Manajemen Nyeri Kanker Cervix

34
MANAJEMEN NYERI KANKER SERVIKS I. Pendahuluan Sampai saat ini kanker serviks / mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis penderita. Kanker serviks adalah kanker terbanyak kelima pada wanita diseluruh dunia. Penyakit ini terbanyak terdapat pada wanita Amerika latin, Afrika, dan negara negara berkembang lainnya di Asia, termasuk Indonesia. Pada wanita - wanita suriname keturunan Jawa terdapat insiden yang lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan etnis lainnya (1). Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36 % (1). Diantara sekian banyak keluhan yang dialami oleh penderita kanker serviks yang paling mengganggu adalah nyeri. Nyeri adalah bagian yang tak terpisahkan dari 1

description

tatalaksana nyeri kanker cervix

Transcript of Manajemen Nyeri Kanker Cervix

Page 1: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

MANAJEMEN NYERI KANKER SERVIKS

I. Pendahuluan

Sampai saat ini kanker serviks / mulut rahim masih merupakan masalah

kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka

kematiannya yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan

umum yang lemah, status sosial yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan

sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam

menentukan prognosis penderita.

Kanker serviks adalah kanker terbanyak kelima pada wanita diseluruh dunia.

Penyakit ini terbanyak terdapat pada wanita Amerika latin, Afrika, dan negara negara

berkembang lainnya di Asia, termasuk Indonesia. Pada wanita - wanita suriname

keturunan Jawa terdapat insiden yang lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan

etnis lainnya (1).

Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap

tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi,

kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak

di Indonesia, yaitu lebih kurang 36 % (1).

Diantara sekian banyak keluhan yang dialami oleh penderita kanker serviks

yang paling mengganggu adalah nyeri. Nyeri adalah bagian yang tak terpisahkan dari

pengalaman hidup seorang wanita mulai dari menstruasi, nyeri saat melahirkan, dan

penyakit yang berhubungan dengan kewanitaan seperti kanker ovarium atau servix.

Sumber dari nyeri seringkali berhubungan dengan fisik tapi dipengaruhi juga oleh

faktor faktor psikologi, sosial dan budaya (2).

Pada kanker serviks gambaran nyeri secara klasik disebabkan oleh massa yang

ada didalam pelvis dan limphadenophati. Akhir akhir ini adanya pemberian terapi

radiasi yang intensif pada daerah pelvis dan angka harapan hidup yang lebih lama

menyebabkan meningkatnya insiden peritoneal carcinomatosi, metastase ke organ

organ solid dan metastase ke tulang (2). Sehingga perlu dilakukan pembahasan untuk

mengetahui bagaimana melakukan manajemen nyeri pada pasien kanker serviks

mengingat berkembangnya teknologi terapi kanker dan bertambahnya usia harapan

hidup memunculkan masalah keluhan nyeri yang lebih komplek.

1

Page 2: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

II. Patofisiologi Kanker Serviks

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel

di daerah skuamo kolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan

mukosa kanalis servikalis. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang

berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh

keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS).

Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV) (3).

Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel,

berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun

atau lebih. Secara histopatologi lesi preinvasif biasanya berkembang melalui beberapa

stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya

invasif. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak

semua perubahan ini berkembang menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami

regresi secara spontan sebanyak 3 -35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang)

mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi

karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan

dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun. Perluasan lesi di serviks

dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke

kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan

akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria (3).

Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh

getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obturator, iliaka

eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar

getah bening iliaka komunis dan paraaorta. Secara hematogen, tempat penyebaran

terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler,

tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (2,3).

III. Mekanisme Nyeri Kanker Serviks

Nyeri pada kanker servix yang telah umum diketahui disebabkan oleh adanya

massa di dalam rongga pelvis, dan kanker di dalam rongga pelvis dapat menyebabkan

nyeri viseral, nyeri somatik dan nyeri neuropatik (2,4). Nyeri pada kanker servik

disebabkan karena infiltrasi massa tumor di jaringan sekitarnya, bisa karena efek

antineoplastik dari terapi kanker atau bisa juga disebabkan karena sesuatu yang tidak

2

Page 3: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

berhubungan dengan kankernya sendiri seperti nyeri ditempat lain karena proses

metastase (4,5,6).

1. Nyeri somatik

Nyeri somatik disebabkan rangsangan dari nosiseptor pada stuktur jaringan

dan pembungkus, otot otot lurik, persendian, tulang, dan kumpulan saraf akibat

langsung dari pembesaan tumor dan penyebaran kelenjar limfe (2). Massa tumor

menghasilkan dan merangsang produksi mediator - mediator inflamasi setempat,

menyebabkan rangsangan nosiseptor perifer yang terus menerus. Sumber lain dari

nyeri somatik pada kanker servix adalah adanya tulang yang fraktur, reaksi spasme

dari otot-otot yang pembungkus pada jaringan yang rusak, nyeri akibat dari

radioterapi ataupun kemoterapi kanker (4).

Kejadian nyeri somatik yang paling sering disebabkan karena metastase

kanker ke tulang. Nyeri tulang bisa bersifat akut, kronik atau insidental berdasarkan

penjalaran tumornya. Biasanya sifat nyerinya tumpul, intensitasnya bervariasi,

menyebabkan local tenderness, dan diperberat dengan pergerakan tubuh (4,5,6).

Mekanisme nyeri tulang pada kanker

Pada kanker serviks yang sudah metestase ke tulang menunjukan manifestasi

klinis yang sudah lanjut. Adanya lokasi nyeri yang atypical seharusnya memberikan

perhatian kepada para dokter untuk mencurigai bahwa metastasenya sudah jauh.

Angka kejadian metastase ke tulang pada kanker serviks yang recurrent berkisar

antara 15 % - 29 % yang dilaporkan pada serial autopsi. Penyebaran yang paling

banyak pada tulang belakang diikuti pelvis, tulang rusuk, dan extrimitas (2).

Pendesakan langsung tumor pada tulang atau perkembangan kanker yang

sudah metastase didalam tulang bisa menyebabkan nyeri yang persisten. Tidak semua

metastase di tulang menimbulkan nyeri, dan seringkali nyeri tidak relevan dengan

temuan pada gambaran radiologi. Saraf saraf affernt nociceptive sebagian besar

terkosentrasi pada periosteum, dimana sumsum tulang dan kortek kurang sensitif

terhadap nyeri. Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri diantaranya tarikan

pada periosteum yang diakibatkan ekspansi tumor, lokal mikrofractur yang

menyebabkan distorsi tulang, kompresi saraf yang diakibatkan kerusakan pada

vertebra atau karena desakan tumornya, dan dilepaskannya mediator mediator nyeri

dari sumsum tulang (4).

Nyeri pada tulang berkorelasi dengan aktivitas osteoklastik. pada tulang yang normal

aktivitas sel sel penyerapan tulang ( osteoclast ) sebanding dengan aktivitas sel sel

3

Page 4: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

pembentukan tulang ( osteoblast ). Pada penyakit kanker metastases ada peningkatan

dari aktivitas osteoclast. baik tumornya sendiri maupun faktor faktor humural,

termasuk didalamnya prostaglandin, cytokines, growth factors, dan hormon paratiroid

berperan dalam meningkatkan aktivitas osteoclas dan bekerja secara lokal dalam

merangsang nosiseptor. Walaupun aktivitas osteoclas meningkat, pembentukan tulang

juga mengalami peningkatan. Sehingga terjadi peningkatan pergantian sel sel tulang,

dimana tulang menjadi immatur dan kurang mengandung mineral sehingga rawan

terjadinya peningkatan fraktur tulang (4).

2. Nyeri Viseral

Penyebab nyeri visera pada kanker serviks antara lain spasme otot otot polos

pada organ berongga, distensi dari kapsul organ padat, inflamasi, iritasi kimiawi,

tarikan atau terpluntirnya mesentarium, iskemia dan nekrosis, atau pendesakan tumor

pada daerah pelvis dan presacral (2). Nyeri viseral biasanya sifatnya difuse dan tidak

bisa dilokalisir tempatnya, dan kadang kadang menjalar ke struktur organ non viseral

sehingga membuat sumber nyerinya diketahui. Nyeri viseral juga sering dikaitkan

dengan reflek autonomik seperti mual dan muntah (4).

Data data penelitian menunjukan bahwasanya pada organ viseral dalam

keadaan normal nociceptive afferent dalam keadaan " silent ". Bila ada inflamsi lokal

atau kerusakan jaringan, nociceptive afferent ini menjadi sensitive dan berespon

terhadap rangsangan yang tidak menimbulkan nyeri sebelumnya. Tanda tanda klinis

ini " inflamation induce sensitivity " sampai sekarang mekanismenya masih belum

diketahui (4).

3. Nyeri Neurophati

Lebih dari 60 % pasien dengan penyakit kanker malignansi pada daerah pelvis

menginvasi trunkus saraf dan sacrum sehingga menyebabkan nyeri neurophati. Hal ini

dapat menyebabkan keluhan kehilangan rasa, causalgia, dan deafferentation. Saphner

dan kawan kawan menemukan dalam penelitiannya dari 2261 pasien yang mengalami

lumbosascral plexophathy yang disebabkan karena metastase kelenjar limfe

retroperitoneal sebagian besar terjadi komplikasi neurologis pada pasien dengan

kanker serviks stadium lanjut (2).

Pada pasien kanker nyeri neurophatik periferal dapat disebabkan langsung

oleh infiltrasi atau penekanan pada saraf oleh massa tumor atau secara tidak langsung

karena terapi kanker seperti radioterapi dan kemoterapi ( semisal vincristine ). Nyeri

neurophati sifatnya spontan seperti terbakar, intermitten, tajam dan seperti di tusuk

4

Page 5: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

tusuk, lancinating, dan meningkat respon nyerinya terhadap rangsangan nyeri (

hiperalgesia ), dan nyeri bisa timbul walaupun dengan rangsangan yang tidak

menimbulkan nyeri ( allodenia ) (4).

Nyeri akibat radioterapi dan kemoterapi

Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi, differential diagnosis

utama untuk tipe nyeri neurophati adalah radiation induced plexopathy. Nyeri yang

disebabkan karena radiasi jarang terjadi dalam waktu kurang dari satu tahun terapi,

periode latennya bisa mencapai beberapa tahun, gejala dan keluhan klinisnya berupa

gangguan sensori dan motorik yang berkembang tiap bulannya, hasil rekaman

elektromyographyc dilepaskannya myokymic, dan belum ditemukannya adanya efek

massa mengarahkan kita kepada suatu diagnosa late onset dari radiation-induced

plexopathy. Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan neurotoxiciti perifer dan

dikaitkan dengan terjadinya neurophati perifer akut maupun kronis, khususnya bila

diberikan pada pasien dengan riwayat genetik atau mempunyai kecenderungan

neurophati (2).

Nyeri aspek psikososial

Wanita yang menderita kanker serviks menghadapi beberapa isu sulit

diantaranya: kematian, ketidakberdayaan, ketergantungan dan terpisah dari keluarga,

belum lagi dikaitkan dengan sexuality, feminimity dan isolasi sosial. Pada beberapa

studi pada pasien dengan kanker serviks adanya disfungsi sexual menjadi perhatian

besar karena menyebabkan stess yang besar terutama pada masyarakat menengah ke

bawah (2,7). Pengetahuan dan pemahaman hubungan antara nyeri sosial dan physical

memunculkan perspektif baru pada isu sekitar peranan faktor sosial dan intervensi

neurochemical terhadap nyeri. Dukungan sosial, perhatian terhadap pengawasan dan

pemberdayaan serta perencanaan adalah faktor penentu yang sangat penting terhadap

pengalamam individu terhadap nyeri.

IV. Evaluasi Nyeri Kanker Serviks

Evaluasi pasien dengan nyeri kronik pada pelvis sangat komplek apalagi kalau

penyakit dasarnya kanker serviks. Riwayat medis yang detail disertai dengan evaluasi

dan penilaian psikologis latar belakang sosial seorang penderita kanker serviks sangat

diperlukan untuk membuat penilaian nyeri yang baik.

5

Page 6: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

Penilaian nyeri:

Kegagalan dalam melakukan asesmen nyeri merupakan salah satu faktor

penting yang menyebabkan ketidakberhasilan terapi.

Asesmen seharusnya dilakukan (2,6):

1. Dilakukan setelah terapi awal berdasarkan interval waktu yang reguler

2. Ada laporan terbaru tentang perkembangan nyerinya

3. Ada interval waktu yang tepat setelah intervensi pharmakologi atau non

farmakologi

Identifikasi dari penyebab nyeri adalah sangat penting. Dokter yang akan memberikan

terapi pasien kanker seharusnya mengerti tentang pain syndrome pada kanker serviks.

Tujuan dari asesmen awal nyeri adalah untuk mengetahui karateristik patofisiologi

nyeri dan menentukan intensitas nyeri serta pengaruh terhadap kemampuan pasien

menjalankan fungsinya. Asesmen awal meliputi (2,6) :

1. Riwayat penyakit yang detail

2. Pemeriksaan fisik yang lengkap

3. Asesmen psychososial

4. Evaluasi diagnostik

Pemeriksaan yang teliti diperlukan untuk menentukan patofisiologi nyerinya.

Adanya gambaran spesifik dari pemeriksaan neurologis seperti adanya perubahan

sensori ( hypoesthesia, hyperesthesia, hyperpathya, allodynia ) pada daerah yang

nyeri memberikan perhatian akan kemungkinan terjadinya nyeri neuropati. Penting

juga untuk mengetahui keberadaan tumor, perkembangan serta metastasenya (2).

Sindrom nyeri pada kanker serviks

Beberapa klinisi mengklasifikasikan nyeri pada kanker servik sebagai berikut (8).

1. Pelvic pain : pelvic recurrence, low lumbosacral plexopathy, rectal obstruction,

pyometra, sacral syndrome, burning perineum syndrome, malignant

perineal pain, radiation cystitis, cryosurgery induce pain

2. Abdominal pain : nodes, lumbosacral plexopathy, L1 syndrome, bowel obstruction,

malignant psoas syndrome, radiation enteritis

3. Leg pain : lumbosacral plexopathy, lymphoedema

4. Backache : lumbosacral plexopathy, hydronephrosis, paraaortic nodes, bone

metastases

6

Page 7: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

5. Pain at other sites : brain metastase, bone metastase, brachial plexopathy from

supraclavicular nodes, retrosternal pain due to mediastinal nodes,

chemotherapy induced neuropathy, arthralgia, myalgia

Beberapa keluhan nyeri ( pain syndrome ) yang sering muncul dan sangat

mengganggu pada pasien kanker serviks antara lain adalah:

A. Rectal obsruction

Obtruksi rektum pada kanker servix dapat disebabkan karena proses infiltrasi

kanker didalam lumen rektum atau karena stenosi akibat dari radioterapi. Tanda

tandanya diawali dengan kesulitan dan nyeri pada saat defekasi, merasakan buang

kotoran yang tidak tuntas, keluarnya lendir dan terjadi konstipasi yang progresif. Bila

diameter lumen yang rigid kurang dari 1 cm dianjurkan untuk dilakukan colostomi.

B. Lumbosacral plexopathy

Plexus lumbal dibentuk oleh rami ventralis L1 sampai L4 dan berjalan

sepanjang otot psoas paravetebral. Plexus sakral dibentuk oleh L4, L5, dan rami

ventralis S1, S2, S3 yang dekat dengan sacrosciatic notch (8,9).

Prevalensi: Saphner at al menemukan komplikasi neurologis yang paling sering pada

kanker serviks adalah malignant lumbosacral plexopathy yang disebabkan tekanan

kelenjar limfe retroperitoneal. Plexopathi rendah ( saraf L4 - S1) paling sering

ditemukan sebanyak 64%, diikuti plexopathi tinggi ( saraf L1 - L3 ) sekitar 28% dan

pan plexopathi sekitar 8% (9).

Nyeri : nyeri merupakan keluhan yang paling sering dan terjadi sekitar 96%. pada

lumbosacral plexopathi rendah nyeri berlokasi pada daerah glutea dan perineum, atau

menjalar ke bagian posterolateral dari paha dan kaki. Pada lumbosacral plexopathi

tinggi nyeri dirasa pada daerah punggung, abdomen bawah, ginjal, krista iliaca atau

bagian anterolateral paha. Tes straight leg raising tes dapat positif (8,9).

Gejala dan tanda neurologis : pada penelitaan berseri yang dilakukan saphner gejala

neurologis ditemukan hanya 10% pasien tetapi berkembang bertahap seiring dengan

berjalannya penyakit. Kelemahan motorik sekitar 50%, rasa tebal atau kesemutan

32%, dan inkontinensia sekitar 8%. Sementara itu tanda - tanda neurologis tidak

menyeluruh yang bisa berupa kelemahan sensoris ringan, reflek motorik ( dorsofleksi

dan plantarfleksi ) yang asimetis yang sering ditemukan pada kaki, rasa tebal pada

dorsal dan plantar medial kaki, kelemahan fleksi dari lutut, engkel dorsofleksi, dan

inversi (8,9).

7

Page 8: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

Gambaran klinis berupa efek massa : adanya massa tumor menyokong adanya

lumbosacral plexopathi; destruksi pada tulang belakang daerah lumbal atau sacrum

sekitar 54%, ipsilateral hidronefrosis 70%, edema tungkai ipsilateral 46%,

Perbedaan gambaran dengan radiasi plexopathi : radiasi plexopathi jarang ditemui dan

dibedakan dengan tidak adanya massa tumor, tanda dan gejalanya bilateral, penyakit

dan survivalnya lebih lama, dan dominan adanya disfungsi motorik atau kelemahan

dibandingkan dengan nyerinya.

C. Sacral syndrome

Sakral sindrom dikaitkan dengan destruksi pada sakrum yang disebabkan

karena proses infiltrasi tumor. Biasanya sifat nyerinya berat, setempat menjalar ke

glutea, perineum, dan bagian posterior paha. Nyeri diperberat dengan duduk atau tidur

terlentang dan berkurang bila digunakan untuk berdiri atau berjalan. Bila infiltrasi

menjalar ke lateral hip rotator membuat tiap pergerakan sendi panggul sangat nyeri

sekali, dan jika infitrasi tumor mengenai otot pyriformis membuat rotasi internal dari

sendi panggul menjadi sangat nyeri juga (malignant pyriformis syndrome).

D. L1 Syndrome

Beberapa kelompok dengan lumbosacral plexopathi tinggi menunjukkan

adanya parastesia yang terbatas pada abdominal bawah dan daerah inguinal,

kehilangan sensoris yang bervariasi derajatnya dan tidak ditemukan keluhan motorik.

Pada pemeriksaan CT scan ditemukan tumor yang berdekatan dengan vertebra L1

E. Bone metastase and epidural compression

Tidak seperti nyeri mekanik yg lainnya dimana nyeri pada tulang belakang

biasanya membaik dengan istirahat, nyeri yang disebabkan oleh keganasan ataupun

infeksi seringkali memburuk dengan duduk atau tidur terlentang. Pada saat malam

hari kadang terjadi serangan nyeri berat, nyeri dirasa saat dilakukan penekanan pada

tulang belakang merupakan tanda serius dari keganasan atau infeksi.

Nyeri radikular dilaporkan sebanyak 90% pada kompresi lumbosacral epidural/ cauda

equina, kompresi spinal cord 79% pada cervical dan 55% pada thorakal. Dan yang

harus dicatat nyeri radikular hanya dialami pada sebagian dari dermatom saja.

Infiltrasi tumor ke ruang epidural dapat menyebabkan penekanan pada spinal

cord dan cauda equina. gejala dari kompresi tersebut antara lain: kelemahan motorik,

kehilangan sensoris, dan disfungsi spingter yang berjalan lambat sesuai perjalanan

penyakitnya. Kompresi pada epidural dan spinal merupakan kondisi emergensi dan

terapi yang diberikan biasanya hasilnya kurang bagus pada pasien yang sudah tdk bisa

8

Page 9: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

mobilisasi dan akan terjadi defisit neurologis cepat atau sudah tidak sensitif lagi

dengan radioterapi.

F. Malignan psoas syndrome

Kumpulan gejalanya berupa: nyeri pada saat paha ipsilateral difleksikan

( psoas test positif ), nyeri neuropatik pada L1 sampai L4 ( proximal lumbosacral

neuropathy ), dan nyeri nosiseptif meliputi daerah pelvis, tulang punggung, pinggul

atau paha. Nyeri juga menjalar ke selangkangan dan dinding perut bagian depan.

G. Malignant perineal pain

Nyeri berat pada daerah perineum mungkin juga tanda klinis awal adanya

tumor yang recurrence. Tipe nyerinya tumpul, konstan, diperberat dengan berdiri atau

duduk ( tension myalgia of the pelvix floor ). Mungkin dikaitkan karena spasme

kandung kemih atau tenesmus.

Asesmen nyeri visera

Sebagian besar nyeri viseral tidak bisa dilokalisir secara baik, Ini yang

membuat nyeri viseral menjadi sulit untuk didiagnosa. Untuk alasan tersebut mungkin

sulit untuk diterangkan, nyeri dapat episodik, dan membuat sangat sulit dibedakan

diantara nyeri kolik dengan nyeri visera lainnya. Terapi diagnostik secara trial dengan

memberikan antispasmodik yg mungkin akan mengurangi atau menghilangkan

keluhan koliknya (2).

V. Manajemen nyeri kanker serviks

Nyeri kanker dapat ditangani secara efektif dan sekitar 80 - 90 % pasien relatif

berhasil dengan menggunakan pendekatan analgesic ladder dari World Health

Organization ( WHO ) (10). Pada penderita kanker serviks yang sudah stadium lanjut

dan mengalami keluhan nyeri yang komplek sangat diperlukan tatalaksana nyeri yang

optimal, asesmen keluhan nyeri yang sistematis, dan pendekatan yang tepat untuk

meningkatkan kwalitas hidupnya. Nyeri dengan tipe yang berbeda diterapi sesuai

dengan jenis patofisiologinya dengan berbagai modalitas anti nyeri bergantung pada

usia pasien, usia harapan hidup, ketersediaan modalitas anti nyeri yang invasif

maupun non invasif, sumber daya pasien, komunitas, dan tenaga kesehatan (2,3,6).

Pendekatan klinis yang direkomendasikan dengan penekanan fokus pada

pasien antara lain (2):

9

Page 10: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

1. Tanyakan tentang keluhan nyeri secara teratur. Nilai nyeri dan keluhan yang terkait

dgn nyerinya secara sistimatis dengan menggunakan perangkat penilaian yang

mudah.

2. Percaya kepada pasien dan keluarganya tentang keluahan nyerinya dan apa yg

membuat nyerinya berkurang. Pilihlah untuk mengontrol nyeri yang sesuai dengan

pasien, keluarga, dan kondisi yang ada.

3. Memberdayakan pasien dan keluarganya, yakinkan bahwa pasien dapat mengontrol

sendiri terapi yang dijalani. Diskusikan tentang penanganan nyerinya dengan

pasien dan keluarganya

4. Pertimbangkan biaya untuk pengobatan dan prosedur intervensi yang akan

direncanakan

5. Pemberian profilaksis anti konstipasi pada pasien yang mendapatkan terapi opioid

6. Bijaksana dalam memilih obat - obatan pada pasien yang mengalami gangguan

fungsi ginjal dimana sering dijumpai pada pasien kanker serviks stadium lanjut

7. Sangat penting untuk memberikan dukungan psychosocial yang adequat. Dukungan

psychosocial berupa: keberadaan relawan untuk membantu penderita, hubungan

yang intensif dengan penderita, mewujudkan harapan dan keinginan penderita, dan

pemberdayaan dari penderita kanker

8. Lakukan diskusi dengan tim dokter untuk penatalaksanaan yang lebih baik dengan

menggunakan pendekatan multidisiplin.

Dalam menggunakan pedoman analgesik dari WHO hendaknya

memperhatikan prinsip - prinsip sebagai berikut:

Prinsip dasar penggunaan obat obatan anti nyeri pasien kanker (2,10)

By mouth

Pemberian obat secara oral lebih baik selama pasien masih bisa menelan dan tidak ada

obstruksi usus halus yang bermakna. Setiap regimen obat harus disesuaikan dengan

kondisi tiap pasien.

By the clock

Sebagian besar pasien kanker dengan keluhan nyeri membutuhkan jadwal yang teratur

untuk menjaga supaya tetap tidak nyeri dan mencegah nyeri menjadi memburuk.

Pemberian dosis rescue bila terjadi breakthrough pain seharusnya selalu

dikombinasikan dengan dosis obat reguler yang diminum untuk mengontrol terjadinya

serangan nyeri mendadak.

10

Page 11: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

Penggunaan WHO ladder

Penggunaan tiga langkah analgesik WHO memberikan ketegasan kepada klinis dalam

menghadapi kondisi nyeri yang dikeluhkan pasien. Jika pasien mengeluhkan nyeri

ringan bisa dimulai dengan pemberian regimen step 1 berupa acetaminophen atau

NSAID. Pemberian NSAID sangat berguna untuk nyeri tulang atau ketika terjadi

peritumor inflamasi. NSIAD seharusnya diberikan secara hati hati pada pasien tua

atau pada ganguan fungsi ginjal. Jika pasien tetap memburuk walaupun sudah

diberikan dosis obat yang tepat pada step 1, maka harus segera di ubah ke step 2 atau

3 sesuai indikasi. Sebagian besar pasien dengan nyeri kanker akan membutuhkan

regimen obat step 2 atau 3. Yang tidak menyenangkan beberapa pasien dengan

plexopathy atau dengan distensi usus atau kolik tipe visera pain mungkin tidak respon

baik dengan pemberian lewat oral dan diperlukan alternatif pemberian adjuvan atau

tindakan intervensi seperti pemberian lewat epidural.

Menejemen nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri kanker.

A. Nyeri somatik kanker

Nyeri somatik disebabkan karena dilepaskannya mediator mediator inflamasi

serta adanya proses pendesakan atau infiltrasi di jaringan sekitarnya khususnya

tulang. Nyeri somatik yang paling dikeluhkan adalah nyeri tulang.

Analgesi opioid yang sering digunakan sebagai dasar terapi kanker dapat memberikan

analgesia yang adequat pada nyeri tulang yang sifatnya ringan sampai sedang. Untuk

nyeri tulang yang resisten dengan pemberian opioid perlu dipertimbangkan adjuvant

analgesi dan modalitas terapi lainnya. NSAID sangat berguna untuk nyeri tulang

karena keluhan yang terjadi berhubungan dengan inflamasi setempat. NSAID bekerja

pada enzim cyclooxygenase yang bekerja menghambat pembentukan prostaglandin

dan mengurangi lokal edema dan prostaglandin-induce sensitization (4).

Bisphosphonat makin dikenal digunakan dalam mengurangi nyeri tulang.

Bisphosphonat bekerja selektif menghambat osteoclastic resorbsi tulang dan mungkin

memiliki efek anti inflamasi. Sehingga dapat digunakan bersama obat lain untuk

meningkatkan efek analgesinya. Penelitan yang dilakukan secara RCT pada pasien

kanker payudara menunjukan pasien yang diberikan infus pamidronat dan

bisphosponat menunjukan perbaikan keluhan nyeri tulangnya dan mengurangi

komplikasi tulang seperti fraktur dan compresi pada spinal cord (2,4).

Pilihan terapi lainnya untuk nyeri metastase tulang adalah radioterapi.

Diperkirakan kerjanya dengan mengurangi inflamasi lokal dan mengecilkan massa

11

Page 12: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

tumor. Berkurangnya nyeri melalui radioterapi dapat sangat bervariasi waktunya.

Pada pasien yang usia harapan hidupnya lebih dari 1 tahun dan bebas nyeri selama

radioterapi akan mengalami nyeri kembali sekitar 60%. Pada kondisi tertentu

radioisotop dapat bermanfaat, dan salah satu radioisotop yang spesifik untuk tulang

adalah strontium-89 (2,4) . Kejadian nyeri saat melakukan gerakan sangat sulit utk

dikontrol. Jika terapi farmakologi dan radioterpi tidak mampu mengatasinya perlu

dipertimbangkan dengan penggunaan intervensi, seperti patient controlled epidural

analgesia ( PCEA ) atau menggunakan blok saraf tertentu sesuai dengan sumber

nyerinya (4,11,12) . Kombinasi yang rasional terhadap pilihan terapi yang diberikan akan

mengontrol keluhan nyeri tulang pada pasien kanker. Bagaimanapun nyeri tulang

masih menjadi masalah yang sangat serius untuk pasien kanker dan masih menjadi

tantangan bagi para klinisi.

B. Nyeri visera kanker

Nyeri visera dapat ditangani dengan pemberian farmakologi dan pendekatan

intervensi. Kombinasi NSAID, opioid, dan obat obatan adjuvant menjadi terapi

farmakologi utama (4) . Ketika pemberian terapi farmakologi sudah tidak efektif atau

terbatasi karena efek samping obat, maka regional anestesi atau teknik intervensi

menjadi pilihan. Teknik teknik intervensi tersebut memberikan obat lokal anastesi,

opioid, atau bahkan neurolytic agents pada saraf tulang belakang ataupun plexus saraf

organ viseral. Tujuan dari teknik intervensi ini adalah untuk menghasilkan analgesia

yang superior dan untuk menurunkan kebutuhan opioid.

Epidural kontinyu atau infus intrathecal anastesi lokal maupun opioid dapat

secara efektif untuk mengontrol nyeri abdominal maupun pelvis. Pada penelitian

retrospective pada 51 pasien dengan kanker terminal yang sudah diberikan terapi oral

tetapi tdk mempunyai efek yang adequat atau mengalami banyak efek samping,

pemberian infus intrathecal memberikan penurunan nyeri sampai 66% (4) . Dengan

menambahkan anastesi lokal pada opiod tersebut mampu memberikan penurunan

nyeri sampai 94%. Pelvix pain yang disebabkan invasi tumor dapat dikontrol secara

memuaskan dengan melakukan neurolysis pada plexus hipogastrika superior, dan

nyeri pada daerah perianal dapat dikontrol dengan melakukan neurolysis pada

ganglion impar (4,14,15). Teknik ablative neurosurgical kurang begitu digunakan

sebelumnya tapi untuk pasien dengan nyeri kanker unilateral yang refrakter tindakan

percutaneus cordotomy mungkin masih berguna.

12

Page 13: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

C. Nyeri neurophati

Efektivitas opioid dalam terapi nyeri neurophati masih kontroversial. Pada

spinal cord reseptor opioid mu, delta, dan kappa ditemukan didalam presinaps pada

serabut afferent nociceptive dan postsinaps yang berlokasi pada secondary neuron

pada nociceptive circuitry. Kosentrasi paling tinggi reseptor opioid disekitar serabut C

di terminal zone pada lamina I dan II, dan lebih dari 70 % reseptor mu pada afferent

presynaptic terminal (4,15). Bagian saraf perifer akan cenderung kehilangan semua

reseptor opioid presynap. Ini kemungkinan menyebabkan penurunan bermakna dari

kumpulan reseptor opioid di tingkat spinal, dan hal ini berperan serta menjadikan

tidak sensitifnya opioid pada nyeri neurophati. Transmiter lain seperti cholecystokinin

( CCK ) juga berperan besar dalam mengatur sensitivitas opioid baik pada level spinal

maupun supraspinal. Pemberian CCK ini dapat secara selektif menurunkan kerja

analgesik dari morphin, dan pemberian antagonisnya yaitu CCK-B meningkatkan

reseptor analgesia dari morphin. Dan telah ditemukan bahwasanya CCK akan

meningkat regulasinya setelah terjadinya kerusakan saraf atau pada neurophati (4).

Nyeri neurophati secara normal memberikan respon yang tidak baik terhadap

opioid sistemik. Walaupun tidak sentifnya sangat relatif, pemberian opioid dosis besar

dapat menyebabkan intoleransi atau efek samping yang tidak diharapkan. Sebaliknya

pemberian opioid intrathecal menunjukan hasil yang lebih baik ( dose-dependent

inhibition ) terhadap respon stimulus nyeri dan rangsangan C-fiber dibandingkan

dengan rute pemberian secara sistemik (4). Jadi masalah respon opioid terhadap nyeri

neurophati bukan hanya pada berkurangnya sensitifitasnya, tapi juga kegagalan dalam

mengirimkan kosentrasi yang cukup tinggi dari sistemik ke spinal cord tanpa adanya

efek samping yang berarti.

Penghambat sodium channel ( local anesthetic, antiarhymic, dan obat

antiepileptic ) berperan utama dalam terapi nyeri neurophati. Ada dua tipe sodium

channel yaitu yang sensitif dan yang tidak sensitif dengan tetrodotoxin. Sodium

channel yang sensitif dengan tetrodotoxin hampir berada pada semua neuron sensoris,

sementara itu sodium channel yang tidak sensitif terhadap tetrodotoxin hanya

ditemukan pada neuron sensori nosisepsi yang berperan dalam patofisiologi nyeri.

Setelah terjadinya kerusakan saraf, sensori afferent menunjukan letupan letupan yang

disebabkan akumulasi dari sodium channel pada saraf yang rusak maupun yg masih

tidak rusak, khususnya dengan sodium channel insensitif tetrodotoxin yang akan

berpengaruh selanjutnya. Sodiun channel saat ini yang tersedia tidak selektif,

13

Page 14: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

sehingga penggunaannya sering kali muncul efek - efek yang tidak diinginkan seperti

efek pada sistem saraf pusat dan kardiovasculer.

Aktivitas simpatis pada nyeri neurophati juga terjadi peningkatan. Penanganan

yang spesifik seperti blok simpatis, intravena regional guanethidine block, atau 1

antagonis telah digunakan luas akhir akhir ini, tetapi evidence yang mendukung

belum banyak. Kehilangan regulasi penghambat pada tingkat dorsal horn

menyebabkan terjadinya letupan spontan dari jalur nyeri nosiseptif. Tingkat gamma-

aminobutyric acid ( GABA, sebagai penghambat transmiter di dorsal horn ) menjadi

berkurang, dan reseptor GABA pada dorsal horn regulasinya menurun. Gabapentin,

anti konvulsan adalah memiliki struktur seperti GABA tetapi tidak bekerja di GABA

reseptor, telah menunjukan efikasinya untuk menangani nyeri neurophati dengan

penyebab yang bervariasi (4,11,12).

Antagonis NMDA telah digunakan untuk menghilangkan wind-up pada level

spinal. Ketamin adalah antagonis NMDA bekerja sebagai analgesik kuat pada dosis

subanastesi. Hal tersebut mungkin mengurangi hipersensitifitas di dorsal horn.

Ketamin dan amantadine dapat mengurangi resistensi opioid untuk terapi nyeri

neurophati pada pasien kanker (4).

Ajuvan analgesik

Kortikosteroid

Kortikosteroid telah diterima luas sebagai ajuvan dalam menangani nyeri

kanker, terutama pada nyeri tulang, viseral, dan neurophati. Banyak sekali nyeri pada

kanker servix disebabkan kaarena proses inflamasi sebagai penyebabnya dan

kortikosteroid sangan berperan didalamnya. Dari beberapa trial penelitian dosis yang

direkomendasikan sangat kecil seperti dexamethason 1-2 mg atau prednisolon 5-10

mg sekali atau dua kali perhari. Untuk memulai bisa diberikan dosis awal

dexamethaso 10 mg sekali perhari dilanjutkan dosis selanjutnya diturunkan bertahap

sampai sampai mencapai dosis minimal yang evektif (2).

Meskipun sudah diterima secara luas penggunaan kortikosteroid dalam

penanganan nyeri kanker tapi data yang ada masih belum cukup untuk bisa membuat

sebuah panduan dosisnya (2).

Peran pendekatan intervensional pada nyeri kanker serviks

Pada tahun 1986, WHO telah mengeluarkan panduan tatalaksan nyeri kanker

yang dikenal dengan three-step ladder. Panduan tersebut memberikan pegangan para

klinisi dalam menangani nyeri kanker dan mampu memberikan keberhasilan sekitar

14

Page 15: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

80 - 90% dan lebih dari 75% adalah pasien kanker stadium terminal (10,11). Tetapi

beberapa masalah ditemukan dalam penggunaan pedoman tersebut, seperti

penanganan nyeri tulang pada kanker metastasis, pasien tidak bisa intak oral atau

transdermal. Kegagalan terapi meliputi tidak adequatnya dalam menurunkan nyeri

atau munculnya intoleransi dan efek samping seperti tersedasi, mual dan muntah,

konstipasi, dan kesadaran menurun (2,11,12).

Dalam hal ini pertimbangan untuk melangkah ke tahap (a Fourth step )

selanjutnya harus dipikirkan yaitu teknik intervensi. Seorang pain clinic seringkali

melakukan prosedur intervensi untuk menangani intractable pain dari kanker serviks.

Pengetahuan dasar anatomi sangat diperlukan sebelum melakukan tindakan tersebut.

Persarafan dari uterus dan serviks (2):

1. Saraf dari uterus muncul dari plexus hypogastrika inferior, sebagian besar dari

bagian anterior dan intermediet dikenal sebagai plexus uterovaginal. Implus nyeri dari

bagian atas uterus diteruskan melalui saraf T11 dan T12 dan dari serviks dan bagian

bawah uterus melalui saraf di pelvis ke segmen spinal S2, S3, dan S4.

2. Serabut saraf parasimpatis dari saraf splanik pelvis ( S2-4 ), dan serabut simpatis

yang berasal dari plexus diatas. Serabut autonomik dari uterovaginal adalah

vasomotor utama.

Beberapa teknik intervensi yang digunakan untuk menangani nyeri kanker serviks:

1. Neurolytic sympathetic plexus block ( NSPB )

Neurolytic sympathetic plexus block telah diusulkan untuk mencegah

berkembangnya nyeri dan memperbaiki kwalitas hidup pasien kanker, oleh karenanya

beberapa klinisi menganjurkan melakukannya lebih awal (2,13). Bilateral percutaneus

neurolitic superior hypogastric plexus block dianjurkan untuk mengatasi nyeri paliatif

pada kanker kandungan. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugiannnya NSPB

seharusnya dipertimbangkan dilakukan lebih awal pada nyeri abdominopelvic

khususnya bila nyeri persisten dan dan tidak adequat dengan terapi konfensional yang

memadai.

Blok superior hipogastrika berguna untuk keluhan nyeri dari kanker serviks

atau berbagai tipe nyeri dari pelvis kecuali nyeri dari ovarium. Selain itu bisa

dilakukan blok Walther's ganglion, ganglion tersebut merupakan ganglion simpatis

yang berlokasi pada sacrococcygeal juction. Neurolitik pada ganglion tersebut akan

mampu mengontrol nyeri di perianal, rektum dan genital (13,14).

2. Spinal / Epidural analgesia

15

Page 16: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

Pengetahuan tentang ditemukannya reseptor mu opioid yang sangat berlimpah

di dorsal horn pada spinal cord membuat Wang dan rekannya tahun 1979

menempatkan morphine didalam ruang subarachnoid untuk mengontrol nyeri kanker.

Sejak saat itulah pengunaan jalur spinal untuk memasukan obat opioid menjadi sangat

populer. Sejumlah obat selain opiod dicoba dimasukan melalui ruang subarachnoid

seperti anastesi lokal, spasmolitik, dan alpha 2 adrenegik agonist. Dan saat ini obat

obat tersebut selain dimasukan di ruang subarachnoid juga bisa dimasukan di ruang

epidural (11).

Obat obat yang dimasukan lewat ruang subarachnoid dan ruang epidural

memiliki perbedaan dalam mekanisme kerjanya. Karena jalur subarachnoid

berhubungan langsung dengan spinal cord, sehingga dosis obat yang dibutuhkan

sepersepuluh bila dibandingkan dengan pemberian melalui rute epidural. Dosis ini

berbeda dan tidak berlaku pada obat anestesi lokal, karena tergantung pada kosentrasi

dan sejumlah volume untuk mencapai target yang diharapakan.

Alpha 2 adrenegik agonist terdiri dari beberapa kelas bila diberikan via

subarachnoid akan dapat mengurangi nyeri neurophati. Obat semisal clonodin bekerja

langsung pada reseptor alpha 2 adrenegik agonist yang dapat menyebabkan hambatan

transmisi nyeri sepanjang jalur adrenergik pada spinal cord. Sedikitnya ada satu

penelitian yang telah menunjukan pemberian alpha 2 adrenegik agonist via

subarachnoid, tidak bekerja untuk mengatasi nyeri visera dan somatik tapi efektif

untuk menterapi nyeri neurophati dengan menurunkan kebutuhan opioid dan

memperbaiki keluhan nyeri pada pasien kanker terminal. Efek samping seperti sedasi

dan hipotensi ortostatik secara umum ringan dan tidak lama (11).

Untuk terapi yang lebih lama pemberian obat via epidural maupun spinal

dapat dilakukan penanaman kateter subkutan dan biasanya dihubungkan dengan pump

khusus. Pemasangan implan ini sangat bergantung dari kondisi pasien, sumber dana

dan kemampuan seorang pain clinic.

Beberapa teknik / sistim pengiriman obat via intrathecal (12,15)

A. Simple percutaneus intrathecal catheter

Termasuk teknik invasi yang sederhana dan dapat digunakan dalam jangka

waktu yang pendek. Dapat digunakan sebagai trial bila akan dipasang implant, bila

dengan simple percutaneus ini efektif maka bisa dipertimbangkan dengan

pemasangan implant atau bisa karena perkiraan harapan hidupnya tidak lama

sehingga cukup dipasang yg bisa digunakan jangka pendek.

16

Page 17: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

B. Tunneled intrathecal cateter

Pemasangan dilakukan dikamar operasi dalam kondisi yang streril. bagian

dorsal kateter ditanam subcutan dengan jarak yang bervariasi, dan biasanya

keluarnya pada dinding abdomen sebelah lateral. Dengan kontrol infeksi yang ketat

termasuk didalamnya filter antimikroba dan pengaman tempat keluar masuknya,

sistem tunneled ini dapat digunakan dalam hitungan bulan sampai tahun.

Keuntungan alat ini adalah pemasangannya relatif mudah, bisa dioperasikan oleh

seorang hospice, dan menjadi evektif hanya dijalankan dengan tenaga yang terlatih

minimal.

C. Implantable drug-delivery systems ( IDDS )

IDDS mengunakan pompa elektonik yang kecil dan diprogram oleh komputer

untuk mengantarkan obat ke ruang intratechal melalui kateter. Pompa diletakan

subkutan di dinding perut bagian depan atau di glutea. Obat didalam reservoir dapat

diisi ulang via lubang tertentu dengan cara menginjeksikan jarum lewat kulit.

keuntungan dari sistim ini adalah pasien bebas bergerak, pemeliharaannya mudah, dan

resiko infeksinya lebih kecil. Yang terbaru FDA Amerika merekomendasikan dengan

penggunaan alat tertentu yang sistem kerjanya sama dengan patien controlled

analgesia, dan patient therapy manager ( PTM ) sehingga pasien dapat mengkontrol

dosis bolus pada saat terjadi breakthrough pain sehingga meningkatkan kenyamanan

pasien.

3. Vertebroplasty and Kyphoplasty

Vertebroplasty adalah teknik minival invasif ( tidak melakukan irisan pada

kulit hanya memasukan bone cement melalui jarum khusus dengan panduan

floroscopy pada vertebra yang ditarget ) yang dikerjakan secara rawat jalan dimana

nyeri yang ditimbulkan disebabkan karena penekanan fraktur vertebra dan dapat di

stabilisasi dengan menyuntikan bone cement polymethyl metacrylate ( PMMA ).

Sementara itu kyphoplasty berbeda dalam hal apa yang diinjeksikannya, dilakukan

dengan mencoba memperbaiki ketinggian vertebra dengan cara menyuntikan balon

intravertebra percutaneus. Secara teknik kyphoplasty lebih sulit, tidak nyaman bagi

pasien dan relatif lebih mahal. Study meta analisis membandingkan antara

vertebroplasty dengan kyphoplasty menunjukan penurunan nyeri lebih bermakna pada

kelompok vertebroplasty tapi memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya ektravasasi

bone cement didalam canal spinalis.

17

Page 18: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

Indikasi: Vertebroplasty atau kyphoplasty diindikasikan pada kondisi nyeri akut

maupun subacut ( < 6 bulan ) karena fraktur patologis vertebra ( disebabkan

osteoporosis atau tumor ) tanpa adanya kelainan pada canal spinalis dan elemen

didalamnya. Apabila ada fraktur yang disertai kelainan pada canal spinal yang aktual

maupun potensial kelainan neurologis mungkin yeng terbaik dilakukan tindakan

pembedahan dengan melakukan decompresi dan mungkin spinal fusion (12,15).

Kontraindikasi: Kontraindikasi absolut Vertebroplasty atau kyphoplasty adalah

adanya fraktur stabil yang tanpa keluhan, efektif terhadap terapi farmakologis,

terdapat osteomilitis di target vertebranya, kelainan pembekuan darah yang tidak bisa

dikoreksi, allergi terhadap komponen yang digunakan, dan terjadi infeksi lokal

maupun sistemik. Kontraindikasi relatif antara lain nyeri radikuler, atau sudah terjadi

radiculophaty yang disebabkan karena sindrom kompresi yang tidak berkaitan dengan

kolaps dari vertebra body, retropused fragmen > 20% kolaps kanan spinal, ekpansi

tumor ke ruang epidural, kolaps vertebra body yang berat ( vertebral plana ) (12,15).

VIII. Kesimpulan

Pendekatan yang holistik didalam menangani nyeri kanker serviks merupakan

kunci keberhasilan dalam menurunkan keluhan nyeri penderita kanker. Pengetahuan

yang mendalam tentang patofisiologi dari nyeri kanker serviks sangat diperlukan

untuk dapat menangani penderita kanker serviks terutama yang mengalami nyeri yang

multipel.

Tipe dari nyeri kanker serviks bisa berupa nyeri somatik, visera, dan

neurophati. Bisa bersifat akut, kronik dan kadang terjadi nyeri yang refrakter.

Evaluasi yang teliti terhadap jenis nyeri dan penggunaan yang tepat terhadap panduan

nyeri kanker WHO serta pertimbangan penggunaan teknik intervensi nyeri yang

bijaksana akan mampu memberikan hasil yang optimal sehingga pasien dapat

berkurang keluhan nyerinya dan mampu meningkatkan kwalitas hidupnya.

Referensi:

1. Epidemilogi Kanker Serviks, Indonesia Journal of Cancer 2009 No 3 Jul-Sep

18

Page 19: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

2. Gayatri P, M.S Biji, M.R. Rajagopal, Pain Management in Cancer Serviks, Indian

J. Palliative Care, Desember 2006

3. Cervical Cancer, American Cancer Society, last reviced 31 Jan 2014

4. Joan M. Regan, Philip P, Neurophysiology of Cancer Pain, March/April 2000. Vol

7, No 2

5. Savita V, Paulette M et.all, Lower Extremity Pain as Initial Presentation of Cervical

Cancer, Gynecology Oncology Report 5 ( 2013 ) 13-15

6. Guidelines for the Management of Cancer-Related Pain in Adults, Cancer Care

Nova Scotia, 2005

7. Palliative Care for Women with Cervical Canser: a Field Manual, Engender Health,

2003

8. Saikat Das, Jenifer Jeba, etall, Cancer and Treatment Related Pain in Patient with

Cervical Carcinoma, Indian Journal of Palliative Care, Vol 11, Page 78-81, 2005

9. Saphner T, Gallion HH, Van Nagell JR. Neurologic complications of cervical

cancer. A review of 2261 cases. Cancer 1989;64:1147-51

10. WHO`s Cancer Pain Ladder for Adult, www.who.int/cancer/paliative/painladder/en,

2014

11. Rafael Miguel, Interventional Treatment of Cancer Pain: The Fourth Step in the World

Health Organization Analgesic Ladder, March/April 2000, Vol 7, No 2

12. Shane Brogan, Scott Junkins, Interventional Therapies for the Management of

Cancer Pain, The Journalof Supportive Oncology, 2010; 8:52-59

13. De Oliveria R, Das Reis, Prado WA, The Effects of Early or Late Neurolitic

Symphatetic Plexus Block on the Management af Abdominal or Pelvic Cancer

Pain, 2004;110:400-8

14. Waldman, Atlas of Interventional Pain Management, Copyright 1998, page 383

15. Waldman, Pain Management, second edition, Elseiver, 2011

BAGIAN ANESTESIOLOGI,PERAWATAN INTENSIFDAN MANAJEMEN NYERI

19

Page 20: Manajemen Nyeri Kanker Cervix

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

Tugas ReferatMei 2014

MANAJEMEN NYERI KANKER SERVIKS

OLEH

dr Dedi Susila SpAn

PEMBIMBING

Prof. Dr.dr. Nancy M. Rehatta, Sp.An-KIC-KMN

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADAPROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SUBSPESIALIS

KONSULTAN MANAJEMEN NYERIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

2014

20