Media social dan emosi by anthony dio martin

3
©Anthony Dio Martin | 1 M edia sosial kini sedang mengepung kita! Lihatlah berbagai isu yang marak di media sosial belakangan ini. Nah, apa yang Anda pikirkan dan atau rasakan, tatkala mendengar atau membaca berita mengenai kekerasan seksual di JIS (Jakarta International School), dan kejahatan serupa oleh Emon di Sukabumi dan berita-berita kekerasan seksual lainnya yang marak berseliweran di social media kita akhir-akhir ini? Coba simaklah komentar- komentar pembaca di yahoo, facebook, dan media sosial lainnya yang begitu pedas terhadap sebuah berita. Bahkan, ada yang sangat kasar dan emosional seolah tak ada lagi tata krama dalam berkomunikasi. Misalkan saja, belum lenyap dalam ingatan kita tatkala seorang ABG dibully habis-habisan di media sosial karena sikapnya yang tidak emphatic terhadap seorang ibu hamil yang minta tempat duduk di kereta api. Nah, hampir setiap hari kita dibombardir oleh pesan-pesan singkat, kata-kata peneguhan, berita hujatan, puisi sakit hati, letupan kegalauan dari orang yang tidak kita kenal sekalipun. Belum lagi ketika kita “dikacaukan” oleh perang psikologis para politikus menjelang menjelang pilpres tahun 2014 ini yang begitu tampak aroma permusuhannya. Singkatnya begitu mudah pesan-pesan itu dikonsumsi publik. Tentunya itu semua berdampak bagi kita bukan, sekurang-kurangnya secara emosi? Bahkan, mungkin saja Anda pun mulai emosional ketika membayangkan ilustrasi, berita serta contoh-contoh di atas. MEDIA SOSIAL & EMOSI

Transcript of Media social dan emosi by anthony dio martin

Page 1: Media social dan emosi by anthony dio martin

©Anthony Dio Martin | 1

Media sosial kini sedang mengepung kita! Lihatlah berbagai isu yang

marak di media sosial belakangan ini. Nah, apa yang Anda pikirkan

dan atau rasakan, tatkala mendengar atau membaca berita mengenai

kekerasan seksual di JIS (Jakarta International School), dan kejahatan

serupa oleh Emon di Sukabumi dan berita-berita kekerasan seksual lainnya yang

marak berseliweran di social media kita akhir-akhir ini? Coba simaklah komentar-

komentar pembaca di yahoo, facebook, dan media sosial lainnya yang begitu pedas

terhadap sebuah berita. Bahkan, ada yang sangat kasar dan emosional seolah tak ada

lagi tata krama dalam berkomunikasi. Misalkan saja, belum lenyap dalam ingatan

kita tatkala seorang ABG dibully habis-habisan di media sosial karena sikapnya yang

tidak emphatic terhadap seorang ibu hamil yang minta tempat duduk di kereta

api.

Nah, hampir setiap hari kita dibombardir oleh pesan-pesan singkat, kata-kata

peneguhan, berita hujatan, puisi sakit hati, letupan kegalauan dari orang yang tidak

kita kenal sekalipun. Belum lagi ketika kita “dikacaukan” oleh perang psikologis

para politikus menjelang menjelang pilpres tahun 2014 ini yang begitu tampak

aroma permusuhannya. Singkatnya begitu mudah pesan-pesan itu dikonsumsi publik.

Tentunya itu semua berdampak bagi kita bukan, sekurang-kurangnya secara emosi?

Bahkan, mungkin saja Anda pun mulai emosional ketika membayangkan ilustrasi,

berita serta contoh-contoh di atas.

MEDIA SOSIAL & EMOSI

Page 2: Media social dan emosi by anthony dio martin

2 | Media Sosial dan Emosi

Bagi saya, satu kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi tersebut, yaitu

bahwa “media sosial berpotensi menjadikan masyarakat jadi

semakin emosional.” Kata emosional di sini bermakna

peyoratif (negatif) dari dua sisi. Mengapa? Pertama,

berbagai komentar dan ungapan itu bisa saja

mencerminkan orang yang tak mampu menata emosinya

sehingga apapun yang dirasakan diungkapkan begitu

saja. Namun disisi lain, juga membuat orang yang

membacanya jadi emosional karena marah, jengkel,

kesal, tidak terima. Jadi intinya, bikin orang ikuta

jadi emosi.

Praktekkanlah Tips AMATI

Sebelum kita juga terhanyut dalam kegilaan masyarakat karena berbagai media

social ini, saya mempunyai beberapa tips soal bagaimana menghadapi hal itu. Tipsnya

saya singkat dengan kata A-M-A-T-I.

Pertama, ABAIKAN! Kita tak dapat melarang burung berterbangan di atas kepala

kita, tapi kita dapat mencegah burung itu bersarang di atas kepala kita. Artinya

kita tak dapat melarang berita, pesan itu lalu lalang di kepala kita, tapi kita dapat

memutuskan untuk tidak membaca, apalagi mengomentarinya. Karena kita juga tak

dapat melarang “penulis-penulis” berita yang sekedar cari sensasi dan tak punya

tujuan jelas dengan berita-berita tersebut.

Saran berikutnya, adalah MENAHAN DIRI. Artinya, jangan sampai kita pun menulis

atau mengomentari sesuatu yang ujung-ujungnya membuat kita merasa menyesal.

Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak tokoh yang kemudian dihujat dan dimaki-

maki karena status twitter, facebook mereka yang membuat jengkel. Nah, jangan

sampai Anda jadi orang berikutnya. Hati-hatilah tatkala ingin membuat komentar.

Kemudian, ANTISIPASI. Kini, Anda sudah tahu bahwa media berpotensi

memberikan berbagai informasi yang bisa memancing emosi. Risikonya, tiap kali

Anda membuka, Anda sudah harus antisipasikan bahwa apa yang tertulis di sana bisa

membuat Anda marah, kesel, sebel, dll. Jadi sebelum Anda memutuskan membaca

siapkan diri Anda untuk melihat berbagai tulisan, dari yang paling inspiratifdan

positif sampai yang isinya sampah dan membuat marah Anda. Kalau udah begitu,

Anda sudah tahu, apakah ini saat yang tepat untuk membacanya ataukah sebaiknya

ggak usah sekarang. Antisipasilah!

Page 3: Media social dan emosi by anthony dio martin

©Anthony Dio Martin | 3

Seandainya terpaksa kita mendengar atau membaca berita-berita yang emosional

biasakan diri untuk TIDAK MENGUMPAT! Jenderal Ullyses Grant (presiden US ke-18)

pernah mengatakan, ”Mengumpat adalah sebagai suatu tindakan kebodohan, karena

kata-kata kasar membangkitkan amarah diri kita sendiri dan menulut kemarahan

orang lain”. So, belajarlah untuk tidak mengumpat, awal dari meledaknya emosi

marah yang justru melemahkan diri kita sendiri.

Kemudian yang terakhir, INSYAFLAH! Ini agak bercanda, tapi juga punya makna

serius. Yang jelas, komentar dan pendapat Anda di media social, bisa jadi petunjuk

soal bagaimana karakter diri Anda! So, mulai sekarang berjanjilah untuk memberikan

komentar-komentar yang positif atau yang membangun. Ingatlah, justru berbagai

berita emosional di atas sedang mengajari kita untuk berempati. Disatu sisi, Anda

bisa menebak bagaimana kondisi mental orang yang membuat atau menciptakan

status marah-marah itu. Apapun yang kita tulis adalah cerminan batin kita. So,

mulailah berhati-hati dengan apa yang Anda tuliskan.

Mulai sekarang, demi masyarakat yang sehat emosi, ada baiknya kita tidak

dengan tidak mengomentari atau men-share berita-berita emosional murahan yang

tak perlu. Jadi, sekarang saatnya mengAMATI isi-isi media sosial yang kita miliki.

Anthony Dio Martin

“Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, ahli

psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program

Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta, pengasuh rubrik

Motivasi di harian Bisnis Indonesia.

PS. Let’s connect via facebook & twitter:

Twitter: @anthony_dmartin

Facebook: http://www.anthonydiomartin.com/go/facebook/

www.AnthonyDioMartin.com

Untuk mendapatkan artikel rutin dari Anthony Dio Martin, ayo gabung

dengan milis HR Excellency Group dengan klik menu “Join” di www.

hrexcellency.com, lalu masukkan nama, email di kolom yang tersedia,

lantas Anda akan menerima link email untuk konfirmasi.