Manajemen Epistaksis Posterior Refrakter Dengan Kauterisasi

3
MANAJEMEN EPISTAKSIS POSTERIOR REFRAKTER DENGAN KAUTERISASI A. SFENOPALATINA Introduksi Epistaksis yang tak terkontrol masih merupakan tantangan bagi ahli bedah THT. Terkadang dapat mengancam jiwa akibat aspirasi, hipotensi, anemia, dan komorbid lainnya. Kebanyakan kasus epistaksis ditatalaksana secara konservatif dengan kauter atau tampon. Ketika prosedur ini gagal, ligasi dipertimbangkan. Dahulu, ligasi a. Maxillaris interna dengan pendekatan transantral umum digunakan. Namun teknik ini banyak komplikasi, seperti edema wajah, baal, fistula oroantral dan juga risiko kegagalan 10-15%. Kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik sekarang telah dikenal dan mulai sering digunakan untuk mengontrol epistaksis tak terkontrol. Namun, menemukan foramen sfenopalatina pada pasien yang sedang epistaksis sangat sulit, membutuhkan pengetahuan anatomi yang baik. Material dan metode Peneliti telah melakukan kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik pada 7 pasien dengan epistaksis tak terkontrol. Semua pasien telah ditatalaksana awal dengan tampon nasal anterior dengan BIPP, dan ketika gagal dilakukan kateterisasi balon invotec atau tampon nasal posterior. Pasien yang masih mengalami perdarahan setelahnya merupakan subjek untuk dilakukan kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik dalam anestesi umum. Empat diantaranya merupakan pasien dengan hipertensi. Tidak ada pasien yang diidentifikasi memiliki kelainan penggumpalan darah. Prosedur bedah: Prosedur dilakukan dalam anestesi umum. Pertama, 1 ml xylocaine 2% dalam adrenaline 1:200000 disuntikkan melalui suntikan insulin ke dalam foramen palatina mayor. Larutan saline 3 ml juga disuntikkan ke area tersebut sebagai tampon

description

Jurnal

Transcript of Manajemen Epistaksis Posterior Refrakter Dengan Kauterisasi

Page 1: Manajemen Epistaksis Posterior Refrakter Dengan Kauterisasi

MANAJEMEN EPISTAKSIS POSTERIOR REFRAKTER DENGAN KAUTERISASI A. SFENOPALATINA

Introduksi

Epistaksis yang tak terkontrol masih merupakan tantangan bagi ahli bedah THT. Terkadang dapat mengancam jiwa akibat aspirasi, hipotensi, anemia, dan komorbid lainnya. Kebanyakan kasus epistaksis ditatalaksana secara konservatif dengan kauter atau tampon. Ketika prosedur ini gagal, ligasi dipertimbangkan. Dahulu, ligasi a. Maxillaris interna dengan pendekatan transantral umum digunakan. Namun teknik ini banyak komplikasi, seperti edema wajah, baal, fistula oroantral dan juga risiko kegagalan 10-15%. Kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik sekarang telah dikenal dan mulai sering digunakan untuk mengontrol epistaksis tak terkontrol. Namun, menemukan foramen sfenopalatina pada pasien yang sedang epistaksis sangat sulit, membutuhkan pengetahuan anatomi yang baik.

Material dan metode

Peneliti telah melakukan kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik pada 7 pasien dengan epistaksis tak terkontrol. Semua pasien telah ditatalaksana awal dengan tampon nasal anterior dengan BIPP, dan ketika gagal dilakukan kateterisasi balon invotec atau tampon nasal posterior. Pasien yang masih mengalami perdarahan setelahnya merupakan subjek untuk dilakukan kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik dalam anestesi umum. Empat diantaranya merupakan pasien dengan hipertensi. Tidak ada pasien yang diidentifikasi memiliki kelainan penggumpalan darah.

Prosedur bedah:

Prosedur dilakukan dalam anestesi umum. Pertama, 1 ml xylocaine 2% dalam adrenaline 1:200000 disuntikkan melalui suntikan insulin ke dalam foramen palatina mayor. Larutan saline 3 ml juga disuntikkan ke area tersebut sebagai tampon menekan pembuluh darah. Xilocaine 2% dengan adrenaline juga disuntikkan ke dinding lateral kavum nasi. Insisi mukosa dibuat posteroinferior dari bulla ethmoidalis dengan pisau otologi. Lipatan mucoperiosteal diangkat dalam fontanella posterior pada maxilla media dan os palatum. Lipatan tersebut diangkat lebih jauh posterosuperior hingga foramen sfenopalatina tampak. Kita mencari tonjolan tulang krista ethmoidalis pada foramen sfenopalatina. A. Sfenopalatina melintas di medial dan dalam lipatan mukosa. Arteri pada percabangan utama atau setelah percabangan dikauterisasi dengan pisau bipolar khusus. Setelah itu lipatan dikembalikan dan dimasukkan tampon unilateral BIPP dan dipertahankan selama 24 jam.

Hasil

Prosedur ini memakan waktu sekitar 45 menit. Tidak ada pasien yang mengalami komplikasi akibat tindakan ini. Semua pasien epistaksis dapat dikontrol perdarahannya. Satu pasien yang vestibulumnya menyempit akibat penggunaan tampon nasal posterior berulang mengalami perdarahan hidung ringan 3 bulan setelah operasi, yang dapat dikontrol dengan

Page 2: Manajemen Epistaksis Posterior Refrakter Dengan Kauterisasi

tampon nasal anterior. Pada endoskopi nasal, terdapat krusta didalam hidung disertai vestibulitis, maka dioleskan neosporin salep. Ketujuh pasien dipulangkan pada hari ke-3 post operasi, dan diberikan ciprofloxacin oral 500 mg selama seminggu, disemprotkan normal saline ke dalam hidung, dan dioleskan salep neosporin untuk mencegah pembentukan krusta dan perdarahan kembali.

Diskusi

Manajemen epistaksis dapat menjadi sulit ketika ada perdarahan posterior. Pilihan terapi untuk epistaksis mencakup kauterisasi, tampon nasal anterior, tampon nasal posterior, septoplasty dengan pengangkatan flap bilateral, ligasi a. Maxillaris interna, dan ligasi a. Ethmoidalis anterior atau a. Carotis externa. Kesemuanya memiliki risiko kegagalan sebesar 26-52%. Tampon nasal posterior mengakibatkan rasa tidak nyaman, trauma mukosa dan kesakitan akibat hipoksia. Ligasi a. Carotis externa memiliki angka kegagalan yang tinggi akibat anastomosis distal dari lokasi ligasi. Manajemen terkini epistaksis meliputi angiografi dan embolisasi pembuluh darah yang pecah dan kauterisasi a. Sfenopalatina. Angiografi dan embolisasi a. Maxillaris memerlukan ahli radiologi intervensi, lebih jauh mengakibatkan komplikasi neurologi yang serius. Pendekatan operasi mikroskopik pada foramen sfenopalatina pertama kali digambarkan oleh Pradesh. Setelah kemajuan pada teknik endoskopi nasal, ligasi endoskopi a. Sfenopalatina untuk manajemen epistaksis posterior dicobakan, dan menjadi populer untuk epistaksis refrakter. Banyak studi juga melaporkan keberhasilan hingga 90% tanpa komplikasi yang signifikan. Tujuh pasien pada penelitian ini dapat dikontrol epistaksisnya dengan prosedur ini tanpa komplikasi. Disamping itu juga menghindari kesakitan akibat penggunaan tampon nasal posterior yang berkepanjangan dan pendekatan operasi eksternal.

Kesimpulan

Meskipun hasilnya masih permulaan, kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik tampaknya aman, mudah dan efektif sebagai manajemen epistaksis posterior yang refrakter. Karena tingkat kesakitan yang minimal dan keefektifan yang tinggi, kita merencanakan untuk memperbanyak prosedur ini pada pasien yang mana dengan tampon nasal anterior tidak dapat mengontrol perdarahan. Tampon nasal posterior sangat menyakitkan untuk pasien, juga dapat menyebabkan hipoksia dan ada kecenderungan laserasi yang berkelanjutan pada mukosa nasal setelah pemakaian tampon berisiko mempersulit pengangkatan lipatan mucoperiosteal untuk kauterisasi a. Sfenopalatina.