Mini Paper
-
Upload
tyan-bravo -
Category
Documents
-
view
111 -
download
0
Transcript of Mini Paper
MINI PAPER
EKONOMI PUBLIK
PERKEMBANGAN EKONOMI DAERAH BERBASIS KEPULAUAN
OLEH :
Syahrul Rusdi
2009 / 13603
EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam delapan tahun terakhir (2000-2007) perhatian pemerintah terhadap
pembangunan pulau-pulau kecil terlihat sangat besar. Namun demikian sampai saat
ini besarnya perhatian tersebut belum memberikan dampak yang optimal terhadap
pembangunan ekonomi di daerah kepulauan. Terlepas dari belum optimalnya
dampak yang dirasakan oleh masyarakat kepulauan, langkah pemerintah dalam
memperhatikan pembangunan di pulau-pulau kecil merupakan modal besar bagi
masa depan ekonomi nasional berbasis kepulauan.
Salah satu bentuk perhatian pemerintah tersebut adalah pertama, terbentuknya
Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025 yang telah mengamanatkan dalam delapan misi
pembangunan Indonesia kedepan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara
kepulauan. Dalam Bab III Lampiran UU No 17 Tahun 2007 tersebut dijelaskan
bahwa salah satu misi pembangunan Indonesia dalam 25 tahun kedepan adalah
mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional dengan cara menumbuhkan wawasan bahari bagi
masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan;
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut
nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun
ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber
kekayaan laut secara berkelanjutan.
Kedua, terbentuknya Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Terlepas masih adanya pro kontra terhadap
beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, keberadaan undang-undang tersebut
sangat dibutuhkan dalam upaya pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Seperti diketahui bersama bahwa kondisi geografis Indonesia
2
yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga
sangat memerlukan adanya pengaturan yang lebih komprehensif.
Selain itu juga, jauh sebelum kedua undang-undang tersebut lahir, pemerintah
juga telah menerbitkan beberapa peraturan, baik peraturan menteri dan peraturan
Presiden yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan daerah berbasiskan sumberdaya
di wilayah kepulauan merupakan salah satu modal utama yang dapat diandalkan
dalam pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu seminar ini dirasakan sangat
penting guna merumuskan berbagai strategi dalam melakukan pembangunan daerah
berbasiskan sumberdaya alam di wilayah kepulauan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kasus yang diambil dalam pembahasan ini,
maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja sumber daya ekonomi dimiliki pulau-pulau kecil di Indonesia.
2. Apa saja kendala pembangunan daerah kepulauan.
3. Apakah hal-hal yang mempengaruhi minat wisatawan domestik dan asing di
Indonesia.
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui kendala-kendala dalam pembangunan
pariwisata kepulauan di Indonesia.
2. Mengetahui hal-hal yang mempengaruhi penurunan
kinerja pariwisata kepulauan di Indonesia.
3. Mengetahui hal-hal yang mempengaruhi minat
wisatawan di Indonesia.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. KONSEP DAERAH KEPULAUAN
UNCLOS 1982 (Pasal 46) mendefinisikan Kepulauan sebagai suatu gugusan
pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah
yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau,
perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi
dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
Berdasarkan hal tersebut maka yang dimaksud sebagai daerah kepulauan berarti
suatu daerah yang memiliki wilayah administrasi dalam lingkup NKRI yang
seluruhnya terdiri dari beberapa pulau kecil atau besar yang memiliki suatu kesatuan
geografis, ekonomi dan politik.
B. BATASAN & KARAKTERISTIK PULAU KECIL
Dalam beberapa literatur terdapat batasan yang berbeda dalam
mendefinisikan tentang pulau-pulau kecil. Misalnya dalam Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat di
sebutkan bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang memiliki luas
wilayah kurang atau sama dengan 10.000 Km2. Sementara itu dalam Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.39/MEN/2004 tentang Pedoman
Umum Investasi di Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, dan Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan
bahwa yang dimaksud pulau kecil adalah pulau yang memiliki Luas wilayah kurang
atau sama dengan 2.000 Km2. Secara lengkap berbagai perbedaan tentang batasan
pulau kecil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Batasan tentang Pulau Kecil Menurut Beberapa Sumber
No Sumber Batasan Pulau Kecil
1 Brookfield, H,C., 1990 Luas area sekitar 1.000
Km2;
Penduduk lebih kecil dari
100.000 orang
2 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat
Luas wilayah kurang atau
sama dengan 10.000 Km2
Jumlah penduduk kurang
atau sama dengan 200.000
orang
3 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor : KEP.39/MEN/2004 tentang
Pedoman Umum Investasi di Pulau-Pulau
Kecil
Luas wilayah kurang atau
sama dengan 2.000 Km2
4 Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Terluar
Luas area kurang atau sama
dengan 2.000 Km 2
5 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Luas wilayah kurang atau
sama dengan 2.000 Km2
Sumber : Diolah dari berbagai sumber, 2007
Sementara itu karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut: (a)
secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik
yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular; (b)
mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan
bernilai tinggi; (c) daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga
sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut; (d) Dari segi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau bersifat khas dibandingkan dengan
5
pulau induknya. Daratan yang pada saat pasang tertinggi permukaannya ditutupi air,
tidak termasuk kategori pulau kecil. Sebagai perbandingan, menurut Adrianto (2004)
di Jepang tidak mengenal istilah pulau kecil (small islands) melainkan pulau
terpencil (remote islands), karena itu salah satu fokus utama perhatian pemerintah
Jepang terhadap pulau-pulaunya adalah apakah pulau tersebut memiliki ciri
insularitas yang tinggi atau tidak.
6
BAB III
PEMBAHASAN
A. SUMBERDAYA EKONOMI PULAU KECIL
Data Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) menunjukan bahwa jumlah
pulau di Indonesia mencapai sekitar 17.504 yang terdiri dari 8.488 pulau belum
bernama dan sekitar 9.016 pulau sudah bernama. Dari sekian banyak pulau-pulau
kecil tersebut sekitar 13,76 persennya terdapat di Provinsi Kepulauan Riau dan
sekitar 10,95 persen terdapat di Provinsi Irian Jaya Barat. Secara lengkap keberadaan
pulau-pulau kecil tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi Jumlah Pulau di Indonesia, Tahun 2006
No. ProvinsiJumlah Pulau
JumlahBernama Tidak Bernama
1. Nanggroe Aceh Darussalam 205 458 663
2. Sumatra Utara 237 182 419
3. Sumatra Barat 200 191 391
4. Riau 73 66 139
5. Jambi 16 3 19
6. Sumatra Selatan 43 10 53
7. Bengkulu 23 24 47
8. Lampung 86 102 188
9. Kepulauan Bangka Belitung 311 639 950
10. Kepulauan Riau 1.350 1.058 2.408
11. DKI Jakarta 111 107 218
12. Jawa Barat 19 112 131
13. Jawa Tengah 47 249 296
14. DI Yogyakarta 22 1 23
15. Jawa Timur 232 55 287
16. Banten 48 83 131
7
17. Bali 25 60 85
18. Nusa Tenggara Barat 461 403 864
19. Nusa Tenggara Timur 473 719 1.192
20. Kalimantan Barat 246 93 339
21. Kalimantan Tengah 27 5 32
22. Kalimantan Selatan 164 156 320
23. Kalimantan Timur 232 138 370
24. Sulawesi Utara 311 358 669
25. Sulawesi Tengah 170 580 750
26. Sulawesi Selatan 196 37 233
27. Sulawesi Tenggara 360 290 650
28. Gorontalo 126 10 136
29. Sulawesi Barat 49 13 62
30. Maluku 768 631 1.399
31. Maluku Utara 628 897 1.525
32. Papua 301 297 598
33. Irian Jaya Barat 928 989 1.917
Total 8.488 9.016 17.504Sumber: Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Per 30 Juni 2006 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan dalam angka 2006
B. PULAU KECIL & PARIWISATA BAHARI
Salah satu potensi besar dalam kerangka pengembangan ekonomi daerah
berbasis kepulauan adalah pengembangan wisata pulau-pulau kecil. Kegiatan
pariwisata bahari menjadi fokus utama dari paper ini karena secara natural potensi
kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil hampir tersebar di seluruh pulau.
Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) mengidentifikasi bahwa dengan
menetapkan 36 kawasan sebagai pusat pertumbuhan maka terdapat 4.557 pulau yang
memiliki peluang pengembangan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan pariwisata
bahari (Tabel 3). Selain itu, data statistik industri wisata nasional menyebutkan
bahwa target jumlah kunjungan wisata pada tahun 2013 adalah 163 juta orang
dengan laju pertumbuhan 3.8 % per tahun. Dari jumlah total kunjungan wisata
8
tersebut, proporsi dari kegiatan pariwisata bahari diharapkan menjadi sekitar 25 %
atau sekitar 40 juta orang.
Tabel 3. Pusat Pertumbuhan dan Jumlah Pulau yang Dikembangkan
No Pusat Pertumbuhan Jumlah Pulau1 Sabang 52 Banda Aceh 103 Medan 514 Sibolga 2365 Padang 1406 Dumai 1807 Batam dan Tanjung Balai 1.4428 Pangkal Pinang 1919 Bandar Lampung 6810 Jakarta 11511 Jepara 2612 Surabaya 8413 Denpasar 1114 Mataram dan Bima 13115 Kupang 13516 Maumere 1817 Pontianak 5418 Ketapang 11819 Batu Licin dan Pulau Laut 5420 Balikpapan 11521 Berau 3622 Nunukan 323 Gorontalo 8424 Manado 15125 Bitung 726 Poso 8927 Luwu 18228 Ujung Pandang 21829 Kendari 3530 Raha-Bau Bau 4531 Ambon 12532 Ternate 8733 Tual-Bobo 21934 Jayapura 1135 Biak 7036 Manokwari 11
Sumber : DKP (2003)
Dalam paper ini, perekonomian pulau kecil diasumsikan terkait dengan faktor
populasi (penduduk lokal) dan lingkungan seperti yang diidentifikasi dalam studi-
9
studi pulau kecil seperti Kandelaars (2000), Matsumoto (2001), dan Brander and
Taylor (1998). Gambar 1 menyajikan model konsepsual keterkaitan antara sektor
ekonomi pulau-pulau kecil dengan sektor pariwisata bahari, populasi, lingkungan dan
pemerintah. Berdasarkan kerangka berpikir seperti yang disajikan dalam Gambar 1
tersebut analisis sistem dinamik sektor ekonomi pulau kecil berbasis kegiatan
pariwisata bahari disusun.
Dalam paper ini, tidak seluruh pulau kecil dalam Tabel 4 dijadikan basis
untuk menghitung kebutuhan investasi dan estimasi gross-output dari kegiatan
pariwisata bahari. Analisis sistem dinamik dilakukan dengan menggunakan dasar
jumlah pulau kecil yang memang memiliki potensi pariwisata bahari seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 4.
Gambar 1. Model Konseptual Pengembangan Ekonomi Pulau Kecil Berbasis Pariwisata Bahari
Tabel 4. Jumlah Pulau yang Memiliki Potensi Pariwasata Bahari*)
Nama Propinsi Jumlah Pulau Total Luas Jumlah PendudukNAD 8 48,832.00 17,010.00 Sumatera Utara 27 9,827.40 4,667.00 Riau 26 64,826.99 55,836.00 Kepulauan Riau 1 6.00 0.00 Sumatera Barat 3 144.00 1,157.00 Jambi 1 100.00 0.00
10
Bengkulu 1 40.06 12,868.00 Sumatera Selatan 1 117.00 560.00 Lampung 6 178,323.70 10,293.00 Jawa Barat 1 50.00 0.00 Jawa Tengah 2 tad 0.00 Bali 11 311.84 115,719.00 Nusa Tenggara Barat
10 9,138,509.09 6,785.15
Nusa Tenggara Timur
7 46,179.06 63,556.00
Kalimantan Timur 14 6,118.75 35,038.00 Kalimantan Selatan 3 21,900.00 793.00 Maluku Utara 2 830.00 673.00 Sulawesi Utara 1 0.10 0.00 Sulawesi Tenggara 11 4,697.40 3,875.00 Sulawesi Selatan 7 3,473.25 3,031.00 Papua 3 3,417.00 559.00 Total 146 9,527,703.64 332,420.15 Sumber : Database Pulau-pulau Kecil, Ditjen Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP-RI (2003)Keterangan :*) Seluruh investasi dirancang untuk sektor pariwisata bahari.
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4, jumlah pulau kecil yang memiliki
potensi pariwisata bahari secara riel adalah 146 pulau. Angka ini berasal dari jumlah
pulau kecil yang telah diidentifikasi memiliki potensi pariwisata bahari. Jumlah ini
tentu sangat lebih kecil dari jumlah pulau aktual yang memiliki potensi pariwisata
bahari namun belum diidentifikasi.
Seperti yang disajikan secara diagramatik dalam Gambar 1, pendekatan
sistem dinamik untuk pariwisata bahari di pulau-pulau kecil didekati dengan
menggunakan analisis keterkaitan 5 domain yaitu domain ekonomi, turis dan jumlah
kamar, populasi, pemerintah dan lingkungan.
1. DOMAIN EKONOMI
Dalam domain ekonomi, asumsi dasar yang digunakan adalah ekonomi dua
sektor yaitu sektor ekonomi pariwisata bahari dan sektor ekonomi lain yang dalam
konteks pengembangan pulau-pulau kecil bisa direpresentasikan oleh sektor
11
perikanan. Dalam sektor pariwisata bahari, gross-output dari kegiatan ini didekati
dari faktor jumlah turis dan harga per turis yang direpresentasikan oleh harga per
kamar (price per room). Harga per kamar ditentukan non-konstan dan dipengaruhi
oleh dinamika biaya tenaga kerja (labor costs). Kapital stok dari kegiatan pariwisata
bahari ini adalah jumlah kamar yang tersedia dan investasinya merupakan
penjumlahan dari investasi regional (propinsi) dan investasi nasional. Investasi
regional untuk kegiatan pariwisata bahari dipengaruhi oleh total investasi untuk
kawasan (propinsi), sedangkan investasi pariwisata bahari pada level nasional
diasumsikan sebesar 0.2 % dari total PDB nasional. Persentase ini diperoleh dari data
investasi nasional sektor hotel dan restoran baik dari skema PMDN maupun PMA
tahun 2000 terhadap total PBD nasional pada tahun yang sama.
Apabila fokus pengembangan ekonomi kepulauan/pulau tersebut adalah
kegiatan pariwisata bahari, maka dinamika sektor ekonomi lain (sektor 2) merupakan
dependent variable terhadap sektor pariwisata bahari (sektor 1). Hal ini terkait
dengan misalnya jumlah tenaga kerja dan total investasi yang diperlukan untuk
menggerakan sektor 2. Dengan kata lain, tenaga kerja dan investasi sektor 2
tergantung dari investasi dan tenaga kerja sektor 1.
2. DOMAIN TURIS & JUMLAH KAMAR
Dalam domain ini, jumlah kamar, jumlah turis dan permintaan terhadap
wisata bahari merupakan keluaran strategis (strategic output) dalam dinamika
pengembangan ekonomi pulau kecil yang berbasis pada kegiatan pariwasata bahari.
Jumlah kamar dan turis merupakan kapital stok yang dipengaruhi masing-masing
oleh efek positif dan negatif dari setiap variabel. Sementara itu, permintaan terhadap
wisata bahari terkait dengan kualitas lingkungan. Semakin baik kualitas lingkungan
semakin tinggi permintaan pariwisata bahari. Mengadopsi Kandelaars (2000),
ketersediaan lokasi pantai tergantung dari tingkat hunian (occupancy rate) daripada
jumlah turis. Semakin banyak hotel yang dibangun maka akan semakin banyak
pantai yang tersedia sebagai lokasi kegiatan pariwasata bahari.
12
3. DOMAIN POPULASI
Dinamika populasi pulau-pulau kecil didekati dengan konsep sederhana
bahwa stok populasi dipengaruhi oleh tingkat kelahiran dan kematian yang
diasumsikan eksogenus terhadap model. Demikian pula dengan faktor migrasi bersih
yang diasumsikan eksogenus terhadap model. Sedangkan stok angkatan kerja (labor
force) merupakan fungsi dari populasi bersih.
4. DOMAIN LINGKUNGAN
Domain ini merupakan salah satu decision variable yang berpengaruh pada
intensitas permintaan pariwisata bahari di pulau-pulau kecil. Kapital stok dari
domain ini direpresentasikan oleh kualitas air yang merupakan fungsi dari jumlah air
yang digunakan oleh penduduk lokal maupun oleh turis dan jumlah air bersih baru
yang diperoleh dari cleaning up baik yang dilakukan oleh penduduk pulau maupun
oleh turis.
5. DOMAIN PEMERINTAH
Domain ini hanya terdiri dari subsidi pemerintah yang diberikan untuk
melakukan cleaning up dari sumberdaya air di lokasi wisata pulau-pulau kecil.
Subsidi pemerintah ini merupakan jumlah total biaya yang dibayar kepada penduduk
oleh pemerintah untuk membersihkan sumberdaya air.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang disajikan pada Tabel 5-3, maka
hasil sementara pemodelan pengembangan pulau-pulau kecil berbasis pariwisata
bahari dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 2.
Tabel 5. Hasil Perkiraan Kebutuhan Investasi, Tenaga Kerja dan Gross-Output dari Pengembangan Ekonomi Pulau Kecil Berbasis Pariwisata Bahari.
Tahun Perkiraan InvestasiPerkiraan Tenaga
KerjaPerkiraan Gross-Output
(dalam Rp) (dalam orang) (dalam Rp)
2004 8,430,297,824,155.60 10,433,681.80 79,483,948,672,500.002005 8,487,686,943,109.55 9,928,858.31 79,483,948,672,500.002006 11,737,359,932,282.80 9,449,390.76 79,727,513,902,793.90
13
2007 11,848,478,709,749.70 9,000,395.95 79,832,533,291,516.502008 11,894,353,087,936.50 8,574,073.11 79,915,688,481,338.502009 11,930,763,642,037.70 8,169,158.16 79,987,892,980,063.802010 11,974,723,124,707.10 7,784,561.78 80,057,095,150,878.002011 12,053,813,533,140.90 7,419,283.13 80,123,378,028,399.302012 12,134,827,486,272.40 7,072,426.60 80,179,723,971,228.302013 12,193,802,427,374.30 6,743,074.93 80,190,417,236,755.002014 12,247,482,445,273.80 6,430,308.79 80,191,861,764,014.202015 12,273,994,809,907.00 6,133,288.31 80,192,605,547,055.902016 12,274,619,413,367.70 5,851,171.89 80,188,846,519,301.102017 12,277,233,949,014.20 5,583,162.53 80,201,032,884,780.002018 12,282,032,394,306.90 5,328,558.87 80,230,717,804,382.902019 12,286,690,289,908.00 5,086,694.99 80,259,301,453,196.602020 12,291,222,769,861.30 4,856,933.62 80,286,906,214,837.302021 12,295,641,354,769.30 4,638,669.39 80,313,625,787,324.102022 12,299,956,001,242.70 4,431,327.20 80,339,541,618,233.802023 12,304,175,146,688.50 4,234,360.75 80,364,723,310,385.502024 12,308,305,987,721.80 4,047,251.07 80,389,230,907,043.102025 12,312,354,688,570.60 3,869,505.13 80,413,116,630,991.302026 12,316,326,538,884.80 3,700,654.58 80,436,426,236,972.702027 12,320,226,072,749.40 3,540,254.50 80,459,200,077,428.202028 12,324,057,156,830.70 3,387,882.23 80,481,473,952,512.002029 12,327,823,052,740.80 3,243,136.23 80,503,279,795,476.902030 12,331,526,456,476.80 3,105,635.07 80,524,646,230,814.70
Sumber : PKSPL, 2004
14
1:41 2004”N5ŒŽ12“úPage 12004.00 2015.50 2027.00 2038.50 2050.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
8e+012.þRVvhrnr`Á(
1.05e+013
1.3e+013
7.9e+013
8e+013.
8.1e+013
1000000
6000000
11000000
0
2000000
4000000
1: investasi 1 2: gross output 1 3: labor 1 4: demand tourism
1
1 1 1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
Gambar 2. Hasil Simulasi Perkiraan Investasi, Tenaga Kerja dan Gross Output (2004-2030)
Dari Tabel 5 dan Gambar 2 dapat dilihat bahwa investasi yang diperlukan
untuk pengembangan pariwisata bahari meningkat tajam pada awal-awal tahun
simulasi kemudian stabil mulai tahun ke-7 simulasi. Demikian pula dengan perkiraan
permintaan wisata bahari dan gross-outputnya (dengan berbagai asumsi). Sementara
itu, jumlah tenaga kerja yang diperlukan cukup tinggi di awal tahun simulasi dan
kemudian cenderung turun di tahun-tahun berikutnya hingga mencapai level
1,430,612 orang pada akhir simulasi.
B. KENDALA PEMBANGUNAN DAERAH KEPULAUAN
Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa beberapa kendala pembangunan
pulau-pulau kecil adalah :
1) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan
prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. Sumberdaya manusia yang andal
dan mau bekerja di lokasi tersebut sedikit. Luas pulau kecil itu bukan suatu
kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh
penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah
penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar yang
jauh dari pulau itu. Ini berarti biaya mahal;
2) Kesukaran atau ketidakmanpuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal
dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi.
Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia;
3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,
vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya
menentukan daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia
penghuni serta segenap kegiatan pembangunan.
Keberadaan sumberdaya air di pulau kecil selain sangat tergantung pada curah
hujan, bentuk dan penyebaran batuan reservoir, ketebalan tanah pelapukan, dan
jenis vegetasi yang ada, juga mendapat pengaruh interaksi air laut dan air tawar
yang terdapat di kawasan tersebut, yang dikenal dengan gejala penyusupan air
laut. Gejala ini sangat menyolok dan mudah diamanti terutama untuk pulau
15
sangat kecil yaitu yang berukuran lebih kecil dari 200 km2. (Falkland (1991),
Hehanussa (1993))
4) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian
erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang
terdapat di sekitar pulau saling terkait satu sama lain secara erat. Misalnya di
Pulau Palawan, Filipina dan beberapa pulau di Karibia Timur, penebangan hutan
dan lahan daratan secara tidak terkendali telah meningkatkan laju erosi tanah dan
sedimentasi di perairan pesisir, kemudia merusak/mematikan ekosistem terumbu
karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata
bahari.
5) Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan
pembangunan. Contohnya terjadi dibidang pariwisata bahari yang akhir-akhir ini
dianggap sebagai dewa penolong bagi pembangunan pulau-pulau kecil. Di
beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan dianggap tidak sesuai
dengan adat atau agama setempat. Hal ini menjadi kendala tersendiri.
Kusumastanto (2003) lebih lanjut mengatakan bahwa segenap kendala
tersebut, bukan berarti menyebabkan pulau kecil tidak boleh dibangun atau
dikembangkan, tetapi pola pembangunannya harus mengikuti pola dan kaidah-kaidah
ekologis. Di lain pihak, pembangunan jelas tidak semata-mata teknis-ekonomis,
seperti bagaimana mengintroduksikan dan mengimplementasikan proyek-proyek
fisik atau mengucurkan dana subsidi, tetapi pembangunan juga merupakan proses
yang berkaitan dengan membangun harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu,
dalam pengembangan pulau-pulau kecil diperlukan perencanaan yang terarah dan
terintegrasi, sehingga output pembangunan yang dihasilkan menjadi optimal dan
berkelanjutan serta tidak merugikan kelompok masyarakat tertentu.
C. INVESTASI PULAU KECIL
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
KEP.39/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-Pulau Kecil bidang
usaha yang terbuka bagi investasi di pulau-pulau kecil meliputi :
1) Budidaya laut (mariculture);
2) Kepariwisataan;
16
3) Industri perikanan;
4) Penyediaan air bersih;
5) Resort dan restoran;
6) Pertanian;
7) Peternakan;
8) Perkebunan;
9) Energi dan sumberdaya mineral.
Berdasarkan hal tersebut maka investasi yang direkomendasikan oleh
Kepmen tersebut meliputi :
1) Pulau yang memiliki keindahan alam terumbu karang, pantai, ombak,
diperuntukkan bagi usaha pariwisata
2) Pulau yang memiliki kualitas perairan yang baik dan terlindung dari ombak
diperuntukan untuk usaha budidaya;
3) Pulau yang tidak berpenghuni dan memiliki potensi pakan alami (rumput dan
daun-daunan) yang besar diperuntukkan untuk peternakan;
4) Pulau yang memiliki kandungan tanah yang subur dapat untuk pertanian dan
perkebunan.
D. EKOLOGI – POLITIK PULAU KECIL
Ekologi-politik merupakan bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek
sosial politik terhadap pengelolaan lingkungan. Ada asumsi pokok dalam ekologi
politik bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral, melainkan merupakan
suatu bentuk politicized environment dimana banyak melibatkan aktor-aktor yang
berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global (Bryant, 2001).
Tujuan dari ekologi-politik tidaklah semata sebagai penjelas atas fenomena
perubahan lingkungan, tetapi juga merupakan pijakan penting dalam formulasi
kebijakan pengelolaan lingkungan. Dalam perspektif ekologi-politik, maka persoalan
PPK dapat dilihat dari pendekatan aktor sebagaimana diperkenalkan (Bryant, 2001).
Ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor ini, yaitu bahwa :(a) Biaya
dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara
tidak merata, (c) Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong
terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan (c) Dampak sosial ekonomi yang
17
berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam
arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor dengan lainnya.
Ada 5 pelaku yang disorot: yaitu state, businessmen, multilateral institution, NGO,
dan grass root. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana relasi antar aktor
tersebut dalam PPK? (Satria, 2006)
Kepmen KP 41/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Pulau Kecil Berbasis
Masyarakat memuat basis filosofis pengelolaan PPK secara berkelanjutan, yakni
keseimbangan dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial. Tentu keseimbangan dimensi-
dimensi dalam pembangunan PPK secara berkelanjutan bukanlah sesuatu yang
bersifat taken for granted, tetapi contested. Yakni, yang melibatkan aktor-aktor
dalam PPK seperti pemerintah (pusat dan daerah), pengusaha, LSM, serta
masyarakat lokal. Tentu pengusaha akan cenderung menitikberatkan dimensi
ekonomi sebagai basis keberlanjutan, sementara pemerintah dan sebagian LSM
cenderung ke dimensi ekologi, dan masyarakat lokal cenderung ke dimensi sosial.
Analisis kecenderungan ini seolah simplistis, namun paling tidak itulah yang selama
ini menjadi persepsi masyarakat umum. Selama ini pula terlihat bahwa di antara para
aktor-aktor tersebut, masyarakat lokal adalah aktor yang terlemah, sehingga dimensi
sosial seolah terlupakan dalam skema pembangunan PPK yang berkelanjutan (Satria,
2006).
Satria (2006) menyatakan bahwa Kepmen KP 41/2000 menunjukan bahwa
negara mulai menyadari ketidaksetaraan relasi kekuasaan antar aktor, sehingga
dimensi sosial akhirnya dimasukkan ke dalam skema pengeloaan PPK.
Mekanismenya adalah melalui pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak
ulayat/hak adat/hak asal usul atas penguasaan tanah dan wilayah perairan pulau-
pulau kecil oleh masyarakat hukum adat di samping hak-hak lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana tercantum dalam Bab IV
point A.1. Selanjutnya ditegaskan pula pada pasal selanjutnya bahwa :
a. Untuk pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang
dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh masyarakat hukum adat, maka kegiatan
pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum adat itu
sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18
b. Setiap kerja sama pengelolaan pulau-pulau kecil antara masyarakat hukum
adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling
menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan
kelestarian sumber daya.
c. Setiap kerja sama pengelolaan pulau kecil antara masyarakat hukum adat
dengan pihak ketiga dari luar negeri harus mendapatkan izin dari
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kepentingan
nasional.
Penegasan pengakuan dan perlindungan makin terlihat pada Bab IV Pasal C.2
dan 4, yakni bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
harus menjamin bahwa pantai dan perairan pulau-pulau kecil merupakan akses yang
terbuka bagi masyarakat”, serta “Pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh
pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaan
saham maupun kemitraan lainnya secara aktif dan memberikan keleluasaan
aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil tersebut. Kegiatan pengelolaan pulau-pulau
kecil yang berbasis masyarakat harus memperhatikan adat, norma dan/atau sosial
budaya serta kepentingan masyarakat setempat”. Penegasan negara seperti Kepmen
KP 41/2000 itu sangat penting artinya. Ini bermakna bahwa secara normatif posisi
masyarakat lokal harus diperkuat. Namun demikian, apakah seruan normatif ini akan
terbukti secara empiris di lapang ? (Satria, 2006)
Dengan meminjam dan memodifikasi kerangka Kay et.al (1996), maka
terlihat bahwa Kepmen 41/2000 bisa tergolong guidelines yang ternyata memiliki
tingkat aplikabilitas dan preskriptivitas yang rendah, sebaliknya memiliki tingkat
fleksibilitas yang tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Spektrum Petunjuk Pengelolaan PPK
Guidelines Framework Manual Methodology
Level of direct
applicability
+
Low
++ +++ ++++
high
Level of
prescriptiveness
+ ++ +++ ++++
19
Low high
Level of
flexibility
++++
high
+++ ++ +
Low
Sumber : Satria, 2006
Hal ini berarti bahwa selanjutnya bola ada di tangan pemerintah daerah untuk
membuat ”framework” hingga ”methodology”. Ini merupakan konsekuensi semangat
otonomi daerah. Sehingga, analisis relasi negara-masyarakat tidak semata berarti
pemerintah pusat-masyarakat, tetapi juga relasi antara pemerintah daerah (pemda) -
masyarakat. Dengan fokus pada analisis relasi pemda-masyarakat, maka dalam soal
PPK ini ada dua isu penting: (a) kapabilitas (isu teknokratik) dan (b) kepentingan (isu
politis). Pertama, memang publik masih bertanya-tanya apakah pemda secara
teknokratis mampu melakukan pengelolaan PPK sesuai dengan skema normatif
Kepmen KP 41/2000. Pengembangan kapasitas institusi dan sumberdaya manusia
pemda kemudian menjadi solsuinya. Kedua, publik pun bertanya-tanya apakah
pemda berkepentingan dan memiliki kemauan politis untuk memperkuat posisi
masyarakat lokal dalam relasi antar aktor dalam pembangunan PPK. Isu kedua ini
muncul sebagai konsekuensi otonomi daerah yang mensyaratkan agar daerah dapat
lebih independen secara finansial untuk membiayai pembangunannya. Akibatnya
desakan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seolah menjadi
kewajaran, dan pintu investasi pun lalu dibuka lebar-lebar. Disinilah pemda mulai
mempromosikan pulau-pulau kecil sebagai aset ekonomi daerah dan investor asing
adalah aktor penggeraknya. Apakah pilihan politik membuka investasi asing di
pulau-pulau kecil menguntungkan masyarakat lokal ?
Berkaca dari pengalaman Pulau Pasir serta Kepulauan Wakatobi, ternyata
investasi asing dalam bisnis wisata bahari cenderung mengabaikan hak-hak
masyarakat lokal yang kemudian membuat mereka marjinal. Masyarakat yang secara
turun temurun memiliki sejumlah hak (hak akses, hak menangkap ikan, serta hak
mengelola sumberdaya) tak diakui lagi, sehingga mereka seperti tamu di rumahnya
sendiri. Disinilah teori common property relevan, sebagaimana diungkapkan Robbins
(2004). Fenomena berkembangnya wisata bahari di PPK merupakan fenomena
privatisasi sumberdaya, padahal secara de facto komunalisasi sumberdaya
20
ditemukan. Konflik komunalisasi dan privatisasi seperti itulah yang diduga akan
terus mewarnai investasi di PPK. Disamping karena konflik hak kepemilikan
sumberdaya seperti itu, juga karena daya serap wisata bahari terhadap tenaga lokal
relatif kecil. Paling tidak para nelayan hanya dipekerjakan sebagai pengemudi perahu
wisata, yang tentu jumlahnya terbatas. Hal ini makin diperparah karena agenda
pemberdayaan masyarakat nelayan tidak dijalankan dengan baik.
Lalu bagaimana dengan isu geopolitik ? Pemerintah kini makin sadar
pentingnya membangun PPK di pulau kecil terluar. Namun berdasarkan identifikasi
Dephankam (2003) dari 92 pulau terluar tersebut setidaknya ada 13 pulau yang
mendapat prioritas sebagaimana Tabel 2. Adanya kepentingan geopolitis tersebut
memang akan mendorong dominasi peran pemerintah pusat di PPK. Hal ini dapat
memicu konflik dengan pemerintah daerah yang memiliki otoritas atas PPK
sebagaimana UU 32/2004. Mengingat kepentingan pertahanan, bisa dipahami bila
pemerintah pusat akan banyak mengambil inisiatif karena urusan pertahanan masih
menjadi urusan pemerintah pusat dan tidak bisa didesentralisasikan. Berkaitan
dengan PPK terluar, maka bagaimanapun juga peran pemda tidak bisa disampingkan.
Harmonisasi peran bisa dilakukan dengan mengacu pada dimensi-dimensi PPK
terluar yang tidak saja mencakup sosial, ekonomi, dan ekologi, tetapi juga
pertahanan. Oleh karena itu, urusan sosial, ekonomi, dan ekologi bisa diserahkan ke
daerah, sementara pemerintah hanya fokus di pertahanan. Desentralisasi PPK terluar
ke daerah bukan berarti pemerintah pusat tidak punya peran, sebaliknya pemerintah
pusat berperan sebagai fasilitator khususnya dalam memenuhi kebutuhan teknis dan
finansial.
Selain itu, secara empiris diperlukan sejumlah agenda lainnya. Pertama,
tentang karakter investasi. Perlu dipersyaratkan bahwa investasi yang dikembangkan
bersifat ramah secara sosial dan ekologis, sehingga gagasan pemberdayaan ekonomi
lokal sebagai bentuk investasi kecil menjadi relevan. Untuk perikanan, memang
penting untuk segera ditemukan daya dorong baik melalui peningkatan penawaran
dan permintaan baik untuk produk primer maupun sekunder. Ini membutuhkan
prasyarat institusi ekonomi lokal yang kuat sehingga produsen benar-benar
menikmati hasil produksinya. Sementara itu Wisata bahari selama ini hanya ramah
secara ekologis, dan tidak secara sosial mengingat area wisata bahari sering bersifat
21
tertutup bagi masyarakat lokal. Sehingga di dunia manapun konflik antara perikanan
lokal-tradisional dan wisata bahari sering terjadi. Masih jarang ditemukan kegiatan
perikanan lokal-tradisional sebagai obyek wisata bahari. Padahal ini merupakan salah
satu bentuk rekonsiliasi yang tepat. Kedua, penguatan organisasi rakyat. Lemahnya
posisi masyarakat lokal dalam tarik-menarik kepentingan di PPK mensyarakatkan
organisasi rakyat yang kuat. Disinilah LSM berperan penting menjadi fasilitator
dalam penguatan organisasi rakyat. Organisasi ini pula yang akan menjadi pilar bagi
tumbuhnya pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat serta institusi ekonomi-
lokal. Ketiga, perlu diagendakan kerangka hukum dan petunjuk operasional di
tingkat daerah sebagai upaya kontekstualisasi dan penjabaran Kepmen KP 41/2000,
sehingga tercipta harmonisasi antara pusat dan daerah.
Model Pengelolaan Daerah Berbasis Kepulauan : Studi Kasus Kepulauan
Wakatobi
Kepulauan Wakatobi merupakan kumpulan gugusan pulau-pulau kecil di
Provinsi Sulawesi Tenggara. Kepulauan tersebut menyimpan potensi sumberdaya
alam yang dapat dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi di daerah tersebut.
Potensi sumberdaya yang terdapat di Kepulauan Wakatobi dapat dibagi menjadi dua
seperti yang terdapat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Potensi Sumberdaya Alam di Kepulauan Wakatobi
No Wilayah Jenis Sumberdaya
1 Pesisir
dan
Lautan
Sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, udang dan
demersal yang dapat mencapai produksi sebanyak 927.000
ton/tahun;
Mangrove yang mencapa luas sekitar 804,45 ha;
Terumbu karang yang terbentang mengelilingi masing-masing
gugusan pulau-pulau kecil di Kepulauan Wakatobi, dengan
jumlah spesies sebanyak 197 spesies dan jumlah jenis
sebanyak 10.354 jenis.
2 Daratan Pertanian tanaman pangan yang terdiri atas : padi, jagung, ubi
kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan tanaman pangan lainnya;
Peternakan terdiri atas sapi, kambing, ayam kampung dan itik
22
manila;
Pertanian lainnya terdiri atas kepala, cengkeh, coklat, kopi,
pala, jambu mente, tebuh, tembakau, asam jawa dan pinang;
Kehutanan terdiri atas bambu, bakau dan bayam;
Pertambangan dan penggalian meliputi pasir, tanah urug, batu
gunung dan batu karang;
Industri lainnya terdiri atas tenunan, periuk, pandai besi,
meubel, kerajinan tangan, batu merah dan atap rumbia;
Angkutan dan komunikasi terdiri atas angkutan umum barang
dan orang di laut seperti kapal motor dan perahu tidak
bermotor, angkutan umum untuk barang di darat seperti truk,
pick up dan gerobak
Sumber : Ola, 2004
Studi desertasi Ola (2004) menunjukan bahwa selama ini model pengelolaan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Wakatobi adalah mengembangkan sembilan sektor
unggulan, yaitu sektor industri lain, sektor perdagangan, sektor pertambangan dan
penggalian, sektor angkutan dan komunikasi, sektor peternakan, sektor lembaga
keuangan, sektor perikanan, sektor makanan dan minuman dan sektor bahan
makanan lain.
Berdasarkan hasil studi tersebut juga Ola (2004) menunjukan bahwa setiap
pengembangan wilayah pemukiman penduduk sebesar 1 ha telah menyebabkan
terjadinya penurunan biomasa kepiting pada lingkungan mangrove sebesar 23,75
kg/tahun, penurunan biomasa ikan balanak pada lingkungan lamun sebesar 87,50
kg/tahun dan penurunan biomasa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang
sebesar 62,45 kg/tahun. Sementara itu pemanfaatan sumberdaya terumbu karang
untuk pondasi rumah telah menyebabkan degradasi terumbu karang rata-rata sebesar
355,33 m3/tahun dan penurunan biomasa ikan kerapu sebesar 19 ton/tahun.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa setiap pengembangan aktivitas
ekonomi di pulau-pulau kecil akan berdampak terhadap kelestaian sumberdaya alam
dan kesejahteraan masyarakat di sekitar kepulaua tersebut. Oleh sebab itu diperlukan
23
suatu model yang dapat meminimalisir dampak negatif dari aktivitas perekonomian
di wilayah kepulauan dan meingkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kasus Kepulauan Wakatobi terlihat bahwa guna meningkatkan
pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta menjaga
kelestarian sumberdaya alam yang tinggi adalah menggunakan model pengelolaan
dengan mengembangkan sektor industri lainnya dan didukung oleh sektor
perdagangan, sektor angkutan dan komunikasi, sektor perikanan, sektor
pertambangan dan penggalian, sektor peternakan, sektor bahan makanan lain, sektor
makanan dan minuman dan sektor lembaga keuangan yang tangguh. Pengembangan
sektor-sektor tersebut selama ini terbukti telah memberikan dampak positif terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu juga
terbukti sektor-sektor tersebut telah memberikan dampak negatif terendah terhadap
kerusakan lingkungan mangrove, lamun dan terumbu karang.
24
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Pembangunan ekonomi daerah berbasiskan kepulauan merupakan salah satu
potensi masa depan Indonesia. Oleh sebab itu diperlukan suatu perencanaan yang
matang dalam upaya mensejahterakan masyarakat dan melestarikan sumberdaya
alam di wilayah pulau-pulau kecil. Pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar
bagi pengembangan ekonomi daerah berbasis kepulauan karena karakteristik pulau
kecil khususnya yang rentan terhadap perubahan serta adanya keterkaitan ekologis,
sosial, ekonomi dan budaya antar pulau dalam suatu wilayah kepulauan.
B. Saran
Pemerintah Indonesia diharapkan lebih meningkatkan sarana dan prasarana
yang mendukung kegiatan wisata kepulauan di Indonesia agar minat wisatawan asing
maupun domestik lebih meningkat sehingga menambah pendapatan berupa devisa.
25
DAFTAR BACAAN
Falkland, A, 1991. Hydrology and water resources of small islands : a practical
guide, IHP-Unesco, Paris.
Hehanussa, P.E., 1993. Morphologenetic Classification of Small Island as basis for
Resources Planning in Indonesia, Seminar on Small Island Hydrology,
Unesco-Rostsea, Batam Island, February, 1993.
Kusumastanto, Tridoyo., 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di
Era Otonomi Daerah. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ola, Onu La., 2004. Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Rangka
Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Desertasi, tidak dipublikasikan.
PKSPL-IPB, 2004. Strategi Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Dan Kelautan
Satria, Arif., 2006. Ekologi Politik Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada
Seminar Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil oleh Walhi-Bengkulu pada 16
Mei 2006 di Bengkulu
26
27