Manajemen Spastisitas

51
Referat MANAJEMEN SPASTISITAS Oleh: Rina Purnama Sari, S.Ked Yulia Margareth, S.Ked Rizki Agmalia Sorayya, S.Ked Khairunnisa Saputri, S.Ked M. Fariz Reza Pahlevi, S.Ked Ali Akbar, S.Ked BAGIAN/SMF KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM – RSUD ULIN BANJARMASIN

description

Referat

Transcript of Manajemen Spastisitas

Page 1: Manajemen Spastisitas

Referat

MANAJEMEN SPASTISITAS

Oleh:

Rina Purnama Sari, S.Ked

Yulia Margareth, S.Ked

Rizki Agmalia Sorayya, S.Ked

Khairunnisa Saputri, S.Ked

M. Fariz Reza Pahlevi, S.Ked

Ali Akbar, S.Ked

BAGIAN/SMF KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

November, 2014

Page 2: Manajemen Spastisitas

BAB I

PENDAHULUAN

Spastisitas yang berasal dari bahasa Yunani spasticus (berarti “untuk

menarik”) merupakan salah satu komponen dari sindrom Upper Motor Neuron.

Dapat disebabkan oleh lesi yang terjadi di proksimal dari sel kornu anterior pada

medula spinalis, batang otak, atau pada otak.1 Spastisitas dapat menyebabkan

hambatan dalam beraktivitas atau berpartisipasi pada orang-orang dengan

berbagai gangguan neurologis dan merupakan salah satu tantangan besar bagi tim

rehabilitasi medik.2

Definisi spastisitas yang paling banyak digunakan adalah yang

dikemukakan oleh Lance (2200) : Spastisitas adalah suatu gangguan motorik yang

ditandai oleh peningkatan tonus otot yang terkait kecepatan gerak dengan

sentakan tendon berlebihan, yang dikarenakan hipereksitabilitas dari refleks

regang, sebagai suatu komponen dari sindroma Upper Motor Neuron.2

Spastisitas pasca stroke (Post Stroke Spasticity – PSS) adalah komplikasi

yang umum ditemukan bersamaan dengan tanda dan gejala lain dari sindrom

Upper Motor Neuron – UMN, meliputi agonis-antagonis, co-contraction,

kelemahan serta gangguan koordinasi. Bersama-sama gangguan tersebut akan

menyebabkan impairmen yang pada akhirnya menyebabkan komplikasi. Tujuan

dari manajemen PSS tidak hanya mengurangi tonus otot yang berlebihan tetapi

juga memperbaiki dampak PSS terhadap fungsi dan rasa sejahtera. Intervensi

difokuskan pada strategi perifer dan sentral, dalam arti terapi fisik untuk

meningkatkan panjang otot melalui peregangan dan penggunaan obat-obatan.

Studi perbandingan satu metode dengan metode lain dalam penanganan PSS ini

belum banyak, tetapi terlihat bahwa manajemen yang optimal dari PSS didapat

dari kombinasi dan koordinasi dari beberapa metode yang mencakup obat-obatan

serta intervensi bedah, bersama-sama dengan pendekatan dari rehabilitasi medik.

Beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai prediktor PSS adalah lesi pada

Page 3: Manajemen Spastisitas

batang otak, stroke perdarahan pada usia muda, hemiparesis dan hemihipestesi

yang berat saat onset.1

Walaupun tidak selalu merugikan, spastisitas dapat menjadi permasalahan

serius dalam fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari pasien seperti misalnya

spastisitas yang berat pada kaki dapat menyebabkan kesulitan berjalan, spastisitas

pada pinggang selain dapat menyebabkan kesulitan berjalan juga menyebabkan

kesulitan membersihkan diri di toilet dan kesulitan berpakaian. Spastisitas pada

lengan dan tangan dapat menyebabkan kesulitan membuka jari atau mengangkat

bahu sehingga menyebabkan masalah kebersihan karena fungsi tangan dan lengan

yang tidak baik. Spastisitas dapat pula menyebabkan nyeri serta dapat

menyebabkan kesulitan berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang

diinginkan.3

Pada beberapa penderita, spastisitas akan bertambah berat dengan

berjalannya waktu dan masalah tersebut akan bertambah dengan adanya nyeri.

Jika spastisitas ini terjadi dalam waktu lama, otot yang kaku akan menjadi pendek

secara permanen yang disebut “kontraktur”. Bila terjadi kontraktur, terapi menjadi

sangat sulit, sehingga tak jarang memerlukan terapi bedah untuk koreksi parsial.

Penanganan spastisitas yang baik akan mencegah terjadinya kontraktur.3

Beberapa hal tersebut diatas mendasari untuk mempelajari dan memahami

spastisitas lebih jauh, sehingga diharapkan dapat memberikan penanganan yang

optimal bagi pasien dengan spastisitas.

Page 4: Manajemen Spastisitas

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Spastisitas (dan gejala sindroma Upper Motor Neuron lainnya) terjadi

karena terganggunya jaras desendens yang terlibat dalam kontrol motorik. Jaras

ini mengatur proprioseptif, refleks spinal nosiseptif dan kutaneus, yang menjadi

hiperaktif dan bertanggungjawab terhadap mayoritas gejala positif dari sindroma

Upper Motor Neuron. Teori awal menyebutkan bahwa spastisitas terjadi bila

terjadi gangguan pada sistem piramidal. Sistem ini terdiri dari serabut saraf yang

berasal dari area presentral (60%) dan postsentral (40%) pada korteks serebri.

Kontrol motorik sendiri berasal dari korteks presentral : duapertiganya berasal

dari korteks motorik primer (area 4 Brodmann) dan sisanya berasal dari korteks

premotorik (area 6). Hasil penelitian pada monyet dan kera menunjukkan bahwa

pada level kortikal, lesi yang terbatas pada korteks motorik primer area 4 tidak

selalu menyebabkan spastisitas. Pada lesi tersebut, tonus dan refleks tendon

cenderung menurun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa spastisitas terutama

ditimbulkan oleh lesi yang mengenai area 6.5

Selain itu, terdapat juga area yang disebut dengan parapiramidal (untuk

membedakan dengan ekstrapiramidal) yaitu serabut saraf nonpiramidal yang

berasal dari korteks presentral, terutama dari area 6, yang berjalan bersama-sama

dengan traktus piramidal. 5

Area batang otak yang mengontrol refleks spinal

Dari area batang otak, terdapat dua sistem pengontrol refleks spinal yang

saling mengimbangi, satu bersifat inhibitor dan yang lainnya eksitator/fasilitasi.5

(Gambar 1). Masing-masing sistem tersebut secara simultan melakukan fasilitasi

dan inhibisi terhadap pusat motorik yang bekerja. Sebagai contoh, pusat yang

membangkitkan ekstensi anggota gerak memberikan fasilitasi ke neuron motorik

yang mempersarafi otot-otot ekstensor dan memberikan inhibisi ke neuron

Page 5: Manajemen Spastisitas

motorik yang mempersarafi otot-otot fleksor. Disepakati bahwa

sistemeksitator/fasilitasi (berupa nukleus atau lintasannya) adalah sistem yang

memberikan fasilitasi reflek ekstensor dan menginhibisi reflek fleksor, sedangkan

sistem inhibitor (nukleus, pengelompokan inti, atau lintasan) adalah pusat yang

menginhibisi reflek ekstensor dan memberikan fasilitasi reflek fleksor.6,7

Sistem Inhibitorik

Daerah utama yang mengatur inhibisi di medula, yaitu formasio

ventromedial retikular, berasal dari daerah parapiramidal di korteks premotor,

dorsal dari piramidal. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa stimulasi yang

dilakukan pada daerah ini menyebabkan berkurangnya refleks patela, flaksiditas,

penurunan tonus otot dan penghambatan refleks fleksor dan vibrasi tonik. Jaras ini

akan berlanjut menjadi traktus retikulospinal yang berlokasi di funikulus

dorsolateral. 5

Sistem Eksitatorik

Pada daerah batang otak yang lebih tinggi, terdapat area difus dan

ekstensif yang berfungsi memfasilitasi refleks regang. Area ini berasal dari sub

dan hipotalamus (diensefalon basalis), dengan jalur eferen yang melewati dan

mendapat kontribusi dari substansia grisea, tegmentum, pontin, dan formasio

retikular bulbar. Stimulasi pada area ini meningkatkan refleks patela, tonus

ekstensor dan menyebabkan klonus. Area ini akan berlanjut menjadi traktus

retikulospinal medial yang berlokasi di kornu anteromedial. 5

Area eksitatorik lain berlokasi di medula, dekat dengan pons dan akan

berlanjut menjadi traktus vestibulospinal lateralis yang berlokasi di anteromedial,

dekat dengan traktus retikulospinal medial. 5

Tingkat Medula Spinalis

Pada tingkat medula spinalis di daerah kornu anterior dikenal adanya

inhibisi postsinaps dan inhibisi presinaps.7 Sinaps merupakan hubungan antara dua

neuron (neuron presinaps adalah akson terminal pada neuron, neuron postsinaps

adalah badan sel/dendrit dari neuron kedua). Masing-masing sinapsselalu bersifat

eksitatorik atau inhibitorik saja.8

Page 6: Manajemen Spastisitas

Gambar 1. Inhibisi di tingkat medulla spinalis

Pada dasarnya inhibisi postsinaps bekerja bila terjadi aktivitas pada serabut

aferen dari muscle spindle (reseptor regang pada otot) yang kemudian merangsang

neuron motorik/motorneuron (dalam kornu anterior) yang mempersarafi otot yang

bersangkutan dan kemudian menimbulkan impuls penghambat (inhibisi) terhadap

neuron antagonis, yang pada gilirannya akan menghambat kontraksi otot antagonis

tersebut. Sedangkan inhibisi presinaps adalah suatu proses dimana jumlah

neurotransmiter yang dilepaskan berkurang sehingga potensial aksi tidak

tercapai.7,8

Tingkat Otot

Untuk dapat berfungsi secara efektif, sistem motorik harus dapat

mengintegrasikan umpan balik dari sensorik, mengontrol aktivitas refleks, dan

mengkoordinasi gerakan yang disadari. Oleh karena itu, sistem motorik harus

mendapatkan informasi mengenai posisi otot, kecepatan otot, dan sendi. Selain

itu, sistem motorik juga harus mampu merespon gaya eksternal dengan cepat

untuk dapat mengontrol aktivitas refleks, memulai dan juga menghentikan

aktivitas motorik.1 Untuk itu diperlukan reseptor. Terdapat dua macam reseptor di

otot, yaitu gelendong otot (muscle spindle) yang terletak pada muscle belly dan

berfungsi mendeteksi perubahan pada panjang otot, dan Golgi tendon organ yang

Page 7: Manajemen Spastisitas

berfungsi untuk mendeteksi adanya perubahan pada tegangan otot (muscle

tension).8

Gambar 2. Refleks Tendon Patela

2. PATOFISIOLOGI SPASTISITAS

Spastisitas timbul bila terdapat peningkatan tegangan otot yang berlangsung

terus menerus pada saat otot tersebut diregangkan secara pasif. Tegang otot ini

disebabkan reflek regang yang berlebihan, adanya peningkatan kepekaan terhadap

rangsang pada reseptor proprioseptif yang terdapat dalam otot. Ketegangan otot

tidak timbul pada awal gerakan pasif, tetapi timbul dan meningkat bersamaan

dengan semakin teregangnya otot.7,10

Teori spastisitas menunjukkan bahwa timbulnya spastisitas merupakan

ketidakseimbangan antara sistem eksitatorik dan sistem inhibitorik di otak bagian

tengah serta formasio retikularis batang otak.7,10

Beberapa bentuk kenaikan tonus otot dapat timbul disebabkan karena: 7

1. Kerusakan yang mengenai area motorik di korteks

2. Pemutusan impuls superior ke area inhibitor retikuler di batang otak

Page 8: Manajemen Spastisitas

3. Penguatan rangsang dari area fasilitasi atau retikuler di otak bagian tengah dan

batang otak.

Keadaan tersebut diatas akan menimbulkan luapan fasilitasi ke medula

spinalis, yang dijalarkan melalui lintasan retikulospinal, vestibulospinal dan lain-

lain, dan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan antara sistem motor

neuron alfa dan gamma. Kegagalan/hilangnya pengaruh inhibisi sentral yang

secara normal menekan/mengurangi reflek regang spinal (spinal stretch reflex)

akan diikuti oleh kontraksi otot yang berlebihan (hipereksitabilitas) apabila

diregangkan.7,10 Hal ini merupakan dasar utama terjadinya spastisitas.

3. EVALUASI SPASTISITAS

Spastisitas berkembang secara perlahan setelah onset timbulnya lesi sistem

saraf pusat. Durasi berkembangnya spastisitas bervariasi tergantung pada kelainan

neurologis yang mendasari. Saat terjadi pemulihan dari defisit neurologis,

spastisitas juga cenderung menjadi stabil.3 Evaluasi klinis spastisitas sebaiknya

mencakup kualitas dan kuantitas serta efek fungsional dari pasien, sehingga

program rehabilitasi dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan pasien dan

perkembangan yang terjadi dapat dibandingkan dari waktu ke waktu.4

A. Pemeriksaan Fisik Spastisitas

Anggota gerak diposisikan dalam keadaan yang rileks, kemudian tiba-tiba

difleksikan atau diekstensikan. Munculnya spastisitas tergantung kecepatan gerak

(velocity dependent) sedangkan spasme, kontraktur, atau keadaan lain dari

hipertonia tidak tergantung kecepatan gerak. Spastisitas biasanya melibatkan

fleksor anggota gerak atas dan ekstensor anggota gerak bawah. Hal ini terjadi pada

awal lingkup gerak sendi/LGS dan khas ditandai relaksasi yang terjadi tiba-tiba

(seperti pada mekanisme pisau lipat) dari anggota gerak ketika suatu kekuatan

statis yang digunakan terus menerus pada sebuah anggota gerak spastik. Gejala lain

yang sering dikaitkan dengan spastisitas adalah klonus (sebuah siklus hiperaktif

dari otot-otot antagonis sebagai respon terhadap peregangan) dan spasme

(contohnya spasme nyeri fleksor dan ekstensor).

Page 9: Manajemen Spastisitas

B. Penilaian Kuantitatif Dan Kualitatif Spastisitas

Skala Ashworth Modifikasi

Merupakan skala yang paling umum digunakan dalam menilai spastisitas.

Skala ini mengukur resistensi yang terjadi ketika jaringan diregangkan secara pasif

dan dilakukan sebagai berikut11 :

- Pemeriksaan dilakukan dalam posisi supine (posisi ini menghasilkan

pengukuran yang lebih akurat dan skor yang lebih rendah karena

adanya tekanan pada bagian tubuh akan meningkatkan spastisitas).

- Anggota gerak digerakkan dengan kecepatan yang sesuai dengan

kecepatan gravitasi (didefinisikan sebagai kecepatan ketika anggota

gerak yang non-spastik jatuh secara alami atau dengan kata lain, cepat).

- Tes dilakukan maksimal tiga kali untuk setiap sendi. Apabila dilakukan

lebih dari tiga kali, efek singtkat dari peregangan akan mempengaruhi

skor spastisitas.

- Tes dilakukan sebelum pemeriksaan lingkup gerak sendi karena

pemeriksaan lingkup gerak sendi dapat menyebabkan peregangan

singkat dan dapat mempengaruhi skor.

Skor

Skala Ashworth Modifikasi Skala Ashworth

0 Tidak ada peningkatan tonus otot Tidak ada peningkatan tonus

1

Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan sebagai tahanan dan pelepasan atau dengan perlawanan minimal pada akhir LGS ketika bagian yang diperiksa difleksikan/diekstensikan

Sedikit peningkatan pada tonus otot berupa tahanan ketika anggota gerak difleksi/diekstensikan

1+

Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan sebagai tahanan diikuti dengan perlawanan minimal pada sisa (<50%) LGS

2Peningkatan tonus otot pada seluruh LGS, namun bagian yang terkena masih dapat digerakkan dengan mudah

Peningkatan tonus otot, namun anggota gerak masih mudah difleksikan

3Peningkatan tonus otot yang lebih nyata, gerakan pasif sulit

Peningkatan nyata dari tonus otot, gerakan pasif sulit

4Bagian yang terkena menjadi rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi

Anggota gerak rigid dalam posisi fleksi atau ekstensi

Page 10: Manajemen Spastisitas

Skor Tonus Aduktor (Adductor Tone Rating)

Digunakanpada pasien dengan peningkatan tonus otot panggul. Spastisitas

aduktor panggul dapat merupakan masalah penting karena mengganggu fungsi

seksual, higien perineal, dan perawatan kateter baik pada pria maupun wanita.4,12

Skala Frekuensi Spasme (Spasm Frequency Scale)

Digunakan untuk menilai spasme pada kelompok otot dalam waktu 24

jam.4 Definisi spasme yang digunakan adalah12:

- Spasme adalah twitching tidak terkontrol dari otot atau anggota gerak,

dapat juga berupa perubahan posisi anggota tubuh yang tidak terkontrol

- Spasme yang terjadi beruntun tanpa jeda/periode istirahat dianggap

sebagai satu spasme

Skor

Skor Tonus Aduktor Bilateral

0 Tidak ada peningkatan tonus

1Terdapat peningkatan tonus, sendi panggul mudah diabduksikan sampai 45° oleh 1 orang

2 Panggul dapat diabduksi sampai 45° oleh 1 orang dengan usaha ringan

3 Panggul dapat diabduksi sampai 45° oleh 1 orang dengan usaha sedang

4 2 orang diperlukan untuk mengabduksi sendi panggul sampai 45°

Skor

Skor Frekuensi Spasme

0 Tidak ada spasme

1 1 atau lebih sedikit kelompok otot mengalami spasme

2 Antara 1 dan 5 kelompok otot mengalami spasme

3 Antara 6 dan 9 kelompok otot mengalami spasme

410 atau lebih kelompok otot mengalami spasme, atau mengalami kontraksi terus-menerus

Page 11: Manajemen Spastisitas

Skor Analog Visual (VAS)

VAS untuk penilaian nyeri global dapat dilakukan untuk menilai akibat-

akibat spastisitas. Pasien diminta untuk menghitung total jumlah nyeri yang telah

dialami selama 24 jam menggunakan garis horisontal 10 cm dengan tanpa nyeri

ditulis di sebelah kiri dan nyeri maksimal disebelah kanan.

C. Evaluasi Fungsional Spastisitas

Pada waktu pemeriksaan, akibat fungsional yang tidak diinginkan dari

spastisitas harus dapat diidentifikasi agar program rehabilitasi yang dibuat sesuai

dengan kebutuhan pasien.4

a. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS): menilai semua AKS dasar dan

instrumental, juga catatan peralatan yang digunakan dan sejumlah

bantuan yang diperlukan.

b. Kemampuan transfer: nilailah jenis, hitung jumlah bantuan yang

diperlukan dan kesulitan-kesulitan dan keamanan untuk semua kondisi

transfer, misal : ke bak mandi, kursi, tempat tidur, toilet dan mobil.

c. Posisi istirahat: ukurlah sudut istirahat sendi dalam keadaan duduk,

berdiri dan ketika ambulasi. Catat adanya deviasi, kesulitan yang terjadi

dan adaptasi yang dilakukan dengan posisi ketika di tempat tidur, kursi

dan kursi roda.

d. Lingkup Gerak Sendi/ LGS: nilailah LGS anggota gerak aktif dan pasif.

e. Keterampilan keseimbangan: catatlah keseimbangan pada waktu duduk,

berdiri, dan berjalan.

f. Ketahanan: menentukan berapa ketahanan/daya tahan hilang karena

energi yang dikeluarkan untuk mengatasi spastisitas.

g. Pola tidur: nilailah efek spastisitas waktu tidur, contoh: jumlah waktu

permalam ketika pasien terbangun oleh spasme atau spastisitas, apakah

pasien memerlukan bantuan untuk kembali tidur.

Page 12: Manajemen Spastisitas

h. Analisis langkah secara observasi: tentukan bentuk langkah, kompensasi

dan deviasi. Juga evaluasi bagaimana langkah-langkah pasien,

keseimbangan saat berjalan, dan juga posisi lengan dan ayunannya.

4. REHABILITASI PADA SPASTISITAS PASCA STROKE

Tidak semua spastisitas menjadi masalah, terutama pada tahap awal

penyembuhan setelah cedera otak ataupun medula spinalis dimana spastisitas

dapat digunakan untuk memperbaiki kemampuan fungsional dari pasien. Sebagai

contoh adalah kaki spastik dengan kontrol motorik minimal yang terjadi setelah

stroke berguna untuk menopang berat badan dan untuk perputaran tubuh, atau

tonus fleksor siku dapat digunakan untuk membawa buku.1,15

Penanganan spastisitas yang dilakukan harus sesuai dengan tujuan terapi

rehabilitasi dan juga sesuai dengan kebutuhan pasien dan caregiver nya. Yang

sangat diperlukan dalam penanganan spastisitas adalah kerjasama dan komunikasi

yang baik diantara tim terapi.1 Ada beberapa kasus dimana pengurangan

spastisitas tidak memperbaiki fungsional pasien, namun malah menyebabkan efek

samping sistemik karena medikasi yang diberikan. Contohnya, seorang pasien

dengan spastisitas berat dan kontrol motorik yang buruk dimana spastisitasnya

tidak menimbulkan nyeri dan tidak mengganggu dengan perawatan dan

positioning tidak akan mendapat banyak perbaikan setelah pengurangan tonus.15

Gans dan Glenn membagi tujuan terapi kedalam 2 kategori. Yang pertama

adalah manajemen fungsi pasif seperti pengurangan rasa nyeri, positioning,

higien, penggunaan splint, dan pencegahan kontraktur.1 Fungsi pasif ini adalah

fungsi yang berkaitan dengan terapis atau caregiver dan terutama memerlukan

fleksibilitas dan gerakan pasif anggota gerak dalam melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari.15 Tujuan kedua berkaitan dengan aktivitas fungsional aktif

yang dilakukan oleh pasien sendiri, yaitu memperbaiki transfer, ambulasi, dan

kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.Fungsi aktif ini

memerlukan gerakan aktif, kekuatan, konsentrasi, atensi, kesadaran, dan juga

mood yang positif. Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan dokter ketika

Page 13: Manajemen Spastisitas

Pencegahan/pengurangan Pereganganstimulasi yang Vibrasimengganggu/merugikanTerapi dingin

Terapi farmakologis : diazepam, baklofen, dantrolen, tizanidin,dll

Functional Blok Electrical StimulationMotor Point

Kemodenervasi dengan fenol, toksin botulinum

NeurektomiTenotomiRizotomiMiotomi

MielotomiKordektomi

menangani spastisitas, mengingat efek samping dari beberapa manajemen,

terutama agen farmakologis, yang menyebabkan kelemahan otot, sedasi,

hipotensi, depresi, dan sebagainya.1,15

Manajemen harus dibuat berdasarkan keterbatasan fungsional yang

ditimbulkan spastisitas seperti nyeri, kesulitan dengan posisi, higien, atau

mobilisasi.15Sebelumnya, manajemen spastisitas dilakukan dengan sistem

pendekatan piramidal, penanganan dimulai dengan teknik yang ada di tingkat

paling dasar. Ketika teknik-teknik tersebut tidak mencukupi, baru ditambahkan

dengan teknik yang ada di level kedua, dan selanjutnya, dengan tindakan bedah

ada pada level teratas.16

Kini, walaupun penanganan tetap dimulai dengan teknik yang konservatif,

namun tidak mutlak mengikuti pendekatan tersebut. Penanganan lebih ditujukan

untuk mengusahakan kemampuan fungsional yang seoptimal mungkin bagi pasien

dan seluruh tim terapi harus selalu memonitor efikasi dan efek samping yang

ditimbulkan oleh intervensi, dan juga menyesuaikannya dengan kebutuhan

pasien.1

Gambar 3. Manajemen spastisitas dengan pendekatan piramidal

Page 14: Manajemen Spastisitas

A. MANAJEMEN KONVENSIONAL

Pengurangan stimulasi yang mengganggu/menyakitkan

Langkah pertama dalam program manajemen spastisitas adalah

pengurangan stimulasi yang mengganggu/menyakitkan seperti ulkus dekubitus,

kuku yang tumbuh ke dalam (ingrown toenail), kontraktur, kateter yang menekuk,

urolitiasis, infeksi saluran kemih, deep venous thrombosis, impaksi fekal, sepsis,

dan lain sebagainya.1

Positioning

Positioning yang tepat merupakan komponen penting dalam manajemen

spastisitas. Positioning yang salah dapat mengakibatkan pengurangan lingkup

gerak sendi, kontraktur, nyeri dan lain-lain yang pada akhirnya akan

memperburuk siklus yang terjadi dan memperburuk keadaan spastis. Tujuan

dalam program positioning termasuk perbaikan alignment tubuh dan kesimetrisan.

Keuntungan yang diperoleh adalah kemudahan dalam perawatan, fasilitasi terapi,

dan maksimalisasi fungsional pasien.1

Beberapa postur yang harus dihindari karena dapat mengakserbasi

timbulnya spastisitas yaitu postur menggunting (scissoring) yaitu ekstensi sendi

pinggul bilateral, aduksi, dan rotasi internal, posisi windswept (fleksi sendi

pinggul, abduksi, eksternal rotasi pada satu sisi dan ekstensi relatif sendi pinggul,

aduksi, rotasi internal dari sisi lainnya), dan posisi frog-leg. Positioning juga

penting bagi pasien yang duduk di kursi roda. Tonus dapat diminimalkan dengan

memosisikan pasien dengan sendi pinggul dan lutut dalam keadaan fleksi 90o dan

mempertahankan torso pasien dalam posisi yang tepat.1

Peregangan, Casting, dan Ortosa

Spastisitas dan sindroma Upper Motor Neuron lainnya dapat

menyebabkan pemendekan otot karena berbagai sebab. Imobilisasi yang terjadi

pada otot yang mengalami kelumpuhan menyebabkan penurunan tekanan

Page 15: Manajemen Spastisitas

longitudinal pada otot sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya

pemendekan otot dan pada akhirnya kontraktur. Selain itu imobilisasi juga

menyebabkan berkurangnya sintesis protein yang memicu terjadinya atrofi otot.

Spastisitas juga menyebabkan berkurangnya aktivitas dan sensitivitas gelendong

otot. Oleh karena itu, peregangan diperlukan dalam pencegahan pemendekan otot

dan untuk meningkatkan sensitivitas gelendong otot.1

Teknik peregangan menggunakan GTO. Peregangan cepat akan

merangsang gelendong otot untuk berkontraksi (berdasarkan perubahan panjang

otot). Peregangan dalam jangka waktu lama awalnya juga akan memicu kontraksi,

namun akhirnya menginhibisi kontraksi karena GTO akan mendeteksi adanya

peningkatan tegangan pada otot dan menghambat motor neuron alfa (teknik hold-

contract-relax). Oleh karena itu, peregangan dalam jangka waktu lama digunakan

untuk menghambat tonus yang tinggi pada otot agonis dan memfasilitasi otot

antagonis. Selain itu, tekanan pada tendon otot yang hipertonus juga akan

merangsang GTO untuk menginhibisi tonus otot agonis yang abnormal dan

memfasilitasi kerja otot antagonis.17

Untuk peregangan dalam jangka waktu lama dapat digunakan gips serial.

Gips serial mempunyai kelebihan lebih murah dan lebih mudah tersedia bila

dibandingkan dengan ortosa.

Sedangkan ortosa digunakan dengan tujuan18:

1. Mengurangi atau menghambat timbulnya pola abnormal dengan

positioning

Pergelangan kaki yang diposisikan dorsifleksi ringan dengan AFO dapat

menghambat pola ekstensor. Untuk mencegah terjadinya ekstensi pada

togok (trunk), dapat dilakukan dengan memposisikan sendi panggul

sedikit fleksi dan menginduksi lordosis lumbal. Ortosa yang digunakan

harus cukup kaku untuk dapat menjaga ketepatan posisi.

2. Mencegah gerakan abnormal

3. Menjaga alignment dan gerakan normal

Tujuannya adalah menempatkan tubuh dalam posisi optimal untuk

menghasilkan gerakan normal dan mencegah gerakan kompensasi. Contoh

Page 16: Manajemen Spastisitas

paling umum adalah pasien hemiplegik dengan pola ekstensor,

pergelangan kaki plantarfleksi, lutut hiperekstensi, panggul dan tubuh

fleksi. Dengan menempatkan pergelangan kaki dalam posisi dorsifleksi

ringan, maka lutut akan terdorong ke depan, dan kemudian untuk menjaga

keseimbangan, pasien tersebut akan terdorong untuk mengekstensikan

panggul dan tubuhnya.

4. Mencegah terjadinya kontraktur dan memepertahankan/meningkatkan

gerak sendi

5. Targeted motor learning

Ini biasanya digunakan pada anak penderita palsi serebral dengan prinsip

bahwa proses pembelajaran motorik yang baik dapat dicapai dengan

imobilisasi sendi kaudal sampai terdapat kontrol motorik yang cukup dari

bagian proksimalnya.

Modalitas Fisik

Pendinginan sangat berguna pada penanganan spastisitas dan bekerja pada

2 mekanisme. Pertama, pendinginan akan menurunkan aktivitas motor neuron

gamma, dan selanjutnya akan menurunkan aferen gelendong otot dan aktivitas

GTO (menghambat refleks peregangan monosinaptik dan menurunkan sensitivitas

reseptor).1,19

Ada beberapa teknik pendinginan yang dapat digunakan. Teknik quick

icing, yaitu dengan mengaplikasikan es dengan gerakan cepat, dapat memfasilitasi

motor neuron α dan γ dan digunakan untuk memfasilitasi fungsi otot antagonis.

Teknik pendinginan lama (ice massage, cold/ice packs, cryotherapy compression

unit, whirlpool) dapat menurunkan kecepatan konduksi dan potensial aksi

kompleks motorik. Teknik lainnya adalah dengan menggunakan pendinginan lain

seperti spray etil klorida. Pendinginan dalam waktu 5 menit dapat menurunkan

refleks tendon dalam, sementara dalam waktu 10-30 menit pendinginan dapat

menurunkan atau bahkan menghilangkan klonus dan menurunkan tahanan otot

terhadap peregangan pasif. Efek yang diperoleh dapat bertahan selama 1 jam atau

bahkan lebih.19

Page 17: Manajemen Spastisitas

Modalitas panas seperti ultrasound, parafin, fluidoterapi, panas superfisial

dan whirpool juga dapat digunakan.Efek panas hanya bertahan dalam durasi

singkat. Oleh karena itu penggunaannya, sama seperti modalitas dingin, harus

disertai dengan peregangan dan latihan. Efek terutama dari panas terkait dengan

peningkatan elastisitas jaringan kolagen yang dapat membantu dalam aktivitas

peregangan.1,19

Stimulasi elektrik adalah modalitas lain yang dapat digunakan dalam

manajemen spastisitas.

B. MANAJEMEN FARMAKOLOGIS

Ada empat metode yang saat ini banyak digunakan dalam penanganan

farmakologis. Metode paling awal adalah penghantaran via jalur enteral, baik oral

maupun lewat gastrotomi. Baklofen, benzodiazepin, dan tizanidin adalah contoh

agen farmakologis yang biasa dihantarkan melalui jalur ini. Jalur enteral ini

diabsorpsi dan mempunyai efek sistemik ke seluruh tubuh.

Metode kedua, yang cukup erat hubungannya dengan penghantaran enteral

adalah penggunaan sistem transdermal, contohnya adalah penghantaran Catapress

TTS (Transdermal Therapeutic System). Metode ini juga diabsoprsi dan

menpunyai efek sistemik, namun mempunyai kelebihan lain yaitu mempunyai

kadar level dalam darah yang lebih stabil. .

Intratekal adalah metode penghantaran ketiga. Metode ini menempatkan

agen farmakologis dekat dengan tempat aksi nya. Dengan demikian, dengan dosis

total yang lebih kecil, efek klinis dapat dicapai dan efek samping sistemik dapat

dikurangi. Contoh agen yang biasa dihantarkan lewat metode ini adalah baklofen,

morfin, dan klonidin. Karena juga merupakan tidakan bedah, maka metode ini

akan dibahas tersendiri.

Injeksi lokal agen neurodenervatif adalah metode penghantaran keempat.

Agen-agen yang biasa dihantarkan lewat metode iniadalah fenol, etanol, dan yang

lebih baru adalah toksin botulinum. Metode ini merupakan pilihan terbaik dalam

menangani spastisitas fokal dengan efek samping minimal.1

Page 18: Manajemen Spastisitas

Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat

farmakologis dalam manajemen spastisitas, antara lain :

- Etiologi

Walaupun spastisitas dapat timbul dalam gambaran yang serupa, namun

respons terhadap intervensi penanganan berbeda-beda, tergantung dari

etiologi nya. Sebagai contoh, agen farmakologis yang dihantarkan via jalur

enteral mempunyai efikasi tinggi dalam penanganan spastisitas pada

cedera medula spinalis (SCI) atau sklerosis multipel, namun kurang efektif

untuk menangani spastisitas pada cedera otak (TBI) ataupun stroke.

- Waktu setelah onset

Sebagai kesepakatan, intervensi yang lebih agresif ditujukan untuk tahap

spastisitas yang lebih lanjut. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi

penyembuhan seperti fenol jarang digunakan pada tahap awal, karena

durasi aksinya panjang dan dapat menyebabkan jaringan parut pada otot

dan saraf. Intervensi ortopedik juga hampir tidak pernah digunakan pada

tahap awal, karena perlu tercapainya stabilisasi struktur neuromuskuler

terlebih dahulu sebelum dilakukannya intervensi bedah permanen. Yang

masih menjadi kontroversi adalah baklofen intratekal. Penelitian yang

dilakukan Francois dan kawan-kawan di tahun 2001 melaporkan bahwa

baklofen intratekal mungkin menguntungkan pada kasus spastisitas

rekalsitran ketika diberikan mulai bulan pertama setelah terjadinya cedera.

- Prognosis fungsional

Bila prognosis motorik dan fungsional pasien meragukan, dokter

seringkali melakukan intervensi yang lebih agresif dan permanen seperti

rizotomi.

- Dukungan sosial

Dukungan sosial dapat menjadi faktor penting dalam penanganan

spastisitas. beberapa hal perlu dipertimbangkan. Anggota keluarga atau

caregiver lain menjadi bagian penting ketika dokter meresepkan

pengobatan.

- Status kognitif

Page 19: Manajemen Spastisitas

Fungsi kognitif pasien juga diperlukan dalam manajemen spastisitas.

Dokter harus mengevaluasi kemampuan pasien dalam hal kepatuhan

menjalani terapi dan faktor keamanan ketika menggunakan modalitas

terapi.

- Masalah medis lainnya

Masalah medis lainnya yang diderita pasien harus menjadi pertimbangan

karena pasien dengan hipotensi, sinkop, gangguan keseimbangan, atau

ataksia mungkin mengalami gangguan untuk mentoleransi beberapa agen

tertentu.

- Distribusi spastisitas

Seberapa luas area yang memerlukan terapi? Apakah spastisitas hanya

mengenai area segmental atau fokal atau tersebar mengenai seluruh tubuh?

Jika hanya area segmental saja, kemodenervasi adalah terapi yang tepat.

Namun bila spastisitas mengenai seluruh tubuh, maka diperlukan terapi

yang lebih sistemik.

- Keadaan finansial

Dalam menangani spastisitas, dokter harus mempertimbangkan keadaan

finansial dari pasien. Terapi yang lebih baru seperti baklofen intratekal dan

injeksi toksin botulinum membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa

perusahaan asuransi bahkan memerlukan uji dengan agen yang lebih

ekonomis seperti antispastisitas oral sebelum menyetujui penggunaan

injeksi toksin.

Pada penderita stroke dengan defisit kognitif, penggunaan obat oral yang

bekerja sentral dapat memperburuk keadaan. Harus diketahui pula apakah pasien

menggunakan obat yang dikontraindikasikan bila diberikan bersama-sama. Seperti

klonidin dan tizanidin yang sinergis, menyebabkan hipotensi. Dantrolen yang bila

diberikan bersama-sama dengan statin dapat beresiko menyebabkan kerusakan

hati. Efek mengantuk dari obat dapat menguntungkan pada pasien dengan

kesulitan tidur karena spasme otot.

Benzodiazepin1,15

Page 20: Manajemen Spastisitas

Benzodiazepin adalah agen paling tua yang digunakan dalam penanganan

spastisitas. Dari golongan ini, yang paling sering digunakan adalah diazepam

(Valium). Agen lainnya adalah klorazepat (Tranxene) dan klonazepam (Klonipin).

Golongan benzodiazepin bekerja sentral di formasi retikuler batang otak dan jalur

polisinaptik spinal. Efek farmakologis dan antispastis dari benzodiazepin

diperkirakan melalui ikatan benzodiazepin dengan kompleks ion klorida pada

reseptor GABA. Studi biokimia pada tikus menunjukkan bahwa benzodiazepin

meningkatkan efikasi pengikatan GABA pada reseptornya. Aktivasi ini

menyebabkan terbukanya kanal ion klorida dan menyebabkan hiperpolarisasi.

Efek antispastik terjadi lewat fasilitasi efek postsinaptik dari GABA, yang

mengakibatkan peningkatan inhibisi presinaps di tingkat spinal dan supraspinal

dan kemudian pengurangan refleks mono dan polisinaptik pada tingkat spinal.

Diazepam adalah gologan benzodiazepin dengan durasi kerja panjang dan

telah digunakan sebagai obat antispastik selama lebih dari 30 tahun. Diazepam

diabsorpsi dengan baik melalui administrasi oral, mencapai kadar maksimal dalam

darah setelah 1-2 jam, dimetabolisme di hati dan diekskresi lewat ginjal. Sifatnya

larut dalam lemak sehingga dapat melalui sawar darah-otak, dapat melalui

plasenta dan disekresi dalam ASI.

Diazepam banyak digunakan pada pasien dengan spastisitas otot yang

disebabkan karena lesi medula spinalis. Masih terjadi kontroversi mengenai

apakah diazepam lebih efektif pada lesi komplit atau imkomplit. Pada studi kasus

sklerosis multipel, diazepam hampir sebanding dengan baklofen dalam hal efikasi

dan toleransi. Namun karena efek sampingnyayang berupa sedasi, banyak dokter

dan pasien yang lebih menyukai baklofen. Pada kasus cedera otak, diazepam

jarang digunakan karena efeknya yang juga mempengaruhi atensi dan memori.

Dosis awal untuk diazepam pada dewasa adalah 2 mg dua kali sehari atau

5 mg saat malam hari. Dapat dititrasi sampai maksimal 60 mg per hari dalam

dosis terbagi. Waktu paruh diazepam bervariasi antara 20 sampai 50 jam, bahkan

waktu paruh metabolit aktifnya dapat mencapai 100 jam, tergantung dari usia dan

fungsi hati dari pasien.

Page 21: Manajemen Spastisitas

Efek samping yang sering terjadi adalah depresi dari sistem saraf pusat

termasuk sedasi, perasaan goyang, ataksia, konfusi. Diazepam juga dapat

menyebabkan penekanan pusat kesadaran, mengurangi koordinasi motorik dan

mempengaruhi intelektual, atensi dan memori. Efek samping lainnya yang lebih

jarang adalah sakit kepala, vertigo, gangguan visual, hipotensi, gangguan

pencernaan, retensi uri, perubahan libido dan rash. Penghentian tiba-tiba atau

tapering yang terlalu cepat dapat menyebabkan efek putus obat seperti depresi,

cemas, gugup, agitasi, iritabel, tremor, fasikulasi dan kedutan pada otot, insomnia,

mual, dan diare.

Golongan benzodiazepin lain yang banyak digunakan dalam manajemen

spastisitas adalah klonazepam. Penggunaannya terutama pada spasme nokturnal

yang nyeri. Efektivitasnya sebanding dengan diazepam, namun kurang disukai

karena efek sampingnya (sedasi, konfusi, fatigue).

Baklofen1,15

Baklofen (Lioresal) adalah agen lain yang aktivitasnya melalui sistem

GABA. Merupakan analog struktural dari GABA (salah satu neurotransmiter

inhibitorik pada sistem saraf pusat). Baklofen terikat pada reseptor GABAB yang

berlokasi baik di presinaps maupun postsinaps, sehiggan dapat menghambat jalur

refleks mono dan polisinaptik. Di presinaps, baklofen terikat pada interneuron

GABA dan serabut aferen Ia, menyebabkan hiperpolarisasi membran sehingga

menghambat masuknya kalsium dan menekan pelepasan neurotransmiter

eksitatorik endogen seperti aspartat dan glutamat. Di postsinaps, baklofen

menyebabkan inhibisi dengan mengaktivasi kanal potasium, menghambat

aktivitas motor neuron gamma, dan mengurangi sensitivitas gelendong otot

intrafusal. Pada binatang, baklofen juga mempunyai sifat analgesik dan

antinosiseptif yang diperkirakan terjadi dengan menghambat pelepasan substansi

P dari saraf aferen nosiseptif.

Setelah administrasi oral, baklofen segera diabsorpsi dan mencapai kadar

puncak dalam darah setelah 1-2 jam. Waktu paruhnya sekitar 3,5 jam (2 sampai

6,8 jam). Hanya 10% dimetabolisme di hepar, dan 70-80% diekskresikan tanpa

Page 22: Manajemen Spastisitas

mengalami perubahan lewat ginjal. Dapat menembus plasenta namun hanya

sedikit yang mampu menembus sawar darah-otak.

Baklofen banyak digunakan pada kasus lesi medula spinalis dan sklerosis

multipel, dan dibuktikan efektif dalam mengurangi spastisitas dan spasme fleksor

yang nyeri. Baklofen lebih efektif daripada diazepam dalam mengurangi

spastisitas dengan efek samping sedasi yang lebih minimal. Studi mengenai

penggunaan baklofen pada kasus lesi serebral tidak banyak dan menunjukkan

bahwa perbaikan yang dicapai tidaklah sebesar pada sklerosis multipel dan lesi

medula spinalis. Pada kasus cedera otak, studi mengenai baklofen terbatas dan

sama seperti benzodiazepin, kurang disukai karena mempengaruhi atensi dan

memori.

Dosis dimulai dengan 5 mg yang diberikan 2 sampai 3 kali sehari dan

perlahan-lahan dapat ditingkatkan (5-10 mg/hari/minggu) untuk mencapai efek

klinis optimal dengan efek samping minimal. Dosis oral baklofen yang dianjurkan

antara 40-100 mg sehari.

Efek samping yang banyak dilaporkan meliputi sedasi, fatigue, lemas,

mual, pusing, parestesia, halusinasi, dan penurunan ambang rangsang kejang.

Pasien usia lanjut rentan terhadap efek samping ini dan peningkatan dosis harus

dilakukan dan diawasi dengan hati-hati.

Sodium Dantrolen1,15

Merupakan derivat hidantoin dan berbeda dari agen lainnya, dantrolen

(Dantrium) bekerja di perifer, pada tingkat otot, terutama pada serabut otot tipe II

(fast-twitch). Mekanismenya adalah menghambat pelepasan kalsium dari

retikulum sarkoplasmik pada saar kontraksi otot, baik intra maupun ekstrafusal.

Setelah administrasi oral, sekitar 70% sodium dantrolen akan diabsorpsi

dari usus kecil dan dimetabolisme di hepar, kemudian diekskresi lewat urin dan

empedu. Kadar puncak dalam darah terjadi dalam 3-6 jam (metabolit aktifnya 4-8

jam). Waktu paruh dantrolen berkisar 17 jam setelah pemberian oral dan 12 jam

setelah pemberian intravena. Sifatnya larut dalam lemak, sehingga dapat

menembus plasenta dan sawar darah-otak.

Page 23: Manajemen Spastisitas

Penggunaan dantrolen lebih banyak pada kasus spastisitas yang terjadi

akibat lesi supraspinal seperti karena stroke, cedera otak traumatis, atau palsi

serebral. Pada kasus cedera medula spinalis dan sklerosis multipel, studi mengenai

penggunaan dantrolen terbatas, karena efeknya yang menyebabkan kelemahan

otot.

Dosis awal dantrolen adalah 25 mg 2 kali sehari dan dapat ditingkatkan

25-50 mg tiap minggu sampai maksimal 400 mg perhari. Efek samping yang

paling dikhawatirkan adalah hepatotoksik. Namun efek ini jarang terjadi, hanya

sekitar 1,8% ketika digunakan lebih dari 60 hari. Umumnya terjadi pada wanita

diatas 40 tahun, dengan dosis tinggi (lebih dari 300 mg) dalam jangka waktu

lama. Kegagalan fungsi hepar terjadi pada 0,3% kasus. Oleh karena itu, ketika

meresepkan dantrolen, penting untuk melakukan pemeriksaan tes fungsi hati

secara berkala (tiap minggu pada bulan pertama, tiap bulan pada tahun pertama,

dan tiap 4 bulan dalam setahun). Efek samping lainnya adalah kelemahan,

parestesia, mual, dan diare. Efek samping lain yang lebih jarang terjadi berupa

anoreksia, enuresis, gangguan visual, gangguan platelet, efusi perikardial.

Klonidin1,15

Klonidin (Catapress) adalah derivat imidazolin yang terutama digunakan

sebagai antihipertensi. Bekerja sentral sebagai agonis α2 adrenergik. Mekanisme

kerja dari klonidin untuk spastisitas terjadi lewat 2 cara. Yang pertama, klonidin

bekerja langsung pada lokus coeruleus dan menurunkan fasilitasi tonus.

Mekanisme yang kedua adalah di tingkat spinal, pada inhibisi presinaptik yang

dimediasi olehα2.

Klonidin diabsorpsi baik dan mencapai kadar maksimal dalam darah 3-5

jam setelah administrasi oral. Waktu paruhnya 23 jam dan dimetabolisme di hati.

20% diekskresi melalui feses, dan 65% nya melalui urin tanpa mengalami

perubahan. Klonidin juga tersedia dalam bentuk transdermal (Catapress

TTS/Transdermal Therapeutic System) yang mempunyai kelebihan kadar dalam

darah yang lebih seragam, administrasi lebih mudah, dan efek samping

sistemiknya lebih rendah. Dosis awal per oral mulai dengan 0.05 mg 2 kali sehari,

Page 24: Manajemen Spastisitas

ditingkatkan 0.2 sampai 0.4 mg/ hari. Pada bentuk transdermal (plester perekat),

mulai dengan sebuah plester 0.1 mg dan dititrasi sampai 0.3 mg plester setiap

minggu

Studi mengenai klonidin sebagai antispastisitas masih sedikit jumlahnya

dan belum ada penelitian double-blind yang membandingkan klonidin dengan

plasebo yang dilakukan. Uji label-terbuka menunjukkan bahwa klonidin efektif

dalam mengurangi spastisitas pada kasus cedera medula spinalis dan cedera otak.

Studi yang dilakukan oleh Kahn dan Olek di tahun 2195 menunjukkan bahwa

penggunaan klonidin dapat mengurangi spastisitas pada pasien dengan sklerosis

multipel yang tidak memberi respons terhadap diazepam dan baklofen.

Efek samping dari klonidin yang paling banyak terjadi adalah hipotensi.

Efek samping lainnya meliputi pusing, mual, depresi, sedasi, dan mulut kering.

Tizanidin (Zanaflex)

Seperti klonidin, tizanidin juga merupakan derivat imidazolin dengan efek

agonis α2 dan merupakan antispastisitas yang relatif baru dan banyak digunakan.

Mekanisme kerjanya diperkirakan juga pada reseptor imidazolin. Tizanidin

bekerja pre dan postsinaptik pada level spinal dan menghambat pelepasan asam

amino ekstatorik (glutamat dan aspartat pada interneuron), juga memfasilitasi

neurotransmiter inhibitorik yaitu glisin. Diperkirakan juga bahwa tizanidin

bekerja pada level supraspinal, pada jaras coeruleospinal yang merupakan jaras

fasilitatorik.

Onsetnya cukup cepat, 0,75 sampai 2 jam dan mempunyai waktu paruh

pendek sekitar 2-4,2 jam. Dimetabolisme di hepar dan diekskresi lewat urin.

Tizanidin telah diteliti efektif mengurangi spastisitas pada kasus cedera medula

spinalis, cedera otak, dan sklerosis multipel. Bila dibandingkan, efektivitas

tizanidin sebanding dengan diazepam dan baklofen, dengan preservasi kekuatan

otot. Efek sampingnya juga lebih minimal, walaupun sedasi masih merupakan

efek samping yang banyak terjadi.

Page 25: Manajemen Spastisitas

Dosis awal tizanidin diberikan sebesar 2 mg dua kali sehari, dapat

ditingkatkan 4 mg setiap 4 sampai 7 hari, maksimal sampai 36 mg perhari dibagi

dalam 3 atau 4 dosis.

Selain sedasi, efek samping yang sering dilaporkan meliputi mulut kering,

pusing, somnolen, insomnia, hipotensi postural, kelemahan otot, halusinasi visual

dan gangguan fungsi hati. Oleh karena itu, dianjurkan pemeriksaan fungsi hati

sebelum penggunaan tizanidin dan setiap bulan selama terapi.

Obat lainnya1,15

Obat-obatan lain yang mungkin berguna dan masih banyak diteliti adalah

pirasetam (analog GABA dan baklofen), kanabis, dan juga antikonvulsan seperti

gabapentin, levirasetam, pregabalin.

Blokade saraf1,20

Gejala spastisitas yang bersifat fokal, segmental, atau regional dapat

diterapi dengan neurolisis atau kemodenervatif. Dengan kata lain, neurolisis

adalah suatu proses dimana spastisitas ditangani dengan cara membuat lesi pada

lower motor neuron. Agen yang biasa digunakan adalah fenol, etanol dan yang

lebih baru adalah toksin botulinum.

Blokade saraf merupakan bahan kimia yang digunakan pada saraf dengan

tujuan menimbulkan impairmen, baik sementara ataupun permanen. Neurolisis

atau kemodenervasi adalah suatu tipe blokade saraf dengan cara destruksi dari

jaringan saraf untuk menimbulkan efek blokade yang lebih panjang. Sedangkan

blok motor point adalah tipe blokade yang diaplikasikan pada cabang saraf

motorik distal (efek samping pada sensorik diminimalkan). Karena sifatnya

ireversibel, manajemen spastisitas dengan blokade saraf harus dipertimbangkan

dengan hati-hati dan dilakukan ketika gol yang ingin dicapai sudah teridentifikasi

dengan jelas.

Pasien yang mendapatkan keuntungan terbesar dengan blokade saraf

adalah pasien dengan spastisitas yang mengganggu pembelajaran kemampuan

Page 26: Manajemen Spastisitas

motorik seperti pada anak palsi serebral yang belajar berjalan, atau pasien yang

spastisitasnya menimbulkan permasalahan dalam jangka waktu moderat seperti

pasien post cedera kepala atau relaps sklerosis multipel yang spastisitasnya begitu

berat sehingga pembidaian atau pemasangan gips serial tidak dapat dilakukan

karena risiko kerusakan jaringan lunak. Kelompok lain yang kemungkinan

diuntungkan dengan blokade saraf ini adalah pasien yang memerlukan tindakan

bedah untuk kontrol nyeri dan pengurangan spasme otot namun masih tertunda

karena alasan klinis ataupun teknis.20

Fenol dan etanol adalah agen awal yang biasa digunakan untuk

kemodenervasi. Fenol digunakan dengan konsentrasi antara 5% dan 7%

sedangkan etanol digunakan dengan konsentrasi 45-100% untuk mencapai efek

neurolitik. Diantara kedua agen tersebut, yang banyak dibahas dalam literatur

adalah fenol, namun etanol lebih aman dan lebih mudah untuk digunakan. Durasi

yang ditimbulkan oleh kemodenervasi biasanya berkisar antara 3 sampai 9 bulan,

namun pada beberapa kasus dapat mencapai 12 sampai 20 bulan.1

Efek yang ditimbulkan fenol dan etanol adalah anestetik dan neurolitik.

Mekanisme kerjanya adalah dengan menyebabkan destruksi jaringan saraf yang

dimulai dengan reaksi inflamasi yang terjadi dalam waktu beberapa jam setelah

agen neurolitik disuntikkan. Reaksi inflamasi tersebut akan diikuti dengan

degenerasi Wallerian yang terjadi sampai maksimal 2 minggu. Kemudian dalam

waktu beberapa minggu setelah injeksi, terjadi regenerasi parsial yang ditandai

dengan sprouting kolateral dan akan lengkap dalam waktu 16 minggu.

Toksin botulinum, yang diisolasi dari bakteri Clostridium botulinum oleh

Van Ermengem, terdiri dari 7 serotipe, A sampai G. Yang banyak beredar adalah

toksin botulinum tipe A (Botox) dan tipe B (Myobloc). Toksin botulinum bekerja

pada neuromuscular junction dan menghambat pelepasan asetilkolin serta

mengganggu uptake asetilkolin di sitoplasma. Dibanding fenol dan etanol, toksin

botulinum diklaim lebih efektif sebagai agen neurolitik di titik motorik. Hal ini

disebabkan karena toksin botulinum berdifusi melewati membran otot, sehingga

dapat memblokade titik motorik di banyak tempat. Injeksi Botox dapat

dilaksanakan dengan sebuah mesin elektromiografi yang telah disesuaikan dan

Page 27: Manajemen Spastisitas

tidak memerlukan penempatan jarum yang tepat di dalam neuromuscular junction

seperti pada suntikan fenol. Tidak seperti fenol, blokade titik motorik dengan

suntikan Botox diarahkan ke bagian yang padat di otot dan saraf

padaneuromuscular junction. Akhir-akhir ini penggunaan toksin botulinum dalam

penanganan spastisitas makin marak di bidang Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.

Dosis yang biasa digunakan untuk Botox adalah 100 sampai 700 unit dan

untuk Myobloc 10000 sampai 20000 unit. Efek samping yang banyak terjadi

adalah sakit kepala, gejala seperti flu (flulike symptoms), fatigue, dan mual.

Gejala-gejala tersebut ringan dan tidak menimbulkan sekuele. Efek samping yang

lebih serius meliputi depresi pernapasan, disfagia, disartria, kelemahan, ptosis,

dan mulut kering. Eksantema dan gangguan visual karena hilangnya kemampuan

akomodasi yang disebabkan karena disfungsi parasimpatik pernah dilaporkan

setelah injeksi Myobloc.

Pada kesimpulannya, kemodenervasi merupakan modalitas yang berguna

dalam manajemen spastisitas. Injeksi dengan fenol dan etanol memerlukan lebih

banyak keahlian, namun masih mempunyai tempat dalam penanganan spastisitas.

Toksin botulinum tipe A telah lama digunakan untuk spastisitas, walaupun

penggunaan resminya baru disetujui pada Maret 2010 oleh FDA (Botox). Toksin

botulinum tipe B masih relatif baru dan masih memerlukan banyak penelitian

mengenai keefektifannya. Keahlian, penilaian dan pengalaman dari klinisi

menjadi hal yang penting dalam penggunaan kemodenervasi.

C. TINDAKAN BEDAH

Baklofen intratekal

Metode intratekalmenginjeksikan baklofen langsung ke cairan

serebrospinal lewat sebuah kateter, sehingga dosis efektif dapat dicapai dengan

dosis yang lebih rendah daripada dosis oral. Hal inidikarenakan baklofen

mempunyai kelarutan lemak yang rendah dan tidak efektif melintasi sawar darah-

otak. Ini sangat menguntungkan karena efek samping pada susunan saraf pusat

Page 28: Manajemen Spastisitas

yang sering terjadi pada pemberian baklofen oral dapat dikurangi.Dosis baklofen

intratekal yang sering digunakan adalah 0.3 sampai 0.5% dari dosis oral.

Baklofen intratekal diberikan melalui sebuah implan subkutaneus di

dalam dinding abdomen, dengan sebuah kateter yang ditempatkan dengan

pembedahan di dalam ruang subaraknoid. Tersedia 2 jenis pompa yaitu pompa

infus (sebuah alat yang dikendalikan oleh kekuatan gas yang bekerja dengan

prinsip mekanikal murni dan tidak mempunyai baterai, hanya dapat menginfus

obat pada angka yang konstan, dosis obat hanya dapat ditambah pada waktu

mengisi kembali) dan pompa Medtropic SynchroMed (sebuah pompa yang

dioperasikan dengan baterai elektronik yang dapat diprogram untuk mengirimkan

dosis obat dengan tepat beberapa kali tiap hari lewat sebuah komputer onboard

sehingga spastisitas dapat dikurangi atau dinaikkan pada beberapa kali pada hari

tersebut. Baterainya habis dalam waktu kira-kira 4 sampai 5 tahun). Harga pompa

berkisar pada 6500 US$, ditambah 3000 US$ per tahun untuk obatnya, dan masih

ditambah biaya bedah.

Baklofen intratekal digunakan pada spastisitas multisegmendan difus.

Penggunaannya tidak dapat digabung dengan injeksi toksin botulinum. Walaupun

metode ini merupakan pilihan terapi yang baik, namun harganya mahal dan

mempunyai banyak efek samping serius termasuk risiko infeksi, kebocoran cairan

serebrospinal, disfungsi pompa, kateter tertekuk atau tergeser. Masalah yang sering

dikaitkan dengan metode ini adalah overdosis, sindroma putus obat dan kejang.

Beberapa studi juga mengaitkan efek jangka panjang baklofen intratekal dengan

progresi yang cepat dari skoliosis.

Obat lainnya yang dapat diberikanlewat intratekal baik tunggal ataupun

dikombinasikan dengan baklofen adalah klonidin, midazolam, morfin, lidokain,

dan fentanil.

Tindakan bedah lainnya

Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada manajemen spastisitas antara

lain rizotomi (pemotongan akar spinal atau tempat keluarnya saraf (rootlets)),

Page 29: Manajemen Spastisitas

neurektomi (memotong saraf, yang sering adalah saraf perifer, dengan tujuan untuk

mengurangi spastisitas), tenotomi (pemotongan tendon dari otot yang kontraktur),

miotomi (pemotongan atau diseksi dari otot),

Mielotomi (pemotongan serabut saraf di tingkat medula spinalis),

kordotomi (pembedahan pada traktus anterolateral medula spinalis), kordektomi

(pembedahan pada sebagian atau seluruh korda medula spinalis) jarang dilakukan

karena dapat menyebabkan atrofi berat dari otot, hilangnya fungsi vegetatif (BAK,

BAB) dan hilangnya fungsi ereksi. Karena efek sampingnya yang besar, tindakan

bedah tersebut merupakan kontraindikasi jika terdapat kontrol motorik yang baik

atau ketika penyembuhan motorik memungkinkan.

Page 30: Manajemen Spastisitas

BAB III

PENUTUP

Penanganan spastisitas meliputi evaluasi klinis dan langkah-langkah

perawatan pada spastisitas. Evaluasi klinis spastisitas meliputi pemeriksaan fisik

spastisitas, penilaian kualitatif dan kuantitatif serta evaluasi fungsional dari

spastisitas. Langkah perawatan untuk spastisitas mulai dari perawatan yang paling

konservatif dengan efek samping paling sedikit, sampai yang lebih invasif, lebih

ireversibel dan mempunyai lebih banyak efek samping. Tidak semua spastisitas

harus diterapi karena dalam keadaan tertentu spastisitas dapat membantu

fungsional pasien, sebagai contoh spastisitas ringan sampai sedang dari ekstensor

kaki dapat memberi penguat dan membantu berdiri dan aktifitas-aktifitas ambulasi.

Bagaimanapun, bila berat atau menghambat fungsional, maka spastisitas harus

diterapi. Dengan membatasi efek spastisitas, deformitas dan kontraktur dapat

dicegah, pelayanan perawatan dapat ditingkatkan, penguat atau bracing lebih dapat

ditoleransi, dan fungsional pasien dapat ditingkatkan.4

Page 31: Manajemen Spastisitas

DAFTAR PUSTAKA

1. Elovic, P.E., Eisenberg, M.E., Jasey, N.N. (2010). Spasticity and Muscle

Overactivity as Components of the Upper Motor Neuron Syndrome. In

Frontera, Walter R., Delisa, Joel A., (Eds.), DeLisa’s Physical Medicine

and Rehabilitation Pronciples and Practice(pp), ed 5, USA : Lippincott

Williams and Wilkins.

2. Barnes, M.P. (2008). An Overview of the Clinical Management of

Spasticity. In Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor

Neurone Syndrome and Spasticity (pp 1-8), ed 2, USA : Cambridge

University Press.

3. Sathkunam, Lalith E. (2003). Rehabilitation Medicine : 3. Management of

Adult Spasticity, Canadian Medical Association Journal, 189(11):1193-

1199.

4. Tan, J.C. (2198). Spasticity. In Practical Manual of Physical Medicine

and Rehabilitation – Diagnostic, Therapeutic and Basic Problem (pp 460-

480), ed 2, New York : Mosby Inc.

5. Sheean, Geoff.(2008). Neurophysiology of Spasticity. In Barnes, Michael

P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor Neurone Syndrome and

Spasticity(pp 9-63), ed 2, USA : Cambridge University Press

6. M. Mardjono. (2000). Neurologi Klinis Dasar, Jakarta : Dian Rakyat.

7. A. Husni. (2196). Mekanisme Nyeri Tegang Otot. Dalam H. Soedomo

Hadinoto dkk (Eds.) Nyeri, Pengenalan dan Tatalaksana. Semarang : FK

UNDIP.

8. Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology – From Cells to Systems,

ed 5, USA : Brooks Cole

9. Spasticity (Understanding Disease : Neurology), diunduh dari

http://www.youtube.com/watch?v=a49tIP5nqfo pada 11 November 2014.

10. Longstaff, A. Neuroscience (pp 229-232), New York: BIOS Scientific

Publishers Limited.

Page 32: Manajemen Spastisitas

11. Levine, Pete. (2009). Testing Spasticity : The Modified Ashworth Scale

diunduh dari http://physical-therapy.advanceweb.com pada 11 November

2014.

12. Spasticity Examination Rating Scale and Office Data Form diunduh dari

www.mdvu.org/library/ratingscales/spasticity pada 11 November 2014.

13. Singh P. et al.Intra-rater reliability of the modified Tardieu scale to

quantify spasticity in elbow flexors and ankle plantar flexors in adult

stroke subjects. Ann Indian Acad Neurol. 2011 Jan-Mar; 14(1): 23–26

14. Tardieu Scale. Diunduh dari http://www.mdvu.org/library/ratingscales/

spasticity/Tardieu_Scale.pdf pada 11 November 2014.

15. Ward, Anthony B., Javaid, Sajida. (2008). Pharmacological Management

of Spasticity. In Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper

Motor Neurone Syndrome and Spasticity(pp 151-169), ed 2, USA :

Cambridge University Press.

16. Sharkey, Paul C. (2205). Spasticity. In Halstead, Lauro S., Grabois,

Martin., (Eds.), Medical Rehabilitation (pp 307-317), USA : Raven Press.

17. Allen, Diane D., Widener, Gail L. (2009). Tone Abnormalities. In

Cameron, Michelle H. Physical Agents in Rehabilitation – From Research

to Practice (pp 77-109), ed 3, USA : Saunders, Elsevier.

18. Charlton, Paul T., Ferguson, Duncan W.N. ((2008). Orthoses, Splints, and

Casts. In Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor

Neurone Syndrome and Spasticity(pp 115-150), ed 2, USA : Cambridge

University Press.

19. Cameron, Michelle H. (2009). Thermal Agents: Cold and Heat. In

Physical Agents in Rehabilitation – From Research to Practice (pp 151-

196), ed 3, USA : Saunders, Elsevier.

20. Bakheit, A. Magid O.(2008). Chemical Neurolysis in the Management of

Muscle Spasticity. In Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper

Motor Neurone Syndrome and Spasticity(pp 170-184), ed 2, USA :

Cambridge University Press

Page 33: Manajemen Spastisitas

21. Francisco GE, McGuire JR. Poststroke Spasticity Management. Stroke. 2012; 43:00 DOI:10.1181/STROKEAHA.111.639831