Mendel Pkn
-
Upload
muhammad-azwar-usman -
Category
Documents
-
view
42 -
download
4
Transcript of Mendel Pkn
A. Menganalisis Tipe-Tipe Budaya Politik Yang Berkembang Dalam
Masyarakat Indonesia
1. Tipe-Tipe Budaya Politik
Proses pembentukan budaya politik dilakukan melalui sosialisasi
politik, yaitu proses penerusan atau pewarisan nilai-nilai dari generasi ke
generasi berikutnya. Untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia
yang dijadikan titik tolak adalah adanya pola budaya yang dominan yang
berasal dari kelompok etnis yang dominan pula, yaitu kelompok.
Menurut Prof. Miriam Budiardjo, salah satu aspek dalam politik adalah
budaya politik (politic culture) yang mencerminkan factor subjektif. Budaya
politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-
norma,pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada
umumnya. Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi
oleh hal-hal berikut.
a. Sejarah perkembangan system politik.
b. Agama dan kepercayaan yang terkait dengan adat istiadat dan
kebiasaan.
c. Kesukuan yang terkait dengan adat istiadat dan kebiasaan.
d. Konsep mengenai kekuasaan.
e. Kepemimpinan.
f. Status sosial yang mencerminkan hierarki dalam kelas-kelas sosial
atau pelapisan sosial.
Tipe – tipe budaya politik yang berkembang di Negara-negara di dunia dilihat
dari berbagai sudut pandang. Tipe – tipe budaya politik dapat di bedakan
sebagai berikut.
a. Berdasarkan Sikap yang Ditunjukkan
Berdasarkan sikap yang ditunjukkan, tipe budaya politik dapat
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut
1. Budaya Politik Militan
Budaya politik militant memandang perbedaan sebagai usaha yang
menantang. Apabila terjadi sesuatu, masalah budaya politik seperti ini
mencari kambing hitam. Padahal peraturan yang dibuat oleh pemegang
kekuasaan mungkin tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Budaya politik
ini8 menciptakan ketegangan dan dapat menimbulkan konflik, secara
otomatis kerja sama tidak akan pernah terjalin.
2. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik toleransi merupakan budaya politik yang
pemikirannya berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai. Budaya
politik seperti ini berusaha mencari kesepakatan yang sesuai dengan kondisi
masyarakat dengan selalu bersikap terbuka dan bersedia kerja sama.
Budaya politik ini bersifat netral dan mengkritisi ide-ide orang tanpa
mencurigai lorang tersebut.
b. Berdasarkan Sikap Terhadap Tradisi Dan Perubahan
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan, tipe budaya politik
dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Budaya Politik memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki
nilai-nilai dan kepercayaan yang dianggap selalu sempurna dan tak dapat
diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan,
bukan kebaikan. Pola piker demikian hanya memberikan perhatian pada apa
yang selaras dengan mentalnya dan menolak hal-hal yang baru atau
bertentangan. Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi
dan berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu
dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Tipe absolute dari
budaya politik sering menganggap perubahan sebagai sesuatu yang
membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai sesuatu yang
sangat berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai
perubahan.
2. Budaya Politik Memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan bersedia
menerima apa saja yang di anggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan
tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi
berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe akomodatif dari budaya politik
melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan.
Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih
sempurna.
c. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter
dalam budaya politik maka setiap system politik akan memiliki budaya
politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam
budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, Gabriel
Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut.
1. Budaya politik parokial (parochial political culture)
Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu
bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada
menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran
politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh
poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan
seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik
masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil
atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan
ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional
dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga
pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu
dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan
pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang
ekonomi, sosial, maupun keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal
wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat
khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh
minat begitu besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam
batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti
keterikatan pada profesi.
Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap
perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata
lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan
apa pun dari sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan
sekalipun. Dengan demikina parokialisme dalam sistem politik yang
diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial
masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai
serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan
pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan
sebagai pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama,
pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi.
Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial ialah
kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan
politik dalam masyarakat.
2. Budaya politik kaula/subjek (subject political culture)
Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem
politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya
melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik
ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun
ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka
yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs
yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum.
Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang
perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan
partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah
adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling ,
baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian,
posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif.
Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap
perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang
tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan
demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari
segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah.
Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi
perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta
kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam
masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian
pula orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif
daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki
sikap yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai
terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja
di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret
karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih
dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa
masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya
individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya
sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap
seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti
proses kolonisasi dan kidiktatoran.
3. Budaya politik partisipan (participant political culture)
Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi
terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat
dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat
keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang
tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam
kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki
orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan,
bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya
terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik
itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-
hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan
tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat
telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun
tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini
masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam
konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif
diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun
sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.
4. Budaya politik campuran (mixed political cultures)
Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi
hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur
otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam
perubahan sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras,
dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan
format politik karena gagal mencapai harmoni.
Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu
tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah
maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada
yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya
politik campuran.
Seperti telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni (parochial,
kaula/subjek, dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe
kebudayaan politik atau disebut budaya politik campuran (mixed political
cultures). Adapun tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :
1.Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian
besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa
atau otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam
sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan
pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses
peralihan parokial awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan
sentralisasi.
Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang memiliki
"kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi yang
tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian,
kebudayaan politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah
dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan
politik, psikologi, dan kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis
perbedaan tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap stabilitas dan
penampilan sistem politik itu.
Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik
campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu yang
aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang
lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam
peranan subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif
melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya
yang lebih penting sebagai seorang subjek.
Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi
keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.
2.Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)
Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan
mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan.
Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari
objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan
memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya
subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah
memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian
orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga
negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur
pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi
pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada
masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif
warga Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif.
Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat
mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi
yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian.
Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk
infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa
hal tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis,
mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.
3.Kebudayaan parochial partisipan (The parochial Culture)
Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada
tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut sedang giat melakukan
pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan
bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan
sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.
Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang
berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan
keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi
oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme,
sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak
dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak
berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.