New EVALUASI PROFIL DISOLUSI TABLET LEPAS LAMBAT … · 2015. 11. 26. · sehingga penulis dapat...

88

Transcript of New EVALUASI PROFIL DISOLUSI TABLET LEPAS LAMBAT … · 2015. 11. 26. · sehingga penulis dapat...

  • UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    EVALUASI PROFIL DISOLUSI TABLET LEPASLAMBAT TEOFILIN YANG BEREDAR DI

    MASYARAKAT

    SKRIPSI

    HERLINA PERTIWI

    1111102000027

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI FARMASI

    JAKARTAJUNI 2015

  • ii

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    EVALUASI PROFIL DISOLUSI TABLET LEPASLAMBAT TEOFILIN YANG BEREDAR DI

    MASYARAKAT

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

    HERLINA PERTIWI

    1111102000027

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI FARMASI

    JAKARTAJUNI 2015

  • iii

  • iv

  • v

  • vi

    ABSTRAK

    Nama : Herlina PertiwiProgram Studi : FarmasiJudul : Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang

    Beredar di Masyarakat

    Uji disolusi merupakan suatu alat yang sangat penting untuk menggambarkankesamaan antara formulasi yang berbeda dari zat aktif. Beberapa produk berbedadengan zat aktif yang sama dapat memberikan laju pelepasan yang berbedasehingga dapat mebahayakan kesehatan pasien, khusunya untuk obat denganindeks terapi yang sempit. Evaluasi profil penting dilakukan untuk memberikangambaran mengenai lama waktu obat dilepaskan dari sediaan dan mengetahuikinetika pelepasan dari suatu produk. Dua nama dagang tablet lepas lambatteofilin yaitu obat A dan obat B di uji disolusi dengan metode uji disolusi tes 1yang tercantum dalam United State of Pharmacopeia XXX (USP XXX) yaitumenggunakan 900 ml medium dapar HCl pH 1,2 untuk satu jam pertama dandapar fosfat pH 6,0 untuk tujuh jam berikutnya, apparatus tipe 2 dengan kecepatanpengadukan 50 rpm selama 8 jam. Kadar teofilin yang terdisolusi diukur denganspektrofotometer UV-vis. Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa obat A dan obatB tidak memenuhi kriteria penerimaan persyaratan pelepasan metode disolusi tessatu yang tercantum dalam USP XXX. Persentase kumulatif teofilin yang terlepasdari obat A pada jam pertama melebihi rentang penerimaan persyaratan pelepasan,sedangkan persentase kumulatif teofilin yang terlepas dari obat B kurang darirentang penerimaan syarat pelepasan pada jam ke-2, 4, 6, dan 8. Persentasekumulatif teofilin yang terlepas pada jam ke delapan dari obat A dan obat Bberturut-turut adalah 86,30% dan 68,86%. Kinetika pelepasan obat A cenderungmengikuti kinetika model Higuchi, sedangkan obat B cenderung mengikutikinetika orde nol. Mekanisme pelepasan obat A dan obat B terjadi secara difusinon-Fick. Analisa statistik data persentase kumulatif teofilin yang terlepas dariobat A dan obat B menunjukkan bahwa kedua obat tersebut berbeda secarabermakna. Berdasarkan profil disolusi, obat A memiliki profil disolusi yang lebihbaik dibandingkan dengan obat B.

    Kata kunci: tablet lepas lambat teofilin, uji disolusi, spektrofotometri UV-vis.

  • vii

    ABSTRACT

    Name : Herlina PertiwiProgram Study : PharmayTitle : Evaluation of Dissolution Profiles of Theophylline Sustained

    Release Tablets Available in The Market

    Dissolution testing is a very important tool used to demonstrate the similaritybetween different formulations. The rate of release of the same active substancecould differ between the products, so that it can endangered patient's health,especially for drugs with a narrow therapeutic range. Evaluation of dissolutionprofile can overview of how long the drug will be released from the dosage formand to know drug release kinetics from the products. Two brands of theophyllinesustained release which are named drug A and drug B were tested for dissolutionusing dissolution test methods 1 that is listed in United State of PharmacopeiaXXX (USP XXX) using 900 ml medium buffer HCl pH 1.2 for first hour danbuffer fosfat pH 6.0 for the next seven hours, apparatus type 2 with speed ofstirring 50 rpm during 8 hours. The content of theophillyne that has beendissolved was measured using UV-vis spectrophotometer. The results ofdissolution test showed that drug A and drug B do not meets the range ofacceptances of the requirements released dissolution test methods 1 that is listedin United State of Pharmacopeia XXX. The cumulative percentage released oftheophylline drug A in first hour more than the range of acceptance of therequirements released, while drug B the cumulative percentage realesed oftheophylline less than the range of acceptances at 2nd, 4th, 6th, and 8th hours. Thecumulative percentage released of theophylline at the eighth hour of drug A anddrug B respectively were 86.30%, and 68.86%. The release kinetics of drug Atend to follow the kinetics model of Higuchi, while drug B tend to follow thekinetic of zero-order. The release mechanism of drug A and drug B that occurredaccording non-Fick diffusion. Statistical analysis of the cumulative percentagerelease of theophyllnine showed that drug A was significantly different with drugB. Based on the dissolution profiles, drug A has a better dissolution profilecompared to drug B.

    Keyword: sustained release tablets of theophylline, dissolution test, UV-visspectrophotometer

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

    telah melimpahkan berbagai macam nikmat, karunia serta kasih sayang-Nya

    sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan

    judul “Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang Beredar di

    Masyarakat”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

    program pendidikikan Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    Dalam proses perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi ini,

    penulis menyadari adanya beberapa pihak yang memberikan kontribusi kepada

    penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

    1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. selaku pembimbing pertama dan Bapak

    Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku pembimbing kedua, yang telah

    meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta memberikan ilmu terbaik yang

    dimiliki sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    2. Bapak Dr. Arief Sumantri, S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

    dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi, Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    4. Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt selaku sekertaris Program Studi Farmasi,

    Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    5. Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetauan selama

    penulis menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi, Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

  • ix

    6. Kedua orang tua, yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dukungan,

    do’a dan nasihat tak terhingga yang tak akan pernah mampu penulis

    membalas semua itu, dan saudara-saudaraku yang memberikan do’a dan

    dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

    7. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Rahmadi, Kak Eris,

    Kak Rani, Kak Lisna, dan Kak Tiwi yang dengan sabar membantu keseharian

    penulis di laboratorium selama penelitian.

    8. Teman seperjuangan penelitian, Mufidah dan Wardah, atas kebersamaan,

    bantuan serta motivasinya sejak awal penelitian hingga akhir penyelesaian

    skripsi ini.

    9. Temanku Mufidah, Monic, Asrul, Nanda,Vina, Lela, Titis, Puspita, Nuha,

    Wina, Ni’mah, Mida, Nurul, dan Sutar yang telah menemaniku selama di

    perantauan dan di bangku perkuliahan, serta telah memberikan dukungan,

    motivasi, hiburan dan masukan kepada penulis selama pengerjaan skripsi dan

    selama masa perkuliahan.

    10. Teman-teman Tableters, Kingdom, dan PBB yang telah berbagi semangat,

    motivasi, canda dan tawa selama melakukan penelitian.

    11. Teman-teman Farmasi 2011, terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan

    kita dari awal masuk sampai akhir ini, semoga silahturahmi kita biasa tetap

    terjaga.

    12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut

    memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi.

    Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan

    dan kekurangan, kritik dan saran pembaca diharapkan penulis untuk memperbaiki

    kemampuan penulis. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan

    ilmu.

    Ciputat, 29 Juni 2015

    Penulis

  • x

  • xi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iiiHALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ivHALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... vABSTRAK ........................................................................................................ viABSTRACT ...................................................................................................... viiKATA PENGANTAR....................................................................................... viiiHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... xDAFTAR ISI...................................................................................................... xiDAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiiiDAFTAR TABEL ............................................................................................. xivDAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv

    BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 11.1. Latar Belakang ................................................................................. 11.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 31.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 31.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 3

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA2.1. Sediaan Lepas Lambat ..................................................................... 4

    2.1.1. Tujuan Sediaan Lepas lambat .............................................. 52.1.2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan lepas Lambat ............... 62.1.3. Klasifikasi Sediaan Lepas Lambat ...................................... 7

    2.2. Disolusi ............................................................................................ 82.2.1. Definisi ................................................................................ 82.2.2. Uji Disolusi In vitro ............................................................. 92.2.3. Kriteria Hasil Disolusi Sediaan Lepas Lambat .................... 122.2.4. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin ......................... 13

    2.3. Kinetika Pelepasan Obat Berdasarkan Persamaan Matematika ...... 142.3.1. Kinetika Orde Nol ............................................................... 152.3.2. Kinetika Orde Satu .............................................................. 152.3.3. Model Higuchi ..................................................................... 162.3.4. Model Korsmeyer-Peppas ................................................... 16

    2.4. Teofilin ............................................................................................ 182.4.1. Sifat Fisikokimia ................................................................. 182.4.2. Mekanisme Kerja ................................................................ 182.4.3. Farmakokinetik .................................................................... 192.4.4. Dosis dan Cara Pemberian .................................................. 192.4.5. Efek samping........................................................................ 192.4.6. Stabilitas Penyimpanan ........................................................ 20

    2.5. Spektrofotometri............................................................................... 202.5.1. Spektrofotometer UV-Vis ................................................... 20

  • xii

    2.5.2. Hukum Lambert-Beer .......................................................... 22

    BAB 3 METODE PENELITIAN..................................................................... 243.1. Tempat dan Waktu ........................................................................... 243.2. Alat dan Bahan ................................................................................ 243.3. Prosedur Kerja.................................................................................. 24

    3.3.1. Pemilihan Sampel ................................................................ 243.3.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin........... 253.3.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin................................. 253.3.4. Penetapan Kadar .................................................................. 253.3.5. Keseragaman Sediaan .......................................................... 263.3.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin.......................... 273.3.7. Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin dari Tablet ................. 283.3.8. Analisa Statistik ................................................................... 29

    BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 304.1. Pemilihan Sampel ............................................................................ 304.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin ...................... 304.3. Penentuan Kurva Kalibrasi Teofilin ................................................ 314.4. Penetapan Kadar Teofilin dalam Tablet........................................... 314.5. Keseragaman Sediaan Tablet Lepas Lambat Teofilin ..................... 32

    4.5.1. Keragaman Bobot ................................................................ 334.5.2. Keseragaman Kandungan .................................................... 33

    4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin .................................... 344.7. Analisa Kinetika Pelepasan Tablet Lepas Lambat Teofilin ............ 424.8. Analisa Statistik................................................................................ 43

    BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 455.1. Kesimpulan ...................................................................................... 455.2. Saran................................................................................................. 45

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 47

    LAMPIRAN ...................................................................................................... 51

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman2.1. Profil kadar obat dalam darah terhadap waktu dari bentuk sediaan

    lepas lambat yang ideal ...................................................................... 42.2. Rumus Struktur Teofilin ................................................................... 184.1. Profil Disolusi Teofilin Obat A dan Obat B ..................................... 364.2. Profil Disolusi Quibron-T/SR dan Theo SR 300 mg......................... 414.3. Profil Farmakokinetik Konsentrasi Teofilin dalam Saliva dari

    Quibron-T/SR dan Theo SR 300mg ................................................. 41

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman2.1. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat ... 102.2. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat........................ 132.3. Peralatan dan Kondisi Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin

    Pendosisan Tiap 12 jam Menurut USP 30 ........................................... 142.4. Rentang Penerimaan Kadar Hasil Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat

    Teofilin Pendosisan Tiap 12 jam Menurut USP 30.............................. 142.5. Rumus Perhitungan Kinetika Obat....................................................... 152.6. Hubungan Eksponen Pelepasan (n) dengan Mekanisme Pelepasan..... 172.7. Syarat Obat Terlarut Sediaan Lepas Terkendali................................... 174.1. Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi Teofilin .......................... 314.2. Kadar Teofilin dari Obat A dan Obat B .............................................. 324.3. Keragaman Bobot Obat A ................................................................... 334.4. Keseragaman Kandungan Obat B ....................................................... 344.5. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat A dengan

    Persyaratan USP XXX ........................................................................ 384.6. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat A dengan

    Persyaratan USP XXX ........................................................................ 384.7. Kinetika Pelepasan Teofiln dari Obat A dan Obat B ........................... 42

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman1. Bagan Alur Penelitian ......................................................................... 522. Sertifikat Analisis Standar Teofilin ..................................................... 533. Alat Disolusi......................................................................................... 544. Prosedur Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N, Dapar HCl pH 1,2, dan

    Dapar Fosfat pH 6,0 ............................................................................. 545. Panjang Gelombang Maksimum Teofilin ........................................... 556. Kurva Kalibrasi Teofilin ..................................................................... 567. Data Kurva Kalibrasi Teofilin ............................................................. 578. Data Penetapan Kadar Teofilin Obat A dan Obat B ........................... 589. Keragaman Bobot Obat A .................................................................... 5910. Keseragaman kandungan Obat B ........................................................ 6011. Kurva Kinetika Pelepasan Teofilin ..................................................... 6212. Data Hasil Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin dari Obat A dan

    Obat B ................................................................................................. 6413. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terlepas dari Hasil Uji

    Disolusi Obat A.................................................................................... 6514. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terlepas dari Hasil Uji

    Disolusi Obat B .................................................................................... 6615. Data Analisa Statistik Hasil Uji Disolusi Obat A dan Obat B ............. 68

  • 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Sediaan padat yang merupakan sediaan konvensional seperti tablet,

    kapsul dan granul dirancang untuk melepaskan zat aktif dengan segera sehingga

    diabsorbsi masuk kedalam sirkulasi sistemik dengan cepat dan sempurna (Nixon,

    1984; Shargel dan Andrew, 1988; Voight, 1994), namun pada beberapa tahun

    terakhir telah dikembangkan bentuk sediaan baru dengan memodifikasi laju

    pelepasan obat secara terkendali. Salah satu produk pelepasan termodifikasi

    adalah sediaan lepas lambat (Sustained release). Bentuk sediaan lepas lambat

    yang ideal hendaknya melepaskan suatu dosis terapeutik awal (dosis awal) yang

    diikuti oleh suatu pelepasan obat yang lambat dan konstan (dosis penjagaan).

    Dosis muatan diberikan untuk mendapatkan kadar aman maksimal sehingga

    memberikan efek terapi yang cepat dan kemudian diikuti dengan pelepasan obat

    secara konstan sampai akhirnya obat tersebut dieksresikan, sehingga konsentrasi

    obat dalam plasma yang konstan dapat dipertahankan dengan fluktuasi yang

    minimal (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Fokus utama dari formulasi sediaan lepas lambat adalah pengendalian

    laju pelepasan obat dari suatu produk (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara, et al.,

    2012), karena pengontrolan pelepasan obat dari produk yang tidak tepat dapat

    mengakibatkan berkurangnya efikasi atau dapat meningkatkan toksisitas (Mei, et

    al., 2010) dan beberapa produk berbeda dengan zat aktif yang sama dapat

    memberikan laju pelepasan yang berbeda sehingga dapat membahayakan

    kesehatan pasien, khusunya untuk obat dengan indeks terapi yang sempit. Selain

    itu, suatu sediaan lepas lambat juga memiliki risiko terjadinya kegagalan sistem

    yang menyebabkan terjadinya dose dumping (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara,

    et al., 2012).

    Uji disolusi in vitro merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui

    profil pelepasan obat yang dapat menggambarkan profil farmakokinetika obat di

    dalam tubuh (Lachman, 1994), di mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran

  • 2

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik

    obat (Sutriyo, dkk., 2005). Dalam bidang farmasi, uji disolusi sangat penting dan

    bermanfaat untuk mengkarakterisasi kinerja suatu produk obat, misalnya untuk

    menggambarkan kesamaan antara formulasi yang berbeda dari zat aktif dan

    produk obat referensi. Selain itu, terdapat korelasi antara uji in vitro dan in vivo

    sehingga disolusi dapat digunakan sebagai uji untuk menggambarkan

    bioavaibilitas obat pada manusia dan untuk menentukan bioekivalensi produk

    berbeda dengan zat aktif yang sama pada suatu sediaan (Wolny, Gruchlik,

    Codurek, Szara, et al., 2012).

    Profil pelepasan merupakan salah satu bagian yang penting untuk menilai

    keberhasilan suatu formulasi sediaan, terutama untuk formulasi sediaan lepas

    lambat, di mana pengontrolan laju pelepasan obat merupakan fokus utamanya,

    sehingga dengan adanya informasi profil pelepasan obat dapat diketahui kinetika

    laju pelepasan obat dan berapa lama waktu yang dibutuhkan obat untuk lepas dari

    sediannya. Namun selama ini masih jarang sekali produsen obat yang

    memberikan informasi mengenai profil disolusi dalam lembar informasi obat

    maupun dalam media lainnya.

    Salah satu obat yang banyak dikembangkan dalam bentuk sediaan lepas

    lambat dan tersedia di pasaran adalah teofilin. Teofilin (golongan metilxantin)

    merupakan terapi lini pertama dalam terapi asma yang berkhasiat dalam terapi

    asma bronkial kronik dan reaksi bronkospasme (Riahi S &Mousavi MF, 2005;

    Elis EF, 2004). Sediaan teofilin lepas lambat diindikasikan untuk penderita asma

    kronik karena gejala asma ini dapat muncul setiap hari. Saluran pernafasan para

    penderita asama kronik sangat hiperaktif sehingga memerlukan stabilisasi

    sepanjang waktu. Dengan pemberian sediaan teofilin lepas lambat diharapkan

    kadar teofilin dalam dalam darah tetap terjaga sepanjang waktu (Krowczynski,

    1987). Teofilin merupakan obat dengan indeks terapi yang sempit, yaitu pada

    kadar plasma 10-20 μg/ml, sementara pada kadar teofilin lebih dari 20 μg/ml

    dapat menimbulkan efek toksik dan fluktuasi konsentrasi plasma teofilin yang

    dapat menyebabkan variasi respon klinis pada pasien (Boswell-Smith, Cazzola,

    Page, 2006; Siepmann-Peppas, 2001; Parvesz et al., 2004). Hal tersebut

    menandakan bahwa konsentrasi plasma obat akan berpengaruh terhadap

  • 3

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    efektifitas terapi dan toksisitas, di mana profil pelepasan obat mempengaruhi

    absorpsi obat serta pencapaian obat ke sirkulasi sistemik sehingga dapat

    mempengaruhi konsentrasi plasma obat.

    Berdasarkan uraian diatas, evaluasi profil disolusi penting dilakukan

    untuk memberikan informasi mengenai profil disolusi tablet lepas lambat teofilin

    yang beredar di masyarakat baik kepada instansi terkait dan tenaga kesehatan

    maupun masyarakat. Dalam hal ini, evaluasi profil disolusi dilakukan terhadap

    dua nama dagang tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat, yaitu

    obat A dengan kandungan 300 mg teofilin dan obat B dengan kandungan 250 mg

    teofilin untuk mengetahui apakah kedua produk tersebut memiliki profil disolusi

    yang sama dan memenuhi syarat pelepasan tablet lepas lambat teofilin menurut

    USP XXX, yaitu berdasarkan metode uji disolusi tes satu.

    1.2. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di

    masyarakat?

    2. Bagaimana kinetika dan mekanisme pelepasan tablet lepas lambat teofilin

    yang beredar di masyarakat?

    3. Tablet lepas lambat teofilin manakah yang memiliki profil disolusi yang lebih

    baik?

    3.1. Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan profil

    disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat dengan

    menggunakan metode yang ditetapkan USP XXX tahun 2007, yaitu berdasarkan

    metode uji disolusi tes satu.

    3.2. Manfaat

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil

    disolusi sediaan lepas lambat teofilin yang beredar di mayarakat dan memberikan

    masukan kepada instansi terkait dan masyarakat mengenai mutu sediaan lepas

    lambat teofilin yang beredar di masyarakat.

  • 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sediaan Lepas Lambat

    Sediaan obat lepas lambat merupakan suatu sediaan obat yang

    memungkinkan paling sedikit pengurangan dua kali frekuensi dosis dibandingkan

    obat yang ada sebagai suatu sediaan lepas segera. Suatu sediaan lepas lambat

    didesain untuk memberikan suatu dosis zat aktif sebagai terapi awal (dosis

    muatan) dan diikuti oleh pelepasan zat aktif yang lebih lambat dan konstan (dosis

    penjagaan). Dosis muatan diberikan untuk mendapatkan kadar aman maksimal

    sehingga memberikan efek terapi yang cepat dan kemudian diikuti dengan

    pelepasan obat secara konstan sampai akhirnya obat tersebut diekskresikan.

    Kecepatan pelepasan dosis pemeliharaan didesain sedemikian rupa agar jumlah

    zat aktif yang hilang dari tubuh karena eliminasi diganti secara konstan. Dengan

    memberikan sediaan lepas lambat, konsentrasi zat aktif dalam plasma dapat

    dipertahankan selalu konstan dengan fluktuasi minimal (Shargel, Wu-Pong & Yu,

    2005; Siregar dan Wikarsa, 2010).

    Profil kadar obat dalam darah terhadap waktu pada sediaan konvensional

    dan pada sediaan lepas lambat dapat digambarkan sebagai berikut.

    [Sumber: Lachman et al., 1986]

    Gambar 2.1. Profil Kadar Obat Dalam Darah Terhadap Waktu dari BentukSediaan Lepas Lambat yang Ideal

  • 5

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Karakteristik obat yang dapat diproduksi sebagai sediaan pelepasan

    dimodifikasi adalah sebagai berikut (Lee et al., 1987):

    1. Tidak memiliki absorpsi dan ekskresi yang sangat lambat atau sangat cepat,

    dan tidak memiliki waktu paruh terlalu cepat (kurang dari dua jam)

    2. Dapat diabsorbsi dengan baik pada jalur gastrointestinal, memiliki kelarutan

    yang baik, tidak boleh terlalu larut atau terlalu tidak larut

    3. Memiliki dosis terapi yang relatif kecil atau harus lebih kecil dari 0,5 gram

    4. Memiliki indeks terapeutik yang lebar antara dosis efektif dan dosis toksik,

    sehingga obat dapat dikategorikan aman

    5. Tidak menimbulkan dose dumping, yaitu lepasnya sejumlah besar obat

    dalam sediaan secara serentak

    6. Digunakan lebih baik untuk pengobatan penyakit kronik daripada penyakit

    akut.

    2.1.1. Tujuan Sediaan Lepas Lambat

    Tujuan dari sediaan lepas lambat antara lain (Krowcynsk, 1987;

    Remington, 2006):

    1. Untuk mengurangi frekuensi pemberian dosis dalam satu hari sehingga

    meningkatkan kepatuhan pasien.

    2. Peda pemberian obat secara parenteral, maka dapat mengurangi frekuensi

    injeksi yang seringkali menyakitkan dan dapat menyebabkan injeksi.

    3. Untuk mempertahankan kadar terapi obat untuk jangka waktu yang lebih

    lama.

    4. Mencegah fluktuasi obat di dalam darah

    5. Untuk mengurangi efek samping yang tidak diinginkan akibat konsentrasi

    obat yang terlalu tinggi di dalam darah.

    6. Pada sediaan oral, dapat mengurangi iritasi mukosa yang terjadi karena

    konsentrasi obat yang tinggi di dalam saluranan pencernaan.

    Namun, tujuan pembuatan bentuk sediaan lepas lambat pada umumnya

    adalah mempertahankan konsentrasi zat aktif dalam darah atau jaringan untuk

    periode waktu yang diperpanjang. Hal tersebut dapat dicapai dengan mencoba

    memperoleh bentuk sediaan dengan kinetika orde nol. Kinetika pelepasan orde nol

  • 6

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    menunjukkan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan tidak bergantung pada

    jumlah zat aktif dalam sistem pemberian, atau dapat dikatakan kecepatan

    pelepasaannya konstan. Sistem lepas lambat pada umumnya tidak menunjukkan

    tipe pelepasan ini, tetapi biasanya meniru kinetika pelepasan orde nol dengan

    menyediakan zat aktif dengan pelepasan orde satu yang lambat, yaitu bergantung

    pada konsentrasi (Banker dan Rhodes, 1990).

    2.1.2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Lepas Lambat

    Kelebihan atau manfaat sediaan lepas lambat antara lain (Shargel, Wu-

    Pong & Yu, 2004; Robinson and Lee, 1987):

    1. Memberikan konsentrasi dan menghasilkan respon klinis yang diperpanjang

    dan konstan pada pasien. Hal tersebut dapat memperbaiki efisiensi

    pengobatan, yakni optimasi terapi.

    2. Memperbesar jarak waktu pemberian yang diperlukan, sehingga dapat

    mengurangi jumlah total dosis yang diperlukan per hari dan mengurangi

    jumlah total dosis yang diperlukan per hari dan menghindari pemberian obat

    pada malam hari. Hal tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien

    3. Mengurangi fluktuasi konsentrasi obat dalam darah.

    4. Mengurangi iritasi saluran cerna dan efek samping lain yang berkaitan

    dengan dosis.

    5. Memberikan keuntungan ekonomis bagi pasien.

    Selain itu, bentuk sediaan lepas lambat juga memiliki kekurangan,

    diantaranya (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2004; Aulton, 1990):

    1. Harga per unit yang pada umumnya lebih mahal daripada bentuk sediaan

    konvensional dengan bahan aktif yang sama.

    2. Memperlihatkan abosorbsi obat yang berubah-ubah karena berbagai interaksi

    obat dengan kandungan saluran cerna dan mengubah motilitas saluran cerna.

    3. Jika terjadi reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction) atau

    keracunan, pembersihan obat lebih sulit daripada sediaan konvensional.

  • 7

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    4. Hanya didesain untuk populasi normal, sehingga keadaan penyakit yang

    mengubah disposisi obat (ekskresi dan metabolisme) serta variasi pasien yang

    signifikan tidak diperhitungkan.

    5. Tidak semua jenis zat aktif dapat diformulasi ke dalam bentuk sediaan lepas

    lambat.

    2.1.3. Klasifikasi Sediaan Lepas Lambat

    Berdasarkan mekanisme pelepasan zat aktif, maka sediaan lepas lambat

    dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sulistiawati, 2006).

    1. Sistem pelepasan dengan difusi terkendali

    Pada sistem ini kecepatan pelepasan obat melalui membran penghalang inert.

    Ada dua tipe yang dikenal yaitu sistem depot (reservoir) dan sistem matriks.

    Sistem depot terdiri dari suatu inti obat dan suatu depot yang dikelilingi oleh

    membran polimer. Sedangkan sistem matriks terdiri dari obat yang terdispersi

    homogen dalam matriks. Ada dua jenis matriks yaitu matriks lipofilik (tidak

    mengembang) dan matriks hidrofilik (mengembang).

    2. Sistem pelepasan dengan disolusi terkendali

    Sistem ini bekerja dengan mengendalikan laju pelarutan obat. Umumnya hal

    tersebut dicapai dengan mengurangi laju pelarutan melalui pembentukan

    garam atau turunannya, menyalut obat dengan bahan yang lambat larut atau

    memuat bentuk sediaan dengan bahan yang lambat melarut.

    3. Sistem pelepasan dengan erosi matriks (bioerodibel) dan kombinasi difusi

    dan erosi

    4. Sistem pelepasan berdasarkan respon terhadap rangsang

    5. Sistem ini dibagi menjadi dua. Pertama, sistem pelepasan terkendali

    berdasarkan respon terhadap rangsang dari luar. Pada sistem ini laju

    pelepasan obat dikendalikan oleh pengaruh lingkungan, seperti tekanan

    osmotik, tekanan uap, gaya mekanik, sifat magnetik, perbedaan medan

    listrik, pH, ion, enzim, proses hidrasi dan hidrolisis. Kedua, sistem pelepasan

    terkendali dengan mekanisme umpan balik. Pada sistem ini pelepasan obat

    diatur oleh konsentrasi zat-zat biologis tertentu dalam tubuh melalui

  • 8

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    mekanisme umpan balik. Contoh: pengendalian pelepasan insulin oleh kadar

    glukosa darah.

    2.2. Disolusi

    2.2.1. Definisi

    Disolusi merupakan proses dimana sutu bahan kimia atau obat menjadi

    terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, disolusi obat di dalam

    medium cair merupakan kondisi yang mempengaruhi absorbsi sistemik. Laju

    disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air yang sangat kecil akan

    mempengaruhi laju absorbsi sistemik obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Noyes dan Whitney menyatakan bahwa tahap disolusi meliputi proses

    pelarutan obat pada permukaan partikel padat, yang membentuk larutan jenuh di

    sekeliling partikel. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh, yang disebut stagnant

    layer, berdifusi ke pelarut dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah

    dengan konsentrasi rendah. Keseluruhan laju disdolusi dapat digambarkan oleh

    Persamaan Noyes-Whitney (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):

    dM/dt = (D S / h) ( Cs-Cb) ................................................................. (2.1.)

    Keterangan: dM/dt = laju pelarutan obat pada waktu t

    M = jumlah masa terlarut (mg atau mmol) terhadap t waktu (detik)

    D = koefisien laju difusi (cm2/s)

    S = luas permukaan partikel (cm2)

    h = ketebalan dari lapisan film cair (stagnant layer) yang terbentuk

    Cs =konsentrasi obat (sama dengan kelarutan obat) dalam stagnant layer

    Cb =konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

    Dalam banyak uji disolusi kosentrasi pada bulk medium selalu jauh lebih

    kecil dibandingkan dengan larutan jenuh (Cs>>Cb). Kondisi ini disebut kondisi

    hilang atau sink condition (Mansoor & Beverly, 2003), sehingga Cb bisa

    dihilangkan dari persamaan 2.1., sehingga persamaan Noyes-Whitney menjadi

    sama dengan persamaan hukum difusi Fick pertama.

    dM/dt = DSCs / h ..................................................................... (2.2.)

  • 9

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Persamaan Noyes-Whitney memperlihatkan bahwa pelarutan dalam labu

    dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, dan pelarut. Obat dalam

    tubuh, terutama dalam saluran cerna dianggap melarut dalam suatu lingkungan

    “aqueous”. Penetrasi obat melintasi dinding usus dipengaruhi oleh kemampuan

    obat berdifusi (D) dan partisi antar membran lipid. Suatu koefisien partisi yang

    mendukung (Kminyak/air) akan memudahkan absorpsi obat. Faktor-faktor yang

    mempengaruhi disolusi obat dari suatu bentuk sediaan oral padat meliputi (1) sifat

    fisika dan kimia bahan obat aktif, (2) sifat bahan tambahan, dan (3) metode

    fabrikasi (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    2.2.2. Uji Disolusi In vitro

    Uji disolusi merupakan suatu prosedur kendali kualitas yang penting

    untuk produk obat dan sering dikaitkan dengan tampilan produk in vitro. Uji

    disolusi dan pelepasan obat merupakan uji in vitro yang mengukur kecepatan dan

    tingkat disolusi atau pelepasan komponen obat dari sediaan, biasanya pada

    medium cair di bawah kondisi spesifik (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Uji disolusi secara in vitro dapat digunakan untuk meramalkan

    ketersediaan hayati dan dapat digunakan untuk membedakan perumusan faktor-

    faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat dan sering digunakan untuk

    pemantauan stabilitas produk obat dan pengendalian kualitas proses fabrikasisuatu

    produk obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    USP-NF (United States Pharmacopeia) mengatur standar untuk uji

    disolusi dan pelepasan obat dari sebagian besar produk obat dari sebagian besar

    produk obat. Idealnya, metode disolusiin vitroyang digunakan untuk suatu produk

    obat tertentu berkorelasi dengan bioavabilitas obat in vivo. Selain itu, metode

    disolusi hendaknya mampu membedakan perubahan dalam formulasi produk obat,

    di mana uji disolusi dan pelepasan obat menjadi komponen yang penting dalam

    pengendalian kualitas dalam proses fabrikasi suatu produk obat yang digunakan

    untuk (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):

    1. Keseragaman pelepasan obat dari batch ke batch

    2. Stabilitas

  • 10

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    3. Scale up dan perubahan setelah persetujuan (SUPAC-scale up and

    postapproval changes)

    4. Prediksi tampilan in vivo

    Uji disolusi merupakan suatu alat yang penting dalam pengembangan

    formulasi, karena suatu metode disolusi yang sesuai dapat mengungkap suatu

    masalah formulasi pada suatu produk obat yang dapat mengakibatkan

    permasalahan bioavabilitas. Setiap metode disolusi spesifik untuk produk obat dan

    formulasinya, sehingga uji disolusi hendaknya mampu membedakan antara

    formulasi obat yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sebagaimana teramati

    oleh perbedaan laju disolusi obat di bawah kondisi percobaan yang sama dan

    mampu menggambarkan perubahan formulasi, proses fabrikasi, dan karakteistik

    fisika dan kimia obat, seperti ukuran partikel, polimorf dan luas pemukaan.

    Pengembangan uji disolusi yang tepat mengharuskan peneliti untuk

    mencoba laju pengadukan yang berbeda, media yang berbeda (mencakup volume

    dan pH media), dan macam alat pelarutan yang berbeda (Tabel 2.1.). USP-NF

    terkini mencantumkan alat disolusi resmi. Setelahhasil uji disolusi yang diperoleh,

    kriteria disolusi yang dapat diterima dikembangkan untuk produk obat dan

    formulasinya. Kriteria atau spesifikasi ini digunakan untuk menyelidiki masalah

    formulasi (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Tabel 2.1. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat

    Bahan obat- Ukuran partikel- Polimorf

    - Luas permukaan- Stabilitas kimia dalam media pelarutan

    Media- Volume- pH

    - Molaritas- Ko-solven, enzim/surfaktan yang

    ditambahkanSuhu mediaPeralatanFormulasi produk obat

    - Bahan tambahan (lubrikan, bahanpensuspensi, dll)

    Hidrodinamika- Laju pengadukan- Bentuk wadah pelarutan

    - Penempatan tablet dalam wadah“Sinker” (untuk produk obat “floating” danproduk yang menempel pada sisi wadah)

    [Sumber: Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005]

  • 11

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Ukuran dan bentuk wadah dapat mempengaruhi laju dan tingkat

    pelarutan. Sebagai contoh, wadah dapat mempunyai rentang ukuran dari beberapa

    mililiter sampai beberapa liter. Bentuk wadah dapat mempunyai alas bulat atau

    datar, sehingga dalam percobaan yang berbeda, tablet dapat berada dalam posisi

    yang berbeda. Volume media yang lazim 500-1000 ml. Obat-obat dengan

    kelarutan dalam air yang kecil memerlukan penggunaan wadah yang berkapasitas

    sangat besar (sampai 2000 ml) untuk mengamati pelarutan/disolusi yang

    bermakna. Pada beberapa kasus, 1% natrium lauril sulfat (SLS) dapat digunakan

    sebagai media disoluai untuk obat yang tidak larut air. Kondisi sink adalah suatu

    istilah yang merujuk pada suatu volume media yang berlebih yang memungkinkan

    obat padat untuk melarut secara terus-menerus. Jika larutan obat menjadi jenuh,

    pelarutan obat lebih lanjut tidak akan terjadi. Menurut USP-NF, jumlah media

    yang digunakan hendaknya tidak lebih dari tiga kali dari yang diperlukan untuk

    membentuk larutan jenuh dari bahan obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Jumlah pengadukan dan sifat pengaduk mempengaruhi hidrodinamika

    sistem, sehingga mempengaruhi laju disolusi. Kecepatan pengadukan harus

    dikendalikan dan produk obat memiliki spesifikasi berbeda. Laju pengadukan

    rendah (50-75 rpm) lebih membedakan faktor formulasi yang mempengaruhi

    pelarutan dibanding laju pengadukan yang lebih tinggi. Akan tetapi, laju

    pengadukan yang lebih tinggi diperlukan untuk beberapa formulasi khusus untuk

    memperoleh laju pelarutan reprodusibel. Suspensi yang mengandung bahan kental

    atau pengental dapat mengendap dalam suatu daerah cone shape difusi terkendali

    dalam labu bila laju pengadukan terlalu lambat. Suhu media pelarutan harus

    dikendalikan, dan perbedaan suhu harus dihindarkan. Sebagian besar uji disolusi

    dilakukan pada 37oC. Namun, untuk produk transdermal, suhu yang

    direkomendasikan adalah 32oC (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Sifat media disolusi juga akan mempengaruhi uji disolusi. Kelarutan

    maupun jumlah obat dalam sediaan harus dipertimbangkan. Media pelarutan

    hendaknya tidak jenuh dengan obat. Dalam uji seperti itu biasanya digunakan

    suatu volume media yang lebih besar daripada jumlah pelarut yang diperlukan

    untuk melarutkan obat secara sempurna. Media mana yang terbaik merupakan

    suatu persoalan yang diperdebatkan. Media disolusi dalam beberapa uji pelarutan

  • 12

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    USP adalah air yang mengalami deaerasi atau jika didukung oleh karakteristik

    kelarutan obat atau formulasi (pH 4-8) atau HCl encer. Kemaknaan dari deaerasi

    media harus ditetapkan. Beberapa peneliti telah menggunakan HCl 0,1 N, dapar

    fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung pada sifat

    produk obat dan lokasi dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan

    melarut (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Rancangan alat disolusi, bersama faktor-faktor yang digambarkan di atas,

    mempunyai pengaruh pada hasil uji disolusi. Tidak satu pun alat uji yang dapat

    digunakan untuk seluruh produk obat. Tiap produk obat harus diuji secara

    individual dengan uji disolusi yang memberikan korelasi yang paling baik dengan

    biavabilitas in vivo (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    Biasanya, laporan uji disolusi akan menyatakan suatu persentase tertentu

    dari jumlah obat yang tertera dalam label produk obat yang harus melarut dalam

    suatu selang waktu tertentu. Dalam praktik, jumlah absolut obat dalam produk

    obat dari tablet yang satu dengan yang lain dapat bervariasi. Oleh karena itu,

    untuk mendapatkan suatu laju pelarutan yang mewakili produk biasanya diuji

    sejumlah tablet dari tiap lot (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

    2.2.3. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

    Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan

    dipenuhi jika jumlah zat aktif terlarut dari unit yang diuji memenuhi Tabel

    penerimaan. Pengujian dilanjutkan hingga tiga tahap kecuali jika hasil sudah

    memenuhi pada tingkat L1 atau L2. Batas jumlah zat aktif terlarut dinyatakan

    dalam batasan persentase terhadap jumlah yang tertera pada etiket. Batas meliputi

    tiap harga Q1, jumlah zat aktif terlarut pada tiap interval penetapan fraksi terlarut

    yang ditetapkan (Ditjem POM, 1995 & The United State Pharmacopeia

    Convention, 2014).

  • 13

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Tabel 2.2. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat

    Tingkat

    Pengujian

    Jumlah

    yang DiujiKriteria

    L1 6

    Tidak satu nilaipun yang terletak di luar rentang penerimaan yang

    dinyatakan dan tidak satupun nilai yang kurang dari jumlah yang

    dinyatakan pada waktu penetapan akhir.

    L2 6

    Nilai rata-rata dari 12 unit sediaan (L1 + L2) terletak dalam tiap

    rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah

    yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak satupun yang

    lebih 10% dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang

    penerimaan yang dinyatakan; dan tidak ada satupun yang lebih 10%

    dari jumlah yang tertera pada etiket di bawah jumlah yang

    dinyatakan pada waktu pengujian akhir.

    L3 12

    Nilai rata-rata dari 24 unit sediaan (L1 + L2 + L3) terletak dalam tiap

    rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah

    yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak lebih dari 2 dari

    24 unit sediaan yang diuji lebih dari 10% dari jumlah yang tertera

    pada etiket di bawah jumlah yang dinyatakan pada waktu pengujian

    akhir; dan tidak satupun dari seluruh unit yang diuji lebih dari 20%

    dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang yang

    dinyatakan atau lebih dari 20% dari jumlah yang tertera pada etiket

    di bawah jumlah yang dinyatakan pada pengujian akhir.

    [Sumber: Ditjem POM, 1995& The United State Pharmacopeia Convention, 2014]

    2.2.4. Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat Teofilin

    USP 30 (2007) telah mengatur peralatan, kondisi dan penerimaan uji

    disolusi tablet lepas lambat teofilin untuk pendosisan tiap 12 jam dan 24 jam.

    Tercatat sebanyak 10 metode uji disolusi tablet lepas lambat teofilin yang

    ditetapkan USP 30 untuk memenuhi salah satu persyaratan izin edar sebagaimana

    yang ditetapkan oleh FDA. Untuk peralatan, kondisi dan penerimaan uji disolusi

    tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan tiap 12 jam lebih rinci dijelaskan

    dalam Tabel 2.3. dan 2.4.

  • 14

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Tabel 2.3. Peralatan dan Kondisi Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin

    Pendosisan Tiap 12 Jam menurut USP 30

    Tes MediumpH

    medium

    Volumemedium

    (ml)

    Suhumedium

    (oC)Apparatus

    Kecepatanpengadukan

    (rpm)

    DetectorUV(nm)

    1HCl (jam ke-1)Fosfat (jam ke 2-8)

    1,26,0

    900 37±0,5 2 50 271

    2 Fosfat 4,5 900 37±0,5 2 75 271

    3HCl (jam ke-1)Fofat (jam ke 2-8)

    1,27,5

    900 37±0,5 2 50 271

    4Fosfat ( 3,5 jam)Fosfat (jam ke 3,6-5)

    3,07,4

    900 37±0,5 2 50 271

    5Fosfat ( 3,5 jam)Fosfat (jam ke 3,6-10)

    3,07,4

    900 37±0,5 2 50 271

    7 Fosfat + octocynol 9 4,5 900 37±0,5 2 50 271

    8 Fosfat 7,5 900 37±0,5 1 100 271

    9HCl 0,1 N (jam ke-1)Fosfat (jam ke 2-6)

    7,5 900 37±0,5 1 50 271

    10HCl (jam ke-1)Fofat (jam ke 2-8)

    1,27,5

    900 37±0,5 2 50 271

    Tabel 2.4. Rentang penerimaan kadar hasil uji disolusi tablet lepas lambatteofilin pendosisan tiap 12 jam menurut USP 30

    Waktu(jam)

    Tes1 2 3 4 5 7 8 9 10

    1 3-15 10-30 1-17 13-38 10-30 10-40 3-30 5-15 6-272 20-40 30-55 30-60 25-50 35-70 15-50 25-45 25-503 50-90 50-65

    3,5 37-65 30-60 60-90 45-80 65-854 50-75 55-80 ≥ 65 ≥ 705 85-115 50-806 65-100 ≥ 70 ≥ 857 ≥ 80 ≥ 658 ≥ 80 ≥ 80 ≥ 85 ≥ 85 ≥ 809

    10 ≥ 80Keterangan: penerimaan kadar dalam satuan persen (%)

    2.3. Kinetika Pelepasan Obat

    Kinetika pelepasan zat aktif dari suatu sediaan yang pelepasannya

    dimodifikasi dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan Higuchi, orde nol,

    orde satu, dan Korsmeyer-Peppas (Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).

  • 15

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Rangkuman rumus keempat model matematika ditunjukkan pada tabel 2.5

    berikut.

    Tabel 2.5. Rumus Perhitungan Kinetika Obat

    Persamaan y = a + bxOrde nol Mt/Mo = k0.tOrde satu Log (100- Mt/Mo) = log 100 – k1.t/2,303Higuchi Mt/Mo= kH.t

    1/2

    Korsmeyer-Peppas ln Mt/Mo= log k + n log t[Sumber: Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005; Siepmann & Peppas, 2001; Dash et al., 2010]

    Keterangan: Mt = jumlah obat terlarut pada waktu tertentu (%)

    Mo = jumlah obat mula-mula dalam larutan, biasanya M0=0 (%)

    Mt/Mo = Jumlah obat yang dilepaskan pada waktu t (%)

    k0, k1, kH, k = konstanta pelepasan obat

    t = waktu (menit)

    n = eksponen difusi obat

    2.3.1. Kinetika Pelepasan Orde Nol

    Disolusi obat dari bentuk sediaan lepas lambat idealnya mengikuti

    kinetika orde nol yaitu pelepasan obatnya konstan dari awal sampai akhir (Dash et

    al., 2010). Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde nol terjadi melalui

    mekanisme erosi. Kinetika ini menggambarkan suatu sistem dimana kecepatan

    pelepasan zat aktif yang konstan dari waktu ke waktu tanpa dipengaruhi oleh

    konsentrasi zat aktif. Persamaan orde nol diperoleh dari plot persen obat

    terdisolusi sebagai fungsi waktu (Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005;

    Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).

    Kinetika pelepasan orde nol terjadi pada sediaan yang tidak mengalami

    disintegrasi seperti sistem penghantaran transdermal, implan, serta sistem

    penghantaran lepas terkontrol secara oral (Sinko, 2006).

    2.3.2. Kinetika Pelepasan Orde Satu

    Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde satu terjadi secara difusi.

    Persamaan orde satu diperoleh dari plot log persen sisaobatsebagai fungsi

    waktu(Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005). Kinetika ini menggambarkan

  • 16

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    sistem dimana pelepasan zat aktif bergantung pada konsentrasi di dalamnya

    (Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).

    Profil kinetika orde satu ini misalnya dapat dijumpai pada bentuk sediaan

    farmasetik yang berisi obat larut air dalam matriks berpori (Mulye dan Turco,

    1995), dimana obat yang terlepas sebanding dengan jumlah obat mula-mula dalam

    sediaan (Mouzam et al., 2011).

    2.3.3. Kinetika Model Higuchi

    Higuchi mendeskripsikan pelepasan obat yang terdispersi dalam matriks

    tidak larut air sebagai proses difusi. Pelepasan obat yang mengikuti mekanisme

    difusi terdapat hubungan linear antara jumlah obat yang dilepaskan terhadap akar

    waktu, yang berarti bahwa pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh waktu, sehingga

    semakin lamazat aktif akan dilepaskan dengan kecepatan rendah yang disebabkan

    oleh jarak difusi zat aktif semakin panjang (Siepmann & Peppas, 2001; Banakar,

    1992). Jika plot akar waktu terhadap jumlah kumulatif obat terdisolusi

    menghasilkan garis lurus dan slopenya (KH)1 atau lebih dari 1, pelepasan obat dan

    bentuk sediaan khusus diasurnsikan mengikuti kinetika Higuchi (Mouzam et al.,

    2011).

    2.3.4. Kinetika Model Korsmeyer-Peppas

    Korsmeyer menurunkan hubungan sederhana yang mendeskripsikan

    pelepasan obat dari sistem polimer. Dalam menemukan mekanisme pelepasan

    obat, data pelepasan obat 60% yang pertama dimasukkan dalam persamaan

    Korsmeyer-Peppas. Persamaan Korsmeyer-Peppas diperoleh dari plot log persen

    obat terdisolusi sebagai fungsi log waktu (Dash et al., 2010). Pada persamaan

    Korsmeyer-Peppas, harus diperhatikan nilai n (eksponen pelepasan) yang

    menggambarkan mekanisme pelepasan. Untuk sediaan dengan matriks silindris

    seperti tablet, hubungan n dengan mekanisme pelepasan obat dapat dilihat pada

    tabel 2.6.

  • 17

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Tabel 2.6. Hubungan Eksponen Pelepasan (n) dengan Mekanisme Pelepasan

    n (eksponen pelepasan) Mekanisem Pelepasan< 0,45 Fickian diffusion

    0,45 0,89 Super case-II transport

    [Sumber: Shoaib, Merchat, Tazeen, dan Yousuf, 2006]

    Kinetika Korsmeyer Peppas bergantung nilai n. Untuk tablet dengan

    matriks silindris, jika nilai n

  • 18

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2.4. Teofilin

    2.4.1. Sifat Fisikokimia

    [Sumber: Ditjen POM, 1995]

    Gambar 2.2 Struktur Teofilin

    Teofilin mengandung satu molekul air hidrat atau anhidrat. Teofilin

    memiliki nama kimia 1,3–dimethyl-3,7–dihydro-1H–purine-2,6-dione dengan

    berat molekul 180,17. Mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari

    102,0% C7H8N4O2dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Teofilin

    merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit danmantap di udara.

    Teofilin sukar larut dalam air tetapi lebih mudah larut dalam air panas, mudah

    larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam amonium hidroksida, agak sukar

    larut dalam etanol dalam kloroform dan dalam eter. Teofilin memiliki nilai pKa

    sebesar 8,6. Penyimpanannya dilakukan dalam wadah tertutup rapat (Ditjen POM,

    1995; Merck and Co, 1983).

    2.4.2. Mekanisme Kerja

    Mekanisme kerja teofillin menghambat enzim nukleotida siklik

    fosfodiesterase (PDE). PDE mengkatalisis pemecahan AMP siklik menjadi 5’-

    AMP dan GMP siklik menjadi 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan

    penumpukan AMP siklik dan GMP siklik, sehingga meningkatkan tranduksi

    sinyal melalui jalur ini. Teofilin merupakan suatu antagonis kompetitif pada

    reseptor adenosin, kaitan khususnya dengan asma adalah pengamatan bahwa

    adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma dan

    memperkuat mediator yang diinduksi secara imunologis dari sel must paru-paru

    (Goodman & Gilman, 2007). Teofilin merupakan perangsang SSP yang kuat,

    merelaksasi otot polos terutama bronkus (Ganiswarna, 1995).

  • 19

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2.4.3. Farmakokinetik

    Teofilin [(3,7-dihidro-1,3-di-metilpurin-2,6-(1H)-dion] atau 1,3-

    dimetilxantin salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 8-15 mg/L

    darah. Potensi toksisitasnya telah diketahui berhubungan dengan kadar teofilin

    utuh dalam darah yaitu >20 mg/L (Dollery, 1991). Rasio ekstraksi hepatik teofilin

    termasuk rendah, yakni 0,09 (Shargel, Wu-Pong& Yu, 2005), oleh karena itu,

    efek potensialnya ditentukan oleh keefektifan sistem oksidasi sitokrom P450 di

    dalam hati (Dollery, 1991). Menurut Rahmatini,dkk. (2004) teofilin

    dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar sitokrom P450 CYP 1A2.

    Teofilin diabsorbsi dengan cepat dan sempura, sehingga kadar puncak

    serum dicapai kira-kira hanya 1-2 jam setelah penggunaan oral. Volume

    distribusinya mencapai 0,5 L/kg dan mengikuti model 2 kompartemen. Pada berat

    badan ideal, klirens teofilin rata-rata 0,04 L/kg/hari. Tetapi, sebenarnya angka ini

    sangatlah bervariasi karena banyak hal yang dapat meningkatkannya, seperti

    kondisi obesitas, merokok, diet dan penyakit hati. Begitu juga dengan t1/2 nya,

    dimana pada pasien dewasa mencapai 8 jam (Winter, 2004).

    2.4.4. Dosis dan Cara Pemberian Obat

    Sediaan lepas lambat teofilin diberikan dengan cara: (1) Sediaan dalam

    bentuk kapsul lepas lambat dapat dibuka dan dapat dicampurkan dengan makanan

    yang lunak dan tidak panas, misalnya: puding, telan segera dan jangan dikunyah,

    tidak direkomendasikan untuk membagi-bagi isi kapsul. (2) Jangan memecah atau

    mengunyah sediaan lepas lambat. (3) Untuk menjaga konsistensi kadar obat

    dalam darah, sediaan lepas lambat harus selalu diminum sebelum makan, atau

    selalu setelah makan.

    Dosis pemeliharaan untuk teofilin non-sustained release adalah 200-300

    mg, 3-4 kali sehari atau 200-400mg, 2 kali sehari untuk sediaan sustained

    released (Winter, 2004).

    2.4.5. Efek Samping

    Efek samping teofilin merupakan kelanjutan dari efek farmakologik.

    Pada kadar serum sekitar 10 μg/ml yang merupakan efek terapi, pada beberapa

  • 20

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    orang telah timbul efek samping ringan seperti mual, kadang- kadang muntah atau

    sakit kepala. Pada kadar di atas 15 μg/ml efek samping menjadi lebih berat,

    seperti takikardi, sedangkan di atas 20 μg/ml dapat terjadi konvulsi (Sukasediati,

    1988).

    Efek samping terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan

    oral maupun rektal atau parenteral. Pada dosis berlebih terjadi efek-efek sentral

    (gelisah, sukar tidur, tremor,dan konvulsi) dan gangguan pernafasan, juga efek

    kardiovaskuler seperti takikardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat peka

    terhadap efek samping teofilin(Tjay dan Raharja, 2007).

    2.4.6. Stabilitas Penyimpanan

    Stabilitas: sediaan eliksir dan tablet atau kapsul lepas lambat harus

    disimpan dalam suhu 25°C. Jangan gunakan larutan jika terjadi perubahan warna

    atau terdapat kristal dalam larutan (Drug Information Handbook International

    2008-2009)

    2.5. Spektrofotometer

    2.5.1. Spektrofotometer UV-Vis

    Spektrofotometer serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara

    radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang

    sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet,

    cahaya tampak, infra merah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang

    untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm,

    daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5-40 μm atau

    4000-250 cm-1 (Ditjen POM, 2014).

    Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik

    aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan atau atom

    dengan elektron-n yang menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari

    tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi.

    Besarnya serapan radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit

    yang mengabsorpsi sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif

    (Satiadarma, dkk., 2004).

  • 21

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Gugus fungsi yang menyerap radiasi di daerah ultraviolet dekat dan

    daerah tampak disebut gugus kromofor dan hampir semua gugus ini mempunyai

    ikatan tak jenuh. Pada kromofor jenis ini transisi terjadi dari π → π*, yang

    menyerap pada panjang gelombang maksimum kecil dari 200 nm, misalnya pada

    >C=C< dan –C ≡ C–. Kromofor ini merupakan tipe transisi dari sistem yang

    mengandung elektron π pada orbital molekulnya. Untuk senyawa yang

    mempunyai sistem konjugasi, perbedaan energi antara keadaan dasar dan keadaan

    tereksitasi menjadi lebih kecil sehingga penyerapan terjadi pada panjang

    gelombang yang lebih besar (Dachriyanus, 2004).

    Gugus fungsi seperti –OH, -O, -NH2, -Cl, dan –OCH3 yang mempunyai

    elektron-elektron valensi bukan ikatan (memberikan transisi n → π*) disebut

    gugus auksokrom yang tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak,

    tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor mengakibatkan pergeseran

    panjang gelombang ke arah yang lebih besar (pergeseran batokromik) dengan

    intensitas yang lebih kuat. Efek hipsokromik adalah suatu pergeseran pita serapan

    ke panjang gelombang lebih pendek, yang sering kali terjadi bila muatan positif

    dimasukkan ke dalam molekul dam bila pelarut berubah dari non-polar ke pelarut

    polar (Dachriyanus, 2004; Rohmandan Sudjaji, 2007).

    Menurut Rohman dan Sudjaji (2007), hal-hal yang harus diperhatikan

    dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah:

    1. Pemilihan panjang gelombang

    Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah

    panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk

    memperoleh panjang gelombang maksimum, dilakukan dengan membuat

    kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu

    larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus

    menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :

    a. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena

    pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk

    setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.

    b. Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar

    dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.

  • 22

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    c. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh

    pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan

    panjang gelombang maksimal.

    2. Pembuatan kurva baku

    Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai

    konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi

    diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi

    dengan konsentrasi.Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi

    merupakan garis lurus.

    3. Pembacaan absorbsi sampel atau cuplikan

    Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2

    sampai 0,8. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam

    pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5% (Rohman dan Sudjaji, 2007).

    2.5.2. Hukum Lambert-Beer

    Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan

    sel yang disinari. Menurut Hukum Beer, yang hanya berlaku untuk cahaya

    monokromatik dan larutan yang sangat encer, serapan berbanding lurus dengan

    konsentrasi (banyak molekul zat). Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu

    dalam Hukum Lambart-Beer, sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus

    terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dalam persamaan:

    A = a.b.c g/liter atau A = ε.b.c .......................................................... (2.3.)

    Keterangan : A = serapan (tanpa dimensi)

    a = absoptivitas (g-1 cm-1)

    b = ketebalan sel (cm)

    C = konsentrasi (g.l-1)

    ε = absorptivitas molar (M-1 cm-1)

    Jadi dengan Hukum lambert-Beer konsentrasi dapat dihitung dari

    ketebalan sel serapan. Absorptivitas merupakan suatu tetapan dan spesifik untuk

    setiap molekul pada panjang gelombang dan pelarut tertentu.

  • 23

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Menurut Roth dan Blaschke (1981), absorptivitas spesifik juga sering

    digunakan sebagai ganti absorptivitas. Harga ini memberikan serapan larutan 1%

    (b/v) dengan ketebalan sel 1 cm, sehingga diperoleh persamaan:

    A = . b. C ..................................................................................... (2.4.)

    Keterangan : = absorptivitas spesifik (ml g-1 cm-1)

    b = ketebalan sel

    C = konsentrasi senyawa terlarut (g/100 ml larutan)

  • 24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    BAB 3

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

    Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Formulasi Sedian Padat,

    Laboratorium Farmakologi, dan Laboratorium Peneltian II Fakultas Kedokteran

    dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

    dari bulan Maret hingga Mei 2015.

    3.2. Alat

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat

    disolusi (Erweka), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), termometer (Erweka), pH-

    meter (Horiba), timbangan analitik (Precisa), magnetic stirer (Nuova Strirer),

    mikropipet 100-1000 μl (Bio Rad), spuit injeksi 5 ml (Terumo), membran

    filterukuran 0,45 μm (Sartorius), dan alat-alat gelas skala laboratorium.

    3.3. Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teofilin standar

    (PT.Kimia Farma), dua merk tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan setiap

    12 jam (Apotek K, Ciputat), kalium dihidrogen fosfat, natrium hidroksida, asam

    klorida, kalium klorida, dan aquadest.

    3.4. Prosedur Penelitian

    3.4.1. Pemilihan Sampel

    Sampel obat yang diteliti adalah tablet lepas lambat teofilin dengan

    pendosisan setiap 12 jam yang beredar di masyarakat. Kriteria pemilihan sampel

    berdasarkan tahun kadaluwarsa yang sama dan berasal dari Apotek yang sama.

  • 25

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    3.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin

    Penentuan panjang gelombang maksimum teofilin dilakukan dengan

    menggunakan tiga jenis pelarut, yaitu dalam pelarut NaOH 0,1 N, dapar HCl pH

    1,2, dan dapar fosfat pH 6,0.

    Teofilin ditimbang seksama sebanyak 50 mg dan dilarutkan dalam 100 ml

    pelarut, sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 500 ppm. Dari

    larutan induk ini, dibuat larutan 50 ppm dengan mengambil 5 ml dan diencerkan

    dengan pelarut hingga 50 ml. Dari larutan 50 ppm kemudian dibuat larutan 12

    ppm dengan mengambil 2,4 ml dan diencerkan dengan pelarut hingga 10 ml.

    Larutan diamati absorbansinya dengan spektrofometer UV-Vis pada

    panjang gelombang 400-200 nm dan ditentukan panjang gelombang

    maksimumnya (Mariyam, R., 2011, telah diolah kembali).

    3.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin

    Pembuatan kurva kalibrasi teofilindilakukan dengan tiga jenis pelarut,

    yaitu pelarut NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2, dan dapar fosfat pH 6,0.

    Kurva kalibrasi dibuat dengan larutan teofilin dengan konsentrasi 1 ppm,

    2 ppm, 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 18 ppm, dan 20 pmm, yaitu dengan cara

    mengambil 0,2 ml; 0,4 ml; 0,8 ml; 1,6 ml; 2,4 ml; 3,2 ml; 3,6 ml; dan 4ml dari

    larutan teofilin 50 ppm; masing-masing diencerkan dengan pelarut hingga 10 ml.

    Masing-masing larutan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-

    Vis pada panjang gelombang 274,4 nm untuk pelarut NaOH 0,1 N, panjang

    gelombang 269,8 untuk pelarut dapar HCl pH 1,2, dan panjang gelombang 271,2

    nm untuk pelarut dapar fosfat pH 6,0; kemudian dibuat kurva regresi linear antara

    kadar teofilin dan serapannya sehingga diperoleh persamaan regresi linear y = a +

    bx(Mariyam, R., 2011, telah diolah kembali).

    3.4.4. Penetapan Kadar Tablet Teofilin Lepas Lambat

    Ditimbang 20 tablet teofilin lepas lambat dan dihitung berat rata-ratanya.

    Tablet diserbukkan, ditimbang setara lebih kurang 100 mg teofilin kemudian

    dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan NaOH 0,1 N hingga

    garis batas. Larutan dikocok hingga larut dan disaring. Dari filtrat hasil

  • 26

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    penyaringan diambil 1 ml, kemudian diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga 100

    ml. Larutan ini mengandung kurang lebih 10 µg/ml teofilin (±10 ppm). Serapan

    larutan diukur pada panjang gelombang 274,4 nm (Ditjem POM, 1995, telah

    diolah kembali). Penetapan kadar ini dilakukan tiga kali.

    Tiap tablet teofilin lepas lambat mengandung tidak boleh kurang dari

    90,0% dan tidak boleh lebih dari 110,0% teofilin anhidrat dari jumlah teofilin

    yang tertera pada etiket (USP XXX,2007).

    3.4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Teofilin Lapas Lambat

    Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua

    metode, yaitu keragaman bobot atau keseragaman kandungan. Persyaratan

    keragaman bobot dapat diterapkan pada produk yang mengandung zat aktif 50 mg

    atau lebih yang merupakan 50% atau lebih dari bobot satuan sediaan.

    Keseragaman dari zat aktif lain, jika dalam jumlah lebih kecil, ditetapkan dengan

    persyaratan keseragaman kandungan. Untuk penetapan keseragaman sediaan

    dipilih tidak kurang dari 30 satuan (Ditjen POM., 1995)

    a. Keragaman bobot

    Sebanyak 10 tablet lepas lambat teofilin ditimbang seksama satu per satu, dan

    bobot rata-rata dihitung. Dari hasil penetapan kadar yang diperoleh, jumlah

    zat aktif dalam masing-masing 10 tablet dihitung dengan anggapan zat aktif

    terdistribusi homogen.

    b. Keseragaman kandungan

    Sebanyak 10 tablet lepas lambat teofilin ditetapkan kadarnya satu per satu

    dengan menggunakan prosedur penetapan kadar.

    Persyaratan keseragaman sediaan dipenuhi, jika jumlah zat aktif 10 satuan

    sediaaan seperti yang ditetapkan dari cara keragaman bobot atau dalam

    keseragaman kandungan terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada

    etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6%. Jika satu

    satuan terletak di luar rentang 90% hingga 110% seperti yang tertera pada etiket,

    atau jika simpangan baku relatif lebih besar dari 6% atau jika kedua kondisi tidak

    dipenuhi, uji 20 satuan tambahan dilakukan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih

  • 27

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    dari 1 satuan dari 30 terletak di luar rentang 75% hingga 125% dari yang tertera

    pada etiket dan simpangan baku relatif dari 7,8%.

    3.4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin

    Uji disolusi tablet lepas lambat teofilin dilakukan sesuai cara yang

    tercantum dalam The United States of Pharmacopeia XXX (USP XXX)

    berdasarkan tes 1, karena di dalam Farmakope Indonesia edisi IV belum

    tercantum prosedur uji disolusi tablet lepas lambat teofilin. Uji disolusi tes 1

    dilakukan menggunakan alat uji disolusi tipe 2 (tipe dayung) pada suhu 37° ±

    0,5°C dengan kecepatan 50 rpm selama 8 jam. Uji disolusi dilakukan pada media

    900 ml larutan dapar HCl pH 1,2 selama 1 jam pertama kemudian dilanjutkan

    pada medium 900 ml larutan dapar fosfat pH 6,0 selama 7 jam berikutnya.

    Larutan dapar HCl pH 1,2 dimasukkan ke dalam enam wadah disolusi dan

    dibiarkan hingga suhu 37 ± 0,5 0C. Dari masing-masing tablet lepas lambat

    teofilin (obat A dan B), diambil enam tablet dan dimasukkan ke dalam wadah

    disolusi yang telah berisi larutan dapar HCl pH 1,2. Setelah satu jam, medium

    disaring dengan kertas saring berukuran 0,45μm sehingga partikel yang belum

    larut dapat tersaring dan meminimalisir kadar yang hilang akibat pergantian

    medium. Tablet dan partikel yang tersaring kemudian dimasukkan ke dalam

    wadah yang telah berisi larutan dapar fosfat pH 6,0 yang suhunya 37 ± 0,5 0C dan

    didisolusi selama tujuh jam.

    Proses pengambilan cuplikan sampel dilakukan pada menit ke 15, 30, 45,

    60, 120, 240, 300, 360, 420, dan 480 sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit

    yang sebelumnya telah dikalibrasi.Setelah pencuplikan sampel dilakukan

    penggantian medium disolusi, yaitu dengan menambahkan 5 ml medium disolusi

    ke dalam wadah disolusi dengan menggunakan spuit dan kertas penyaring

    berukuran 0,45 μm bekas mencuplik sampel sebelumnya. Sampel yang telah

    dicuplik disaring dengan memasangkan kertas penyaring ke spuit, sebanyak ±1 ml

    sampel awal dibuang dan sisanya di tampung di dalam tabung reaksi yang bersih.

    Kemudian masing-masing sampel dari tiap waktu diencerkan dengan medium

    HCl pH 1,2 (untuk sampel cuplikanjam pertama) dan medium fosfat pH 6,0

  • 28

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    (untuk sampel cuplikan jam ke 2-7) hingga kadarnya masuk ke dalam rentang

    konsentrasi kurva baku teofilin dalam masing-masing pelarut.

    Masing-masing sampel larutan yang telah diencerkan diukur serapannya

    dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 269,8 nm untuk

    sampel dengan medium dapar HCl pH 1,2 dan pada panjang gelombang 271,2 nm

    untuk sampel dengan medium dapar fosfat pH 6,0. Jumlah kumulatif obat yang

    dilepaskan dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku teofilin dalam

    medium dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0, kemudian data persen

    kumulatif teofilin yang terdisolusi tiap waktu dianalisa dengan uji statistik untuk

    mengetahui apakah terdapat perbedaan persentase pelepasan teofilin tiap waktu

    antara obat A dan obat B.

    3.4.7. Analisa Kinetika Pelepasan Obat

    Untuk mengetahui mekanisme dan kinetika pelepasan teofilin dari tablet

    di dalam tubuh dilakukan dengan cara memplotkan hasil disolusi dengan

    persamaan kinetika orde nol, kinetika orde satu, Higuchi, dan Korsmeyer-Peppas

    (Patel, D.M., Patel, N.M. Patel, N.N. Pandya, P.D. Jogani, 2007)

    Persamaan garis regresi linear untuk setiap model kinetika dibuat dengan

    cara (Reza, Md Selim, M.A. Quadir, S.S. Haider, 2003):

    a. Kinetikaordenol

    Hubungan linear untuk pelepasan orde nol ditunjukkan antara jumlah

    kumulatif yang dilepaskan matriks dengan waktu.

    b. Kinetikaordesatu

    Hubungan linear untuk pelepasan orde satu ditunjukkan antara logaritma

    persentase kumulatif obat yang tersisa dengan waktu.

    c. Kinetika model Higuchi

    Hubungan linear untuk pelepasan model Higuchi ditunjukkan

    antarapersentase kumulatif obat yang dilepaskan dengan akar waktu disolusi.

    d. Kinetika model Korsmeyer-Peppas

    Hubungan linear untuk pelepasan Korsmeyer-Peppas ditunjukkan

    antaralogaritma persentase kumulatif obat yang dilepaskan

  • 29

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    logaritma waktu yang ditunjukkan oleh nilai koefien korelasi mendekati satu

    (r2> 0,98).

    Untuk menentukan kinetika pelepasan suatu obat, dapat dilihat dari harga

    R2 dari persamaan regresi linier yang didapatkan darimasing-masing tablet.

    Apabila R2mendekatisatu, maka dianggap kinetikanya mengikut pelepasan dari

    persamaan regresi dari orde yang bersangkutan (Wicaksono, Hendradi &

    Radjaram, 2005).

    3.4.8. Analisa Satatistik

    Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan menggunakanmetode

    uji komparatif Independent Sample Test dengan program SPSS 16. Analisis

    statistik dilakukan terhadap data persentase kadar teofilin yang terdisolusi tiap

    waktu dari kedua sampel obat, yaitu obat A dan obat B. Sebelum dilakukan uji

    komparatif Independent Sample Test, data persentase kadar teofilin yang

    terdisolusi tiap waktu dari kedua sampel obat di lakukan uji normalitas distribusi

    dengan uji Saphiro Wilk dan uji homogenitas data antar kelompok dengan metode

    Levene’s Test. Data dikatakan terdistribusi normal dan homogen jika nilai sig

    >0,05. Uji komparatif Independent Sample Test dilakukan pada derajat

    kepercayaan 0,95 (p = 0,05). Dalam hal rancangan ini dapat diuji data persentase

    kadar teofilin yang terdisolusi tiap antar sampel terdapat perbedaan bermakna. Hal

    ini dapat diketahui dengan melihat nilai signifikansi (p). Bila nilai p yang

    dihasilkan

  • 30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    BAB 4

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Pemilihan Sampel

    Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tablet lepas lambat

    teofilin dengan pendosisan dua kali sehari yang beredar di masyarakat, di mana

    terdapat dua merek tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat yaitu

    obat A dengan kandungan zat aktif 300 mg dan obat B dengan kandungan zat

    aktif sebesar 250 mg. Kriteria pemilihan sampel berdasarkan tempat pembelian

    dan tahun kadaluwarsa yang sama, di mana kedua sampel berasal dari Apotek K

    di daerah Ciputat dan memiliki tahun kadaluwarsa yang sama, yaitu tahun 2019.

    Tempat dan tahun kadaluwarsa yang sama dipilih untuk meminimalkan faktor

    kesalahan luar.

    4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin

    Penentuan panjang gelombang maksimum teofilin dilakukan dalam tiga

    pelarut berbeda, yaitu NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0.

    Pengukuran panjang gelombang dilakukan dengan cara scanning pada panjang

    gelombang 200-400 nm. Diantara rentang panjang gelombang tersebut dicari

    panjang gelombang dengan absorbansi yang paling tinggi.

    Dari hasil scanning diperoleh panjang gelombang maksimum teofilin

    dalam ketiga pelarut, yaitu 274,4 nm dalam NaOH 0,1 N, 269,8 nm dalam dapar

    HCl pH 1,2 dan 271,2 nm dapar fosfat pH 6,0. Panjang gelombang maksimum

    teofilin dalam ketiga pelarut tersebut dapat dilihat pada lampiran 5.

    Teofilin di dalam dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0 memiliki

    panjang gelombang maksimum 271 nm (USP XXX, 2007), sedangkan teofilin

    dalam NaOH 0,1 N memiliki panjang gelombang 274 nm (Florey, 1975).

    Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh, panjang gelombang teofilin dalam

    NaOH 0,1 N dan dapar fosfat pH 6,0 mengalami pergeseran batokromik, yaitu

    pergeseran panjang gelombang ke arah lebih besar, sedangkan panjang gelombang

    teofilin dalam dapar HCl mengalami pergeseran hipsokromik, di mana serapan

  • 31

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek, yaitu dari 271 nm menjadi

    269,8 nm. Pergeseran panjang gelombang dapat terjadi karena adanya pengaruh

    dari pelarut, di mana pelarut sering memberikan pengaruh yang besar pada

    kualitas dan bentuk dari spektrum, hal ini dikaitkan dengan perubahan pH dari

    pelarut yang digunakan (Moffat et al., 2005).

    4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin

    Kurva kalibrasi digunakan untuk penetapan kadar teofilin dalam tablet

    lepas lambat, yang kadarnya dapat dihitung melalui persamaan regresi linier.

    Kurva kalibrasi standar teofilin dibuat dalam tiga pelarut, yaitu larutan

    NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0. Dari pembuatan kurva

    kalibrasi teofilin diperoleh persamaan regresi linear y = a + bx dan koefisien

    korelasi (r), di mana y menggambarkan absorbansi dan x menggambarkan

    konsentrasi. Persamaan regresi linear teofilin dapat dilihat pada tabel 4.1.,

    sedangkan kurva kalibrasi dan data kurva kalibrasiyang lebih lengkap dapat

    dilihat pada lampiran 6 dan 7.

    Tabel 4.1. Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi Teofilin

    Pelarut Persamaan Regresi Linear Koefisien Korelasi (r)NaOH 0,1 N y = 0,0662x + 0,0003 1,0000Dapar HCl pH 1,2 y = 0,053x + 0,004 0,9994Dapar Fosfat pH 6,0 y = 0,057x + 0,002 1,0000

    Persamaan regresi linear tersebut kemudian digunakan untuk

    menetapkan kadar teofilin dalam sampel. Tabel diatas menunjukkan bahwa ketiga

    kurva kalibrasi teofilin tersebut memiliki koefisien korelasi (r) yang memenuhi

    syarat linearitas yaitu r ≥ 0,999 (Snyder, Kirkland dan Glajch, 1997).

    4.4. Penetapan Kadar Teofilin dalam Tablet Lepas Lambat

    Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat

    aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada

    etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi

    (Syamsuni, 2007).

  • 32

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan spektrofometer UV-Vis

    dalam pelarut NaOH 0,1 N. Penetapan kadar teofilin dapat dilakukan dengan

    spektrofotometri karena memiliki guguskromofor yang berupa ikatan rangkap

    terkonjugasi dan gugus auksokrom, sedangkan NaOH 0,1 N digunakan karena

    teofilin mudah larut dalam alkali hidroksida. Penggunaan NaOH untuk penetapan

    kadar teofilin juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh T.N Syaifullah,

    dkk. (2006), yang digunakan untuk menetapkan kadar teofilin dalam

    mikropartikel.

    Hasil penetapan kadar obat A antara 92,30% - 97,82% dan obat B antara

    97,76% - 101,17%, sehingga obat A dan obat B memenuhi syarat yang tercantum

    pada USP XXX (2007), yaitu tablet lepas lambat teofilin mengandung tidak

    kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% teofilin anhidrat dari jumlah yang

    tertera pada etiket. Persyaratan penetapan kadar yang digunakan berdasarkan

    USP, hal ini dikarenakan di dalam FI V belum tercantum monografi tablet lepas

    lambat teofilin. Hasil penetapan kadar teofilin dari obat A dan B dapat dilihat

    pada tabel 4.2.

    Tabel 4.2. Kadar Teofilin Obat Adan Obat B

    Merek Kadar (%) Rata-rata kadar (%) SD RSD (%)A 97,82 94,55 2,89 3,07

    93,5392,30

    B 97,760 99,57 1,715 1,722101,1799,78

    4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Lepas Lambat Teofilin

    Keseragaman sediaan merupakan salah satu uji yang dipersyarakan untuk

    suatu sediaan yang mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau

    lebih zat aktif. Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua

    metode, yaitu keragaman bobot atau keseragaman kandungan (Ditjem POM,

    1995). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kandungan zat aktif pada

    sampel obat seragam.

  • 33

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    4.5.1. Keragaman Bobot

    Metode keragaman bobot digunakan untuk menetapkan keseragaman

    sediaan obat A, karena obat A yang mengandung 300 mg teofilin memiliki bobot

    rata-rata 398,08 mg, sehingga kandungan teofilindalam obat A lebih dari 50% dari

    bobot satuan tablet A, yaitu 75,36%. Hasil keragaman bobot obat A dapat dilihat

    pada tabel 4.3 dibawah ini.

    Tabel 4.3. Keragaman Bobot Obat A

    Tablet Bobot Tablet (mg) Kadar Zat Aktif (%)1 396,6 93,792 394,9 93,393 407,3 96,324 396,8 94,845 396,4 94,736 399,5 94,477 392,8 92,898 401,3 94,909 400,1 94,6210 395,1 93,43

    Rata-rata 398,08 94,14SD 0,98RSD 1,04

    Keterangan : Kadar (%) =( )× (%)( )

    Dari hasil keragaman bobot, dapat diketahui bahwa kesepuluh tablet

    yang telah ditimbang memiliki kadar yang sesuai dengan persyaratan keragaman

    sediaan yang ditetapkan oleh FI IV, yaitu kadar teofilin terletak antara 90%

    hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan memiliki simpangan baku relatif

    yang kurang dari 6%, yaitu 1,04%.

    4.5.2. Keseragaman Kandungan

    Keseragaman sediaan obat B ditetapkan dengan metode keseragaman

    kandungan, karena obat B yang mengandung 250 mg teofilin memiliki bobot

    satuan rata-rata 591,7 mg yang berarti kandungan teofilin dalam tablet B kurang

    dari 50%. Selain itu, obat B merupakan tablet bersalut, dimana metode

    keseragaman kandungan digunakan untuk sediaan tablet bersalut untuk penetapan

  • 34

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    keseragaman sediaan (Ditjen POM, 1995). Hasil uji keseragaman kandungan

    dapat dilihat pada tabel 4.4 dan data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.

    Tabel 4.4. Keseragaman Kandungan Obat B

    Tablet Kadar (%) Rata-Rata Kadar (%) SD RSD (%)1 102,08 96,34 3,50 3,632 98,453 95,59

    4 95,875 96,776 92,627 90,868 97,099 100,67

    10 93,41

    Dari hasil uji keseragaman kandungan yang dilakukan, menunjukkan

    bahwa kesepuluh tablet B memiliki kadar antara 90,86% - 102,08% yang masuk

    dalam persyaratan keseragaman kandungan yang ditetapkan oleh FI IV yaitu

    kadar terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan memiliki

    simpangan baku relatif kurang dari 6%, yaitu 3,63%.

    Berdasarkan hasil uji keragaman bobot dan keseragaman kandungan,

    dapat disimpulkan bahwa obat A dan obat B telah memenuhi persyaratan

    keseragaman sediaan. Dengan terpenuhinya persyaratan keseragaman sediaan,

    faktor kesalahan yang menyebabkan variasi profil disolusi darisetiap tablet dapat

    diminimalkan, di mana faktor perbedaan kadar dari tiap tablet tidak dapat

    dijadikan suatu alasan ketika hasil uji disolusi dari tiap tablet bervariasi. Dengan

    demikian, obat A dan obat B dapat dilanjutkan ke uji disolusi yang hasilnya dapat

    dianalisis tanpa mempertimbangkan besarnya dosis.

    4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin

    Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasidan membandingkan profil

    disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di pasaran sehingga dapat

    diketahui apakah profil disolusi sediaan tersebut memiliki persamaan dan telah

    sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh USP XXX, dan melalui profil disolusi

  • 35

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    juga dapat diketahui kinetika dan mekanisme pelepasannya. Uji disolusi in vitro

    merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui profil pelepasan obat yang dapat

    menggambarkan profil farmakokinetika obat didalam tubuh (Lachman, 1994), di

    mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu

    tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat (Sutriyo, dkk., 2005).

    Uji disolusi dilakukan berdasarkan metode yang ditetapkan USP XXX.

    Dimana di dalam USP terdapat 9 tes metode uji disolusi dengan persyaratan

    pelepasan yang bervariasi untuk setiap metodenya. Namun, pada penelitian ini

    digunakan metode uji disolusi tes satu, di mana pada tes satu ini menggunakan

    alat disolusi tipe 2 (dayung), medium disolusi cairan lambung tiruan (dapar HCl

    pH 1,2) dan cairan usus tiruan (dapar fosfat pH 6,0) tanpa enzim sebanyak 900

    ml, kecepatan pengadukan 50 rpm, dan suhu 37±0,5°C. Uji disolusi dilakukan

    selama delapan jam untuk obat A, di mana satu jam pertama dilakukan pada

    medium cairan lambung tiruan dan tujuh jam berikutnya pada medium cairan usus

    tiruan, sedangkan untuk obat B dilakukan hingga menit ke-660, yaitu sampai

    persentase kadar teofilin yang terdisolusi mencapai 80%. Pencuplikan sampel

    dilakukan setiap 15 menit pada satu jam pertama dan setiap 60 menit untuk jam

    berikutnya. Volume pencuplikan diambil sebanyak 5 ml dan segera digantikan

    dengan medium disolusi baru yang sama sejumlah volume yang dicuplik untuk

    menjagaagar volume disolusi tetap, kemudian sampel diukur serapannya pada

    panjang gelombang maksimum dan dihitung kadarnya dengan menggunakan

    persamaan regresi yang telah ditentukan sebelumnya. Uji disolusi dilakukan

    dengan menggunakan 6 tablet pada setiap obat, baik obat A maupun obat B.

    Medium uji disolusi yang digunakan berdasarkan medium disolusi yang

    tercantum dalam metode uji disolusi tes satu USP XXX, yaitu cairan lambung

    tiruan (dapar HCl pH 1,2) dan medium cairan usus tiruan (dapar fosfat pH 6,0)

    tanpa enzim. Selain kedua medium tersebut menggambarkan keadaan fisiologis

    saluran cerna, sifat medium disolusi merupakan salah satu faktor yang

    dipertimbangkan dalam uji disolusi. Media yang digunakan tergantung sifat zat

    aktif obat dan lokasi di dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan

    melarut. Zat aktif yang bersifat asam lemah kecepatan disolusinya akan

    meningkat di dalam medium dengan pH tinggi, sedangkan zat aktif yang bersifat

  • 36

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    basa lemah, kecepatan disolusinyapun akan meningkat di dalam medium dengan

    pH rendah (Martin dan Alfred, 1993). Teofilin merupakan golongan alkaloid

    derivat xantin yang bersifat basa lemah (Aulton, 1990), sehingga kelarutannya

    dipengaruhi oleh sifat medium. Oleh karena itu, penggunaan kedua medium

    disolusi dapat digunakan karena hubungannya dengan sifat zat aktif.

    (a)

    (b)Keterangan: a) Jumlah kumulatif teofilin terdisolusi (%)

    b) Jumlah kumulatif teofilin terdisolusi (mg)

    Gambar 4.1. Profil Disolusi Teofilin Obat A dan Obat B

    Berdasarkan hasil uji disolusi, kedua sampel obat tablet lepas lambat teofilin

    memiliki profil disolusi yang berbeda yang dapat dilihat pada gambar 4.1., dimana

    laju disolusi obat A lebih cepat dibandingkan laju disolusi obat B yang terlihat

    dari kurva jumlah kumulatifteofilin yang terdisolusi baik dalam bentuk

    0102030405060708090

    100

    0 200 400 600 800

    Jum

    lah

    Kum

    ulat

    ifT

    eofi

    linT

    erdi

    solu

    si(%

    )

    Waktu (menit)

    Obat A

    Obat B

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    0 200 400 600 800

    Jum

    lah

    Kum

    ulat

    if T

    eofi

    linT

    erdi

    solu

    si(m

    g)

    Waktu (menit)

    Obat A

    Obat B

  • 37

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    persentasemaupun kadar (mg) yang ti