat baik. Hal
ini sesuai dengan pendapat Malik (2013) bahwa kualitas silase dibedakan menjadi
beberapa kategori, yaitu baik sekali (pH 3,2 – 4,2), baik (pH 4,2 – 4,5), sedang
(pH 4,5 – 4,8), dan buruk (pH > 4,8).
pH silase pada perlakuan tanpa bahan aditif (P0) tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan silase yang diberi bahan aditif (P1, P2, dan P3). Hal ini disebabkan
tanaman sorgum yang digunakan mengandung brix (kadar gula) sekitar 13%. Hal
tersebut menyebabkan penurunan pH dapat tetap terjadi mengingat gula
(karbohidrat) merupakan salah satu sumber makanan atau energi bagi bakteri
asam laktat. Perry et al. (2003) menyatakan bahwa penambahan bahan kaya akan
karbohidrat dapat mempercepat penurunan pH silase karena karbohidrat
merupakan energi bagi bakteri pembentuk asam laktat.
Despal et al. (2011) menyatakan bahwa penambahan water soluble
carbohydrates akan meningkatkan fermentable carbohydrate silase yang
menyediakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya bakteri untuk
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
31
memproduksi asam laktat serta penurunan pH silase. Penambahan bahan aditif
untuk proses ensilase sering digunakan untuk memperbaiki kualitas silase.
Penambahan sumber water soluble carbohydrates menyebakan produksi asam
laktat yang cukup untuk menurunkan pH dan memperbaiki kualitas silase
(Bureenok et al., 2005).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian bahan aditif
memberikan hasil kandungan bahan kering (BK) yang berbeda sangat nyata
(P<0,01) dan nyata (P<0,05) terhadap silase sorgum. Uji Duncan menunjukkan
bahwa perlakuan P0 sangat nyata lebih rendah (P<0,01) dibandingkan dengan
perlakuan P2 dan nyata lebih rendah (P<0,05) terhadap perlakuan P1 dan P3.
Adapun pada perlakuan P1 dan P3 nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan
perlakuan P2, sedangkan antara perlakuan P1 dan P3 tidak berbeda nyata
(P>0,05). Kandungan BK secara berurut dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi adalah P0 (24,00%), P1 (25,75%), P3 (27,00%) dan P2 (28,75%).
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan P0 (tanpa bahan aditif)
memiliki BK terendah, hal ini disebabkan karena kurangnya sumber energi bagi
bakteri asam laktat yang menyebabkan fase anaerob berlangsung lebih lama
dibanding perlakuan lain sehingga menghasilkan panas, CO2 dan H2O.
Peningkatan kadar H2O selama ensilase akan menyebabkan kandungan bakan
kering pada silase menurun sehingga menyebabkan peningkatan kehilangan bahan
kering (Surono dan Budhi, 2006). Riswandi (2014) bila sumber energi yang
digunakan oleh mikroba hanya berasal dari hijauan, mikroba akan memecah
komponen bahan makanan dari hijauan sehingga menyebabkan kandungan bahan
kering menjadi rendah.
Peningkatan kandungan BK tertinggi pada perlakuan P2 dapat disebabkan
oleh penggunaan bahan aditif (dedak padi) dalam pembuatan silase. Hasil
penelitian Santi dkk. (2012) menyatakan bahwa peningkatan level akselerator
memacu aktifitas fermentasi sehingga produksi H2O menurun dan kandungan BK
meningkat. Sawen dkk. (2003) melaporkan bahwa, dedak padi yang diberikan ke
dalam silase menambah kandungan bahan kering silase menjadi lebih tinggi antara
26,93% – 34,42%. Hasil penelitian Riswandi (2014) menunjukkan bahwa
kandungan bahan kering silase yang ditambahkan dedak halus 2,5% dan ubi kayu
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
32
2,5% menghasilkan kandungan bahan kering silase tertinggi yaitu sebesar 13,43%.
Kandungan BK merupakan aspek penting dalam penentuan kualitas silase.
Bahan segar atau hijauan sorgum yang digunakan dalam penelitian memiliki
kandungan BK 30%. Dari data pada Tabel 2 diketahui bahwa pebuatan pakan
fermentasi berupa silase menurunkan kandungan BK dan meningkatkan kadar air
silase. Menurut Hu et al. (2009) silase berkualitas baik mengandung kadar air
sebesar 67% dan dalam kondisi ini pertumbuhan Clostridia sudah dapat ditekan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian silase sorgum, dapat disipulkan bahwa:
1. Perlakuan tanpa penambahan bahan aditif maupun dengan penambahan bahan
aditif memiliki pH berkisar 3,83 – 3,88. Untuk itu, pengaplikasian silase
sorgum manis dengan kandungan 13% bx, tanpa bahan aditif cukup layak
untuk diterapkan melihat dari pH yang dimiliki merupakan kategori silase
dengan kualitas sangat baik.
2. Kandungan BK silase secara berurut dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi adalah P0 (24,00%), P1 (25,75%), P3 (27,00%) dan P2 (28,75%).
DAFTAR PUSTAKA
Bureenok, S., T. Namihira, M. Tamaki, S. Mizumachi, Y. Kawamoto, and T.
Nakada. 2005. Fermentative quality of guineagrass by using fermented juice
of the epiphytic lactic acid bacteria (FJLB) as a silage additive. Asian-Aust.
J. Anim. Sci. 18:807-811.
Despal, I.G. Permana, S.N. Safarina, and A.J. Tatra. 2011. Addition of water
soluble carbohydrate sources prior to ensilage for ramie leaves silage
qualities improvement. Med. Pet. 34: 69-76.
Gaspersz, V. 1994. Metode Rancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian,
Teknik dan Biologi. Bandung: CV Armico. 472.
Haresta, J. 2017. Produksi Biomassa dan Silase Beberapa Genotipe Sorgum
(Sorghum bicolor (L.) Moench) yang Ditanam Secara Tumpangsari dengan
Ubikayu pada Dua Lokasi Berbeda. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
Hu, E., R.J. Schmidt, E.E. McDonell, C.M. Klingerman, and L. Kung Jr. 2009.
The Effect of Lactobacillus buchneri 40788 or Lactobacillus plantarum
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
33
MTD-1 on the Fermentation and Aerobic Stability of Corn Silage Ensiled at
Two Dry Matter Cortents. J. Dairy Sci. 92: 3907-3914.
Irawan, B., N. Sutrisna. 2011. Prospek pengembangan sorgum di Jawa Barat
mendukung diversivikasi pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 29(2):
99-113.
Kojo, R.M., Rustandi, Y.R.L. Tulung, dan S.S. Malalantang. 2015. Pengaruh penambahan dedak padi dan tepung jagung terhadap kualitas fisik silase rumput gajah (Pennisetum purpureumcv). Jurnal Zootec. 35(1): 21-29.
Malik, M.A. 2013. Kualitas Fisik dan Kimiawi Silase Tanaman Sorgum Manis
(Sorghum bicolor L. Moench) Umur 70 Hari dengan Penambahan Aditif.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nurharini, A. I. 2013. Pengaruh Waktu Panen Batang Sorgum Manis (Sorghum
bicolor (L) Moench) terhadap Nira yang Dihasilkan. Skripsi. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Perry, E., J.E. Oldfield, and W.W. Heinemann. 2003. Feeds and nutrition. 2nd
Edition. California: The Ensminger Publishing Company.
Riswandi.2014. Kualitas Silase Eceng Gondok (Eichornia crassipers) dengan
Penambahan Dedak Halus dan Ubi Kayu. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3(1).
Santi, R.K., D. Fatmasari, S.D. Widyawati dan W.P.S. Suprayogi. 2012. Kualitas
dan Nilai Kecernaan InVitro Silase Batang Pisang (Musa paradisiaca)
dengan Penambahan Beberapa akselerator. Journal Tropical Animal
Husbandry. 1(1): 15-23.
Sawen, D., O. Yoku, dan M. Junaidi. 2003. Kualitas Silase Rumput Irian (Sorgum
sp) dengan Perlakuan Penambahan Dedak Padi pada Berbagai Tingkat
Produksi Bahan Kering. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Negeri Papua, Monokwari.
Silalahi, M.J., A. Rumambi, M.M. Telleng, W.B. Kaunang. 2018. Pengaruh
pemberian pupuk kandang ayam terhadap pertumbuhan tanaman sorgum
sebagai pakan. Zootec. 38(2) :286-295.
Stefani, J.W.H., F. Driehuis, J.C. Gottschal, and S.F. Spoelstra. 2010. Silage
fermentation processes and their manipulation: Electronic Conference on
Tropical Silage. FAO: 6-33.
Suarni dan I.U. Firmansyah. 2016. Struktur, Komposisi Nutrisi dan Teknologi
Pengolahan Sorgum. Inovasi Teknologi dan Pengembangan. Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Surono, M.S., dan S.P.S. Budhi. 2006. Kehilangan Bahan Kering dan Bahan
Organik Silase Rumput Gajah pada Umur Potong dan Level Aditif yang
Berbeda. Journal Indonesia Tropical Animal Agricultur. 31(1): 62-67.
Syahrir, S., M.Z. Mide dan Harfiah. 2013. Evaluasi Fisik Ransum Lengkap
Berbentuk Wafer Berbahan Bahan Utama Jerami Jagung dan Biomassa
Mugfira, B. Nohong, S. Nompo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 26- 33
34
Murbei. Proseding Seminar Nasional dan Forum Komunikasi Industri
Peternakan. Bogor, 18–19 September 2013.
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO
DAUN MAJA (Aegle marmelos) DAN DAUN GAMAL (Gliricidia sepium)
Digestibility of Dry Matter and Organic Matter in vitro Aegle marmelos and Gliricidia sepium Leaves
Harniati*, Rohmiyatul Islamiyati**, Ismartoyo**
*)Alumni Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
**)Staf Pengajar Fakultas Peternakan - Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalenrea Makassar.
email: [email protected].
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan organik in
vitro daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal (Gliricidia sepium). Penelitian ini dianalisis
menggunakan uji T dengan lima ulangan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan
bahan kering dan bahan organik in vitro tidak berbeda nyata (P>0,05) antara daun maja dan
daun gamal. Disimpulkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro daun maja
dan daun gamal adalah sama
Kata kunci : Daun maja, daun gamal, kecernaan, in vitro
PENDAHULUAN
Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman leguminosa yang memiliki kandungan
protein cukup tinggi, daun gamal ini banyak di manfaatkan di antaranya pakan ternak
ruminansia. Sebaliknya daun maja (Aegle marmelos) kurang dimanfaatkan oleh peternak
sebagai pakan ternak, padahal tanaman ini juga memiliki kandungan protein yang tinggi. Maka
dari itu pada penlitian ini akan membandingkan nilai kecernaan daun gamal dan daun maja.
Daun maja (Aegle marmelos) memiliki kandungan nutrisi seperti kadar air 10,07%,
protein kasar 18,20%, lemak kasar 3,84%, serat kasar 16,16% dan kadar abu 23,18% (Singh dkk,
2012). Adapun zat anti nutrisi pada daun maja (Aegle marmelos) yaitu tannin 2,3% saponin 3,7%
dan phytic 0,6 (Harniati 2018). Sedangkan kandungan nutrisi yang terkandng pada daun gamal
(Gliricidia sepium) yaitu kadar protein 25,7%, serat kasar 13,3%, kadar abu 8,4% dan BETN
4,0%(Hartadi et al, 1997)
Metode in vitro adalah suatu metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung yang
dilakukan di laboratorium dengan meniru proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan
ruminansia. Keuntungan metode in vitro adalah waktu lebih singkat dan biaya lebih murah.
Metode in vitro bersama dengan analisis kimia saling menunjang dalam membuat evaluasi pakan
hijauan (Pell dkk, 1993).
Kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap
sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Kecernaan
Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-37
35
bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan. Setiap jenis ternak
ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam
mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan (Sutardi dkk, 2001).
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun maja (Aegle marmelos), daun
gamal (Gliricidia sepium), dan cairan rumen. Peralatan yang digunakan adalah blender, termos,
dan alat-alat laboratorium untuk analisis bahan kering dan bahan organik in vitro
Metode Penelitian
Persiapan sampel daun maja dan daun gamal. Hijauan dipilih dalam keadaan segar dan
diambil bagian yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Hijauan ditimbang, setelah itu bahan dioven
dengan suhu 60oC sampai kering, digiling lalu diayak melalui saringan berdiameter 1 mm. Tahap
kedua yaitu pengujian kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro dengan metode Tilley dan
Terry (1963).
Parameter yang Diukur
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kecernaan in vitro bahan kering
(KCBK) dan kecernaan in vitro bahan organik (KCBO) daun maja (Aegle marmelos) dan daun
gamal (Gliricidia sepium.
Keterangan :
DCBK = Daya Cerna Bahan Kering
BKS = Bahan Kering Sampel
BKR = Bahan Kering Residu
BKRB = Bahan Kering Residu
Blanko
Keterangan :
DCBO = Daya Cerna Bahan Organik
BOS = Bahan Organik Sampel
BOR = Bahan Organik Residu
BORB = Bahan Organik Residu
Blanko
Analisis data
Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-37
36
Data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan SPSS uji T (uji independen
sampel T Test) (Sugiyono, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecernaan bahan kering dan bahan organik daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal
(Gliricidia sepium) pada hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar4.
Gambar 3. Kecernaan Bahan Kering In vitro Daun Maja (Aegle marmelos) dan Daun Gamal (Gliricidia
sepium).
Gambar 4. Kecernaan Bahan Organik in vitro Daun Maja (Aegle marmelos) dan Daun Gamal
(Gliricidia sepium)
Berdasarkan uji t bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro tidak berbeda
nyata (P <0.05) antara daun maja dan daun gamal. Kecernaan bahan kering daun gamal (
59,44%) dan kecernaan bahan kering daun maja (50%). Kecernaan bahan organik daun gamal
(57.95%) dan kecernaan bahan organik daun maja (50.83%). Hal ini menunjukkan bahwa
tingginya kecernaan bahan kering pakan juga diikuti oleh kecernaan bahan organik. Sutardi, dkk
(2001) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan
organik merupakan bagian terbesar dari bahan kering. Tinggi rendahnya konsumsi bahan organik
akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsumsi bahan kering.
Kecernaan bahan kering dan bahan organik hasil penelitian yang didapatkan lebih rendah
dibanding dengan penelitian Hadi dkk (2011) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering
gamal (Gliricidia sepium) 60,06% dan bahan organik gamal (Gliricidia sepium) 59,13%, adanya
perbedaan nilai yang didapat cenderung dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanaman, umur tanaman dan
lama pakan dalam rumen. Semakin tinggi kecernaan bahan kering suatu bahan pakan semakin
tinggi pula peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk pertumbuhan. MCdonald
daun gamal, 59.44%
daun maja, , 50%
44%46%48%50%52%54%56%58%60%62%
daun gamal, 57.95%
daun maja, , 50.83%
46%
48%
50%
52%
54%
56%
58%
60%
Harniati, Rohmiyatul Islamiyati, Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-37
37
et al,.(2002) menyatakan bahwa nilai daya cerna bahan kering dan bahan organik dapat
dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan, perlakuan pakan dan taraf pemberian pakan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disimpulan bahwa kecernaan bahan kering
dan bahan organik in vitro daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal (Gliricidia sepium)
adalah sama.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi. R.F., Kustantinah., H. Hartadi.(2011). Kecernaan in-sacco hijauan leguminosa dan hijauan
non leguminosa dalam rumen sapi peranakan oongole. Buletin Peternakan
Vol.35(2):79-85
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk
Indonesia. Cetakan III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
McDonald, p.,r.a. Edwards, j.f.d. greenhalg and c.a. morgan. 2002. Animal nutrition. 6th
ed.
Ashford color pr., gosport.
Pell., Cherney and J.S. Jones. 1993. Technical note: Forage In vitro Dry Matter Digestibility as
influenced by Fibre Source in The Donor Cow Diet. J. Animal Sci 71.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Sutardi, T., N. A. Sigit, T. Toharmat. 2001. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan
Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikroba Rumen. Fapet
IPB Bekerjasama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Tilley, J.M. A. dan R.A. Terry, 1963. The relationship between the soluble
constitutent herbage and their dry matter digestibility. J. British Feed Sci. 18:104-
111
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
38
Pengaruh Pengunjung Terhadap Tingkah Laku dan Konsumsi Makan Rusa Totol
(Axis-axis) Pada Penangkaran Rusa Totol di Fakultas Peternakan Unhas
Agil Suharto1, Anie Asriany
2, Ismartoyo
3
ABSTRAK
Rusa totol ( axis – axis ) merupakan salah satu spesies yang tinggal di daerah tropis yang
disebut Indian Deerpopulasinya sebanyak di temukan di luar habitat aslinya, khusus di
penangkaran, Rusa dapat menjadi daya tarik pengunjung di penangkaran, karena
penampilannya yang menarik. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai juli 2019. Di
penangkaran rusa Fakultas Peternakan Unhas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh pengunjung terhadap pemberian pakan oleh pengunjung terhadap konsumsi
makan dan tingkah laku rusa. Metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung di
lapangan ( observasi survey ) dengan metode Time Sampling dilakukan terhadap rusa yang
berada di penangkaran, wawancara dengan pengunjung serta studi pustaka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis pakan yang diberikan oleh pengunjung meliputi kangkung,
wortel, sawi. rumput lapangan, hal ini tidak berpengaruh terhadap tingkah laku dan
konsumsi makan rusa, akan tetapi memberikan perubahan pada tingkah laku dan konsumsi
makan yang meningkat.
Kata Kunci: Pengunjung, Komsumsi rusa, rusa totol (Axis-axis), tingkah laku
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rusa totol (Axis axis) merupakan salah satu spesies rusa yang tinggal di daerah tropis
yang disebut indian deer, spotted deer atau chital deer.Rusa totol (Axis axis) pada saat ini
termasuk satwa yang dilindungi dalam habitat yang baik, mudah berkembangbiak, sehingga
satwa ini sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan dapat dibudidayakan dengan
memberikan nilai ekonomis.Sebagai sumber daya alam rusa mempunyai banyak manfaat
terutama sebagai sumber pangan dan objek wisata, disamping sebagai ilmu pengetahuan,
pendidikan serta estetika.Hal ini cukup menguntungkan bagi Indonesia yang memiliki
potensi rusa cukup besar.
Ciri Rusatotol (Axis axis) mempunyai lingkar dada 75-79 cm, memiliki panjang ekor
20-30 cm, tinggi bahu 110-40 cm, dan berat hidup dewasa 75-100 Kg (Fajri, 2000).
Menurut Harianto dan Dewi (2012) berat badan jantan mencapai 70-90 kg dengan tinggi
mencapai 90 cm, berat betina mencapai 40-50 kg, dengan tinggi 80 cm dan berat lahir 3,5
kg, rusa totol (Axis axis)memiliki kulit yang berwarna coklat kemerah-merahan, dipenuhi
dengan bintik-bintik besar berwarna putih. Garis gelap membujur sepanjang punggung rusa
totol(Axis axis) bagian perut dan kaki berwarna putih.Leher terdapat bagian yang berwarna
putih, moncongnya berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan bagian wajah.Ekornya
berukuran lebih besar bila dibandingkan dengan jenis rusa pada umumnya dan rusa jantan
memiliki alat pertahanan berupa tanduk (ranggah).
Manfaat yang dimiliki rusa menyebabkan perburuan tidak terkendali, sehingga
populasi rusa di alam mengalami penurunan.Selain itu, rusaknya habitat di alam baik akibat
kegiatan perburuan maupun rusak secara alami, menjadi faktor penting yang mengancam
keberlangsungan hidup rusa,untuk menjaga populasi di alam tetap terjaga maka dilakukan
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
39
upaya penangkaran.(Semiadi dan Nugroho, 2004). Usaha penangkaran rusa saat ini telah
banyak dilakukan, baik secara in-situ(pemeliharaan atau penangkaran satwa di habitat alam
atau di habitat aslinya) maupun ex-situ( pemeliharaan atau penangkaran satwa di luar habitat
aslinya)untuk mencapai keberhasilan dalam perkembangbiakannya perlu dipelajari berbagai
aspek fisiologi dan ekologinya salah satunya adalah pengetahuan tingkah laku satwa, dan
jenis pakan yang diberikan.
Habitat adalah sebuah kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik
yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta
berkembangbiaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan
yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi
menyediakan makanan, air dan pelindung. Tipe habitat yang diperlukan suatu satwa
diidentifikasi melalui pengamatan fungsi-fungsinya, misalnya untuk makan atau bertelur,
struktur vegetasi berfungsi sebagai pengaturan ruang hidup suatu individu dengan unsur
utama adalah: bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk (Alikodra, 1990).
Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang
dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk
tempat bernaung (istirahat), kawin, dan menghindarkan diri dari predator (Garsetiasih dan
Takandjandji.,2006). Habitat penangkaran berbeda dengan habitat alami, berdasarkan ciri
habitatnya, pada habitat penangkaran terdapat peningkatan nutrisi, bertambahnya persaingan
intraspesifik untuk memperoleh pakan, berkurangnya pemangsaan oleh predator alami,
berkurangnya penyakit dan parasit serta meningkatnya kontak dengan manusia (Dewi dan
Wulandari.,2011).
Awal pemeliharaan rusa totol (Axis axis) di Universitas Hasanuddin didatangkan dari
Bogor pada tahun 2011 dengan jumlah populasi sebanyak 40 ekor, dengan sistem
pemeliharan ekstensif dengan pakan yang diberikan berupa wortel dan kangkung,
perpindahan rusa dari tempat penangkaran sebelumnya yaitu di taman pintu satu Univesitas
Hasanuddin ke Fakultas Peternakan pada tahun 2017 dengan jumlah populasi 32 ekor, yang
berada di penangkaran rusa totol (axis axis) Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
dengan pola pemeliharaan ekstensif serta pakan yang di berikan berupa wortel dan
kangkung.
Sebagai satwa ruminansia, rusa totol (Axis axis) lebih dominan mengkonsumsi
rumput-rumputan.Meski rusa totol (Axis axis) lebih dominan mengkonsumsi rumput-
rumputan, rusa totol (Axis axis) hampir menyukai segala jenis pakan tambahan, seperti biji-
bijian, pelet, jagung, kentang dan buah-buahan, serta sayur-sayuran, bahkan limbah
pertanian (Semiadi dan Nugroho., 2004). Lebih lanjut dijelaskan nutrisi pada pakan yang
diberikan sebaiknya terdiri dari air, protein, lemak, energi, mineral dan vitamin yang cukup,
karena pada titik tertentu penggabungan protein, lemak dan energi akan menjadi sumber
energi bagi rusa tersebut. Misalnya dedak padi mengandung lemak dan energi yang lebih
banyak yaitu sekitar 5% dan 68% dibanding rumput-rumputan yang hanya sekitar 3% dan
53% dan jenis pakan kacang-kacangan misalnya turi, lamtoro mengandung protein yang
lebih tinggi yaitu 22% dibanding rumput-rumputan yang hanya sekitar 10-13%.
Secara umum, jenis hijauan pilihan yang digunakan sebagai pakan rusa memiliki
kandungan gizi yang tinggi dibandingkan dengan rumputlapang yang sehari-hari diberikan
di penangkaran.Rusamembutuhkan protein, kalsium, dan fosfor masing-masing adalah 13-
16%, 0.45%, dan 0.35% dari bahan kering pakannya untuk pertumbuhan optimal
(Garsetiasih, 1990). Kebutuhan protein rusa totol (Axix axis) yang berumur lebih dari 12
bulan adalah19% dari bahan kering sedangkan kebutuhan energi rusa adalah
3381Kkal/ekor/hari. Oleh sebab itu, pemberian pakan perlu dibuat formulasi(pencampuran
bahan pakan lainnya), sehingga kebutuhan pertumbuhan rusa dapat terpenuhi dan tidak
terjadi defisiensi zat gizi pakan (Setio, dkk., 2011). Penggunaan energi seekor rusa betina
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
40
untuk keperluan metabolisme, berdiri, berlari, berjalan (1,63 km per hari), mencari makan,
bermain dan memamah biak rata-rata 1.908 kcal, sedangkan seekor rusa jantan untuk
berbagai aktivitas membutuhkan energi 1.907 kcal. Energi yang terkandung dalam hijauan
(bahan kering) yang dikonsumsi rusa per ekor per hari yaitu 863 gram daun (per gram daun
= 3,542 kcal) dan 107 gram (per gram rumput = 3,174 kcal) rumput, maka jumlah energi
yang tersedia adalah 3.381 kcal (Mukhtar, 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pakan rusa yang diberikan oleh
pengunjung dipenangkaran serta mengidentifikasi ada tidaknya perubahan konsumsi makan
dan tingkah laku rusa totol di penangkaran akibat pemberian pakan oleh pengunjung.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2019 di penangkaran Rusa Totol
(Axis-axis)Universitas Hasanuddin.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, kamera, timbangan,danalat
tulis.Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: wortel, kangkung, konsentrat
dan rumput gajah. Sedangkan satwa yang diamati dalam penelitian ini adalah:Rusatotol
(Axis axis). Rusa yang dijadikan satwa percobaan sebanyak 30 ekor merupakan rusa totol
(Axis axis)jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda dan anakan (pedet).Di
penangkaran rusa totol (Axis axis) Universitas Hasanuddin.
Metode penelitian
a. Metode pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan metode Observasi/Survei, pengamatan tingkah laku
harian dilakukan dengan tekhnik kombinasi antara Scan Sampling Method dan Time
Sampling Method (Martin dan Bateson.,1986).Yaitu pengamatan tingkah laku berjalan,
mencari makan, istirahat, berdiri.Pencatatanmengikuti pergerakan rusa totol dengan
memperhatikan jenis dan frekuensi kegiatan.Setiap individu diamati secara
bergantian.Setelah satu individu diamati maka pengamatan dilakukan terhadap individu
yang lain (Altman, 1974).
Tabel 1. Perubah Yang Diukur Dalam Penelitian
Tujuan Peubah Data Metode
Tingkah Laku
Konsumsi
Makan
Istirahat
Sosial
Jenis
Frekwensi
Jumlah
Aktivitas
Waktu Aktivitas
Distribusi
Jenis Pakan
Waktu Pemberian Pakan
Jumlah Pemberian Pakan
Observasi
Observasi
Wawancara
Fokus Pengamatan dilakukan pada satu kelompok rusa totol (axis axis)yang terdiri
dari jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda dan anakan. Waktu
pengamatan dilakukan setiap 2 jam dari pengamatan selama 12 jam pada pagi hari (pukul
07.00 - hingga pukul 18.00 Wita), dan total pengamatan selama 4 minggu.
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
41
Wawancara dilakukan pada pengunjung untuk mengetahui pakan yang diberikan meliputi
jenis pakan dan jumlah pakan.. Pengunjung banyak yang datang terjadi pada hari libur,
dengan jumlah pengunjung 10 – 40 orang, sedangkan pengunjung pada hari kerja, dengan
jumlah 5 – 15 orang.
Analisis Data
Data dan informasi hasil pengamatan rusa di penangkarang di analisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Penangkaran Rusa Totol (Axis-axis) Fakultas Peternakan
Penangkarang rusa fakultas peternakan merupakan lokasi dilakukannya
pemeliharaan dan pengembangan jenis rusa totol (Axis-axis). Penangkarang rusa totol yang
berada di Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin memiliki luas kandang 2024,88m2,
yang memiliki lokasi strategis berhadapan sekolah pasca sarjana universitas hasanuddin dan
jalan utama kampus, sehingga mudahnya akses ke penangkarang rusa.
Populasi Rusa totol pada penangkaran rusa sebanyak 30 ekor yang terdiri dari Rusa jantan,
betina dan anakan. Struktur populasi rusa totol (Axix-Axis) pada Tabel berikut.
Tabel 2. Struktur Populasi Rusa Totol Di Penangkaran.
Jenis rusa Jumlah rusa kandang I
(Ekor)
Jumlah rusa kandang II
(Ekor)
Jantan 6 5
Betina 7 3
Anak 8 1
Sumber : Hasil pengamatan di penangkaran rusa totol fakultas peternakan (2019).
Di penangkaran rusa di fakultas peternakan terdapat 3 jenis pohon yang tumbuh
yaitu pohon mangga, pohon nangka dan pohon tranda besi. Pohon yang ada di penangkaran
dimanfaatkan rusa tempat istirahat, bernaung dan tidur . Hal ini sependapat dengan pendapat
semiadi dan taufik (2004) yang menyatakan bahwa naungan sangat diperlukan bagi rusa
untuk yang berada di penangkaran. Di alam bebas, naungan akan dicari sendiri oleh rusa
manakala diperlukan. Namun didalam penangkaran harus disediakan naungan untuk
menghindari stres akibat dari ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim (panas dan hujan) salah
satunya dengan penanaman pohon pada area penangkaran. Selain naungan berupa pohon,
pagar juga merupakan salah satu fasilitas yang harus tersedia pada penangkaran.
Sistem penangkaran rusa totol di fakultas peternakan berbeda dengan habitat aslinya
di alam liar. Sistem penangkaran rusa di fakultas peternakan yaitu sistem semi-intensif. Hal
pemberian pakan diatur pengelolah dan pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pagi hari dan
sore, sedangkan aktivitas lainnya dibiarkan secara alaminya. Menurut Setio (2008), pola
pemeliharaan pada sistem penangkaran menyebabkan perbedaan tingkah laku pada rusa. Tingkah laku pada rusa dengan sistem pemeliharaan secara ekstensif masih menunjukkan
sifat liar dibandingkan dengan sistem intensif. Pada sistem intensif, cenderung lebih jinak
jika dibandingkan dengan sistem ekstensif dan semi-intensif. Oleh karenanya, domestika
baik dilakukan pada penangkaran dengan sistem semi-intensif dan intensif. Namun dalam
pembuatan habitat dengan sistem semi-intensif dan intensif tetap harus memenuhi
kebutuhan hidup rusa seperti dihabitat alaminya, seperti sumber air dan tempat berlindung.
Tingkah Laku Rusa Akibat Pemberian Pakan Oleh Pengunjung
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
42
Aktivitas harian rusa di penangkaran termasuk rendah, dibanding dengan aktivitas di alam.
Wirdateti et al. (1997) diacu oleh Dewi at all (2015) bahwa pada rusa merah kegiatan
hariannya sebagian besar 56% digunakan untuk merumput, 22% memamah biak, 12% tidur,
5% berdiri, dan 3% berjalan-jalan. Hal ini dimungkinkan karena pakan rusa di penangkaran
telah disediakan, sementara di alam rusa mencari pakan sepuasnya karena ketersediannya
cukup banyak. Menurut Dewi et al. (201`5) kegiatan rusa sehari-hari di alam dan di
penangkaran mempunyai proporsi yang berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan dan jenis rusa.
Hasil pengamatan pada tingkah laku rusa di penangkaran yaitu tingkah laku makan,
tingkah laku ruminasi, tingkah laku istirahat dan tingkah laku bermain, dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Tingkah Laku Rusa di Penangkaran
Parameter P1 P2 P3
Tingkah laku makan (menit) 141,75ᵃᵇ±13,67 95,75ᵃ±25,47 157,00ᵇ±43,73
Tingkah laku ruminasi (menit) 104,00ᵃ±27,82 74,00ᵃ±15,64 147,50ᵇ±23,74
Tingkah laku istirahat (menit) 75,00ᵃᵇ±23,07 98,25ᵇ±24,00 63,00ᵃ±11,10
Tingkah laku bermain (menit) 63,00ᵇ±23,45 32,00ᵃ±7,57 44,50ᵃᵇ±19,33
Hasil pengamatan rata-rata tingkah laku makan rusa, yaitu 13,67 % (Tabel 2),
dengan lama waktu makan 141,75 menit/12 jam. Lama waktu makan menurut Ismail (2001),
yaitu 192,67±59,88 menit/ 12 jam, dan menurut Wirdateti et al. (2005), 25–190 menit. Hal
ini menunjukan bahwa lamanya waktu yang dibutuhkan rusa untuk memakan rumput tidak
jauh berbeda meskipun berada di tempat yang berbeda. Perbedaan lama makan rusa
disebabkan adanya perbedaan bobot badan dan jenis pakan yang diberikan (Afzalani et al.,
2008). Tingkah laku makan tertinggi ditunjukkan pada saat pakan tersedia, yaitu ketika pagi
pukul 08.00 – 10.00 dan sore hari pukul 16.00–18.00. Lelono (2004) menyatakan pola
perilaku makan harian rusa timor terdiri atas empat periode puncak, yaitu dini (01.00–
03.00), pagi (06.00–08.00), siang (11.00–14.00), dan malam (17.00–20.00). Alokasi waktu
untuk merumput selama periode waktu 24 jam menurut Arnold (1981) dipengaruhi oleh
kebutuhan pakan, jumlah, dan distribusi vegetasi pakan, serta kecepatan makan hewan.
Tingkah laku makan rusa berbeda ketika ada pengunjung, semakin banyak
pengunjung, semakin tinggi tingkah laku makan rusa. Hal ini terlihat ketika pengunjung
yang datang hanya sedikit tingkah laku makan rusa rendah, sedangkan ketika pengunjung
banyak yang datang tingkah laku makan rusa tinggi menjadi . Jumlah pengunjung saat
kunjungan tinggi, yaitu hari minggu pagi dan sore mencapai 50 orang sehari. Pengunjung
yang datang umumnya adalah anak-anak . Anak-anak senang dengan hal-hal baru yang tidak
biasa dilakukan seperti memberi makan. Adanya pengunjung dapat mempengaruhi tingkat
perilaku makan rusa. Rusa selalu mendekati pengunjung yang menghampiri sisi kandang
walaupun tidak beri pakan.
Hasil pengamatan rata-rata waktu istirahat yaitu 23,07%, dengan lama waktu
istirahat 75,00 menit/12 jam.. Waktu istirahat rusa tertinggi terjadi pada siang hari, yaitu
sekitar pukul 12.00–14.00 WITA, hal ini sesuai dengan pernyataan Wirdateti et al. (1997),
rataan kegiatan istirahat lebih tinggi di siang hari, yaitu setelah makan sekitar pukul 13.00–
16.30 WIB. Menurut Lelono (2004), aktivitas istirahat dilakukan pada pagi dan sore hari
setelah aktivitas makan. istirahat rusa berbeda ketika adanya pengunjung, yaitu semakin
banyak pengunjung, semakin berkurang istirahat rusa Hal ini karena adanya gangguan
pengunjung, ketika ada pengunjung, rusa berdiri dan bergerak mendekati pengunjung di
pinggir kandang, setelah pengunjung pergi rusa kembali berbaring untuk istirahat.
Pengunjung dapat mempengaruhi waktu istirahat rusa dipenangkaran, kondisi tersebut akan
berpengaruh terhadap kesehatan rusa, karena terganggunya aktivitas istirahat.
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
43
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa lama waktu ruminasi rusa
totol terjadipada komsumsi pakan rumput gajah dengan waktu 147,5 menit. Sedangkan
tingkah laku ruminasi antara pakan wortel tidak berbeda nyata meskipun lama waktu
ruminasi pakan wortel lebih lama dibandingkan dengan lama waktu ruminasi pada pakan
konsentrat. Hal ini disebakankarena rumput gakah memiliki kandungan serqt tinggi dan
tekstur yang kasar sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk dicerna berbeda
dengan wortel dan konsentrat yang kadar seratnya relatif lebih rendah. Hal ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Wulandari (2011) melaporkan bahwa
aktivitas ruminasi berkisar antara 254,92-281,28 menit per 12 jam. Perbedaan hasil
penelitian yang cukup signifikan dari hasil penelitian sebelumnya disebabkan oleh
perbedaan jenis rusa yang digunakan dan jenis pakan yang diberikan..
Selain aktivitas makan, ruminasi dan istirahat, rusa juga melakukan aktivitas lain
disela waktu makan yaitu aktivitas bermain seperti anakan berlari dengan anakan lainnya
atau berlari berkejaran dengan rusa betina dewasa lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan
jumlah waktu bermain yang cukup tinggi yaitu 63 menit pada pemberian pakan
wortel.Tingkah laku bermain pada pemberian pakan rumput gajah tidak berbeda nyata
dengan tingkah laku bermain pada pemberian konsentrat.Begitupun tingkah bermain pada
pemberian pakan rumput gajah dengan wortel. Menurut wirdateti,dkk (1997) ketika makan
rusa biasanya akan diselingi dengan bermain antara rusa, dalam keadaan lapar menjelang
makan, rusa jarang diam, selalu berjalan-jalan disekitar lokasi penangkaran
Konsumsi Rusa Akibat Pemberian Pakan Oleh Pengunjung
Dipenangkaran rusa Fakultas Peternakan unhas pakan yang dikonsumsi rusa selain yang
diberikan oleh pengelolah maupun pengunjung yang datang di penangkaran. Pemberian
pakan oleh pengelolah sebanyak dua kali perhari, yaitu pukul 08.00 WIT dan sore pukul
14.00 WIT. Jenis pakan yang diberikan oleh pengelola yaitu wortel dan konsentrat,
sedangkan Pakan yang diberikan pengunjung di penangkaran, yaitu wortel, kangkung, sawi,
rumput liar yang ada di sekitar penangkaran.Rusa sangat menyukai pakan yang diberikan
oleh pengunjung, semua jenis-jenis pakan tersebut dimakan rusa. Kandungan gizi pakan
rusa disajikan pada Tabel 3.
.
Tabel 3. Kandungan gizi pakan rusa di penangkaran rusa fakultas peternakan
Bahan pakan BK PK SK LK
Rumput setaria2
Rumput lapang1
21
24,40
12,7
2,80
35
25,70
0,99
0,30
Wortel1
91,67 13,16 6,15 2,05
Kangkung1
- 28,5 10,0 54
Konsentrat1
Sawi2
100,00
8,32
19,16
2,46
19,79
1,10
5,85
0,12
Sumber:
Dilla (2019)
Dewi at all (2015)
Hasnawati et al. (2006) menyatakan bahwa pakan rusa selain rerumputan dan dedaunan,
sebagai tambahannya dapat berupa konsentrat, sayurmayur, umbi-umbian atau limbah
pertanian. Tingkat kesukaan rusa terhadap pakan yang diberikan oleh pengunjung di
penangkaran Fakultas Peternakan adalah disukai rusa. Hal ini dikarenakan pakan utama rusa
adalah hijauan dan sayuran, di seperti wortel dan kangkung. Selain wortel dan kangkung,
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
44
rusa juga menyukai daun mangga yang jatuh di dalam kandang. Konsumsi rusa di
Penangkaran Fakultas Peternakan pemberian pakan yang berbeda menunjukan tingkat
konsumsi yang berbeda pula. Hal ini akibat adanya pemberian pakan tambahan dari
pengunjung. Pemberian pakan oleh pengunjung tidak memberikan pengaruh yang terhadap
pola konsumsi rusa di penangkaran
Hasil pengamatan dilapangan pengaruh pola makan rusa dipenangkaran rusa di Fakultas
Peternakan terhadap banyak tidaknya pengunjung yang datang dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rata-rata Konsumsi Rusa Per Ekor Per Hari Pada Kondisi Tanpa Pengunjung
Konsumsi Oleh
Jumlah Pengunjung
Tanpa Pengunjung Sedikit (3-10) Banyak (5-50)
Pengelola (Kg)
Pengunjung
(Kg)
9,52
0,00
2,300
0,022
3,300
0,330
Total (Kg) 9,52 2,322 3,630
Perilaku sosial meningkat berhubungan dengan meningkatnya aktivitas makan yang
diakibatkan adanya pemberian pakan oleh pengunjung dan menyebabkan terjadinya
interaksi rusa dalam memperebutkan makanan. Tingkat konsumsi pakan pada rusa tanpa
pengunjung sebanyak 9,52 kg, tingkat pengunjung sedikit sebanyak 2,300 kg dan
pengunjung banyak 3,300 kg secara nominal ada perbedaan. Pada rusan dipenangkaran ka
pakan yang diberikan bervariasi, yaitu secara kualitas sudah mencukupi kebutuhan rusa.
Hal ini disebabkan pakan yang diberikan pengelola pada rusa berupa rumput gajah ditambah
wortel dan kangkung yang diberikan oleh pengunjung mempunyai kandungan nutrisi relatif
tinggi dibanding dengan rumput.
KESIMPULAN
Pemberian pakan oleh pengunjung tidak memberikan perubahan tingkah laku dan pola
konsumsi harian rusa, tetapi pemberian pakan oleh pengunjung menimbulkan persaingan
antar rusa, sehingga perlu pengelompokan di setiap kandang berdasarkan kelas umur rusa.
DAFTAR PUSTAKA
Adiati, U. Soepono, E., Handiwirawan, A. Gunawan Dan D. Anggraeni. 1995. Pengaruh
Pemberian Pupuk Kandang Terhadap Produksi Rumput Gajah( Pennisetum Purpureum) Di Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan Dan Veteriner, 7-8 November Di Bogor, Jilid 2:583-586.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Departemen Kebudayaan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian
Bogor.
Almatzier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
45
Amiati D.A.,B. Masyud dan R. Garsetiasih. 2015. Pengaruh pengunjung terhadap perilaku
dan komsumsi rusa timor ( rusa timorensis de blainville 1822 ) di penangkaran hutan
penelitian dramaga. Bul. Plasma nutfah 21 (2):47-60.
AOAC. 1980. Official methods of analysis of the association of official analytical chemists.
Edisi ke tiga.PO BOX 540.Benjamin Franklin Station Washington DC 2004.
Bismark RM, Mukhtar AS, Takandjandji M, Garsetiasih R, Setio P, Sawitri R, Subiandono
E, Iskandar S, Kayat. 2011. Sintesis Hasil Litbang:Pengembangan Penangkaran Rusa
Timor. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Bunga R, M.M.H Kawatu, R.S.H Wungow dan J.J.I Rompas. 2018. Aktivitas harian rusa
timor ( cervus timorensis ) di tanam marga satwa tandurusa aertembaga, bitung-
sulawesi utara. Zootec.38(2) : 345 – 356.
Departemen Kesehatan (Depkes). 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit
Bharata. Jakarta.
Dewi BS, Wulandari E. 2011. Studi Perilaku Harian Rusa Sambar (Cervus Unicolor) Di
Taman Wisata Alam Bumi Kedaton.J.Sains MIPA. 17(2):75-82.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan
Indonesia.Departemen kesehatan RI. Jakarta.
Dradjat, A. S. 2000. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan, Embrio Transfer dan In Vitro
Fertilisasi pada Rusa di Indonesia: Suatu Cara UntukMencegah Hewan Langka dari
Kepunahan. Laporan Riset UnggulanTerpadu V Bidang Teknologi Perlindungan
Lingkungan.KantorMenteri Negara Riset dan Teknologi.Dewan Riset Nasional.
Jakarta.
Fajri, 2000. Perilaku harian Rusa Totol (Axis axis) yang dikembangbiakan di padang rumput
halaman Istana Negara Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Produksi Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Garsetiasih R, dan Takandjandji M. 2006. Model Penangkaran Rusa. ProsidingEkspose
Hasil-hasil Penelitian.Konservasi dan Rehabilitasi SumberdayaHutan.PSIH-IPB;
Puslit Biologi; Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam,Departemen Kehutanan.
Bogor.
2007. Model Penangkaran Rusa. ProsidingEkspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang. Hlm 12.
Garsetiasih. 1990. Potensi Lapangan Rerumputan Rusa di P. Menipo pada Musim Kemarau.
Laporan Teknis. Balai Penelitian Kehutanan Kupang.
Hasnawati, H. S. Ali kodra, dan A. H. Mustari 2006. Analisi Populasi dan Habitat sebagai
dasar pengelolah Rusa Totol ( axis – axis ) di jakarta, Media konservasi II (2) 46 – 57.
Intannita, T. 2003. Performans mandalung (mule duck) dengan taraf penambahan
kangkung(ipomoea aquatica) yang berbeda dalam ransum.Skripsi. Fakultas peternakan
institute pertanian bogor. Bogor.
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
46
IUCN, 2015 International Union for Conservation of Nature and Natural Reserves. 2015.
The Redlist of Threathened Species. http://www.iucnredlist.org. diakses 8 Oktober
2015.
Lelono, A. 2004. Ekologi Perilaku Makan Rusa (cervus timorensis Lyd) dalam Penankaran
di Ranca Upas Ciwidey. Tesis S2, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Lugiyo dan Sumarto. 2000. Teknik BudidayaRumput Gajah cv Hawaii
(Pennisetumpurpureum). Prosiding Temu TeknisFungsional Non Peneliti.Diterbitkan
PusatPenelitian dan Pengembangan Pertanian.Departemen Pertanian :Hal.120 - 125.
Makmun, C. 2007. Wortel Komoditas Ekspor Yang Gampang Dibudidayakan.Hortikultura:
Hal. 32.
Malasari. 2005. Sifat fisik dan organoleptic nugget ayam dengan penambahan
wortel(Daucuscarota L.,). Skripsi.FakultasPeternakan.Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Masy’ud, B., R. Wijaya, dan I.B. Santoso. 2007. Pola distribusi dan aktivitas harian rusa
timor (Cervustimorensis de Blainville 1822) di Taman Nasional Bali Barat. Media
Konservasi 12(3):10–15.Mendukung Pembangunan Daerah dan Kesejahteraan
Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak: hal.11-13 Desember 2007.
Mas’ud AF, Dewodaru, Komar TE, Muktar AS, Bismark M, Sawitri R, Iskandar S, Kosasi
AS, Pratiwi And Anwar C. 2011. Status dan sintesa hasil litbang : konservasi
keanekaragaman satwaliar. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Mihran, 2008.Evaluasi penyuluhan penggunaan bokashi kotoran sapi terhadap pertumbuhan
dan produksi rumput gajah, Jurnal Agrisistem, juni 2008 Vol.4 no.1.
Muchtadi, D. 1998. Kajian Terhadap Serat Makanan Dan Antioksidan Dalam Berbagai Jenis
Sayuran Untuk Pencegahan Penyakit Degenerative.Press. Bogor.
Mukhtar, A.S. 1996. Studi Dinamika Populasi Rusa (Cervus TIMORENSIS)
DALAMMenunjang Manajemen Taman Buru Pulau Moyo. Disertasi S3 Institut
PertanianBogor, Bogor.
Pattiselanno F, Isir DA, Takege A, Seseray D. 2008. Kajian awal penangkaran Rusa (Cervus
timorensis) sistem back yard di Manokwari, Papua Barat. Biodfer. 25(2): 95-100.
Polii, G.M.M. 2009. Respon Produksi Tanaman Kangkung Darat ( Ipomean Reptans Poir)
Terhadap Variasi Waktu Pemberian Pupuk Kotoran Ayam. Journal Soil Environment
Vol. VII No.1.5hlm.
Rihatni, R. 2013. Resfrensi Pakan Tambahan Limbah Sayuran pada Rusa Timor (Rusa
Timorensis) di penangkaran dan pengaruhnya Terhadap Periku Makan. Skripsi. Intitut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rosviani, L. 2018. Manajemen Penangkaran Rusa Timor ( rusa timorensis ) di taman Rusa
Bumi Patra, Indramayu, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
Suharto A, . Asriany A., Ismartoyo / Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 13(1): 34-47
47
Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi. 1997. Sayuran Dunia 2. Agromedia pustaka, Jakarta.
Rukmana, R. 1995. Bertanam Wortel, kanisius, Yogyakarta. Hal 13-18.
2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Kanisius.Yogyakarta.
Rusilanti dan C. M. Kusharto. 2007. SehatDengan Makanan Berserat.
AgromediaPustaka.Jakarta Selatan.
Santoso, S I. 2011.Rusa Timorensis (Cervus timorensis). Graha Ilmu.Indonesia: Hal.1-3.
Sari, N. K. 2009.Produksi bioethanol darirumput gajah secara kimia. Jurnal TeknikKimia, 4
(1): 265 - 273.
Semiadi, G. dan R. T. Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian
Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
Semiadi , G., Barry, dan T.N. Muir, P.D 1998. Perubahan berat badan rusa sambar (cervus
unicolor) pada kondisi padang rumput di daerah beriklim sedang. Bogor. Biologo
Indonesia. 2: 104 – 108.
Setio P. 2008. Penangkaran Rusa. Prosiding Ekspose dan Gelar Teknologi Hasilhasil
Penelitian.
Setio P, Iskandar S, Sudaryo C. 2011. Teknik peningkatan reproduksi penangkaran rusa.
Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Kehutanan,
Bogor (ID).
Sita, V., dan aunurohim. 2013. Tingkah laku makan rusa sambar rusa unicolor dalam
konservasi ex-situ di kebun binatang surabaya. Institut Teknologi Sepuluh November.
Surabaya. 2(1):174.
Suratman, Dwi Priyanto, Ahmad Dwi Setyawan. 2000. Analisis Keragaman Genus
(Ipomoea )Berdasarkan Karakter Morfologi. Jurusan Biologi Fmipa Uns Surakarta
Voume 1, Nomor 2 Halaman: 72 – 79.
Takandjandji, M. 2009. Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Komponen
Bioekologi Dan Fisik Di Hutan Penelitian Dramaga.Tesis S2, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Tillman, A.D. 1991. Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia.Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1999. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada university Press, Yogyakarta.
Wanamarta, G. 1981. Produksi Dan Kadar Protein Umbi 5 Varietas Ubi Jalar Pada Tingkat
Pemupukan NPK. Departemen agronomi, fakultas pertanian institute Atlanta. Hlm 11-12.
Wirdateti, W. R. Farida, dan M. S. A. Zein. 1997. Perilaku harian rusa jawa (cervus
timorensis) di penangkaran taman safari Indonesia. Biota 2 (2):78-81.
Top Related