Modul Epilepsi Buku Acuan

43
MODUL EPILEPSI (BUKU ACUAN) KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA 2008

description

modul epilepsi

Transcript of Modul Epilepsi Buku Acuan

Page 1: Modul Epilepsi Buku Acuan

MODUL EPILEPSI

(BUKU ACUAN)

KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA

2008

Page 2: Modul Epilepsi Buku Acuan

1

1. TUJUAN UMUM

Tujuan umum modul epilepsi ini adalah sebagai berikut:

Memberi tuntunan dan pengalaman klinik kepada peserta didik untuk mengenali dan memahami gangguan paroksismal

Melatih peserta didik untuk dapat mengambil kesimpulan apakah gangguan

paroksismal tadi merupakan entitas epilepsi atau bukan epilepsi

Melatih peserta didik untuk mengelola epilepsi secara komprehensif sesuai dengan prinsip dan ruang lingkup kompetensi dokter spesialis saraf

Menyiapkan peserta didik untuk memiliki professional behavior yang dicirikan oleh kepakaran medik / pembuat keputusan klinik, komunikator, kolaborator,

manajer, advokasi kesehatan, kesarjanaan, profesional, dan performance

khususnya dalam bidang epilepsi

2. TUJUAN KHUSUS

Tujuan khusus modul epilepsi ini adalah menyiapkan peserta didik melalui

program pelatihan / pengalaman klinik agar memiliki ketrampilan dalam hal

penatalaksanaan epilepsi secara komprehensif, dengan rincian sebagai berikut:

Menjelaskan aspek-aspek biomolekular dan genetika epilepsi

Menguasai mekanisme dasar terjadinya bangkitan epilepsi

Mendeskripsikan klasifikasi epilepsi menurut International League Sagainst

Epilepsy (ILAE) dan epidemiologi epilepsi

Menjelaskan jenis-jenis bangkitan dan sindrom epilepsi

Mengidentifikasi karakteristika epilepsi pada anak, perempuan dan lanjut usia (lansia)

Mengidentifikasi karakteristika epilepsi refrakter dan status epileptikus

Melakukan rekaman dan interpretasi pemeriksaan EEG dan brain mapping

Melaksanakan terapi konservatif pada epilepsi

Mengidentifikasi kasus-kasus epilepsi yang memerlukan tindakan operatif

Pengelolaan pasien epilepsi secara langsung di unit rawat jalan dan unit rawat

inap

Melakukan penanganan kasus status epileptikus, baik di instalasi gawat darurat maupun di ruang rawat intensif

Melakukan advokasi yang berkaitan dengan masalah psikososial (misalnya pekerjaan, pendidikan, olahraga, life-style dsb) dan masalah medikolegal

3. REFERENSI (BUKU WAJIB)

Bear, M.F., Connors, B.W., Paradiso, M.A. 2001 Neuroscience: Exploring the

Brain; 2 nd ed. Lippincott Williams & Wilkins, Baltimore. Brown, T.R. 2000 Textbook of Epilepsy 2

nd ed. Lippincot William &

Wilkins,Philadelphia.

Page 3: Modul Epilepsi Buku Acuan

2

Engel,Jr.J., Birbeck,G.L., Diop,R.G., Jain, S., Palmini,R. 2005 Epilepsy: Global Issues for the Practicing Neurologist. World Federation of Neurology; New York.

Kolegium Neurologi Indonesia. 2008 Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf.

PERDOSSI Jakarta.

Manford, M. 2003 Practical Guide to Epilepsy. Butterworth-Heinemann, USA

Levy, R.N., Mattson, R,H., Meldrum, B.S. 1995 Antiepileptic Drugs; 4th

ed. Raven Press, New York.

Panayiotopoulos, C. P. 2005 The Epilepsies: Seizures, Syndromes and Managament. 1st Published, Bladon Medical Publishing,Oxfordshire UK.

Shorvon, S. Handbook of Treatment of Epilepsy. 2000 Lippincot William &

Wilkins, Philadelphia

4. KOMPETENSI

Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan para peserta didik memiliki

kompetensi menyeluruh dalam bidang epilepsi, meliputi aspek biomolekular,

epidemiologi, patofisiolofi, patogenesis, klasifikasi, jenis bangkitan dan sindrom epilepsi,

pemeriksaan EEG dan interpretasi hasilnya, etiologi, dan manajemennya. Pencapaian

kompetensi tersebut diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II angka 1) dan ruang

lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum di dalam Standar Kompetensi

Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran yang diharapkan setelah

menyelesaikan modul ini tercantum di dalam tujuan pembelajaran sebagaimana tersebut

pada angka 10 (Tujuan Pembelajaran)..

5. GAMBARAN UMUM

Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan

praktik / ketrampilan dalam hal manajemen epilepsi secara komprehensif dengan

memerhatikan azas cost-effectiveness dan evidence-based medicine, melalui pendekatan

pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang dipelajari secara

mandiri, aktif, dan interaktif oleh peserta didik adalah sebagai berikut: epileptologi dasar

dan klinik, epidemiologi, aspek diagnostik, aspek terapi farmakologik, farmakologi

klinik obat anti-epilepsi (OAE), aspek psikososial, dan prinsip terapi operatif.

Epilepsi merupakan satu kesatuan klinik yang bersifat heterogen dengan berbagai

macam etiologi dan gambaran klinik. Berbagai sistem telah dikembangkan untuk

menjelaskan seluk-beluk epilepsi. Heterogenitas epilepsi merupakan tantangan bagi para

klinisi dan peneliti.

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang mengenai seluruh lapisan masyarakat di

seluruh dunia. Epilepsi merupakan penyakit saraf tertua yang diketahui oleh umat

manusia, dicirikan oleh kecenderungan munculnya bangkitan yang berulang kali.

Epilepsi dipercaya oleh masyarakat awam di seluruh pelosok dunia sebagai penyakit

yang disebabkan oleh kekuatan supranatural. Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani

“epilambanein” yang berarti ”merampas” atau “menyerang” (WHO, 2001). Di dalam

terminologi moderen, “to seize” digunakan untuk setiap kejadian yang mendadak dan

berat, misalnya serangan jantung (Fisher et al., 2005) Untuk menegaskan arti “serangan”

Page 4: Modul Epilepsi Buku Acuan

3

dalam kaitannya dengan epilepsi maka untuk seterusnya digunakan istilah “bangkitan

epileptik” sebagai padanan dari epileptic seizure.

Salah satu tantangan dalam penatalaksanaan epilepsi adalah stigma sosial dan

psikologik yang ada di tengah-tengah masyarakat awam. Stigma ini menghambat

identifikasi / diagnosis epilepsi dan mengganggu program terapi epilepsi yang

memerlukan kataatan pasien / keluarganya dan berjangka waktu cukup lama.

6. TUJUAN PEMBELAJARAN

Sebagai sarjana dan profesional yang pernah mengucapkan sumpah / janji dokter

maka para peserta didik akan ditingkatkan kapasitas kesarjanaan dan profesionalismenya

(professional behavior) dalam bidang epilepsi, melalui berbagai kegiatan pendidikan dan

pelatihan untuk mencapai tujuan pembelajaran sebagai berikut:

a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik

Peserta didik memiliki kemampuan untuk menetapkan diagnosis dan manajemen

epilepsi secara ilmiah, komprehensif dan efektif, melalui pengalaman klinik (kognitif,

psikomotor, afektif) yang dibuktikan dengan kemampuan peserta didik sebagai berikut:

Menunjukkan ketrampilan diagnostik dan terapetik untuk tujuan perawatan yang efektif dengan memerhatikan etika

Mencari dan memanfaatkan informasi yang relevan dengan praktik klinik

Melakukan pelayanan konsultasi yang efektif dengan memerhatikan kepentingan

pendidikan dan pendapat pasien.

b. Komunikator

Peserta didik memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan

pasien, keluarganya, sejawat lain (terutama dokter rujukan) dan profesional kesehatan

lainnya, baik di unit rawat jalan maupun unit rawat inap, yang ditunjukkan dengan

kemampuan sebagai berikut:

Menjelaskan rencana pengobatan kepada pasien dan keluarganya

Memperoleh riwayat penyakit dan membuat sintesis informasi tadi dari pasien / keluarganya / sumber informasi lainnya.

Sebagai pendengar yang baik dan penuh perhatian

Mendiskusikan informasi yang diperoleh dengan pasien, keluarganya dan profesional kesehatan lainnya.

c. Kolaborator

Peserta didik memiliki kemampuan sebagai mitra profesi yang efektif terhadap

sejawat lain (termasuk mahasiswa kedokteran dan staf paramedik) dan pasien, yang

ditunjukkan dengan kemampuan sebagai berikut:

Berkonsultasi dan menjawab konsultasi secara efektif

Memberi kontribusi secara efektif kepada aktivitas tim antardisiplin

d. Manajer

Peserta didik memiliki kemahiran dalam hal ketrampilan profesional yang

berkaitan dengan diagnosis dan terapi pasien epilepsi, yang ditunjukkan dengan

kemampuan sebagai berikut:

Menggunakan berbagai sumber secara efektif yang berkaitan dengan kepentingan pasien, kebutuhan belajar dan aktivitas profesional lainnya

Page 5: Modul Epilepsi Buku Acuan

4

Mengalokasikan sumber-sumber pelayanan kesehatan secara arif

Bekerja di dalam organisasi perawatan / pelayanan kesehatan secara efektif dan

efisien

Menggunakan teknologi informasi untuk kepentingan pelayanan pasien, pembelajaran sepanjang hayat dan aktivitas lainnya.

e. Advokasi kesehatan

Peserta didik memiliki kemampuan sebagai pembelajar, pendidik, dan konsultan

serta mengerti tentang peran badan-badan nasional dan internasional yang berkaitan

dengan promosi kesehatan, pencegahan, deteksi, dan terapi epilepsi, yang ditunjukkan

dengan kemampuan sebagai berikut:

Mengidentifikasi determinan penting yang berkaitan dengan pasien

Memberi kontribusi secara efektif untuk meningkatkan derajad kesehatan pasien dan komunitas

Mengenali dan menanggapi berbagai hal yang memang memerlukan advokasi

secara tepat

f. Kesarjanaan

Peserta didik memiliki kemampuan untuk menilai / mengkritisi literatur neurologi

khususnya epilepsi, yang berkaitan dengan pemeriksaan, diagnosis, terapi dan prognosis

pasien epilepsi, yang ditunjukkan dengan kemampuan sebagai berikut:

Membuat, mengimplementasikan dan memantau strategi pembelajaran berkelanjutan

Menilai sumber informasi kedokteran secara kritis

Menjadi fasilitator pembelajaran bagi pasien, mahasiswa, paramedik dan

profesional kesehatan lainnya

Memberi kontribusi untuk pengembangan pengetahuan baru

Mampu menjelaskan prinsip-prinsip penelitian yang baik

Paham dan akrab dengan desain penelitian eksperimental dan observasional,

terutama randomized controlled trials

g. Profesional

Peserta didik memiliki kepribadian dan sikap profesional, sesuai dengan

peranannya sebagai konsultan, yang ditunjukkan dengan kemampuan sebagai berikut:

Memberi pelayanan dan perhatian dengan kualitas tertinggi disertai integritas,

kejujuran dan rasa kasih sayang

Menunjukkan perilaku profesional pribadi dan antarpribadi yang baik terhadap pasien / keluarganya, kelompok peserta didik (residen) dan profesional kesehatan

lainnya.

Melakukan praktik kedokteran dengan menjunjung tinggi etika, sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagi dokter.

h. Performance: setelah menyelesaikan modul ini maka peserta didik menunjukkan

kompetensinya dalam pengelolaan epilepsi secara komprehensif, meliputi hal-hal sebagai

berikut:

Menjelaskan klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy

(ILAE)

Mengidentifikasi jenis bangkitan dan sindrom epilepsi yang dialami pasien

Page 6: Modul Epilepsi Buku Acuan

5

Melakukan pemeriksaan EEG, dan bila perlu EEG monitoring (memerhatikan ketersediaan alat) ketika sindrom epilepsi belum diketahui secara jelas.

Membaca dan mengintepretasi rekaman EEG secara benar

Merujuk untuk pemeriksaan neuro-imaging bila ada kecurigaan adanya epilepsi sekunder yang disebabkan oleh kerusakan struktural otak.

Menyusun diagnosis banding didasarkan atas hasil anamnesis, pemeriksaan fisik-neurologik dan EEG

Menetapkan diagnosis yaitu jenis bangkitan dan / atau sindrom epileps, atau bukan epilepsi

Menjelaskan rencana terapi kepada pasien dan / atau keluarganya, meliputi jenis

OAE, dosis, kemungkinan efek samping OAE, dan harga obat.

Memberi terapi sesuai dengan jenis bangkitan dan / atau sindrom epilepsi yang ada, dan mengevaluasi hasil terapi secara berkala.

Menganjurkan / merujuk untuk pemeriksaan laboratorium, guna memantau kadar obat dalam plasma darah, atas indikasi yang jelas.

Memantau dan mengevaluasi epilepsi yang dicurigai bersifat refrakter.

Mempertimbangkan dan menganjurkan terapi operatif bila epilepsi tidak dapat diatasi dengan terapi medikamentosa, disertai hasil pemeriksaan penunjang

(neuro-imaging)

Mempelajari epileptologi secara konsisten dan mandiri (life-long learning) untuk meningkatkan kompetensinya sehingga menjadi mahir.

8. MATERI BAKU

EPILEPSI

Pendahuluan

Epilepsi merupakan satu kesatuan klinik yang bersifat heterogen dengan berbagai

macam etiologi dan gambaran klinik. Berbagai sistem telah dikembangkan untuk

menjelaskan seluk-beluk epilepsi. Heterogenitas epilepsi merupakan tantangan bagi para

klinisi dan peneliti. Epilepsi merupakan penyakit saraf yang mengenai seluruh lapisan

masyarakat di seluruh dunia. Epilepsi merupakan penyakit saraf tertua yang diketahui

oleh umat manusia, dicirikan oleh kecenderungan munculnya bangkitan yang berulang

kali. Epilepsi dipercaya oleh masyarakat awam di seluruh pelosok dunia sebagai penyakit

yang disebabkan oleh kekuatan supranatural. Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani

“epilambanein” yang berarti ”merampas” atau “menyerang” (WHO, 2001). Di dalam

terminologi moderen, “to seize” digunakan untuk setiap kejadian yang mendadak dan

berat, misalnya serangan jantung (Fisher et al., 2005) Untuk menegaskan arti “serangan”

dalam kaitannya dengan epilepsi maka untuk seterusnya digunakan istilah “bangkitan

epileptik” sebagai padanan dari epileptic seizure.

Page 7: Modul Epilepsi Buku Acuan

6

Definisi

Epilepsi merupakan “koleksi gangguan fungsi otak yang beraneka-ragam” atau

“badai listrik di otak”. The International League Against Epilepsy (ILAE) dan The

International Bureau for Epilepsy (IBE) telah mencapai suatu kesepakatan untuk

menetapkan definisi epilepsi. Bangkitan epilepsi adalah suatu tanda atau gejala sepintas

yang disebabkan oleh aktivitas neuronal di otak yang bersifat sinkron dan berlebihan atau

abnormal. Epilepsi adalah suatu gangguan fungsi otak yang dicirikan oleh kecenderungan

predisposisi untuk menimbulkan bangkitan epileptik beserta konsekuensinya yang

bersifat neurobiologik, kognitif, psikologik dan sosial (Fisher et al., 2005).

Secara fisiologik epilepsi adalah suatu gangguan yang disebabkan oleh

keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi otak yang cenderung ke arah eksitasi yang

tidak terkontrol. Dari berbagai penelitian patofisiologi bangkitan dan konsekuensinya

dapat dibuktikan adanya perbedaan yang nyata antara otak yang matang (mature) dan

tidak matang (immature). Peningkatan eksitabilitas di otak yang tidak matang

dibandingkan dengan peningkatan eksitabilitas di otak yang matang, serta konsekuensi

patologik bangkitan berhubungan dengan perkembangan sekuensial dan ekspresi jalur

essential signaling. Walaupun otak yang tidak matang kurang rentan terhadap kematian

sel yang diinduksi oleh bangkitan dibandingkan dengan otak yang matang, bangkitan di

dalam otak yang sedang berkembang dapat mengakibatkan berbagai perubahan di

konektivitas neuronal yang bersifat menetap. Pengembangan strategi baru untuk

mengobati dan mencegah bangkitan-bangkitan berikutnya pada anak-anak memerlukan

pemahaman lebih jauh tentang mekanisme unik di dalam awal dan penyebaran bangkitan

di otak yang tidak matang (Holmes & Ben-Ary, 2001).

1. Elemen-elemen di dalam definisi bangkitan

Istilah bangkitan merujuk pada perubahan perilaku sepintas yang disebabkan oleh

cetusan listrik abnormal, sinkron dan berulang di dalam sel-sel otak. Definisi yang

berbeda menekankan adanya perbedaan gambaran tentang bangkitan epileptik, meliputi

sifat alamiah awitan (onset) dan berhentinya bangkitan, manifestasi klinik, dan sinkroni

neuronal yang nyata. Beberapa definisi sebelumnya juga mempertimbangkan faktor-

faktor etiologi, klasifikasi dan diagnosis, walaupun tidak ada yang cocok dengan makna

definisi (Fisher et al., 2005):

Moda awitan dan berhentinya bangkitan. Suatu bangkitan epileptik bersifat sepintas, dibatasi oleh waktu, dengan awal dan akhir yang jelas. Berakhirnya

bangkitan epileptik sering kali kurang nyata bila dibandingkan dengan awitan,

disebabkan oleh gejala-gejala pascabangkitan (postictal state) yang mengaburkan

akhir bangkitan. Status epileptikus (SE) merupakan hal yang khusus dengan

bangkitan yang berulang kali atau berkepanjangan; namun demikian, analisis

klinik dan EEG biasanya mengarah ke SE.

Peningkatan sinkroni abnormal. Hughlings Jackson pada tahun 1870 membuat definisi klasik tentang bangkitan epileptik, sebagai berikut: ”symptom ..... an

occasional, an excessive and a disorderly discharge of nerve tissue”. Definisi ini

paling sulit diaplikasikan di dalam praktik, karena cetusan listrik hanya tampak di

dalam percobaan. Para pasien dengan bangkitan berulang mungkin memberi

gambaran EEG permukaan (scalp EEG) normal di antara bangkitan-bangkitan

Page 8: Modul Epilepsi Buku Acuan

7

dan bahkan ketika terjadi bangkitan. Namun demikian, definisi tadi mengandung

asumsi bahwa cetusan listrik abnormal dapat dibuktikan melalui pemeriksaan

dengan alat tertentu.

2. Elemen-elemen di dalam definisi epilepsi (Fisher et al., 2005)

Riwayat (setidaknya satu) bangkitan. Untuk menegakkan adanya epilepsi diperlukan setidak-tidaknya satu bangkitan. Suatu predisposisi, misalnya riwayat

keluarga atau adanya perubahan epileptiform di EEG, tidak cukup untuk

menetapkan adanya epilepsi. Definisi tidak termasuk syarat adanya bangkitan

yang bersifat unprovoked, suatu gambaran dari definisi individual sebelumnya.

Sebaliknya, definisi memerlukan, sebagai tambahan terhadap setidak-tidaknya

satu bangkitan, adanya perubahan yang terus berlangsung di otak, sebagaimana

dijelaskan dalam paragraf berikut.

Perubahan yang terus berlangsung di otak. Konsep sentral tentang definisi

epilepsi adalah perubahan yang terus berlangsung di otak yang meningkatkan

kemungkinan munculnya bangkitan di waktu mendatang. Di dalam konsep ini,

definisi epilepsi tidak memerlukan syarat dua bangkitan; definisi hanya

memerlukan satu bangkitan epileptik yang terkait dengan gangguan yang terus

berlangsung di otak yang mampu untuk menimbulkan bangkitan berikutnya.

Bangkitan epileptik berkali-kali yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berbeda pada seorang pasien tidak dipertimbangkan sebagai suatu epilepsi.

Bangkitan epileptik tunggal yang disebabkan oleh abnormalitas epileptogenik

yang terus berlangsung menunjukkan adanya epilepsi, dan bangkitan epileptik

tunggal pada otak normal tidak menunjukkan adanya epilepsi.

Kondisi lain yang terkait. Pada suatu saat, penetapan definisi epilepsi harus

didasarkan atas hal-hal lain, bukan semata atas bangkitan berulang atau potensi

berulangnya bangkitan. Untuk beberapa pasien epilepsi, gangguan perilaku

misalnya masalah kognitif antarbangkitan dan pascabangkitan, dapat merupakan

bagian dari kondisi epileptik. Pasien epilepsi mungkin mengalami penderitaan

karena stigma, eksklusi, restriksi, overproteksi, dan isolasi, yang juga menjadi

bagian dari kondisi epileptik. Bangkitan dan potensi terjadinya bangkitan

berulang juga sering kali memiliki konsekuensi psikologik untuk pasien dan

keluarganya.

Etiologi

Penyebab-penyebab epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kelompok utama sebagai

berikut (BBSF, 1999; Johnson & Sander, 2001):

1. Epilepsi idiopathic (primer)

Di dalam kelompok ini tidak dijumpai penyebab yang jelas, tetapi kemungkinan

– pada beberapa kasus – ada hubungan genetik atau predisposisi genetik. Lebih kurang

60% kasus epilepsi bersifat idiopatik. Peranan pewarisan di dalam epilepsi secara

tradisional dikategorikan berdasarkan mekanismenya, yaitu gangguan mendelian di mana

epilepsi membentuk bagian dari fenotipe, epilepsi idiopatik dengan pewarisan mendelian,

Page 9: Modul Epilepsi Buku Acuan

8

epilepsi dengan pewarisan kompleks dan epilepsi idiopatik terkait dengan abnormalitas

sitogenik.

2. Epilepsi kriptogenik

Di dalam kelompok ini dicurigai adanya faktor penyebab tetapi biasanya tidak

dapat dipastikan dengan pemeriksaan spesifik. Dengan makin majunya genetika dan

neuro-imaging maka epilepsi kriptogenik makin berkurang keberadaanya.

3. Epilepsi simtomatik (sekunder)

Di dalam kelompok ini faktor penyebab epilepsi dapat diidentifikasi, misalnya

trauma kepala, penyakit serebrovaskular, meningitis, ensefalitis, tumor otak, atau cedera

persalinan yang mengakibatkan anoksia pada bayi. Epilepsi simtomatik dapat muncul

pada saat terjadinya kerusakan otak atau kelak di kemudian hari.

Mekanisme dasar terjadinya epilepsi

1. Pandangan umum

Istilah epileptogenesis merujuk pada transformasi otak menuju ke arah status

jangka panjang di mana terjadi bangkitan spontan yang berulang. Epileptogenesis

mungkin melibatkan suatu area fokal (epilepsi parsial) atau seluruh otak secara simultan

(epilepsi umum). Epileptogenesis harus dibedakan dengan ekspresi bangkitan, yang

terkait dengan proses yang memicu dan menimbulkan bangkitan, karena bangkitan dapat

terjadi di otak nonepileptik yang terpapar dengan suatu hal yang akut. Epileptogenesis

dapat terjadi melalui berbagai cara yang bervariasi. Pada umumnya, proses ini dapat

dibagi ke dalam mekanisme genetik dan didapat (acquired). Mekanisme didapat dapat

bersifat akut atau kronik. Mekanisme mana yang sesuai atau cukup untuk menimbulkan

bangkitan, belum jelas benar. Namun demikian sejumlah penelitian telah memberi

wawasan baru tentang epileptogenesis ini (Acharya, 2002).

John Hughlings-Jackson membuat revolusi teori tentang patofisiologi epilepsi.

Penjelasannya secara rinci tentang bangkiatn motor fokal memunculkan eponim yang

disebut Jacksonian epilepsy, dan dia juga menulis tentang jenis epilepsi lainnya secara

ekstensif, di mana dia menyebutkan dreamy state dan kaitannya dengan gejala-gejala dan

tanda-tanda klinik yang sesuai dengan gangguan di area temporal bagian medial..

Berbicara tentang klasifikasi epilepsi, termasuk dreamy state, Huglings-Jacson menulis: :

“We shall ultimately be able not only to speak of certain symptoms as constituting

genuine epilepsy or some variety of it, but of these or those particular symptoms as

pointing to a ‘discharging lesion’ of this or that particular part of cortex” (Hogan &

Kaiboriboon, 2003).

Secara klinik dikenal adanya silent interval antara terjadinya gangguan neurologik

dan tampilan bangkitan berulang di berbagai bentuk acquired epilepsy. Sebagai

tambahan, sebagian besar sindrom epilepsi genetik secara klinik tidak menjadi manifest

pada saat bayi lahir. Kedua hal ini mendorong pemikiran bahwa epileptogenesis

merupakan proses bertahap dan bersifat spesifik. Secara ideal, kita menyediakan obat

yang dapat mencegah terjadinya pengembangan epilepsi, dan bukan hanya menekan

terjadinya bangkitan. Sayang, di antara berbagai macam obat anti-epilepsi yang telah

Page 10: Modul Epilepsi Buku Acuan

9

tersedia tak satu pun yang memiliki efek profilaktik terhadap risiko pengembangan

bangkitan epileptik (Chang & Lowenstein, 2003).

Tampaknya ada perbedaan mekanisme antara sindrom epilepsi parsial dan

epilepsi umum. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa epilepsi umum bersumber pada

perubahan di jejaring neuronal (misalnya pada epilepsi lena) atau di dalam fungsi

neuronal intrinsik misalnya channelopathies. Sindrom epilepsi parsial diduga bersumber

pada lesi fokal. Penelitian intensif pada sklerosis hipokampus, temuan patologik yang

paling sering dijumpai pada pasien epilepsi parsial dewasa, menunjukkan adanya

perubahan-perubahan di banyak tempat, tetapi peranannya sebagai faktor penyebab di

dalam epileptogenesis belum diketahui. Penelitian yang lebih baru tentang malformasi

kortikal dan konsep mekanisme yang lebih baru (misalnya peranan sel glial dan

lingkungan neuronal mikro) tampaknya memberi pandangan untuk memperolah jawaban

terhadap masalah yang pelik ini. Saat ini, sementara pencegahan tetap sebagai hal yang

sulit dipahami, tujuan klinik kita adalah harus tetap terapi kuratif terhadap epilepsi

(Chang & Lowenstein, 2003).

Walaupun patofisiologi bangkitan belum diketahui secara pasti, dipikirkan bahwa

bangkitan epileptik merupakan akibat dari gangguan sumber dan aktivitas listrik di

korteks otak. Suatu bangkitan terjadi apabila ada gangguan keseimbangan secara

mendadak antara kekuatan penggugah (excitatory) dan kekuatan penghambat (inhibitory)

di dalam jejaring neuron kortikal. Metabolisme otak memerlukan glukosa dan oksigen.

Membran neuron memiliki permeabilitas dan tegangan tertentu yang dipengaruhi oleh

perubahan lingkungan kimiawi dan humoral. Berbagai faktor yang mengubah

permeabilitas populasi sel (iskemia, perdarahan) dan konsentrasi ion ( natrium dan / atau

kalium) dapat mengubah sifat neuron yang lebih mudah terangsang (hyperexcitable) dan

hipersinkroni yang pada akhirnya menimbulkan cetusan listrik abnormal. Depolarisasi ini

dipercaya sebagai hasil dari kegagalan mekanisme hambatan normal, yaitu menurunnya

aktivitas GABA atau pergeseran elektrolit lokal (Yamamoto et al., 2004).

2. Ambang bangkitan

Konsep ambang bangkitan menegaskan bahwa setiap orang memiliki

keseimbangan tertentu (mungkin ditentukan secara genetik) antara kekuatan penggugah

dan penghambat di dalam otak. Proporsi relatif masing-masing kekuatan menentukan

apakah seseorang memiliki ambang rendah terhadap bangkitan (disebabkan oleh

kekuatan penggugah yang lebih tinggi) atau ambang tinggi (disebabkan oleh kekuatan

penghambat yang lebih besar). Sesuai dengan pandangan ini, ambang rendah membuat

epilepsi lebih mudah terjadi dan membuat seseorang lebih mudah untuk mengalami

bangkitan tunggal (Holmes & Ben-Ary, 2001).

Ambang berarti “tempat atau titik awal”, “permulaan”, “titik terendah di mana

suatu rangsang berawal untuk menimbulkan sesnasi”, atau “rangsang minimal yang

menghasilkan dorongan pada setiap struktur, menimbulkan respons motorik. Sementara

itu, sebagaimana dijelaskan oleh John Huglings-Jackson pada tahun 1870, bangkitan

adalah “an excessive discharge of nerve tissue on muscle”. Lebih jauh John Huglings-

Jackson mengatakan bahwa “this discharge occurs in all degrees, it occurs with all sorts

of conditions of ill-health, at all ages, and under innumerable circumstances”. Apa yang

diungkapkan oleh Jackson itu tetap benar sampai saat ini (Holmes & Ben-Ary, 2001).

Page 11: Modul Epilepsi Buku Acuan

10

Dalam keadaan normal, suatu potensial aksi terjadi di dalam neuron-1 ketika

potensial membran mengalami depolarisasi ke tingkat ambangnya. Cetusan listrik di

neuron-1 juga dapat mempengaruhi aktivitas tetangganya, yaitu neuron-2. Sebaga contoh,

suatu keterlambatan selama beberapa milidetik dari potensial aksi di neuron-1 akan

mengakibatkan terjadinya “excitatory postsynaptic potential” (EPSP) di neuron-2.

Apabila neuron-3, suatu interneuron penghambat, juga diaktifkan oleh cetusan listrik di

neuron-1, kemudian aktivitas di neuron-2 akan dimodifikasi oleh “inhibitory postsynaptic

potential” (IPSP) yang waktunya tumpang tindih dengan EPSP. Kejadian yang terekam

akan menghasilkan “EPSP-IPSP sequence”. Apabila IPSP terjadi lebih awal, mungkin

bersamaan dengan EPSP, maka efek depolarisasi EPSP akan menurun. Dengan cara ini

kita dapat “memimpikan” kekuatan penghambat untuk memodifikasi kekuatan dorongan

yang sedang berlangsung. Apabila konsep ini diperhitungkan terhadap ribuan neuron

yang saling berhubungan, masing-masing mempengaruhi aktivitas banyak sel didekatnya,

maka akan mudah untuk dilihat bagaimana peningkatan kekuatan penggugah atau

penurunan dalam hal kekuatan penghambat di dalam sistem dapat menimbulkan cetusan

epileptic hipersinkroni di dalam area otak yang luas. Dalam keadaan normal, neuron

mencetuskan potensial aksi tunggal secara sendiri atau berkelompok, dan daya dorong

terpelihara dalam keseimbangan oleh adanya pengaruh kekuatan penghambat (Stafstorm,

1998).

Secara eksperimental, ambang bangkitan diubah oleh hormon tiroid. Bangkitan

terjadi pada pasien-pasien penyakit Graves atau pasien-pasien dengan pemberian tiroksin

berlebihan pada kasus hipotiroidisme. Hormon tiroid memiliki efek kuat pada beberapa

aspek perkembangan otak dini dan ambang bangkitan. Peningkatan kadar myelin dan

hormon tiroid dapat meningkatkan daya gugah sistem saraf pusat oleh penurunan ambang

terhadap berbagai macam rangsangan (Su et al., 1993)

Tanda epilepsi adalah gambaran interictal EEG spike-and-wave discharge, yang

ditunjukkan oleh model eksperimental serta pada pasien epilepsi, merefleksikan

depolarisasi abnormal dan hiperpolarisasi membran yang terjadi secara sinkron di

banyak neuron di region epileptogenik. Gelombang paku (spike) pada EEG dibentuk atas

hasil pergeseran depolarisasi paroksismal penggugah; sementara itu EEG slow wave

dibentuk atas hasil inhibitory afterhyperpolarizing potentials. Sementara itu Enhanced

afterhyperpolarization yang abnormal merupakan gambaran peningkatan mekanisme

penghambat yang cukup untuk mempertahankan interictal state (Engel Jr, 1995).

Dari seluruh pasien epilepsi parsial, lebih dari 50% bangkitannya berasal dari

lobus temporal. Tingginya insidensi fokus di lobus temporal disebabkan oleh rendahnya

ambang bangkitan di struktur lobus temporal, terutama di struktur limbik di lobus

temporal bagian mesial (Abdelmalik et al., 2005).

Neurotransmiter dan hipotesis disinhibisi

Kontrol terhadap eksitasi neuronal dari sistem saraf pusat (SSP) sebagian besar

diatur oleh neurotransmiter inhibitor utama yaitu gamma aminobutiyric acid (GABA).

Reseptor GABAB, reseptor mebabotropik untuk GABA yaitu G protein-coupled reseptor

(GPCR) berfungsi mengatur eksabilitas neuroanal baik pra- maupun pascasinapsis. Aksi

GABA di prasinapsis, di mana reseptor GABAB berfungsi, mengurangi masuknya Ca++

dan kemudian menghambat pelepasan neurotransmiter (Takahashi et al, 1998). Reseptor-

Page 12: Modul Epilepsi Buku Acuan

11

reseptor ini dapat bertahan pada terminal GABAergic (autoreseptor), atau pada timbulnya

pada akhir dari sel saraf yang berisi neurotransmitter lain, seperti misalnya glutamat

(heteroreseptor). Reseptor GABAB bertanggung jawab tehadap bangkitan dari akhir

inhibitory postsynaptic potential (IPSP), melalui terbukanya saluran K+, dan menghambat

siklase adenilat. Abnormalitas dalam fungsi tersebut dapat memiliki konsekuensi untuk

bangkitanya dan atau prevensi bangkitan epilepsi (Billinton et al,2001)

Definisi dari penghambat GABAergic memiliki 3 kesulitan utama yang melipui

hal-hal sebagai berikut (Bernard et al, 2000)

a. Oleh karena “menghambat” menyatakan secara tidak langsung kemampuan untuk

membatasi, aktivasi dari reseptor GABAA pascasinapsis kemungkinan berkurang

letupannyanya oleh karena hambatn neuron.

b. Potensi hambatn apa yang ditetapkan, misalnya tingkatan hiperpolarisasi / shunt

di sel pascasinapsis?

c. Banyaknya jalur GABAergic- setiap jalur didefinisikan oleh kelas spesifik dari

neuron penghambat dengan morfologi yang unik, fisiologik dan gambaran

fungsional

Adalah suatu prinsip utama dari epilepsi bahwa bangkitan sebagai hasil dari

ketidakseimbangan penggugah yang melebihi penghambat. Pentingnya penggugah

dimediasi oleh neurotransmiter glutamat, di mana penghambat sebagai hasil utama dari

aksi GABA. Pada neurokorteks dan hipokampus, sumber intrinsik dari GABA adalah

interneuron, yang telah diteliti dengan cermat secara intensif. Dan menjadi jelas bahwa

sejumlah besar dari tipe interneuron yang berbeda dapat di bedakan setiap bagiannya oleh

neuropeptida yang tersusun ekspresinya. Timbulnya kejadian bahwa komplemen

neuropeptida interneuron memainkan peranan yang penting dalam jalurnya menunjukkan

bahwa interneuron mengatur daya penggugah (Colmers & El Bahh ,2003)

Hipotesis “disinhibisi” berisi bahwa (a) bangkitan dimulai saat sel granul yang

berada pada girus dentatus bagian dorsal hipokampus mengalami gangguan daya

hambatan dan (b) gangguan daya hambat terjadi oleh karena interneuron GABAergic

digugah secara berlebihan oleh interneuron GABAergic lain. Hipotesis ini berasal dari

penelitian yang dilakukan oleh Peterson dan Ribak pada tahun 1989 pada Mongolian

gerbils. Buckmaster et al (2000) menguji hipotesis tersebut dengan menggunakan model

percobaan yang menginsiprasikan terjadinya epilepsi pada Mongolian gerbils. Penemuan

dari pengujian ini tidak mendukung hipotesis disinhibisi dan menegaskan bahwa pada

model bangkitan epilepsi ini diawali oleh mekanisme lain atau tempat yang berbeda.

Gangguan kesadaran

Mekanisme yang mendasari perubahan kesadaran selama terjadi bangkitan masih

sedikit sekali dimengerti. Penelitian klinikopatologik terdahulu menegaskan peranan dari

talamus dan mekanisme batang otak dalam mekanisme kesadaran. Gangguan kesadaran

yang terjadi selama bangkitan epilepsi merupakan salah satu hal yang paling sering

terjadi dan gejala yang melumpuhkan pada pasien dengan epilepsi. Klasifikasi ILAE dari

bangkitan epilepsi dibagi atas bangkitan parsial sampai pada bangkitan parsial sederhana

dan bangkitan parsial komplek berdasarkan adanya gangguan kesadaran yang terjadi

selama bangkitan. Bagaimanapun, bangitan tertuju pada hasil baik dalam bangkitan

parsial sederhana dan bangkitan parsial komplek pada setiap individu pasien. Sebagai

Page 13: Modul Epilepsi Buku Acuan

12

tambahan, penilaian dari “gangguan kesadaran” masih belum jelas sampai saat ini (Lee et

al.,2002)

Dasar anatomi dan fisiologi untuk kesadaran ditetapkan berasal dari penelitain

klinikopatologik termasuk gangguan destruktif atau adanya kompresi akibat lesi

intrakranial. Dua buah struktur saraf dinamakan kortek serebri dan nuklei subkortikal

terdiri dari nuklei talamus dan sistem aktivasi retikular batang otak, telah dilaporkan

bertanggungjawab terhadap pemeliharaan kesadaran. Pada konteks kesadaran dalam

epilepsi, penyebaran dari letupan epileptik atau aktivasi trans-sinaptik (diaschisis) dari

struktur tersebut merupakan mekanisme yang penting dalm perubahan kesadaran selama

terjadi bangkitan. Variasi dalam hasil penelitian ini dapat karena perbedaan waktu dalam

injeksi radioisotop, sensitivitas dari tehnik subtraksi SPECT, dan kemampuan klinis

untuk menilai fungsi kesadaran (Lee et al., 2002)

Dengan melihat pada epilepsi, ada dua mekanisme yang berbeda. Pada kasus

bangkitan umum seperti misalnya bangkitan lena, talamokortikal bilateral telah

diasumsikan menyebabkan gangguan kesadaran. Di lain pihak, gangguan kesadaran yang

terjadi selama bangkitan parsial kompleks disebabkan oleh penyebaran dari letupan

epileptik pada struktur kontralateral kortikal oleh bangkitan awal. (Gloor, 1986).

Bangkitan parsial kompleks dibatasi oleh satu hemisfer diobservasi melalui EEG

intrakranial atau permukaan yang seringkali juga dihubungkan dengan gangguan

kesadaran. Oleh karena itulah, tidak jelas struktur anatomi mana yang bertanggungjawab

terhadap gangguan kesadaran selama terjadi bangkitan parsial komplek.

Bangkitan lena (absence seizure)

Ada empat teori utama dalam patofisiologi bangkitan umum lena (absence) yang

telah diajukan. Teori “centrencephalic”, diajukan pada tahun 1954, menegaskan bahwa

adanya letupan yang berasal dari tempat yang dalam secara difus diproyeksikan ke pace

maker di subkortikal pada talamus bagian tengah. Konsep ini di saring kembali pada

tahun 1991 dengan teori „thalamic clock’ dinyatakan secara tidak langsung bahwa

nukleus retikular talamus berisi sel sel pacemaker untuk thalamic clock, menentukan

ritme ke korteks. Mengacu pada investigator lain, biarbagaimanapun, kortek tampaknya

memainkan perananan utama. Hal ini ditegaskan bahwa letupan spike-wive memilki onset

fokal pada kortek dan secara keseluruhan dipikirkan propogasi yang cepat. Pada teori

“corticoreticular” dipostulasi pada tahun 1968 bahwa letupan spike-wive dihubungkan

dengan mekanisme talamokortikal diteruskan oleh spindles. Osilasi ritme spindle

diteruskan di talamus yang ditransformasikan samapai terjadinya letupan spike-wave saat

korteks mengalami hipereksitasi. Pada tahun 2002 dikonfirmasikan pada tikus bahwa

jaringan saraf talamokortikal secara fungsional utuh dibutukan untuk membangkitkan

letupan spike-wave. Hubungan dalam kortikotalamik sendiri telah diinvestigasi dengan

cara nonlinear hubungannya dengan analisa signal dari letupan multiple spike-wave. Hal

ini ditunjukkan oleh fokus yang konsisten bersamaan dengan regio perioral dari kortek

somatosensori. Dari focus tersbut aktivitas bangitan akan secara cepat dibangkitkan

melalui kortek. Selama siklus awal dari bangkitan, kortek merangsang thalamus, setelah

itu kortek dan thalamus merangsang satu sama lain, sehingga ritme letupan akan

diperkuat dan dipelihara. Pada jalur ini, teori” cortical focus” untuk bangkitan umum

absence (lena) menjembatani teori kortikal dan talamus

Page 14: Modul Epilepsi Buku Acuan

13

Klasifikasi

Terminologi ”epilepsy” meliputi sejumlah sindrom yang berbeda di mana masing-

masing memiliki gambaran kardinal yang berpredisiposisi terhadap berulangnya

bangkitan yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Meskipun

bangkitan spesifik dapat diklasifikasikan menurut gambaran klinis (contoh bangkitan

parsial kompleks dan bangkitan umum tonik klonik), sindrom epilepsi juga dapat

diklasifikasikan menurut tipe bangkitan, ada dan tidakadnyanya gejala neurologis atau

perkembangan abnormal dan EEG. Sebagai contoh sindrom dari epilepsi mioklonik

juvenil (JME) secara karakteristik ditandai oleh awitan dari bangkitan mioklonik,

bangkitan umum tonik klonik, dan bangkitan lena yang muncul sedikit pada remaja

dengan fungsi intelektual yang normal, dari gambaran EEG ditemukan letupan

gelombang spike-wive dan polyspike-wave (Chang & Lowenstein,2003)

Sindrom epilepsi dibagi atas 2 kategori, yaitu sindrom epilepsi umum dan parsial

(atau berkaitan dengan lokasi kelainan = localized related). Pada epilepsi umum, tipe

bangkitan utamanya dimulai secara simultan pada kedua hemisfer otak. Banyak pola

epilepsi umum secara kuat memiliki komponen genetik dan kebanyakan fungsi

neurologik adalah normal. Sementara pada epilepsi parsial, sebaliknya, bangkitan berasal

dari satu atau lebih lokasi kelainan, meskipun mereka dapat menyebar dan melibatkan

seluruh komponen otak. Kebanyakan dari epilepsi parsial dipercaya dihasilkan dari satu

atau lebih proses yang terjadi pada sistem saraf pusat, tetapi dalam beberapa kasus proses

alami yang terjadi tidak pernah diidentifikasikan (Chang & Lowenstein, 2003)

Klasifikasi dari jenis bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi, memiliki implikasi

sangat penting dalam pemisahan rencana terapi masing masing individu dan diutamakan

pemberian informasi untuk anak anak dan keluarga. Klasifikasi ini sedang dalam proses

review utama dan menjadi tambahan dalam pengetahuan yang baru. Secara terperinci

klasifikasi ini meliputi (SIGN,2005) :

1. Bangkitan fokal (focal seizures)

Bangkita fokal timbul secara spesifik pada suatu lokus di korteks yang akan

membawa pada gambaran klinis yang teridentifikasi baik secara subyektif atau

pengamatan. Kesadaran dapat atau tidak dapat dipelihara atau adanya kehilangan

kewaspadaan sementara.

2. Bangkitan umum (generalized seizures)

Bangkitan umum melibatkan area yang luas di otak dari permukaan selalu

melibatkan kedua hemisfer dan dihubungkan dengan gangguan awal dari kesadaran.

Rentang dari karakteristik lena di mana terjadi penyebaran aktivitas konvulsif mengambil

tempat secara luas. Bangkitan mioklonik, bangkitan tonik, dan bangkitan klonik

merupakan tipe lain dari bangkitan umum.

3. Sindrom epilepsi

Sindrom epilepsi telah didefinisikan oleh International League Against Epilesy

baik klasifikasi maupun terminologinya : “Suatu sindrom epilepsi adalah penyakit

epilepsi yang secara khas ditandai oleh sekelompok tanda dan gejala yang terjadi

Page 15: Modul Epilepsi Buku Acuan

14

bersamaan; hal ini termasuk tipe dari bangkitan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, usia

dari awitan, keparahan, kronisitas dan gambaran EEG saat iktal dan interiktal serta

prognosis”.

Manifestasi klinik

Bangkitan epilepsi merupakan tanda klinik; adanya tanda dan gejala harus

merupakan gambaran yang menjelaskan definisi. Spesifikasi terinci dari fenomena klinik

subyektif dan obyektik selama bangkitan epilepsi adalah sulit, oleh karena rentang yang

luas dari kemungkinan manifestasi. Penampilan bangkitan tergantung dari lokasi awitan

di otak, pola propogasi, maturasi otak, penyakit yang mengganggu proses tersebut, siklus

bangun-tidur, pengobatan dan variasi beberapa faktor. Bangkitan dapat mengenai fungsi

sensorik, motorik dan otonom, kesadaran, tingkatan emosional, memori, kognitif atau

perilaku. Tidak semua bangkitan berkenaan dengan seluruh faktor tersebut, tetapi seluruh

pengaruhnya terdapat sedikitnya satu. Pada konteks ini, manifestasi sensorik termasuk

dalama somatosensorik, auditorik, visual, olfaktori, gustatori dan vestibular , dan juga

lebih komplek sensasi internal yang terdiri dari distorsi perspesi umum. Dalam definisi

sebelumnya, sensasi kompleks internal mengacu kepada manifestasi psikis dari bangkitan

(Fisher et al.,2005)

Menurut ILAE (2001) deskripsi terminologi mengenai semiologi iktal, defisit

kognitif selama bangkitan dapat terlibat sebagai problem dengan persepsi, atensi, emosi,

memori, ekskusi, praksis, atau bahasa. Distorsi memori dapat negatif atau positif, tanda

dari interupsi formasi memori atau retrieval (mendapatkan kembali) sebagai simptom

negatif atau intrusi dari ketidaktepatan memori sebagai simptom positif. Simtom memori

positif menimbulkan déjà vu dan kekuatan memori selama bangkitan. Beberapa distorsi

memori sebelumnya adalah klasik sebagai simtom psikis, di mana terminologi tersebut

memiliki dua arti. Status emosional sulit dispesifikasi tetapi harus dipertimbangkan

dalam definisi, oleh karena beberapa bangkitan bermanifestasi seperti rasa takut,

gembira, kepuasan hati, cemas atau sensasi subyektif lain yang dapat dianggap berasal

dari sensasi utama (Blume et al. 2001; Fisher et al,2005)

Epilepsi idopatik umum ( idiopathic generalized epilepsy = IGE ) merupakan pola

yang paling sering terjadi, terhitung sekitar 20-40% dari seluruh epilepsi. IGE secara

klinis ditandai oleh ciri khas seperti lena, bangkitan mioklonik, dan bangkitan tonik-

klonik dengan gambaran EEG bilateral, sinkronis, dan letupan simetris spike and wave

atau polyspike and wave. Penderita IGE terhitung sekitar tiga perempat dari seluruh kasus

epilepsi dengan awitan bangkitan pertama terutama saat anak anak dan remaja.

Bagaimanapun juga, awitan dari IGE pada remaja telah dikenali untuk beberapa tahun

tetapi sampai benar benar diketahui adalah jarang. Beradasarkan pada tipe bangkitan

utama dan usia awitan, klasifikasi internasional mengenalkan 4 utama dari sub sindrom

IGE seperti childhood absence epilepsy (CAE), juvenil absence epilepsy (JAE), juvenile

myoclonic epilepsy (JME), dan IGE. Sebelum perkembangan dari klasifikasi sekarang ini,

bagaimanapun juga, Gastaut melaporkan bahwa bangkitan dimulai setelah remaja pada

seluruh 35% kasus IGE (Marini et al., 2003; Nicolson et al., 2004). IGE secara

karakteristik ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: (Mattson, 2003; Benbadis & Heriaud,

2004) :

Page 16: Modul Epilepsi Buku Acuan

15

Adanya faktor genetik dan tidak disebabkan oleh abnormalitas otak secara fisik. Hal ini berarti bahwa otak secara anatomik normal

Karakteristik yang beragam menyusun kelompok epilepsi utama. Hal ini termasuk

tipe bangkitan, usia awitan, terjadinya pola diurnal, riwayat keluarga, prognosis

dan respons terhadap pengobatan, dan deskripsi lain

Pada dasarnya ambang genetik yang rendah ( atau kerentanan yang tinggi) untuk bangkitan

Seringkali, tetapi tidak selalu, riwayat keluarga epilepsi (apabila setiap orang memiliki 50 saudara kandung, pasien dengan IGE akan lebih sering terjadi pada

keluarga yang terkena)

Untuk beberapa tipe spesifik (sebagai contoh epilepsi mioklonik juvenil) kromosom dan gen telah diidentifikasikan; yang lain hampir pasti dapat terkena

Kecenderungan awal dimulai dari masa kanak kanak atau remaja, meskipun dapat

tidak didiagnosis sampai dewasa.

Pasien dengan IGE memiliki intelegensi yang nomal, pemeriksaan neurologik normal dan MRI normal

Meskipun jelas bersifat genetik, mereka tidak diramalkan untuk ditransmisikan, sebagai contoh hemofilia atau fibrosis kistik

Tipe bangkitan epilepsi

1. Bangkitan parsial atau fokal

Bangkitan parsial atau fokal merupakan tipe epilepsi tersering dan disebabkan

oleh penyakit dari jaringan saraf pada lokasi spesifik di salah satu sisi bagian otak. Hal ini

jauh dikenal sebagai bangkitan parsial sederhana, bangkitan parsial komplek, atau

bangkitan umum sekunder (Simon et al., 2001)

Bangkitan parsial sederhana. Seseorang dengan bangkitan parsial sederhana tidak

kehilangan kesadaran tapi dapat mengalami kebingungan, gerakan sentakan, geli,

atau keadaan mental dan emosional yang aneh seperti déjà vu, halusinasi ringan,

atau respon ekstrim terhadap penciumam dan pengecapan. Setelah bangkitan,

pasien selalu memiliki kelemahan otot sementara

Bangkitan parsial komplek. Sedikitnya lebih dari setengah bangkitan pada orang dewasa adalah tipe bangkitan parsial komplek dan sekitar 80% dari bangkitan

berasal dari lobus temporal, bagian dari otak yang lokasinya dekat dengan telinga.

Gangguan dalam hilangya pertimbangan, perilaku tidak terkontrol atau diluar

kemauan, atau hilangnya kesadaran. Sekitar 20% dari pasien memiliki bangkitan

yang diawali pada otak lobus frontal. Sebelum terjadi bangkitan, pasien terkadang

mengalami tanda peringatan, yang diketahui sebagai aura, dapat sebagai bau

busuk, perasaan hangat atau halusinasi visual atau auditorik. Dan mereka dapat

kehilangan kesadaran secara singkat dan tampaknya bagi yang lain sebagai

keadaan tak bergerak dengan pandangan kosong. Emosi dapat berlebihan;

beberapa penderita dapat nampak seperti orang mabuk. Setelah beberapa detik,

beberapa dapat dimulai dengan tampilnya gerakan berulang seperti mengunyah

atau berkomat-kamit. Episode selalu belangsung tidak lebih dari 2 menit, dan

pasien dapat mengalami hal tersebut seringkali atau setiap hari. Nyeri kepala

berdenyut dapat mengikuti bangkitan parsial komplek

Page 17: Modul Epilepsi Buku Acuan

16

Bangkitan umum sekunder. Dalam beberapa kasus, bangkitan parsial sederhana atau komplek dikembangkan hingga diketahui sebagai bangkitan umum sekunder.

Kemajuaannya dapat begitu cepat dimana keadaan parsial tidak dapat

diperhatikan

2. Bangkitan umum

Bangkitan umum dapat disebabkan oleh gangguan neuron yang terjadi secara

difus pada area yang lebih luas dibandingkan dengan bangkitan parsial. Oleh karena itu

bangkitan umum mempunyai efek lebih serius pada pasien. Lebih jauh lagi ada

subkategori dari tonik-klonik atau grand mal atau bangkitan lena (petit mal):

Bangkitan tonik-klonik. Stadium awal dari bangkitan tonik-klonik disebuf tahap

tonik, dimanak otot-otot berkontraksi cepat, menyebabkan pasien terjatuh dan

dalam posisi kaku sekitar 10 sampai dengan 30 detik. Beberapa pasien

mengalami aura sebelum bangkitan grand mal; kebanyakan, bagaimanapun,

hilangnya kesadaran tanpa peringatan. Apabila tenggorokan atau laring terkena,

muncul suara musik dengan nada tinggi disebut stridor saat pasien bernapas.

Spasme terjadi sekitar 30 detik sampai satu menit saat bangkitan memasuki fase

klonik, saat otot-otot memulai terjadi perubahan antara relaksasi dan kekakuan.

Setelah fase ini selesai, pasien akan kehilangan kontrol buang air besar dan buang

air kecil. Bangkitan selalu berakhir total sekitar 2 sampai 3 menit, setelah pasien mengingat ketidaksadaran untuk beberapa waktu dan kemudian terbangun dengan

keadaan bingung atau sangat kelelahan. Nyeri kepala berdenyut yang berat mirip

dengan migren dapat mengikuti fase tonik-klonik (Simon et al,2001)

Bangkitan lena (absence). Bangkitan ini berlangsung singkat (3-30 detik) dan

dapat terdiri hanya berhentinya gerakan fisik secara singkat dan hilangnya

perhatian.bBangkitan seperti ini seringkali tidak diketahui oleh orang lain. Anak-

anak kecil dapat terlihat menatap sesuatu yang jauh atau berjalan kacau dalam

beberapa detik, kemudian kembali normal dengan cepat dan tidak memiliki

memori terhadap kejadian ini. Bnagkitan lena dapat dibingungkan dengan

bangkitan parsial sederhana atau kompleks. Pada lena, pasien akan kehilangan

kesadaran dan dapat mengalami bangkitan 50 sampai dengan 100 kali dalam

sehari. Sekitar 25% pasien dengan lena berkembang menjadi bangkitan tonik-

klonik. Automatisme ( seringkali bukan stereotipik), ditandai dengan bangkitan

singkat, dan kelopak mata berkedip kedip terlihat pada banyak pasien dengan

gangguan kesadaran yang berat (Simon et al., 2001; Crunelli & Leresche, 2002;

Chang & Lowenstein, 2003; Mattson, 2003)

Manifestasi klinik dan EEG pada anak-anak dengan epilepsi lena adalah sebagai berikut (Crunelli & Leresche, 2002):

o Simtom klinik iktal

Gangguan kesadaran berat ( lebih jarang moderat atau ringan); sebagai

contoh tidak ada respon untuk perintah atau mengumpulkan kejadian ictal

Mata terbuka dan menatap

Automatisme ( seringkali bukan sterotipik) dapat terlihat pada beberapa

pasien dengan gangguan kesadaran

Page 18: Modul Epilepsi Buku Acuan

17

o EEG iktal

Gelombang paku (biasanya 1, maksimum 3) dan letupan gelombang

lambat keseluruhan, bilateral dan sinkron

Frekuensi : 3 Hz (rentang 2,5 – 4 hz) dengan tahap-tahapan penurunan

dalam frekuensi selama bangkitan

Durasi : 10 detik (rentang 4-20 detik)

o EEG interiktal

Normal ( pada 2/3 pasien aktivitas irama di posterior adalah delta)

3. Manifestasi bangkitan yang jarang dijumpai

Epilepsi simtom negatif. Beberapa bangkitan dapat berlangsung singkat dan simtom negatif postictal mendominasi gambaran klinik; sebagai contoh, lena yang

berlangsung singkat diikuti oleh disfasia. Terkadang, simtom negatif dapat terjadi

sebagai fenomena iktal (Daftar1). Hal ini dapat sulit untuk dijelaskan, namun

demikian simtom ini adalah iktal atau postictal (Manford, 2001)

Daftar 1 Epilepsi dengan simtom negatif (Manford,2001)

Simtom Diagnosis Perbedaan khas

Kebutaan Epilepsi oksipital Terjadi sekitar 25% dari

bangkitan epilepsi, biasanya

gambaran epilepsi lain seperti

aktivitas motorik atau perubahan

kesadaran

Paresis fokal Epilepsi sensorimotor Dapat jarang terjadi tanpa

didahului sentakan klonik pada

epilepsi kortek sensorimotor

Kehilangan tonus fokal

secara mendadak dan

singkat

Mioklonus negatif Terlihat pada epilepsi dan

nonepilepsi menyebabkan

mioklonus kortikal

Amnesia Epilepsi lobus temporal Murni amnesia tanpa adanya

simptom lain dilaporkan kadang

terjadi

Disfasia Epilepsi fokal Terkadang merupakan simtom

tersendiri dari epilepsy dan dapat

berkembang menjadi status

epileptikus fokal

Keadaan bingung disebabkan oleh epilepsi. Keadaan bingung disebabkan oleh status epileptikus (confusional state caused by status epilepticus / CSSE) adalah

jarang saat awal terlihat epilepsi dan jarang terjadi bila dibandingkan status

epileptikus konvulsif, kecuali ketidakmampuan belajr, dimana pasien epilepsi ini

mencapai 1%. Karakteristik klinis dari CSSE adalah sebagai berikut (Manford,

2000):

o kebingungan yang terjadi pada pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya

o kebingungan dihubungkan dengan kejadian nyata

Page 19: Modul Epilepsi Buku Acuan

18

o kebingunagn merupkan fluktuasi utama dan periode istirahat

o adanya riwayat epilepsi sebelumnya pada sekitar 70% dengan pasien CSSE

fokal dibandingkan dengan 96% pada pasien dengan CSSE umum.

Diagnosis

Diagnosis epilepsi sulit ditegakkan terutama sekali saat kondisi awal. Pada sekitar

21% pasien yang terdaftar dalam populasi penelitian, diagnosis masih belum jelas selama

6 bulan setelah pasien masuk dalam penelitian. Pada penelitian di Rochester, waktu mulai

dari bangkitan pertama sampai diagnosis ditegakan memakan waktu lebih kurang 2 tahun

untuk 30% pasien. Sebagai tambahan, dalam klinik khususnya, sebanyak 10-20% dari

pasien tampaknya mengalami bangkitan refrakter yang kronis, telah diperkirakan mereka

tidak memiliki bangkitan epilepsi yang sesungguhnya. Sumber yang sering

membingungkan adalah sinkope atau bangkitan psikogenik. (Sander, 1993)

Pasien dengan usia lebih tua dicurigai memiliki awitan bangkitan yang baru

seharusnya dirujuk pada spesialis epilepsi untuk penilaian secepatnya dan mengawali

terapi yang sesuai Kemungkinan dari kejadian sebelumnya seharusnya dieksplorasi,

terutama bangkitan parsial (fokal), hal ini seringkali diabaikan oleh pasien dan keluarga

(Brodie & Kwan, 2005)

Diagnosis epilepsi menjadi implikasi fisik, psikososial dan ekonomi yang penting

bagi pasien. Untuk itulah diagnosis yang benar sangat penting. Hal ini telah ditunjukkan

bahwa proporsi yang signifikan dari diagnosis epilepsi dibuat oleh non spesialis dan tentu

saja hal ini tidak benar. Epilepsi mungkin sulit untuk didiagnosis pada keadaan awal

terutama sekali ketika tidak ada yang menyaksikan. Perbedaan dari bangkitan epilepsi

dan fenomena perilaku stereotipik dapat sulit dibedakan pada orang dengan kesulitan

belajar (SIGN, 2003)

Pada kebanyakan sindrom epilepsi, diagnosis dapat dibuat dalam waktu 3 bulan

dari onset penyakit. Kesulitan terbesar adalah membedakan lokasi kriptogenik

berhubungan dengan epilepsi yang berasal dari epilepsi mioklonik yang berat pada masa

pertumbuhan (Sarisjulis et al., 2000). Di bawah ini adalah pedoman untuk mendiagnosis

epilepsi (Manford, 2000):

Bangkitan epilepsi memiliki karakteristik waktu dan perkembangan

Keseluruhan iktus membutuhkan penilaian dan simtom individu dapat menyesatkan

EEG interiktal seringkali menunjukkan hasil negatif palsu

EEG iktal seringkali menunjukkan hasil negatif palsu pada beberapa tipe klinik

bangkitan, khususnya pada epilepsi lobus frontal.

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut

(Simon et al., 2001; Manford., 2000, Browne % Holmes, 2001):

Pemeriksaan fisik dan riwayat medik. Diagnosis epilepsi seringkali dibuat saat

kedatangan di unit gawat darurat oleh karena adanya bangkitan. Apbila seseorang

membutuhkan pertolongan medik yang dicurigai sebagai bangkitan, klinikus akan

membuat riwayat medik secara lengkap, termasuk riwayat kejadian bangkitan,

baik dari pasien atau orangtua atau orang yang mengamati. Satu penelitian yang

menarik menegaskan bahwa klinikus dapat mengidentifikasi lokasi di otak

darimana asal bangkitan tersebut dengan memperhatikan pasien menyeka

Page 20: Modul Epilepsi Buku Acuan

19

hidungnya. Ingusan (runny nose) sering teerjadi setelah bangkitan pada lobus

temporal tetapi tidak untuk lokasi lain. Lebih jauh lagi, tangan di mana pasien

membersikan hidung bertepatan dengan sisi di otak di mana bangkitan terjadi.

Pemeriksaan fisik ditunjukan untuk melihat tanda dari penyakit yang

dihubungkan dengan epilepsi, termasuk tanda dari trauma kepala, infeksi mata

atau sinus (di mana dapat menyebar ke otak), abnormalitas kongenital (contoh

tuberosklerosis), abnormalitas neurologik baik fokal maupun difus,

penyalahgunaan obat atau alkohol, dan kanker.

Menyingkirkan penyebab-penyebab serius. Kehidupan dan kesehatan yang mengancam jiwa menyebabkan bangkitan yang seharusnya pertama kali

disingkirkan. Mereka termasuk :

o alcohol withdrawal

o infeksi (ensefalitis atau meningitis)

o trauma kepala

o keracunan

o overdosis obat

o hipoglikemia

o stroke

o cardiac arrest

Menyingkirkan kondisi lain yang mirip dengan gejala epilepsi. Beberapa contoh adalah sebagai berikut:

o Sinkope

o Migren

o Panic attacks

o Narkolepsi

Elektro-ensefalografi (EEG). Dasaar perekaman EEG adalah potensial sinapsis

dari sel piramidal. Hal yang perlu untuk diingat adalah bahwa tidak ada

pengukuran voltase yang absolut dalam EEG klinis. Agaknya penemuan

perekaman potensial EEG berbeda antara 2 elektroda. Dengan penggunaan

convention amplifier dalam EEG klinis, defleksi upgoing mengindikasikan bahwa

input 1 (grid 1) lebih negatif (atau lebih positif) dibandingkan input 2 (grid 2). Hal

ini dapat berubah-ubah. Jadi pernyataan seperti”positif adalah naik” atau negatif

adalah turun” membuat tidak ada tanda kecuali ditetapkan meskipun positif ada di

grid 1 atau grid 2 (Benbadis,2003).Alat diagnostik yang paling penting untuk

epilepsi adalah EEG. Sesi perekaman EEG dapat berakhir sedikitnya satu jam,

tetapi dalam beberapa kasus, klinikus akan merekam sepanjang hari. Unit EEG

portabel dapat digunakan untuk memonitor pasien lewat aktivitas normal. EEG

tidaklah foolproof (sangat mudah dan aman sehingga seorang dapat memakainya);

dalam satu penelitian setengah dari pasien yang memiliki pengalaman dengan

bangkitan ternyata pembacaan EEG normal. Sebagai contoh, epilepsi mioklonik

juvenil merupakan sindrom ditandai dengan karakteristik bangkitan umum yang

dapat salah diagnosis pada EEG selama beberapa tahun sebagai bangkitan parsial.

EEG menyediakan 3 tipe informasi antara lain konfirmasi tentang aktivitas listrik

abnormal, informasi tentang tipe dari bangkitan, dan fokus lesi bangkitaan.

Informasi lebih jauh tentang EEG dan perananyan dalam mendiagnosis epilepsi

yaitu (Manford, 2001; Mattson, 2003; SIGN, 2003)

Page 21: Modul Epilepsi Buku Acuan

20

o Epilepsi tidak dapat didiagnosis berdasarkan EEG saja. Harus ada deskripsi

klinis episode yang sesuai dengan epilepsi. Nilai EEG dalam mendiagnosis

epilepsis tergantung dengan EEG yang sama dan menanyakan pola klinis yang

terjadi terakhir. Letupan interictal epileptiform secara tidak langsung potensial

untuk bangkitan umum. Biasanya terlihat pada pasien dengan epilepsi dan

memiliki prediksi nilai positif tinggi tetapi ini bukanlah diagnostik

o Satu satunya tes diagnostik untuk bangkitan lena adalah gambaran EEG

dengan latarbelakang normal dan tipe 3 hz spike and wave complex selama

bangkitan. Konsisten dengan awitan yang mendadak dari bangkitan lena,

akhir bangkitan berhenti mendadak, baik klinis dan elektrik dan menunjukan

tidak ada perlambatan postictal. Hiperventilasi sering memprovokasi

bangkitan ini dan dapat digunakan sebagai alat dignostik bersama dengan

EEG.

o EEG normal tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi. Perekaman tunggal EEG

rutin akan menunjukan pola abnormalitas epileptiform pada 29-38% orang

dewasa dengan epilepsi. Dengan pengulangan perekaman maka hal ini muncul

sebesar 69-77%. Sensitivitas diperbaiki dengan menampilakan EEG

secepatnya setelah bangkitan dan perekaman saat tidur atau direkam saat

kurang tidur.

o Hasil interictal false negative terjadi pada 50% perekaman rutin. Pengulangan

perekaman mengurangi nilai negatif palsu sebesar 30% dan perekaman saat

kurang tidur mengurangi sebesar 20%

o EEG interictal false positive terjadi sampai dengan 0,5-2% dari remaja yang

sehat. Untuk pasien dengan riwayat epilepsi pada keluarga bertepatan dengan

peluang yang lebih tinggi dan abnormal EEG epileptiform yang tidak

berhubungan

o Tes EEG itu sendiri membutuhkan ketenangan. Aktivitas listrik terjadi secara

alamiah didapatkan dari permukaan elektroda, amplifier dan dicetak untuk

analisis. Harga EEG sekitar ¼ harga MRI di mana sejauh ini merupakan tes

yang lebih baik untuk abnormalitas struktur; tetapi untuk gangguan

fungsional, aktivitas bangkitan atau perlambatan EEG dapat menyelesaikan

masalah, sementara MRI tidak. Sebagai contoh pasien epilepsi dengan MRI

normal dan pasti tidak memiliki EEG yang normal bagi banyak pasien.

Selama tidak ada jalan yang sempurna, EEG hanya satu satunya tes yang

dapat “melihat” epilepsi. Sehingga MRI dan EEG merupakan suatu

komplemen satu sama lain sebagai fungsi yang saling melengkapi

Teknik imaging. Dokter biasanya memintakan CT scan otak bagi orang dewasa dan anak-anak saat bangkitan pertama kali. Teknik imanging ini sensitive dan

memiliki tujuan ganda. Pada anak-anak, meskipun CT scan menunjukkan hasil

normal, dokter akan terus follow up untuk meyakinkan problem lain tidak ada.

Teknik scanning imaging tingkat lebih tinggi, terutama sekalai Magnetic

Resonance Spectroscopy (MRS), Positron Emission Tomography (PET), dan

Single-Photon Emission Computer Tomography (SPECT), menjadi alat yang

penting untuk penelitian epilepsi. Alat-alat tersebut juga digunakan untuk

mendeteksi abnormalitas yang dapat menyebabkan munculnya bangkitan.

Pemeriksaan ini dapat membantu untuk mengambil keputusan apakah penyakit

Page 22: Modul Epilepsi Buku Acuan

21

tersebut memerlukan operasi; dengan demikian dapat digunakan sebagai pedoman

bagi dokter bedah (Manford,2001; SIGN,2003). Di bawah ini deskripsi tentang

teknik imaging :

o Tujuan utama dari neuro-imanging adalah untuk mengidentifikasi penyebab

epilepsi pada pasien yang sekiranya membutuhkan terapi secara tepat, seperti

tumor. MRI diperlukan untuk mengidentifikasikan lesi yang tidak terlihat

pada CT Scan, seperti displasia kortikal atau sclerosis temporal bagian

mesial, saat pasien epilepsin dievaluasi untuk kemungkinan memerlukan

terapi operasi. Apabila pasien mengalami bangkitan dengan sebab yang tidak

jelas dan hasil dari neuroimaging menjelaskan adanya lesi epileptogenik

misalnya glioma malignan, maka kemungkinan terbesar diagnosisnya adalah

epilepsi (Manford, 2001; SIGN,2003).

o MRI saat ini merupakan referensi standar dalam pemeriksaan pasien epilepsi.

MRI otak dengan irisan tipis dapat mendeteksi lesi seperti tumor kecil,

malformasi vaskular daan displasia kortikal, yang tidak dapat dideteksi

dengan CT Scan. MRI dapat menilai resistensi obat anti-epilepsi yang

membutuhkan protokol khusus dan pengalaman dalam mendeteksi sklerosis

hipokampus (SIGN, 2003)

o CT Scan memiliki peranan dalam menilai bangkitan dalam keadaan

mendesak, atau saat MRI merupakan kontra-indikasi misalnya saat pasien

memilki pacemaker atau metal yang merupakan kontra indikasi untuk

pemeriksaan MRI. CT Scan non kontras gagal mengidentifikasikan beberapa

lesi vascular dan tumor. CT memiliki keterbatasan dalam menilai epilepsi

refrakter (SIGN,2003).

Polysomnography. Beberapa peneliti merekomendasikan polysomnography untuk pasien yang mengalami gangguan tidur. Tes ini digunakan untuk mendeteksi

sleep disorders, seperti obstructive sleep apnea, yang dihubungkan dengan

epilepsi pada beberapa orang (Manford, 2001)

Pendekatan investigasi diagnostik. Kadar GABA di otak yang rendah dihubungkan dengan peningkatan bangkitan berulang. Beberapa peneliti

menegaskan bahwa pengukuran kadar GABA, bersamaan dengan perekaman

EEG, dapat membantu menilai resiko terjadinya bangkitan berulang dan

mengidentifkasi beberapa pasien yang beruntung dari stimulasi fungsi GABA

(Manford, 2001)

Penilaian dan investigasi kemungkinan bangkitan epilepsi

Epilepsi memiliki diagnosis banding berbagai penyakit yang disebabkan oleh

cetusan listrik neuron-neuron berlebihan secara paroksismal di sistem saraf pusat.

Langkah pertama adalah membedakan bangkitan dari penyakit paroksismal yang lain.

Setelah diagnosis dari berulangnya bangkitan dikonfirmasikan, maka langkah berikutnya

adalah mendiagnosis sindrom epilepsi yang berkaitan dengan prognosis dan terapi secara

optimal. Di bawah ini adalah langkah-langkah prinsip yang digunakan untuk

mempertimbangan setiap attack disorder (Manford, 2001) :

Bangkitan yang bersifat paroksismal memiliki keterbatasan signifikan dalam

ketepatan diagnosis

Page 23: Modul Epilepsi Buku Acuan

22

Sebagian besar bangkitan memiliki EEG abnormal saat ictal; standar diagnosis emas berdasarkan korelasi antara iktal dan elektroklinikal. Seringkali dikatakan

bahwa epilepsi merupakan diagnosis klinis tetapi hal ini hanya disebabkan karena

jarang diperoleh data elektrofisiologik iktal yang kuat, Saat diagnosis

diperdebatkan, kuncinya adalah merekam iktus, idealnya dengan video-EEG.

Sebagai alternatif adalah monitor EEG yang dapat berjalan dan perekaman video

di rumah.

Ungkapan “wait and see” seringkali merupakan nasehat yang bagus. Diagnosis

dapat menjadi lebih jelas dan dalam waktu itu diagnosis “tidak diketahui” lebih

baik daripada diagnosis yang salah untuk epilepsi dan dengan seluruh

konsekuensi psikologis.

Pertanyaan klinik sebagai kunci dalam mendiagnosis attack disorders

(Manford, 2000)

Apakah seluruh bangkitan selalu sama? Bnagkitan organik mengacu lebih kepada

sterotipik dibandingkan psychogenic attacks

Apakah ada pola lain yang ikut saat bangkitan terjadi, sebagai contoh, di saat kita

memperhatikan (mioklonus pada pagi hari) berhubungan dengan aktivitas khusus

(sinkop) atau acute emotional distress (bangkitan psikogenik non epileptik)?

Kurang tidur, panas, dan alkohol yang sering memicu bangkitan epilepsi pada

individu yang rentan

Apakah bangkitan terjadi saat bangun, tidur atau keduanya? Bangkitan yang timbul pada saat tidur adalah organik (walaupun tidak selalu epileptik) tetapi

dapat dilakukan EEG untuk membuktikan bahwa awitan terjadi saat tidur.

Beberapa kali adanya riwayat dari gejala ringan dan tidak dijelaskan bahwa pasien dapat mempertimbangkan sebagai sesuatu yang tidak berhubungan seperti

misalnya halusinasi olfaktorius atau dalam deja-vu. Miklonus atau terjatuh saat

jalan dikenal sebagai simptom yang seringkali harus dilihat spesifik

Apakah saksi mencoba dan berkomunikasi dengan pasien saat bangkitan sedang berlangsung dan apakah responnya?

Berapa lama pemulihan berlangsung dan apakah ada sesuatu yang tidak normal

selama periode pemulihan? Waktu pemulihan yang lama merupakan salah satu

perbedaan antara epilepsi dan syncope. Kelemahan fokal atau disfasia merupakan

petunjuk untuk epilepsi fokal dan dapat menjadi tanda lesi structural yang

signifikan

Diagnosis banding dan kekeliruan diagnosis

Masalah diagnosis yang paling penting dalam epileptologi adalah membedakan

bangkitan epilepsi dari syncope dan dari psychogenic attacks. Hal-hal yang sering

mendorong terjadinya kesalahan diagnosis adalah sebagai berikut (Smith, 2001)

a. Tidak adekuatnya atau hilangnya riwayat bangkitan, sebagai contoh tidak ada

saksi

Page 24: Modul Epilepsi Buku Acuan

23

b. Gerakan klonik atau inkontinensia yang mendampingi syncope atau psikogenik

attacks

c. Perhatian diberikan ( bisa berlebihan) bila ada riwayat epilepsi dalam keluarga

atau riwayat kejang demam

d. Interpretasi berlebihan terhadap keabnormalan ringan pada EEG atau variants

spesifik

.Diagnosis yang tepat memerlukan pembedaan antara bangkitan, gangguan

neurologis yang bersifat sepintas, dan collapse. Di s amping itu juga perlu dikenal

perbedaan antara gejala akut dan bangkitan epileptik yang tidak diprovokasi. Pada orang

dengan epilepsi, klasifikasi dari penyakit dan identifikasi penyebab sangat menentukan

pengobatan optimal (Chadwick & Smith, 2002)

Misdiagnosis epilepsi telah diketahui sejak dahulu kala, Dengan teknologi yang

modern pun misdiagnosis masih terus terjadi. Pada anak-anak, kemungkinan

misdiagnosis dan luasnya diagnosis banding lebih nyata daripada golongan dewasa.

Hampir separuh dari anak anak yang dirujuk ke dokter neurologi anak dengan kecurigaan

epilepsi yang sebenarnya tidak menunjukkan bukti adanya epilepsi. Selain itu, anak

anak yang dirujuk dengan epilepsi refrakter ternyata 10-40% di antaranya salah diagnosis

(Chadwick & Smith, 2002; Zubcevic et al, 2001).

Diagnosis epilepsi seringkali diawali dengan kesalahan diagnosis sebagai non

epileptik. Bangkitan umum (sebagai contoh, anak anak dalam bangkitan lena) dapat

mengakibatkan hilangnya konsentrasi pasien ketika di kelas, dengan demikian pasien

dapat diberi label sebagai anak yang bodoh. Sementara itu, diagnosis yang jelas dari

sentakan mioklonik sering kali terabaikan. Sering kali, bangkitan yang singkat pada saat

tidur tidur masih mungkin merupakan gejala dari parasomnia. Dissociative non-epileptic

attack disorder (NEAD) dapat dicurigai sebagai perilaku hiperkinetik, yang muncul

dengan kesadaran penuh disertai hiperventilasi. Dissociative NEAD meniru bangkitan

tonik-klonik (pseudoseizures) sebagai penyebab utama dari kekeliruan diagnosis (Smith,

2001).

Bangkitan lobus temporal mesial diawali dengan epigastric butterflies yang

memberi kesan sebagai panic disorder; dihubungkan dengan palpitasi, takikardia,

bradiakardia yang memberi kesan sebagai cardiac syncope. Bangkitan lobus parietal

dengan lateralisasi sensasi episodik atau nyeri tanpa komponen motorik, atau bangkitan

oksipital yang bermanifestasi sebagai kebutaan kortikal atau halusinasi visual yang

seringkali didiagnosis sebagai migren atau psikogenik. Sementara itu, status epileptikus

non konvulsif sangat mudah disalah-artikan apabila muncul sebagai kebingungan yang

akut. Status epileptikus parsial komplek biasanya terjadi pada dewasa. Status epileptikus

lena lebih sering terjadi pada anak-anak, meskipun “de novo absence status epilepticus”

hadir dengan keadaan bingung pada orang dewasa (biasanya pasien yang lebih tua),

beberapa kali tanpa riwayat epilepsy (Smith, 2001)

Seperlima dari pasien yang dirujuk ke klinik neurologi dengan epilepsi refrakter

memiliki bangkitan psikogenik non epileptik. Pelecehan seksual dikatakan menjadi

penyebab bagi beberapa pasien, tetapi dalam berbagai etiologi masih belum jelas (Oto

et.al, 2003)

Page 25: Modul Epilepsi Buku Acuan

24

Prinsip manajemen

Tujuan dari terapi epilepsi adalah bebas total dari bangkitan tanpa efek samping

klinis yang signifikan atau yang tidak diharapkan. Hal ini diperoleh lebih dari 2/3 pasien

dengan bangkitan epileptik. Bagaimanapun, maksud untuk mencapai tujuan sering

berbeda bagi pasien, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan sindrom epileptik atau tipe

dari bangkitan bersamaan dengan sindrom yang sama, tetapi juga disebabkan oleh variasi

komorbid patologik yang menyeluruh yang yang sering teridentifikasi pada pasien

dengan epilepsi (Kanner, 2003)

Untuk memperoleh hasil terapi optimal, beberapa strategi seharusnya digunakan.

Langkah yang paling penting adalah memilih OAE yang tepat untuk pasien, khususnya

tipe epilepsi. Diagnosis sindrom epilepsi yang spesifik berdasarkan pada riwayat tipe

bangkitan pasien, status neurologik dan EEG. Kondisi komorbid, baik intrinsik maupun

ekstrinsik terhadap penyakit epilepsi, harus memainkan peranan yang tertinggi untuk

pilihan regimen terapi untuk mengontrol bangkitan (Kanner,2003; Panayiotopoulos,

2005)

Penyusunan target dalam perencanaan pendekatan terapi epilepsi merupakan hal

yang sangat penting. Pendekatan terapi seharusnya dimulai dengan definisi yang jelas dan

hal ini perlu didiskusikan dengan pasien. Tujuan untuk mengontrol bangkitan dan

memperbaiki kualitas hidup merupakan hal esensial yang harus diketahui pasien dan /

atau keluarganya (Tugwell, 2003). Ada suatu rekomendasibahwa frekuensi bangkitan

seharusnya tidak menjadi pengukuran satu-satunya dari keluaran epilepsi tetapi lebih

merupakan bagian dari indeks yang komprehensif termasuk beratnya bangkitan, efek

samping, dan kualitas hidup. Telah lama dikenal bahwa health-related quality of life

(HRQOL) memiliki dampak utama dalam kesuksesan terapi epilepsi, tetapi sampai

dengan decade terakhir, sedikit penelitian yang terstandarisasi pada area ini (Privitera &

Ficker, 2004)

Faktor lingkungan yang tidak sehat dapat meningkatkan kesulitan terapi epilepsi.

Penilitian multisenter dengan 300 pasien yang dinilai berdasarkan 3 faktor yang dapat

berakibat kepada manajemen pribadi dari epilepsi yaitu: depresi, stigma dan harapan

negatif untuk kemungkinan perbaikan. Peneliti menemukan bahwa ketangguhan pribadi

(kepercayaan diri pasien dalam menangani bangkitan pribadi dan pengobatan) secara

langsung berakibat kepada bagaimana pasien mengatur kesehatannya. Oleh karena itu,

menghadapi gejala yang dapat menggangu pengobatan pribadi ( seperti depresi, stigma ,

harapan negatif) diperlukan motivasi untuk dapat memberikan kekuatan kepada

ketangguhan pribadi pasien dan memperbaiki kualitas hidupnya (Kuzniecky, 2004)

Identifikasi kebutuhan perawatan kesehatan

Kesuksesan manajemen epilepsi dipengaruhi oleh banyak factor (Daftar 2).

Pasien dan keluarga harus diajarkan ketrampilan dasar, seperti observasi dan merekam

bangkitan, mengetahui efek samping obat, mengidentifikasi dan mengelola stres dan

pencetus lain serta memelihara keselamatan diri. Kemampuan untuk merekam bangkitan

dan mengidentifasi pencetus dapat menyebabkan perubahan perilaku atau pola hidup

yang memperbaiki kontrol bangkitan. Hal ini penting baik dokter dan pasien agar

mengerti tujuan managemen pengobatan, seperti misalnya menidentifikasi waktu yang

Page 26: Modul Epilepsi Buku Acuan

25

optimal untuk membuat perubahan obat atau dosis dan mengetahui bangaimana respon

terhadap efek samping (Shafer, 2002)

Daftar .2 Tujuan perawatan kesehatan untuk pasien epilepsi (Shafer,2002)

Sesuai dengan diagnosis

Observasi dan perekaman bangkitan

Mengidentifikasi pencetus potensial dan waktu resiko tinggi

Memelihara keselamatan pribadi

Menangani kegawatan bangkitan

Mengelola efek samping obat

Mengerti pilihan obat non medis untuk mengelola bangkitan

Mengelola penyakit yang bersamaan (concomitant illness)

Mengerti hubungan antara bangkitan dan tingkatan hormonal

Merencanakan latihan keluarga

Mengelola kehamilan dan menopause

Memelihara kesehatan tulang

Neurobiologi obat anti-epilepsi

Pengelompokan OAE berdasarkan neurobiologi adalah sebagai berikut:

Modulasi voltage gated ion channels atau membatasi cetusan yang lama bertahan (sustained repetitive neuronal firing) melalui blokade pada voltage dependent

sodium chnnels

Mempertinggi inhibisi sinapsis atau mempertinggi inhibisi GABA

Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblokade neurotransmisi eksitatorik

glutamatergik.

Voltage gated ion channels ( termasuk saluran natrium, kalsium dan kalium)

menentukan sub ambang perilaku listrik dari neuron, mengizinkan cetusn aksi potensial,

mengatur respon pada signal sinaps, kontribusi pada pergeseran depolarisasi paroksismal,

dan akhirnya perlu untuk melengkapi terjadinya letupan bangkitan. Sebagai tambahan,

voltage gated ion channels merupakan elemen yang rumit pada pelepasan

neurotransmitter, sebagai syarat transmisi sinapsis. Konsekuensinya, ada target kunci

untuk obat anti epilepsi yang akan menghambatn cetusan sinkronisasi dan penyebaran

bangkitan. Inhibisi sinapsis dan eksitasi dimediasi oleh saluran regulasi neurotransmiter;

saluran ini mengijinkan sinkronisasi gesekan neuron dan mengijinkan propagasi dari

cetusan abnormal pada lokasi lokal dan jauh. OAE yang memodifikasi neurotransmisi

eksitasi dan inhibisi juga dapat menekan cetusan dan, saat mereka menghambat eksitasi

sinaptik, mempunyai efek yang menonjol dalam penyebaran bangkitan (Bittigau et al,

2002; Rogawski & Loscher,2004)

Voltage-gated sodium channels. Saluran ini bertanggungjawab terhadap fase munculnya aksi potensial neuron. Pada saat neuron depolarisasi untuk ambang

aksi potensial, saluran protein natrium memberikan tanda depolarisasi dan

Page 27: Modul Epilepsi Buku Acuan

26

bersamaan dengan beberapa mikrodetik, berangkat untuk konfirmasi perubahan

bawa saluran berubah dari posisi menutup (resting) dalam kondisi tidak konduksi

kemudian ke keadaan terbukannya konduksi sehingga mengijinkan masuknya

natrium. Bersamaan dengan beberapa milidetik, saluran tidak aktif, terminasi

aliran ion natrium. Saluran kemudian menjadi repolarisasi sebelum diaktivasi

kembali oleh depolarisasi yang berturut-turut. Saluran natrium otak dapat cepat

kembali istirahat, membuka dan kondisi tidak aktif, mengijinkan neuron untuk

meledak dalam deretan frekuensi tinggi potensial aksi, seperti yang diminta dalam

fungsi otak yang normal dan aktivitas ekspresi epilepsi. (Rogawski &

Loscher,2004)

Voltage-gated calcium channels. Saluran ini sebagaimana halnya saluran natrium, merupakan komplek protein multisubunit yang mengijinkan fluktuasi ion

saat saluran terbuka oleh karena membran depolarisasi. Saluran kalsium

merupakan grup yang luas sampai pada aktivasi voltase tinggi ((HVA) dan

keluarga akttivasi voltase rendah. Kanal HVA- diamana subgrup lebih jauh

seperti tipe L-,R-,P/Q- dan N- meminta depolarisasi membran yang kuat untuk

jalan dan mereka bertanggungjawab sangat besar untuk regulasi dari masuknya

kalsium dan pelepasan neurotransmitter dari terminal saraf presinaptik. Saluran

kalsium HVA hadir sebagai target OAE, membloke saluran ini menghambat

pelepasan neurotransmitter. Saluran ini terdiri dari protein alfa 1 (encoded oleh

satu dari tujuh gen) di mana pola pori saluran dan sensor voltase, berjalan dengan

beberapa bantuan subunit. (Rogawski & Loscher, 2004)

OAE digunakan untuk mencegah atau memotong bangkitan. Beberapa aspek

target OAE adalah sistem inhibisi, sebagai contoh fenobarbital dan benzodiazepin

berikatan pada lokasi yang berbeda pada reseptor GABAA. Obat-obat ini meningkatkan

inhibisi dengan mengijinkan peningkatan influk CL- melalui reseptor GABA;

fenobarbital dengan meningkatakan durasi dari terbukannya saluran klorida dan

benzodiazepin meningkatkan frekuensi terbukanya saluran. Vigabtrin sebagai contoh

adalah designer drug yang dibuat dengan target spesifik berdasarkan mekanisme

patofisiologi. Vigabatrin menurunkan inhibisi enzim GABA, GABA transaminase, akan

ada peningkatan dari sejumlah GABA yang tersedia untuk ikut serta menginhibisi

neurotransmisi (Stafstrom, 1998)

OAE yang menginduksi ensim sitokrom hepatik (CY) P450 dapat meningkatkan

metabolisme hormon seks dan menurunkan efektivitas kontrasepsi hormonal. OAE dalam

kategori ini termasuk karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, dan primidon. Dua dari OAE

yang terbaru juga dapat mengganggu kemanjuran kontrasepsi. Oxcarbazepin dalam dosis

lebih dari 1200 mg/hari dan topiramate dengan dosis di atas 200 mg/hari dapat

menginduksi ensim CYP450. Perempuan yang menerima OAE dan kontrasepsi oral

seharusnya mempertimbangkan formulasi dosis yang lebih tinggi untuk kontrasepsi oral.

Perempuan yang menerima ensim CYP450 menginduksi OAE sedikitnya memiliki

kegagalan sekitar 6% per tahun untuk konsumsi pil kontrasepsi hormonal. Gabapentin,

lamotrigine, levetiracetam dan tiagabine tidak mengurangi level hormon seks-steroid dan

seharusnya tidak menurunkan kemanjuran kontrasepsi. ( Morrel, 2003)

Page 28: Modul Epilepsi Buku Acuan

27

Mengawali pengobatan

“Bangkitan menimbulkan bangkitan berikutnya” (seizures beget seizures) hal ini

telah diterima secara luas sebagai aksioma klinis. Argumen yang mengikuti adalah

dengan pengobatan yang semakin awal akan lebih efektif daripada pengobatan yang

kemudian. Pada saat pengobatan dengan OAE pada pasien yang dimulai saat bangkitan

sedikit atau jarang merupakan keputusan yang sulit. Untuk semua individu, risiko

penilaian sangat penting di mana dinilai pengobatan berguna untuk bangkitan dalam

jangka pendek dan keluaran jangka panjang dari epilepsi dengan bertambah beratnya

efek samping dan mahalnya pengobatan (Marson et al, 2005)

Keputusan untuk mengawali pengobatan seharusnya tidak diambil secara enteng.

Hal ini mewakili keseimbangan antara kemungkinan bangkitan lebih jauh dengan risiko

yang mengikuti, walaupun kecil tetapi resiko nyata dari kematian dalam waktu cepat

yang tidak diharapkan (SUDEP = sudden unexpected death in epilepsy) dan

konsekuensinya, gangguan, dan resiko yang didapat dari minum obat secara teratur bagi

setiap individu (Smith & Chadwick, 2001; Panayiotopoulos, 2005)

Pengobatan profilaksis. Pengobatan ini beberapa kali dianjurkan, khususnya pada

pasien dengan trauma kepala yang berat. Pengobatan dalam waktu secepatnya

akan mengurangi risiko dari awal bangkitan pascacedera (satu minggu setelah

trauma), namun hal ini tidak mempengaruhi risiko bangkitan yang muncul di

kelak kemudian hari. Penelitian menunjukan hal yang sama di kondisi neurologik

lain dengan risiko prospektif tinggi dari epilepsi (kejang demam, kraniotomi dan

tumor otak) yang gagal menunjukkan keuntungan dari kejadian ini. (Schierhout &

Roberts, 1998)

Bangkitan tunggal. Pasien dengan bangkitan awal, di mana dapat dihindarkan faktor provokasi, sering kali memberi dilema klinik. Perbedaan metodologi

menerangkan luasnya variasi penilain dari resiko berulangnya bangkitan.

Penelitan prospektif meta-analisis mengindikasikan dalam 2 tahun risiko sekitar

30-40%. Risiko terendah pada pasien tanpa identifikasi karena memiliki EEG

normal (24%), sementara risiko tertinggi (65%) pada sejumlah pasien dengan

perjalanan neurologik yang lama (remote neurological insult) dan EEG

epileptiform (Smith & Chadwick,2001)

Berulangnya bangkitan. Keputusan untuk memulai pengobatan lebih tidak meragukan pada pasien dengan bangkitan berulang dan diagnosis yang jelas dari

epileps, terutama bila pasien memiliki sindrom teridentifikasi dengan prognosis

yang dapat diprediksikan sebagai, contoh epilepsi mioklonik juvenilis (Smith&

Chadwick, 2001)

Pemilihan obat

Pilihan obat untuk epilepsi secara substansial mengalami perkembangan dalam

periode dekade terakhir; sekarang sedikitnya 15 OAE telah dipercaya oleh US Food &

Drug Administration (FDA). Ditetapkan, OAE generasi tua seperti fenobarbital, fenitoin,

karbamazepin, dan asam valproat, telah digabungkan dengan OAE terbaru, beberapa

dengan mekanisme aksi yang berbeda dan keamanan profil (Trost III et al,2005)

Page 29: Modul Epilepsi Buku Acuan

28

Tujuan dari pengobatan adalah menghilangkan bangkitan tanpa efek samping.

Pengaruh faktor farmakologik dalam pemilihan obat termasuk kemanjuran dan toksisitas,

seharusnya dipertimbangkan dengan melihat kebutuhan setiap individu pasien. Ada 3

prinsip dalam pengobatan (Smith & Chadwick, 2001) :

Obat tunggal, untuk meminimalisasi risiko terhadap idiosinkrasi akut dan dosis yang berkaitan dengan toksisitas

Bila kejang berkelanjutan, dosis harus ditingkatkan sampai toleransi maksimal

sebelum ditukar dengan monoterapi lain. Pasien bebas bangkitan dengan

pengalaman efek samping akan memutuskan apabila kentungan remisi lebih berat

daripada gejala

Bila bangkitan masih terus berlanjut maka percobaan adekuat dengan dua obat yang dikombinasikan / dual terapi seharusnya digunakan, ada sedikit kejadian

bahwa pengobatan dengan 2 obat lebih superior untuk mengobati secara optimal

dibanding satu.

Saat ini karbamazepin dan asam valproat diterima sebagai obat pilihan pertama

untuk bangkitan parsial dan umum. Bagaimanapun juga, tidak ada obat yang bebas dari

efek samping, efek teratogenik dan kosmetik misalnya pada asam valproat. Beberapa

obat bar, misalnya lamotrigin, gabapentin, topiramat, oxcarbazepin, tampaknya

berpotensi menjadi lini pertama (Smith & Chadwick,2001)

Reaksi terhadap obat yang tidak cocok

Jelas bahwa reaksi terhadap obat yang tidak cocok juga memiliki dasar genetik.

Sindrom hipersensitivitas antikonvulsan merupakan reaksi obat yang berpotensi fatal

dengan perkiraan kejadian 1 dari 10.000 paparan obat baru (Johnson & Sander, 2001).

OAE menyebabkan respon yang dihubungkan dengan dosis non spesifik, efek yang khas

berhubungan dengan obat yang spesifik atau jarang tetapi berpotensi untuk reaksi

idiosinkrasi yang berbahaya. Meskipun pemberian obat dengan tidak adanya riwayat

alergi hal ini merupakan trial and error, mekanisme selular yang spesifik atau

abnormalitas metabolik dapat memperhitungkan efek obat yang tidak cocok. Gejala dari

keracunan obat disebabkan oleh tingginya level obat dalam plasma, hal ini dapat terjadi

selama dalam pengobatan. Meskipun OAE yang sering digunakan adalah efektif untuk

banyak pasien, kemanjuran setiap obat untuk pasien yang spesifik tidak diprediksikan.

Level plasma menjadi pedoman pengobatan dalam banyak kasus, tetapi titrasi penuh

berlawanan dengan perkembangan dosis yang dihubungkan dengan gejala (dose- related

symptoms) dilengkapi sebelum ketidakefektifan diterangkan.

Epilepsi refrakter

Resistensi terhadap obat epilepsi merupakan masalah utama dan mekanisme

genetik dapat berkontribusi pada epilepsi refrakter melalui mekanisme farmakodinamik

dan farmakokinetik. Perubahan terhadap respon farmakodinamik pada OAE dapat

dipengaruhi oleh perbedaan genetik pada reseptor sub unit dan menjadi kejadian penting

yang menujukan bagaimana respon farmakodinamik pada benzodiazepin secara genetik

dimodifikasi saat ini. MDR (Multidrugs resistens) merupakan terminologi yang

digunakakan untuk menggambarkan fenomena beberapa pembengkakan yang

Page 30: Modul Epilepsi Buku Acuan

29

diperlihatkan oleh resistensi simultan pada beberapa struktrur dan fungsional yang tidak

berhubungan dengan agen khemoterapi. Human MDR-1 gene encodes merupakan protein

membran keseluruhan, P-glikoprotein, fungsinya adalah sebagai transport energi untuk

molekul melewati membran. Peningkatan ekspresi P-glycoprotein di otak pada beberapa

pasien dengan epilepsy intraktebel menegaskan bahwa MDR protein sebagai bagian

dalam memutuskan profil farmakonkinetik dari OAE dengan sawar darah otak. Fungsi

polimorfik P-glycoprotein telah ditunjukan dan pengujian hipotesi seperti polimorfik

memakibatkan refrakter pada OAE pada area dengan aktivitas intensif (Johnson &

Sander, 2001)

Sekitar 1/3 pasien didiagnosis epilepsy, bangkitan tidak terkontrol secara penuh

sehingga terjadi bangkitan yang lebih sering dan menimbulkan kecacatan. Dari para

pasien yang menerima multidrugs, banyak dari mereka tanpa mengalami remisi

bangkitan umum. Lebih lagi, epilepsi refrakter dihubungkan dengan peningkatan

morbiditas (dari bangkitan dan pengobatan), isolasi sosial, pengangguran, dan secara

keseluruhan mengurangi kualitas hidup. Adanya kejadian bahwa epilepsi refrakter dapat

menjadi penyakit progresif, di mana apabila terkontrol saat awal, mungkin tidak

berkembang menjadi sindrom yang lengkap dengan seluruhnya berhubungan dengan

sekuele. Kesulitannya adalah dalam mengidentifikasi keadaan awal pasien yang dapat

mengalami perkembangan menjadi refrakter (Arroyo et al,2002)

Ada kejadian yang ditegaskan dalam beberapa kasus, epilepsi mengalami

refrakter sejak awitan, meskipun pada awalnya tampak tidak berbahaya. Sayang sekali,

masih tidak ada faktor tunggal yang mampu memprediksikan diagnosa baru pada pasien

yang akan menjadi refrakter. Penggalian untuk masa mendatang yang dapat memperbaiki

pengertian dari mekanisme yang mendasari terjadinya refrakter, dan teknologi tinggi

untuk mengidentifikasi variasi genetic individual, dapat memperbaiki kemampuan untuk

mengidentifikasi resiko pasien.(Arroyo et al, 2002)

Meskipun prognosis untuk sebagian besar pasien adalah bagus, sampai dengan

30% tidak mengalami remisi meskipun terapi sesuai dengan OAE; mereka ini mengalami

penurunan dalam hal kualitas hidup dan sekaligus beban berat di dalam masyarakat.

(Kwan & Brodie, 2000)

Menghentikan pengobatan

Keputusan untuk menghentikan pengobatan termasuk dalam keseimbangan

kelanjutan risiko (kronik, toksisitas, teratogenitas) dengan implikasi dari relapse

misalnya trauma, SUDEP, kehilangan ijin mengemudi, berefek pada pekerjaan. Hal ini

dipahami sebagai pertimbangan untuk menghentikan obat setelah remisi selama 2 tahun.

Meskipun dokter anak selalu merekomendasikan penghentian obat, dokter neurologi

dewasa mengambil pendekatan lebih hati-hati. Pada kelompok heterogen dari pasien

epilepsi dengan remisi, rencana penghetian obat mempunyai resiko ganda untuk

terjadinya bangkitan kembali selama 2 tahun (40% vs 20%). Prediktor penting lain

antara lain sejumlah risiko obat (satu lebih dari yang lain), durasi dari remisi, tipe

bangkitan (tonik-klonik, mioklonik, dll) dan EEG (normal, abnormal epileptiform).

Dengan menggunakan penilaian risiko individual untuk relapse dapat diperhitungkan

pengambilan keputusan yang diijinkan. Kebanyakan pasien yang hipereksitasi tetap

bertahan dalam pengobatan (Smith & Chadwick, 2001).

Page 31: Modul Epilepsi Buku Acuan

30

Terapi operatif

Kurang lebih 60% dari seluruh pasien epilepsi (0,4% dari populasi negara

industri) menderita sindrom epillepsi fokal. Sampai dengan 15% dari pasien tersebut,

kondisinya tidak terkontrol secara adekuat dengan OAE. Dengan asumsi konservati

bahwa 50% dari pasien berpotensial menjadi kandidat untuk terapi pembedahan

(Rosenow & Luders, 2001)

Pembedahan epilepsi bukanlah sesuatu yang baru, Hal ini telah diperlihatkan

lebih dari 100 tahun. Bagaimanapun, ada rasa keengganan untuk mempertinbangkan

anak-anak yang masih muda untuk pembedahan kecuali sebagai tindakan invasif sebelum

evalusi pembedahan . Teknik tinggi terbaru dalam penyelidikan mengijinkan identifikasi

sebagai kandidat awal dengan riwayat jangka panjang dari epilepsi kronik. Tujuan utama

investigasi sebelum pembedahan adalah menentukan area di otak yang bertanggungjawab

terhadap bangkitan dapat ditegakkan secara akurat. Sebagai tambahan, telah ditetapkan

bahwa pengangkatan dari area tidak menjadi penyebab kemunduran fungsi, meskipun dia

mengontrol gerakan, memori atau bahasa. Adanya keinginan besar untuk menggunakan

pendekatan non-invasif yang mungkin, perkembangan dalam neuroimanging dalam hal

ini kemungkinannya sedang dibuat. Tidak ada pertentangan bahwa program pembedahan

epilepsi harusnya siap sebagai jalan masuk yang membutuhkan keahlian neurofisiologi,

neuroimaging dan neuropsikologi, tetapi akses untuk keahlian ini seharusnya tidak

mengurangi kebutuhan untuk evaluasi klinis secara lengkap dan penelitian interiktal EEG

(Cross, 1999). Bagaimanapun juga, evaluasi pembedahan tidak menjadi jalan terakhir,

tetapi sebagai pilihan yag lebih disukai pada pasien di mana bangkitan tidak teratasi

dengan OAE; ini merupakan kesempatan yang terbatas. Adanya kejadian yang

mengganjal dimana resistensi obat dapat diprediksi kesuksesannya setelah hanya satu

atau dua obat yang terbukti tidak efektif diganti secara hati hati (Lachwani & Luders,

2003)

Beberapa pasien akan menjadi kandidat pembedahan. MRI standar dapat

mengidentifikasikan patologi cukup baik. Sebagai tambahan, sebagian besar klinisi

berpendapat bahwa bangkitan berasal dari lobus temporal. Kandidat perlu dipersiapkan

sejak awal untuk menerima resiko pemeriksaan lanjut dan pembedahan (Smith &

Chadwick, 2001)

Tujuan terapi pembedahan adalah untutuk mereseksi area epileptogenesis (fokus

bangkitan) yang menyebarkan aktivitas bangkitan, untuk mengurangi kemungkinan

bangkitan lebih lanjut. Kebanyakan kandidat pembedahan mendertia bangkitan parsial,

dan banyak memilki epilepsi sekunder yang ditegaskan dengan adanya struktur abnormal.

Lokasi dan lesi menjadi dasar tipe pembedahan yang akan digunakan dan keluaran yang

diharapkan. Epilepsi lobus temporal medial merupakan sindrom paling banyak . Ia terdiri

dari riwayat kejang demam atypical atau komplek pada masa awal kanak-kanak, awitan

dari berulangnya bangkitan pada akhir kanak kanak atau remaja, bangkitan parsial

komplek dan pada MRI adanya sklerosis hipokampus. Lesi epilepsi, disebabkan oleh lesi

seperti malformasi vascular dan displasia kortikal, menunjukkan respons yang baik pada

terapi pembedahan (AES, 2004).

Page 32: Modul Epilepsi Buku Acuan

31

Status epileptikus (SE)

SE merupakan keadaan emergensi yang mengancam dan membutuhakan

penanganan dengan cepat, termasuk prinsip neuroresusitasi (ABCs). OAE untuk

menghentikan bangkitan dan mengidentifikasi etiologi. Gejala SE lebih sering terjadi

pada anak-anak yang lebih muda dan etiologi sepertinya tergantung dari usia anak

tersebut (Behera et al, 2005)

SE memiliki gambaran unik yang disusun selain daripada epilepsi lain.

Kebanyakan bangkitan epilepsi adalah singkat, meskipun sering. Terhentinya bangkitan

bukan merupakan proses yang pasif, tetapi termasuk dalam mekanisme endogenous

OAE, di mana seringkali dipicu oleh bangkitan itu sendiri. Sebaliknya, SE ditandai oleh

karakteristik progresif, berturut-turut atau simultan. Oleh karena itu, SE tidak berhenti

tanpa intervensi pengobatan. Dalam beberapa kasus, ketika terapi OAE gagal untuk

menghentikan SE, kemudian berubah menjadi SE refrakter. Dari perspektif yang luas, SE

merupakan keadaan refrakter memiliki sifat mekanisme tersendiri, oleh karena penyebab

ditandai baik oleh ketidakmampuan endogenous sistem OAE untuk mengontrol aktivitas

bangkitan dan self- renforcement dari proses bangkitan (Mazararti & Sankar, 2006)

SE merupakan keadaan emergensi yang menghasilkan mortalitas dan morbiditas

neurologik. Telah dipostulasi bahwa pengurangan transmisi inhibisi selama SE

mengasilkan modifikasi reseptor GABAA secara cepat. Namun mekanisme tersebut tidak

diuraikan. (Goodkin et al, 2005). Selama SE, mekanisme GABAergik gagal dan

bangkitan menjadi self-sustaining dan resisten farmakologis (Naylor et al, 2005). Asam

kainat menginduksi SE menyebabkan perubahan fungsi dan struktur dalam menginhibisi

reseptor GABAA di hipokampus tikus dewasa, namun demikian perubahan yang mirip

terjadi dalam perkembangan tikus hal ini masih belum diketahui (Lauren et al, 2005)

1. Definisi SE

Riwayat SE memiliki beberapa perubahan definisi, sebagai berikut (Holt,2000;

Wheless,2003) :

1903: Perkembangan maksimum epilepsi, di mana bangkitan paroksimal dekat sekali diikuti koma dan kelelahan terus berlanjut di antara bangkitan

1964: Bangkitan tetap berlangsung untuk jangka waktu yang panjang atau frekuensi berulangnya menghasilkan kondisi epileptik yang berlangsung dalam

jangka lama

1981: Bangkitan tetap berlangsung untuk jangka waktu yang panjang atau

bengkitan berulang dan tidak terjadi pemulihan kesadaran di antara bangkitan

1993: SE merupaka dua atau lebih bangkitan tanpa didapatkan kembali kesadaran atau bangkitan tunggal lebih dari 30 menit terakhir

1999: definisi operasional untuk anak anak > 5 tahun dan dewasa: bangkitan apapun yang berakhir lebih dari 5 menit atau dua atau lebih bangkitan yang

berlainan dimana tidak ada pemulihan kesadaran secara lengkap

SE biasanya didefinisikan sebagai aktivitas bangkitan yang berlangsung 30 menit

atau dua atau lebih bangkitan lain antara kesadaran tidak pulih secara penuh (EFA, 1993).

Lowenstein et al (1999) mengajukan bahwa SE didefinisikan sebagai bangkitan

konvulsif, terus berlangsung menyeluruh berakhir lebih dari 5 menit atau dua atau lebih

bangkitan selama pasien tidak kembali ke kesadaran dasar. Hal yang masuk akal dari

Page 33: Modul Epilepsi Buku Acuan

32

revisi definisi berdasarkan pada fakta bahwa tipe bangkitan tonik-klonik umum jarang

berakhir lebih dari 5 menit, terminasi spontan menjadi berkurang lebih dari 5 menit, dan

hal tersebut menjadi bangkitan terpanjang yang terus berlangsung, hal yang lebih sulit

bila bangkitan di kendalikan dengan OAE dan tingkatan terbesar dari kerusakan neuron.

Definisi tersebut konsisten dengan klinis tersering dimana hal ini menjadi tidak masuk

akal untuk menunggu selama 30 menit sebelum memulai terapi dengan OAE (Marik &

Varon, 2004)

2. Isidensi SE

Insidensi SE sekitar 10% per 100.000 orang pertahun, dengan insidensi terbesar

terjadi pada populasi termiskin. Setengah dari pasien tersebut dengan SE konvulsif. Lebih

dari setengah pasien dengan status SE tidak memiliki diagnosis epilepsi, dan seringkali

SE dicetuskan oleh penyakit akut. Pada anak-anak, penyebab utama dari SE adalah

infeksi yang dibarengi dengan demam. Pada orang dewasa penyebab utama akut adalah

stroke, hipoksia, penyakit metabolik, intoksikasi alkohol atau withdrawal (penyebab

tersering pada dewasa muda). Pada pasien dengan deiagnosis epilepsi, SE dapat

dicetuskan oleh drug withdrawal. Hal ini penting untuk diingat bahwa pasien dengan

epilepsi memiliki penyebab akut untuk SE (Walker, 2005). Kejadian dari SE menunjukan

distribusi bimodal dengan puncak pada anak-anak kurang dari setahun dari usia dan tua.

Anak anak kurak dari setahun dari usia memiliki insidens tertinggi. Keseluruhan, laki laki

lebih sering terjadi SE, dimana sebagain adalah bukan etnik kulit putih (Chin et al, 2004)

3. Penyebab SE

Penyebab SE bervariasi mengacu pada usia grup. Pada anak anak, kejang demam

dalam jangka panjang (33-35%0 dan rendah level OAE (21%) merupakan kejadian

tersering. Sebaliknya pada orang dewasa, penyakit serebrovaskuler, withdrawal atau level

rendah (34%) dari pemeliharan OAE paling banyak.Gejal SE akut dihitung sebagai

etiologi paling banyak dari segala usia. Sedikit episode dengan SE idiopatik (Chin et al,

2004)

Faktor risiko untuk generalized convulsive status epilepticus (GCSE) merupakan

identifikasi terbaik untuk etiologi GCSE. Etiologi yang paling sering pada orang dewasa

adalah rendahnya kadar OAE pada pasien dengan epilepsy (21%) dan riwayat penyakit di

sistem saraf pusat (24%). Stroke, penggunaan alkohol, gangguan metabolik, anoksia /

hipoksia, tumor dan infeksi juga sering terjadi. Etiologi yang jarang meliputi overdosi

obat dan trauma (Fountain,2000).

4. Riwayat epilepsi

SE terjadi bersamaan dengan konteks epilepsi sedikitnya kurang dari 50%

keseluruhan kasus. Pada anak-anak, 16-38% memiliki riwayat epilepsi, sementara pada

orang dewasa 42-50% memiliki riwayat epilepsy. Persentase pasien dengan riwayat

epilepsy lebih tinggi pada mereka yang bermukim di area pedesaan (49-56%)

dibandingkan dengan mereka yang tinggal di area perkotaan (13%) (Chin et al, 2004)

5. Gambaran klinik dan diagnosis SE

Kebanyakan SE berakhir kurang dari 24 jam. Keseluruhan kejang demam lebih

pendek dari 2 jam. Pada populasi pediatri, durasi dari SE yang berkepanjangan (median

Page 34: Modul Epilepsi Buku Acuan

33

60,5 menit) lebih pendek daripada SE intermiten (median 87 menit, p< 0.02). Sebaliknya,

orang dewasa tidak memiliki perbedaan dalam durasi SE yang berkepanjangan (median

97,5 menit) dibandingkan dengan SE intermiten (median 85 menti). Berulangnya SE

terjadi pada 13,3 –18,5%. Berulangnya SE terjadi paling tinggi di populasi pediatrik.

Pada orang dewasa, hampir seluruh (93,8%) pasien dengan berulangnya SE memilki

riwayat epilepsy (Chin et al, 2004)

Kebanyakan bangkitan adalah GTCSE (generalized tonic clonic status

epilepticus) terjadi pada epilepsi umum simtomatik atau kriptogenik, atau epilepsi parsial

simtomatik atau kriptogenik sekunder umum, dan tidak dalam sindrom epilepsi umum

idiopatik (Wheless, 2003)

Nonconvulsive status epilepticus (NCSE) memiliki pola yang berbeda: status

parsial komplek, status absence (lena), status atypical dan status electrical dengan

gelombang tidur lambat. Diagnosis NCSE adalah sulit dan sepenuhnya tergantung EEG.

Pada anak-anak dengan diagnosis epilepsi sebelumnya, gangguan personality, prolonged

postictal confusion atau onset psikosis akut harusnya diinvestigasi dengan EEG. Pada

pasien dengan non-comatose dengan tidak ada riwayat epilepsy NCSE dapat hadir

dengan ciri bingung atau perubahan kepribadian (Shafer, 2002)

Myoclonic SE jarang terjadi pada pasien dengan epilepsi umum primer. Meskipun

kejadiannya jarang, saat mioklonik SE terjadi pada pasien di ruangan emergensi atau di

rumah sakit, hal ini biasanya dihubungkan dengan etiologi anoksia atau metabolik.

Apabila bukan karena penyebab ini, banyak dari epilepsi adalah simptomatik dengan

penyebab abnormalitas struktural baik fokal atau difus, atau kriptogenik, pada saat

abnormalitas tidak dapat dideteksi. Saat SE hadir dengan epilepsi mioklonik juvenilis

(JME) pengalaman pasien dengan peningkatan intensitas dan frekuensi dalam sentakan

mioklonik yang lambat laun menjadi GTC. Banyak pasien belajar untuk mengantisipasi

progresi dari SE dan dosis oral dari benzodiazepin seperti clonazepam untuk

menghentikan proses ini (Wheless, 2003)

Absence SE dapat mengikuti bangkitan umum, keadaan demikian dapat

diinterpretasikan sebagai kebingungan postictal. Alternatif absence SE dapat dijelaskan

oleh bangkitan GTC atau dapat diakhiri dengan bangkitan GTC. Pada beberapa pasien,

absence SE dapat terjadi hanya sebagai pola bangkitan, satu demi satu atau kombinasi.

Absence SE juga jarang terjadi pada anak-anak yang lebih muda dari 10 tahun, Pada

orang dewasa, ada tendensi lebih besar untuk berulang. Absence SE dapat bermanifestasi

sebagai keadaan bingung dalam jangka lama dan EEG menunjukan gelombang lambat

dan paku dengan frekuensi lebih cepat daripada 2,5 Hz berkepanjangan (Wheless,2003)

Pseudostatus seharusnya dipertimbangkan apabila episode dari SE tidak responsif

dengan cepat pada saat awal terapi (khususnya apabila bangkitan adalah atypical).

Gambaran klinis dari bangkitan non epileptik termasuk lemahnya gerakan yang

terkoordinasi, melengkungnya punggung, mata tertutup, kepala berputar dan pelvis

terdorong (Walker, 2005)

Diagnosis SE konvulsif terus terang sudah dikenal, tetapi masih harus dibedakan

dengan pseudostatus epilepticus (serangan nonepileptik dengan dasar psikologis).

Serangan non epileptik seringkali berlangsung dalam jangka lama dan dapat

dibingungkan dengan SE (Walker, 2005)

Page 35: Modul Epilepsi Buku Acuan

34

6. SE refrakter

Refractory status epilepticus (RSE) terjadi sekitar 30% dari pasien dengan SE dan

dihubungkan dengan peningkatan lamanya tinggal di rumah sakit dan ketidakmampuan

fungsional. SE non konvulsif dan terlambatnya bangkitan fokal saat awitan merupakan

faktor risiko RSE. Pada hal ini, RCT dibutuhkan untuk menegaskan pengobatan optimal

RSE (Mayer et al, 2002)

RSE sering terjasi pada pasien dengan latar belakang ensefalitis sebagai penyebab

utama dari SE, merupakan risiko yang khusus untuk berkembangnya RSE. Hiponatremia

di awal SE dapat memfasilitasi perkembangan refrakter, oleh karena itu disarankan untuk

berhati-hati dalam memeriksa keseimbangan kadar natrium dalam serum.Pencegahan SE

refrakter adalah penting dalam kondisi ini dan dihubungkan dengan lemahnya diagnosis

termasuk berulangnya frekuensi dalam waktu pendek saat aktivitas bangkitan,

peningkatan lama tinggal di ICU dan rumah sakit, dan perkembangan frekuensi epilepsi

simptomatik pasca-SE (Holtkamp et al, 2005)

Apabila SE terus berlanjut walaupun telah diberikan benzodiazepin dan fenitoin

dengan dosis awal yang cukup, penanganan lebih jauh adalah di ICU dengan anestesi

untuk mengontrol aktivitas epilepsi. Sebagai tambahan untuk anestesi, pengobatan OAE

harus dilanjutkan. Pasien harus dipantau dengan EEG sedikitnya satu kali sehari (Walker,

2005)

Anestesi dapat diinduksi dengan obat barbiturat atau non barbiturat. Beberapa

obat anestesi direkomendasikan; yang paling banyak digunakan adalah intravena

barbiturat, thiopentone,dan pentobarbitone, intravena non barbiturat propofol dan infus

midazolam secara terus-menerus (Walker, 2005)

7. Morbiditas dan mortalitas SE

Pasien dengan epilepsi telah dipikirkan memiliki risiko tinggi untuk sakit

dibandingkan populasi umum. Di Swedia, dilaporkan sekitar 47% pada orang dewasa

dengan epilepsi mengalami gangguan psikiatrik, kardiovaksular, paru, sistemik dan

penyakit ginjal (Forsgren, 1992). Pasien dengan epilepsi memiliki risiko lebih tinggi

untuk penyakit saraf, mata, telinga, dan tenggorok serta komplikasinya dibandingkan

dengan populasi umum (Van den Broek & Beghi, 2004).

Mortalitas SE pada seluruh kelompok usia berkisar antara 7,6 –22% selama

hospitalisasi atau sampai dengan 30 hari dengan SE (short term mortality) dan 43%

selama 10 tahun setelah SE (long term mortality). Usia dan etiologi SE merupakan

determinan utama untuk mortalitas jangka pendek dan panjang. Mortalitas terendah pada

anak-anak (mortalitas jangka pendek dari 3-9% dan mortalitas jangka panjang sekitar

7%) dan tertinggi pada orang tua ( mortalitas jangka pendek dari 22-38% dan mortalitas

jangka panjang 17-18%). Rasio mortalitas standard (SMR), mortalitas risiko relatif

dibandingkan dengan populasi umum, untuk orang dengan mortalitas jangka pangjang

dihubungkan dengan SE yaitu 2,8 (95% CI 2.1 –3.5). SMR pada orang tua usia >65 tahun

adalah 2,2 (95% CI 1,6-2,9) dan untuk usia < 65 tahun, SMR adalah 5,1 (95% CI 2,8-8,0)

(Chin et al, 2004)

8. Terapi mutakhir SE

Pada tahun 2001, rekomendasi pengobatan baru untuk remaja dan dewasa dengan

epilepsi telah dipublikasikan. Para pakar yang menyusun konsensus berdasarkan pada

Page 36: Modul Epilepsi Buku Acuan

35

opini clinical practice mengajukan terapi untuk berbagai tipe bangkitan termasuk

bangkitan akut pada IGE, GTCSE, dan absence SE. Dari pedoman, terapi pilihan untuk

absence adalah lorazepam intravena. Untuk pilihan terapi lini pertama adalah diazepam

atau intravena asam valproat sebagai terpai pilihan untuk pasien yang tidak respon

terhadap benzodiazeoun. Diazepam telah dilaporkan kurang efektif untuk absence SE

dibandingkan klonasepam (61% Vs 84%). Midazolam sebagai terapi lini kedua. Pasien

biasanya memiliki respon yang baik terhadap obat obat ini, dimana indikasi bahwa

mereka memilki genetic epilepsy. Kegagalan untuk merespon terapi akan menegaskan

adanya epilepsy kriptogenik (Wheless, 2003)

9. Penilaian umum terhadap terapi SE tonik-klonik

Fungsi kardiorespirasi. Pada seluruh pasien SE, proteksi fungsi kardiorespirasi merupakan prioritas utama. Hipoksia biasanya jauh lebih buruk dibandingkan

perkiraan, dan oksigen harus selalu diberikan

Investigasi kegawatdaruratan. Investigasi kegawatdaruratan yang harus

dimasukan dalam penilaian yaitu : analisis gas darah, glukosa, fungsi ginjal dan

hepar, kalsium, magnesium, hitung jenis darah, screening pembekuan, dan

konsentrasi OAE. Serum digunakan untuk analisis toksikologi dan virologi serta

gambaran lain. EKG juga harus dilakukan

Pengobatan kegawatdaruratan awal harus termasuk : o terapi OAE iv emergensi

o OAE oral rumatan (maintenance) atau melalui NGT

o IV thiamin dan glukosa apabila ada kemungkinan alkoholisme

o Glukosa apabila terjadi hipoglikemia

o Koreksi abnormalitas metabolik kalau ada

o Kontrol hipertermia

o Terapi vasopresor bila ada hipotensi

o Koreksi gagal jantung atau respirasi

Apabila status disebabkan oleh drug withdrawal, maka withdrawn drug seharusnya dengan cepat digantikan, lewat parenteral bila mungkin. Pengobatan

juga dibutuhkan bila terjadi disritmia jantung, laktat asidosis (apabila berat),

rhabdomyolisis, atau edema otak bila status berlanjut

Menegakkan etiologi. Keluaran dari status tergantung besarnya etiologi, dan pengobatan terhadap faktor penyebab yang penting. CT Scan dan pemeriksaan

LCS seringkali dibutuhkan. Pilihan investigasi tergantung dari keadaan klinis.

Monitoring bangkitan EEG dan intensive care. Apabila bangkitan terus berlanjut

walaupun penilaian telah diambil, pasien harus dikirim ke ICU yang tersedia

monitor intensif termasuk tekanan darah intra-arterial, capnography, oxymetry

dan monitoring tekanan vena sentral dan tekanan arterial.

Variasi pengobatan mengacu pada stadium : o Stadium premonitoring – peningkatan sejumlah bangkitan sering

diprediksikan SE konvulsif. Pengobatan pada stadium ini biasanya

sukses dan mencegah SE dan dihubungkan dengan morbiditas dan

mortalitas

o Established SE- stadium ini membutuhkan terapi iv emergensi

o Refractory SE- stadium ini membutuhkan ICU

Page 37: Modul Epilepsi Buku Acuan

36

10. Hal-hal penting yang berkaitan dengan SE (Walker, 2005)

Terapi emergensi dari pasien dengan bangkitan berulang akan mencegah terjadinya SE

Terapi emergensi dari pasien SE erat kaitannya dengan pemantauan fungsi

respirasi dan kardiovaskular

Terapi lini pertama untuk pasien SE konvulsif adalah benzodiazepin (lorazepam atau diazepam) diikuti dengan fenitoin

Apabila terapi lini pertama gagal, pasien harus dimasukkan ke ICU dan diberikan obat anestesi

Rujuk pasien dengan SE non konvulsif ( berlanjutnya aktivitas bangkitan tan adanya gerakan konvulsi) kepada spesialis saraf secepatnya setelah diagnosis

dicurigai

11. Pseudostatus (Walker, 2005)

Pseudostatus seharusnya dipertimbangkan apabila episode dari SE tidak responsif

dengan cepat pada saat awal terapi (khususnya apabila bangkitan adalah atypical).

Gambaran klinis dari bangkitan non epileptik termasuk :

lemahnya gerakan yang terkoordinasi

melengkungnya punggung (back arching)

mata tertutup (eyes held shuting)

kepala berputar (head rolling)

pelvis terdorong (pelvic thrusting)

12. OAE yang berkontribusi untuk SE

Obat yang digunakan untuk mengobati SE juga berpotensi untuk menyebakan SE

tonik. Hal ini utamanya ditemukan sebagai gejala dalam kelompok epilepsi umum dan

bukan sebagai kejadian genetik murni atau epilepsi umum idiopatik. Ada sejumlah

laporan tentang OAE yang memicu SE absence (lena). Tiagabine menjadi pemicu suatu

keadaan yang mirip dengan non convulsive SE. Tiagabin dapat menginduksi non-

convulsive SE pada pasien dengan awitan bangkitan parsial dan menginduksi status

absence pada pada pasien dengan riwayat nyata epilepsi umum idiopatik (Wheless,2003)

Page 38: Modul Epilepsi Buku Acuan

37

9. ALGORITMA

a. Steps in evaluation of paroxysmal events (Engel, 1989)

Is the event epileptic?

Diagnose and treat systemtic neurologic or psychogenic disorders

Is this a chronic

condition?

Is there a

treatable cause?

Patient has epilepsy: diagnose seizure type, and if possible, epileptic

syndrome. Institute specific treatment for epilepsy

Diagnose and treat (if necessary) cause of

reactive seizures

Is specific treatment

for cause successful in

curing seizures?

Patient does not

have epilepsy

No

No

No

No

Yes

Yes

Yes

Yes

Page 39: Modul Epilepsi Buku Acuan

38

b. Algorithm for diagnosis and treatment of seizures ( Engel et al, 2005)

Is event

epileptic?

Is event

epileptic?

Dx and Rx condition not

epilepsy

Syndrome Dx

Acute symptomatic?

Seizure Dx

Underlying treatable cause?

Pharmacotherapy

Surgery?

Hx

Description

EEG,CT,MRI?

LP?

Dx and Rx condition not

epilepsy

Hx

Description

EEG,CT,MRI?

Rx, seizures stop

not epilepsy

Maintenance,

social, psychology,

QOL

No

No

No or seizures

continue

Yes

Yes

Idiopathic Symptomatic

Yes

Ineffective

Effective

Page 40: Modul Epilepsi Buku Acuan

39

10. RANGKUMAN MATERI BAKU

Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan

praktik / ketrampilan dalam hal manajemen epilepsi secara komprehensif dengan

memerhatikan azas cost-effectiveness dan evidence-based medicine, melalui pendekatan

pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang dipelajari secara

mandiri, aktif dan interaktif oleh peserta didik adalah sebagai berikut:

a. Epileptologi: ilmu dasar

meliputi patofisiologi, termasuk eksitotoksisitas dan mekanisme hambatan, serta farmakologi obat anti-epilepsi (OAE);

b. Epileptologi klinik

meliputi epidemiologi, diagnosis bangkitan dan sindrom epilepsi, klasifikasi

bangkitan, evaluasi diagnosis, aspek psikososial

c. Terapi farmakologik epilepsi

meliputi penggunaan OAE lini pertama dan lini kedua, monoterapi versus politerapi, penghentian pemberian OAE, farmako-ekonomika OAE, dan terapi

status epileptikus

d. Terapi operatif

meliputi definisi epilepsi refrakter, identifikasi kandidat pasien untuk terapi operasi, evaluasi diagnosis pra-operasi, seleksi pasien untuk invasive EEG

monitoring, penilaian operative outcome, dan seleksi pasien untuk operasi ulang

e. Terapi lainnya

meliputi stimulasi nervus vagus (SNV), diet ketogenik, behavioral techniques, dan stress management

11. Daftar Pustaka Materi Baku

Abdelmalik, P.A., Burnham, W.M., Carlen, P.L. 2005 Increased seizure susceptibility of

the hippocampus compared with the neocortex of the immature mouse

brain in vitro. Epilepsia, 46(3): 356-66.

Acharya, J.N. 2002 Recent advances in epileptogenesis. Cur. Sci. 82(6):679-88.

American Epilepsy Society (AES) 2004 Surgical treatment of epilepsy. Epilepsy Surgery:

S6-S11.

Arroyo,A., Brodie,M.J., Avanzini,G., et al. 2002 Is refractory epilepsy preventable?

Epilepsia 43(4):437-44.

Behera, M.K., Rana, K.S., Kanitkar, M. et al. 2005 Status epilepticus in children. MJAFI

61: 174-78.

Benbadis,S.R. 2003 Introduction to electroencephalography, in T. Lee-Chiong (ed):

Encyclopedia of sleep medicine. John Wiley & Sons, Inc.

Benbadis,S.R., Heriaud,L. 2004 Idiopathic (”Primary”) generalized epilepsy. University

of South Florida. Tampa.

Bernard,C., Cossart,R., Hirsch,J.C., et al. 2000 What is GABAergic inhibition? How is it

modified in epilepsy? Epilepsia. 41(Suppl.6):S90-S95.

Page 41: Modul Epilepsi Buku Acuan

40

Billinton,A., Baird,V.H., Thom,M., et al. 2001 GABAB receptors autoradiography in

hippocampal sclerosis associated with human temporal lobe epilepsy.

Brit.J.Pharm. 132:475-80.

Bittagau,P., Sifringer,M., Genz,K. et al. 2002 Antiepileptic drugs and apoptotic

neurodegeneration in the developing brain. PNAS; 99(23):15089-094.

Blume,W.T., Luders,H.O., Mizrahi,E., et al. 2001 Glossary of descriptive terminology

for ictal semiology: report of the ILAE Task Force on Classification and

Terminology;42:1212-18.

British Brain & Spine Foundation (BBSF). 1999 Epilepsy: a guide for patients and carers.

London.

Brodie, M.J., Kwan, P. 2005 Epilepsy in elderly people. BMJ 331: 1317-322.

Browne,T.R., Holmes,G.L. 2001 Epilepsy. N.Engl.J.Med. 344(15):1145-51.

Buckmaster,P.S., Jongen-Relo,A.L., Davari,S.B. et al. 2000 Testing the disinhibition

hypothesis of epileptogenesis in vivo and during spontaneous seizures.

J.Neurosci. 20(16):6232-40.

Chadwick,D., Smith,D. 2002 The misdiagnosis of epilepsy. BMJ 324:495-6.

Chang,B.S., Lowenstein,D.H. 2003 Mechanism od disease: Epilepsy. N . Engl. J.

Med.349:1257-66.

Chin R.F.M., Neville,B.G.R., Scott,R.C. 2004 A systematic review of the epidemiology

of status epilepticus. European J. Neurol. 11:800-10.

Colmers,W.F., El Bahh,B. 2003 Neuropeptide Y and epilepsy. Epil Curr 3(2):53-58.

Cross, J.H. 1999 Update on surgery for epilepsy. Arch.Dis.Child. 81:356-59.

Crunelli,V., Leresche,N. 2002 Childhood absence epilepsy: genes, channels, neuros and

network. Neuroscience 3:371-382.

Engel, Jr, J. 1995 Concepts of epilepsy. Epilepsia;36(Suppl.1):S23-S29.

Engel Jr, J. 1989 Seizures and Epilepsy. F.A. Davis; Philadelphia.

Engel, Jr.J., Birbeck, G.L., Diop,R.G., Jain,s., Palmini, R. 2005 Epilepsy: Global issues

for the Practicing Neurologists. World federation of Neurology; New York.

Epilepsy Foundation of America (EFA) 1993 Treatment of convulsive status epilepticus:

recommendations of the Epilepsy Foundation of America‟s Working Group on

Status Epilepticus. JAMA 270:854-59.

Fisher, R., van Emde Boass, W., Blume, W., et al. 2005 Epileptic seizures and epilepsy:

definitions proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the

International Bureau for Epilepsy. Epilepsia 46(4):470-472.

Forsgren, L. 1992 Prevalence of epilepsy in adults in Northern Seden. Epilepsia 33:450-

9.

Fountain, N.B. 2000 Status epilepticus: risk factors and complications. Epilepsia;

41(Suppl. 2):S23-S30.

Gloor, P. 1986 Consciousness as a neurological concept in epileptology: a critical review.

Epilepsia; 27)Suppl 2):S14-S26.

Goodkin, H.P., Yeh, J.L., Kapur, J. 2005 Status epilepticus increases the intracellular

accumulation of GABAA receptors. J. Neurosci. 25:5511-20.

Hogan,R.E., Kaiboriboon,K. 2003 The “Dreamy state”: John Hughlings-Jackson‟ ideas

of epilepsy and consciousness. Am. J. Psychiatry 160:1740-47.

Holmes,G.L., Ben-Ary, Y. 2001 The neurobiology and consequences of epilepsy in the

developing brain. Ped.Res. 49(3):320-35.

Page 42: Modul Epilepsi Buku Acuan

41

Holt,P. 2000 Status epilepticus. Emory Pediatrics Acute Care Symposium. Available on

URL http://www.emory.edu/PEDS/NEURO/status99.htm. 12/28/01.

Huff, J.S. 2001 Status epilepsticus. eMed.J. Vol.2 Number 10. Available on URL

http:www.emedicine.com/emerg/topic.554.htm. 12/28/01.

ILAE 2003 The history and stigma of epilepsy. Epilepsia 44(Suppl.6):12-14.

Johnson,M.R., Sander,J.W.A.S. 2001 The clinical impact of epilepsy genetics. J. Neurol.

Neurosurg. Psychiatry; 70:428-30.

Kanner, A.M. 2003 The complex epilepsy patient: intricacies of assessment and

treatment. Epilepsia 44(Suppl. 5):3-8.

Kuzniecky, R.I. 2004 Reviews in neurological diseases: updates in epilepsy. Rev. Neurol.

Dis. 1(2):75-78.

Kwan, P., Brodie,M.J. 2000 Early identification of refractory epilepsy. N.Eng.J.Med.

342:314-9.

Lachwani,R., Luders,H. 2003 In refractory temporal lobe epilepsy, consider surgery

sooner. Clev.Clin.J.Med. 70(7):649-53.

Lauren,H.B., Lopez-Picon,F.R., Korpi,E.R., Holopainen,I.E. 2005 Kainic acid-induced

status epilepticus alters GABA receptor subunit mRNA and protein expression in

the developing rat hippocampus. J. Neurosci. 94:1384-94.

Lee,K.H., Meador,K.J., Park,Y.D. et al. 2002 Pathophysiology of altered consciousness

during seizures: subtraction SPECT study. Neurology 59:841-46.

Lowenstein,D.H., Bleck,T., Macdonald,R.L. 1999 It‟s time to revise the definition of

status epilepticus. Epilepsia; 40:120-22.

Manford,M. 2001 Assessment and investigation of possible epileptic seizures. J. Neurol.

Neurosurg. Psychiatry; 70(Supll II):ii3-ii8.

Marik,P.E., Varon,J. 2004 The management of status epilepticus. CHEST; 126:582-91.

Marson,A., Jacoby,A., Johnson,A., et al. 2005 Immediate verus deffered antiepiltpic drug

treatment for early epilepsy and single seizures: a randomized controlled trial.

Lancet 365:2007-13.

Mattson,R.H. 2003 Overview: idiopathic generalized epilepsies. Epilepsia 44(Suppl.2):2-

6.

Mayer,S.A., Claasen,J., Lokin,J., et al. 2002 Refractory status epilepticus: frequency, risk

factors, and impact on outcome. Arch. Neurol. 59:205-10.

Mazarati,A., Sankar,R. 2006 Status epilepticus: danse macabre in a ballet of subunits.

Epil. Curr. 6(3):102-105.

Morrell,M.J. 2003 Reproductive and metabolic disorders in women with epilepsy.

Epilepsia; 44(Suppl.4):11-20.

Naylor,D.E., Liu,H., Wasterlain,C.G. 2005 Trafficking of GABAA receptors, loss of

inhibition, and a mechanism for pharmacoresistance in status epilepticus. J.

Neurosci. 25:7724-33.

Oto,M., Russell,A.C.J., McGonigal,A., Duncan, R. 2003 Misdiagnosis of epilepsy in

patients prescribed anticonvulsant drugs for other reasons. BMJ 326:326-27.

Panayiotopoulos,C.P. 2005 The Epilepsies: Seizures, Syndromes and Management.

Bladon Medical Publishing, Oxfordshire.

Privitera,M., Ficker,D.M. 2004 Assessment of adverse events and quality of life in

epilepsy: design of a new community-based trial. Epilepsy & Behavior; 5:841-46.

Page 43: Modul Epilepsi Buku Acuan

42

Rogawski,M.A., Loscher,W. 2004 The neurobiology of antiepileptic drugs. Neuroscience

5:553-64.

Rosenow,F., Luders,H. 2001 Presurgical evaluation of epilepsy. Brain 124:1683-700.

Sander,J.W.A.S. 1993 Some aspects of prognosis in the epilepsies: a review. Epilepsia

34(6):1007-16.

Sarisjulis,N., Gamboni,B., Plouin,P., et al. 2000 Diagnosis idiopathic / cryptogenic

epilepsy syndromes in infancy. Arch.Dis.Child. 82:226-30.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). 2003 Diagnosis and management of

epilepsy in adults: a national clinical guideline. Glasgow

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). 2005 Diagnosis and management of

epilepsies in children and young people. Glasgow..

Shafer,P.O. 1998 Counseling women with epilepsy. Epilepsia 39(Suppl. 8):S38-S44.

Shafer, P.O. 2002 Improving the quality of life in epilepsy: nonmedical issues too often

overlooked. Postgrad.Med. 111(1):1-10.

Simon,H., Cannistra,S.A., Etkin,M.J. et al. 2001 What is epilepsy? Cynthia Chevin

Publisher, New York.

Smith,P.E.M. 2001 If it‟s not epilepsy. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry; 70(Suppl II):ii9-

ii14.

Smith,D., Chadwick,D. 2001 The management of epilepsy. J. Neurol. Neurosurg.

Psychiatry. 70 (Suppl II): ii15-ii21.

Stafstrom, C.E. 1998 The pathophysiology of epileptic seizures: a primer for

pediatricians. Pediatrics Review; 19(10):342-51.

Su,Y.H., Izumi, T., Kitsu M., Fukuyama,Y. 1993 Seizure threshold in juvenile myoclonic

epilepsy with Graves disease. Epilepsia, 34(3):488-92.

Trost III,L.F., Wender,R.C., Suter,C.C. et al. 2005 Management of epilepsy in adults.

Postgrad Med. 118(6):29-33.

Tugwell, C. 2003 Current and future aspects of the drug therapy of epilepsy. Hospital

Pharmacist; 10:296-302.

Van den Broek,M., Beghi,E. 2004 Morbidity in patients with epilepsy: type and

complications: a European Cohort Study. Epilepsia 45(1):71-76.

Walker, M. 2005 Status epilepticus: an evidence based guide; BMJ; 331(673-77).

Wheless,J.W. 2003 Acute management of seizures in the syndrome of idiopathic

generalized epilepsies. Epilepsia 44(Suppl.2):22-26.

World Health Organization (WHO) 2001 Epilepsy: etiology, epidemiology and

prognosis; Fact Sheet No.165-Revised February.

Yamamoto, L., Olaes,E., Lopez,A. 2004 Challenges in seizure management: neurologic

versus cardiac emergencies. Top. Emerg. Med. 26(3):212-24.

Zubcevic,S., Gavranovic,M., Catibusic,F. et al. 2001 Frequency of misdiagnosis of

epilepsy in a group of 79 children with a diagnosis of intractable epilepsy.

Presentation at the 4th

International Congress of European Pediatric Neurology

Society meeting. Baden-Baden, September.