Manajemen Af

8
Tinjauan Pustaka Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009 Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium Lucia Kris Dinarti,* Leonardo Paskah Suciadi** *Departemen Kardiologi Rumah Sakit dr.Sardjito, Yogyakarta, **Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Siloam, Jakarta Abstrak: Fibrilasi atrium merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai di klinis, dialami oleh sekitar 0.4-1% populasi umum terutama kelompok usia lanjut. Deteksi dini dan penanganan yang akurat penting dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Penanganan pasien dengan fibrilasi atrium meliputi tiga objektif yaitu identifikasi faktor yang mendasari, pemilihan strategi rate-rhythm control, dan pencegahan tromboembolisme. Baik strategi rate control maupun rhythm control yang dipilih, upaya pencegahan stroke melalui tromboprofilaksis yang adekuat masih merupakan pokok penanganan fibrilasi atrium. Stratifikasi risiko tromboembolisme terbaik diestimasi dengan menggunakan skoring CHADS 2 (Congestive heart failure, Hypertension, Age >75 years, Diabe- tes, 1 point each; prior Stroke or transient ischaemic attack, 2 points). Kata Kunci: fibrilasi atrium, tromboembolisme, rate control, rhythm control, stratifikasi risiko 277

description

AF

Transcript of Manajemen Af

Tinjauan Pustaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Stratifikasi Risiko dan StrategiManajemen Pasien dengan

Fibrilasi Atrium

Lucia Kris Dinarti,* Leonardo Paskah Suciadi**

*Departemen Kardiologi Rumah Sakit dr.Sardjito, Yogyakarta,

**Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Siloam, Jakarta

Abstrak: Fibrilasi atrium merupakan jenis aritmia yang paling sering dijumpai di klinis, dialami

oleh sekitar 0.4-1% populasi umum terutama kelompok usia lanjut. Deteksi dini dan penanganan

yang akurat penting dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas serta memperbaiki

kualitas hidup pasien. Penanganan pasien dengan fibrilasi atrium meliputi tiga objektif yaitu

identifikasi faktor yang mendasari, pemilihan strategi rate-rhythm control, dan pencegahan

tromboembolisme. Baik strategi rate control maupun rhythm control yang dipilih, upaya

pencegahan stroke melalui tromboprofilaksis yang adekuat masih merupakan pokok

penanganan fibrilasi atrium. Stratifikasi risiko tromboembolisme terbaik diestimasi dengan

menggunakan skoring CHADS2 (Congestive heart failure, Hypertension, Age >75 years, Diabe-

tes, 1 point each; prior Stroke or transient ischaemic attack, 2 points).

Kata Kunci: fibrilasi atrium, tromboembolisme, rate control, rhythm control, stratifikasi risiko

277

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Risk Stratification and Management of Patient with Atrial Fibrillation

Lucia Kris Dinarti,* Leonardo Paskah Suciadi**

*Cardiology Department dr.Sardjito Hospital, Yogyakarta,

**Emergency Department of Siloam Hospital, Jakarta

Abstract: Atrial fibrillation is the most common sustained arrhythmia in clinical practice, affecting

about 0.4-1% of general population especially the elderly. Early detection and accurate manage-

ment are important to reduce patient’s mortality and morbidity, as well as improve the quality of

life. Management of patients with atrial fibrillation involves three objective – identification of the

underlying factor, consideration between strategy rate-rhythm control, and prevention of throm-

boembolism. Irrespective of a rate-control or rhythm-control strategy, stroke prevention with

appropriate thromboprophylaxis still remains central to the management of atrial fibrillation.

Risk stratification of thromboembolism is best estimated with the CHADS2 score (Congestive

heart failure, Hypertension, Age >75 years, Diabetes, 1 point each; prior Stroke or transient

ischaemic attack, 2 points).

Keywords: atrial fibrillation, thromboembolism, rate control, rhythm control, risk stratification

Pendahuluan

Fibrilasi atrium adalah suatu aritmia yang ditandai oleh

disorganisasi dari depolarisasi atrium sehingga berakibat

pada gangguan fungsi mekanik atrium.1 Pada elektro-

kardiogram (EKG), fibrilasi atrium dikenali dengan pergantian

konsisten gelombang P oleh gelombang fibrilasi atau osilasi

cepat yang bervariasi dalam hal bentuk, amplitudo maupun

interval, diikuti dengan respons ventrikel yang tidak

beraturan sementara konduksi atriventrikular (AV) masih

intak.2 Umumnya gelombang QRS yang tampak adalah sempit

kecuali pada kasus fibrilasi atrium dengan jalur aberans atau

bundle branch block.3 Walaupun denyut atrium bersifat

cepat, dapat dijumpai lebih dari 300 kali per menit, respons

ventrikel bergantung pada perangkat elektrofisiologi dari AV

node dan jaringan konduktif lainnya, derajat tonus vagal

dan simpatis, ada atau tidaknya jalur konduksi aksesoris serta

efek dari obat-obatan tertentu.2 Tanpa adanya jalur aksesoris,

respons ventrikel jarang melebihi 200 kali permenit dan

umumnya kurang dari 150 kali permenit. Dengan adanya jalur

konduksi aksesoris seperti misalnya pada Wolff-Parkinson-

White Syndrome, respons ventrikel dapat melampaui 300 kali

permenit serta mempresipitasi terjadinya fibrilasi ventrikel

yang mengancam nyawa sehingga tindakan emergensi

diperlukan.1

Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering

dijumpai dalam praktik klinis, yaitu sekitar sepertiga dari kasus

rawat inap yang dikarenakan gangguan irama jantung.2,3

Kejadian fibrilasi atrium meningkat seiring dengan

pertambahan usia, sekitar 0,5% untuk pasien yang berusia

50-59 tahun dan 8.8% pada usia 80-89 tahun. Angka kejadian

pada pria sedikit lebih tinggi daripada wanita.2 Angka kejadian

fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan

usia harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam

manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit

jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari

semakin baiknya alat monitoring diagnosis.

Identifikasi

Fibrilasi atrium memiliki gejala klinis bervariasi, yang

tersering adalah palpitasi.2 Gejala lain yang sering dijumpai

berupa pre-sinkop, lemas, dispnea, dizziness, serta nyeri dada.

Sebagian lain pasien dengan fibrilasi atrium tidak bergejala

sehingga pasien tidak menyadari akan diagnosis.

Identifikasi fibrilasi atrium, sesuai dengan kode ICD

untuk fibrilasi atrium, adalah dengan menggunakan EKG 12

sadapan atau monitor Holter 24 jam yang didukung dengan

kualitas dokumentasi yang baik. Namun metode diagnosis

tersebut masih memiliki keterbatasan, yaitu gambaran fibrilasi

yang intermiten kadangkala tidak tampak pada suatu

perekaman EKG. Akibatnya sekitar 25% pasien stroke iskemik

yang terkait fibrilasi atrium luput dari diagnosis fibrilasi atrium

sebelum kejadian stroke terjadi.4 Hasil rekaman lain tidak

jarang menunjukkan gambaran yang membingungkan antara

fibrilasi atrium, flutter atrium dan takikardia atrial.

Presentasi klinis dari fibrilasi atrium dapat diklasifikasikan

berdasarkan pola terjadinya. Fibrilasi atrium dapat muncul

sebagai suatu episode yang dipicu oleh berbagai kondisi

akut seperti konsumsi kafein, alkohol dan marijuana yang

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

278

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

berlebihan. Kondisi klinis lain yang juga sering terkait adalah

penyakit paru, tirotoksikosis, pasca operasi jantung maupun

paru, emboli paru akut, perikarditis, miokarditis, serta infark

miokard akut, terutama apabila oklusi terjadi pada cabang

koroner kanan atau disertai dengan disfungsi ventrikel.3

Fibrilasi atrium paroksismal demikian umumnya akan mereda

secara spontan dalam waktu <7 hari, setelah penyebab

primernya diatasi.

Fibrilasi atrium dapat pula terkait dengan berbagai

penyakit struktural jantung, seperti penyakit katup mitral

rematik, penyakit jantung kongenital, hipertensi, kardio-

miopati dan gagal jantung kronik.1,3 Fibrilasi atrium umumnya

bersifat kronik-rekurens baik berupa persisten (dapat

terkendali dengan intervensi farmakologik atau elektrik),

maupun permanen (yaitu upaya kardioversi tidak kunjung

efektif).

Fibrilasi atrium lone atau idiopatik secara umum

didefinisikan sebagai fibrilasi atrium yang dijumpai pada

individu tanpa adanya faktor etiologi yang potensial

maupun bukti klinis dan ekokardiografi akan adanya

disfungsi ventrikel.3 Fibrilasi atrium lone dapat bersifat

rekurens maupun menetap.

Akhir-akhir ini, telah diketahui juga bahwa obesitas

merupakan salah satu faktor risiko tambahan untuk

berkembangnya fibrilasi atrium di kemudian hari.5

Patofisiologi dan Implikasi Klinis

Beberapa penelitian menunjukkan adanya berbagai

perubahan histopatologi pada atrium pasien dengan fibrilasi

atrium, namun patofisiologi penyebabnya masih belum

diketahui dengan pasti. Perubahan degeneratif pada atrium

seiring dengan bertambahnya usia diduga sebagai faktor

penyebab terjadinya fibrilasi atrium.1,2 Faktor lainnya yang

dapat memicu proses degeneratif di atrium berupa mutasi

genetik, proses autoimun, proses inflamasi pada jantung,

serta berbagai penyakit jantung kronis lain seperti hipertensi,

payah jantung, penyakit jantung katup dan aterosklerosis

koroner.

Studi dari Allessie et al. 6 menyatakan bahwa fibrilasi

atrium kronik dapat menyebabkan regangan dan dilatasi

atrium dikarenakan gangguan kontraktilitas dari atrium,

sehingga proses fibrosis pada atrium tersebut justru

merupakan konsekuensi dari fibrilasi atrium. Fibrosis

interstisial, dilatasi atrium dan payah jantung akan

memfasilitasi fibrilasi atrium menjadi persisten, sehingga hal

tersebut bagaikan suatu lingkaran setan dalam perjalanan

klinis aritmia ini.7

Beberapa aspek dari mekanisme elektrofisiologi yang

mendasari terjadinya fibrilasi atrium masih menjadi

kontroversi. Pada dasarnya, onset fibrilasi atrium memerlukan

suatu pemicu, sementara prasyarat agar fibrilasi dapat terus

berlangsung adalah adanya suatu substrat anatomi.3,8,9

Sebagai trigger adalah automatisme fokus yang umumnya

bersumber dari daerah vena pulmonalis, sedangkan sirkuit

re-entri merupakan substrat abnormal atrial. Moe dan kolega

(1959)3 memperkenalkan hipotesis multiple-wavelet sebagai

mekanisme re-entran pada fibrilasi atrium, suatu hipotesis

yang bersama dengan sejumlah studi lanjutan nya

menekankan akan pentingnya peranan substrat atrial abnor-

mal untuk memungkinkan suatu fibrilasi atrium dapat terus

berlangsung dalam jangka panjang.

Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang banyak

menimbulkan permasalahan sebagai konsekuensinya. Deteksi

serta manajemen pasien dengan fibrilasi atrium secara akurat

penting untuk dilakukan karena terkait dengan peningkatan

morbiditas dan mortalitas serta kualitas hidup pasien yang

terganggu.

Gangguan fungsi hemodinamik dapat ditimbulkan oleh

fibrilasi atrium dikarenakan irregularitas dari aktivitas mekanik

atrium, respons ventrikel, denyut jantung dan kontraktilitas

miokard.8 Akibat dari gangguan hemodinamik tersebut, car-

diac output pada pasien dengan fibrilasi atrium dapat

berkurang secara signifikan. Fibrilasi atrium juga terbukti

mengganggu aliran darah koroner,10 dan terutama penting

bagi pasien yang memiliki penyakit jantung koroner

sebelumnya, dengan kompensasi vasodilatasi koroner yang

terbatas.

Respons ventrikuler yang cepat pada fibrilasi atrium akan

mengganggu fungsi katup mitral sehingga meningkatkan

risiko regurgitasi mitral.8 Selain itu, respons ventrikuler cepat

yang persisten pada fibrilasi atrium dapat menimbulkan

disfungsi reversibel dari ventrikel berupa kardiomiopati

dilatasi, atau dikenal sebagai tachycardia-induced cardi-

omyopathy.3,8

Pasien dengan fibrilasi atrium baik jenis paroksismal

maupun persisten memiliki peningkatan risiko terkena

stroke.1,2 Fibrilasi atrium merupakan penyebab paling sering

kejadian stroke emboli pada pasien usia lanjut, dengan

peningkatan risiko stroke lima kali lebih besar dibandingkan

dengan faktor-faktor risiko lain seperti penyakit jantung

koroner, hipertensi maupun gagal jantung kongestif.11 Di

samping itu, fibrilasi atrium juga menyebabkan kasus stroke

yang lebih berat, yang ditandai dengan tingginya angka

kematian maupun perawatan di rumah sakit yang lebih lama

dibandingkan kasus stroke dengan penyebab lainnya.12

Kebanyakan morbiditas dan mortalitas pasien dengan fibrilasi

atrium merupakan konsekuensi dari kejadian trombo-

embolisme sehingga tatalaksana prevensi tromboembolisme

merupakan suatu komponen penting dalam manajemen pasien

dengan fibrilasi atrium.

Manajemen Fibrilasi Atrium

Manajemen fibrilasi atrium meliputi 3 objektif utama yaitu

identifikasi dan penanganan faktor kausatif terkait (misalnya

hipertensi, penyakit jantung iskemik, gagal jantung, kelainan

katup, tirotoksikosis, dan lain-lain), pemilihan strategi terapi

rate control atau rhythm control, dan penilaian terhadap

risiko tromboemboli serta terapi prevensinya.8,13,14 Jenis

279

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

fibrilasi atrium akan menentukan pemilihan strategi terapi

dan fokus objektif manajemen. Pada kasus fibrilasi atrium

paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi aritmia

yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan

pada fibrilasi atrium permanen, pendekatan rate control lebih

menjadi pilihan.8 Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya,

upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan gejala klinis

dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan

aspek penting manajemen keseluruhan.

Pasien fibrilasi atrium onset baru dengan ketidak-

stabilan hemodinamik dikarenakan respons ventrikular yang

cepat harus segera dilakukan kardioversi emergensi dan

dirawat lebih lanjut.15 Strategi penanganan fibrilasi atrium

akut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Manajemen Fibrilasi Atrium Onset Baru15

Pemilihan Strategi Terapi

Target utama dari pendekatan rate control adalah

meredakan gejala klinis dan pencegahan komplikasi

hemodinamik dengan cara mengontrol respons detak

ventrikel.15,16 Upaya tersebut dapat dicapai dengan peng-

gunaan obat-obatan farmakologis maupun tindakan non

farmakologis berupa ablasi nodus AV dan pacing. Tingkat

kesuksesan rate control secara farmakologis adalah sekitar

80%. Target terapi adalah detak ventrikel antara 60-80 kali

per menit saat istirahat dan 90-115 kali per menit saat

beraktivitas sedang.8 Obat yang menjadi lini pertama adalah

golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol).8,13,16 Jika

monoterapi belum berhasil, maka agen kedua atau ketiga

dapat ditambahkan. Golongan antagonis kalsium non-

Fibrilasi atrium onset baru

Penilaian awal Konversi spontan

Hemodinamik tak stabil Hemodinamik stabil

Kardioversi segera Rate control dengan diltiazem, verapamil, penyekat beta atau

digoksin

Tentukan penyebab dan

pertimbangkan pemberian antikoagulan

Konversi spontan

Penilaian lanjutan atau pasien boleh dipulangkan

Fibrilasi atrium menetap

Fibrilasi atrium < 48 jam dan tanpa kelainan katup

Fibrilasi atrium > 48 jam dan tanpa kelainan katup

Terapi dengan agen

antiaritmia atau kardioversi

elektrik atau keduanya

Kardioversi dengan

panduan ekokardiografi trans-esofagus atau

terapi antikoagulan oral

selama 3 minggu diikuti dengan kardioversi

dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi

pilihan lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau non-

toleransi dengan penyekat beta. Penyekat beta dan antagonis

kalsium bersifat depresif terhadap fungsi ventrikel sehingga

harus berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan

hipotensi atau payah jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan

sebagai rate control pada pasien payah jantung dengan

fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif dalam

mengontrol denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam

kondisi hiperadrenergik seperti demam, tirotoksikosis dan

pasca operasi.13 Ablasi nodus AV dan pacing dapat menjadi

pilihan yang efektif dalam rate control bagi pasien yang gagal

terapi dengan agen-agen farmakologis.

Rhythm control atau kardioversi mengacu pada upaya

reversi dan mempertahankan irama sinus dalam waktu

panjang. Kesuksesan bergantung pada beberapa faktor

seperti durasi fibrilasi atrium (prognosis buruk pada fibrilasi

atrium yang telah berlangsung > 1 tahun), adanya penyakit

struktural jantung, dan adanya dilatasi atrium kiri.13 Rhythm

control dapat dicapai secara farmakologis dengan meng-

gunakan agen anti-aritmia maupun dengan kardioversi

elektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika

dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun

metode kardioversi manapun akan membawa risiko

tromboemboli, terutama jika aritmia telah berlangsung >48

jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah

diberikan sebelumnya. Agen farmakologik yang merupakan

rekomendasi kelas 1 sebagai rhythm control sesuai dengan

Guidelines of the American College of Cardiology, Ameri-

can Heart Association and European Society of Cardiol-

ogy 2006 (ACC/AHA/ESC 2006)8 adalah flecainide,

dofetilide, propafenone, dan ibutilide. Sedangkan Amiodaron,

agen anti-aritmia yang paling umum digunakan, dimasukkan

ke dalam kelas 2A. Sebaiknya kardioversi farmakologik dimulai

kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar

efektivitasnya lebih baik.

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam strategi

rhythm control adalah penggunaan agen anti-aritmia itu

sendiri dapat meningkatkan mortalitas terkait dengan

eksaserbasi gangguan sistem konduksi maupun sifat

proaritmik-nya. Selain itu, agen anti-aritmia hanya memiliki

angka kesuksesan antara 40-60% dalam preservasi irama si-

nus dalam 1 tahun masa terapi.14

Pemilihan agen anti-aritmia yang akan digunakan

sebagai kardioversi pada pasien fibrilasi atrium paroksismal

rekurens ataupun persisten disesuaikan dengan ada tidaknya

kelainan struktural pada jantung (Gambar 2).8

Beberapa studi tentang fibrilasi atrium seperti AFFIRM

(Atrial Fibrillation Follow-Up Investigation of Rhythm

Management), RACE (Rate Control Versus Electrical

Cardioversion), PIAF (Pharmacologic Intervention in Atrial

Fibrillation) dan STAF (Strategies of Treatment of Atrial

Fibrillation) menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan

bermakna antara pasien dengan fibrilasi atrium yang diterapi

280

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Pemilihan agen antiaritmia untuk mencapai irama sinus

Tanpa (atau

minimal) adanya penyakit jantung

lain

Flecainide

PropafenoneSotalol

Amiodaron

Dofetilide

Ablasi

kateter

hipertensi

Hipertrofi ventrikel kiri

tidak ya

FlecainidePropafenone

Sotalol

Amiodaron

dofetilideAblasi kateter

Amiodaron

Penyakit jantung koroner

Dofetilide

Sotalol

Ablasi kateter

Gagal jantung

Amiodaron

Dofetilide

Gambar 2. Agen Anti-Aritmia untuk Mempertahankan

Irama Sinus8

dengan strategi rate control dibandingkan dengan strategi

rhythm control dalam hal mortalitas, risiko tromboembolik,

perdarahan mayor maupun kualitas hidup pasien secara

umum. Selain itu juga tidak terdapat perbedaan dalam hal

kejadian maupun perburukan gagal jantung kongestif antara

pasien dengan fibrilasi atrium yang diterapi dengan strategi

rate control maupun rhythm control.8,17

Strategi rate control terbukti tidak lebih inferior

dibandingkan dengan strategi rhythm control pada studi

AFFIRM dan RACE, sehingga strategi rate control dapat

dipertimbangkan sebagai terapi primer pada fibrilasi atrium.17

Namun karena perbedaan hasil irama sinus yang dicapai tidak

jauh berbeda, tidak dapat disimpulkan bahwa upaya

mempertahankan irama sinus berarti lebih inferior jika

dibandingkan dengan irama non-sinus. Panduan dari NICE (

National Institute for Health and Clinical Exellence)18

menganjurkan strategi rate control sebagai pilihan pertama

pada pasien dengan fibrilasi atrium persisten dengan

karakteristik sebagai berikut; berusia >65 tahun, dengan

penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen anti-

aritmia, tanpa adanya gagal jantung kongestif, dan tidak

cocok untuk kardioversi. Sedangkan strategi rhythm con-

trol selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium

persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil

pertama kali sebagai fibrilasi atrium lone ataupun paroksismal

sekunder terhadap suatu presipitan. Ablasi kateter dapat

dipertimbangkan untuk mempertahankan irama sinus pada

pasien dengan respons minimal terhadap agen anti-aritmia.8

Strategi rhythm control menimbulkan risiko lebih besar

bagi pasien dibandingkan strategi rate control. Strategi

Pastikan diagnosis fibrilasi atrium

Penelusuran lanjut dan penilaian klinis termasuk

stratifikasi risiko terhadap tromboembolisme atau stroke

Fibrilasi atrium paroksismal Fibrilasi atrium persisten Fibrilasi atrium permanen

atau

Rhythm control Rate controlGejala masih ada

Kegagalan rhythm control

Gambar 3. Strategi Terapi Fibrilasi Atrium15

rhythm control akan memperpanjang masa perawatan di

rumah sakit serta meningkatkan risiko efek samping dari agen

anti-aritmia.14,15 Pasien fibrilasi atrium persisten dengan

hipertensi yang diterapi dengan strategi rhythm control

memiliki risiko kejadian kardiovaskular 1,9 kali lebih besar,

terutama terkait komplikasi tromboembolik dan efek samping

dari agen anti-aritmia.19 Hal tersebut tidak dijumpai pada

kelompok pasien fibrilasi atrium dengan hipertensi yang

diterapi dengan strategi rate control. Dengan demikian,

strategi rate control lebih tepat untuk dipilih pada kelompok

pasien fibrilasi atrium yang memiliki hipertensi.

Pertimbangan untuk memilih upaya kardioversi dan

mempertahankan irama sinus bergantung pada ancaman

jangka panjang dari fibrilasi atrium serta dengan turut

memperhatikan risiko efek samping dari agen anti-aritmia.

Pada kondisi tertentu, gagal jantung misalnya, irama sinus

mungkin diperlukan. Namun efektivitas agen anti-aritmia yang

masih terbatas dalam mempertahankan irama sinus serta

mengingat efek sampingnya yang nyata, telah membuat

pilihan terapi menjadi lebih sulit pada beberapa kondisi

pasien.14 Di samping itu, strategi rhythm control sering

berkaitan dengan kejadian rekurensi fibrilasi atrium yang

sering, terkadang malah tidak bergejala, sehingga akan

menempatkan pasien pada risiko lebih tinggi untuk terkena

stroke. Oleh karena itu, strategi manapun yang dipilih,

stratifikasi risiko dan terapi profilaksis terhadap kejadian

tromboembolik merupakan komponen penting dalam program

terapi jangka panjang bagi pasien fibrilasi atrium.8

Pilihan terapi non-farmakologik dipertimbangkan pada

kasus agen anti-aritmia yang kurang efektif dalam mengontrol

respons ventrikel maupun gejala pasien.13 Pilihan terapi non-

farmakologik umumnya berupa ablasi berbasiskan kateter dan

terkadang juga ablasi operatif (prosedur Maze). Beberapa

teknik lain yang dicoba dikembangkan berupa pacu atrial

dan defibrillator atrial internal, walaupun penggunaan

keduanya masih terbatas.8 Teknik ablasi radiofrekuensi

281

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

memiliki angka keberhasilan bervariasi, umumnya sekitar 75%,

walaupun prosedur multipel mungkin diperlukan. Fibrilasi

atrium masih mungkin terjadi kembali setelah prosedur

dilakukan dan bersifat tidak bergejala, sehingga antikoagulan

jangka panjang diperlukan bagi pasien.13

Stratifikasi Risiko dan Pencegahan Tromboemboli

Tromboprofilaksis yang optimal pada pasien dengan

fibrilasi atrium bersifat personal, sesuai dengan kondisi setiap

pasien, serta membutuhkan beberapa penilaian utama berupa

stratifikasi risiko tromboembolik, pertimbangan untuk memilih

antara terapi antikoagulan atau antiplatelet, dan penilaian

risiko perdarahan sebagai komplikasi penggunaan obat-

obatan tersebut.14

Risiko kejadian tromboembolik dan stroke pada pasien

dengan fibrilasi atrium tidaklah sama, terdapat berbagai faktor

klinis lain yang turut berkontribusi terhadap risiko tersebut.

Oleh karena itu, pendekatan pencegahan stroke pun berbeda

sesuai dengan kondisi masing-masing pasien. Berbagai

kriteria klinis dan ekokardiografis telah dipakai dalam

beberapa model stratifikasi risiko. Salah satu model yang

paling populer dan sukses dalam identifikasi pencegahan

primer pasien dengan risiko tinggi stroke adalah indeks risiko

CHADS2 (Congestive heart failure, Hypertension, Age >75

years, Diabetes mellitus, and prior Stroke or transient

ischaemic attack/TIA).8,13,14 Indeks risiko CHADS2

meru-

pakan suatu sistem skoring kumulatif yang memprediksi risiko

stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium. Skoring CHADS2

memberikan poin 2 untuk adanya riwayat stroke atau TIA

sebelumnya, sedangkan untuk masing-masing faktor klinis

lainnya seperti usia > 75 tahun, hipertensi, diabetes mellitus

dan gagal jantung kongestif diberikan 1 poin. Semakin tinggi

kumulasi poin CHADS2 yang dimiliki pasien dengan fibrilasi

atrium, semakin besar pula risiko untuk terkena stroke.

Ekokardiografi selain bermanfaat dalam menentukan

berbagai penyebab dari fibrilasi atrium juga dapat digunakan

dalam stratifikasi risiko tromboembolik. Pada kelompok pasien

dengan fibrilasi atrium risiko tinggi, terdapatnya disfungsi

sistolik ventrikel kiri, trombus, kecepatan aliran darah di atrium

kiri yang rendah dan plak ateroma di aorta torakal dikaitkan

dengan tromboembolisme.8 Diameter atrium kiri dan

abnormalitas endokardium juga dikaitkan dengan trom-

boembolisme walaupun dalam korelasi yang masih kurang

konsisten.

Nilai laboratorium d-dimer bersamaan dengan faktor

risiko klinis dapat dipertimbangkan sebagai penanda risiko

tromboembolik diantara pasien dengan fibrilasi atrium tanpa

memandang status antitrombotiknya.20 Pasien fibrilasi atrium

dengan nilai d-dimer 150 ng/mL atau lebih memiliki insidensi

tromboembolik lebih besar dibandingkan kelompok dengan

nilai d-dimer rendah. Dengan demikian, pengukuran d-dimer

dapat berguna untuk stratifikasi risiko tromboembolik pada

pasien dengan fibrilasi atrium.

Risiko stroke tahunan pada fibrilasi atrium paroksismal

maupun permanen adalah sama besarnya, sehingga

tromboprofilaksis diperlukan pada kedua kondisi tersebut.

Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 merekomendasikan

terapi antitrombotik sebagai pencegahan tromboembolik pada

semua pasien dengan fibrilasi atrium, kecuali untuk kasus

fibrilasi atrium lone atau jika ada kontraindikasi.8 Terapi

antitrombotik juga direkomendasikan kepada pasien dengan

atrial flutter.8,14 Pemilihan agen antitrombotik (antikoagulan

atau antiplatelet), didasarkan pada besarnya risiko stroke-

tromboembolik dibandingkan komplikasi perdarahan yang

mungkin terjadi.

Salah satu cara pemilihan agen antitrombotik dapat

didasarkan pada indeks risiko CHADS2.8 Pasien dengan skor

CHADS2 0 tidak memerlukan antikoagulan dan dapat diterapi

dengan aspirin 81-325 mg (I/A). Antikoagulan diperlukan

untuk skor CHADS2 2 atau lebih besar, dengan memper-

timbangkan risiko perdarahan. Untuk pasien dengan skor

CHADS2 1, baik aspirin maupun warfarin dapat digunakan.

Pemilihan agen antitrombotik di klinis lebih lanjut dapat ber-

dasarkan Panduan ACC/AHA/ESC tahun 2006 8 (Tabel 1).

Tabel 1. Terapi Antitrombotik Pada Pasien Dengan Fibrilasi

Atrium8

Kategori risiko Terapi yang direkomendasikan

Tanpa faktor risiko Aspirin 81-325 mg / hari

Satu faktor risiko Aspirin 81-325 mg / hari, atau warfarin

menengah (INR 2.0-3.0, target 2.5)

Faktor risiko tinggi Warfarin (INR 2.0-3.0, target 2.5)

apapun atau >1

faktor risiko

menengah

Faktor risiko rendah Faktor risiko Faktor risiko

menengah tinggi

Wanita Usia 75 tahun atau Riwayat stroke, TIA,

Usia 65-74 tahun lebih emboli sebelumnya

Penyakit jantung Hipertensi stenosis mitral

koroner Gagal jantung katup prostetik

Tirotoksikosis Ejeksi fraksi <35%

Diabetes mellitus

Warfarin merupakan agen yang sangat efektif dalam

pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium

dengan mengurangi risiko relatif stroke sebesar 62%,

dibandingkan dengan 22% oleh aspirin.8 Hal ini juga diperkuat

dengan studi AFFIRM yang memaparkan bahwa kebanyakan

stroke yang terjadi dalam studi tersebut dikarenakan INR

(International Normalised Ratio) yang subterapeutik atau

setelah penghentian terapi warfarin.17 Warfarin juga masih

lebih superior dibandingkan klopidogrel 75 mg plus aspirin

75-100 mg pada pasien fibrilasi atrium dengan risiko tinggi

stroke.21 Sementara itu, kombinasi antara antikoagulan dan

antiplatelet tersebut tidak menunjukkan efektivitas yang lebih

baik daripada terapi dengan antikoagulan semata, malah

kombinasi demikian akan meningkatkan risiko perdarahan.

282

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Walaupun memiliki efektivitas yang tinggi, ancaman

komplikasi perdarahan warfarin merupakan permasalahan

tersendiri terutama pada pasien usia lanjut, sehingga

membatasi rekomendasi penggunaannya oleh klinisi.22

Namun studi the Birmingham Atrial Fibrillation Treatment

of the Aged (BAFTA)23, yang melibatkan 973 pasien berusia

>75 tahun dengan fibrilasi atrium, memaparkan bahwa war-

farin (INR 2.0-3.0) lebih superior dibanding aspirin (75 mg)

dalam pencegahan stroke (1,8% vs 3,8 % per tahun) dan

tidak lebih berbahaya dibandingkan aspirin dalam

menimbulkan komplikasi perdarahan (1,9% vs 2,0% per

tahun). Dengan demikian, pada kelompok usia berapapun,

manfaat dari terapi warfarin secara terkontrol melebihi risiko

yang dapat ditimbulkannya.24 Warfarin dengan target INR

lebih rendah (kisaran 1.6-2.5) dapat diberikan sebagai

pencegahan primer tromboembolik bagi pasien fibrilasi atrium

yang berusia >75 tahun dan tidak bisa mentoleransi

antikoagulan pada target INR 2.0-3.0.8

Meskipun demikian, kekhawatiran akan risiko

perdarahan merupakan salah satu alasan utama tidak

diberikannya warfarin kepada pasien dengan fibrilasi atrium

di klinis sesuai dengan rekomendasi yang ada. Hasil dari

Studi SCAF di Swedia22 menyatakan bahwa mayoritas pasien

dengan fibrilasi atrium belum mendapatkan terapi

trombofilaksis yang adekuat seperti yang direkomendasikan

dalam panduan AHA/ACC/ESC tahun 2006. Alasan lainnya

berupa estimasi risiko stroke yang lebih rendah dan

kurangnya pengetahuan klinisi akan uji klinis dan panduan

terapi antikoagulan. Hal itu terutama ditemukan pada kasus

fibrilasi atrium jenis paroksismal dan pada pasien usia tua

(>80 tahun), walaupun tidak terdapat kontraindikasi terhadap

terapi warfarin. Di antara kelima faktor risiko mayor yang

termuat dalam CHADS2, hanya riwayat stroke terdahulu yang

meningkatkan kewaspadaan klinisi terhadap pemberian war-

farin kepada pasien dengan fibrilasi atrium.

Penilaian risiko perdarahan sebelum pemberian terapi

antikoagulan didasarkan pada adanya kategori klinis risiko

tinggi seperti usia tua, hipertensi tidak terkontrol, riwayat

perdarahan (saluran cerna, perdarahan intrakranial), maupun

penggunaan bersama dengan obat-obat antiplatelet atau anti

inflamasi non-steroid. Usia pasien di atas 80 tahun, INR >4.0

dan riwayat iskemia serebral sebelumnya berkaitan dengan

peningkatan risiko perdarahan pada awal terapi warfarin.15

Sebagai kontrol terapi antikoagulan, maka sebaiknya

INR diperiksa rutin setiap minggunya di awal terapi dan setiap

bulannya setelah terapi antikoagulan stabil. Target INR yang

direkomendasikan pada kasus fibrilasi atrium non-valvular

adalah rentang 2.0-3.0.8 Pada pasien fibrilasi atrium dengan

katup protesa membutuhkan terapi warfarin dengan INR lebih

tinggi lagi (minimal 2.5), tergantung pada jenis protesanya.

Terapi antikoagulan harus tetap dilanjutkan hingga minimal

1 bulan setelah irama sinus tercapai pada strategi rhythm

control karena butuh waktu untuk menormalkan kembali

fungsi mekanik dari atrium walaupun reversi telah tercapai.16

Dalam kasus penghentian temporer antikoagulan oral

diperlukan untuk prosedur operasi atau invasif lainnya, terapi

dengan heparin unfractionated atau low-molecular-weight

perlu dipertimbangkan, terutama bagi pasien yang berisiko

tinggi tromboembolik.8 Permasalahan lainnya adalah terapi

pasien dengan fibrilasi atrium pasca sindrom koroner akut

maupun Primary Coronary Intervention (PCI). Panduan

ACC/AHA/ESC tahun 2006 merekomendasikan pemberian

aspirin dosis rendah (<100 mg/hari) atau klopidogrel (75 mg/

hari), atau keduanya, bersamaan dengan terapi antikoagulan

untuk pencegahan kejadian iskemia miokard ulangan.8

Sebagai terapi rumatan, panduan yang sama mereko-

mendasikan klopidogrel (75 mg/hari) plus warfarin (INR 2.0-

3.0).

Pencegahan Primer dan Rekurensi Fibrilasi Atrium

Pencegahan primer kejadian fibrilasi atrium pada

populasi yang berisiko meliputi intervensi diet, agen

farmakologik dan prosedur pacu jantung. Beberapa meta-

analisis menyimpulkan peranan ACE inhibitor dan antagonis

reseptor angiotensin dalam pencegahan primer maupun

rekurensi fibrilasi atrium pada beberapa penyakit kardio-

vaskular yang mendasari, seperti hipertensi, infark miokard,

gagal jantung dan diabetes melitus.8,14

Statin (atorvastatin) juga diduga memiliki efek proteksi

terhadap fibrilasi atrium melalui pencegahan perubahan

struktural dan elektrofisiologik dari atrium terkait inflamasi

sehingga dapat mereduksi insidensi fibrilasi atrium. Penelitian

Robert B. Neuman dan kolega (2007)25 menunjukkan korelasi

terbalik antara terapi statin dengan stress oksidatif pada

jantung. Stress oksidatif berimplikasi pada patogenesis dari

fibrilasi atrium. Statin, yang disepakati memiliki properti

sebagai antioksidan, berperanan dalam mencegah produksi

radikal bebas yang diinduksi oleh NADPH oksidase.

Peningkatan aktivitas enzim tersebut telah terbukti berkaitan

dengan insidensi fibrilasi atrium pada manusia. Selain itu,

penelitian tersebut juga melaporkan bahwa statin berperanan

dalam pencegahan rekurensi fibrilasi atrium pasca kar-

dioversi.

Kesimpulan

Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang banyak

menimbulkan permasalahan sebagai konsekuensinya. Deteksi

serta manajemen pasien dengan fibrilasi atrium secara akurat

penting untuk dilakukan karena terkait dengan peningkatan

morbiditas dan mortalitas serta penurunan kualitas hidup

pasien.

Kebanyakan morbiditas dan mortalitas tersebut me-

rupakan konsekuensi dari kejadian stroke-tromboembolisme

yang merupakan suatu komplikasi dari fibrilasi atrium

sehingga upaya tromboprofilaksis merupakan komponen

penting dalam manajemen fibrilasi atrium. Pemilihan terapi

antikoagulan harus mempertimbangkan segi manfaat dan

risiko personal, serta membutuhkan kontrol yang adekuat.

283

Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009

Daftar Pustaka

1. Olgin JE, Zipes DP. Spesific Arrhythmias Diagnosis and Treat-

ment. In: Libby, Bonow, Mann, Zipes editors, Braunwald’s Heart

Disease. 8 th edition, Volume 1. Philadelphia; Saunders;

2007.p.863-923.

2. Prystowsky EN, Katz AM, Atrial Fibrillation. In: Topol’s Text-

book of Cardiovascular Medicine. 2nd edition. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2002.........64.

3. Scheinman MM, Atrial Fibrillation, In: Current Diagnosis and

Treatment in Cardiology. 2nd edition. McGraw-Hill /Appleton &

Lange; 2002.........20.

4. Schuchert A, Behrens G, Meinertz T. Impact of long-term ECG

recording on the detection of paroxysmal atrial fibrillation in

patients after an acute ischemic stroke. Pacing Clin Electro-

physiol. 1999;22:1082-4.

5. Wang TJ, Parise H, Levy D. Obesity and the risk of new-onset

atrial fibrillation. JAMA  2004;292:2471.

6. Allessie M, Ausma J, Schotten U. Electrical, contractile and struc-

tural remodeling during atrial fibrillation. Cardiovasc Res

2002;54:230–46.

7. Everett TH, Li H, Mangrum JM. Electrical, morphological, and

ultrastructural remodeling and reverse remodeling in a canine

model of chronic atrial fibrillation. Circulation 2000:102:1454-

60.

8. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB, Ellenbogen

KA, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management

of patients with atrial fibrillation: a report of the American

College of Cardiology/ American Heart Association Task Force

on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology

Committee for Practice Guidelines (Writing Committee to Re-

vise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With

Atrial Fibrillation). Circulation. 2006;114:e257-e354.

9. Nattel S, Opie LH. Controversies in atrial fibrillation. Lancet.

2006;367(9506):262-72.

10. Kochiadakis GE, Skalidis EI, Kalebubas MD. Effect of acute atrial

fibrillation on phasic coronary blood flow pattern and flow re-

serve in humans. Eur Heart J. 2002;23:734–41.

11. Hardin SR, Steele JR. Atrial Fibrillation Among Older Adults:

Pathophysiology, Symptoms and Treatment. Gerontological

Nursing. 2008;34,(7):

12. Yap KB, Ng TP, Ong HY. Low prevalence of atrial fibrillation in

community-dwelling Chinese aged 55 year or older in Singapore:

a population-based study. Electrocardiology. 2008;94-98

13. Watson T, Lip GYH. Management of Atrial Fibrillation. Herz

2006:31:849–56.

14. Medi C, Hankey GJ, Freedman SB. Clinical Update: Atrial fibril-

lation. MJA 2007;186(4):197-202.

15. Lip GYH, Tse HF. Management of Atrial Fibrilation. The Lancet.

London: Aug 18-Aug 24, 2007. Vol. 370, Iss. 9587;pg. 604,15pgs.

16. Kistler PM, Habersberger J. Management of Atrial Fibrillation.

Aus Fam Phy. Vol.36 No.7 July 2007;506-11.

17. Blackshear JL, Safford RE. AFFIRM and RACE Trials: Implica-

tion for the management of atrial fibrillation. Cardiac Electro-

physiology Rev. 2003;7:366-9.

18. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Atrial

fibrillation: national clinical guideline for management in pri-

mary and secondary care. London; Royal College of Physicians,

2006.

19. Rienstra M, Veldhuisen DJV, Harry J.G.M, Crijns, and Gelder ICV

for the RACE investigators. Enhanced cardiovascular morbidity

and mortality during rhythm control treatment in persistent

atrial fibrillation in hypertensives: data of the RACE study. Eur

Heart J. 2007;28:741–51.

20. Nozawa T, Inoue H, Hirai T, Iwasa A, Okumura K, Lee JD,

Shimizu A, Hayano M, Yano K. D-dimer level influences throm-

boembolic events inpatients with atrial fibrillation. Int J Cardiol

2006;109:59–65.

21. Connolly S, Pogue J, Hart RG. Clopidogrel plus aspirin versus oral

anticoagulation for atrial fibrillation in the Atrial fibrillation

Clopidogrel Trial with Irbesartan for prevention of Vascular Events

(ACTIVE W): a randomised controlled trial. Lancet 2006;

367:1903-12.

22. Friberg L, Hammar N, Ringh M, Pettersson H, Rosenqvist M.

Stroke prophylaxis in atrial fibrillation: who gets it and who does

not? Report from the Stockholm Cohort-study on Atrial Fibril-

lation (SCAF-study). Eur Heart J. 2006;27:1954–64.

23. Mant J, Hobbs FDR, Fletcher K, on behalf of the BAFTA inves-

tigators and the Midland Research Practices Network (MidReC).

Warfarin versus aspirin for stroke prevention in an elderly com-

munity population with atrial fibrillation (the Birmingham Atrial

Fibrillation Treatment of the Aged Study, BAFTA): a randomised

controlled trial. Lancet. 2007;370:493-503.

24. Garcia D, Hylek E. Stroke prevention in elderly patients with

atrial fibrillation. Lancet. 2007;370,(9586);460-4.

25. Neuman RB, Bloom HL, Shukrullah I, Darrow LA. Oxidative

Stress Markers Are Associated with Persistent Atrial Fibrillation.

Clinical Chemistry. 2007;53(9):1652-7.

MS

284