2014 Lapsus TMJ MPS

33
BAB I PENDAHULUAN Menurut RDC/TMD (Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorder), kelainan sendi temporomandibula diklasifikasikan menjadi 3 kelompok. Kelainan otot termasuk dalam kelompok I, yaitu Muscle disorders. Muscle disorders terdiri dari (Ia) Myofascial pain dan (Ib) Myofascial pain with limited opening. Kelompok II merupakan kelompok diagnosis untuk Disc displacement, yang terdiri dari (IIa) Disc displacement with reduction, (IIb) Disc displacement without reduction with limited opening , dan (IIc) Disc displacement without reduction without limited opening. Kelompok III merupakan diagnosis untuk nyeri sendi dan arthrosis, yang terdiri dari (IIIa) Arthralgia, (IIIb) Osteoarthritis, dan (IIIc) Osteoarthrosis. 1 Pada makalah ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan kasus disc displacement with reduction yang disertai myofascial pain with limited opening dan arthralgia. 1

description

prostodonsia

Transcript of 2014 Lapsus TMJ MPS

BAB IPENDAHULUAN

Menurut RDC/TMD (Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorder), kelainan sendi temporomandibula diklasifikasikan menjadi 3 kelompok. Kelainan otot termasuk dalam kelompok I, yaitu Muscle disorders. Muscle disorders terdiri dari (Ia) Myofascial pain dan (Ib) Myofascial pain with limited opening. Kelompok II merupakan kelompok diagnosis untuk Disc displacement, yang terdiri dari (IIa) Disc displacement with reduction, (IIb) Disc displacement without reduction with limited opening, dan (IIc) Disc displacement without reduction without limited opening. Kelompok III merupakan diagnosis untuk nyeri sendi dan arthrosis, yang terdiri dari (IIIa) Arthralgia, (IIIb) Osteoarthritis, dan (IIIc) Osteoarthrosis.1 Pada makalah ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan kasus disc displacement with reduction yang disertai myofascial pain with limited opening dan arthralgia.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri miofasialDalam literatur dental, nyeri otot dengan atau tanpa pembukaan mulut terbatas umum disebut sebagai MPDS (Myofascial Pain Dysfunction Syndrome) dan kadang disebut sebagai MPS (Myofascial Pain Syndrome). MPS adalah gejala sensoris, motoris, dan autonom yang disebabkan oleh myofascial trigger point. Trigger point ini secara klinis didefinisikan sebagai daerah dengan hiperiritabilitas pada otot skeletal yang berkaitan dengan nodul hipersensitif yang dapat dipalpasi pada taut band. Daerah ini terasa nyeri jika ditekan dan dapat menimbulkan karakteristik nyeri rujukan (refered pain), refered tenderness, disfungsi motorik dan fenomena autonom.2 Myofascial pain cenderung tumpul, sulit dilokalisasi, dan dalam, bertolak belakang dengan nyeri gigi dan nyeri kutaneus yang dapat ditentukan lokasinya dengan pasti. Otot dapat merujuk rasa nyeri ke struktur somatic lain yang dalam, seperti fascia, sendi, viscera, dan otot lain. Secara klinis, nyeri rujukan ini dapat membingungkan banyak klinisi, karena seringkali pasien lebih mengeluhkan nyeri pada daerah nyeri rujukan dan bukan nyeri pada daerah trigger.2 Menurut Okeson (2013), walaupun myofascial pain diamati secara klinis sebagai trigger point dalam otot skeletal, kondisi ini tidak hanya berasal dari jaringan otot. Fakta mengindikasikan sistem saraf pusat memainkan peranan penting dalam penyebab kondisi rasa sakit ini. Kombinasi kedua faktor sentral dan perifer membuat kondisi ini lebih sulit untuk ditangani. Simons dan Travell telah mendeskripsikan faktor etiologi yang nampak berhubungan dengan myofascial pain. Sayangnya, karena kurangnya pemahaman mendalam mengenai kondisi rasa sakit miogen, sulit untuk mengetahui seluruh faktor etiologi spesifik myofascial pain. Kondisi berikut berhubungan secara klinis dengan myofascial pain:31) Nyeri otot lokal yang terus menerus. Otot yang mengalami nyeri otot berkelanjutan cenderung membentuk myofascial trigger point dan akan membentuk karakteristik klinis dari myofascial pain.2) Deep pain yang konstan. Deep pain input yang konstan dapat menghasilkan efek eksitasi sentral di daerah yang jauh. Jika efek eksitasi sentral melibatkan neuron (motor) eferen, dua jenis efek otot dapat diamati: (1) protective co-contraction, dan (2) perkembangan trigger point. Ketika trigger point terjadi, trigger point akan menjadi sumber deep pain dan dapat menghasilkan efek eksitasi sentral tambahan. Trigger point sekunder ini disebut sebagai titik satellite trigger point. Ekspansi kondisi myofascial pain ini mempengaruhi diagnosis dan penanganan, dan dapat membuat sebuah kondisi siklik yang sama dengan rasa sakit otot siklik.3) Peningkatan stress emosional. Peningkatan stress emosional dapat memperparah myofascial pain. 4) Gangguan tidur. Penelitian menunjukkan gangguan siklus tidur normal dapat menghasilkan gejala muskuloskeletal. Apakah gangguan tidur menyebabkan rasa sakit muskuloskeletal atau rasa sakit muskuloskeletal menyebabkan gangguan tidur (atau keduanya) masih belum jelas. Hubungan tersebut memang ada dan perlu dipertimbangkan oleh klinisi. Oleh karena itu, klinisi harus mampu mengenali keluhan umum yang berhubungan dengan gangguan tidur yang menyertai.5) Faktor lokal. Kondisi lokal tertentu dapat mempengaruhi aktivitas otot seperti kebiasaan, postur, tegangan, dan regangan nampak mempengaruhi myofascial pain.6) Faktor sistemik. Faktor sistemik tertentu dapat mempengaruhi atau bahkan menghasilkan myofascial pain. Faktor sistemik seperti hipovitaminosis, kondisi fisik buruk, kelelahan, dan infeksi virus telah dilaporkan mempengaruhi myofascial pain.7) Mekanisme trigger point idiopatik.

Pasien yang mengalami myofascial pain akan cenderung datang dengan riwayat yang membingungkan. Keluhan utama pasien seringkali berupa rasa sakit heterotropik dan bukan sumber rasa sakit sebenarnya (trigger point). Oleh karena itu, pasien akan mengarahkan klinisi pada lokasi sakit kepala tension-type atau protective co-contraction. Jika klinisi tidak teliti, maka klinisi akan mengarahkan perawatan pada rasa sakit sekunder yang tentu saja akan menyebabkan gagalnya perawatan. Klinisi harus memiliki pengetahuan dan kemampuan diagnostik yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber rasa sakit primer, sehingga perawatan yang tepat dapat dipilih.3Pasien dengan myofascial pain biasanya memiliki riwayat pembebanan berlebih otot akut atau kronis. Myofascial pain biasa dijumpai pada pasien yang memiliki kebiasaan bruxism atau clenching. Penyebab iatrogenik myofascial pain terjadi ketika pasien membuka mulut dalam waktu yang lama selama prosedur dental. Pasien dengan myofascial pain di daerah kepala-leher sering tidak dapat merelaksasi otot, misalnya otot masseter, sternocleidomastoid, dan trapezius. Otot adalah kontraktur yang berkelanjutan, sehingga ketegangan yang terus menerus dapat menyebabkan iskemia, kelelahan, dan nyeri.3Untuk membedakan myofascial pain (Ia) dengan myofascial pain with limited opening (Ib), pemeriksaan pembukaan mulut (jarak interinsisal maksimum) perlu dilakukan. Pemeriksaan otot tidak lengkap hingga efek fungsi otot terhadap rahang bawah telah diperiksa. Kisaran normal pembukaan mulut jika diukur secara interinsisal adalah antara 53 dan 58 mm. Anak usia 6 tahun dapat melakukan pembukaan mulut maksimum secara normal sebesar 40 mm atau lebih. Karena gejala otot sering meningkat pada saat gerakan fungsional, maka terkadang diasumsikan sebagai pola pergerakan yang terbatas. Pasien diminta untuk membuka mulut secara perlahan hingga sakit terasa untuk pertama kali (gambar 1A). Pada titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior atas dan bawah diukur. Jarak ini adalah batas pembukaan mulut yang nyaman bagi pasien. Kemudian pasien diminta untuk membuka mulut secara maksimal walaupun terasa sakit (gambar 1B). Jarak ini dianggap pembukaan mulut maksimum. Dengan tidak adanya rasa sakit, jarak pembukaan mulut maksimal yang nyaman bagi pasien dan pembukaan mulut maksimal akan sama.3Keterbatasan pembukaan mulut dianggap sebagai jarak kurang dari 40 mm. Jarak ini diukur dengan mengamati tepi insisial gigi insisivus sentralis rahang bawah yang bergerak menjauhi posisinya pada saat intercuspasi maksimum. Jika pasien memiliki vertikal overlap gigi anterior 5 mm dan jarak interincisal maksimum adalah 57 mm, rahang bawah dapat bergerak 62 mm pada saat membuka mulut. Pada subjek yang memiliki deep bite yang dalam, hal ini perlu dipertimbangkan pada saat penentuan kisaran pergerakan normal.3

Gambar 1. Pengukuran pembukaan mulut. A. Pasien diminta untuk membuka mulut hingga merasakan sakit untuk pertama kali. Pada titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior diukur. Pengukuran ini disebut pembukaan mulut maksimum yang masih terasa nyaman bagi pasien. B. Pasien kemudian diminta untuk membuka mulut selebar mungkin meskipun terasa sakit. Pengukuran ini disebut pembukaan mulut maksimum.3

Jika terjadi keterbatasan pembukaan mulut, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan end feel. End feel menjelaskan karakteristik keterbatasan pergerakan yang membatasi pergerakan sendi. End feel dapat diperiksa dengan meletakkan jari di antara gigi atas dan bawah pasien dan mengaplikasikan tekanan yang pelan tapi kuat untuk mencoba meningkatkan jarak interincisal secara pasif (gambar 2). Jika end feel terasa mudah, peningkatan pembukaan mulut dapat dilakukan tapi secara perlahan. Soft end feel menunjukkan keterbatasan gerakan yang disebabkan oleh otot. Jika peningkatan pembukaan mulut tidak dapat dilakukan, end feel terasa keras. Hard end feel lebih cenderung berhubungan dengan sumber intracapsular (misalnya dislokasi diskus).3

Gambar 2. Pemeriksaan End Feel. Tekanan yang pelan tapi kuat diberikan pada insisivus bawah sekitar 10 hingga 15 detik. Peningkatan pembukaan rahang bawah menunjukkan soft end feel (biasanya berhubungan dengan gangguan otot pengunyahan).3

2.1.1 Perawatan Myofascial painPerawatan nyeri myofascial diarahkan pada eliminasi atau penurunan faktor etiologi. Klinisi dapat melakukannya dengan perawatan berikut:31) Menghilangkan sumber deep pain input yang sedang terjadi dengan cara yang tepat sesuai dengan etiologi2) Mengurangi faktor-faktor lokal dan sistemik yang mempengaruhi nyeri myofascial. Teknik PSR berguna dalam menangani nyeri myofascial. Teknik PSR ini antara lain: a) Menyarankan pasien untuk membatasi penggunaan mandibula hingga batas bebas nyeri. Makanan lunak dianjurkan, dengan gigitan yang kecil dan pengunyahan pelan.b) Pasien dianjurkan menggunakan rahangnya hingga batas tanpa nyeri sehingga proprioseptor dan mekanoseptor pada system musculoskeletal distimulasi. Aktivitas ini mendorong kembali ke fungsi otot normal. c) Pasien dianjurkan untuk mengurangi kontak gigi nonfungsional. Pasien diinstruksikan untuk membiarkan bibir bersama dan gigi-gigi terpisah. d) Pasien seharusnya disadarkan hubungan antara peningkatan tingkat stress emosional dan kondisi nyeri otot. Ketika stress emosional tampaknya menjadi kontributor signifikan pada nyeri otot lokal, teknik untuk mengurangi stress dan mendukung relaksasi dianjurkan.3) Meskipun pasien dapat mengontrol kontak gigi di siang hari, sebagian besar memiliki sedikit kontrol atas kontak gigi nocturnal. Ketika clenching pada malam hari atau bruxism dicurigai (adanya nyeri pagi hari), alat oklusal dapat dibuat untuk penggunaan pada malam hari. Alat oklusal ini terbuat dari aklirik yang menutup gigi dalam lengkung rahang dan memberi kontak oklusal tepat dengan lengkung yang berlawanan (gambar 3). Alat stabilisasi (CR) akan memberikan kontak oklusal yang rata ketika kondilus berada pada posisi anterosuperior pada diskus artikular terhadap lereng posterior dari eminensia articular (menyediakan stabilitas musculoskeletal). Penuntun eksentrik (eccentric guidance) diperoleh hanya dari kaninus. Pasien diinstruksikan untuk menggunakan alat pada malam hari selama tidur dan kadang-kadang pada siang hari untuk membantu mengurangi nyeri.

Gambar 3. A. Alat stabilisasi. B. Kontak oklusal ditandai. Pada posisi musculoskeletal yang stabil dari kondilus (relasi sentrik), ada kontak yang simultan pada gigi posterior (ujung cusp berkontak pada permukaan datar). Eccentric guidance disediakan oleh gigi kaninus.

4) Jika gangguan tidur dicurigai, evaluasi yang tepat dan rujukan harus dibuat. Sering kali dosis rendah antidepresan trisiklik, seperti 10 20 mg amitriptyline sebelum tidur dapat membantu.5) Salah satu pertimbangan yang penting dalam menangani nyeri myofascial adalah perawatan dan eliminasi trigger point. Hal ini dilakukan dengan peregangan tanpa rasa nyeri pada otot yang terdapat trigger point. Teknik berikut dapat digunakan untuk mencapai hal ini, antara lain:a) Semprotan dan Regangan (spray and stretch)Teknik ini terdiri dari semprotan spray vapocoolant (misalnya fluoromethane) pada jaringan diatas otot dengan trigger point dan kemudian secara aktif meregangkan otot. b) Tekanan dan PijatanPerawatan harus dilakukan tanpa nyeri. Beberapa ahli menyarankan bahwa peningkatan tekanan yang dilakukan pada trigger point merupakan teknik yang efektif untuk meghilangkan nyeri. Tekanan dinaikkan kira-kira 20 lb dan dipertahankan 30-60 detik. Jika teknik ini menimbulkan nyeri, pijatan harus dihentikan karena nyeri dapat memperkuat siklus nyeri otot.c) Stimulasi Ultrasound dan ElektrogalvanikUltrasound menghasilkan panas yang tinggi pada daerah trigger point menyebabkan relaksasi otot lokal. Tegangan rendah EGS digunakan untuk stimulasi atau tekanan pada otot. Terapi ini menyebabkan penurunan aktivitas otot dan relaksasi otot. d) Injeksi dan PereganganUmumnya, anestesi lokal diinjeksikan dan otot diregangkan tanpa nyeri. Meskipun anestesi berguna mengurangi nyeri, namun bukan faktor yang paling penting dalam eliminasi trigger point. Sebaliknya gangguan mekanik pada trigger point dari jarum tampaknya memberikan efek terapi yang berguna.Anestesi lokal digunakan karena dua alasan: 1) Menghilangkan nyeri sedang, memungkinkan peregangan otot tanpa nyeri dan 2) diagnostik (misalnya saat trigger point dianestesi, bukan hanya nyeri lokal dikurangi tetapi nyeri alih juga dihilangkan).

2.2 Disc displacement with reduction / disc dislocation with reductionDisc displacement with reduction termasuk dalam salah satu gangguan kompleks kondil-diskus berasal dari kerusakan fungsi rotasi normal diskus pada kondil. Hilangnya pergerakan diskus secara normal ini dapat terjadi ketika terdapat elongasi ligamen kolateral diskal dan lamina retrodiskal inferior. Penipisan batas posterior diskus juga merupakan predisposisi gangguan ini.4 Jika lamina retrodiskal inferior dan ligamen kolateral diskus mengalami elongasi dan batas posterior diskus mengalami penipisan, diskus dapat bergeser atau terdorong ke ruang diskus. Karena diskus dan kondil tidak lagi berartikulasi, kondisi ini dinamakan sebagai dislokasi diskus. Jika pasien dapat memanipulasi rahang untuk mereposisi kondil ke batas posterior dikus, maka diskus dikatakan mengalami reduksi.4Secara normal, terdapat riwayat panjang mengenai kliking sendi dan beberapa sensasi catching. Pasien melaporkan ketika sendi berkontak dan tersangkut, pasien dapat sedikit menggerakkan rahang, dan rahang kembali dapat berfungsi secara normal. Catching mungkin atau tidak terasa sakit, tetapi jika terdapat rasa sakit, maka kondisi tersebut berhubungan dengan gejala disfungsi.4Sampai rahang bergeser pada titik yang mereduksi diskus, pasien mengalami keterbatasan rentang pembukaan. Ketika pembukaan mereduksi diskus, terdapat deviasi yang dapat diamati dalam siklus pembukaan. Dalam beberapa kondisi, sebuah suara keras akan terdengar selama diskus kembali. Setelah diskus mengalami reduksi, rentang pergerakan mandibula normal akan terlihat. Dalam kebanyakan kasus, mempertahankan mulut dalam sebuah posisi sedikit protrusi setelah pengembalian diskus akan mengeliminasi sensasi catching, bahkan ketika pembukaan dan penutupan. Jarak interinsisal dengan kondisi diskus mengalami reduksi selama pembukaan biasanya lebih besar dibandingkan diskus mengalami dislokasi kembali selama penutupan.4

Gambar 4. Dislokasi diskus ke anterior dengan reduksi. A. Posisi sendi tertutup sewaktu istirahat. B. Selama tahapan awal translasi, kondil bergerak ke atas batas posterior diskus. Kondisi ini dapat disertai dengan suara kliking. C. Selama pembukaan, kondil mengasumsikan sebuah posisi lebih normal di zona pertengahan diskus karena diskus berotasi ke posterior kondil. Selama penutupan, terjadi sebaliknya. Dalam penutupan akhir, diskus kembali mengalami dislokasi fungsional ke anteromedial. Seringkali kondisi ini disertai oleh klik kedua (resiprokal).4

2.2.1 Perawatan disc discplacement with reductionTujuan perawatan disc discplacement with reduction adalah untuk mengurangi rasa nyeri intracapsular, dan bukan menangkap kembali diskus. Splin stabilisasi sebaiknya digunakan sedapat mungkin karena dapat meminimalkan efek jangka panjang yang merugikan. Jika alat ini tidak efektif, splin reposisi dapat dibuat.4Secara umum terdapat 2 jenis splin oklusal, yaitu splin stabilisasi dan splin reposisi. Splin stabilisasi biasanya digunakan untuk merawat hiperaktivitas otot. Alat ini dipakai pada posisi kondilus berada pada posisi muskuloskeletal yang paling stabil pada saat gigi-gigi berkontak secara rata dan simultan. Tujuan splin ini adalah untuk menghilangkan ketidakstabilan ortopedi antara posisi oklusal dan posisi sendi.4Splin reposisi diindikasikan untuk merawat kelainan gangguan diskus-kondil. Tujuannya adalah untuk mendapatkan hubungan antara kondilus dan diskus yang lebih baik pada fossa sehingga jaringan bisa mempunyai kesempatan untuk beradaptasi atau memperbaiki. Tujuan splin ini adalah bukan untuk merubah posisi mandibula secara permanen tetapi hanya mengubah posisi sementara sehingga didapatkan adaptasi jaringan retrodiskal. Setelah adaptasi jaringan terjadi maka alat dilepas, memungkinkan kondilus untuk menerima posisi muskuloskeletal yang stabil dan fungsi yang tidak nyeri pada jaringan fibrous adaptif.4 Fungsi splin oklusal adalah sebagai berikut:5 1) Menghilangkan gangguan oklusi2) Menstabilkan hubungan gigi dan sendi3) Merelaksasi otot4) Menghilangkan kebiasaan parafungsi5) Melindungi gigi terhadap abrasi6) Mengurangi beban sendi temporomandibula7) Menghilangkan rasa nyeri akibat disfungsi sendi temporomandibula berikut otot-ototnya8) Sebagai alat diagnostik untuk memastikan bahwa oklusilah yang menyebabkan rasa nyeri dan gejala-gejala yang sulit diketahui sumbernya.Pasien diinstruksikan untuk selalu menggunakan alat pada malam hari selama tidur dan selama siang hari bila diperlukan untuk mengurangi nyeri. Penggunaan paruh waktu ini dapat meminimalkan perubahan oklusal yang merugikan. Jika gejala sudah membaik, pasien dapat mengurangi penggunaan splin. Dengan perubahan adaptif, sebagian besar pasien dapat mengurangi penggunaan splin secara bertahap tanpa perubahan dental. Perubahan adaptif ini dapat berlangsung 8-10 minggu atau lebih lama.4Ketika penghentian penggunaan alat menghasilkan gejala kembali, dua kondisi perlu dievaluasi. Pertama, proses adaptif tidak cukup untuk memungkinkan perubahan jaringan retrodiskal untuk menerima gaya fungsional dari kondil. Pada kasus ini, pasien harus menggunakan alat lebih lama untuk adaptasi. Alasan kedua kembalinya rasa nyeri adalah kurangnya ketidakstabilan ortopedi sehingga penghentian alat menyebabkan ketidakstabilan ortopedi kembali. Ketika ketidakstabilan ortopedi kembali terjadi, terapi dental untuk memperbaiki kondisi ini perlu dipertimbangkan.4Sebagai terapi suportif, pasien diinformasikan dan diedukasi mekanik dari kelainan dan proses adaptif. Pasien diminta untuk mengurangi pembebanan pada sendi bila memungkinkan, makan makanan lunak, mengunyah lebih pelan, dan makan dalam potongan kecil. Pasien diinstruksikan untuk tidak memberi kesempatan sendi untuk kliking. Jika ada inflamasi, NSAID dapat diberikan. Terapi panas dan dingin juga dapat berguna. Walaupun ini kelainan intrakapsular, teknik regulasi fisik diperlukan, untuk mengurangi pembebanan pada sendi dan menurunkan pengaturan dari sistem saraf pusat. Teknik ini membantu mengurangi rasa nyeri.4

2.3 ArthralgiaTujuan utama pasien dengan gangguan sendi mencari perawatan adalah karena adanya rasa nyeri. Pada gangguan TMJ, sulit untuk menentukan sumber rasa nyeri. Berdasarkan kuesioner, keraguan sering muncul apakah rasa nyeri berasal dari sendi atau dari otot. Bahkan jika pemeriksaan klinis dilakukan, timbul pertanyaan apakah nyeri yang dilaporkan terletak di sendi atau pada daerah otot sekitar TMJ, karena kedekatan anatomis dari origo otot maseter dan lateral pole TMJ.6 TMJ arthralgia merupakan nyeri yang diakibatkan dari trauma atau pembebanan berlebih baik intrinsik maupun ekstrinsik (seperti pada clenching gigi) yang dapat melebihi kemampuan adaptif dari jaringan sendi. Kemampuan adaptif dari TMJ dapat dikurangi oleh faktor intrinsik seperti penurunan suplai darah dan nutrisi. Genetik dan jenis kelamin dapat berpengaruh dalam patofisiologi dari osteoarthritis. Produksi dari radikal bebas, proinflamasi dan neuropeptida nosiseptif, enzim, protein morfogenetik tulang, dan faktor pertumbuhan akan mengarah pada inflamasi, nyeri, dan perubahan jaringan progresif.6Nyeri pada arthralgia merupakan nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tajam dengan intensitas sedang, yang terletak pada TMJ dan jaringan sekitar, berkisar terutama di daerah telinga. Nyeri akan meningkat selama pembebanan dan fungsi sendi dan dapat membatasi pergerakan normal dan fungsi. Nyeri TMJ sering berkaitan dengan pergeseran diskus atau disfungsi artikular diskus yang menyebabkan kliking dan/atau locking sendi, yang dapat menambah sebab terbatasnya pergerakan. Jika nyeri kronis terjadi, baik berasal dari nyeri miofasial dan arthralgia, dapat diikuti oleh sensitisasi sentral dan masalah psikologis seperti depresi, somatisasi, dan kecemasan.7Dalam membuat diagnosis dari RDC/TMD subtipe arthralgia, kriteria yang perlu ditemukan:6,71) Nyeri dan tenderness pada kapsul sendi dan/atau lining synovial dari TMJ.2) Nyeri pada satu atau kedua daerah sendi (lateral pole dan/atau meatus akustikus eksterna) selama palpasi; dan3) Satu atau lebih nyeri yang dilaporkan dari: nyeri pada daerah sendi, nyeri pada sendi selama pembukaan maksimum tanpa bantuan, nyeri pada sendi selama pembukaan dengan bantuan, nyeri pada sendi selama ekskursi lateral.4) Tidak adanya krepitus

2.3.1 Perawatan arthralgiaJika penyebab dari arthralgia adalah makrotrauma, kondisi ini merupakan self-limitting karena, makrotrauma tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, tidak ada terapi definitif diindikasikan untuk kondisi ini. Namun, jika kondisi makrotrauma dapat berulang, usaha untuk melindungi sendi dari trauma lebih lanjut (athletic appliance) dapat dilakukan. Jika arthralgia disebabkan oleh mikrotrauma yang berkaitan dengan gangguan diskus, maka gangguan diskus perlu diatasi.4Sebagai terapi suportif, pasien diinstruksikan untuk membatasi semua pergerakan mandibula dalam batas nyeri. Pasien diminta untuk makan makanan lunak, bergerak lambat, dan makan dengan gigitan yang kecil. Jika pasien mengeluhkan rasa nyeri konstan, dapat diberikan analgesic NSAID. Terapi termal pada daerah sendi dapat berguna. Pasien diminta kompres hangat selama 10-15 menit, empat sampai lima kali sehari. Terapi ultrasound dapat membantu 2-4 kali seminggu. Pada pasien dengan arthralgia yang menetap, arthrocentesis dapat dipertimbangkan.4,7

BAB IIILAPORAN KASUS

Nama pasienUmur: Nn. LS: 19 tahun

Alamat pasien: Dago asri

Pekerjaan: Mahasiswi

Anamnesa: Pasien datang dengan mengeluhkan bunyi sendi pada kedua sendi. Pasien mengeluhkan pernah sakit pada sendi kanan saat bangun tidur 4 bulan yang lalu. Pasien juga pernah merasa kesemutan di daerah telinga kanan beberapa bulan yang lalu. Saat menekukkan kepala, kadang terasa ada persendian leher yang bunyi. Bunyi sendi disadari muncul 3 tahun yang lalu yang terjadi sesekali. Setahun yang lalu baru disadari tiap buka tutup mulut kedua sendi berbunyi. Rahang bawah bagian pipi sering terasa pegal siang dan malam hari. Pasien tidak bisa buka mulut lebar, hanya bisa masuk 2 jari. Kebiasaan buruk pasien:

1. Parafungsi : clenching2. Mengunyah dua sisi tidak bersamaan 3. Menggigit bibir4. Menghisap bibir dan permen5. Bernafas melalui mulut6. Mengernyitkan otot wajah7. Menyandarkan kepala di atas meja8. Postur tubuh membungkuk pada saat bekerja dengan komputer9. Bertopang dagu10. Bersandar satu sisi11. Membaca di tempat tidur dengan posisi leher menekuk12. Tidur satu sisi (kiri-kanan bergantian) dan telugkup13. Kepala ke depan14. Menyilangkan kaki15. Duduk tanpa sandaran kursi16. Menggunakan gadget dengan posisi menunduk

PEMERIKSAAN KLINIS DAN INTRA ORALINTRA ORAL:1. Karies superficial : 16, 36, 46 2. Impaksi : 18, 28, 38, 48

KLINIS:1. Nyeri kepala : +2. Tinnitus : -3. Vertigo : +4. Migrain : +5. Nyeri sendi : +6. Kliking : +7. Krepitasi : -8. Trismus : + 9. Locking : -10. Deviasi : -11. Defleksi : + (kanan)12. Gerak lateral terbatas : -13. Nyeri M. Masseter : -14. Nyeri M. Pterigoid lat. : + (kanan-kiri)15. Nyeri M. Pterigoid med. : -16. Nyeri M. Temporalis : -17. Nyeri M. SCM : + (kanan-kiri)18. Nyeri M. Trapezius : + 19. Bukaan mulut tanpa nyeri : 25 mm20. Bukaan mulut maksimal tanpa nyeri : 35 mm21. Bukaan mulut maksimal bantuan operator: 40 mm22. Over bite : 3 mm23. Over jet : 4 mm24. Gerak lateral kanan : 9 mm25. Gerak lateral kiri : 7 mm26. Gerak protrusi : 4 mm27. Pergeseran garis median : tidak ada

Pemeriksaan Foto Rongent1. Panoramik

Gambar 5. Foto PanoramikGAMBAR EKSTRA ORAL DAN INTRA ORAL

Gambar 6. Tampak depan

Gambar 7. Foto intraoral

Gambar 8. Foto postur depan, samping kanan, samping kiri, belakang

Gambar 9. Model RA dan RB

Diagnosa:Klasifikasi Aksis I/diagnosis fisik: 1. Nyeri miofasial dengan keterbatasan pembukaan mulut2. Sendi kanan pergeseran sendi dengan reduksi3. Sendi kiri pergeseran sendi dengan reduksi dan arthralgia

Klasifikasi Aksis II1. Klasifikasi Nyeri Kronis Bertingkat. Ketidakmampuan rendah derajat 1: intensitas rendah (CPI: 43, poin ketidakmampuan : 1)2. Depresi kriteria Berat (> 1,1,05)3. Gejala fisik non spesifik termasuk item nyeri kriteria Berat (>1,000)4. Gejala fisik non spesifik tidak termasuk item nyeri kriteria Berat (>0,857)

Rencana PerawatanA.TAHAP I1. Eliminasi kebiasaan buruk : clenching, mengunyah dua sisi tidak bersamaan, menggigit bibir, menghisap bibir dan permen, bernafas melalui mulut, mengernyitkan otot wajah, menyandarkan kepala diatas meja, membungkuk saat bekerja dengan komputer, membawa tas pada satu pundak, bertopang dagu, bersandar satu sisi, membaca di tempat tidur dengan posisi leher menekuk, tidur satu sisi dan telungkup, kepala ke depan, menyilangkan kaki, duduk tanpa sandaran kursi, dan menggunakan gadget.2. Self-Management Therapy: a. Pemijatan otot yang nyerib. Terapi panas/dinginc. Diet makanan lunakd. Menghindari membuka mulut lebar e. Latihan postur f. Latihan rahang : peregangan otot mastikasig. Relaksasi (yoga, bersantai, olahraga) 3. Pembuatan splin stabilisasi pada rahang atas4. Manajemen stress dan depresi

B. TAHAP II 1. Occlusal equilibirium 2. Ortodonsia

DAFTAR PUSTAKA

1. Schiffman EL et. al. The revised research diagnostic criteria for temporomandibular disorders: methods used to establish and validate revised axis I diagnostic algorithms. J Orofac Pain. 2010; 24(1): 63-78. Available in PMC 2011 June 15.2. Dommerholt J. Myofascial pain syndrome in the craniomandibular region. [Accesed 2013 Oktober 10]. Available from: http://www.bethesdaphysiocare.com/ professionals/pdf/book_craniomandibularMPS.pdf 3. Okeson JP. Management of temporomandibular disorders and occlusion. 7th ed. St. Louis: Elsevier Mosby. 2013.4. Okeson JP. Management of temporomandibular disorders and occlusion. 6th ed. St Louis: Mosby. 2008.5. Kurnikasari E. Perawatan disfungsi sendi temporomandibula secara paripurna. 2009. [Accesed 2013 Agustus 10]. Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/09/perawatan_disfungsi_sendi.pdf6. Ohlmann B, Rammelsberg P, Henschel V, Nat R, Kress B, Gabbert O, Schmitter M. Prediction of TMJ arthralgia according to clinical diagnosis and MRI findings. Int J Prosthodont 2006; 19(4):333-338. [Accessed 2013 Oktober 11]. Available from: http://www.quintpub.com/userhome/ijp/ijp_19_4_Ohlmann_4.pdf7. International Association for the Study of Pain. Temporomandibular Disorder Pain. 2009. [Accesed 2013 Oktober 11]. Available from: http://www.iasp-pain.org/AM/AMTemplate.cfm?Section=HOME,HOME&TEMPLATE=/CM/ContentDisplay.cfm&CONTENTID=9294&SECTION=HOME,HOME

23