MPS ERLIN

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45- 46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau

Transcript of MPS ERLIN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi

pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan

masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang

didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut

lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan

bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran

masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa

masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Novel merupakan

salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut

Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik

mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan

situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya.

Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang

sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi

dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya. Sketsa

kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya,

karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya

sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa

dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh

hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63),

karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada

mempengaruhinya.

Sastra pada umumnya menampilkan gambaran kehidupan sosial tertentu. Kenyataan

sosial yang ditampilkan oleh pengarang dalam karyanya dapat merubah nili-nilai kehidupan

pembaca. Dalam fungsi ini Sarwadi (1974:2) menyatakan bahwa sastra dapat dijadikan sarana

kritik sosial.

Morte Parmi Les Vivants merupakan sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata karya

Fredoune Sahebjam menampilkan gambaran kehidupan sosial mengenai penyiksaan dan

pelecehan terhadap wanita. Novel ini banyak membicarakan tentang ketimpangan sosial.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengambil judul “Ketidak Adilan

Gender” dalam Novel Morte Parmi Les Vivants Karya Freidoune Sahebjam:”. Hal ini

dikarenakan, bahwa novel tersebut menunjukkan adanya penggambaran kekerasan terhadap

perempuan. Usaha mengkaji Morte Parmi Les Vivants untuk mengungkap terjadinya kekerasan

terhadap perempuan.

1.2 Identifikasi Masalah

Setelah membaca Novel Morte Parmi Les Vivants Karya Freidoune Sahebjam, penulis

menemukan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Latar Sosial Masyarakat di Afganistan

2. Latar Sosial Tokoh Utama

3. Isu Gender dalam Novel

4. Konflik yang melatar belakangi terjadinya ketidak adilan gender.

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis akan membatasi masalah yang akan dianalisis, penulis hanya

membahas mengenai :

1. Latar Sosial Tokoh Utama

2. Isu Gender dalam Novel

3. Konflik yang melatar belakangi terjadinya ketidak adilan gender.

1.4 Rumusan Masalah

Masalah yang akan digarap melalui penelitian ini terumuskan di bawah ini :

1. Bagaimana Latar kehidupan sosial Tokoh Utama pada novel “Jejak Luka Bilqis Karya

Freidoune Sahebjam” ?

2. Bagaimana isu gender digambarkan dalam novel “Jejak Luka Bilqis” Karya Maroune

Sahebjam.

3. Konflik apa saja kah yang melatar belakangi terjadinya ketidak adilan gender dalam

novel “Jejak Luka Bilqis” Karya Maroune Sahebjam.

1.5 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana Latar Sosial Tokoh Utama pada novel “Jejak Luka Bilqis”

Karya Maroune Sahebjam”

2. Untuk mengetahui gambaran isu gender yang terjadi dalam novel “Jejak Luka Bilqis”

Karya Maroune Sahebjam.

3. Untuk mengetahui konflik apa sajakah yang melatar belakangi ketidak adilan gender

dalam novel “Jejak Luka Bilqis” Karya Maroune Sahebjam.

1.6 Metodologi Penelitian

Dalam melakukan penelitian sebuah karya ilmiah, sangat diperlukan adanya sebuah

metode penelitian untuk membantu dalam proses penelitian. Dalam penyusunan penelitian ini,

penulis menggunakan metode yaitu, metode pengumpulan data yang dilakukan melalui

penelitian pustaka.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yaitu dengan

mengumpulkan data-data yang dapat mendukung didalam penulisan. Adapun data-data yang

dimaksud adalah data primer dan data sekunder yang terdiri atas:

1. Data Primer, adalah data yang menjadi sumber utama dalam penulisan ini yaitu Novel Jejak

Luka Bilqis Karya Maroune Sahebjam.

2. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lainnya yang relevan dengan

obyek penelitian seperti pencarian melalui beberapa buku dan situs internet. Data ini penulis

gunakan sebagai pendukung asumsi maupun kesimpulan pada tahapan analisis.

1.6.2 Metode Analisis

Setelah semua data yang diperlukan untuk melakukan pengkajian, penulis melakukan

pengkajian data dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Akhirnya setelah melewati

seluruh tahapan analisis tersebut, penulis akan menarik kesimpulan berdasarkan hubungan

asosiatif yang terdapat dalam novel tersebut.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Penokohan

Ahli sastra sering menyebut prosa dengan istilah fiksi, istilah fiksi dipergunakan untuk

menyebut karya sastra yang isinya perpaduan antara kenyataan dan imajinasi. Fiksi yang baik

menggambarkan kehidupan yang mengundang simpati pembaca, tanggapan pembaca, dan

mendidik moral pembaca. Seperti sebuah novel yang merupakan suatu totalitas mempunyai

bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan dengan yang lain secara erat dan saling

bergantung. Unsur-unsur inilah yang kemudian menjadi pembangun sebuah novel, yaitu unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik.Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-

unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstrinsik

adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra namun mempengaruhi kehadiran karya sastra

sebagai karya seni. Unsur ekstrinsik karya fiksi sebagai aspek yang berada di luar sastra seolah-

olah berpisah atau berdiri sendiri dan tidak memiliki kaitan dengan unsur intrinsik.Namun

sebenarnya antara unsur intrinsik dan ekstrinsik itu saling berhubungan tidak terlepas antara yang

satu dengan yang lain. Unsur ekstrinsik antara lain aspek historis yaitu kaitannya antara sastra

dan latar belakang sejarah, aspek sosiologis berkaitan antara sastra dengan masyarakat dalam

berinteraksi satu dengan yang lain, aspek psikologis yang berkaitan antara sastra dengan

kejiwaan manusia, aspek budaya yang berkaitan antara sastra dengan adat istiadat atau kebiasaan

yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, aspek agama/religius kaitannya dengan sastra sangat

erat karena keyakinan adanya nilai religius dalam karya sasrta sudah ada sejak lama, keyakinan

adanya nilai religius dalam karya sastra merupakan akibat logis dari kenyataan bahwa sastra dari

pengarang yang homoreligius (dalam skripsi Chairiah, 2010:19-20).

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa unsur pembangun novel

ada dua,yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut memiliki keterkaitan

antara yang satu dengan yang lain untuk menciptakan suatu karya sastra yang bernilai seni.

Struktur yang hendak dikaji dalam novel ini hanya akan dititikberatkan pada tokoh dan

penokohan.Tokoh dalam suatu cerita rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan

cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh

berperan membuat konflik dalam sebuah cerita rekaan (Wiyatmi, 2006: 30).Pembicaraan

mengenai penokohan dalam cerita rekaan memiliki keterkaitan dengan tokoh. Istilah‘tokoh’

menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau

karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas

tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Wiyatmi, 2006: 31).

Penokohan dapat juga dikatakan sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa

peran watak tokoh dalam suatu cerita. “Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Oleh

karena itu, tokohtokoh harus dihidupkan” (Wardani, 2009: 40). Berdasarkan uraian di atas, dapat

disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan

watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan. Penciptaan citra atau karakter ini merupakan

hasil imajinasi pengarang untuk dimunculkan dalam cerita sesuai dengan keadaan yang

diinginkan .

Penokohan dalam cerita dapat disajikan melalui dua metode, yaitu metode langsung

(analitik) dan metode tidak langsung (dramatik). Metode langsung (analitik) adalah teknik

pelukisan tokoh cerita yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang

memberikan komentar tentang tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, dan

ciri fisiknya. Metode tidak langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh

dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kepribadiannya masing-masing,

melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah

laku, sikap dan peristiwa yang terjadi (Wiyatmi, 2006:32). Setiap tokoh mempunyai wataknya

sendiri-sendiri.

Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini

berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu :

1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin,

keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.

2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan,

jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, sosial,

suku bangsa dan keturunan.

3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran moral,

temperamen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan keahlian khusus

(Wardani, 2009: 41).

2.2 Teori Gender

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan

Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak

antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies

Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat

perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara

laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam buku Sex and Gender yang

ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-

laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan

keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu

merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada

perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi

dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9)

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke

dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu,

Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender

sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender

sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. Epistimologi penelitian Gender secara

garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu;

fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari

asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori

tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori

fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-

karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para

ilmuwan yang lain.

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan

harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respon terhadap

ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial

secara cepat dianggap perubahan disfungsional. Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan

teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori

fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian,

keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales). System nilai

senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya

laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi

reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang

peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis

kelamin (sex). Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri

khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung

jawab keluarga dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.

Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan dan

pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial terjadi melalui preses dialektika, teori itu

berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling

memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.

Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak

disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation.

Engels memandang masyarakat primitiv lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal

adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya

pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki

peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki. Menurut Marxisme, penindasan perempuan

dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam

rumah tangga akan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan

yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya

produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh

murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak

kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi

kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88). Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins

tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi

pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan

antara anak dan orang tua, istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya. Dari teori-

teori diatas, berkembang dan melahirkan aliran-aliran Feminisme berikut ini: Feminisme Liberal,

Feminisme Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, Feminisme Teologis.

Pandangan para ahli psikologi mengenai gender adalah menyangkut karakteristik kepribadian

yang dimiliki oleh individu, yaitu maskulin, feminine, androgini dan tak terbedakan. Masing

masing karakteristik kepribadian gender tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang

mempengaruhi perilaku seseorang.

1. Konsep umum gender

The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995 gender adalah

pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya

kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu. Gender menurut Illich (1998) merupakan

satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan

pembedaan jenis kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan

diperlukan ketika kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda dalam bahasa

Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin dan netral. Secara

terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada di dalam masyarakat

“vernacular” (bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat-alat

produksi dan sebagainya). Secara konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap

pola hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih,

1997). Istilah gender berbeda dengan istilah sex atau jenis kelamin menunjuk pada perbedaan

laki-laki dan perempuan secara biologis (kodrat), gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari

sudut pandang sosial (interpensi sosial kultural), seperangkat peran seperti apa yang seharusnya

dan apa yang seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan (Mansur Fakih, 1996). Lips (1988),

Abbott (1992), Mosse (1996), membedakan kata sex sebagai(ciri- ciri biologis, fisik tertentu

jenis kelamin biologis) Sex merupakan pembagian 2 jenis kelamin manusia yang ditentukan

secara biologis (kodrat), individu dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.

dan gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial. Gender merupakan jenis

interpretasi sosio-kultural, seperangkat peran yang dikontruksi oleh masyarakat bagaimana

menjadi laki-laki (kuat, tegas, perkasa, kasar, dst) atau perempuan (taat, penurut, lemah, keibuan,

penuh kasih sayang). Perangkat perilaku khusus ini mencakup penampilan, pakaian, sikap,

kepribadian, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya.

2. Konsep Psikologi mengenai Gender

Gender (para psikolog) di definisikan sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki

dan perempuan (Sahrah, 1996). Suatu kepribadian dan perilaku yang dibedakan atas tipe

maskulin dan feminin (Whitley dan Bernard dalam Kuwato, 1992), seperangkat peran gender

tentang seperti apa seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan

oleh individu sebagai maskulin dan feminin (Santrock, 1998., Berry, dkk., 1999). Menurut

Sandra Bem (1981a), tokoh sentral psikologi gender, gender merupakan karakteristik

kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Bem (1981a)

mengelompokkannya menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan

takterbedakan. Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang

mempengaruhi perilaku seorang individu, individu dengan peran gender feminin misalnya

berbeda perilaku prososialnya dengan realitas kehidupan sosial bila dibandingkan dengan peran

gender maskulin, hal ini disebabkan karena individu dengan peran gender feminin memiliki

karakteristik seperti: hangat dalan hubungan interpersonal, suka berafiliasi, kompromistik,

sensitif terhadap keberadaan orang (Pendhazur dan Teenbaum, 1979), suka merasa kasihan,

senang pada kehidupan kelompok (Sahrah, 1996), sebaliknya maskulin, yaitu kurang hangat dan

kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan

dengan emosi (Bakan dalam Sahrah, 1996). Individu yang memiliki peran gender androgini

memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi dibandingkan dengan peran gender lainnya (Nuryoto,

1992). Setiap kebudayaan menurut Santrock (1998), dan Berry (1999) mendefinisikan peran

gender dari berbagai tugas, aktivitas, sifat kepribadian yang dianggapnya pantas bagi seorang

individu (laki-laki dan perempuan). Sebelum pertengahan tahun 70-an gender diartikan sebagai

suatu gambaran dari tingkah laku dan sikap-sikap yang secara umum telah disetujui seseorang

sebagai suatu yang maskulin atau feminine saja. Laki-laki diharapkan selalu mempunyai sifat

maskulin sedang perempuan mempunyai sifat feminin. Sedangkan Bem Sex Role Inventory

(BSRI) mengenalkan peran gender androgini.

3. Teori pembentukan peran gender

a. Teori biologis

Perbedaan peran gender ada hubungannya dengan aspek biologis, bahkan tidak lepas dari

pengaruh perbedaan biologis (sex) laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki-laki dan

perempuan adalah alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang

dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara laki-laki dan

perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotype peran gender antaara lakki-laki dan perempuan sulit

untuk dirubah. Perbedaan fisik antara laki-lakidan perempuan memberikan implikasi yang

signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya

dibanding laki-laki (Megawangi, 2001)

b. Teori cultural

Pembentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki-

laki dan perempuan, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak

mengakui adanya sifat alami peran gender (nature), tetapi yang ada adalah sifat peran gender

yang dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Teori ini membedakan antara

jenis kelamin (sex) konsep nature, dan gender konsep nurture. Sesuatu yang nature tidak dapat

berubah, sedangkan peran gender dapat diubah baik melalui budaya maupun dengan teknologi.

Pandangan teori ini dianut oleh sebagian besar feminis yang menginginkan transformasi sosial,

sehingga perbedaan atau dikotomi peran gender laki-laki dan perempuan dapat ditiadakan

(Megawangi, 2001)

c. Teori Freudian

Menurut teori ini, anak belajar tentang peran gender dari lingkungan sekitarnya, karena anak

mengidentifikasikan perlakuan orang tuanya. Anak laki-laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya

sehingga bagaimana perilaku seorang laki-laki. Demikian halnya anak perempuan yang belajar

dari ibunya. Proses pengidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan genital jenis kelamin.

d. Teori belajar sosial

Teori belajar sosial meletakkan sumber sex typing pada latihan membedakan jenis kelamin

dalam komunitas masyarakat, keutamaan dari teori ini adalah mengimplikasikan perkembangan

psikologi laki-laki dan perempuan mempunyai prinsip umum sama dengan proses belajar pada

umumnya. Jadi, jenis kelamin (seks) tidak dipertimbangkan istimewa; tidak ada mekanisme atau

proses psikologis khusus yang harus dipostulasikan dalam menjelaskan bagaimana anak-anak

menjadi sex typed. Karena telah termasuk penjelasan bagaimana anak-anak belajar perilaku

sosial yang lain. Teori ini memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha

mengorganisasikan & memahami dunia sosialnya.

e. Teori perkembangan koognitif

Individu sebagai organisme aktif, dinamis serta memiliki kemauan berpikir. Individu mampu

dan berhak membuat pertimbangan dan keputusan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya

sendiri. Sex typing mengikuti prinsip natural dan tidak dapat dihindari dari perkembangan

kognisi. Individu bekerja aktif memahami dunia sosial mereka, dan akan melakukan kategorisasi

terhadap dirinya sendiri (self-categorization) sebagai laki-laki dan perempuan. Dasar kategorisasi

diri ini yang menentukan penilaian dasar. Seorang laki-laki misalnya akan stabil

mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai objek-objek

yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten dengan

identitas jenis kelaminnya.

f. Teori skema gender

Teori ini (Bem, 1974), merupakan kombinasi dari teori belajar sosial dan teori

perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan sosial dan peran individu keduanya dipadukan

dalam pembentukan peran gender melalui skema gender. Teori skema gender berasumsi bahwa

sex typing adalah fenomena yang dipelajari, oleh karena itu dapat dihindari atau dimodifikasi.

Dengan demikian skema gender merupakan sejumlah persepsi (kognisi) dan proses belajar

individu terhadap atribut-atribut dan perilaku yang sesuai jenis kelaminnya atau menurut label

yang diberikan komunitas sosial atau kebudayaan kepadanya (Bem, 1981b). Dengan teori ini

dapat pula diketahui bahwa jenis kelamin tidak selalu berhubungan dengan peran gendernya.

Kebudayaanlah yang membuat gender yang menjadi kognisi penting di antara berbagai kategori

sosial yang ada (ras, etnik, dan religiusitas). Mayoritas kebudayaan mengajarkan perkembangan

individu yaitu: pertama, mengajarkan jaringan subtansi dari asosiasi-asosiasi yang dapat dilayani

sebagai skema kognisi; kedua, mengajarkan dikotomi tertentu tentang laki-laki dan perempuan

secara intensif dan ekstensif dalam setiap daerah pengalaman manusia. Manusia menunjukkan

pentingnya fungsi perbedaan gender sebagai dasar perbedaan adanya norma, tabu dan susunan

kelembagaan (Bem,1981a).

BAB III

ANALISIS DATA

3.1 Sinopsis Novel

Novel ini bercerita tentang seorang anak gadis yang bernama Bilqis, seorang anak yang

ditinggal mati oleh ayahnya dan tinggal bersama ibunya dan beberapa orang adik-adiknya, pada

masa ini di sebuah tempat terpelosok dimana si Bilqis menghabiskan waktunya bersama

keluarga dan juga bersama warga setempat, diwilayah ini telah terjadi wajib militer dan

mengharuskan ayah Bilqis harus patuh pada peratutan pemerintah. Sejak saat itu Ayah Bilqis

tidak terdengar lagi kabarnya, setahun kemudian di kampung itu kedatangan sekompi tentara

perdamain Soviet dan para tentara itu membangun kompi di kawasan kampung Bilqis, beberapa

bulan kemudian terjadilah sebuah peristiwa yang dimana dikampung itu menjadi sebuah aib

dan kehinaan yang luar biasa, si Bilqis diperkosa oleh beberapa orang tentara Soviet yang

hendak lewat disebuah sungai dimana si Bilqis sementara mencuci pakaian, kabar ini pun

terdengar oleh Ibu Bilqis, dan sejak saat itu dianggap hina oleh ibunya dikarenakan si Bilqis

adalah pembawa aib keluarga dan diperlakukan layaknya binatang oleh ibunya bahkan adik-

adiknyapun memperlakukan hal yang sama terhadap kakaknya si Bilqis. Dengan bantuan

tetangga Ibu Bilqis akhirnya menjual Bilqis kepada seorang pedagang disebuah kota yang tidak

terlalu jauh jaraknya dari desa Bilqis. Disitu si Bilqis bekerja sebagai penjaga toko dan tetap

saja Bilqis mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari seorang majikannya, dan dia pun

bertemu dengan seorang pemuda setempat dan berhasil membawa Bilqis untuk tinggal bersama

keluarga pemuda tersebut, setelah beberapa bulan pemuda itu mengetahui bahwa Bilqis adalah

korban pemerkosaan dan pemuda itu akhirnya memukul Bilqis tanpa alasan yang tepat dan si

Bilqis pun lari kesuatu tempat dimana di tempat itu dia tinggal bersama janda-janda korban

perang dan si Bilqis diperlakukan sangat baik oleh warga setempat dan bahkan dia dijodohkan

dengan anak wali kota setempat, tetapi karena si Bilqis takut ketahuan bahwa dia adalah

seorang korban pemerkosaan, Bilqispun melarikan diri kesebuah kota besar, Bilqispun

ditemukan oleh seorang polisi dari kota tersebut dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah

tangga dirumah saudara polisi tersebut, tetapi sang polisi mengetahui latar belakang Bilqis,

polisi itu akhirnya memperlakukan Bilqis sebagai pelampiasan nafsu polisi tersebut. Kemudian

polisi itu mempekerjakan Bilqis kesebuah tempat prostitusi, ditempat itu Bilqis bekerja sebagai

pemuas hasrat lelaki hidung belang. Begitulah kehidupan dari seorang Bilqis yang merasa

selalu mendapatkan ketidak adilan dan mendapatkan perlakuan baik secara fisik maupun

seksual, hingga akhirnya dia menjadi seorang perempuan yang baik karena selalu menafkahi

fakir miskin disekitarnya.

3.2 Adanya Ketidak Adilan Gender Dalam Cerita

Adapun bentuk-bentuk ketidak adilan gender dalam cerita :

1. Vassili menyambarnya dan mendekap kedadanya. Tak ada teriakan keluar dari mulut Bilqis.

Ia hanya pasrah dan memejamkan mata. “Tuhan Maafkan aku..” Vassili merebahkan diri

disamping Bilqis dan mencoba menarik roknya. Ia tak berhasil dan mulai marah, Belati

keluar dari kantong dan merobek rok berbunga milik Bilqis.

Analisis :

2. Bilqis diam dan membiarkannya terjadi. Seperti binatang kelaparan, laki-laki itu

melampiaskan nafsu dan mengembuskan napas puas. Sejak bebrapa bulan, ia merindukan

prempuan dan rumah bordil herat membuatnya muak. Ia mengerahkan semua kekuatannya,

semua keinginannya, penuh rasa frustasi sejak dikenakannya seragam militer.

“Serguei, apa yang kaulakukan ?” tiga tentara memerhatikannya dengan penuh

keingintahuan. Serguei berdiri dan memanggil teman-temannya. “sini, ada barang bagus!

Gadis ini pasrah, ia masih bocah!”

Tiga temannya menuruni tebing dengan cepat dan melihat Bilqis. Lalu, bergiliran, seperti

binatang, mereka menggagahi tubuh yang seakan-akan mati, dan memuaskan keinginan dan

fantasi mereka.

3. Kedua pembantu mewajibkannya untuk membantu mencuci dan memeras kain, membawa

keranjang atau mengganti air kolam. Ketika ia bekerja agak lambat, kepalanya dipukul atau

tak diberi makan. Ketika pekerjaannya tak sempurna, ia harus mengulanginya, sekalipun

malam telah larut, sampai majikannya puas.

4. Hamid menghujaninya dengan pukulan, menacakari wajahnya, menarik jilbabnya,

menyobek bajunya, dan membekapnya dengan bantal kursi hingga sesak napas.

5. Polisi itu memegang pinggang dan menarik Bilqis kepelukannya. Laki-laki itu membuka

jilbab Bilqis dan menahannya agar tak lari. Dan berbisik ditelinga Bilqis “Kau faeche, aku

tahu, kau sundal !! ia melepas kancing lagi dan berkata, “Aku datang kapanpun aku mau.

Perbuatan itu berlangsung berbulan-bulan. Polisis itu datang sekali atau dua kali.

6. Ia memukul Bilqis dengan keras dan menariknya. Tanpa menunggu perintah, Bilqis

membuka cadarnya, melepas sepatu, dan merebahkan diri. Setelah tenang, ia menodai Bilqis

seperti binatang buas.

BAB IV

KESIMPULAN

Setelah melihat dan menganalisa secara seksama data diatas, penulis merasa bahwa novel “Jejak

Luka Bilqis” karya Freidoune sahebjam sangat bernuansa ketidak adilan pada gender. Ini

dikarenakan dari berbagai latar kehidupan seorang perempuan yang selalu mendapatkan

perlakuan yang tidak manusiawi. Terkadang kehidupan sosial dari suatu wilayah berdampak

pada adanya kehidupan yang monoton dan tidak teratur. Keadilan seakan menjadi sebuah

tanggung jawab pribadi. Ketika kita membaca novel ini, kita akan terbawa suasana dimana rasa

ketidak manusiawian itu muncul terhadap perempuan sebagai mahluk yang lemah dan tak

berdaya.

. DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour, 1996, Analisa Gender & Transformasi Sosial.

Moore, Henrietta L. 1988 Feminism and Antropology, Cambridge, Polity Press.

Abdullah, I . (Ed). 1997. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat

penelitian kependudukan.

Baidhawy, Zakyuddin. (Ed). 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18102/3/Chapter%20II.pdf dikutip jam 15. 19 tanggal

15 Mei 2013

http://www.sarjanaku.com/2012/06/pengertian-gender-menurut-para-ahli.html dikutip jam 16. 05

tanggal 15 Mei 2013

Ketidak Adilan Gender Dalam cerpen “Jejak Luka Bilqis”

karya Freidoune Sahebjam

Oleh :

E R L I N

F 311 07 015

Jurusan Sastra Perancis Fakultas Sastra

Universitas HasanuddinMakassar

2013