manejemen pasien dengan syok anafilaksis.rtf

download manejemen pasien dengan syok anafilaksis.rtf

If you can't read please download the document

Transcript of manejemen pasien dengan syok anafilaksis.rtf

TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN PASIEN DENGAN SYOK ANAFILAKTIK

Oleh: Putu Mega Wiyastha ( 0402005167 )

Pembimbing: dr. Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, M.Kes

1

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA MEI 2009 KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, tinjauan pustaka yang berjudul Manajemen Pasien Dengan Syok Anafilaktik dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya. Dalam tinjauan putaka ini ditulis tentang gambaran umum syok anafilaktik, penatalaksanaan syok anafilaktik, pencegahan dan prognosis syok anafilaktik. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat dalam menangani pasien dengan syok anafilaktik. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan ini terutama kepada : 1. dr. Made Wiryana Sp.An KIC, selaku kepala bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2. dr. Nyoman Gede Sasmara Astawa, Sp.An, selaku koordinator Pendidikan Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 3. dr. Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan ini. Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi kesempurnaan laporan ini.

Denpasar, Mei 2009

Penulis

2

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Syok.............................3 2.1.2 Definisi Syok ... 3 2.1.3 Etiologi Syok ... 3 2.1.4 Klasifikasi Syok ... 3 2.2 Anafilaksis dan Syok Anafilaktik... 5 2.2.1 Definisi Syok Anafilaktik ............................. 5 2.2.2 Epidemiologi .5 2.2.3 Faktor Presdiposisi dan Etiologi ............... 6 2.2.4 Patofisiologi...................................................... .... 7 2.2.5 Manifestasi Klinis Anafilaktik.................................. ... 9 2.2.6 Diagnosis................................................... 11 2.2.7 Diagnosis Banding .... 13 2.2.8 Penatalaksanaan ................................................................................ 14 2.3.9 Prognosis.......... 18 BAB III SIMPULAN................... 20 DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I PENDAHULUAN

Syok merupakan keadaan gawat darurat yang potensial dapat mengancam nyawa sehingga membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa penderita. Syok adalah sindroma klinik sebagai akibat kegagalan perfusi jaringan atau mikrosirkulasi yang menyebabkan hipoksia seluler dan gangguan fungsi sel. Terdapat berbagai sebab terjadinya syok, salah satunya adalah anafilaksis.1,2 Anafilaksis merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe akut, yang dimediasi oleh IgE (reaksi anafilaktik) dan tanpa mediasi IgE (reaksi anafilaktoid). Reaksi hipersensitivitas ini terjadi sebagai akibat dari respon imun yang berlebihan atau tidak terkontrol, terjadi bila jumlah antigen yang masuk cukup banyak atau bila status imunologik seseorang, baik seluler maupun humoral meningkat sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.3 Di Amerika insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006.2,3 Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak.4,5 Pada awalnya gejala anafilaksis cenderung ringan, akan tetapi pada akhirnya bisa menyebabkan kematian akibat syok anafilaktik. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung4

sangat cepat, tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Syok 2.1.1. Definisi Syok Syok mrupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok juga terjadi hipotensi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel sehingga seringkali menyebabkan kematian pada pasien.1,3,4 2.1.2. Etiologi Syok Timbulnya syok disebabkan oleh:1 Kegagalan hantaran oksigen ke jaringan, oleh karena: Kegagalan fungsi pompa Defisit volume sirkulasi Gangguan pada pembuluh darah

2. Kegagalan ambilan oksigen oleh jaringan. 2.1.3. Klasifikasi Syok Pada umumnya syok dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu:1,3 1. Syok hipovolemik Gambaran klinis pada syok hipovolemik ditandai oleh volume cairan intravaskular yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial, dan

6

peningkatan tahanan vaskular sistemik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: a. Perdarahan (syok hemoragik), misalnya trauma. b. Kehilangan plasma, misalnya luka bakar, peritonitis. c. Kehilangan air dan elektrolit, misalnya muntah, diare. Adapun kompensasi dari syok hipovolemik diantaranya: nadi yang cepat, kerja jantung yang meningkat, vasokonstriksi pembuluh darah, pergeseran cairan interstisial ke intravaskular (1-2 jam), serta terjadi peningkatan aktivitas eritropoetin. 2. Syok kardiogenik Syok kardiogenik adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal akibat gangguan fungsi pompa jantung. Secara klinis syok kardiogenik ditandai oleh adanya penurunan curah jantung akibat kegagalan fungsi jantung sebagai pemompa darah dengan kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan terjadi takikardia. Selain itu pada syok kardiogenik disertai dengan riwayat/sedang menderita penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya: a. Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena komplikasi infark miokardium akut (IM). Insidennya diperkirakan sekitar 5%. b. Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain takiaritmia, tamponade jantung, tension pneumotoraks, embolus paru, dan infark ventrikel kanan. c. Curah jantung yang tidak adekuat, antara lain bradiaritmia, regurgitasi mitral, atau ruptur septum interventrikel. 3. Syok obstruktif Syok obstruktif biasanya disebabkan oleh kompresi vena kava, tamponade jantung, dan emboli paru yang menyebabkan daya regang jantung menurun sehingga akan menurunkan aliran darah balik, curah jantung, tekanan darah, serta tekanan perfusi. Pada syok ini terjadi peningkatan systemic vascular resistance. 4. Syok distributif Syok distributif terjadi sebagai akibat gangguan pembuluh darah, dimana terjadi vasodilatasi/vasokonstriksi. Dikenal juga sebagai fenomena maldistribusi. Hal ini7

disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya, riwayat atau sedang menderita penyakit infeksi, alergi, gangguan fungsi saraf, dan reaksi imunologi yang lain. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: a. Syok anafilaktik Terjadi vasodilatasi mendadak Kolaps kardiovaskular, yang pada akhirnya menyebabkan sinkop. Syok Septik adalah suatu kegagalan sirkulasi perifer dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat akibat septikemia atau endotoksemia. 2.2. Anafilaksis dan Syok Anafilaksis 2.2.1. Definisi Syok Anafilaksis Anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anaphylaxis). Anafilaksis adalah reaksi sistemik akut yang timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen (beberapa menit sampai beberapa jam) sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, yang melibatkan lebih dari satu sistem organ (multiple body system) yang terjadi secara serentak atau hampir serentak, seperti pada kulit dan jaringan bawah kulit, saluran respirasi atas dan bawah, sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, serta sistem organ lainnya. Anafilaksis terjadi sebagai akibat mediasi Imunoglobulin E yang disebut sebagai reaksi anafilaktik dan tanpa mediasi imunoglobulin E yang disebut sebagai reaksi anafilaktoid. 1,2,4,5,6,7 Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan merupakan bagian dari syok distributif yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.1,2,8

b. Syok Septik

2.2.2. Epidemiologi Kejadian anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.1,2,3,4 Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi karena sistem imun pada individu ini belum sepenuhnya mengalami perkembangan yang optimal .3,5 2.2.3. Faktor Predisposisi dan Etiologi Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obatobatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.1,4,5 Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis Anafilaktik (melalui IgE) Antibiotik (penisilin, sefalosporin) Ekstrak alergen (tawon, polen)9

Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin) Enzim (kemopapain, tripsin) Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum) Anafilaktoid (tidak melalui IgE) Zat pelepas histamin secara langsung Obat (opiat, vankomisin, kurare) Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol) Obat lain (dekstran, fluoresens) Aktivasi komplemen Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah lainnya) Bahan dialisis Modulasi metabolisme asam arakidonat Asam asetilsalisilat NSAIDs Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-4, Jilid 1, Balai Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta. 2.2.4. Patofisiologi Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I ( Immediate type reaction). terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu : reaksi anafilaktik (IgE-dependent) dan reaksi anafilaktoid (IgE-non dependent). Pada reaksi yang dimediasi oleh IgE (reaksi anafilaktik) melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.6,7,8 Sedangkan reaksi anafilaktoid, yang merupakan reaksi tanpa mediasi IgE menyebabkan reaksi anafilaktik melalui aktivasi komplemen melalui jalur klasik dan jalur alternatif, mengakibatkan peningkatan produksi C3a, C5a, dan anafilatoksin. Zat pelepas histamin, modulasi asam arakidonat, faktor fisik, faktor idiopatik juga merupakan mekanisme dari reaksi anafilaktoid.510

Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaktik

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.6,7,811

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators. 6,7,8 Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. 6,7,8 Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.2,6 Gambar 2.2. Patofisiologi Syok AnafilaksisPelebaran Pembuluh Darah Maldistribusi Volume Sirkulasi Aliran Darah Balik (Venous Return) Tekanan Darah Tekanan Perfusi 12

Hipoksia Jaringan

2.2.5. Manifetasi Klinis Anafilaksis Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik, menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis anafilaksis yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat, dimana syok anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.4,6,7 Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. 1,4,5 Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal13

dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6 Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin. 4,6 Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.4,6 Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.4,6 Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi14

perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.4,6 Umur, reaksi presipitasi, dan adanya penyakit paru sebelumnya sangat menentukan tingkat keparahan anafilaksis serta syok yang akan ditimbulkan selanjutnya. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.5,6,8 2.2.6. Diagnosis Diaganosis anafikasis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dicari apakah pasien mendapatkan zat penyebab anafilaksis seperti injeksi, minum obat, disengat hewan, atau setelah makan sesuatu. Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan kriteria klinis dibawah ini :1,4,6, 1. Onset yang akut (dari beberapa menit sampai beberapa jam) disertai dengan gejalagejala yang terjadi pada kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria, pruritus, edema pada bibir-lidah-uvula). Dan minimal satu dari gejala yang berikut ini : a. Gangguan pada sistem respirasi (sesak, wheeze-bronchospasm, stridor). b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan end-organ dysfunction (hipotonia, syncope, incontinence). 2. Dua atau lebih gejala berikut ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut ( beberapa menit sampai beberapa jam): a. Gangguan pada kulit dan jaringan mukosa. b. Gangguan pada sistem respirasi. c. Penurunan tekanan darah atau gejala lainnya yang berkaitan. d. Gangguan pada sistem pencernaan yang terjadi secara persisten. 3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit sampai beberapa jam): a. Bayi dan anak-anak: tekanan darah sistolik yang rendah (tergantung umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.

15

b. Orang dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmhg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal. Derajat klinis pasien anafilaksis juga bisa dibagi menjadi derajat ringan, sedang, dan berat sesuai dengan gambaran klinis serta tingkat keparahannya yaitu :2,3,4 1. Ringan Hanya terjadi perubahan fisiologis pada kulit serta jaringan subkutan seperti generalized erythema, urtikaria, edema periorbital, atau angioedema. 2. Sedang Gangguan pada sistem respirasi, kardiovaskular, atau pencernaan, diantaranya adalah sesak napas (Shortness of Breath/SOB), stridor, wheeze, mual, muntah, pusing (pre-syncope), diaphoresis, sesak pada dada atau tenggorokan, sakit perut, dyspnea, dan stridor. 3. Berat Gangguan pada saraf, hypoxia, hipotensi (tekanan darah sistolik