Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri...

66
1 | Page – NASKAH AKADEMIK RENSTRA POLRI 2015-2019 Naskah Akademik Renstra Polri 2015 – 2019

Transcript of Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri...

Page 1: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

1 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Naskah Akademik Renstra Polri 2015 – 2019

Page 2: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

2 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Daftar Isi

BAB 1 PENDAHULUAN BAB 2 STRATEGI, VISI DAN MISI POLRI DALAM RENSTRA BAB 3 CAPAIAN DAN KENDALA BAB 4 REFLEKSI PERJALANAN POLRI

BAB 5 MEMBANGKITKAN KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP POLRI BAB 6 PENUTUP

Page 3: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

3 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Sejak tahun 1999 Polri telah mulai melaksanakan reformasi, yang ditandai dengan terbitnya buku biru reformasi Polri tentang ―Reformasi menuju Polri yang Profesional.‖ Buku biru tersebut, sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa tujuan pokok atau misi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, terbinanya ketentraman masyarakat, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam buku biru tersebut, Polri menetapkan dan mensosialisasikan kebijakan Reformasi Birokrasi Polri yang meliputi tiga bidang sasaran, yaitu reformasi di bidang instrumental, struktural dan kultural. Pelaksanaan reformasi di dalam tubuh Kepolisian RI adalah untuk meningkatkan profesionalisme polisi. Selain itu, Reformasi Birokrasi Polri adalah untuk memudahkan Polri dalam menjalankan tugas. Bukti keseriusannya adalah pada tahun 2005, Polri menyusun Grand Strategy Polri 2005-2025. Selanjutnya, pada tahun 2008 melakukan Akselerasi Transformasi Polri, dan Reformasi Birokrasi. Untuk tahun 2005-2009, Polri berusaha membangun kepercayaan publik (trust building). Tahapan selanjutnya, tahun 2010-2014 membangun kemitraan (partnership), dan tahun 2011-2025 ditargetkan mencapai keunggulan (strive for exelence). Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di dalam tubuh Polri secara resmi dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Januari 2009. Melalui peresmian ini ini Polri menjalankan komitmen Reformasi Birokrasi di seluruh sendi kegiatannya. Meskipun ketika itu, masih banyak sorotan dan kritik yang ditujukan berkaitan dengan pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri. Seperti peningkatan status Direktorat Lalu Lintas, Polisi Air dan Bimbingan Masyarakat yang oleh DPR ketika itu diusulkan hendaknya menjadi satu badan yang langsung di bawah Kapolri. Pada awalnya Polri menetapkan empat program unggulan sebagai quick wins dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Quick wins adalah program-program unggulan dalam rangka akselerasi untuk mencapai sasaran Polri 2005 - 2009. Keempat program unggulan tersebut adalah quick response patroli Samapta, transparansi pelayanan SIM, STNK dan BPKB, transparansi pelayanan penyidikan (SP2HD), serta transparansi dalam rekrutmen personel Polri.

Page 4: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

4 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Quick Response adalah meningkatkan kecepatan polisi dalam merespon laporan dari masyakarat. Untuk Transparansi Pelayanan SIM, STNK dan BPKB, adalah penerbitan SIM, STNK dan BPKB sebagai bagian dari pelayanan di bidang registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor. Ini untuk kepentingan Kamtibmas maupun kemanusiaan dalam rangka menjaga dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kepentingan forensik kepolisian. Transparansi Proses Penyidikan Tindak Pidana Melalui Pemberian Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab penyidik terhadap masyarakat yang merupakan sarana komunikasi atas segala tindakan-tindakan penyidikan yang telah dilakukan dan dilaporkan kepada pihak pelapor. Sedangkan untuk Transparansi Recrutmen Personel, adalah untuk menjawab tantangan tugas Polri yang semakin kompleks dan global. Karena dunia akan terus berubah, seirama dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, dibutuhkan sumberdaya manusia Polri yang semakin berkualitas, guna menghadapi tantangan tugas ke depan. Untuk itu, penerimaan personel Polri dilakukan dengan bersih, transparan, akuntabel dan humanis tanpa intervensi.

Reformasi Internal Polri (RIP) Sejak era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, telah terjadi banyak perubahan penting di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era reformasi gelombang pertama. Perubahan ini dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD tahun 1945. Berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami perubahan seiring keinginan menjalankan reformasi. Salah satunya adalah pemisahan Polri dari TNI. Pada perkembangannya reformasi di bidang birokrasi memang mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi dan hukum, sehingga pada tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang secara universal diyakini menjadi prinsip untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Momen ini menjadi titik awal dimulainya proses Reformasi Internal Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, yang mencakup 3 (tiga) aspek integral bidang struktural, instrumental dan kultural.

Page 5: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

5 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Secara umum berbagai langkah strategis pelaksanaan RIP ketika itu masih bersifat normatif, karena padatingkat tertentu efektivitasnya seringkali masih dipertanyakan publik. Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen-dokumennya masih cenderung sebatas ‗etalase‘. Sementara di level praktek, sejumlah lembaga pemantau kinerja Polridan Hak Asasi Manusia melaporkan masih adanya celah yang lebar (gap) antara capaian normatif dan perilaku aparat di lapangan yang masih jauh dari harapan. Hal ini dilihat dari masih banyaknya angka kekerasan dan pelanggaran hukum oleh aparat Polri. Beberapa perubahan pada aspek struktural yang dinyatakan sebagai bentuk-bentuk reformasi struktural Polri antara lain;

1) Perubahan Polri menjadi lembaganegara non-departemen dengan kedudukan setingkat menteri;

2) Penempatan Polri sebagai mitra kerja DPR RI dalam urusan keamanan melalui Komisi III DPR Bidang Hukum;

3) Pemisahan struktur kepegawaian dari manajemen TNI (UU Nomor 43 Tahun 1999);

4) Pembenahan penampilan polisi berseragam, tidak berseragam dan peralatan tugas;

5) Penetapan Polda sebagai induk penuh kesatuan (tidak sentralistik ke Mabes Polri);

6) Penetapan titik pelayanan pada pengemban diskresi (pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002), dimana pejabat Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri;

7) Pelembagaan komisi kepolisian; serta 8) Likuidasi satuan Brimob dalam struktur Polri (Surat Keputusan Kapolri Nomor

Pol.:Kep/20/IX/2005 tertanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia 2005-2009), dimana ditegaskan upaya Polri memperbaiki dan mereposisi Brimob Polri sebagai satuan khusus polisi profesional dengan daya tangkal tinggi yang berbeda fungsinya dengan militer.

Sementara pada aspek instrumental, beberapa capaian yang dinyatakan merupakan indikasi reformasi Polri ketika itu adalah;

1) Dikeluarkannya TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun2000 Tentang Pemisahan TNI-Polri dan Peran TNI-Polri. Berdasarkan kedua TAP MPR tersebut, pembagian peran TNI dan Polri ditentukan berdasarkan fungsi Pertahanan (TNI) dan Keamanan (Polri);

2) Amandemen pasal 30 UUD 1945 ayat (2) yang memisahkan peran TNI dan Polri dalam usaha di bidang pertahanan dan keamanan sebagai kekuatan utama dalam upaya peranan pertahanan dan keamanan negara yang dilaksanakan melalui sistem Hankamrata;

3) Adanya revisi 300 juklak dan juknis Polri;

Page 6: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

6 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

4) Penyusunan Grand Strategy 25 tahun Polri yang terdiri dari jangka pendek (2005-2010) untuk trust building, jangka menengah (2011-2015) membangun partnership, dan jangka panjang (2016-2025) membangun strive for excelence.

Sedangkan perubahan aspek kultural (yang kerap diperdebatkan karena dipandang beberapa kalangan cenderung gagal menunjukkan fakta perilaku anggota Polri yang sesuai dengan klaim ini) antara lain:

1) Perubahan doktrin dan pedoman induk. Doktrin Catur Dharma Eka Karma sebagai Doktrin Induk serta Doktrin Daya Dwi Bhakti 1994 sebagai Doktrin Pelaksanaan digunakan Polri ketika menjadi bagian dari TNI. Saat ini Polri menggunakan doktrin induk Tri Brata dan DoktrinCatur Prasetya sebagai pedoman hidup anggota;

2) Adanya pedoman perilaku polisi yang memuat tindakan para petugas polisi dalam melaksanakan pemolisiannya sebagai pelindung, pengayom, pelayan masyarakat dan aparat penegak hukum. Polri telah merumuskan visinya yaitu terwujudnya Postur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum; serta

3) Pemberdayaan bintara dan tamtama Polri dalam community policing (pemolisian masyarakat). Melalui pemolisian masyarakat (Polmas), polisi tidak lagi menempatkan diri secara vertikal di atas masyarakat, tetapi horizontal ada di masyarakat dan bersama dengan masyarakat.

Polri mengakui reformasi internal Kepolisian masih belum maksimal. Hasil penelitian yang diprakarsai Kompolnas bekerja sama dengan kalangan civitas akademika Universitas Sebelas Maret Solo pada 2010 menyimpulkan Reformasi Internal Polri belum memberikan pengaruh positif terhadap potensi, kompetensi, dan performansi kepolisian. Karena masih maraknya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh anggota polisi sendiri, mulai dari jalan raya hingga di kantor polisi saat mengurus surat-surat yang menjadi kewenangan kepolisian, misal surat kehilangan, SIM, SKCK, atau pelayananan Samsat. Kesimpulan ini menjadi catatan penting bagi Polri untuk melanjutkan dan terus memperbaiki diri. Polri juga siap melakukan pembenahan dengan menindak tegas oknum-oknum nakal yang membuat masalah. Pelaksanaan RIP praktis hampir tidak mempunyai prestasi yang berarti. Karena pasca pemisahan TNI-Polri, dimana pemisahan tersebut bertujuan untuk menghapus norma, watak dan praktik militerisme dalam tubuh kepolisian (demiliterisasi). Hingga kini, warisan militerisme pada sistem organisasi kepolisian mencakup budaya perilaku atau watak kekerasan, birokrasi yang tertutup, sampai pola relasi atasan bawahan yang sentralistik. Berdasarkan hasil beberapa lembaga diantaranya Kontras, Imparsial, IDSPS, Praxis, Propatria, KontraS Aceh, P2D, dan ICJR pada April 2010 menyimpulkan bahwa pencapaian tujuan agenda pemisahan Polri dari TNI lebih banyak terjadi di

Page 7: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

7 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

wilayah normatif, yakni perumusan aturan-aturan legal baru. Sementara praktiknya, militerisme tetap terjaga dalam tindakan konkret kepolisian.

Grand Strategi Polri 2005 – 2025

Pada masa kepemimpinan Kapolri Sutanto, Polri merumuskan dan menyusun Grand Strategy Polri 2005 – 2025 yang dirumuskan ke dalam 3 (tiga) tahapan Rencana Strategis (Renstra), yaitu: Trust Building pada periode tahun 2005 – 2009, Partnership Building pada periode tahun 2010 – 2014, dan Strive for Excellence periode tahun 2015 – 2025. 1. Tahap I (Trust Building pada periode tahun 2005 - 2009). Membangun kepercayaan

Polri di mata publik/masyarakat merupakan faktor penting dalam Grand Strategy Polri karena merupakan awal dari perubahan menuju pemantapan kepercayaan (trust building), meliputi: bidang kepemimpinan, sumberdaya manusia yang efektif, Pilot Project yang diunggulkan berbasis hi-tech, kemampuan penguasaan perundang–undangan dan sarana prasarana pendukung visi misi Polri.

2. Tahap II (Partnership Building pada periode tahun 2010 – 2014). Membangun kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum dan ketertiban serta pelayanan, perlindungan, pengayoman masyarakat untuk menciptakan rasa aman.

3. Tahap III (Strive for Excellence periode tahun 2015 – 2025). Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good governance, best practices Polri, profesionalisme SDM, implementasi teknologi, infrastruktur, material fasilitas dan jasa guna membangun kapasitas Polri (capacity building) yang kredibel di mata masyarakat Nasional, Regional dan Internasional.

Selanjutnya dalam rumusan Grand Strategy Polri telah ditetapkan visi Polri yakni ―Terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam memelihara Kamtibmas dan menegakkan hukum,‖ serta misi Polri sampai dengan tahun 2025, sebagai berikut : 1. Mengutamakan peran perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat guna

mewujudkan rasa aman masyarakat (public safety); 2. Proaktif melaksanakan pencegahan kejahatan dan pelanggaran dengan

mengefektifkan community policing guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat (crime prevention);

3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, HAM, keadilan dan kepastian hukum;

4. Meningkatkan kerjasama dengan instansi/lembaga dalam dan luar negeri dalam rangka memulihkan keamanan dalam negeri;

5. Membangun kelembagaan Polri serta mengelola sumberdaya secara efektif dan efisien guna kelancaran pelaksanaan tugas;

Page 8: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

8 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

6. Membangun mobilitas dan sebaran pelayanan kepolisian serta teknologi informasi yang memadai guna mendukung penanggulangan kejahatan dan dinamikanya;

7. Melaksanakan kerja sama kepolisian internasional. Masih banyak faktor penyebab masyarakat tidak percaya terhadap polisi baik individu (oknum), sekelompok (semua polisi), kelembagaan (penampilannya) maupun pengelaran institusinya (tidak dapat memberikan rasa aman). Gambaran krisis kepercayaan terhadap Polri, antara lain : a) Saat ini banyak masyarakat yang tidak takut melanggar peraturan. b) Masyarakat mengembangkan slogan-slogan yang melecehkan Polisi. c) Masyarakat menganggap kewibawaan Polri hanya pada senjata dan wewenang

formalnya. d) Masyarakat yang banyak uang menganggap Polisi tidak ada wibawa sama sekali

dan dapat dikendalikan. e) Di era kebebasan pers penyelewengan Polri semakin terbuka dan citra Polri semakin

terpuruk. Pada hakekatnya organisasi Polri adalah sebagai organisasi jasa/pelayanan dan sekaligus sebagai organisasi kekuasaan (power) oleh karenanya dalam pelaksanaan tugasnya harus memenuhi standar hukum, profesional dan proporsional meskipun terdapat keterbatasan sumberdaya (infrastruktur, personel, dan anggaran). Kebijakan reformasi organisasi Polri yang disebut Postur Kekuatan Polri, yaitu: a) Memperkecil Kewenangan Mabes Polri (Desentralisasi) b) Mabes Polri sebagai fasilitator atau pemberdaya Polda, Polres, Polsek agar terjamin

kinerjanya sesuai yang diharapkan, dalam bentuk : - Pelaksanaan pusat; berseragam dan tidak berseragam. - Dukungan auxiliary dalam bidang administrasi (kepegawaian, keuangan).

c) Polda sebagai satuan induk penuh. d) Polres sebagai Komando Operasional Dasar (KOD) e) Polsek sebagai ujung tombak, mengemban pelayanan dan wewenang diskresi

penuh.

Page 9: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

9 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

BAB 2 STRATEGI, VISI DAN MISI POLRI DALAM RENSTRA

Potensi Pembangunan dan Faktor Strategi 1. Penegakan Keadilan Masyarakat Penegakan keadilan masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan restorative community justice adalah suatu upaya pencegahan kejahatan (bukan mengutamakan penanggulangan untuk menegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat). Pencapaian tujuan utama lembaga polisi tersebut terbukti tidak cukup dengan mengandalkan sistem peradilan kriminal (criminal justice system) yang mudah memancing polisi memakai sistem pendekatan represif. Disamping itu, kejahatan makin meningkat dalam berbagai bentuk. Di berbagai belahan dunia telah mulai dikembangkan sitem operasi kepolisian dengan penerapan ―Penegakan Keadilan Masyarakat‖ yang menekankan aspek keadilan sebagai motivasi memecahkan masalah kejahatan, pencapaian keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus menunjang kehidupan demokrasi. Pendekatan penegakan keadilan ini secara integral mempunyai empat tujuan utama yaitu : 1) Menciptakan sistem untuk pencegahan dan penurunan tindak kriminal. 2) Penanaman nilai dan norma keadilan dan cinta hukum di masyarakat. 3) Pencegahan penyebaran tindak kejahatan. 4) Partisipasi masyarakat secara luas dalam memelihara ketertiban dan rasa aman. Keempat tujuan tersebut sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Partisipasi masyarakat merupakan strategi utama dalam menjaga ketertiban dan keamanan lingkungannya dengan mengupayakan pembangunan sistem atau jaringan kebersamaan antara petugas polisi dengan masyarakat. Implementasi atau proses penegakan keadilan masyarakat dimana polisi berperan aktif untuk mewujudkan dan menjalankan secara lebih efektif maka perlu secara bersama memberdayakan 9 dimensi: 1) Dimensi pertama mencegah masyarakat main hakim sendiri. 2) Dimensi kedua perlakuan manusiawi terhadap pelaku tindak kriminal. 3) Dimensi ketiga perhatian edukatif terhadap pelaku kriminal berusia muda. 4) Dimensi keempat adalah memperhatikan secara seimbang pelaku kriminal, korban

dan keluarganya. 5) Dimensi kelima adalah memperlakukan pelaku kriminal dengan korban dengan

penyelesaian keadilan. 6) Dimensi keenam adalah mengurangi penyamarataan hukum (gaya militeristik

menghadapi musuh). 7) Dimensi ketujuh adalah membangun kontrol sosial terhadap proses keadilan.

Page 10: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

10 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

8) Dimensi kedelapan adalah membangun kebersamaan sebagai unsur masyarakat. 9) Dimensi kesembilan adalah mencari alternatif solusi untuk mencegah tindak

kejahatan. 2. Pemolisian Masyarakat (Polmas) Kejahatan dan ketidaktertiban dengan berbagai bentuknya telah meningkat di Indonesia terutama sejak krisis ekonomi dan munculnya gerakan reformasi. Kejahatan dapat digolongkan pada 2 kelompok besar : 1) Kejahatan dan ketidaktertiban yang terkait dengan lingkungan pemukiman atau

perkampungan atau terkait dengan lokasi tertentu. 2) Kejahatan dan ketidaktertiban yang terkait dengan pemukiman antara lain

demonstrasi yang bermuara pada kekerasan, terorisme, perdagangan manusia lintas negara.

Dalam booklet peringatan Hari Bhayangkara ke 58 pada tanggal 1 juli 2004 Polri memberi peringkat dalam 4 macam kejahatan yang marak di Indonesia antara lain: 1) Kejahatan transnasional antara lain: terorisme, perdagangan narkotika,

penyelundupan senjata, pembajakan di laut, perdagangan manusia, kejahatan ekonomi internasional.

2) Kejahatan konvensional. 3) Kejahatan terhadap kekayaan negara antara lain korupsi keuangan negara, illegal

logging, illegal mining dan lain-lain. 4) Kejahatan yang berimplikasi kontijensi antara lain: konflik SARA, unjuk rasa

anarkis, GAM, OPM, RMS. Kejahatan konvensional dan kejahatan kontijensi sangat terkait dengan lokasi pemukiman sedangkan kejahatan transnasional dan kejahatan terhadap kekayaan negara tidak terkait dengan lingkungan. Masing-masing kejahatan memerlukan penanganan yang berbeda: 1) Kejahatan yang tak terkait dengan pemukiman (kejahatan transnasional dan

terhadap kekayaan negara), menyangkut kejahatan terhadap negara pemerintah dan kepentingan publik yang merupakan gejolak makro yang secara tak langsung menimbulkan kekhawatiran atau keresahan masyarakat pemukiman.

2) Kejahatan dan ketidak tertiban yang terkait dengan lokasi langsung mempengaruhi rasa takut dan ketidakamanan anggota masyarakat.

3) Oleh sebab itu, kinerja polisi terhadap penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban di daerah pemukiman merupakan faktor strategi bagi pembangunan citra Polri yang positif.

4) Salah satu strategi yang dinilai sangat ampuh dalam menangani kejahatan di lingkungan pemukiman adalah Pemolisian Masyarakat (Polmas).

Page 11: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

11 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Pemikiran Pemolisian Masyarakattimbul sebagai strategi pemolisian yang berbeda akibat dari pengalaman banyak negara yang mengalami kesulitan menurunkan angka kejahatan, ketidakpercayaan pada kemampuan polisi dalam menciptakan rasa aman serta makin meningkatnya organisasi masyarakat yang berfungsi atau menggantikan fungsi polisi. 3. Pengembangan Budaya Polri Budaya individu, kelompok dan organisasi mempunyai dampak dominan yang luas, sebagai mana tercermin dalam banyak definisi budaya maka diperlukan kajian tersendiri tentang pengembangan budaya polisi. Pada dasarnya budaya merupakan kekuatan yang menentukan sikap dan perilaku manusia bahkan dapat dikatakan budaya berperan ―sebagai ibu‖ sedangkan lembaga adalah ―anak-anaknya.‖ Tanpa pengembangan budaya secara terarah dan mengakar pada kehidupan organisasi, maka manusia seperti anggota Polisi tidak dapat diharapkan bersikap dan berperilaku yang konsisten atau menunjang visi, misi, kode etik atau cita-cita yang dibangun oleh Polri. Pengertian budaya dalam organisasi Polri: 1) Budaya adalah pola perilaku yang integratif dalam diri setiap orang baik yang

muncul pada pikiran, perkataan, perbuatan, dimana kesemuanya tergantung pada program sosialisasi budaya dan kemampuan tiap orang untuk belajar, menginternalisasi memperoleh insentif dan disinsentif serta menyebarkan pengetahuan tersebut pada sesamanya atau generasi berikutnya.

2) Dalam konteks organisasi, budaya organisasi terdapat pada nilai-nilai, keyakinan dan perilaku kunci penting dari organisasi, yang memanivestasi baik dalam lingkungan kerja internal di dalam organisasi maupun di luar organisasi yang menjadi keharusan bagi semua anggota Polisi.

4. Pengembangan Struktur Organisasi Polri diarahkan kepada :

1) Identifikasi sebagai upaya berbagai tugas utama dan pengelompokannya. 2) Rumusan tingkat kewenangan. 3) Penyeimbangan tugas dan kewenangan termasuk span of control. 4) Sistem koordinasi dan pengendalian. 5) Identifikasi kegiatan yang memerlukan kepakaran khusus atau sebaliknya kegiatan yang tidak esensial yang dapat di out sourching.

5. Postur Kelembagaan (Institusi) Organisasi dibedakan sebagai lembaga (institusi) dan sebagai birokrasi. Dalam ilmu sosiologi, entitas institusi menekankan pemberlakuan perilaku yang standar berdasarkan kebijakan organisasi yang sangat rinci. Institusi memiliki kegiatan atau fungsi yang dibakukan, kematangan dalam kegiatan rutin, tetapi tujuannya dapat berubah seperti Polri yang bertujuan menanggulangi kejahatan, dapat berubah menjadi pencegahan kejahatan.

Page 12: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

12 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Kekhasan lembaga seperti Polri, selain mempunyai standarisasi, tetapi sangat diwarnai oleh sejarah, tradisi, nilai-nilai, bahkan emosi (seperti jiwa korps yang kuat). Organisasi Polri sebagai lembaga atau institusi, mengandung implikasi khusus dalam mencari arah perkembangan Polri di masa mendatang, serta implikasi komponen-komponen yang menjadi cakupan dalam merumuskan Grand Strategy Polri dalam jangka panjang. 6. Polri Berbasis Pelayanan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu dari sekian lembaga Negara Republik Indonesia. Setiap lembaga negara memiliki fungsi yang relatif berbeda, walaupun demikian tujuan utama dari setiap lembaga negara adalah sama yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercipta suatu masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera. UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Peran utama Polri di masyarakat dapat dikategorikan sebagai public service yang memiliki implikasi yang sangat fundamental pada organisasi yang menyediakan jasa tersebut. Kinerja suatu organisasi dapat berbentuk produk, layanan (service) atau kombinasi keduanya. Visi dan Misi Polri 1. Visi Polri

a) Polri menjadi orang yang berdedikasi penuh pada rakyat berlandaskan demokrasi.

b) Proaktif dalam mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan rasa keadilan, serta hak-hak asasi manusia.

c) Polisi yang profesional, akuntabel dalam pelayanan pencegahan kejahatan, penegakan hukum, penciptaan rasa aman dan bebas rasa takut yang meluas di masyarakat serta dicintai secara nasional dan diakui secara internasional.

d) Mewujudkan lembaga Kepolisian RI yang mandiri, terbuka, bermoral serta memiliki kredibilitas dan kompetensi yang unggul dalam setiap perubahan lingkungannya.

2. Misi Polri

a) Mengutamakan peran perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat guna mewujudkan rasa aman masyarakat (public safety).

b) Proaktif melaksanakan pencegahan kejahatan dan pelanggaran dengan mengefektifkan pemolisian masyarakat (community policing) guna peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat (crime prevention).

Page 13: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

13 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

c) Menegakan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, HAM, keadilan dan kepastian hukum.

d) Meningkatkan kerjasama dengan instansi/lembaga dalam dan luar negeri dalam rangka memulihkan keamanan dalam negeri.

e) Membangun kelembagaan Polri serta mengelola sumberdaya secara efektif dan efisien guna kelancaran pelaksanaan tugas.

f) Membangun mobilitas teknologi yang memadai guna penanggulangan kejahatan dengan dinamikanya.

g) Melaksanakan kerjasama kepada kepolisian internasional. Arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Polri Tahun 2005 - 2025 Grand Strategy Polri khususnya pentahapan dalam pembangunan jangka panjang dibagi tiap periode dengan menekankan pembenahan berdasarkan orientasi khusus yaitu : 1. Tahap I (Tahun 2005 – 2010) membangun kepercayaan. a. Urgensi Membangun Kepercayaan. Ciri dasar masyarakat adalah suatu kehidupan

bersama, trust merupakan prasyarat untuk terjadinya kerjasama, agar kehidupan berjalan teratur dibutuhkan pegangan norma atau aturan yang harus disepakati (kontrak sosial) dalam mengatur kehidupan bersama. Efektivitas kontrak sosial terletak kepada adanya landasan kepercayaan (trust) yang dibangun dengan masyarakat, bahwa tiap orang benar-benar mau menjalankan norma itu. Norma dan aturan bisa saja diadakan, tetapi bila tidak ada trust maka akan situasi ketidakpastian dimana setiap orang akan merasa was-was. Contoh seorang pejalan kaki akan berjalan dengan tenang di trotoar karena percaya tidak akan ada kendaraan melanggar aturan dan tidak berakibat penabrakan dari belakang. Secara strategis, trust dipilih sebagai salah satu faktor utama dalam pengembangan Polri tahap pertama adalah bahwa keberhasilan Polisi dalam menjalankan tugasnya memerlukan dukungan dan kerja sama dari masyarakat, penciptaan rasa aman sangat ditentukan oleh kepercayaan dan kerjasama masyarakat.

b. Trust Building ke Publik. Trust dapat ditingkatkan melalui strategi proaktif Polri dimana mereka lebih membuka diri dan melakukan inisiatif yang pada masa lalu tidak atau belum dilakukan. Trust Building mencakup upaya untuk meruntuhkan ―mitos‖ bahwa Polri (pada tingkat individual dan organisasi) tidak dapat dipercaya. Berbagai upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dapat dilakukan antara lain adanya pernyataan (political) dari setiap unit Polri bahwa mereka akan lebih akuntabel, transparan dan profesional. Namun perlu pula kejelasan pernyataan, misalnya dengan indikator sehingga kesan retorika dapat dihindarkan. Spesifikasi tersebut merupakan kontrak sosial antara Polri dengan publik. Membuat laporan kinerja yang disampaikan secara rutin kepada lembaga pulik (DPR/DPRD). Membuat open house (forum stakeholders) secara rutin minimal 1 tahun sekali dimana warga memberikan masukan kepada unit-unit Polri (Polsek,

Page 14: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

14 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Polres, Polda). Kesempatan ini meningkatkan trust, namun hasil masukan mereka harus dibahas dalam pertemuan berikutnya sehingga tidak menjadi mubazir. Memenuhi laporan kekayaan pejabat Polri ke KPKPN. Membuat sistem pengaduan (complaint management) yang baik dan dapat diakses sehingga pengadu dapat memperoleh kepastian mengenai pengaduan yang diajukannya. Membuat sistem kontrak dengan warga dimana setiap Kapolres/Kapolsek menyebarkan leaftet, booklet, poster secara rutin dalam periode tertentu. Isi leaflet menyatakan kesediaan Polri meningkatkan layanan (service) dan himbauan agar warga membantu keamanan. Membuat Komisi Kepolisian Tingkat Propinsi dan Kabupaten. Berbagai upaya di atas terutama yang berkaitan dengan upaya kontak dan komunikasi pada publik.

c. Reorientasi Sistem Keadilan (Restorative Justice). Strategi Restorative Justice (pemulihan keadilan) dapat meningkatkan kepercayaan. Karena menunjukkan bahwa Polri bertindak sebagai fasilitator, bukan hanya ―penghukum‖ (penegak hukum) yang menjuru represif, melainkan dan terutama Polri mengutamakan ―pendamai‖ (dalam penegakan hukum) bagi penanggulangan kejahatan, ketidaktertiban yang sebagian besar timbul dari konflik kepentingan, berperan sebagai pihak ketiga yang menghasilkan win win solusition. Namun peran Polri tidaklah tunggal, melainkan melibatkan juga pihak lain seperti RT/RW, Lurah/Kepala Desa, Kejaksaan Negeri, Pengadilan negeri serta tokoh masyarakat/agama lainnya. Dalam 5 tahun ke depan perlu disosialisasi agar restorative justice dapat dilaksanakan. Perlu pemetaan yang jelas karena terdapat kemungkinan bahwa pihak yang bersengketa justru tidak mendukungnya. Sebagai contoh, konflik dari pihak-pihak yang berbeda secara kelas maupun SARA sehingga menuntut pelaksanaan hukum yang mereka anggap netral.

d. Citra Polisi (POLRI). Peningkatan kepercayaan masyarakat kepada Polri, bersasaran mencapai citra positif yang tulen. Seberapa jauh Polri membangun kepercayaan masyarakat dapat diketahui baik secara bilateral maupun trilateral. Secara bilateral, publik sebagai konsumen dapat menyatakan atau menilai Polri melalui polling, atau secara individual seperti wawacara di media cetak dan elektronik. Demikian pula, citra dapat diberikan oleh seseorang (tokoh public opinion maker/builder) melalui media cetak atau elektronik. Selain itu secara trilateral, citra dapat pula ditentukan oleh pihak ke tiga (yang bukan konsumen) yakni berbagai lembaga yang mengevaluasi Polri, misalnya marketing research/audit, universitas, KPK, Kantor Pajak, dan Police Watchdogs. Upaya peningkatan citra melalui konsultan PR (Spin Doctor) dengan kiat-kiat tertentu mungkin dapat berdampak positif bagi suatu kelompok pada masa tertentu. Namun upaya ini dapat menghasilkan pengaruh negatif (Back Fire). Sebaliknya upaya ini akan menimbulkan sinis dan publik semakin tidak percaya kepada Polri yang dianggap tidak jujur. Masalah citra sebenarnya berkaitan dan merupakan cerminan dari trust public sangat tergantung dari keberhasilan upaya atau strategi trust building.

e. Trust Building pada Internal Polri. Trust building ke publik (eksternal) tidak akan efektif jika tidak dibangun trust building ke dalam lingkungan kerja Polri sendiri

Page 15: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

15 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

(internal). Seperti juga upaya keluar, maka dalam upaya internal ini peran dari pimpinan merupakan faktor penting yang merupakan awal dari perubahan menuju pemantapan kepercayaan. Pertama, kepemimpinan; warga Polri (termasuk istri dan anak) akan mempercayai pimpinan yang sesuai antara kata dengan tindakan. Dalam hal ini masalah transparasi dan akuntabilitas mengenai kenaikan karier (jabatan dan pangkat) yang obyektif dan menjauhi klik atau KKN merupakan awal yang penting. Para anggota dapat mempercayai pimpinan jika dalam penyelesaian kasus terhindar dari pola-pola kompromi (seperti suap) yang tidak menyelesaikan penegakan hukum. Demikian pula masalah gaya hidup pimpinan yang wajar serta tidak adanya budaya setoran akan meningkatkan kepercayaan internal. Kedua, sumber dana; menurunkan secara bertahap porsi sumber dana pembiayaan kegiatan Polri yang berasal Dari PARMAN (partisipasi teman) atau PARMIN (partisipasi kriminal) yang mirip dengan gaya preman dan mengandung pelanggaran atau kompromi hukum, sehingga masyarakat dapat lebih trust terhadap tindakan penegakan hukum dan keadilan dari Polisi. Kesadaran moral dalam hubungan dengan uang serta kebijakan yang mendukungnya merupakan usaha kunci menurunkan Parman. Ketiga, SDM; peningkatan kualitas dan kuantitas SDM menuju service excellence dengan asumsi adanya sumber dana yang lebih menjamin kesejahteraan yang wajar bagi Polisi, perlu dilakukan dengan selalu meminta masukan (feedback) dari publik (konsumen). Keempat, organisasi yang efektif; secara internal efektivitas organisasi dapat ditingkatkan jika disesuaikan secara cukup luas dengan karakter masyarakat dan kejahatan yang ada. Kelima, pilot project; untuk tahap periode 2011 – 2015 (khususnya Community Policing) perlu secara konsisten diperluas melalui diseminasi berbagai base practices mengenai hal ini sehingga replikasi (dan modifikasi) dapat terlaksana dengan baik. Mungkin perlu pilot project secara nasional melalui program peningkatan otonomi daerah dengan melakukan di satu kabupaten di setiap propinsi.

Tahap II (tahun 2011 – 2015) Kemitraan/Partnership Building. Pada Grand Strategy Tahap II periode 2011 – 2015, Polri memfokuskan pada perubahan yang berorientasi pada tema pembangunan kebersamaan (Partnership Building). Tahap Pertama di atas, yang bertema pembangunan kepercayaan (Trust Building) dimana salah satu yang utama adalah penguatan identitas Kepolisian. Partnership Building membangun kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan kerja fungsi Kepolisian dalam penegakan hukum, ketertiban, dan menciptakan rasa aman. Pada dua kelompok ide besar dalam pembangunan kebersamaan ini yang menjadi fokus Grand Strategy tahap II. Kelompok pertama memusatkan pembangunan kebersamaan dengan pihak di luar Kepolisian, termasuk di dalamnya adalah Pemda, TNI, Bank Indonesia, berbagai organisasi masyarakat dan lain-lain. Kelompok kedua berpusat di dalam organisasi (internal) termasuk masalah manajemen kepolisian dan

Page 16: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

16 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

kepemimpinan untuk menunjang perubahan yang diperlukan. Orientasi kerjasama publik dapat diarahkan kepada lembaga pemerintah seperti : a. Tentara Nasional Indonesia. Fungsi kepolisian dalam masyarakat modern telah jelas

diformulasikan dalam dua kata yang dalam istilah lebih popular sebagai To Serve & To Protect masyarakat untuk menciptakan rasa aman. Oleh karena itu fokus pekerjaan kepolisian lebih pada fungsi keamanan bagi masyarakat yang mempercayakan tugas tersebut pada polisi. Namun pada situasi tertentu misalnya keamanan individu tersebut menyangkut seorang Kepala Negara yang mencerminkan keamanan negara, maka tentara (TNI) bisa saja melibatkan diri namun atas permintaan Polri. Dalam kasus seperti ini maka kepolisian diharapkan mampu untuk bekerjasama dalam penyelesaian perkara dengan baik. Pada masa dimana kelangkaan dana pemerintah pusat merupakan suatu norma dari kekecualian, maka kerjasama penggunaan peralatan dan sumber daya menjadi sangat penting dalam rangka mengurangi duplikasi dan menghemat dana. Sharing (kerjasama penggunaan) sumberdaya seharusnya menjadi keadaan yang harus diupayakan sejak awal. Ilustrasi yang baik misalnya angkatan udara yang menguasai sistem radar, bersama-sama dengan kepolisian memanfaatkan peralatan tersebut dan kepolisian tidak perlu membuat sistem radar sendiri. Pengamanan laut yang semasa kepolisian menjadi bagian militer diserahkan kepada Angkatan Laut tentunya memerlukan waktu yang lama untuk membangun pembagian kerja dari awal. Merujuk kasus di beberapa negara lain dimana fungsi kepolisian dipecah pada berbagai organisasi yang berbeda, maka pelayanan fungsi ini bisa saja sementara masih dilakukan oleh Angkatan Laut. Pada saat ini pengamanan kelautan bagi Polri masih pada tahap penyediaan transportasi dan logistik, yaitu mengangkut polisi ke tempat tujuan pengamanan. Di masa depan, fungsi pengamanan laut oleh Polri perlu diarahkan sebagai fungsi surveillence untuk kegiatan preventif dan preemtif, serta membangun kerjasama dengan pola baru. Atau bisa saja di luar kepolisian seperti coastguard. Adapun yang menjadi kebijakan ke depan, kepolisian perlu bekerjasama agar fungsi pengamanan bisa dilakukan dengan baik pada biaya yang minimal.

b. Jaksa dan Penegak Hukum lain. Kerjasama yang baik dengan kejaksaan dan kehakiman misalnya, sangat membantu terselesaikannya proses hukum dengan cepat dan menegakkan keadilan. Ketiga belah pihak merumuskan kembali integritas pembagian fungsi masing-masing secara integratif. Proses kasus tidak menjadi mentah karena masing-masing berlindung di balik wewenangnya yang sah menurut hukum. Tanpa mengabaikan rasa keadlian dan tidak perlu pula membengkokkan kebenaran, kerjasama dapat menghindari kekurangan ataupun kesalahan prosedur yang menyebabkan proses peradilan sekali pun dengan biaya yang mahal karena adanya pengulangan.

c. Bank Indonesia. Kejahatan perbankan di masa depan akan semakin kompleks, juga didukung dengan teknik manajemen dan teknologi yang canggih. Memang kepolisian sendiri perlu menyiapkan sumberdaya yang mampu menyidik kejahatan kerah putih ini. Dengan kemampuan sumberdaya yang baik, kerjasama institusi

Page 17: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

17 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

akan semakin memperkuat kepolisian secara keseluruhan dalam kejahatan sektor keuangan untuk turut memantapkan pemulihan ekonomi dalam jangka panjang. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia mempunyai akses pada sistem perbankan secara keseluruhan. Terlibatnya perbankan luar negeri pada kasus transnational crime di Indonesia semakin memperkuat alasan untuk melakukan kerjasama yang erat dengan Bank Indonesia yang mempunyai akses pada kolega Bank Central di negara lain.

d. Pemerintah Daerah (Pemda). Kepentingan daerah atas keamanan daerah mereka merupakan perwujudan rasa aman nasional bagi setiap anggota masyarakat daerah manapun di Indonesia serta menentukan upaya kelancaran pembangunan daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai kalau keamanan dapat dijamin, baik bagi investasi bagi dalam negeri maupun insvestasi asing. Disinilah letak simbiosis antara kepolisian dan Pemda.

e. Organisasi Profesional. Kemitraan dapat pula dilakukan dengan membangun kerjasama dengan kalangan profesional sebagai stakeholder dengan tujuan: a) Memperluas Kompetensi Polri. b) Mengatasi kejahatan-kejahatan modern. c) Perbaikan manajemen Polri. d) Peningkatan finansial Polri. Supaya kemitraan ini tidak menjadi boomerang maka diperlukan penanganannya dengan konsep integrated project management.

Tahap III (Tahun 2015 – 2025) Strive For Excellence Upaya mencapai pelayanan publik yang unggul (Strive For Excellence), termasuk Polri untuk mewujudkan pelayanan prima pada masyarakat dalam pencegahan kejahatan, penegakan hukum dan ketertiban, merupakan bagian prioritas pembangunan ekonomi dan budaya nasional untuk mewujudkan daya saing bangsa (nation competitivenes), yang dinilai sangat terpuruk akhir-akhir ini menjadi rangking 28 dari 30 terendah, demikian juga dalam rangking HDI (Human Development Indexs), juga rangking dalam dunia perbankan (korupsi, kolusi dan nepotisme), terlebih lagi dalam rangking sebagai negara terkorup dan daya tarik rendah pada investasi, karena antara lain politik dan keamanan masih merupakan tanda tanya dalam tahun-tahun mendatang. Penggelaran Polri dalam Community Policing yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta semangat kemanusiaan yang berbudi luhur, merupakan tantangan kuat ke depan yang harus ditempuh dengan terus memperkuat implementasi manajemen knowledge dan teknologi dalam organisasi dan manajemen Polri. Strive For Excellence kepada publik dapat dicapai melalui upaya-upaya membangunan citra Polri yaitu : Pertama, Membangun citra Polisi di masyarakat khususnya citra Strive For Excellence, memotivasi Polisi untuk berubah menuju profesionalisme dan kemandirian yang tangguh. Polisi perlu terus-menerus memperbaiki pelayanannya menuju kepada

Page 18: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

18 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

pengakuan oleh masyarakat bahwa Polisi mempunyai mekanisme perbaikan pelayanan yang terus-menerus. Kedua, Pengakuan masyarakat tidak saja standar pelayanan yang harus ditingkatkan tetapi juga terhadap nilai-nilai yang menyertai profesionalisme itu sendiri, yaitu: 1) Keunggulan (Excellence Oriented); orientasi pada prestasi, dedikasi, kejujuran, dan kreatifitas proaktif berbasis kinerja. 2) Integritas (Integrity); orientasi pada komitmen, menjunjung tinggi nilai-nilai moral profesi. 3) Akuntabilitas (Acountable); berorientasi pada sistem yang dapat ditelusuri jalurnya yang logis dan dapat diaudit mulai dari tingkat individu sampai institusi Polri. 4) Tranparansi; orientasi pada keterbukaan, kepercayaan menghargai keragaman dan perbedaan serta tidak diskriminatif. 5) Kualifikasi (Qualified); mempunyai dasar pengetahuan dan pengakuan. 6) Berbasis teknologi dan pengetahuan (Technologi and Knowledge Based); semaksimal mungkin dalam menggunakan pengetahuan pada semua tingkat anggota Polri sesuai dengan tuntutan tugasnya. 7) Memecahkan masalah (Problem Solver); fokus pada memecahkan masalah, mengambil keputusan yang sistematis, memperkecil permainan politik organisasi. Dengan semakin kuatnya nilai-nilai di atas, maka baik dari sisi Polri maupun dari sisi publik akan menghindari terjadinya pungli dan korupsi, serta terhadap peluang-peluang kepentingan yang kuat dari pribadi-pribadi yang berlangsung saat ini. Nilai-nilai di atas akan menguat sebagai suatu paradigma baru yang memperhatikan kaidah-kaidah kemandirian, keterbukaan dan profesionalime dengan menjalin kemitraan dengan masyarakat dan batasan pada sistem maupun berdasarkan misi (mission based management). Akselerasi Transformasi Polri Bertitik tolak dari rumusan visi dan misi Polri yang telah dirumuskan dalam Grand Strategy Polri tersebut di atas, institusi Polri menterjemahkannya ke dalam 3 (tiga) program akselerasi utama, dengan rincian: pertama, Keberlanjutan Program (Program Sustainability); kedua, Peningkatan Kualitas Kinerja (Performance Quality Improvements); dan ketiga, Komitmen terhadap Organisasi (Organizational Commitment). Kemudian dengan keluarnya kebijakan dan strategi penataan Organisasi Polri melalui Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Program Kerja Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat, yang memuat 27 Program Akselerasi, sebagai penjabaran program KIB I yang ditetapkan dalam Permenneg PAN Nomor: Per/15/M.Pan/7/2008 tanggal 10 Juli 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi.

Page 19: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

19 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Perkembangan jabaran Program Akselerasi Transformasi Polri tersebut dituangkan di dalam konsep ―Reformasi Birokrasi Polri‖ yang memuat 5 (lima) bidang penataan organisasi yaitu: pertama, Manajemen Perubahan dan Transformasi Budaya Polri; kedua, Restrukturisasi Organisasi dan Tata laksana Organisasi Polri; ketiga, Produk Program Quick Wins; keempat, Manajemen SDM dan Remunerasi; dan kelima, Evaluasi Kinerja Organisasi Polri dan Profil Polri 2025. Kelima bidang Reformasi Birokrasi Polri tersebut disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 - 2025 sebagaimana rumusan Visi Pemerintah dalam program Pemerintah yaitu ―Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur‖, dan Visi Pemerintah dalam RPJMN I 2005 - 2009 dalam KIB I yaitu: 1) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai; 2) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia; 3) Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Page 20: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

20 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

BAB 3 CAPAIAN DAN KENDALA

Keluarnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), merupakan momentum bagi institusi Polri untuk melakukan reformasi di segala bidang. Bisa juga dikatakan bahwa reformasi Polri merupakan momentum awal yang penting untuk mengembalikan jati diri profesi kepolisian yang dibangun melalui internalisasi dari prinsip-prinsip demokrasi atau lebih dikenal sebagai paradigma democratic policing, dimana transparansi dan akuntabilitas serta penerapan standar hak asasi manusia yang merupakan elemen penting yang tidak dapat diabaikan, karena pada gilirannya dapat memberikan pengaruh kepada legitimasi Polri di mata publik. Untuk mewujudkan paradigma baru tersebut, Polri secara berlanjut dan berkesinambungan telah melaksanakan perubahan di berbagai bidang baik secara instrumental, struktural maupun kultural, sebagai upaya mewujudkan institusi pelayan publik yang profesional, bermoral, modern dan dipercaya masyarakat dengan berpedoman pada prinsip good governance dan clean government. Selanjutnya, guna menyelenggarakan fungsi kepolisian yang efektif, efisien serta dalam rangka memantapkan kemandirian Polri, disusunlah arah kebijakan Polri yang disebut dengan Grand Strategi Polri tahun 2005 – 2025. Namun, realisasi pelaksanaan reformasi di tubuh Polri, membutuhkan kontrol publik. Tanpa kontrol dari publik, akan dapat membuka peluang terjadinya menyalahgunakan kekuasaannya. Tanpa kontrol publik, tidak sedikit oknum polisi dengan gampangnya bisa melakukan tindakan korupsi, memberikan pelayanan yang buruk, serta tindakan diskriminiatif. Selain itu, dapat seenak hati menerapkan diskresi, sehingga melanggar HAM (penggunaan diskresi yang keliru). Di sisi lain, ketatnya kontrol publik atas karakter anggota Polri pada umumnya, akan mendorong atasan (pimpinan secara berjenjang) menjatuhkan sanksi administratif dan tindakan hukum bagi anggotanya yang nakal. Sebab, jika setiap jenjang komando di tubuh Polri --mulai tingkat Polsek, Polres, Poltabes, Polwiltabes, Polda, hingga Mabes-- membiarkan anak buahnya nakal, cepat atau lambat masyarakat akan menjauhi polisi. Termasuk dalam kategori polisi nakal adalah polisi yang berpenampilan militeristik dan arogan dalam bertugas. Kultur militeristik polisi, bukan zamannya lagi. Demikian pula polisi bergaya arogan. Kedua karakter polisi di masa lalu itu, terbukti telah mengakibatkan keterpurukan citra yang berkepanjangan, sehingga tidak dapat lagi ditoleransi di masa sekarang dan mendatang. Berbagai kasus pelayanan publik di lapangan membuktikan, di tengah maraknya persaingan antar lembaga pelayanan publik, baik antar sesama lembaga pelayanan publik milik negara (termasuk Polri) maupun antara lembaga pelayanan

Page 21: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

21 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

publik milik negara dengan milik swasta, tampaknya membuat masyarakat lebih memilih pelayanan yang dilakukan oleh lembaga non Polri, ketimbang yang diperankan Polri. Berbicara pelayanan yang akan dilakukan oleh Polri maka pada umumnya masalah yang dihadapi Polri dalam melaksanakan fungsi kepolisian dapat dibedakan menjadi masalah eksternal dan internal. Masalah internal ditandai dengan belum optimalnya hasil reformasi struktural, instrumental dan kultural. Reformasi kultural terkait pelayanan kepolisian yang prima belum memenuhi harapan masyarakat, hal tersebut ditandai dengan masih rendahnya kepercayaan masyarakat kepada Polri. Masalah eksternal antara lain mencakup permasalahan pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terluar; tingkat kejahatan konvensional dan transnasional yang masih tinggi; belum optimalnya kerjasama antar lembaga/kementerian serta luar negeri, dan terorisme. Tekad Polri untuk melakukan pembenahan dan mencari alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi institusinya berimplikasi kepada penetapan grand strategi Polri yang dirumuskan dalam tiga tahapan yang mencerminkan upaya Polri secara gradual. Tahap I adalah Trust Building, periode waktu tahun 2005 – 2010. Penetapan tahap I didasarkan pada argumentasi bahwa keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas memerlukan dukungan masyarakat dengan landasan kepercayaan (trust). Tahap II, Partnership Building, periode tahun 2011 – 2015, merupakan kelanjutan dari tahap pertama, perlu dibangun kerja sama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan Polri. Tahap III, Strive for Excellence, periode tahun 2016 – 2025. Pada tahap III dibangun kemampuan pelayanan publik yang unggul dan dipercaya masyarakat sehingga pelayanan Polri yang optimal dapat diwujudkan. Untuk mempercepat jalannya program-program yang ada dalam tahapan tersebut, Polri menetapkan program akselerasi transformasi menuju Polri yang mandiri, profesional, modern dan dipercaya masyarakat, adapun beberapa kegiatan yang mengalami akselerasi dijabarkan dalam program quick wins yang terdiri dari: program quick response Samapta, program transparansi proses penyidikan reserse dengan pemberian surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP), program peningkatan pelayanan SIM, STNK dan BPKB, serta program transparansi rekrutmen personel Polri. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat proses reformasi birokrasi Polri pada bidang kultural, yang sejalan dengan program reformasi birokrasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Program akselerasi diperlukan untuk pencapaian tujuan dari Grand Strategi Polri yang telah ditetapkan. Penyusunan program akselerasi dititikberatkan pada perubahan perilaku setiap anggota Polri dalam menjalankan tugasnya, memberikan pelayanan prima dan mewujudkan rasa aman masyarakat. Penekanan program akselerasi pada tahap I diarahkan pada pembenahan dan perubahan kultural yang mencakup 12

Page 22: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

22 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

bidang, yaitu: 1) Bidang perumusan tugas pokok; 2) Bidang organisasi; 3) Bidang operasional; 4) Bidang kerjasama/HTCK (Hubungan Tata Cara Kerja); 5) Bidang tata kelola logistik; 6) Bidang tata kelola asset; 7) Bidang tata kelola anggaran; 8) Bidang manajemen mutu dan kinerja; 9) Bidang sumberdaya manusia; 10) Bidang remunerasi dan kesejahteraan; 11) Bidang pemberdayaan Litbang; 12) Bidang pelayanan dan pengaduan masyarakat. Menggarisbawahi bidang pelayanan dan pengaduan masyarakat sebagai ujung tombak dari pembentukan citra Polri, maka pelayanan yang diberikan Polri kepada masyarakat harus betul-betul dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi sehingga mampu berdampak kepada sinergi antara masyarakat dan Polri dalam bingkai program pemolisian masyarakat (community policing). Konsep ―pelayanan kepolisian‖ mengandung pengertian yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep ―Pelayanan Masyarakat‖ yang biasa digunakan Polri. Hanya saja istilah pelayanan masyarakat memberikan penekanan pada obyek yang dilayani (masyarakat) tanpa memberikan batasan pada apa yang dilayani (jasa kepolisian). Ini berarti bahwa Polri bisa dituntut oleh setiap warga masyarakat untuk melayani segala sesuatu yang mungkin di luar bidang tugas dan wewenangnya. Istilah tersebut juga disalahpahami oleh anggota Polri di lapangan yang mengartikan bahwa tugas utama adalah memberikan pelayanan masyarakat sehingga kurang memperdulikan pelanggaran hukum yang terjadi. Selain itu, istilah ini tidak jarang menimbulkan persepsi yang berbeda tentang peranan (role) antara yang melayani (polisi) dan yang dilayani (warga masyarakat), (Muhammad, 2000). Menurut Suparlan, pelayanan adalah suatu kegiatan memberikan sesuatu (jasa, kesempatan, dll) kepada seseorang atau beberapa orang oleh seseorang atau beberapa orang atau institusi sesuai dengan tugas dan kewenangan dari tanggungjawabnya. Pelayanan merupakan suatu proses dari proses pemberian pelayanan dan penerimaan pelayanan, oleh karena itu pelayanan yang diberikan oleh fungsi pengawalan adalah proses pemberian pelayanan pengawalan kepada masyarakat, dimana di dalam proses pemberian pelayanan tersebut terlibat unsur-unsur petugas yang memberikan pelayanan. Tugas-tugas kepolisian yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat antara lain meliputi: 1) Pelayanan atas pengaduan/laporan dari masyarakat. 2) Pelayanan dalam memberikan bantuan kepolisian. 3) Pelayanan administrasi lalu lintas. 4) Pelayanan dalam proses penegakan hukum/penyidikan. (Koesparmono Irsan, 1995:16). Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kepolisian, antara lain: 1) Kompetensi dari pengembangan profesi. Kompetensi berkaitan dengan kemampuan petugas-petugas kepolisian untuk mengaplikasikan secara tepat pengetahuan dan keterampilan sesuai ketentuan hukum. 2) Konsistensi, baik dalam pengertian waktu dan tempat maupun orang. Artinya layanan kepolisian harus disajikan secara konsisten pada sepanjang waktu, di semua tempat dan oleh segenap petugas.

Page 23: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

23 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

3) Kualitas pelayanan Polri adalah keberadaan yang banyak berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai sosial suatu masyarakat. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa: ―Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.‖ Sedangkan tujuan Polri dalam Pasal 4 dijelaskan: Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Melalui perubahan kultur polisi, tepatnya perubahan karakter setiap anggota sebagai salah satu sasaran reformasi, merupakan prasyarat mutlak bagi terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian di Indonesia. Sebab, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan kepemimpinan lembaga-lembaga formal penegak hukum, khususnya kepolisian, dapat menyebaban kegagalan reformasi Polri secara keseluruhan. Dengan demikian, polisi tidak boleh melakukan apa, lewat cara yang terhormat sekali pun, disamping untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum, nilai sosial, kepentingan kebersamaan, dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, publik akan menyadari, polisi itu bukan dewa. Polri pun bukan lembaga dewa. Kesadaran publik tersebut, pada gilirannya akan membentuk barikade internal di tubuh Polri, bahwa polisi bukan segala-galanya, bahkan institusi Polri bukan lembaga superbody.1 Tantangan tugas-tugas kepolisian semakin berat dengan adanya arus globalisasi, demokratisasi, pasar bebas, perkembangan teknologi, dan tuntutan hak asasi manusia. Kondisi ini di satu sisi telah memberikan sumbangan positif bagi kehidupan, namun pada sisi lain juga berpengaruh pada bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan termasuk meningkatnya kualitas dan kuantitas ancaman terhadap gangguan Kamtibmas dengan berbagai modus operandinya, sehingga dapat berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara. Polri sebagai institusi yang bertanggungjawab atas keamanan dalam negeri perlu mempersiapkan personelnya untuk mampu mengantisipasi perkembangan yang sangat dinamis. Setelah Polri pisah dari TNI, memang ada kemajuan, tetapi belum tampak perubahan perilaku polisi yang signifikan yang dapat membedakan antara Polri sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Artinya, reformasi internal di tubuh Polri harus diteruskan, dipertajam, diperdalam pada semua segi secara konsisten dengan komitmen yang kuat 1 Atang Setiawan, Budaya Polri, http://atang1973.blogspot.com/2009/06/budaya-polri.html

Page 24: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

24 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

serta penuh percaya diri. Memang dapat diprediksi, usaha membuat Polri bersih, berwibawa, bermartabat dan dicintai rakyat akan menghadapi hambatan dan tantangan secara terbuka dan yang paling mungkin adalah secara ―tertutup‖ dari berbagai pihak, baik dari dalam tubuh Polri sendiri maupun dari pihak di luar Polri yang merasa tidak diuntungkan. Reformasi internal yang telah dilakukan Polri merupakan point of no return bagi yang mencintai Polri. Reformasi internal Polri harus berjalan terus, baik di bidang struktur, instrumental dan kultur. Perubahan struktur organisasi di lingkungan Polri nampaknya sudah dilaksanakan dan terus disempurnakan. Penggunaan struktur organisasi baru tersebut perlu dievaluasi terus sampai menemukan struktur yang pas yang sesuai dan dapat mendukung perwujudan polisi sipil. Di bidang instrumental, walau sudah banyak dilakukan reformasi seperti di bidang hukum disiplin dan penyelesaian perkara, pelaksanaan teknis peradilan bagi anggota Polri di peradilan umum, namun masih perlu dilanjutkan agar secara hukum, peraturan, prosedur, urusan dalam, dan administrasi dapat dicapai ketertiban. Reformasi di bidang kultural merupakan perkara yang sangat penting dalam rangka mewujudkan polisi yang dicintai rakyat. Memang, upaya ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun perlu kesungguhan dan komitmen yang kuat, karena menyangkut perilaku anggota Polri. Dalam masalah ini, keteladanan dan pengawasan dari setiap atasan akan sangat menentukan keberhasilan. Perkembangan Polri sebagai pelayan masyarakat dituntut kinerjanya untuk lebih profesional dan independen. Secara universal tugas kepolisian dari masa ke masa yaitu memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum dan ketentraman, memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat serta memelihara keselamatan orang, benda serta memberikan pertolongan dan perlindungan sebagaimana tugas kepolisian menangani masalah-masalah keamanan dalam negeri yang pada intinya menangani penegakan hukum dalam supremasi hukum. Kinerja dalam suatu organisasi dinilai penting untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan organisasi. Begitupun dengan organisasi Polri, yang menjadikan kinerja sebagai instrumen strategis untuk mengukur kemampuan anggota polisi dalam menjalankan misi yang diembannya sesuai dengan undang-undang yang telah mengaturnya. Menurut Mangkunegara (2000) ―kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.‖ Kinerja anggota Polri sudah diatur oleh Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang meliputi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Undang-undang tersebut menetapkan kedudukan Polri sebagai alat negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang kepolisian preventif dan represif dalam rangka sistim penegakan hukum, dengan tugas utama pemeliharaan keamanan negeri.

Page 25: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

25 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Tentunya, objek riil dari pengamanan itu adalah masyarakat. Artinya, diperlukan kerjasama dan saling pengertian yang positif antara anggota polisi dan masyarakat. Fakta di lapangan dapat dilihat sehari-hari di jalanan tampak seorang anggota Polantas sedang sibuk mengatur lalu-lintas yang macet ataupun menyeberangkan jalan pejalan kaki, hal tersebut merupakan salah satu bentuk contoh kinerja anggota polisi sebagai aparat pelayan masyarakat. Anggota polisi juga sering dilihat melakukan pengamanan maupun penjagaan di obyek-obyek vital, bank, pabrik, pusat perbelanjaan merupakan kinerja anggota Polri dalam bentuk memberikan pelindungan dan pengayoman masyarakat dalam beraktifitas dan masih banyak lagi kinerja Polri yang telah diatur dalam undang-undang kepolisian. Di lapangan, anggota polisi tampaknya sedang giat memburu penjahat. Sejak 20 Januari 2009 digelar operasi khusus memberantas kejahatan jalanan di seluruh Indonesia yang merupakan kelanjutan operasi preman yang dilakukan sejak 2005. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas edisi Kamis 1 Juli 2010 tepat pada hari ulang tahun Polri, menyatakan citra polisi saat ini kembali menurun dibandingkan dengan hasil jajak pendapat tahunan yang dilakukan sejak tahun 2001, angka presentase itu sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 57,1 persen. Namun, apresiasi positif yang diberikan publik pada kinerja polisi dalam memberantas terorisme dan narkoba, dua bentuk kejahatan luar biasa yang kini ditangani polisi secara khusus. Lebih dari separuh responden (59%) menyampaikan respon positif atas kinerja polisi dalam menangani narkoba. Sementara lebih dari seperempat responden (77,1%) menyampaikan respon positif terhadap kinerja polisi dalam menangani terorisme. Pelanggaran HAM oleh aparat mendapat respon positif sebesar 23,7%. Respon positif masyarakat terhadap penindakan KKN/korupsi mendapat 21% dan respon penindakan terhadap kriminalitas mendapat sebesar 45,2%. Data lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Citra Positif Kepolisian di Mata Publik

Tahun Citra Positif (%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

39,4 26,6 41,8 32,4 55,2 51,1 46,9 46,7 57,1 49,1

Sumber : Kompas edisi kamis 1 Juli 2010.

Page 26: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

26 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Sejatinya, tidak hanya anggota polisi lalu-lintas dan reserse yang hasil kerjanya dituntut memuaskan. Setiap orang berharap anggota Polri bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai aparat keamanan dan penegak hukum. Kehadiran anggota polisi diharapkan membuat situasi keamanan terjamin. Juga ada harapan besar agar proses penegakan hukum berlangsung sesuai dengan prinsip kesetaraan di muka hukum atau tanpa diskriminasi. Kesetaraan di muka hukum bisa membuat setiap orang merasa nyaman, terlindungi, dan tidak meragukan jaminan penegakan hukum. Tugas utama anggota polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat, namun kenapa pelanggaran justru terjadi oleh aparatnya sendiri? Tentunya bukan secara institusi kepolisian yang bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan kriminal tersebut telah mencoreng nama baik korps. Hal ini memang menjadi tanda tanya besar buat semua masyarakat, terutama masyarakat yang membutuhkan perlindungan dari aparat negara tersebut. Selain itu, apabila dilihat dari makna lambang yang ada di dada yang bertuliskan Rastra Sewakottama, yang berarti bahwa anggota polisi adalah abdi utama rakyat dan juga isi dari Tribrata serta Catur Prasetya yang merupakan pedoman hidup para anggota Polisi tersebut, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran. Pergeseran yang dimaksudkan adalah banyak anggota yang sudah tidak lagi mengamalkan pedoman korps polisi dalam kehidupannya. Pandangan publik terhadap kinerja anggota polisi secara individual bisa berbeda. Beragam keluhan, kekesalan, kritik dan protes datang dari masyarakat atas kinerja anggota polisi masih terdengar. Segala unek-unek yang mereka sampaikan bersumber dari pengalaman buruk yang dialami sendiri, ditemukan atau lihat, yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian sebagai aparat keamanan dan penegak hukum. Sisi buruknya kinerja anggota polisi dapat diambil contoh seperti melakukan pungli, tidak profesional, melakukan pelanggaran disiplin, melakukan tindak pidana korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminatif, penggunaan diskresi yang keliru dan salah tangkap. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi anggota polisi di lapangan akan berakibat meningkatnya tuntutan pimpinan kepada anggota agar dapat bekerja secara maksimal, tuntas dan berkualitas untuk mencapai apa yang menjadi tujuan anggota polisi. Hubungan antara pimpinan dan anggota kadangkala dapat menimbulkan permasalahan di dalam organisasi. Anggota merasa tidak senang ataupun tidak nyaman mendapatkan pimpinan yang menurut anggota tidak tepat untuk jabatan tersebut, karena memperlakukan anggota dengan seenaknya dan tidak menghargai kerja anggota. Suasana kerja yang tidak enak antara pimpinan dengan anggota tersebut akan berakibat secara tidak langsung pada tugas-tugas yang diberikan. Maka dapat dipastikan ketidakpuasan, kekecewaan dan kebencian anggota atas perilaku pemimpin akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis anggota, bahkan ada anggota yang

Page 27: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

27 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

melihat, mengamati dan meniru perilaku pemimpinnya yang berakibat ditampilkannya perilaku tersebut oleh anggota dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Hasil riset Stotland dan Pedleton (dalam Yusuf, 2009) mengungkapkan bahwa ketika beban kerja polisi ringan, sumber utama penyebab stres anggota polisi adalah penolakan atau penghinaan dari atasan (pimpinan). Penghinaan itu dapat terlihat dari evaluasi yang buruk, kritik, ketidakmauan untuk mendukung petugas dalam masalah kantor dan lain-lain. Akibatnya, hubungan interpersonal antara petugas dan publik (masyarakat) menjadi buruk. Selain persoalan kepemimpinan di organisasi, kompleksitas tugas anggota polisi di lapangan ditenggarai sebagai pemicu yang menyebabkan mudah stres dan frustrasi. Bahkan tugas tersebut sering mengundang bahaya. Hal ini karena tugas anggota polisi sangat berat dan berbahaya jika dibandingkan dengan penegak hukum lainnya, misalnya hakim dan jaksa. Meskipun sama-sama penegak hukum, tetapi anggota polisi dalam menjalankan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat. Selain tingkat ancaman dan risiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal hari libur dan cuaca. Anggota polisi bekerja sepanjang waktu. Kondisi kerja yang berbahaya merupakan salah satu sumber terjadinya stres kerja. Stres kerja juga dapat terjadi di lingkungan kerja anggota polisi yang dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, cepat dan tanggap dalam mengatasi berbagai masalah. Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri anggota maupun institusi. Pada diri anggota polisi, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya. Konsekuensi pada anggota polisi ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya. Aspek Instrumental Hingga 2012, perjalanan RBP telah menapaki gelombang II dengan bidang instrumental yang dihasilkan cukup banyak. Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Perubahan mendasar dalam aspek instrumental yang paling terlihat adalah aspek filosofi. Sejak pemisahan Polri dengan TNI, yang paling mendasar dilakukan Polri adalah merubah filosofi dasar Kepolisian Indonesia, yang waktu itu dibentuk sebuah

Page 28: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

28 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Pokja guna pemaknaan baru filosofi Tribrata Polri.2 Turunan hasilnya terus berlanjut hingga keluarnya Kode Etik Kepolisian yang telah ditetapkan dengan Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri. Dinamika dalam kerangka perubahan makna filosofi ini cukup pelik, karena masih terdapat ganjalan pemaknaan secara linguistik berdasarkan pemaknaan yang lama dengan yang baru. Sisi lain, dalam kerangka aspek instrumental ini adalah terjadinya berbagai macam problem yang menghadang Polri dalam konteks perubahan instrumental ini. Bila menilik kerangka besar perubahan yang dilakukan dengan RBP ini adalah guna mewujudkan polisi sipil. Namun, seiring pelaksanaannya, Polri juga mengalami hempasan persoalan yang cukup pelik. Persoalan tersebut, diantaranya problem performansi yang buruk. Karena secara eksternal, terjadi konflik dan ketegangan polisi dengan masyarakat yang masih menggunakan cara-cara kesewenangan, kekerasan, dan represif juga menampilkan wajah polisi yang dianggap tidak bersahabat atau ada sebagian kalangan menyebutnya sebagai bala tentara okupasi (army-occupation).3 Polisi disadari dibutuhkan masyarakat, tetapi sekaligus performansinya melahirkan kebencian masyarakat yang secara teoretis disebut love-hate relationship. Performansi sebenarnya merupakan salah satu di antara improvisasi yang hendak dicapai dalam reformasi Polri. Perubahan lain yang berusaha diimprovisasi adalah potensi dan kompetensi. Potensi dan kompetensi yang meningkat tanpa disertai performansi yang baik membuat hubungan polisi-masyarakat tidak efektif. Performansi dimaksud sebagaimana ditegaskan dalam pasal 38 ayat (2) dan penjelasan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri terkait dengan kinerja kepolisian, khususnya ihwal penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminatif, dan penggunaan diskresi yang keliru.4 Reformasi untuk mengimprovisasi performansi Polri tidak sunyi dari resistansi internal Polri. Cohn dan Viano dalam suatu penelitian, antara lain, mengemukakan bahwa kepentingan-kepentingan tetap (vested interests) merupakan salah satu faktor resistansi. Kepentingan ekonomi dan prestise individu selama ini menempatkan polisi pada posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Hal itu menawarkan banyak kekuasaan dan

2 Inkonsistensi perubahan Tri Brata menjadi Tribrata sudah mulai terlihat dalam mengkritisi alasan perubahan. Salah satu alasan utama perubahan yang diusung oleh Kapolri kala itu adalah unsur bahasa (liguistik). Bahasa Sansekerta yang digunakan dalam rumusan pedoman moral Polri tersebut dianggap sebagai bahasa yang sulit dipahami dan perlu dirubah dalam bahasa Indonesia. Faktanya perubahan bahasa dalam rumusan naskah Tri Brata ternyata tidak merubah judul pedoman Polri itu sendiri (Tri Brata tetap Tribrata, hanya bedanya yang lama tidak disambung yang baru disambung). Meskipun Tim Pokja ketika itu menjustifikasi bahwa kata ―Tribrata‖ sudah termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ―Tribrata‖ telah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi satu kata yang artinya tiga asas kewajiban Polri yang dilambangkan dengan bintang. 3 Hari Purwadi, Refleksi Hari Bhayangkara, Ubah Performansi Polri, 2 Juli 2010, http://radarlampung.co.id/read/opini/17541-refleksi-hari-bhayangkara-ubah-performansi-polri- 4 Ibid.

Page 29: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

29 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

pengaruh yang dapat menghasilkan uang dan kesempatan sehingga membuat kegamangan untuk mendorong perubahan. Kekuasaan dan kesempatan yang strategis itu pada gilirannya memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power); korupsi, kolusi, dan nepotisme; pelayanan yang buruk; perlakuan tidak adil dan keberpihakan; serta penggunaan diskresi yang berlebihan. Itu merupakan kejadian yang masih mendominasi kekhawatiran masyarakat ketika berhubungan dengan polisi. Kekhawatiran masyarakat itu sekaligus mengeliminasi makna polisi sipil yang harus dapat ditandai dengan civility (kesipilan atau kesopanan) dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat (civility must be met with civility). Perubahan dari polisi yang militeristis ke polisi sipil, seperti digambarkan oleh Reiss, kenyataannya polisi masih cenderung tidak dipuaskan dalam wajah sipil dengan kesopanannya. Sebaliknya, masyarakat menganggap warna kesopanan sebagai birokrasi terbaik dan oleh karena itu menonjolkan kerendahannya sebagai pelayan masyarakat, yang menuntut petugas menunjukkan keterlibatannya dalam masalah dan menawarkan perhatian individual. Dalam warna kesopanan, warga masyarakat dengan sendirinya akan memberikan atau menjamin legitimasi kekuasaan polisi serta menghargai intervensi hukum dalam hubungan-hubungan di antara warga masyarakat. Pada akhirnya, polisi bertanggungjawab atas kekuasaan sipilnya dan masyarakat merasa dilindungi dari kesewenang-wenangan. Permasalahan pada polisi juga menjadi kecil ketika masyarakat memberikan legitimasi atas intervensi polisi pada ihwal yang sebetulnya tidak ada hak hukum bagi polisi untuk masuk dan terlibat. Seperti di Inggris dan Skandinavia, hubungan antara masyarakat dan polisi justru dibangun lebih banyak berdasar kebiasaan (custom) daripada hukum (legality). Kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjadi dasar legitimasi pasti yang dapat memberikan jaminan ketenteraman masyarakat secara keseluruhan, baik berdasar pertimbangan rasional maupun moral. Pelayanan dan perlindungan di luar rasionalitas dan moral publik jelas melahirkan delegitimasi. Sebagai contoh ‘‘kecil'', penangkapan terorisme di Klaten yang kemudian dilepas Densus 88 terhadap dua anak yang salah satu di antara mereka masih ‘‘di bawah umur'', secara rasional dan moral, dapat menjadi pemicu delegitimasi keberhasilan besar yang telah dicapai selama ini dalam pemberantasan terorisme.5 Meningkatkan performansi Polri akhirnya membutuhkan upaya yang meminimalisasi resistansi internal maupun eksternal atas reformasi Polri. Polri harus membuka diri. Itu berarti reformasi bukan proyek atau pekerjaan Polri sendiri, namun juga dioperasikan oleh kekuatan luar Polri. Alih-alih dioperasikan juga dari luar, ketika di tingkat petinggi Polri (top official of the system) masih terjadi konflik dan ketegangan, maka di tingkatan bawah (lower official of the system) Polri tidak banyak bisa diharapkan. Padahal, secara teoretis, perubahan yang lebih baik diperkenalkan melalui putusan

5 Ibid.

Page 30: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

30 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

kelompok daripada mengandalkan individu yang diharapkan sebagai pionir praktik yang tidak lazim diterapkan oleh kelompok. Oleh karena itu, keseriusan reformasi Polri masih harus dibuktikan terlebih dahulu melalui keterlibatan seluruh sistem Polri.6 Seiring dengan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh kepolisian, rasanya sulit tercapai jika tidak ada peran serta masyarakat di dalamnya. Atau publik apatis, karena adigium di masyarakat ―daripada lapor ke polisi, lebih baik diam.‖ Ini sesungguhnya mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian, karena kepolisian di mata publik masih bersifat diskriminatif, tidak (kurang) peka, kurang profesional, dan arogan dalam memberikan pelayanan. Atau mungkin, bisa jadi, lahirnya lembaga-lembaga yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan tugas dan fungsi kepolisian, seperti KPK dan Tim Pencari Fakta, Satgas Anti Mafia Peradilan, serta entah tim-tim apalagi, disadari atau tidak, sesungguhnya berada dalam ruang lingkup yang menunjukkan karena Polri masih ―bermain-main‖ dengan tugas yang diembankannya belum dapat menyelesaikan dan memuaskan masyarakat.7 Sungguh, ujian yang tidak mudah untuk diselesaikan dan diyakinkan terhadap publik, akan tetapi, suka tidak suka itu harus dijalankan dan diselesaikan dengan memperlihatkan wajah kepolisian yang peduli terhadap kepentingan publik, dan bukan kepentingan penguasa dan alat pemodal besar. Atau dalam bahasa lain, reformasi Polri adalah dengan mengedepankan perilaku Polri yang simpatik, menghargai hak-hak sipil, bersahabat, tidak memperlihatkan wajah arogan atau karakteristik militer. Dengan demikian, bilamana publik masih memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap Polri, tak perlu disesali, justru sebagai akibat dari belum berubahnya perilaku Polri selama ini, sehingga Polri ―tersandera‖ oleh citra buruk di mata masyarakat/publik. Seiring dengan persoalan-persoalan yang dihadapi Polri, tentu saja harapan publik, baik harapan aktif maupun pasif (menunggu) terhadap komitmen Polri dalam membenahi dirinya dengan mengoptimalkan reformasi birokrasi Polri. Meskipun secara umum, kesenjangan dalam konteks aspek instrumental antara perencanaan dan fakta di lapangan memang masih banyak ketimpangan.

Aspek Struktural Aspek struktural, mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Perubahan mendasar dalam konteks ini adalah perubahan susunan organisasi Polri. Berdasarkan Perpres Nomor 52 Tahun 2010, beberapa jabatan di Mabes Polri berubah dari segi nama dan pangkat. Jabatan jenderal bintang 3 alias Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) berjumlah 6 dari

6 Ibid. 7 Menyoroti Partnership Building Reformasi Polri, 7 Oktober 2012, http://hankam.kompasiana.com/-2012/10/07/menyoroti-partnership-building-reformasi-polri/

Page 31: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

31 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

yang sebelumnya hanya 4. Keenam jabatan itu adalah Wakapolri, Irwasum, Kabareskrim, Kababinkam, Kalemdikpol, dan Kabaintelkam. Babinkam (Badan Pembinaan Keamanan) berubah nama menjadi Baharkam (Badan Pemelihara Keamanan), Divbinkum (Divisi Pembinaan Hukum) berganti nama menjadi Divkum (Divisi Hukum), Div Telematika berubah nama Div TI (Teknologi Informasi). Densus 88 Bareskrim berganti menjadi Densus 88 Polri. Ditlantas Mabes Polri Babinkam disebut Korlantas (Korps Lalu Lintas Polri). Selain itu, NCB Interpol bersatu dengan Divhubinter (Divisi Hubungan Internasional). Kemudian terbit Perkap Nomor 21 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana dengan keluarnya Perkap ini, maka secara otomatis Mabes Polri secara resmi telah memberlakukan dan mensosialisasikan restrukturisasi (perubahan struktur) Polri. Restrukturisasi Polri yang dituangkan dalam Perkap Nomor 21 tahun 2010 itu menghadirkan beberapa nomenklatur (nama struktur) dan Titelatur (nama jabatan) baru di tubuh Polri. Berikut adalah struktur baru Polri hasil restrukturisasi: 1. Unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf : 1.1. Deputi Kapolri yang berjumlah empat orang, yaitu Deputi bidang Operasi, Bidang Perencanaan Umum dan Pengembangan (Derenbang), Deputi bidang Sumberdaya manusia (SDM), Deputi bidang logistik (delogs) berubah nomenklatur menjadi asisten Kapolri. Bidangnya bertambah satu yaitu bidang sarana dan prasarana. Mereka tetap berada dibawahi langsung Kapolri. Nomenklatur untuk staf ahli Kapolri sendiri tak berubah dalam restrukturisasi ini. 1.2. Divisi Bertambah Satu Di dalam unsur pembantu pimpinan ini nantinya akan tergabung juga divisi-divisi Polri yang selama ini berada di bawah lingkup unsur pelaksana pendidikan dan pelaksana staf khusus Polri. Sebelum restrukturisasi ada empat nomenklatur Divisi di Mabes Polri, yaitu Divisi pembinaan hukum (Div Binkum), Divisi Humas (Div Humas), Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal (Div Propam), dan Divisi Telekomunikasi dan Informatika (Div Telematika). Akibat restrukturisasi kini terdapat lima divisi di Polri. Divisi dengan nama nomenklatur baru yang bertambah adalah Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter) yang sebelumnya dipercayakan tugasnya pada NCB. NCB sendiri tetap ada dan berganti nomenklatur menjadi Ses NCB Interpol yang berkedudukan di bawah Div Hubinter. Sedangkan dari empat divisi yang ada sebelumnya, ada dua Divisi yang mengalami perubahan nomenklatur yaitu Div Binkum menjadi Divisi Hukum (Div Kum) dan Div Telematika menjadi Divisi Teknologi informasi kepolisian (Div TI Pol) yang otomatis merubah nama titelatur keduanya meski tetap dijabat seorang jenderal bintang dua. Sedangkan Divisi Humas akan dibantu oleh Biro pengelolaan Informasi dan dokumen yang baru dibentuk dan diletakkan di bawah Divisi Humas. Divisi Hukum juga akan dibantu dua Biro yaitu biro pengembangan hukum dan Biro pembinaan hukum.

Page 32: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

32 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

2. Unsur Pelaksana Pendidikan dan Pelaksana Staf Khusus 2.1. Perubahan nomenklatur dan titelatur terjadi pada Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri pimpinan Irjen Pol Imam Sudjarwo. Lemdiklat akan berubah nama menjadi Lembaga pendidikan kepolisian (Lemdikpol) yang titelaturnya berubah menjadi Kalemdikpol dan dipimpin Komisaris jenderal yang berbintang tiga. Nantinya seluruh lembaga pendidikan di Polri seperti Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sespimpol), Akademi Kepolisian (Akpol) dan lainnya akan tergabung dan dibawahi oleh Kalemdikpol. Untuk PTIK nomenklaturnya berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) dengan titelatur baru Ketua STIK meski tetap dipimpin Inspektur Jenderal. Sespimpol berubah nomenklatur menjadi Sespim. Selapa berubah nomenklatur menjadi sekolah staf pimpinan utama. Sedangkan Akademi Kepolisian tetap menjadi Akpol namun titelaturnya berubah menjadi Ketua Akpol meski tetap dipimpin Inspektur Jenderal. Lemdikpol mempunyai armada baru bernomenklatur Diklatsus Jatrans yang sebelumnya bernomenklatur JCLEC. Titelaturnya berubah menjadi kepala Diklatsus Jantras dari yang sebelumnya Direktur JCLEC. 3. Unsur Pelaksana Utama Pusat 3.1. Ada perubahan kepangkatan pada pimpinan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) meski nomenklatur strukturnya tetap sama yaitu Baintelkam. Baintelkam dipimpin oleh Komisaris Jenderal (bintang tiga). Titelaturnya sendiri tidak berubah. Selain Baintelkam, Badan Pembinaan Keamanan (Babinkam) berubah nomenklatur menjadi Badan Pemeliharaan Keamanan (Barharkam) Polri yang otomatis merubah titelaturnya menjadi Kabarharkam. Untuk Bareskrim tak ada perubahan nomenklatur dan titelatur. Hanya di bawah badan itu ada biro pengawasan penyidikan yang dibentuk dalam restrukturisasi ini. 3.2. Korps Untuk Korps di tubuh Polri, dengan restrukturisasi ini, maka Korps Brimob Polri yang selama ini hanya seorang diri, kini mendapatkan teman baru yaitu Korps Lalu Lintas Polri yang sebelumnya bernomenklatur Direktorat Lalu Lintas. Dir Lantas dahulunya berada di bawah Babinkam Polri. Korps lalu lintas dipimpin Inspektur Jenderal (bintang dua) dengan titelatur Kakorps Lantas yang bertanggungjawab langsung pada Kapolri. 4. Satuan organisasi penunjang lainnya Terdapat juga nomenklatur baru yang menemani Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes Polri) dan Pusat Keuangan (Pusku Polri) yang sebelumnya sudah ada. Nomenklatur baru itu adalah Pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal dengan titelatur Kapuslitbang. Puslitbang sebelumnya bernomenklatur biro Litbang yang berada di bawah naungan Deputi bidang Derenbang. Selain Puslitbang, terdapat juga Pusat sejarah (Pusjarah) Polri yang juga merupakan struktur dengan nomenklatur baru. Untuk Pusku, titelaturnya berganti menjadi Kapuskeu akibat perubahan Pusku menjadi Puskeu.

Page 33: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

33 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Secara umum perdebatan yang masih muncul berkaitan organisasi Polri adalah kedudukannya yang berada di bawah Presiden. Terlepas dari persoalan kedudukannya ini, yang masih sangat kental terlihat adalah rentannya Polri dari intervensi berbagai kepentingan. Secara terserat memang terlihat Polri tidak pernah bisa secara penuh keluar dari tekanan intervensi. Banyak kasus-kasus titipan pejabat, petinggi partai atau pengusaha besar yang akhirnya hilang atau dipeti-es-kan. Sebagai organisasi profesi, Polri mengharuskan seluruh anggotanya di setiap tingkat dan jajaran, berlaku dan bertindak secara profesional. Seperti halnya profesi dokter, wartawan, dan profesi-profesi dengan keahlian khusus lainnya, kepada para anggotanya diberlakukan kode etik profesi. Dokter yang melakukan mal praktek sangat membahayakan jiwa pasiennya. Demikian pula, tindakan unprofessional oleh polisi yang memiliki kewenangan penggunaan kekerasan bagi perlindungan masyarakat, akan sangat membahayakan jika tidak dilandasi oleh kekuatan moral dan keterikatan pada etika profesi. Pembinaan sumberdaya manusia, erat kaitannya dengan pembentukan perilaku anggota agar sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian. Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, secara jelas tercantum di dalam pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Yang antara lain disebutkan: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Lantas, apakah tugas pokok ini hanya menjadi kewenangan di level pimpinan? Tentu saja tidak, tugas pokok dan fungsi ini melekat pada seluruh personil Polri. Tugas pimpinan di level kewilayahan seperti Kapolda, Kapolres/ta/tabes, Kapolsek dan sebagainya sudah tentu menjadi penanggungjawab utama. Sedangkan kewenangan masing-masing didelegasikan atau distribusikan kepada kepala satuan-satuan, kepala unit-unit kerja, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Salah satu definisi kepemimpinan adalah daya untuk untuk mendorong dan mengarahkan orang-orang untuk bergerak sesuai dengan tujuan kepolisian. Kepemimpinan dalam satu organisasi menentukan struktur, sistem, dan budaya kerja terpelihara dan dikembangkan sehingga terjadi ―gerak‖ bersama untuk menjadi misi kepolisian. Pendistribusian dan pendelegasian wewenang memang memiliki resiko. Karena tidak semua pimpinan satuan dibawahnya memiliki kemampuan yang merata untuk memahami misi dan menjalankan tugas pokok dan fungsi yang diemban. Karena itulah fungsi pembinaan personil secara berjenjang menjadi tugas dan tanggungjawab langsung pimpinan. Sedangkan punishment, dilakukan sebagai hukuman kepada mereka atau anggota yang melakukan pelanggaran kode etik profesi, pelanggaran kedisplinan dan pelanggaran lain. Penerapan hukuman, itu sendiri disesuaikan dengan peraturan Kapolri. Sehingga pemberian hukuman tidak didasarkan oleh

Page 34: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

34 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

perasaan suka atau tidak suka atasan atau pelaporan rekan kerja (partner). Dengan model seperti ini sistem meritokrasi akan berjalan dan organisasi kepolisian di tingkat kewilayahan diharapkan akan berjalan dengan baik. Selain problem internal personel dan organisasi, yang penilaiannya dilakukan oleh pejabat kepolisian yang lebih tinggi, sebagai organisasi profesi yang berbasis pelayanan masyarakat kepolisian masih menghadapi penilaian dari luar institusi kepolisian. Keberhasilan atas tugas dan pokok dan fungsi kepolisian, di tingkat kewilayahan, ternyata terkait dengan harapan dan tuntutan masyarakat (public expectation). Ini lantaran tumbuhnya kesadaran bahwa masyarakat sebagai pembayar pajak, sehingga masyarakat sebagai stakeholder dari kepolisian memiliki hak memberi penilaian. Menghadapi persoalan yang terkait dengan tuntutan dan harapan masyarakat, Prof. Satjipto Rahardjo memberikan salah satu resep. Menurutnya, ―Polisi yang berwatak sipil harus banyak berkomunikasi, berdialog dengan lingkungannya.‖ Masyarakat harus menjadi ilham dalam tugas kepolisian. Salah satu cara mendekatkan polisi kepada masyarakat yang menjadi lingkungannya adalah dengan membuatnya bertanggungjawab (accountable) terhadap masyarakatnya di mana pun ia bertugas. Lantas, bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari masyarakat bisa diukur. Pimpinan kewilayahan, bisa menggunakan metode zero complaint atau nol keluhan, atas pelaksanaan tugas dan kewenangan yang sudah diturunkan kepada satuan dan unit kerja. Jika keluhan itu muncul, pimpinan pun masih harus meneliti kembali, apakah keluhan tersebut objektif dan proporsional atau tidak. Khususnya di dalam tugas penegakkan hukum, selalu ada dua pihak yang saling berhadapan. Kedua pihak dengan berbagai pengaruh dan kekuasaannya, senantiasa menginginkan menjadi pemenang. Padahal, pihak pemenang sudah seharusnya diberikan kepada mereka yang benar sesuai aturan hukum. Jika situasi seperti ini terjadi, maka selain meritokrasi dalam pembinaan personel berlangsung dengan baik, fairness atau asas netralitas sebagai penegak hukum juga bisa ditegakkan, sehingga keadilan di masyarakat bisa tercapai. Jika semua itu bisa tercapai, maka citra kepolisian menjadi baik. Citra kepolisian dibutuhkan bagi polisi sebagai institusi publik agar setiap tindakannya mendapatkan legitimasi yang tinggi dari masyarakat. Pembenahan ke dalam tubuh Polri menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Tekad menjadikan Polri sebagai aparat yang bersih, berwibawa, bermartabat, yang benar-benar dapat menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat telah coba dilakukan. Seperti ditahannya perwira Polri yang sebelumnya berkecimpung dalam bidang Reskrim dan pejabat-pejabat lainnya. Sekali lagi, tekad dan tindakan-tindakan itu pasti menghadapi penentangan, baik dari dalam tubuh Polri sendiri maupun dari pihak luar Polri yang memiliki kepentingan pribadi tertentu ataupun untuk menyelamatkan diri dari kejahatan yang pernah dan atau sedang dilakukan.

Page 35: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

35 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Oleh karena itu, tindakan pembenahan di tubuh Polri tersebut memerlukan nyali yang tinggi dan keyakinan akan kebenaran dalam menegakan kebenaran dan keadilan yang dilandasi oleh keyakinan bahwa tugas sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Tentu masyarakat akan mendukung langkah-langkah positif yang dilakukan oleh Polri, dan apabila langkah-langkah itu dapat dilanjutkan secara konsisten, termasuk oleh para calon-calon pemimpin yang saat ini sedang melakukan pembenahan, niscaya akan menjadikan Polri dicintai oleh rakyat. Pada kelanjutannya masyarakat akan merasa memiliki Polri, merasa ikut bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Polri harus mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Hal itu akan sangat mudah jika citra Polri baik di mata masyarakat, dan masyarakat sudah merasa dilindungi, diayomi dan dilayani kepentingannya oleh Polri. Setiap anggota Polri harus bisa menjadi panutan masyarakat dalam sikap dan perilakunya. Kesenjangan yang terlihat dalam konteks ini adalah polisi lebih sering melakukan pembiaran dan masih kurang dalam melakukan penilaian situasi utamanya dalam konteks kamtibmas. Sepertinya hilang juga rasa kepekaan dengan tidak mempedulikan pisau analisis kamtibmas melalui program Polmas yang digembar-gemborkan sebagai perwujudan hubungan polisi dengan masyarakat sebagai ‖partner‖. Kesetaraan hubungan dengan masyarakat sebagai dimensi yang harus dilindungi, diayomi dan dilayani, masih belum terjalin dengan baik meskipun terjadi perubahan organisasional secara keseluruhan. Kebutuhan perubahan orangisasi masih berkutat pada persoalan penempatan personel semata, namun belum menyentuh pada sisi pelaksanaan tugas yang dituntutkan kepada Polri. Meryt sistem masih belum berjalan dengan baik, begitu pula dengan pelaksanaan reward and punishment yang mestinya dapat menjadi penyeimbang, ketika persoalan kesejahteraan masih menjadi persoalan. Sepertinya masih jauh untuk bisa mewujudkan ‖struktur kecil, namun kaya fungsi.‖

Aspek Kultural Aspek kultural, adalah muara dari perubahan aspek instrumental dan struktural, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, hingga sistem operasional. Konteks aspek ini dalam perjalanan RBP merupakan yang paling gencar. Karena aspek ini menyentuh langsung kepada kepentingan pelayanan publik. Penilaian secara umum, perjalanan RBP dengan seluruh turunan program-program dianggap sangat baik dan ideal. Namun pada kenyataannya ejawantah keseluruhan

Page 36: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

36 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

masih dianggap sebagai ―lip service‖ semata. Perubahan pelayanan yang digembar-gemborkan dengan meraih predikat baik bahkan dengan ISO, belum menyentuh esensi yang sebenarnya dalam konteks pelayanan. Tidak sedikit masyarakat yang masih takut datang ke kantor polisi meskipun hanya untuk anjang sana. Ditambah lagi masih sangat kurang personel di lapangan yang melakukan tujagwali, meskipun sudah diatur dalam Tupoksi dan Perkap. Tidak jarang kedatangan seorang anggota polisi --meskipun dia tidak berpakaian resmi—ketika melihat ada kerumunan anak-anak muda yang sedang berkumpul dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum, ketika melihat ada seorang polisi yang datang, yang terjadi adalah anak-anak itu malah bubar. Kesan angker, arogan rupanya masih cukup melekat. Mestinya dalam kerangka pewujudan polisi sipil yang humanis hal seperti itu tidak perlu terjadi. Karena yang paling dirasakan hingga masyarakat bawah adalah kurangnya komunikasi perubahan ini, atau bisa dikatakan tidak menyentuh sama sekali. Secara umum, Gambaran Umum Tentang SDM Polri adalah sebagai berikut: a. Komposisi Personil Polri Jumlah Polri saat ini yang telah mencapai hampir 400 ribu personil sebagian besar ( l/k 70 % ) terdiri dari Brigadir Polri yang tersebar di seluruh wilayah NKRI. Mereka berasal dari sebagian besar bahkan hampir seluruh etnis yang ada di Indonesia yang pernah diperkuat dengan kebijakan Kapolri tentang ―the local boy for the local job‖. Komposisi yang demikian di satu sisi akan meringankan beban Polri terkait dengan penguasaan situasi wilayah dan mobilitas personil Polri, di sisi lain kualitas dan karakter SDM menjadi sangat beragam dan akan membahayakan dan memicu perpecahan apabila rasa nasionalisme setiap anggota Polri tidak dibina dan dikembangkan dengan baik. b. Pola Pendidikan Polri Kurikulum pendidikan Polri mengalami perubahan-perubahan seiring dengan pergantian pimpinan dan terkesan dadakan kerap terjadi di lingkungan Lemdik Polri. Mulai kurikulum di Sespimti, Sespimen, Sespima, PTIK, Setukpa Lemdikpol dan Diktukba sehingga menghasilkan kualitas SDM yang beragam di segala tingkatan personil Polri. Namun eronisnya dari segenap kurikulum tadi apabila dikaji lebih jauh, ternyata kompetensi yang ditargetkan hanya sekitar pengetahuan dan keterampilan yang dianggap akan dapat mewujudkan profesionalitas. Untuk keyakinan, tata nilai dan motivasi yang akan membentuk karakter tidak disentuh secara khusus bahkan sering terabaikan. Pada hal perkembangan lebih lanjut dari berbagai penelitian ternyata kompetensi dan performance (kinerja) SDM justru lebih dominan ditentukan oleh keyakinan, nilai dan motivasi serta karakter dibandingkan dengan pengetahuan dan keterampilan.

Page 37: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

37 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

c. Perubahan Kultural Polri Grand Strategi yang diperkuat dengan semangat dan komitmen perubahan telah digelorakan institusi Polri. Kemudian dari pada itu Reformasi Birokrasi Polri yang telah dilaunching oleh Presiden RI dapat dijadikan landasan yang kuat bagi berbagai upaya perubahan menuju kondisi Polri yang didambakan dan dicintai rakyat. Revitalisasi Polri diharapkan juga dapat memperkuat komitmen perubahan Polri selain dapat dijadikan sebagai momen yang tepat untuk melanjutkan dan mengoptimalkan reformasi di tubuh Polri. Semua upaya yang telah dilakukan sebelumnya harus diakui telah menempatkan posisi Polri lebih maju dari institusi lain dengan perubahan struktural, instrumental dan kulturalnya. Namun demikian bila kita mau jujur harus disadari bahwa perubahan kultural Polri dengan segala keterbatasannya masih jauh dari harapan masyarakat. Untuk itu harus dicarikan berbagai terobosan untuk melakukan percepatan seiring dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Kondisi yang diharapkan adalah perkembangan kultural Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum yang dapat memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kultur Polri yang demikian diharapkan akan dapat mengawal kultur masyarakatnya menuju masyarakat yang tertib, tenteram dan damai sehingga menjadi semakin produktif. Sesuai semboyan ―Tata Tentrem Kerta Raharja‖. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat perubahan kultural Polri adalah dengan meningkatkan mutu lembaga-lembaga pendidikan Polri sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang dimilikinya. Permasalahan yang ada di lingkungan lembaga pendidikan Polri selama ini harus dicarikan solusinya guna menciptakan suasana kondusif baik dari sisi kepentingan organisasi maupun kepentingan anggota, khususnya bagi para tenaga pendidik. Dengan demikian diharapkan dapat mengemban fungsi dan peranannya dengan baik dan optimal. Lembaga pendidikan (Lemdik) Polri yang merupakan tempat dilahirkan dan ditempanya seluruh anggota Polri selama ini ternyata dalam operasionalisasinya belum menyentuh keyakinan, nilai dan karakter yang diharapkan. Berbagai bentuk pendidikan dan jenis latihan yang diprogramkan semuanya mengejar peningkatan pengetahuan dan keterampilan sebagai sasaran utama yang selama ini diyakini dan dianggap sudah dapat mewujudkan profesionalisme. Kalaupun ada pembinaan mental ataupun jam Pimpinan untuk memberikan pemahaman tentang tata nilai dalam organisasi biasanya bobotnya sangat rendah bahkan sering ditinggalkan. Hasilnya bisa disaksikan dalam pelaksanaan tugas di lapangan, banyak menimbulkan masalah dan sebagian besar masalahnya bukan disebabkan masalah teknis melainkan terkait dengan masalah non teknis yang terkait dengan moral dan karakter. Lemdik Polri yang telah ada dewasa ini terdiri dari Sespimpol (Sespimti, Sespimen dan Sespima), STIK, Setukpa, AKPOL ditambah dengan Sekolah dan Pusdik-Pusdik Polri serta SPN yang tergelar di Polda-Polda merupakan sarana yang sangat potensial untuk

Page 38: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

38 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

meningkatkan kompetensi SDM Polri. Materi pengetahuan dan keterampilan tertentu yang selama ini dianggap telah cukup untuk memberikan bekal menuju profesionalisme masih perlu ditambah/dilengkapi dengan materi keyakinan, nilai serta karakter yang dapat memberikan motivasi bagi terbangunnya karkter Polri dambaan sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta kehidupan sosial masyarakat di era informasi, demokratisasi dan transparansi dewasa ini memang telah berdampak pada pola gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Tuntutan demokratisasi dengan segala persepsi yang berkembang menjadi sajian sehari-hari di mass media baik cetak maupun elektronik. Kekecewaan, kemiskinan, ketidakadilan, dan segala kekurangan yang direpresentasikan melalui unjuk rasa, cacian, hujatan bahkan dengan tindakan anarkis oleh kelompok-kelompok masyarakat yang cenderung berkembang dewasa ini tanpa disadari telah menjadi pembelajaran efektif yang mengalahkan efektifitas pembelajaran nilai-nilai positif yang diajarkan di lembaga pendidikan sehingga dapat membentuk pola pikir, sikap dan perilaku serta karakter negatif masyarakat secara luas. Namun sayangnya penangkapan sinyalemen tersebut belum dapat dielaborasikan ke dalam sistem kurikulum yang ada dalam lembaga-lembaga pendidikan Polri secara sistematis dan berkelanjutan. Di sisi lain maraknya kasus perongrongan kewibawaan polisi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang mengakibatkan kerugian baik korban jiwa maupun harta benda di pihak polisi, membuat banyak kalangan yang bertanya-tanya, apabila aparat penegak hukumnya saja sudah menjadi sasaran, bagaimana dengan masyarakat yang ingin mendapatkan rasa aman tersebut? (Kompas, 7 Juni 2011). Seperti kasus penyanderaan polisi oleh kelompok massa, pengeroyokan polisi, pengrusakan markas polisi, maupun penghilangan nyawa polisi, sudah menjadi bacaan sehari-hari di beberapa kolom surat kabar baik nasional maupun lokal. Kasus tersebut seakan sebanding dengan penyimpangan yang dilakukan polisi terhadap masyarakat seperti pelanggaran HAM, pungli, manipulasi kasus kejahatan, ketidakberdayaan penanganan korupsi, maupun kasus-kasus yang berhadapan dengan politik. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh Polri untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Melalui aneka program untuk mendekatkan polisi kepada masyarakat selalu diluncurkan setiap suksesi kepemimpinan Polri, apakah itu dengan metoda pemolisian masyarakat (Polmas), quick wins (keberhasilan segera), revitalisasi budaya polisi, dan lain-lain. Itu semua dilakukan sebagai upaya Polri untuk mewujudkan reformasi Polri sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Lantas, kenapa masih saja kasus perongrongan kewibawaan polisi masih sering terjadi? Menurut Skolnick (1966), polisi selain dituntut untuk menjadi penegak aturan, pelayan masyarakat, ayah, rekan, moralis, pejabat hukum, dan pemberi arah, juga memiliki peran yang lain sebagai pemburu kejahatan. Apabila polisi menjalankan peran tersebut,

Page 39: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

39 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

masyarakat tentu akan merasa terayomi, terlindungi, terlayani, aman, dan tertib (Nitibaskara, 2011). Suka atau tidak suka, memang polisi merupakan subyek dari standar ganda atas integritas sebagai bagian dari komunitas kepolisian yang terikat oleh berbagai peraturan dan kode etik. Satu standar berlaku bagi dirinya sebagai penduduk biasa dan standar kedua yang lebih tinggi selaku petugas polisi (Mabes Polri: 7). Sebagai penduduk biasa tentu apabila bersalah akan dihadapkan pada peradilan umum, bukan saja mendapat sanksi pidana namun juga sanksi disiplin dan kode etik (bahkan sampai tahap pemberhentian tanpa hormat) sebagai konsekuensi selaku anggota polisi. Mengenai fungsi kepolisian, dalam struktur organisasi Polri pada tahapan pre-emptif (mengantisipasi bakal terjadinya kejahatan atau penyimpangan) terdapat pada fungsi intelijen. Sedang untuk tahapan preventif (mencegah kejahatan atau penyimpangan terjadi) terdapat pada fungsi samapta serta lalu lintas. Ketika kejahatan atau penyimpangan sudah terjadi dan hukum perlu ditegakkan (tahap represif), maka selain lalu lintas, reskrim adalah fungsi yang terutama melakukan itu. Adapun Brimob adalah fungsi kepolisian paramiliter yang bisa bertugas dalam rangka prevensi maupun represi terkait kejahatan berintensitas tinggi. Terkait tahapan tugas kepolisian, dimanapun kita akan mengenal kepolisian sebagai instansi yang bertugas melakukan law enforcement (penegakan hukum), juga dalam rangka maintaining order (memelihara ketertiban) dan memberikan berbagai jasa publik (public service provider). Adapun mengenai situasi eksternal, adalah situasi spesifik kemasyarakatan yang dihadapi kepolisian saat hendak melakukan fungsi dan tahapan tugas kepolisian tertentu. Disini terjadi peran polisi sebagai institusi berwajah protagonis (bertindak sesuai keinginan masyarakat walaupun mungkin hal itu melanggar hukum) dan wajah antagonis (melakukan penegakan hukum walaupun mungkin hal itu tidak sesuai dengan keinginan masyarakat). Konsepsi Kepolisian dalam setiap negara selalu dipengaruhi atau berkaitan dengan falsafah bangsa dan ideologi negara; tujuan negara; bentuk negara; susunan negara; sistem pemerintahan; sejarah perjuangan bangsa; aspirasi bangsa tentang kamtibnas; pemolisian dan penegakan hukum. Dapat dikatakan juga bahwa setiap negara mengembangkan budaya polisinya sendiri yang khas dan unik disamping unsur-unsur budaya polisi yang bersifat universal (Skolnick & Fyfe 2000: 135 – 137). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Budaya Polisi Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia yang lahir bersamaan dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia. Polri dikatakan memiliki posisi yang unik di kalangan birokrasi negara, karena mengemban tiga sistem administrasi sekaligus yang tidak dilakukan oleh fungsi-fungsi eksekutif maupun kalangan birokrasi yang lain, yaitu: sistem administrasi negara, sistem administrasi pertahanan dan keamanan, serta sistem administrasi peradilan pidana atau upaya preventif dan represif. Fungsi utama dari Polri itu sendiri meliputi

Page 40: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

40 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

penegakan hukum, pembinaan kekuatan Polri maupun potensi masyarakat dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan pembangunan nasional serta meningkatkan kesejahteraan bangsa, seperti tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 pasal 2 bahwa: Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pendapat lainnya dinyatakan oleh Egon Bittner (1970), bahwa fungsi utama polisi adalah untuk menghentikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dan mendorong seseorang agar berbuat lebih baik sekarang. Pengaruh lingkungan global, regional dan nasional menuntut perubahan di segala aspek kehidupan. Demikian juga halnya dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian seperti tersebut di atas juga dituntut untuk senantiasa melakukan perubahan dari waktu ke waktu sejalan dengan transisi simultan dan masyarakat Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa fungsi-fungsi kepolisian adakalanya berbenturan dengan kondisi masyarakat, sehingga tak jarang polisi dicemoohkan daripada dipuji. Diskresi yang dimiliki aparat kepolisian pun acap disalahgunakan. Korup, penuh dengan tindak kekerasan baik dengan senjata api maupun fisik, arogan menjadi stigma yang melekat terhadap polisi.

Penilaian Hasil Pencapaian Quick Wins dan Quick Response Polri sebagai bagian integral komponen negeri. Polri harus terus membuat berbagai terobosan strategis, seperti membangun Polmas sebagai filosofi dan strategi menjalin kemitraan dengan masyarakat. Pelaksanaan reformasi birokrasi dengan quick-wins-nya berorientasi pada profesionalisme pelayanan masyarakat, serta serangkaian kebijakan telah menjadi acuan kepolisian, demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Diyakini berbagai kiprah kepolisian tidak pernah akan lebih efektif tanpa peran serta aktif masyarakat. Masyarakat kini semakin kritis, namun juga carut-marut. Setelah lebih satu dasawarsa bergulirnya reformasi, kepolisian terus berbenah diri. Menuju terwujudnya kepolisian profesional, bermoral, modern dan humanis. Sebagaimana digariskan dalam visi kepolisian. Profesionalitas kepolisian akan kian menumbuhkan peran serta aktif masyarakat. Quick wins dalam rangka Trust building merupakan kebijakan Polri, dimana ini dianggap sebagai prioritas dan kesungguhan kepolisian demi membangun kepercayaan masyarakat. Lihat saja melalui program unggulan quick-win yang telah dicanangkan. Kiranya menjadi pendorong semangat membangun kinerja demi kepercayaan masyarakat. Grand strategi Polri (2005-2025), jelas tahapannya. Yaitu: Trust Building (2005-2010),

Page 41: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

41 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Partnership Building (2011-2015) dan Strive For Excelence (2016-2025). Dalam rangka tindak lanjut tahapan Trust Building, program Quick-Wins dibangun. Sasarannya mempercepat trust building yang dicanangkan hingga 2010. Dapat diprediksi peran serta masyarakat pada periode berikutnya dalam membangun kemitraan, sangat ditentukan keberhasilan tahapan ini. Quick wins merupakan transformasi menuju birokrasi yang profesional, bermoral dan moderen dalam mewujudkan dan memelihara Kamtibmas. Beberapa program unggulan dalam Quick wins meliputi pertama, Quick Response, yaitu kecepatan dan ketanggapsegeraan Polisi dalam menanggapi, menindaklanjuti laporan dan pengaduan. Kedua, transparansi dan komunikasi yang baik dalam penyidikan. Polisi lebih transparan dan komunikatif dalam bidang penyidikan tindak pidana melalui sarana Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Ketiga, Proses Rekruitmen anggota Polri, yang bebas dari praktek KKN. Keempat, Transparansi dalam pelayanan SIM, STNK dan BPKB. Terkait dengan grand strategy Polri, Quick-win merupakan kiprah polisi seiring eksistensinya. Yaitu netralitas dalam menegakkan supremasi hukum, terutama terhadap kasus-kasus yang melibatkan oknum anggota polisi. Demi mendukung program unggulan ini. Sebagai percepatan mewujudkan trust building. Bukan lagi slogan tanpa isi. Dibutuhkan komitmen kuat dalam pelayanan guna menjawab tuntutan publik. Pembiaran terhadap borok-borok kepolisian yang tak segera dibersihtuntaskan akan menghambat kiprah quick-win, kebijakan percepatan trust building. Sadar kompleksitas permasalahan kepolisian negeri ini. Keberhasilan polisi membongkar kasus-kasus besar yang membuat tercengang dunia pun akan segera terhapus. Gara-gara ulah beberapa gelintir polisi yang melukai hati rakyatnya. Entah diskriminatif, arogansi, atau perilaku manipulatif. Benang merah uraian di atas, Quick-win sebagai program unggulan reformasi birokrasi polisi. Strategi mewujudkan paradigma polisi sipil yang demokratis, menegakkan supremasi hukum dan HAM. Sejalan dengan prinsip good governance dan cita-cita reformasi sejak 1998. Mutlak diimplementasikan secara konsisten dan proporsional. Keberhasilan kiprah quick-win mendukung trust buiding, demikian sebaliknya. Masyarakat tak butuh retorika namun aksi nyata kinerja polisi profesional, bermoral, dan moderen. Harapan reformasi birokrasi polisi adalah terwujudnya kepercayaan masyarakat dalam mendukung Kamtibmas yang kondusif. Sudah saatnya Polri berubah, saat ini program quick wins baru dipahami dan dimengerti oleh tingkatan manajer ke atas. Sedangkan untuk pelaksana di lapangan masih belum mengerti sepenuhnya. Perubahan kultur dari pelaksana lapangan inilah yang sangat diharapkan untuk berubah. Tunjukkan semangat perubahan ini, jangan hanya sekedar program-program di atas kertas. Seandainya polisi tidak "dirasuki" kekuatan politik dan netral serta profesional dengan pekerjaannya, Indonesia akan

Page 42: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

42 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

lebih baik. Banyak orang hanya menilai polisi dari Polantas saja, padahal prestasinya satuan-satuan lain juga ada Sebuah studi kasus tentang pelaksanaan program Program Quick Response (ketanggapsegeraan) Patroli Samapta Bhayangkara di Polres Jember disimpulkan bahwa patroli Kota adalah tidak sesuai dengan rencana kegiatan. Untuk indikator Kecepatan petugas patroli mendatangi TKP tidak seperti yang direncanakan. Kecepatan petugas dalam mendatangi TKP tidak selalu bahkan jarang sekali sesuai rencana. Hal ini dikarenakan jumlah anggota yang melakukan patroli tidak seperti apa yang termaktub dalam Sprin. Hal ini terjadi karena petugas patroli yang di lapangan seringkali dimintai tugas lain seperti pelayanan bank maupun pengamanan unjuk rasa. Sementara itu keberadaan dan penggelaran polisi berseragam di tempat-tempat yang rawan akan terjadinya gangguan Kamtibmas tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Jika menurut rencana yang ada, patroli dilaksanakan setiap harinya, tapi dalam kenyataannya patroli tidak dilaksanakan setiap hari. Patroli hanya dilaksanakan jika terdapat moment-moment tertentu. Hal ini salah satunya bersumber dari keadaan sarana berupa kendaraan roda dua yang sering mengalami kerusakan. Juga dari segi personil yang kurang dari kebutuhan yang ada. Pos Sabhara yang seharusnya standby sesuai Sprin. Ternyata tidak begitu ketika di lapangan. Sementara itu dari segi perubahan sikap perilaku anggota dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dijelaskan bahwa, karena patroli tidak seperti apa yang telah direncanakan, maka sikap anggota patroli pun tidak banyak diketahui masyarakat. Pada umumnya masyarakat masih memandang sebelah mata terhadap keberadaan anggota di lapangan. Hal ini dikarenakan trauma masa lalu serta tugas polisi yang suatu waktu harus menegakkan hukum disuatu sisi harus mengayomi. Belum lagi dengan oknum yang seharusnya punya wewenang menegakkan hukum namun malah melanggar hukum. Akumulasi dari sikap oknum ini, oleh masyarakat di generalisir kepada sikap anggota yang lain.

Page 43: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

43 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

BAB 4 REFLEKSI PERJALANAN POLRI

Perjalanan Polri dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi hingga kini telah berjalan dan memasuki Reformasi Birokrasi Polri Gelombang II, dimana pelaksanaannya merupakan kelanjutan dari program Reformasi Birokrasi Polri Gelombang I yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 yang lalu. Dengan berbagai pencapaian dan juga ketimpangannya yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri yang merupakan amanat reformasi yang kemudian ditetapkan sesuai dengan Permen-PAN Nomor 20 Tahun 2010. Amanat reformasi pada dasarnya adalah untuk melakukan perubahan, konteks ini merupakan esensi yang harusnya terjadi di tubuh Polri. Polri memang telah dengan sungguh-sungguh melakukan amanat ini dengan menjalankan, misalnya program quick wins. Dalam hal ini, quick wins merupakan langkah yang tepat untuk diterapkan di kepolisian, disamping merubah perilaku aparat kepolisian (menciptakan SDM yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja yang tinggi dan sejahtera) juga dapat memberikan pelayanan yang cepat dan tepat pada masyarakat. Adapun quick wins ini menunjang pelaksanaan reformasi birokrasi yang sasaran umumnya adalah terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja serta sistem manajemen pemerintahan. Sedangkan sasaran secara khusus adalah perubahan kelembagaan atau organisasi menuju organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran, perubahan budaya organisasi untuk mewujudkan birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi, perubahan ketatalaksanaan untuk mewujudkan sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif dan efisien, terukur dan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai. Selain itu masih banyak yang lain yang juga telah dilaksanakan dalam kerangka Reformasi Birokrasi di tubuh Polri. Dengan segala dinamika yang melingkupinya, namun di sisi lain segala hasil pencapaian dengan fakta di lapangan masih terlihat kejanggalan-kejanggalan. Aspek Instrumental, Struktural dan Kultural Perangkat dalam kerangka instrumental diantaranya mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Sebagai dasar yang fundamental, aspek instrumental harus dapat fondasi yang kuat bagi pengejawantahan ke dalam program kegiatan yang digariskan dan ditargetkan. Aspek struktural, diantaranya mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Sedangkan aspek kultural, adalah

Page 44: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

44 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

muara dari perubahan aspek instrumental dan struktural, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, hingga sistem operasional. Konteks aspek ini dalam perjalanan RBP merupakan yang paling gencar. Karena aspek ini menyentuh langsung kepada kepentingan pelayanan publik. Keberadaan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat. Salah satu ukuran untuk menentukan apakah organisasi tersebut merupakan organisasi yang baik adalah apabila organisasi tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Pengertian dari keberadaan disini adalah adanya suatu kontribusi positif yang diberikan oleh organisasi tersebut. Organisasi yang luar biasa bukanlah organisasi yang terdiri dari orang-orang yang luar biasa, melainkan organisasi yang mampu membuat dan membentuk orang-orang biasa yang terdapat di dalamnya menjadi mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Untuk itu dibutuhkan proses manajemen guna mengarahkan organisasi sesuai dengan tujuan dibentuknya organisasi tersebut. Proses manajemen ini dirasa sangat penting dalam menjalankan dan menjaga kelangsungan hidup organisasi, hal ini dikarenakan para anggota dari suatu organisasi berasal dari latar belakang yang berbeda-beda sehingga mempunyai sistem nilai yang berbeda-beda pula dan setiap anggota organisasi memiliki motivasi yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, organisasi juga merupakan kumpulan beragam kompetensi, bukan hanya kumpulan beragam orang, sehingga perlu diterapkan manajemen yang baik agar setiap perbedaan tersebut dapat menjadi suatu harmoni untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam kerangka ini, Polri sebagai sebuah organisasi melakukan proses manajemen organisasi hingga proses pengawasan dalam kerangka akuntabilitas publik yang transparan dan berimbang. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 yang mengamanatkan reformasi birokrasi pada semua lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola yang baik (good governance). Esensi dari Reformasi Birokrasi adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang merupakan bagian dari Good Governance secara konsisten, sehingga kebijakan dapat diakses dan dipertanggungjawabkan kepada publik dengan tujuan terciptanya kontrol dan pengawasan oleh publik terhadap pemerintahan yang ada. Guna mewujudkan pengelolaan program dan kegiatan Polri serta pengelolaan keuangan negara pada Tahun Anggaran yang dianggarkan yang baik dan akuntabel perlu dilakukan Pengawasan dan Pemeriksaan Umum serta Perbendaharaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh Inspektorat Pengawasan Umum Polri, untuk

Page 45: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

45 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

sasaran pengawasan dan pemeriksaan sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Polri. Sayangnya, pengawasan dan akuntabilitas yang diinginkan tersebut menghadapi sejumlah ancaman atau permasalahan yang kedepannya akan menggangu implementasi keduanya. Namun, terdapat juga sejumlah peluang yang dapat digunakan untuk menghadapi atau mengantisipasi ancaman atau permasalahan yang dihadapi. Polri akan menghadapi potensi munculnya tuntutan yang sangat besar dan terus menerus dalam pembenahan manajemen dan pengawasan internal. Dimana manajemen dan pengawasan internal ini meliputi mekanisme reward and punishment yang dinilai belum memberikan sanksi yang akuntabel dan adil sekalipun Polri memiliki institusi seperti Komisi Etik, Irwasum, Irwasda, Propam, P3D, akan tetapi masih belum mampu memberikan hukuman yang memberikan efek jera bagi aparat kepolisian agar tidak melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan. Di masa yang akan datang, dipastikan bahwa tuntutan akan transparansi manajemen keuangan di tubuh kepolisian akan menjadi perhatian masyarakat. Terutama ketika masyarakat masih menilai manajemen keuangan Polri belum akuntabel ketika Badan Pemeriksa Keuangan masih memberikan predikat disclaimer. Salah satu isu yang paling disoroti oleh masyarakat berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas Polri saat ini adalah tentang proses rekrutmen Polri. Di masa yang akan datang, akan semakin besarnya tuntutan pengawasan dan akuntabilitas dalam hal rekrutmen dan penempatan personel yang belum memperhatikan kebutuhan dan kapasitas. Di masa depan, masih besar kemungkinan adanya respon negatif Polri terhadap kritik dari berbagai pihak, seperti penyalahgunaan kewenangan dan penyalahgunaan prosedur dalam penanganan berbagai kasus semisal terorisme. Hal ini akan menjadi suatu hal yang kontra produkif dalam perbaikan kinerja dan nama baik Polri di masyarakat. Seperti penanganan perkara (penyelidikan dan penyidikan) di masa yang akan datang masih akan menjadi perhatian masyarakat. Penilaian yang masih akan berkembang adalah penanganan perkara masih belum cepat serta penggunaan metode-metode yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, seperti kasus penyiksaan di tahanan-tahanan polisi juga penyalahgunaan senjata api. Ke depan, juga akan semakin besar keinginan masyarakat dan civil society untuk dapat mengakses perkembangan laporan masyarakat akan tindakan-tindakan yang tidak tepat atau menyimpang yang dilakukan personel Polri di lapangan. Ditambah lagi juga akan semakin besar harapan masyarakat akan pengawasan personel Polri sampai tingkat paling bawah di wilayah dan lapangan sehingga semakin sedikit kemungkinan pelanggaran profesi dilakukan. Begitu pula dengan tingginya harapan masyarakat akan kenyamanan, kemudahan dan singkat-waktunya proses pelaporan masyarakat sebagai bagian dari proses pengawasan masyarakat atas profesionalisme Polri di lapangan.

Page 46: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

46 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Asas pembentukan Mabes kecil, Polda cukup, Polres besar dan Polsek kuat, di masa datang harus bisa diwujudkan. Ditambahkan lagi dengan struktur kecil, namun kaya fungsi. Memang tidak mudah untuk mewujudkan, namun guna dapat membuat lebih baik di masa datang hal ini menjadi keharusan. Pada dasarnya UU Polri tahun 2002 dimaksudkan untuk pembenahan Polri agar menjadi institusi sipil. Sehingga esensi perubahan kultur yang harusnya terjadi adalah perubahan dari militeristik kepada polisi sipil. Pakar hukum dan Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan Polri merupakan lembaga penegak hukum yang pertama kali mereformasi diri sejak tahun 1999, namun institusi ini memiliki empat masalah kronis yaitu:

1. Masalah kronis yang ditinggalkan era polisi sebagai militer terlalu banyak, sampai sekarang aspek kultur dan perilaku militer masih belum bisa hilang 100%. 2. Program reformasi Polri kerap berjalan tidak sistematis, tidak tuntas dan kurang evaluasi. 3. Kecepatan perubahan tidak sama di setiap fungsi atau satuan kerja. Misalnya fungsi reserse dikenal sebagai yang paling sulit berubah, lalu justru fungsi lalu lintas dan Brimob malah maju pesat. 4. Reformasi tergantung ada tidaknya perwira tinggi yang mau dan mampu menjadi champion perubahan.‖Itu jumlahnya tidak banyak di Polri.‖

Lebih lanjut menurut Adrianus Meliala, citra Polri 50% ada di fungsi penegakan hukum, apabila pelayanan di bidang ini baik, maka baiklah citra Polri. Tetapi apabila buruk, maka buruklah citra Polri. Fungsi penegakan hukum akan baik bila personil di dalamnya merupakan orang-orang yeng memiliki SDM baik yaitu cerdas, sehat, bermoral dan memiliki kompetensi di bidangnya. Persepsi masyarakat mengenai Polisi yang baik telah bergeser, polisi yang baik bukan lagi seorang polisi yang dekat dengan masyarakat, suka menolong tanpa pamrih, akrab dengan warga, dan lain-lain. Tetapi polisi yang baik sudah dipersepsikan menjadi berapa banyak mereka menangkap pencuri (tak peduli bagaimana cara mendapatkan dananya dan darimana?) Karier seorang polisi pun bisa ditentukan seberapa jauh loyalitas kepada atasan atau siapa saudaranya. Ada kecenderungan polisi lebih suka menjadi ―Pemadam kebakaran‖ atau menyelesaikan masalah yang telanjur terjadi daripada mencegahnya. Sehingga timbul kesan bahwa tugas menyelesaikan perkara itu terkesan heroik dan dapat mendatangkan keuntungan materi dan karier. Perubahan sikap dan perilaku (mind set and culture set) bagi personel Polri merupakan jawaban Polri terhadap tuntutan implementasi kepolisian yang demokratis (democratic policing), transparan, akuntabel, menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia. Hal itu menuntut Polri untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas pokok Polri.

Page 47: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

47 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Sistem pemolisian sekarang ini dikembangkan di negara-negara modern dan demokratis adalah melalui pendekatan proaktif – pemecahan masalah (problem solving), yang lebih mengedepankan pencegahan kejahatan (crime prevention). Dalam pemolisiannya seperti ini, Polri harus berupaya keras untuk meninggalkan gaya militeristik yang diganti dengan pemolisian yang sesuai dengan fungsi polisi sebagai kekuatan sipil yang diberi kewenangan menjadi pengayom masyarakat, penegak hukum, dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan demikian pemolisian yang diterapkan dapat berjalan secara efektif dan dapat diterima atau cocok dengan masyarakatnya sesuai dengan corak masyarakat dan budayanya, berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan untuk memecahkan masalah-masalah sosial. SDM Polri Bagian dari upaya Polri dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) adalah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta sebagai aparat negara penegak hukum dan pemelihara Kamtibmas. Tugas Polri dalam membina Kamtibmas untuk mewujudkan kondisi yang mantap, terkendali, dan dinamis, saat ini dan di masa mendatang tidaklah semakin ringan. Keberhasilan pembangunan nasional telah melahirkan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap hak-haknya untuk semakin menikmati keamanan, ketertiban dan ketentraman yang lebih baik. Pada era globalisasi saat ini, suatu negara tidak akan dapat bersaing apabila tidak didukung oleh SDM yang handal dan kuat untuk menghadapinya, karena persaingan yang begitu keras harus didukung pula oleh SDM yang menguasai, memahami, dan dapat mengantisipasi perkembangan tersebut melalui inovasi-inovasi untuk dapat bertahan. Hal ini berlaku untuk tataran organisasi, dimana SDM merupakan faktor sentral di dalamnya. Setiap organisasi selayaknya memiliki Manajemen SDM (MSDM) yang diawaki oleh manusia yang berkompeten agar mereka bisa mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi dan misi organisasi sehingga dapat tercapai tujuan dan sasaran secara optimal. Salah satu misi Polri adalah mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuannya yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri, sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat. Misi ini menjadi dasar dari upaya pembinaan dan pengembangan kompetensi SDM Polri. Dengan adanya misi yang menyentuh aspek sumberdaya manusia, maka sesungguhnya Polri telah berupaya untuk berkomitmen terhadap kualitas kompetensi yang baik bagi para anggotanya.

Page 48: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

48 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Pencapaian tujuan organisasi yang baik tercermin dari peningkatan kontribusi yang dihasilkan oleh SDM-nya. SDM yang dihasilkan dari rekrutmen yang baik, tentu akan menghasilkan pegawai yang baik pula. Begitu pula dengan pegawai yang telah bekerja secara profesional, tentu mengharapkan peningkatan status pekerjaannya sebagai bukti penghargaan institusi atas kinerjanya selama ini berupa mutasi dan promosi jabatan (Siagian, 2007: 27). Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa proses pembinaan karir personel Polri dalam hal mutasi dan promosi, selalu menuai ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Ketidakpuasan itu, terjadi karena ketidakadilan dan kecemburuan dalam hal promosi dan mutasi di jajaran kepolisian, terutama di kalangan polisi berpangkat rendah. Pasalnya, mutasi dan promosi jabatan di Polri masih diwarnai KKN, masih ada ―bisnis jual beli jabatan‖ di jajaran Polri (www.harianterbit.com, 2007). Hasil penelitian PTIK angkatan 39-A tentang perilaku KKN di tubuh Polri seakan membenarkan hal tersebut. Penelitian ini membuktikan parahnya KKN yang terjadi bukan semata-mata ulah oknum, melainkan sudah melembaga dengan rapi. Pola korupsi yang dilakukan mulai dari rekrutmen, penyelesaian kasus, kenaikan pangkat anggota, sampai dengan penempatan personel. Dalam penelitian itu disebutkan, untuk menjadi Kapolda di daerah ‖basah‖ atau di Pulau Jawa, seorang Pati dengan pangkat Irjen perlu dana sampai ratusan juta rupiah. Pada level di bawahnya, baik Kapolres maupun Kapolwil dengan pangkat AKBP dan Kombes, dana yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu puluhan juta rupiah. Kondisi seperti itu tentu sangat memprihatinkan (Setyawan, 2008). Penyimpangan ini terjadi karena bertemunya berbagai kepentingan antara atasan maupun bawahan. Kondisi demikian karena adanya motivasi dan kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahan pelaksana MSDM untuk melakukan penyimpangan tersebut (Mabes Polri: 11). Karena melibatkan atasan dan bawahan, penyimpangan manajerial ini menimbulkan pengaruh eksternal dan internal Polri. Dampak internal adalah akan mempengaruhi kinerja organisasi serta menimbulkan citra buruk kepolisian di mata masyarakat, sedangkan dampak eksternal adalah terjadinya masyarakat yang dirugikan akibat penyimpangan tersebut (Mabes Polri: 9). Adanya proses mutasi dan promosi yang salah dapat merugikan tidak saja kepada personel tersebut, namun juga pada organisasi. Pada personel akan berdampak pada tidak adanya motivasi kerja yang tentunya akan berpengaruh pada organisasi, sedangkan pada organisasi ada ketidakpercayaan pada fungsi MSDM dalam membangun personel Polri yang berkualitas. MSDM yang buruk juga berdampak pada kredibilitas lembaga tersebut dalam mengelola MSDM-nya. Seperti contoh penembakan Wakapolwiltabes Semarang AKBP Lilik Purwanto yang dilakukan oleh Briptu Hance Christian karena marah akan dimutasi ke Polres Kendal (Sinar Harapan, 14 Maret 2007). Kemudian dibatalkannya Skep Kapolri No.Pol.: Skep/133/IV/2008 tanggal 15 April 2008 dimana terdapat salah seorang Pamen dibatalkan mutasinya karena

Page 49: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

49 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

tersandung masalah hukum (www.antaranews.com, 2008). Contoh kasus ini tentunya tidak akan terjadi apabila pola penempatan personel selalu dibarengi dengan pola pembinaan karir yang berprinsip merit system. Motivasi anggota dalam pelaksanaan tugas sangat dipengaruhi oleh sistem karir yang bersih, transparan, akuntabel, serta sesuai jenjang karir yang berlaku dan telah disepakati oleh penilaian prestasi, penilaian kematangan dalam jabatan awal, integritas, dan loyalitas. Apabila MSDM Polri sudah berjalan baik, tentu kasus seorang Kombes yang terlibat konspirasi dengan orang lain yang lumayan berpengaruh di negeri ini (turut melenyapkan nyawa seseorang) demi mendapatkan pangkat jenderal tidak perlu terjadi. Hal ini menandakan bahwa pemetaan personel Polri masih belum tertata rapi, personel Polri yang ingin mendapat promosi ramai-ramai mendekati unsur eksternal yang dekat dengan Pimpinan Polri, bukan dengan menunjukkan kompetensinya sebagai jatidiri Polri yang profesional dalam menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sejauh ini memang belum ada sebuah penelitian khusus mengenai penempatan personel Polri dengan berbasis kompetensi, yang ada hanyalah beberapa pemikiran-pemikiran kritis dari beberapa pakar administrasi baik yang berasal dari internal maupun eksternal Polri. Beberapa konsep dari pemikiran-pemikiran tersebut, sebagai berikut: Pertama, Tesis Mas Gunarso mahasiswa Kajian Ilmu Kepolisian-Universitas Indonesia (KIK-UI) berjudul ―Kebijakan Penempatan Bintara Polri dan Pelaksanaannya di Polwiltabes Semarang‖ (2004). Dalam tesisnya, ia menemukan tidak adanya peraturan tertulis yang jelas dari komando atas (centralize policy) tentang penempatan bintara polisi menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan Polwil hanya berdasarkan perintah secara langsung (wisdom), baik berupa perintah lisan maupun tertulis. Peraturan tertulis yang tidak jelas menimbulkan lemahnya konsistensi pejabat yang mengeluarkan kebijakan, karena setiap ganti pejabat sudah pasti ganti kebijakan. Akibatnya bintara polisi dalam melaksanakan tugas menjadi tidak efektif dan efisien. Kebijakan penempatan personel pun tidak sesuai dengan prinsip the right man on the right place berdasarkan minat, bakat dan kemampuan. Tesis ini juga menemukan adanya hubungan otoriter, hubungan personal, rendahnya gaji dan tunjangan yang tidak mencukupi untuk hidup layak, serta adanya perbedaan tempat basah dan tempat kering dalam pelaksanaan tugas, sehingga bintara polisi tidak termotivasi untuk bekerja secara maksimal, terutama menjalankan tugas pokoknya sebagai polisi. Implikasi dari tesis ini adalah perlunya kebijakan penempatan yang jelas dari Mabes Polri untuk pembinaan karir bintara terutama penempatan mereka, karena selama ini yang terjadi adalah hak prerogatif pejabat yang mendapat pendelegasian wewenang saja yang menjadi fatwa bagi pembinaan karir personel Polri di wilayah.

Page 50: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

50 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Kedua, tesis Suwarni yang telah dialihbukukan dengan judul ―Perilaku Polisi; Studi atas budaya organisasi dan pola komunikasi‖ (2009). Dalam buku ini ia mengemukakan bahwa sebagai sebuah budaya organisasi yang telah melembaga, proses mutasi/promosi belum sesuai dengan kompetensi para personelnya, selain itu tidak dilaksanakan secara prosedural, dan kurang transparan. Bahkan ada kesan otoriter dengan bisa melakukan mutasi kapan dan dimana saja. Atasan tidak pernah mengkomunikasikan dengan anggota, baik secara formal maupun informal. Dengan ketidakjelasan mutasi ini, membuat bawahan mempunyai interpretasi yang berbeda-beda serta bekerja dalam ketidakpastian, karena sewaktu-waktu bisa dilakukan mutasi. Bahkan untuk tingkat Polres, ada Kapolres yang tidak menyertakan Kabagmin dalam melakukan proses mutasi personel. Jadi disimpulkan tidak ada kompetensi Pimpinan Polres karena tidak berupaya memfungsikan bawahan sesuai kompetensi dan bidang tugas yang harus diembannya, yang pada akhirnya lahir budaya Polri untuk selalu patuh pada atasan. Apa yang menjadi ―Bijak Pimpinan‖ harus dilaksanakan anggota dengan penuh loyalitas, meskipun kadang menyimpang dari kompetensi dan profesionalisme Polri (Suwarni, 2009: 82 – 83). Penempatan personel dalam MSDM adalah proses pemberian tugas dan pekerjaan kepada personel yang lulus dalam seleksi untuk dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup yang telah ditetapkan, serta mampu mempertanggungjawabkan atas segala risiko dan kemungkinan-kemungkinan atas tugas dan pekerjaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut (Djamin, 1995: 70). Sedangkan penempatan personel menurut Wether dan Davis (1990:225): ―Placement is assignment of new empoyee to a new different job it includes the initial assignment of new employee and the promotion, transfer, or demotion of present employee.‖ Dari definisi di atas, dapat diartikan bahwa penempatan tenaga kerja atau yang menyangkut personel baru artinya pengaturan awal bagi suatu jabatan, sedangkan penempatan bagi personel lama mengandung arti promosi, mutasi dan demosi. Jumlah personel kepolisian di Indonesia berlipat ganda dalam 15 tahun terakhir. Di tahun 1992 terdapat 180.000 petugas polisi, kini ada sekitar 400.000. Dengan kata lain ada satu orang petugas polisi untuk 585 orang. Para reserse yang bekerja di Divisi Reserse Kriminal di tingkat lokal dan nasional (Bareskrim, Badan Reserse Kriminal dan Reskrim/Reserse Kriminal) terdiri atas kurang dari 10% Kepolisian Nasional. Ini artinya kurang dari 40.000 petugas melayani keseluruhan kebutuhan peradilan pidana 234 juta penduduk Indonesia. Dalam tahun-tahun terakhir ini pihak berwenang menerapkan sistem perekrutan yang makin sensitif terhadap perekrutan personel polisi setempat agar cocok dengan konteks lokal. Kebijakan ‗pekerjaan lokal untuk orang lokal‘ diberlakukan untuk meningkatkan pemahaman petugas polisi akan konteks lokal tempat mereka beroperasi, serta untuk meningkatkan hubungan antara polisi dan komunitas setempat. Dalam praktiknya, kebijakan ini telah menyebabkan adanya penunjukan kepala polisi di sejumlah daerah

Page 51: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

51 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

provinsi, dengan mempertimbangkan etnis serta agama mereka, latar belakang geografis dan konteks setempat. Selain itu, Polri juga berupaya merekrut lebih banyak perempuan; namun staf polisi perempuan masih hanya mencapai tiga persen dari jumlah total angkatan kepolisian kurang lebih sama persentasenya dengan tahun-tahun sebelumnya. Baru-baru ini ada pula peraturan kepolisian mengenai ‗pengarusutamaan gender‘ agar membuat para petugas polisi lebih peka terhadap para wanita korban kekerasan. Namun, penerapan kebijakan ini sejauh ini masih terbatas jangkauannya. Analisis dalam sistem kepemimpinan di tubuh Polri secara garis besar mengalami krisis yang cukup beralasan. Mengingat kepemimpinan adalah sangat penting dalam menjalankan roda organisasi. Kepemimpinan adalah bagaimana pemimpin dapat mempengaruhi dan membawa dengan cara kepatuhan terhadap bawahan, staf maupun anggota untuk melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan, dalam pelaksanaannya seorang pemimpin harus memperhatikan azas-azas kepemimpinan dan butir-butir etika kepemimpinan. Namun pada kenyataannya azas-azas kepemimpinan yang tertanam sebagai perwujudan dari postur Polri yang profesional, modern dan berwibawa belum sepenuhnya dapat diaplikasikan. Kepemimpinan Visioner yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada visi karena merupakan artikulasi cita-cita idealisme dan harapan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang. Pemimpin visioner erat hubungannya dengan perubahan, karena dia harus memperlihatkan sesuatu yang baru, kemudian memotivasi dan melaksanakan sampai dengan penyelesaian perubahan sesuai dengan yang dicita-citakan. Mendasari dari pendapat tersebut di atas, maka dalam rangka meningkatkan pelaksanaan tugas Polri di masa yang akan datang, sangat diperlukan figur pemimpin yang dapat membawa perubahan bagi organisasi menuju ke arah yang lebih baik, yaitu pemimpin yang visioner. Adapun kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin visioner, yaitu sebagai berikut : 1) Pemimpin yang visioner harus mampu mensosialisasikan visi organisasi kepada

seluruh anggota bawahannya, sehingga dapat dimengerti dan dipahami. Dalam pelaksanaannya, seorang pemimpin visioner, sebelum membuat visi organisasi, senantiasa menyerap apa yang menjadi aspirasi anggotanya maupun masyarakat di wilayahnya, kemudian mensosialisasikan visi tersebut secara detail kepada seluruh anggota, sehingga dengan cara yang demikian anggota sangat faham dan mengerti.

2) Pemimpin yang visioner harus mampu menjabarkan visi organisasi tersebut ke dalam misi organisasi, sehingga mudah dilaksanakan dalam mencapai tujuan.Pelaksanaanya: Misi-misi yang telah dirumuskan tadi, bersifat fleksibel, sederhana (mudah difahami anggota).

Page 52: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

52 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

3) Pemimpin yang visioner harus dapat membuat/ menentukan strategi yang tepat, guna pencapaian visi. Strategi yang diambil harus dapat diterapkan. Pelaksanaannya : strategi yang dibuat harus bersifat komprehensif mencakup strategi jangka panjang, sedang dan pendek dan strategi tersebut mudah dilaksanakan oleh anggota dan dievaluasi keberhasilan dan kegagalannya.

4) Pemimpin yang visioner harus mampu menentukan program yang akan dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan visi yang telah dirumuskan. Pelaksanaannya: Program-program yang telah dibuat harus dapat menjadi pedoman bagi anggota, yang kemudian dijabarkan ke dalam rencana kerja tahunan, triwulan dan bulanan, sehingga lebih fokus dan terukur pencapaiannya.

5) Kepemimpinan visioner harus memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan roda organisasi. Pelaksanaannya : Pemimpin harus mau turun tangan bersama anggotanya menjalankan rencana kerja yang telah ditetapkan serta mau memberikan bimbingan kepada anggota apabila ada kendala dan hambatan.

6) Pemimpin yang visioner harus memiliki etika kepemimpinan. Pelaksanaannya: Seorang pemimpin harus paham akan kondisi anggotanya (baik kelebihan dan kekurangannya) tidak mengambil hak-hak anggota, serta senantiasa dapat menjadi panutan serta motivator bagi anggota dalam pelaksanaan tugas.

7) Pemimpin yang visioner harus mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat, pada saat organisasi menghadapi permasalahan kritis. Pelaksanaannya: Pemimpin yang visioner harus memiliki jiwa yang stabil/ tenang dalam menghadapi kondisi apapun. Kemudian mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat, dengan tinggkat resiko yang paling kecil dan berani bertanggung jawab terhadap apa yang telah diputuskan.

Dalam setiap proses kegiatan, pemimpin visioner senantiasa berpijak pada etika kepemimpinan dalam arti kejujuran, keadilan, berkelakuan, norma-norma dan nilai-nilai yang baik menjadi dasar pijakan dalam pengambilan keputusan, sehingga suasana organisasi semakin erat/kompak, saling percaya, saling menghormati dan saling memperkokoh. Fakta yang terjadi saat ini di lingkungan Polri adalah ketika ganti pimpinan maka ganti pula kebijakan. Sehingga yang terjadi adalah ketidaksinkronan antara satu pimpinan ke pimpinan lainnya. Yang berdampak pula pada kinerja organisasi yang tidak dapat optimal dan berkelanjutan baik secara sistem maupun program kegiatan. Asas Transparansi dan Akuntabilitas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Polri Reformasi Polri harus dilakukan dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek dan kepentingan lokal serta nasional, tetapi juga lewat pendekatan kepentingan global. Itu berarti, reformasi Polri bersifat multi dimensi, kalau memang benar-benar bertekad keluar dari berbagai kemelut dan jebakan kerusakan citra sistemik. Aneka kemelut dan

Page 53: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

53 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

rusaknya citra secara sistemik, disebabkan terutama oleh keterlambatan pimpinan Polri khususnya, serta berbagai pihak lain (pemerintah dan masyarakat Indonesia) untuk bersama-sama melakukan reformasi. Keterlambatan ketiga aspek reformasi tersebut, mengakibatkan sejumlah ideal dan norma hukum (bagian tanggung jawab Polri) kehilangan maknanya. Salah satu contoh konkretnya adalah, ketika anggota Polri tidak melaksanakan tugas seperti perintah hukum yang sesungguhnya, atau di saat oknum anggota Polri menyalahgunakan kekuasaan, maka perilaku seseorang atau sejumlah orang yang memasuki ranah kewenangan lembaga peradilan (main hakim sendiri) pun menjadi bisa diterima awam. Buktinya, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang dapat secepatnya memancing tindakan yang sama dari orang lain, yang sebelumnya hanya diam saja. Ketika mereka melihat polisi di sekitar tindakan main hakim sendiri tersebut cuma berdiam diri alias tidak bertindak keras melawannya, mereka pun terdorong ikut melakukan tindakan melawan hukum yang sama. Di saat karakter polisi hanyut dalam situasi kerawanan psikologi massa dan tindakan destruktif, maka arena pengadilan dalam kehidupan masyarakat yang mendahului proses hukum yang sebenarnya berubah menjadi semacam lembaga sosial baru di tengah pusat kegiatan publik. Selain itu, di saat anggota Polri tidak mampu mencegah dan menjatuhkan sanksi hukum atas egoisme perorangan dan kelompok yang diwujudkan dalam tindakan anarkis, tidak mengindahkan etika, norma sosial, hukum, dan nilai luhur lainnya, maka kekerasan publik di satu sisi serta kekerasan negara (Polri) di sisi lain akan menjadi lembaga dan kultur baru di tengah masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa reformasi Polri patut diprioritaskan. Pengutamaan reformasi itu, akan membuat Polri tidak perlu "pusing kepala," di bawah siapa keberadaannya sekarang. Sejauh lebih menjamin berlangsungnya reformasi secara keseluruhan, pilihan itulah yang terbaik bagi Polri. Reformasi birokrasi khususnya mengenai transparansi dan akuntabilitas di dalam Polri, maka itu berarti suatu upaya untuk menerapkan prinsip good governance dalam rangka menciptakan Polri yang mampu melayani dan melindungi masyarakat secara baik. Melaksanakan reformasi birokrasi dalam Polri bukan hal yang mudah, mengingat bahwa Polri adalah sebuah aparat pemerintah dengan organisasi yang amat besar, sebuah organisasi raksasa yang jumlahnya sekitar 413.509 orang, yang terdiri dari anggota Polri 387.470 orang, dan PNS Polri sebanyak 26.039 orang. Total personil Polri itu sendiri terdiri dari 236 Perwira Tinggi (Pati), 12 ribu Pamen (Perwira Menengah), 29.750 Pama (Perwira Pertama), dan 345.417 Brigadir. Selain itu kondisi yang ada sekarang dan beban sejarah masa lalu lebih memperberat masalah yang dihadapi. Karena itu disadari, bahwa mau tidak mau usaha reformasi harus dirancang untuk dilaksanakan bertahap, terus-menerus, dan secara konsisten. Untuk itu diperlukan (1)

Page 54: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

54 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

komitmen yang kuat, (2) tekad yang bulat untuk berubah jadi lebih baik, dan (3) konsistensi yang ketat untuk melaksanakannya, karena reformasi membutuhkan waktu yang panjang, dan risiko kemunduran atau patah di tengah jalan sangatlah besar. Keberhasilan suatu reformasi sangat bergantung pada kepemimpinan –-leadership dan rasa memiliki (ownership) dari jajaran-jajaran utama-– yang sesuai untuk tugas reformasi itu. Faktor ini vital, dan pemimpin dengan kualitas demikian tidak selalu bisa diperoleh dengan mudah. Dari riwayat gerakan reformasi yang masih pendek, fakta empirik menunjukkan, tanpa pemimpin kuat –-dalam hal ini pemimpin tertinggi di masing-masing satuan-– usaha reformasi tidak bisa berkelanjutan, bahkan mungkin tidak pernah akan bisa dimulai. Kenyataannya sekarang, menurut penilaian Polri ketika periode tahap pertama Trust Building selesai dijalankan, namun hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Termasuk di dalamnya, dan yang terutama, ialah soal transparansi dan akuntabilitas. Kedua hal ini, transparansi dan akuntabilitas, adalah sesuatu yang harus aktif dilaksanakan atau bahkan harus aktif ditumbuhkan dan diperjuangkan, sehingga dapat terwujud. Transparansi dan akuntabilitas bukan cuma untuk dicantumkan sebagai mata program dalam uraian tugas dan fungsi belaka. Selain itu, harus diingat bahwa kedua unsur good governance tersebut bersifat imperatif, keharusan normatif yang bukan sekadar berupa kebajikan atau moralitas yang volunteer, yang dilakukan secara suka rela saja. Untuk memudahkan memahaminya, dapat dibandingkan dengan kewajiban untuk membayar pajak, dimana wajib pajak yaitu warga negara yang memiliki potensi penghasilan ekonomi memerlukan kepatuhan dengan dipaksa, enforced compliance. Polisi bukan cuma bagian dari kehidupan nyata dalam masyarakat, seperti organisasi bisnis yang karena kepentingannya selalu harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dan berusaha agar selamat dan tetap unggul. Bukan cuma itu. Polisi adalah unsur normatif, sebagai bagian dari penegakan hukum yang berurusan dengan apa yang ―harus,‖ sebagai agen dari usaha pembentukan kehidupan masyarakat yang ideal, bagian dari konsep law as tool of social engineering. Hukum positif yang punya kekuatan memaksa bisa digunakan untuk membentuk dan menegakkan nilai-nilai tertentu serta sikap dan perangai yang dianggap baik dalam masyarakat. Sebaliknya, polisi juga merupakan subyek dari konsep itu sendiri, yaitu direkayasa ke arah yang ideal dengan paksaan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi. Itulah yang membuat transparansi dan akuntabilitas menjadi, dan dijadikan sesuatu yang imperatif sifatnya suatu keharusan bagi polisi. Peraturan itu bisa dibuat sendiri oleh Polri, di mana Polri mengikatkan diri untuk mematuhi – a self-imposed regulation. Perubahan mind set dan culture set yang diperlukan untuk reformasi bisa didorong oleh penyelenggaraan peraturan yang bersifat memaksa itu.

Page 55: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

55 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Dengan transparansi, kesalahan-kesalahan bisa dicegah. Dengan akuntabilitas, kesalahan bisa diperbaiki dan sanksi dijatuhkan pada yang melanggar dan yang bertanggungjawab. Keharusan untuk transparan dan akuntabel adalah agar kontrol terhadap kekuasaan bisa dilakukan. Polisi berkuasa dan diberi wewenang untuk menjalankan fungsinya, sehingga juga perlu dikontrol. Sama seperti petugas pajak yang diberi kekuasaan untuk memungut dan mengumpulkan pembayaran pajak – juga perlu dikontrol agar tidak melakukan penyelewengan. Transparansi dan akuntabilitas punya arah, yaitu ditetapkan oleh letak sumber hak dan kekuasaan dari mana asal mandat kepada aparatur pemerintah itu diperoleh. Pada sistem otoriter atau kekuasaan absolut, akuntabilitas hanyalah kepada atasan, yang dianggap sebagai sumber kekuasaan. Di zaman monarki absolut, raja merasa jadi titik tertinggi dari mana otoritas diturunkan kebawah. Tanggung jawab hanya kepada Dewata di atas, bukan pada sesama manusia atau rakyat, karena raja dianggap mendapat wahyu kekuasaan dari langit, mandate from heaven. Dalam sistem demokrasi, sumber hak adalah rakyat yang berdaulat. Rakyat adalah prinsipal, pemegang saham paling hulu dari negara, titik awal dari hak dan kekuasaan. Pemerintah adalah alat yang mendapat delegasi, yang dilimpahi wewenang untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Penggunaan kekuasaan harus dipertanggungjawabkan oleh yang menerima kepada yang memberi mandat. Karena itu transparansi dan akuntabilitas di masa sekarang dengan sistem demokrasi, jelaslah harus ditujukan kepada dan untuk publik, untuk rakyat. Sebaliknya, bila wewenang alat negara dijalankan tanpa akuntabilitas publik, maka itu menunjukkan bahwa yang berlaku adalah sistem otoriter. Akuntabel berarti bahwa setiap tindakan dan kebijakan yang ditempuh selalu bisa dijelaskan dasarnya dan dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Artinya, tindakan yang diambil adalah sah sepanjang memenuhi asas-asas (1) selalu punya dasar hukum dan dengan tata cara yang sesuai peraturan yang berlaku; (2) tindakan dilakukan dan keputusan diambil hanya oleh pejabat yang berhak dan diberi wewenang untuk itu; (3) tindakan harus bertujuan baik, jelas maksud dan manfaatnya. Akuntabilitas juga mencakup segi kepantasan, etika, dan mempertimbangkan rasa keadilan. Yang penting untuk tidak dilupakan ialah bahwa setiap tindakan yang tidak memenuhi syarat-syarat akuntabilitas tersebut akan mengakibatkan pejabat yang melakukannya dijatuhi sanksi yang sepadan dengan kelalaian dan kesalahannya. Tiada akuntabilitas tanpa tanggung jawab, dan tiada tanggung jawab tanpa ada sanksi. Sedangkan akuntabilitas suatu tindakan tidak bisa diukur tanpa dimungkinkan untuk melihat, mengamati, dan mengawasinya. Karena itu, keterbukaan dan transparansi diperlukan. Secara sederhana transparansi berarti tembus pandang. Maksudnya, dari luar bisa terlihat dengan terang segala sesuatu yang terjadi di dalam, dengan

Page 56: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

56 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

menembus batas atau sekat yang ada antara luar dan dalam. Transparansi Polri dengan demikian membuka akses bagi masyarakat untuk mengetahui semua fakta dan data yang ada di dalam Polri – tentunya sepanjang tidak mengenai kerahasiaan untuk proses kepolisian yang memang perlu dilakukan secara tertutup – agar bisa memberi kontribusi maupun kritik atas kinerja polisi sebagai salah satu lembaga yang mengemban fungsi kekuasaan pemerintahan. Bagaimana masyarakat bisa membedakan apakah praktik kotor atau prinsip clean government yang sedang berlangsung bila tidak ada transparansi? Polri harus menempatkan dirinya sedemikian rupa sehingga tidak ada yang luput dari observasi masyarakat, baik langsung atau melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam hal ini, seperti halnya dengan akuntabilitas, transparansi juga bersifat imperatif bagi polisi. Polri seakan-akan ditempatkan di dalam sebuah ―panopticon,” yaitu suatu bangunan sirkular dengan arsitektur sedemikian rupa, berdinding gelas, sehingga semua gerak-gerik penghuni didalamnya bisa terus menerus diawasi dari segala arah setiap saat (diilhami gagasan penjara oleh Jeremy Bentham, abad 18). Polisi, dengan demikian adalah pengawas masyarakat yang harus mau diawasi oleh yang mengawasinya. Transparansi akan menemukan arti yang sebenarnya dengan cara ini. Kehendak untuk menjalankan transparansi dan akuntabilitas, serta reformasi birokrasi pada umumnya, masih harus diwujudkan secara nyata. Cara untuk konkretisasi ialah dengan menyusun program khusus untuk itu. Melaksanakan reformasi benar-benar merupakan sebuah langkah besar. Tidak mungkin rasanya untuk melaksanakan program reformasi hanya dengan pidato dan retorika yang baik disertai dengan ―trick‖ public relation atau image building saja melalui iklan ke masyarakat. Reformasi itu tidak dapat dilakukan secara apa adanya, sebagai kegiatan sampingan dan sekadar menyerahkan kepada unit-unit fungsional yang sudah ada. Polri telah merumuskan rancangan paradigma baru Polri dengan reformasi yang akan dilaksanakan secara bertahap, terencana, dan gradual. Memang itu tidak salah. Sebagian sudah bisa dilihat hasilnya. Kendatipun begitu, harus dijaga agar pengertian dan implementasi reformasi gradual itu tidak disamakan maksudnya dengan reformasi parsial dan insidental saja. Kalau hanya parsial dan insidental, biasanya akan gagal. Selain program khusus, kesungguhan untuk menjalankan reformasi pertama-tama akan tercermin dari struktur organisasi Polri. Itu bisa diuji dengan memeriksa apakah misalnya sudah ada bagian yang sengaja didirikan untuk menyongsong tugas sebagai semacam pusat pengendalian reformasi? Kalau belum, maka suatu departemen, atau pusat, atau setidak-tidaknya tim yang berkedudukan cukup tinggi dengan wewenang yang juga cukup besar, perlu dibentuk secara khusus untuk jadi motor penggerak reformasi dalam Polri.

Page 57: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

57 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Dalam unit atau tim khusus reformasi birokrasi disusun semua program, yang merupakan peningkatan dari pemahaman tentang ―apa‖ yang dimaksud dengan reformasi menjadi soal ―bagaimana‖ menyelenggarakan reformasi itu. Rancangan tentang penataan organisasi, penyempurnaan proses tata kerja, manajemen sumber daya manusia, dibuat dalam konteks reformasi birokrasi. Di sini juga disusun, khususnya dalam rangka transparansi dan akuntabilitas, perbaikan prosedur operasi standar, tata cara komunikasi, sistem pelaporan, dan peraturan-peraturan disipliner lain. Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas juga perlu untuk menilai kesungguhan reformasi itu dengan introspeksi, apakah dalam struktur Polri, di semua tingkatan, sudah ada bagian inspektorat atau internal affairs department yang berwenang melakukan penertiban pada disiplin polisi, yang sekaligus berfungsi menampung pengaduan dan keluhan masyarakat. Bila ada, seberapa banyak, dan apakah inspektorat itu diberi posisi dan mendapat peran penting atau tidak. Akhirnya, dengan adanya tim khusus reformasi birokrasi, yang tahu tugas apa yang

harus dikerjakan dan tantangan apa yang dihadapinya, dan dengan generasi perwira

muda yang berpotensi menjadi tenaga-tenaga pionir yang lebih responsif mendukung

reformasi, khususnya yang mempunyai pemahaman penuh dan kesadaran akan

keharusan transparansi dan akuntabilitas, dengan ditambah komitmen dan konsistensi

pemimpin tertinggi Polri, diharapkan dalam tahapan Trust Building yang sedang

bergulir ini dalam kerangka Grand Strategi Polri 2005-2025 bisa berlanjut sampai

sasarannya benar-benar tercapai.

Page 58: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

58 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

BAB 5 MEMBANGKITKAN KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP POLRI

Di Indonesia, polisi memegang peran sentral dalam masyarakat. Sebagaimana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 dalam BAB II Pasal 6 Ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kendati Polri memiliki slogan yang berbunyi ―Melindungi dan Mengayomi Masyarakat‖, namun berdasarkan Global Corruption Barometer (GBC) 2007, citra organisasi ini dipersepsikan kian luntur di mata publik. Munculnya kasus Cicak vs Buaya pada tahun 2009 merupakan timbunan rasa ketidakpuasan serta rasa ketidakpercayaan terhadap bagian administrasi publik lembaga penegakan hukum di Indonesia. Sejak itu, isu tentang kepercayaan publik (public trust) di Indonesia merebak dan terus menjadi sorotan banyak pihak. Sorotan mengenai kepercayaan publik pada awalnya memang seolah hanya tertuju pada kinerja pelayanan para petinggi negara saja. Tetapi dalam perkembangannya, ternyata perhatian mengenai hal itu juga merambah pada kepentingan korporasi. Persoalan ketidakpuasan serta rasa ketidakpercayaan terhadap Polri kembali mencuat diawal 2014, dengan munculnya kekisruhan antara KPK dengan Polri. Hal ini semakin menempatkan persoalan ketidakpercayaan publik terhadap Polri semakin bertambah dan berada di titik nadir. Secara tidak langsung juga menegaskan bahwa pencapaian program trust building yang diusung Polri dianggap gagal. Walaupun setiap tahun anggaran yang diterima Polri rata-rata mengalami peningkatan namun kinerja kepolisian masih sering dikeluhkan. Sebagai contoh pada tahun 2009 kinerja kepolisian menduduki peringkat pertama yang paling dikeluhkan masyarakat berdasarkan laporan akhir tahun yang dirilis Ombudsman. Dari 1244 laporan masyarakat mengenai kurangnya kinerja institusi negara yang masuk Ombudsman, sebanyak 30,73% ditujukan pada kinerja kepolisian. Namun demikian juga terdapat beberapa perbaikan dalam sistem perekrutan anggota kepolisian yang lebih transparan dan objektif. Perbaikan terhadap pelayanan publik seperti mobil SIM keliling juga sudah dapat dinikmati masyarakat di beberapa daerah. Banyak faktor yang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Survei opini publik yang dilaksanakan Lembaga Survei Indonesia (LSI) 10-12 Oktober 2010 misalnya menunjukkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dinilai publik memiliki nilai integritas yang buruk. Kepolisian dianggap masyarakat tidak mampu mencegah aparatnya dari tindakan korupsi dan dari tekanan atau suap oleh kelompok

Page 59: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

59 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

kepentingan dalam masyarakat. Dibanding kejaksaan dan pengadilan, kepolisian mendapat nilai terburuk dari sisi integritas. Survei Integritas Publik 2010 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan hasil serupa.8 KPK Mengambil sampel di 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertikal, dan 22 pemerintah kota, jajak pendapat KPK menemukan bahwa pelayanan di kepolisian – dan Kementerian Hukum dan HAM—masih buruk. Layanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dianggap layanan kepolisian yang rentan korupsi. Jika mendapat skors rendah, berarti pemberian layanan publik masih diwarnai korupsi. Komisi Hukum Nasional (KHN) juga melakukan penelitian khusus dalam bentuk ―Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian‖. KHN menyimpulkan reformasi kepolisian yang sudah berlangsung sejak 1999 belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat. Laporan pengaduan yang diteliti KHN menunjukkan layanan bagian reserse paling banyak dikeluhkan masyarakat. Mengambil metode penelitian yuridis empiris, KHN juga menyimpulkan kepolisian mengalami krisis kepemimpinan. Memang tidak semua hasil penelitian atau jajak pendapat tersebut memberi persepsi buruk terhadap kepolisian. Riset yang dilakukan Markplus Insight dengan melibatkan 1.800 orang dari lingkungan 14 Polda menyimpulkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan Polri sudah mencapai 54,33 persen. Layanan reserse dan divisi lalu lintas memang memiliki prosentase lebih rendah dibanding pelayanan bidang samapta dan regident. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Staf Ahli Kapolri bekerjasama dengan Biro Litbang dan Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 17 – 22 Januari 2010. Dengan responden sebanyak 10.400 orang yang tersebar di wilayah 9 Polda, riset tersebut menunjukkan persepsi positif masyarakat terhadap layanan polisi. Nilai rata-rata transparansi pelayanan Polri kepada masyarakat sudah mencapai 57,11 persen. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan Polri malah sudah mencapai 66,58 persen. Pelayanan reserse kriminal dan lalu lintas lagi-lagi mendapat skor terendah dibanding Intelkam, Samapta, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam diskusi KHN, Irjen Pol Purnawirawan Ahwil Lutan, tidak menampik beragamnya pandangan masyarakat terhadap reformasi. Menurut Ahwil Lutan, ekspektasi masyarakat begitu besar terhadap hasil reformasi kepolisian. Sementara kepolisian menginginkan reformasi berjalan gradual dan bertahap. Akibatnya, ada gap antara ekspektasi dengan pelaksanaan di lapangan.

8 Tingkat validitas hasil survei ini sempat dipertanyakan oleh Polri.

Page 60: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

60 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Reformasi Birokrasi Polri tetap merujuk pada Grand Strategy 2005-2025. Pada lima tahun pertama, Polri berusaha melakukan berbagai hal untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat (trust building). Periode 2011-2015 Polri menekankan pada kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka penegakan hukum, ketertiban, serta pelayanan, perlindungan, dan pengayoman untuk menciptakan rasa aman. Barulah pada periode ketiga, 2016-2025 Polri membangun pelayanan publik yang prima. Reformasi jangka panjang bukan saja bertujuan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Menurut Ahwil Lutan, reformasi ke dalam institusi Polri berusaha melahirkan polisi yang profesional, bermoral, modern, dan dipercaya masyarakat. Dalam Buku Biru Kepolisian telah memuat strategi besar reformasi Polri hingga 2025 mendatang, dimana kepercayaan publik merupakan salah satu yang hendak dicapai. Munculnya persepsi negatif publik terhadap kinerja polisi dapat berkontribusi pada menurunnya efektifitas peran aparat kepolisian, meningkatnya tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat, serta menurunnya kepercayaan publik terhadap kinerja polisi.

Temuan lain yang menunjukkan kesan lunturnya citra organisasi Polri berdasarkan survey Global Corruption Barometer (2007), survei tersebut menunjukkan pada tahun 2005 indeks korupsi Polri mencapai angka 4,0; tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 4,2; tahun 2007 indeks korupsi Polri masih menetap diangka 4,2; dari skala penilaian tertinggi 5,0. Semakin tinggi indeks, semakin organisasi tersebut dipersepsikan koruptif. Tingginya indeks kepolisian di Indonesia dalam Global Corruption Barometer (GBC) 2007 menunjukkan buruknya citra institusi ini di mata publik. Selanjutnya, korupsi yang terjadi di manajemen personalia Polri, saat berlangsung perekrutan, mulai dari promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis (Sinaga dalam Tranparency Internasional Indonesia, 2007).

Penyimpangan yang dilakukan oleh oknum polisi yang tidak bertanggungjawab tersebut membekas di hati masyarakat. Sehingga menimbulkan sikap negatif masyarakat terhadap institusi Polri. Menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis dalam Media Indonesia (2012), buruknya persepsi publik bukan hanya diakibatkan lambannya penanganan kasus-kasus besar oleh penegak hukum, tetapi juga disebabkan munculnya kasus-kasus yang menyakiti rasa keadilan masyarakat. Maraknya penyalahgunaan kekuasaan termasuk yang ditujukan untuk memperkaya diri sendiri tidak terbantahkan merupakan bukti adanya target-target menyimpang yang ingin dicapai oleh masing-masing oknum Polri. Target-target tersebut bukan merupakan sasaran kerja formal apalagi indikator kinerja kunci yang harus dicapai oleh para personil Polri. Atas dasar itu, kendati seluruh Polri sudah bersumpah dan berjanji menjadi anggota Polri dengan kewajiban mencapai kesuksesan yang sesuai dengan

Page 61: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

61 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

pranata organisasi Polri, namun pada kenyataannya masih saja terdapat ―indikator-indikator keberhasilan‖ yang walaupun tidak resmi, namun justru menjadi sasaran utama sebagian personel Polri untuk memperkaya diri sendiri. Hasil jajak pendapat KOMPAS pada pertengahan Januari 2015, mengungkapkan dua sisi persepsi publik terhadap peran Polri. Di satu sisi, peran Polri sebagai institusi penegakan hukum masih dinilai minor oleh publik. Di sisi lain, perannya mengayomi dan melayani masyarakat masih diapresiasi positif oleh publik. Bagi masyarakat, peran penegakan hukum Polri belum benar-benar dirasakan. Pencermatan terhadap setiap hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang lima tahun terakhir menunjukkan ekspresi ketidakpuasan publik lebih mengemuka ketimbang apresiasi positif. Penilaian tersebut terutama terhadap kinerja kepolisian dalam memberantas korupsi dan menangani kasus-kasus yang melibatkan orang penting atau penguasa. Hasil jajak pendapat pun setali tiga uang. Enam dari 10 responden mengaku tidak puas terhadap kinerja kepolisian dalam penegakan hukum, sementara hanya sepertiga bagian responden yang mengaku puas. Jika mencermati tingkat pendidikan responden, ketidakpuasan terhadap penegakan hukum oleh Polri banyak disuarakan kalangan berpendidikan tinggi. Dalam kalangan tersebut, dua dari tiga responden mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap kinerja Polri dalam menegakkan hukum. Penilaian negatif tersebut didasari oleh persepsi tentang bagaimana aparat Polri memproses kasus-kasus hukum di masyarakat. Enam dari sepuluh responden jajak pendapat menyatakan, jika berurusan hukum dengan polisi cenderung memakan waktu lama dan berbelit-belit. Lebih dari separuh bagian responden menambahkan bahwa aparat kepolisian sangat mudah disuap. Bahkan, 71,4 persen responden menyatakan secara lugas bahwa aparat kepolisian masih bersikap diskriminatif dalam menegakkan hukum. Sikap diskriminatif ditunjukkan dengan cara enggan menindak pelaku kejahatan yang berasal dari kalangan pejabat atau penguasa. Masih buramnya kondisi penegakan hukum oleh Polri tak hanya disuarakan oleh masyarakat. Survei Global Corruption Barometer (GBC) tahun 2013 oleh Transparency International (TI) menyebutkan, Polri menempati peringkat pertama sebagai lembaga paling korup, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Berdasarkan survei itu, Polri memperoleh skala 4,5 dengan skala nol berarti bersih sampai lima menunjukkan korupsi akut dan endemik. Skala mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap upaya institusi Polri membersihkan kasus-kasus pelanggaran hukum dan korupsi di internalnya. Kasus korupsi Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo menunjukkan dua hal. Pertama, korupsi dipraktikkan mulai dari tingkat bawah hingga pucuk

Page 62: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

62 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

pimpinan Polri. Kedua, belum tampak upaya kuat memberantas korupsi di internal kepolisian sendiri. Publik melihat bagaimana terjadi tarik- menarik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika proses penegakan hukum terhadap Djoko Susilo berlangsung. Di tengah penilaian miring terhadap kinerja Polri, sebagian responden masih menilai positif kinerja Polri di beberapa bidang. Prestasi paling menonjol yang disampaikan publik terkait kinerja kepolisian adalah penanganan terorisme dan kasus narkoba. Selama ini, kepolisian menempatkan terorisme dan narkoba sebagai perkara luar biasa yang ditangani secara khusus. Untuk menangani kasus terorisme, Polri membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan untuk kasus narkoba dibentuk Direktorat Tindak Pidana Narkoba. Satu dari tiga responden menyampaikan prestasi Polri yang paling menonjol adalah menangani kasus terorisme dan narkoba. Kasus terakhir adalah mengendus lima tersangka terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, yang ditangkap di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Satu dari tersangka teroris tewas ditembak karena melawan dan melarikan diri. Sementara kasus narkoba adalah penangkapan musisi Fariz RM saat mengonsumsi ganja dan mengantongi satu paket heroin. Prestasi lain adalah hadir di tengah masyarakat. Kehadiran polisi membuat rakyat merasa lebih aman, terutama di tempat keramaian dan lokasi unjuk rasa atau tawuran. Publik mengapresiasi positif langkah Polri memelihara ketertiban dan melayani masyarakat. Hal itu tak bisa lepas dari upaya pendekatan sipil Polri kepada masyarakat. Alhasil, citra Polri sebagai institusi menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat berdasarkan hasil jajak pendapat KOMPAS kali ini meningkat. Lebih separuh responden mengapresiasi kehadiran Polri di sekitar masyarakat, naik dari beberapa kali pengumpulan pendapat yang dilakukan KOMPAS. Begitu pula dengan keberhasilan Polri menumpas terorisme, menangkap pengedar narkoba, serta menjadi pengayom dan pelayan masyarakat semestinya juga diterapkan dalam menegakkan hukum. Harapan publik pun membuncah terhadap figur ideal Kepala Polri dalam proses suksesi yang tengah berlangsung. Dalam pandangan publik, figur kepemimpinan yang ideal menjadi syarat mutlak. Responden menilai sosok berintegritas, jujur, tegas, berwibawa, berani, dan mengayomi masyarakat menjadi syarat mutlak calon Kepala Polri mendatang. Publik juga mengharapkan calon Kepala Polri adalah sosok yang bebas dari masalah hukum, terutama korupsi. Demi kewibawaan institusi Polri, mayoritas responden (86,5 persen) berpendapat, pengusulan calon Kepala Polri harus melibatkan KPK dan Pusat

Page 63: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

63 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mendapatkan sosok dengan rekam jejak bersih dari kasus korupsi.

Upaya Bangkit Dari Keterpurukan Membangun kepercayaan publik terhadap Polri memang tak bisa dipisahkan dengan lembaga penegak hukum lain. Sebab, seringkali persepsi negatif publik mengerucut pada keterlibatan polisi dalam proses penegakan hukum. Misalnya mulai dari kasus rekayasa BAP kasus narkoba hingga keterlibatan aparat penyidik dalam merekayasa kasus. Pada awal reformasinya, struktur Polri telah berubah sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010. Akan tetapi, perubahan struktur itu belum menjamin kultur masing-masing anggota polisi berubah. KHN mencatat respons kepolisian dengan membuat sejumlah aturan internal untuk menghindari penyimpangan tugas, juga sudah ditetapkan sejak tahun 2007. Namun itu pun masih belum cukup. Karakteristik kepercayaan publik pada saat ini merupakan sesuatu yang sangat rentan dengan perubahan. Selain itu, karakteristik kepercayaan publik adalah risiko, karena tidak mudah diprediksikan, penuh ketidakpastian dan penuh ketidakjelasan (abstrak).

Page 64: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

64 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Karakteristik kepercayaan publik juga sekaligus merupakan harapan, yakni harapan-harapan yang positif, bisa mensejahterakan dan bisa membahagiakan masyarakat.9 Dalam mengelola kepercayaan publik, akan terjadi suatu proses dinamis yang membutuhkan keteladanan dari para pemimpinnya terutama dalam memegang janji dan perilaku konsisten yang diembannya. Selain itu, juga diperlukan suatu kesungguhan dari seluruh anggota polisi untuk menerapkan aturan pelaksanaan tugas dengan sepenuh hati dan sesuai dengan prosedur. Karena lambat laut, tingkat kepercayaan publik akan dapat tumbuh. Selain itu, juga harus diimbangi dengan langkah Polri menyaring sumberdaya manusia melalui sistem dan persyaratan yang ketat. Sistem penerimaan yang kolutif harus dikikis habis, dan yang tak kalah pentingnya, penegakan hukum terhadap anggota yang bersalah harus dilakukan secara konsisten dan berimbang. Untuk menggagas tentang kepercayaan publik pada prinsipnya dapat dimulai dengan mempertanyakan kembali atas janji yang pernah diungkapkan oleh seseorang atau suatu komitmen yang dibangun oleh institusi. Hal ini merupakan wujud konsistensi yang dapat dilihat oleh publik sebagai perilaku bertanggungjawab terhadap sebuah janji. Karena hal tersebut dapat menjadi pegangan dasar bagi seorang pengambil keputusan dalam menata dan mengalokasi sumberdaya secara optimal untuk mewujudkan janjinya. Pendekatan yang berorientasi pada hasil (output) sebagai ukuran capaian kinerja yang terukur dengan standar fisik jelas tidak bisa sepenuhnya mengakomodasi kepentingan masyarakat yang menempatkan kualitas proses sebagai penentu dalam membangun interaksi antar sub-sistem untuk mewujudkan kepercayaan publik. Padahal, kalau dicermati lebih jauh, pendekatan output dan proses itu pada dasarnya tidak saling meniadakan tetapi justru saling melengkapi. Argumen yang dikemukakan oleh Mesquita (2007) yang dipublikasikan dalam Academy of Management Review, Vol. 32., No.1 memperkuat proposisi bahwa pendekatan terintegratif kini dibutuhkan untuk dapat memahami kompleksitas dan dinamika membangun kepercayaan publik.10

9 Prof Agus Suryono: Demokrasi Tak Mampu Kembalikan Kepercayaan Publik, 27 Maret 2008, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Prof-Agus-Suryono-Demokrasi-Tak-Mampu-Kembalikan-Kepercayaan-Publik-5013-id.html 10 Membangun Kepercayaan Publik, http://mm.feb.ugm.ac.id/index.php/en/management-thought-index/2916-

Page 65: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

65 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

BAB 6 PENUTUP

Polri merupakan institusi pemerintahan yang mengemban fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari fungsi tersebut sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Polri senantiasa memperbaiki diri dalam hal penampilan organisasinya yang meliputi aspek kultural, struktural dan instrumental. Tuntutan adanya perubahan ini mengacu dari keadaan perubahan dinamika masyarakat yang cenderung semakin kompleks dan kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, perubahan tersebut secara otomatis juga membentuk corak perilaku organisasi Polri untuk dapat seiring dan sejalan dengan keinginan yang diharapkan oleh masyarakat. Dalam proses membangun dirinya tersebut, juga harus selalu selaras dengan agenda pembangunan nasional yang memuat Visi, Misi, Strategi Pokok Pembangunan, Kebijakan dan Sasaran serta Program dan Kegiatan. Namun pada kenyataannya perilaku personil Polri sendiri masih banyak yang tidak menggambarkan dirinya selaku pelindung dan pengayom masyarakat. Polri merupakan institusi atau organisasi pemerintahan yang bergerak di bidang pelayanan publik. Oleh sebab itu, penilaian kinerja polisi yang sukses secara objektif dilakukan oleh publik. Sebagai petugas penegakan hukum, polisi diberi pelatihan agar selalu dapat mengendalikan situasi dan dapat mengendalikan emosi ketika berhadapan dengan publik (Corey dalam Howitt, 2012). Selye dkk. (dalam Myendeki, 2008) menjelaskan bahwa bekerja sebagai anggota kepolisian dipandang memiliki tekanan kerja yang tinggi dan memiliki tingkat risiko kerja yang tinggi. Keterbukaan terhadap opini publik mengenai kualitas kinerja polisi menciptakan tekanan tambahan. Menurut Cherniss (dalam Moore & Braga 2003), hal tersebut dikarenakan para personel polisi memiliki keterlibatan langsung dengan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat menilai bahwa personel polisi memiliki tanggungjawab kerja terhadap kepentingan publik. Sejak pemisahan Polri dari TNI hingga perjalanannya diakhir tahun 2014 telah banyak mengalami perubahan dan guncangan. Sorotan publik terhadap Polri semakin mengerucut pada tuntutan perubahan signifikan baik pada institusi hingga perilaku anggota Polri sehari-hari. Guncangan kinerja Polri seolah menjadi tidak terpisahkan dengan dinamika politik bangsa, akibatnya, kebutuhan sikap kerja profesional seolah tidak cukup menjawab tuntutan tersebut.

Page 66: Naskah Akademik Renstra Polri 2015 2019srena-polri.com/upload/DOC-260-Naskah Akademik Renstra Polri FULL.pdf · Ruang pembentukan citra Polri dan dokumen ... Penetapan Polda sebagai

66 | P a g e – N A S K A H A K A D E M I K R E N S T R A P O L R I 2 0 1 5 - 2 0 1 9

Ke depan, Polri masih akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan cobaan, karena begitu besarnya tugas yang diemban oleh Polri. Begitu besarnya institusi Polri dengan sejumlah kewenangan yang melekat dan harus dijalankan. Namun dipandang oleh sebagian publik bahwa kinerja Polri masih kurang memuaskan, belum lagi pandangan terhadap tingkat kesejahteraan masih merupakan tema sentral yang menaungi persoalan-persoalan seputar kinerja Polri. Polri sebagai institusi negara, setiap tahun melakukan serangkaian perencanaan yang disusun dan dijalankan. Perencanaan dengan target-target pencapaian menjadi ukuran yang akan diraih. Namun, serangkaian catatan menunjukan bahwa tingkat pencapaian tertentu menjadi hilang hanya karena ulah segelintir oknum, namun publik melihatnya sebagai kegagalan institusional.