Managemen Terapi1

82
UNIVERSITAS INDONESIA MANAJEMEN TERAPI, PATIENT SAFETY, PERAN PERAWAT DAN REFLEKSI PADA TN “K” DENGAN RISIKO KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN CEREBRAL DENGAN DIAGNOSA MEDIS: ICH TRAUMATIKA FTP SINISTRA + HEMOTHORAX LANTAI 5 ZONA B GEDUNG A RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA APLIKASI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2 DISUSUN OLEH: YULIUS TIRANDA 1106043362 i

Transcript of Managemen Terapi1

Page 1: Managemen Terapi1

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN TERAPI, PATIENT SAFETY, PERAN PERAWAT DAN REFLEKSIPADA TN “K” DENGAN RISIKO KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN

CEREBRAL DENGAN DIAGNOSA MEDIS: ICH TRAUMATIKA FTP SINISTRA + HEMOTHORAX LANTAI 5 ZONA B GEDUNG A

RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

APLIKASI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

DISUSUN OLEH:

YULIUS TIRANDA1106043362

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATANKEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS INDONESIA

2012

i

Page 2: Managemen Terapi1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-nya kepada

kita sebagai hambanya, sehingga sampai saat ini kita masih bisa melaksanakan apa yang

menjadi tanggung jawab sebagai perwujudan dari ibadah yang kita jalankan dimuka bumi ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi/menyelesaikan tugas mata kuliah Aplikasi

Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II) yang bertujuan sebagai media internalisasi

mahasiswa agar dapat menerapkan dan mengaplikasikan serta menganalisis mengenai terapi

keperawatan dan medis yang digunakan sebagai penatalaksanaan tanda dan gejala dari kondisi

pasien. Selain itu juga, diharapkan makalah ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi

mahasiswa dan seluruh pembaca dalam mengetahui dan memahami mengenai

intervensi/tindakan keperawatan yang dapat diterapkan diklinis yang mempunyai implikasi

yang cukup baik terhadap kondisi pasien.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu tim penulis dalam penyusunan makalah ini, semoga apa yang telah diberikan

menjadi amal kebaikan yang sempurna. Terimakasih kepada pembimbing atau dosen yang

telah membantu dan memberi motivasi dalam penyusunan makalah ini sehingga selesai tepat

pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman seangkatan yang

selalu bersedia memberikan informasi yang berguna dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih

memerlukan perbaikan, maka masukan, koreksi dan kritik yang membangun dari rekan

sejawat demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan demi perbaikan dan kemajuan

profesi keperawatan di masa datang.

ii

Page 3: Managemen Terapi1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... iiDAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 11.1 Latar Belakang........................................................................................................... 11.2 Tujuan Penulisan........................................................................................................ 2

1.2.1 Tujuan Umum................................................................................................. 21.2.2 Tujuan Khusus................................................................................................ 2

1.3 Manfaat Penulisan...................................................................................................... 2BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 3

2.1 Pendahuluan............................................................................................................. 32.2 Pengertian Cidera Kepala........................................................................................ 42.3 Mekanisme Cidera Kepala....................................................................................... 42.4 Patogenesis Cidera Kepala...................................................................................... 52.5 Klasifikasi Cedera Kepala ...................................................................................... 72.6 Diagnostik................................................................................................................ 132.7 Aliran Darah Otak (ADO)....................................................................................... 142.8 Autoregulasi Pembuluh Darah................................................................................. 152.9 Hipoksemia.............................................................................................................. 17

BAB III RESUME KASUS................................................................................................. 24BAB IV PEMBAHASAN................................................................................................... 33

4.1..................................................................................................................................... Analisis Terapi Keperawatan..................................................................................... 33

4.2.....................................................................................................................................Analisis Terapi Medis......................................................................................................... 37

4.3.....................................................................................................................................Refleksi Proses Pemberian Terapi...................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

iii

Page 4: Managemen Terapi1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGCedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. (Tobing, 2011)

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008)

Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ka tahun. Menurut data Kantor Kepolisian Republik Indonesia (1992-2009) tahun 2007 terdapat 49553 orang dengan korban meninggal 16955 orang, luka berat 20181, luka ringan 46827. Tahun 2008 jumlah kecelakaan 59164, korban meninggal 20188, luka berat 23440 yang menderita luka ringan 55731 orang. Tahun 2009 jumlah kecelakaan 62960, korban meninggal 19979, luka berat 23469, dan luka ringan 62936, (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia) Angka kejadian kecelakaan di Jawa Tengah pada bulan November 2010 yang bertempat di Semarang (ANTARA news) yang dicatat oleh Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jawa Tengah 603 orang pengguna jalan raya tewas akibat berbagai kecelakaan yang terjadi selama semester pertama 2010. Selama semester pertama 2010 tercatat 4.438 kejadian kecelakaan, penderita yang dirujuk di rumah sakit dr Kariadi dan dirawat inap diruang bedah saraf mencapai 576 orang.

Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau 1sesuai dengan harapan kita (Smeltzer, 2002) angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat (Smeltzer, 2002).

Berdasarkan atas penurunan tingkat kesadaran serta ada tidaknya defisit neorologis fokal penderita cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, morfologi, dan keparahan cedera kepala. Berdasarkan mekanisme cedera kepala dikelompokkan menjadi 2, yaitu cedera kepala tertutup dancedera kepala dengan penitrasi atau luka tembus. Berdasarkan atas morfologinya cedera kepala sikelompokkan menjadi cedera kepala dengan fraktur tengkorak dan cedera kepala dengan lesi intrakranial. Berdasarkan atas derajat beratnya cedera kepala dikategorikan menjadi cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, cedera kepala berat.(Mansjoer, 2000).

1

Page 5: Managemen Terapi1

1.2 TUJUAN PENULISAN1.2.1 TUJUAN UMUM

Memahami dan menganalisis intervensi keperawatan dan penatalaksanaa medis terkait dengan kondisi kesehatan yang dialami oleh pasien di klinis.

1.2.2 TUJUAN KHUSUS1.2.2.1 Mampu memahami mengenai teori secara keseluruhan terkait kasus yang

dikelola.1.2.2.2 Mampu menjelaskan patofisiologi mengenai kasus yang dikelola.1.2.2.3 Mampu menjelaskan penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis

mengenai kasus yang dikelola.1.2.2.4 Mampu menganalisis terapi keperawatan berdasarakan Evidence Based Nursing

yang ada.1.2.2.5 Mampu menganalisis terapi medis yang diberikan beserta implikasi terhadap

keperawatan.

1.3 MANFAAT PENULISAN1.3.1 Teoritis

Makalah ini diharapkan dapat menjelaskan dan memberikan informasi mengenai bagaimana intervensi keperawatan yang dapat dilakukan terhadap pasien sesuai dengan data yang didapatkan, guna perkembangan profesi dan ilmu keperawatan.

1.3.2 Praktis 1.3.2.1 Makalah ini dapat digunakan sebagai masukan dalam cara mengkaji

menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy.1.3.2.2 Bagi institusi pendidikan, makalah ini diharapkan dapat memberikan

pemahamam mengenai patofisiologi, analisis intervensi keperawatan dan analisis terapi medis terhadap serta implikasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa keperawatan: risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral.

1.3.2.3 Bagi pelayanan keperawatan, makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perawatan dan Rumah Sakit serta tim kesehatan lain agar bekerja sebagai tim secara terintegasi dalam melakukan perawatan dan pengobatan kepada pasien guna pencapaian pelayanan asuhan keperawatan yang professional dan holistik.

2

Page 6: Managemen Terapi1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENDAHULUANKejadian cidera otak (CO) dari waktu ke waktu tidak pernah berkurang baik di

negara yang sudah maju atau negara yang berkembang terutama di Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkan CO oleh karena :

a. Meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana transportasi, mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas baik darat, laut dan udara.

b. Meningkatnya kuantitas dan kualitas industri menyebabkan bertambah terjadinya kecelakaan kerja

c. Faktor-faktor lain seperti kegiatan-kegiatan olahraga, penyaluran hobi berburu dan sebagainya.Di Amerika Serikat pada tahun 1990 hampir 148.500 orang meninggal dunia akibat

cidera akut dan diperkirakan 44% – 50% diantaranya disebabkan oleh CO. Tingkat kematian bervariasi dari 14 hingga 30 per 10.000 populasi per tahun. Biaya sosial yang diakibatkan CO ternyata sangat mengejutkan, baik dari sosial maupun ekonomi. Hampir 100% COB dan 66% COS menyebabkan kecacatan yang permanen dan tidak akan kembali ke tingkat fungsi awal. Di USA biaya perawatan CO diperkirakan lebih dari $ 25 milyard ter tahun (FCA 1998, Shepard 2001)

Celakanya CO lebih banyak dialami oleh kelompok dewasa muda antara 15 - 30 tahun daripada anak-anak dan orang tua, dan lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita hal ini dikarenakan usia dewasa muda dan laki-laki lebih mobile atau lebih banyak menggunakan kendaraan (Umar Kasan 1999, M.Arifin 2002, Hafid B. 2000)

CO primer (COP) dapat terjadi langsung yakni kepala terbentur atau terpukul di tengkuk atau jatuh terduduk dapat menimbulkan goncangan pada kepala (Becker et al 1979, Gennarelli et al 1985, popp et al 1985). COP dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan anatomi sel otak. Pada CO sebagian sel otak tetap normal, sebagian cidera (sakit) dan sebagian mati, sel otak normal dan yang sudah mati tidak memerlukan penatalaksanaan secara khusus, sedangkan sel-sel otak yang cidera memerlukan penatalaksanaan yang baik dengan tujuan agar sel otak yang cidera menjadi sembuh atau normal, dengan demikian dapat dicegah meluasnya proses yang mengakibatkan terjadinya cidera otak sekunder (COS). Faktor utama penyebab terjadinya COS adalah perdarahan otak dan edema otak.

Perdarahan otak yang cukup luas dan menimbulkan efek masa, bila dimungkinkan dapat diintervensi secara operatif, sedangkan kecil dan tidak menimbulkan efek masa cukup dirawat secara konvensional.

Pada edema otak terjadi peningkatan isi atau masa jaringan otak (Rapport, 1979; marmarou et al 1976, 1980 & 1987 ; Kaplan 1988). Pada fase awal, peningkatan edema otak diikuti dengan pengurangan atau penyusutan, cairan serebro spinal (CSS), isi pembuluh darah serta jaringan penyangga. Peningkatan edema otak belum menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang bermakna di mana tubuh akan mengadakan kompensasi untuk mengurangi edema otak. Namun bila proses berlanjut, peningkatan edema otak akan berlangsung terus, sedangkan mekanisme pengurangan

3

Page 7: Managemen Terapi1

masa sudah maksimal, sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang progresif dan terjadi pendesakan pada bagian otak yang vital.

Penyebab dan mekanisme terjadinya peningkatan edema otak masih dalam penelitian dan banyak teori yang dikemukakan antara lain : teori adanya aritrosit, neurotransmiter atau spasmogen, reaksi imflamasi, asidosis, radikal bebas, opioid endogen dan gangguan hormonal serta teori gangguan airway, breathing dan sirkulasi yang mengakibatkan gangguan oksigen di otak (Hipoksemia) (Bullock, 1992; Mc Intosh 1998; Rapport 1979; Teasdale 1998; Yoshida 1991; Staub 1994; Sutton 1995)

2.2. PENGERTIAN CEDERA KEPALA Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau

tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008).

Cidera kepala secara harfiah berarti luka pada kepala akan tetapi definisi tersebut tidak sesederhana itu, karena cidera kepala bisa berarti cidera pada kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Dibidang ilmu penyakit saraf, cidera kepala lebih dititik beratkan pada cidera terhadap jaringan otak, selaput otak dan pembuluh darahnya, oleh karena itu istilah cidera kranioserebral menurut Jennet dan Teasdale lebih tepat digunakan.

2.3. MEKANISME CIDERA OTAK1. Secara Statis (Static Loading)

Cidera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan berturut-turut mulai kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.

2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)Cidera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk impulsif dan / atau impak

4

Page 8: Managemen Terapi1

a. Impulsif (Impulsif Loading)Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh: pukulan pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi dari kepala yang bisa menyebabkan cidera otak.

b. Impak (Impact Loading)Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk impak:1) Kontak/benturan langsung (contact injury)

Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan lokal (fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup kontusio), Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar tempat trauma dan Memar otak contra coup dan memar otak intermediate yang disebabkan oleh Gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak.

2) Inersial (inertial = acceleration dan deceleration)Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cidera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra coup dan intermediate.

2.4. PATOGENESIS CIDERA OTAK2.4.1 Metabolisme Otak Normal

Berat otak manusia normal berkisar antara 1200-1400 gram, merupakan 2% dari berat badan total manusia. Dalam keadaan istirahat otak memerlukan oksigen sebanyak 20% dari seluruh kebutuhan oksigen tubuh dan memerlukan 70% glukosa tubuh. Adanya kebutuhan oksigen yang tinggi tersebut disertai dengan aktifitas metabolik otak yang terjadi secara terus menerus memerlukan aliran darah yang konstan kedalam otak, sehingga otak memerlukan makanan yang cukup dan teratur. Dalam setiap menit, otak memerlukan 800 cc okdigen dan 100 mgr glukosa sebagai sumber energi. Berkurang atau hilangnya suplai darah keotak dalam beberapa menit akan menimbulkan adanya gangguan pada jaringan otak yang bervariasi dari ringan hingga berat yang berupa kematian sel otak.

Secara normal otak memerlukan glukosa untuk menghasilkan energi melalui proses glikolisis dan siklus kreb serta membutuhkan ± 4 x 1021 ATP per menit. Kecepatan metabolisme glukosa diotak adalah 30µmol/100 gr otak/menit atau 5 mg/100 gr otak/menit. Kecepatan metabolisme oksigen diotak adalah 165 µmol/100 gr otak/menit. Metabolisme glukosa terutama terjadi di mitokondria yang akan menghasilkan senyawa fosfat berenergi tinggi seperti ATP. Maka jaringan otak sangat rentan terhadap gangguan suplai glukosa dan oksigen. Kebutuhan glukosa dan oksigen dihantarkan melalui aliran darah secara konstan. Neuron-neuron otak mendapatkan seluruh sediaan energi dari metabolisme oksidatif glukosa. Untuk melakukan fungsi-fungsinya, otak memerlukan ¼ kebutuhan oksigen yang digunakan oleh tubuh per menit.

5

Page 9: Managemen Terapi1

2.4.2 Patofisiologi Cidera OtakTrauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung

(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti : kerusakan SDO, gangguan ADO, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, realsi imflamasi dan radikal bebas (Gromek et al 1973; Miller 1973; Clubb et al 198; Rosner et al 1984; Gennarelli et al 1985; Graham et al 1987; Hayes et al 1989; Povlishock 1989; Rosenblum 1989; Umar Kasan 1992)

Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung.Rambut kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak

terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukak yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila leukak melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastasesutura atau fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.

Mekanisme kerusakan otak pada CO dapat dijelaskan sebagai berikut :a. Deformasi Tengkorak

Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak sehingga timbul lesi “coup” (cidera di tempat benturan)

b. Pergeseran OtakPerbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat menimbulkan CO berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup

6

Page 10: Managemen Terapi1

c. Rotasi Otak dan Getaran OtakBila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra coup, cidera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral

d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra coup).

Impak (Impact Loading)

Impresi FrakturCoup Contusio

Epidural HematomSubdural Hematom

Inert = Impulsif

Coup Cont.ICH

Bridging Vein RuptureTekanan Negatif

(Buble Soap)SDH, Contra Coup, Cont.

Contra CoupICHSDH

Gelombang kejut (Shock wave injury)

Intermediate Coup

2.5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi

dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).

7

Page 11: Managemen Terapi1

a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu 1. Cedera Kepala Tumpul.

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

2. Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)

b. Berdasarkan morfologi cedera kepala. Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi

1. Laserasi kulit kepala Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

2. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi a). Fraktur Linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

b).Fraktur Diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

c). Fraktur Kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

d).Fraktur Impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

8

Page 12: Managemen Terapi1

e). Fraktur Basis Kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.

c. Cedera Kepala di Area Intrakranial. Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

a). Cedera Otak Fokal yang meliputi 1). Perdarahan Epidural atau Epidural Hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2). Perdarahan Subdural Akut atau Subdural Hematom (SDH) Akut. Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

9

Page 13: Managemen Terapi1

3). Perdarahan Subdural Kronik atau SDH Kronik Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang

4). Perdarahan Intra Cerebral atau Intracerebral Hematom (ICH) Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

5). Perdarahan Subarachnoid Traumatika (SAH) Perdarahan sub arachnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

b). Cedera Otak Difus (Sadewa, 2011) Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim

otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi .

10

Page 14: Managemen Terapi1

1).Cedera Akson Difus (Difuse Aksonal Injury) DAI Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang

menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .

2).Kontsuio Cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena

efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

3).Edema cerebri Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada

edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

4).Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang

atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

Cedera kepala yang sudah di uraikan di atas menurut (Judikh Middleton, 2007) akan menimbulkan gangguan neurologis/tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi:a. Lobus Frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda

1).Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan) 2).Ketidakmampuan untuk melkukan gerakan rumit yang di perlukan untuk

menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi 3).Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain 4).Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir 5).Ketidakmampuan fokus pada tugas 6).Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional) 7).Perubahan dalam perilaku sosial 8).Perubahan dalam personalitas 9).Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory)

b. Lobus Parietal, dekat bagian belakang dan atas dari kepala 1).Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang

bersamaan

11

Page 15: Managemen Terapi1

2).Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia) 3).Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia) 4).Gangguan dalam membaca (alexia) 5).Kesulitan menggambar obyek 6).Kesulitan membedakan kiri dan kanan 7).Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia) 8).Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia)

yang memicu kesulitan dalam perawatan diri 9).Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan

10). Kesulitan koordinasi mata dan tangan

c. Lobus Oksipital, area paling belakang, di belakang kepala 1).Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang) 2).Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan 3).Kesulitan mengenali warna (aknosia warna) 4).Terciptanya halusinasi 5). Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek 6).Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata 7).Kesulitan mengenali obyek yang bergambar 8).Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek 9).Kesulitan membaca dan menulis

d. Lobus Temporal: sisi kepala di atas telinga 1).Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia) 2).Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke) 3).Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar 4).Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek 5).Hilang ingatan jangka pendek 6).Gangguan memori jangka panjang 7).Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual 8).Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi) 9).Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten

10). Peningkatan perilaku agresif

e. Batang Otak: dalam di otak 1).Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato 2).Menelan makanan dan air (dysfagia) 3).Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan 4).Masalah dalam keseimbangan dan gerakan 5).Sakit kepala dan mual (vertigo) 6).Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)

f. Cerebellum: dasar otak 1).Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus

12

Page 16: Managemen Terapi1

2).Kehilangan kemampuan berjalan 3).Ketidakmampuan meraih obyek 4).Bergetar (tremors) 5).Sakit kepala (vertigo) 6).Ketidakmampuan membuat gerakan cepat

d. Berdasarkan beratnya cidera kepala. Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat

diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi 3 yang dapat ditunjukkan berdasarkan nilai GCS yang ditemukan yaitu cidera kepala ringan (GCS: 14-15), cidera kepala sedang (GCS: 9-13) dan cidera kepala berat (GCS: < 8).Tabel GCS

Gejala Skor

Bukaan mata (E)

Spontan 4

Dengan rangsangan suara 3

Dengan rangsangan nyeri 2

Tidak bereaksi 1

Reaksi bicara (V)

Orientasi baik 5

Percakapan membingungkan 4

Kata-kata tidak sesuai 3

Suara yang tidak komprehensif 2

Tidak bersuara 1

Reaksi motorik terbaik (M)

Sesuai perintah 6

Melokalisir rangsangan 5

Menolak rangsangan 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi abnormal 2

Tidak ada reaksi 1

Skor koma = E-V-M, dengan rentang 1-1-1 hingga 4-5-6.

2.6. DIAGNOSTIKa. CT Scan kepala pada CO

Kelainan otak pada CT Scan dapat dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :1. Kontusio tipe I

Area dengan densitas rendah yang terbatas jelas terutama di substansia alba (white matter) dan jarang di substansia grisea (gray matter), karena absorbsi radiasi yang menurun.

13

Page 17: Managemen Terapi1

2. Kontusio tipe IIArea dengan campuran densitas rendah dan tinggi, tidak ada absorbsi radiasi yang homogen atau merata. Besarnya area bervariasi dari kecil sampai sedang dengan batas tidak jelas dengan densitas 16 – 24 H dan keadaan ini dapat dibedakan dengan perdarahan intraserebral yang terbatas jelas dengan densitas lebih tinggi 64 – 67 H.

3. Kontusio tipe IIIArea coup maupun contra coup, berarti ada proses multipel (ganda), bisa dua proses di satu hemisfer, di kedua hemisfer atau di daerah supra dan infra tentorial.

b. CT Scan Diffuse InjuryTabel 3: Klasifikasi cidera kepala difus berdasarkan CT scan, diadaptasi dari Diaz-Marchan, 1996.

Kategori Hasil CT scanDiffuse injury I Tidak nampak patologi intrakranialDiffuse injury II Sisterna terbuka, dengan MLS < 5 mm, tidak

nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran > 25 cc, bisa termasuk fragmen tulang atau benda asing.

Diffuse injury III (edema) Sisterna terjepit atau hilang, dengan MLS < 5 mm, tidak nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran > 25 cc

Diffuse injury IV (pergeseran) MLS > 5 mm, tidak nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran > 25 cc

Massa dengan indikasi operasi Terdapat lesi massa yang perlu dioperasiMassa tanpa indikasi operasi Nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran >

25 cc tetapi tidak ada indikasi operasiMLS: midline shift

2.7. ALIRAN DARAH OTAK (ADO)ADO normal : 50 – 160 ml/menit. Otak manusia mendapat aliran darah dari

pembuluh darah utama, yakni dari arteri karotis komunis kanan dan kiri, dan arteri vertebralis. Kedua pembuluh darah tersebut berhubungan dengan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan. Bila terdapat gangguan pada salah satu pembuluh darah, fungsinya dapat diganti atau diambil alih oleh pembuluh darah yang lain sehingga kebutuhan darah otak dapat dipenuhi, tetapi bila gangguan sangat berat, kompensasi aliran darah tidak mencukupi sehingga terjadi gangguan fungsi dan kerusakan anatomi otak.

ADO dapat diukur dengan berbagai cara, yakni dengan PET (Positron Emission Tomography), NMR (Nuclear Magnetic Resonance), Xenon Clearance and Hagen Poiseule).

Dalam jaringan otak normal terdapat suatu sistem yang mengatur aliran darah dengan mengubah besar kecilnya diameter pembuluh darah sehingga kebutuhan darah, oksigen dan glukose untuk otak dapat dipenuhi. Sistem ini disebut autoregulasi pembuluh darah otak.

14

Page 18: Managemen Terapi1

EnergiEnergi dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi otak (lihat gambar).

ADO = 15% – 20% CURAH JANTUNGCMRO2 = 20% – 25% KEBUTUHAN O2 TUBUH

TRANSPORT AKTIFMEMBRAN FLUK (Na+, K+)

TRANSPORT INTRASELULERMEMBUNGKUS TRANSMITER

ARTERI VENA YUGULAR

CO2

Laktat, PirufatGlukose

CO2

BIOSINTESISENSIM

TRANSMITERKESATUAN BENTUK

ENERGI

Besarnya kebutuhan energi otak ini disebabkan oleh karena beberapa hal yaitu : Otak tidak mempunyai simpanan O2 atau hanya sangat minim. Bila suplai O2

terhenti, otak hanya dapat bertahan selama 3 menit. Otak memerlukan energi tinggi dan energi hanya didapat dari luar (bahan eksogen),

sehingga bila terjadi kekurangan sumber energi dari luar akan berakibat terjadinya gangguan fungsi otak

Dalam keadaan istirahat (resting) semua kapiler pembuluh darah otak hampir terbuka maksimal sehingga untuk penambahan isi dalam kenyataannya tidak dimungkinkan lagi.

Gangguan ADO pada CO dapat berupa gangguan pada autoregulasi, gangguan aliran akibat spasme/konstriksi, dan hipoksemia.

2.8. AUTOREGULASI PEMBULUH DARAHDengan autoregulasi dimaksud adanya kemampuan pembuluh darah serebral untuk

menyesuiakan lumennya pada ruang lingkup sedemikian rupa, sehingga aliran darah ke otak tidak banyak berubah, walaupun tekanan darah arteriil sistemik mengalami fluktuasi. Penurunan tekanan darah sistemik sampai mencapai 50 mmHg masih dapat diatasi oleh fungsi autoregulasi serebral ini, tanpa menimbulkan gangguan aliran darah regional.

Beberapa teori tentang dasar dari mekanisme autoregulasi adalah :a. Teori Miogenik

Kenaikan tekanan darah arteriil sistemik akan mendorong pembuluh darah untuk berkontraksi sehingga terjadi kenaikan resistensi vaskuler, dan lebih lanjut mengakibatkan penurunan alirah darah sampai ke batasa normal. Demikian pula sebaliknya, penurunan tekanan darah arteriil sistemik akan mengakibatkan relaksasi dinding pembuluh darah serebral, sehingga terjadi penurunan resistensi vaskuler.

15

Page 19: Managemen Terapi1

b. Teori NeurogenikTeori ini didasarkan adanya serabut-serabut saraf perivaskuler yang menyertai

pembuluh darah serebral. Pusat yang sensitif terhadap CO2 terdapat di batang otak dan pengaturan resistensi pembuluh darah serebral melalui mekanisme neurogenik.

c. Teori MetabolikDasar hipotesa adalah arteri mempunyai kemampuan sebagai elektroda terhadap

tekanan CO2 (PCO2).Disamping itu: CO2 dapat berdifusi secara bebas melalui membran pembuluh

darah, sedangkan ion Hidrogen dan Bikarbonat tidak. pH di sekitar dan di dalam sel otot polos dipengaruhi oleh ion Bikarbonat ekstravaskuler dan Karbondioksida intravaskuler.Perubahan akut dari PCO2 arteri akan mengakibatkan perubahan pH secara mencolok

dan selanjutnya memacu penyesuaian dari aliran darah otak. Apabila kondisi PCO2 ini tetap, pH cairan ekstravaskuler lambat laun akan berubah ke arah normal melalui proses transport aktif dari sel glia, sampai pH terkoreksi sesuai kondisi reseptor pH pembuluh darah dan resistensi pembuluh serebral kembali normal.

Apabila PCO2 kemmudian kembali ke nilai normal, aliran darah akan berubah ke arah yang berlawanan sedemikian rupa sampai koreksi ke arah kebalikan di atas selesai.

Gangguan AutoregulasiPada CO terdapat perbedaan mengenai waktu terjadinya berat atau besarnya

gangguan autoregulasi. Banyaknya percobaan-percobaan yang telah dilakukan tetapi hasilnya tidak sama, seperti terurai di bawah ini :

Waktu terjadinya gangguan autoregulasi dapat berlangsung dalam beberapa detik, beberapa menit dan beberapa jam.

Beratnya gangguan autoregulasi tergantung dari beratnya CO. Pada CO sedang terjadi kerusakan autoregulasi yang tidak seberapa sedangkan pada CO berat (GCS < 8), besarnya kerusakan pada autoregulasi dapat mencapai 31%.

Vasokonstriksi atau vasospasmePada keadaan normal terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan vasospasme.

Pada CO terjadi gangguan autoregulasi di mana keseimbangan ini terganggu. Dikatakan bahwa pada fase awal terjadi spasme dan kemudian disusul dengan vasodilatasi. Karena aktifitas saraf simpatis yang membungkus pembuluh darah tidak mampu lagi mengambil adrenalin dan konsekuensinya adalah terjadinya edema otak.

Bila terjadi hipoksemia maka produksi energi (ATP) berkurang dengan akibat kenaikan ion Ca2+ dari luar sell atau dari simpanan Ca2+ didalam mitokhondria dan retikulo endoplasmik Ca2+ dalam sell meningkat menyebabkan aktivasi enzim miosin kenase sehingga miosin yang pasif menjadi aktif (Myosin phosphate activation) dan miosin yang aktif akan mengikat aktin sehingga timbul ikatan aktin-miosin (actin-myosin complex) yang mengakibatkan pembuluh darah menyempit (vasospasm) kalau hipoksia hilang dan aliran darah normal maka ATP kembali normal dan ikatan aktin-miosin dibuka maka pembuluh darah akan melebar (vasodilatasi).

16

Page 20: Managemen Terapi1

7 hari 14 hari 21 hari

SPASME

WAKTU

2.9. HIPOKSEMIAHipoksemia di sini berarti bahwa suplay O2 lebih kecil daripada kebutuhan O2. Kadar O2

dalam jaringan otak tergantung pada :1. ADO2. PaO2

3. Persentase kelarutan O2 di dalam hemoglobin (SO2)4. Kadar hemoglobin

Keterangan :Kadar O2 jaringan = ADO x [O2]a

Kadar O2 jaringan = ADO x 1,39 = jumlah O2 dalam ml yang diikat oleh 1 gr hemoglobin dalam kelarutan yang maksimal

Hipoksia dapat terjadi karena : ADO menurun akibat iskemia (Ischemic Hypoxia), penyebab antara lain stroke

(infark atau perdarahan) dan CO Hipoksia karena keadaan hipoksik (Hypoxic Hypoxia) penyebab penyakit paru-paru

seperti : gangguan pernafasan Anemia (Anemia Hypoxia) akibat perdarahan kronis, defisiensi vitamin B12 dan

keracunan karbon monooksida sehingga kadar Hb menurun.

Pada CO terjadi gangguan suplai O2 yang disebabkan antara lain oleh hipoksemia, gangguan paru-paru, penurunan ADO dan perpanjangan dari “diffusion path length” (Krogh’s cylinder model) sehingga terjadi edema otak. Edema otak mengakibatkan gangguan substitusi seluler dan gangguan fungsi otak karena kekurangan energi.

Gangguan Metabolisme OtakCO dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme otak seperti : metabolisme

anaerob, hipermetabolisme, hiperglikemia, hiperkatabolisme dan gangguan metabolisme asam lemak.

17

Page 21: Managemen Terapi1

Metabolisme AnaerobKekurangan O2 menyebabkan berlangsungnya metabolisme anaerob yang

menimbulkan terjadinya gangguan pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel:

Bila suplai O2 cukup akan berlangsung metabolisme aerob :1 mol glukose + 6 O2 + 38 ADP + 38 Pi 6CO2 + 44 H2O + 38 ATP

Bila suplai O2 kurang akan berlangsung metabolisme anaerob :1 mol glukose + 2 ADP + 2 Pi + 2 NAD+ 2 ATP + 2 NADH + 2 H+ + 2 PirufatPirufat + NADH + H+ asam laktat + NAD+.

1 mol glukose asam laktat + 2 ATPBerkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat akan mengakibatkan

bertambahnya edema otak.

Hipermetabolisme, Hiperglikemia dan HiperkatabolismeKeadaan ini disebabkan karena pengaruh katekolamin, KTS, glukagon dan hormon

pertumbuhan (Growth Hormone), dengan gejala atau repons tubuh berupa : Gangguan sistemik : takipne ( > 30 x/menit ), takikardia ( > 120/menit ), hipertensi

(tekanan sistole > 160 mmHg) dan hiperpireksia (temperatur > 39 C) Gangguan hemodinamik : curah jantung meningkat, aritmia, nekrosis miokard.

Terjadi gangguan pada keseimbangan nitrogen, selain itu glukose darah meningkat karena adanya gangguan kadar insulin dan terjadi resistensi terhadap insulin, serta terlihat pula gangguan profil fosfolipid plasma

Perubahan stres hormon : KTS meningkat, glukagon meningkat, hormon pertumbuhan meningkat, katekolamin meningkat, IL meningkat dan TNF meningkat

Gangguan keseimbangan garam : Zn menurun, Fe menurun, Cu meningkat.

Untuk memenuhi kebutuhan energi otak bila kadar glukose tidak mencukupi, energi akan diperoleh dari pembebasan glikogen dari simpanan di dalam hari dan otot dan proses ini disebut glikogenolisis, dan juga pemanfaatan dari asam amino seperti valine, leusine, isoleusine, arginin dan glutamat serta asam lemak dan proses ini disebut glikoneogenolisis.

Glikogen Glikogenolisis

Glikogenesis

Glukose Glikoneogenolisis

Glikoneogenesis

As. LemakProtein

Metabolisme asam lemakPada CO akan terjadi influk Ca2+ sehingga Ca2+ intraseluler meningkat yang

mengaktifkan ensin fosfolipase A2 dan C dan menyebabkan pemecahan asan lemak di dalam membran sel menjadi Platelet Activating Factor (PAF). Asam arakidonik mengalami metabolisme atau reakdi menjadi RB oleh reaksi oto oksidasi, Tromboksane A2 (TxA2) oleh ensim siklooksigenase, leukotrine oleh ensim lipoksigenase, fosfolipid

18

Page 22: Managemen Terapi1

dengan realisasi dan albumin oleh ikatan hidropobik. Fosfolipid dan albmunin kembali digunakan oleh tubuh (lihat gambar).

lipoksigenase

5 HETEleukotrien

ASAM ARAKIDONIK

oto oksidasi

Radikal Bebas

siklooksigenase

TxA2 + PG

reasilasi

fosfolipid

ikatanhidropobik

albumin

2.10. TEKANAN PERFUSI OTAK (TPO)Jumlah kebutuhan energi dalam sel otak ditentukan juga oleh TPO yang harga

normalnya : 85 ± 15 mmHg. Tekanan Perfusi Otak (TPO) sama dengan Tekanan Darah (TD) dikurangi Tekanan Intrakranial (TIK).

TPO = TD – TIKDalam keadaan normal pengaruh TIK kecil sehingga TPO dianggap sama dengan

TD. TPO akan terganggu bila terjadi penurunan TD atau kenaikan TIK. TPO dipengaruhi oleh autoregulasi. Bila autoregulasi baik maka perubahan TD dan TIK tidak mengubah TPO karena terdapat kompensasi sehingga tidak mengakibatkan gangguan pada metabolisme otak. Bila TD di bawah 40 mmHg, autoregulasi mengalami kerusakan sehingga terjadi gangguan TPO, mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi sel otak. Pada CO terjadi gangguan autoregulasi sedemikian rupa sehingga perubahan kecil dari TD dan TIK akan mempengaruhi TPO.

Gangguan metabolisme otak karena gangguan TPO dapat dilihat dari adanya :1. Aliran Energi (energy flow)

Besarnya energi ini dapat dihitung dengan CMRO2, dimana CMRO2 = ADO x AVDO2

19

Page 23: Managemen Terapi1

CMRO2 menunjukkan penyediaan O2 dalam jaringan. Hipoksia menyebabkan CMRO2 menurun

2. Keadaan energi (energy state)Hipoksia jaringan antara lain ditandai dengan : ATP yang menurun, ADP meningkat, AMP meningkat dan Pi meningkat Perubahan fosforilasi oksidatif (Oxidative phosphorylation) yaitu kenaikan rasio

laktat / pirufat.3. Keadaan redok (redox state)

Keadaan redok berhubungan dengan rasio laktat / pirufat. Bila kadar O2 menurn terjadi perubahan redok di mana rasio NADH / NAD+ di dalam sitoplasma meningkat dan rasio laktat / pirufat meningkat. Perubahan rasio laktat dan pirufat dalam serum dan cairan otak merupakan petunjuk adanya hipoksia.

2.11. SAWAR DARAH OTAK (SDO)SDO terdiri dari 2 komponen, yakni jaringan otak / sel glial dari pembuluh darah

otak. Sel glial membentuk suatu tonjolan pembungkus (envelope glial cell) yang masuk ke dalam celah endotel pembuluh darah otak dan membentuk suatu lapisan atau ikatan yang erat yang tidak dapat ditembus oleh bahan bermolekul besar.

Dinding Pembatasa. Sawar Darah Likuor

Pembatas antara darah dengan kompartemen likuor, misalnya ventrikel Komponen pembatas adalah sel ependima dan adneksa dari pleksus khoroideus

b. Sawar Otak Likuor Pembatas antara otak dengan kompartemen likuor Ependima dan sel-sel glia sekitarnya merupakan penghalang yang potensial dalam

mencegah terjadinya hubungan antara likuor dengan cairan interstitial

Fungsi Menopang dan bantalan bagi otak, batang otak maupun medulla spinalis. Menjadi bantalan pada trauma yang menibulkan gaya aselerasi / deselerasi. Mengangkut bahan-bahan sisa metabolisme sel saraf. Mengangkut bahan-bahan toksik yang kemungkinan lolos dari sawar darah otak dan

masuk ke otak.

20

Page 24: Managemen Terapi1

Mengekskresikan bahan-bahan sisa ini ke pembuluh darah.

Pada keadaan normal SDO sukar ditembus oleh bahan-bahan bermolekul besar dan hal ini dibuktikan dengan : Pemberian kontras Evens blue, kontras akan mengikuti aliran darah dan bila tidak

terlihat penimbunan kontras di daerah tertentu berarti tidak ada kerusakan SDO karena kontras tidak menembus SDO

Scintigrafi (Brain Scanning). Tidak nampak penumpukan isotop di daerah tertentu.

Pada CO yang berat, fungsi sistem SDO hilang, karena pada jaringan otak yang mengalami kerusakan / memar akan terbentuk jaringan parut yang disebut gliosis sehingga struktu SDO rusak yang mengakibatkan kebocoran SDO dan keadaan ini dapat berlangsung beberapa bulan. Hal ini dapat menjelaskan, mengapa bahan radioaktif pada CT Scan otak tetap positif di daerah yang cidera untuk waktu yang lama.

2.12. PENATALAKSANAAN MEDISTERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALATujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cederaA. Cairan Intravena

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik

Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan

hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia

menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresigB. Hyperventilasi

Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak

HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun

PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. Manitol Dosis 1 gram/kg BB bolus IV Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian

terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan

memperberat hypovolemiaD. Furosemid

21

Page 25: Managemen Terapi1

Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresisDosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E. BarbituratBermanfaat untuk menurunkan TIK, tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

F. AnticonvulsanPenggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca traumaPhenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHANA. Luka Kulit kepala

Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan

Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat. Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka

Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf, Lakukan foto teengkorak / CT Scan dan Tindakan operatif

B. Fractur Depresi TengkorakTindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di

dekatnya. CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio

C. Lesi Masa IntrakranialTrepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam

jiwa dan untuk mencegah kematian Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat

dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan. Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

2.13. PENATALAKSANAAN KEPERAWATANPenatalaksanaan keperawatan (intervensi mandiri keperawatan) yang dapat

dilakukan terhadap pasien dengan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral diantaranya: Elevasi kepala hingga sudut 30o Jaga leher dalam posisi yang netral Pencegahan terhadap Valsava Manuever Kontrol stimulus lingkungan yang mengganggu Monitor tanda neurologi sebagai dasar terjadinya kerusakan neurologi

22

Page 26: Managemen Terapi1

Monitor peningkatan TIK (jika ada monitor, ataupun dilihat dari tanda dan gejala yaitu nyeri kepala, mual dan muntah proyektik dan papil edema).

Monitor rangsang meningeal (kaku kuduk, Laseque, Kernig, Brudzinsky I dan II). Monitor CPP (CPP = MAP-TIK) Sediaka stimulus yang lembut dan halus (musik) Pertahankan normothermia cegah menggigil Pertahankan oksigenasi yang adekuat (berikan terapi O2, monitor AGD (analisa gas darah),

kaji tanda dyspnea dan cyanosis) Kaji fungsi neurologis Monitor nilai elektrolit (natrium, kalium, dll) Monitor fungsi pernafasan (auskultasi dada, observasi pergerakan dada). Monitor keseimbangan cairan (Intake dan Output) Kolaborasi dalam pemberian terapi

BAB III

23

Page 27: Managemen Terapi1

RESUME KASUS

MANAJEMEN TERAPI PADA AN. R DENGAN PERUBAHAN PERFUSI JARINGAN, DENGAN DIAGNOSA MEDIS: ICH TRAUMATIKA FRONTO TEMPORO PARIETAL

SINISTRA + HEMATOTHORAX DI LANTAI 5 ZONA B GEDUNG A RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

1. RESUME PASIEN

Nama : Tn. K

Umur : 48 tahun

Tgl MRS : 27 September 2012

Waktu Pengkajian : 3 Oktober 2012, di Ruang 513 C (Zona B; Bedah Saraf), Gedung A,

pukul 09.13 WIB.

Diagnosa Medis : ICH Traumatika Fronto Temporo Parietal Sinistra +

Hematothorax

Keluhan Utama MRS : Penurunan kesadaran post kecelakaan lalu lintas 3 hari

yang lalu, pasien dengan post kraniektomi dekompresi

(27 September 2012).

Riwayat Penyakit Sekarang : 5 hari yang lalu, pasien mengalami kecelakaan, terjatuh

dari motor, pasien pingsan lama tidak diketahui,

kemudian sadar kembali, muntah (+), kejang (-), luka

dikepala (-), perdarahan telinga dan hidung (-). Pasien

dibawa kerumah sakit terdekat, dilakukan pemeriksaan

dan dikatakan pneumothoraks kemudian dirujuk ke

RSCM dan dipasang WSD. Pasien mengalami penurunan

kesadaran, dilakukan CT Scan 2 jam pasca penurunan

kesadaran, kemudian dilakukan kraniektomi dekompresi

dan dirawat.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi, DM dan alergi tidak didapatkan.

Penatalaksanaan Medis:

a. Pengobatan

1. Ranitidin 2 x 150 mg

2. Ceftriaxone 2 x 1 gr

3. Ketorolac 3 x 30 mg

4. Fenitoin 3 x 100 mg

24

Page 28: Managemen Terapi1

5. Inhalasi – Ventolin : Bisolvon : NaCl = 1 : 1 : 1

6. Manitol 4 x 25 mg

7. Piracetam 3 x 3 gr

8. Paracetamol 3 x 500 gr npo

b. Rehabilitasi Medik

Positioning: miring kanan dan kiri, upright position sesering mungkin

Mobilisasi bertahap kearah duduk reclining 45-60°

Chest Physical Therapy

ROM

Pemeriksaan Penunjang:

Tanggal 1 Oktober 2012

Kimia Klinik

Analisa Gas Darah: Hematologi Rutin:

pH : 7,432 mmHg Hb : 11,6 g/dL

PCO2 : 45,40 mmHg Hct : 34,2

PO2 : 27,40 mmol/L Eritrosit : 3,95 106/µL

HCO3 : 30,20 mmol/L Leukosit : 13,13 106/µL

Total CO2 : 31,60 mmol/L Thrombosit : 185 106/µL

BE : 4,10 mmol/L

SaO2 : 52,40

Hemostasis

PT : 10,4 detik

APTT : 52,7 detik

Kimia Klinik

SGOT : 48 U/L

SGPT : 72 U/L

Albumin : 3,09 g/dL

Ureum darah : 35 mg/dL

Kreatinin : 0,70 mg/dL

Glukosa sewaktu : 102 mg/dL

PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY

25

Page 29: Managemen Terapi1

Pengkajian Level I: Pengkajian Perilaku4.3.1 Fisiologis

No Perilaku1 Oksigenasi Menggunakan O2 3 Lpm, TD: 130/90 mmHg, RR: 22

x/mnt, FN: 75 x/mnt, posisi semi fowler (30 - 45), bunyi jantung S1-S2 normal, ritme pernafasan normal (inspirasi sesuai dengan ekspirasi), terdapat fraktur pada costa 4,5,6, mukosa kering, ekstremitas bawah dingin, kulit kering, hasil AGD (1 Okt 2012): pH: 7,342, pCO2: 45,50, pO2: 27, HCO3: 30,20, BE: 4,10, SaO2: 52% (kemungkinan teracampur darah vena).

2 Nutrisi BB: 75 Kg, TB: 170 cm, IMT:Diet cair (susu), bibir bersih tidak terdapat lesi, mukosa mulut tampak kering, tidak ada alergi makanan, albumin: 3,09, Hb: 11,6, Hct: 34,2.

3 Eliminasi BAB 2 x sehari, warna kuning, konsistensi lunak, bising usus (+) 8 x/mnt, perkusi timpani, palpasi: skibaTerpasang DC, BC: - 700, warna kuning.

4 Aktivitas dan Istirahat

Aktivitas fisik semua dibantu, hemiparese dekstra, postur tubuh baik, pasien tampak tidur terus karena terjadi penurunan kesadaran,kekuatan otot:2222 33332222 3333

5 Proteksi Kulit tampak kering dan pucat, rambut bersih, kondisi kulit kepala bersih, suhu tubuh: 37,1C, bau keringat (+), luka didaerah frontotemporoparietal sinistra, jahitan telah diangkat, luka baik, pus (-), terpasang NGT, IVFD dekstra NaCl 0,9%, terpasang DC, leukosit: 13130 /mm3.

6 Indera (sense) Pasien bisa merasakan rangsangan nyeri, reaksi cahaya langsung dan tidak langsung (+), refleks kornea (+), ketajaman penglihatan tidak bisa dikaji, kacamata (+), alat bantu dengar (-), sentuhan kulit (+).

7 Keseimbangan cairan dan elektrolit

BC: -700, hasil AGD (1 Okt 2012): pH: 7,342, pCO2: 45,50, pO2: 27, HCO3: 30,20, BE: 4,10, SaO2: 52% (kemungkinan tercampur darah vena), albumin: 3,09, Hb: 11,6, Hct: 34,2.

8 Fungsi neurologi GCS: E3M5V3=11, penurunan kesadaran (somnolen), parese nervus kranialis VII (fasialis) dekstra, hemiparese dekstra, parese nervus VII dekstra sentral, sensorik: respon nyeri (+), reflek patologis (-), TRM: kaku kuduk (-), Brudsinsky 1 dan 2 (-), Kernig dan Laseque (-), sensorik baik, otonom baik,RF+2 2+2 2

9 Fungsi endokrin Edema (-), KAD (-), ascites (-), tidak terdapat tanda-tanda pembesaran kelenjar endokrin dan gangguan endokrin.

26

Page 30: Managemen Terapi1

4.3.2 Konsep Diri2.4.1 Physical Self

Body SensationBody Image

2.4.2 Personal SelfSelf-ConsistencyIdeal DiriMoral-Etik-Spiritual: keluarga pasien mengatakan cemas akan kondisi kesehatan pasien, apakah pasien akan sadar kembali, berapa lama pasien akan sehat kembali.

4.3.3 Fungsi PeranNo Perilaku1 Primer Pasien berumur 48 tahun, JK: laki-laki, tingkat perkembangan:

generative adult; generativity vs stagnation2 Sekunder Peran sebagai ayah dan suami yang menjadi tulang punggung dalam

keluarga. Anak pertama telah bekerja.3 Tersier Nuclear family, 5 anggota keluarga, tinggal bersama, mempunyai

hubungan yang baik dengan tetangga serta interaksi yang baik dengan teman kerja dan tidak aktif dalam kegiatan sosial lokal.

4.3.4 Interdependen No Perilaku1 Significant other Hubungan yang baik dengan keluarga, menyayangi

keluarganya.2 Support system Mempunyai hubungan yang baik dengan tetangga serta

interaksi yang baik dengan teman kerja dan tidak aktif dalam kegiatan sosial lokal.

Pengkajian Level II: Pengkajian Stimulus1. Stimulus Fokal:

Setelah kecelakaan tidak sadarkan diri (lama tidak diketahui), pulang dengan keluhan pusing kepala. Dibawa ke RS didiagnosa hemothorax dan 2 hari kemudian terjadi penurunan kesadaran.

Post op kraniektomi atas indikasi adanya hematom intraserebral pada area temporofrontoparietal yang menekan area broca dan wernicke (area bicara dan pembentukkan kata). Terdapat luka post op (jahitan telah diangkat).

Hemiparese dekstra (efek kontralateral) karena ICH pada bagian sinistra. Keluarga cemas dengan kondisi pasien karena pasien masih belum sadar sepenuhnya

setelah operasi.2. Stimulus Kontekstual: --3. Stimulus Residual: --

Analisa DataNo Tanda dan Gejala Masalah Etiologi

27

Tidak terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran yang diakibatkan karena ICH pada daerah TFP sinistra yang mengenai area Broca dan Wernicke.

Page 31: Managemen Terapi1

1 Subjektif:

Objektif: GCS: E3M5V3=11 Penurunan kesadaran

(somnolen) Parese nervus kranialis VII

(fasialis) dekstra Hemiparese dekstra Parese nervus VII dekstra

sentral

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral

Faktor risiko: cidera kepala dengan post op kraniektomi a.i ICH traumatika di lobus temporofrontoparietal sinistra.

2 Subjektif:

Objektif: GCS: E3M5V3=11 Penurunan kesadaran

(somnolen) Parese nervus kranialis VII

(fasialis) dekstra Hemiparese dekstra Aktivitas dibantu keluarga dan

perawat Kekuatan otot:

2222 33332222 3333

Keterbatasan dalam ROM Postural yang belum stabil

Kerusakan mobilitas fisik

Risiko terjadinya sindrom disuse

Kerusakan neuromuskular, traumatika di lobus temporofrontoparietal sinistra, penurunan kekuatan dan kontrol otot.

Faktor risiko: penurunan kesadaran, parese, imobilisasi mekanik, bedrest yang lama.

Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi1 Risiko ketidakefektifan

perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan faktor risiko: cidera kepala dengan post op kraniektomi a.i ICH traumatika di lobus temporofrontoparietal sinistra.

Elevasi kepala hingga sudut 30o

Jaga leher dalam posisi yang netral

Pencegahan terhadap Valsava Manuever

Monitor tanda neurologi sebagai dasar terjadinya kerusakan neurologi

Monitor peningkatan TIK (jika ada monitor, ataupun dilihat dari tanda dan gejala yaitu nyeri kepala, mual dan muntah proyektik dan papil edema).

Monitor rangsang meningeal (kaku kuduk, Laseque, Kernig,

28

Page 32: Managemen Terapi1

Brudzinsky I dan II). Monitor CPP (CPP = MAP-

TIK) Sediaka stimulus yang lembut

dan halus (musik) Pertahankan normothermia Pertahankan oksigenasi yang

adekuat (berikan terapi O2, monitor AGD (analisa gas darah), kaji tanda dyspnea dan cyanosis)

Kaji fungsi neurologis Monitor nilai elektrolit

(natrium, kalium, dll) Monitor fungsi pernafasan

(auskultasi dada, observasi pergerakan dada).

Monitor keseimbangan cairan (Intake dan Output)

Kolaborasi dalam pemberian terapi (Manitol/Piracetam)

2 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, traumatika di lobus temporofrontoparietal sinistra, penurunan kekuatan dan kontrol otot.

Risiko terjadinya sindrom disuse berhubungan dengan Faktor risiko: penurunan kesadaran, parese, imobilisasi mekanik, bedrest yang lama.

Body positioning; Self-Initiated, Risk Control,

Exercise Therapy : Ambulation

Infection Protection, Infection Control, Pressure Management

Monitoring Pertahankan teknik aseptik Cuci tangan setiap sebelum

dan sesudah tindakan keperawatan

Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

Ganti letak IV perifer, dressing dan ganti perban luka sesuai dengan petunjuk umum

Observasi kulit akan adanya kemerahan, monitor serum albumin

Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

Tindakan Keperawatan Kaji kemampuan pasien

dalam mobilisasi

29

Page 33: Managemen Terapi1

Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

Jaga kebersihan alat tenun Hindari kerutan padaa tempat

tidur Jaga kebersihan kulit agar

tetap bersih dan kering Mobilisasi pasien (ubah posisi

pasien) setiap dua jam sekali Oleskan lotion atau

minyak/baby oil pada derah yang tertekan

Gunakan pengkajian risiko untuk memonitor faktor risiko pasien (Braden Scale, Skala Norton)

Inspeksi kulit terutama pada tulang-tulang yang menonjol dan titik-titik tekanan ketika merubah posisi pasien.

Pendidikan Kesehatan Ajarkan keluarga lain tentang

teknik ambulasi Ajarkan keluarga bagaimana

merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.

Ajarkan keluarga pasien agar menggunakan handrub saat akan masuk dan setelah keluar ruangan.

Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar

Kolaborasi: Kolaborasi dengan tim Rehab

Medik: ROM Bilateral

Implementasi Keperawatan

NoDx

Hari IRabu, 3/10/2012

Hari IIKamis, 4/10/2012

EVALUASI

1 Jam: 13.20.S: -

Jam: 13.20.S: -

Evaluasi yang didapatkan pada pasien ini yaitu pasien masih

30

Page 34: Managemen Terapi1

O: Leher dalam posisi netral

(kepala sampai bahu diganjal bantal).

Elevasi kepala 30o

TIK tidak meningkat (mual dan muntah (-), nyeri kepala (-)).

TRM; kaku kuduk (-), Laseque (-), Kernig (-), Brudzinsky I dan II (-)).

O2 5 Lpm Hasil AGD tanggal 1 Okt

2012 menunjukkan tidak terjadi asidosis/alkalosis.

Pergerakan dada simetris, suara paru bronkovesikuler.

BC: -700 Kolaborasi dalam

pemberian Manitol (diuresis osmotik) Manitol 4 x 25 mg

Piracetam 3 x 3 grA: Risiko ketidakefektifan

perfusi jaringan cerebral teratasi sebagian

P: Lanjutkan intervensi

O: Leher dalam posisi

netral (kepala sampai bahu diganjal bantal).

Elevasi kepala 30o

TIK tidak meningkat (mual dan muntah (-), nyeri kepala (-)).

TRM; kaku kuduk (-), Laseque (-), Kernig (-), Brudzinsky I dan II (-)).

O2 5 Lpm Pergerakan dada

simetris, suara paru bronkovesikuler.

BC: -300 Kolaborasi dalam

pemberian Manitol (diuresis osmotik) Manitol 4 x 25 mg

Piracetam 3 x 3 grA: Risiko ketidakefektifan

perfusi jaringan cerebral teratasi sebagian

P: Lanjutkan intervensi

mengalami penurunan kesadaran (GCS = 11), tidak terjadi peningkatan TIK, tanda rangsang menigenal semua negatif. Perfusi serebral mulai membaik ditandai dengan saat dibangunkan dan ditanya pasien mampu memberikan isyarat.Pupil isokor ka/ki, 3 mm, RCL/RTCL positif fungsi batang otak normal, tidak terjadi dekostikasi ataupun dekortikasi.Hasil PT/APTT juga tidak memanjang (normal) risikos DIC minimal.Pasien tidak bisa mengeluarkan kata-kata karena lesi terjadi pada area FTP sinistra yang juga mengenai area Broca dan Wernicke dan juga mengalami hemiparese dekstra (efek kontralateral).Fokus keperawatan adalah monitoring TIK dan mempertahankan kepatenan jalan nafas yang memberikan ventilasi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi diantarana atelektasis, pneumonia dan barotrauma.Kemudiana atur posisi klien semifowler agar tidak terjadi venous return dan juga untuk meningkatkan fungsi respirasi.

2 Jam: 13.20.S: -O: Skala Norton = 12 (rentan

terjadi dekubitus) Kulit bagian punggung

hangat, tidak kemerahan, berkeringat banyak (basah), bau keringat.

Skala Barthel Indeks = 0 (tingkat ketergantungan total)

Makan, mandi, berpakaian dibantu

Jam: 13.20.S:-O: Skala Norton = 12

(rentan terjadi dekubitus)

Kulit bagian punggung hangat, tidak kemerahan, berkeringat banyak (basah), bau keringat.

Skala Barthel Indeks = 0 (tingkat ketergantungan total)

Fokus keperawatan pada diagnosa kedua ini adalah mobilisasi. Yang diharapkan dapat mencegah terjadinya pneumonia, risiko dekubitus, atropi otot dan juga dapat meningkatkan metabolisme aerob sehingga sirkulasi oksigen keseluruh tubuh maksimal. Suhu tubuh pasien normal 36,7 oC sehingga tidak terjadi peningkatan kebutuhan oksigen sebanyak 10%.Kemudian dilakukan fisioterapi dada pasif sinistra karena bagian kanan mengalami hemothoraks.

31

Page 35: Managemen Terapi1

perawat dan keluarga. Memobilisasi pasien

(ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali dibantu keluarga.

Mobilisasi duduk (30 menit) – jam 09.30 WIIB.

Hemiparese dekstraA: Kerusakan mobilitas fisik

belum teratasiP: Lanjutkan intervensi

Makan, mandi, berpakaian dibantu perawat dan keluarga.

Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali dibantu keluarga.

Mobilisasi duduk (30 menit) – jam 09.00 WIIB.

Hemiparese dekstraA: Kerusakan mobilitas

fisik belum teratasiP:Lanjutkan intervensi

Tujuannya yaitu untuk mencegah terjadinya pneumonia dan juga membantu mengeluarkan dahak dan sekret yang ada.Kondisi pasien membaik, sat diajarkan duduk di kursi roda, pasien tidak tidur, matanya membuka.

BAB IVPEMBAHASAN

4.1 ANALISIS TERAPI KEPERAWATAN BERDASARKAN EVIDENCETerapi keperawatan yang dilakukan kepada Tn K yaitu sesuai dengan diagnosa

keperawatan yang telah ditegakkan yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

32

Page 36: Managemen Terapi1

berhubungan dengan FAKTOR risiko: cidera kepala dengan post op kraniektomi a.i ICH

traumatika di lobus temporofrontoparietal sinistra dan gangguan sirkulasi darah keotak. Tujuan intervensinya yaitu monitoring peningkatan TIK yang dapat menurunkan sirkulasi CSF dan CBV.

Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan hipotesis Monro-Kellie: merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak, cairan otak yang bersifat tetap, karena berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku, tekanan tersebut menjalar ke setiap sisi ruangan di dalam tengkorak.

Tekanan intra cranial normal, tergantung usia. Pada bayi tekanan berkisar 1,5 – 6 mmHg, anak-anak 3-7 mmHg, dan dewasa tekanan berkisar < 10-15 mmHg. TIK tidak dalam kondisi statis, tetapi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain tekanan sistolik jantung dan perubahan tekanan dalam pernafasan. Tekanan intracranial dihasilkan oleh volume otak sekitar 1400 ml pada orang dewasa, cairan serebrospinal 75 cc, sirkulasi darah otak sekitar 75 cc.

a). Elevasi kepala hingga sudut 30o, monitor CPP (CPP = MAP-TIK) 50-70 mmHg dan jaga leher dalam posisi yang netral

Tujuan intervensi ini adalah untuk meningkatkan venous drainage dari kepala dan elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik, mungkin dapat dikompromioleh tekanan perfusi serebral. Jika elevasi lebih tinggi dari 30 maka tekanan perfusi otak akan turun dan diharapakan TIK juga tidak mengalami peningkatan.. Elevasi kepala diperkirakan dapat untuk mengakibatkan venous return pada intrakranial dan meningkatkan CSF dari kepala yang menghasilkan penurunan TIK (Fan, 2004).

Gambar dibawah ini menunjukkan hubungan antara posisi kepala, penurunan TIK dan tekanan perfusi otak.

Beberapa alasan bahwa elevasi kepala akan menurunkan TIK akan tetapi dapat juga berpengaruh terhadap penurunan CPP akan tetapi sebaliknya posisi horizontal akan meningkatkan CPP. Maka posisi yang disarankan adalah elevasi kepala antara 15 – 30o, dimana terjadi penurunan TIK tanpa adanya penurunan pada CPP.

Aliran darah otak tergantung dari CPP, dimana CPP adalah perbedaan antara mean arterial pressure (MAP) dan ICP. CPP = MAP – ICP. MAP = ( 2 diastolik + sistolik ) : 3. CPP, 70 – 100 mmHg untuk orang dewasa, > 60 mmHg pada anak diatas 1 tahun, > 50 mmHg untuk infant 0-12 bulan.

Elevasi kepala merupakan prosedur keperawatan konvensional yang dilakukan secara rutin pada pasien dengan cidera otak atau cidera kepala dengan peningkatan TIK.

33

Page 37: Managemen Terapi1

Dasar teoritisnya adalah bahwa kepala berada diatas tingkat jantugn pada sumbu vertikal dan akibatnya CSF didistribusikan dari kranial ke ruang subarachnoid spinal dan dapat memfasilitasi venous return serebral. Redistribusi CSF dalam menanggapi elevasi kepala terjadi segera setelah perubahan posisi karena komunikasi yang bebas antara kranial ke ruang subarachnoid spinal. Rute utama aliran vena serebral meliputi vena jugularis internal dengan sistem aksesori dari vena jugularis eksternal dan vertebralis vena fleksi. Semua sistem vena ini adalah valveless channel yang memungkinkan venous return serebral tanpa terputus setelah dilakukannya elevasi kepala.

Dampak postural pada hemodinamik sistemik (misalnya, ketika pasien dipindahkan dari telentang ke posisi berdiri) menyebabkan sekitar 30% dari volume darah dari tubuh bagian atas akan tiba-tiba dipindahkan ke dalam perifer vena. Selain tekanan intravaskuler dalam jantung, gravitasi memberikan kontribusi komponen tekanan tambahan untuk pembuluh darah bagian bawah jantung. Artinya, berdiri dapat menyebabkan penggembungan pada pembuluh darah (vasodilatasi pembuluh darah). Hal ini dikenal sebagai vena pooling, efek tekanan hidrostatik yang menurunkan venous return.

Beberapa faktor posisi tubuh yang dapat meningkat TIK yaitu antara lain posisi tredelenburg (selalu kontraindikasi pada pasien neuroscience), posisi pronasi (meningkatkan tekanan intraabdominal dan intra torakal, juga fleksi leher dapat menghambat sirkulasi pembuluh darah), fleksi hip ekstrim dan hip fleksi pada penduluos abdomen (meningkatkan tekanan intraabdomen) dan mengubah pasien e arah lateral dengan kepala tempat tidur menghadap ke atas dan lutut yang tertekuk di perut (meningkatkan tekanan intraabdominal).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Winkleman (2000) bahwa 8 pasien yang mengalami cidera otak traumatik nilai CPP secara klinis meningkat dengan elevasi kepala hingga sudut 30o.

b).Pencegahan terhadap Valsava ManueverValsalva mekanisme adalah koordinasi sekumpulan muscle neurological yang

bekerja bersamaan dan disebut Valsalva maneuver. Valsalva maneuver adalah usaha pernafasan secara paksa menutup glottis, menghasilkan peningkatan tekanan intrathoracic, meningkatkan tekanan intracranial, menghambat venous return dan menurunkan heart rate.

Tujuan manuver valsava adalah untuk meningkatkan tekanan udara yang berada didalam paru dalam rangka untuk membantu seseorang untuk mengerahkan atau memaksa hal-hal yang keluar dari tubuh.

Valsalva maneuver digunakan sebagai alat diagnostic untuk mengevaluasi kondisi jantung dan terkadang dilakukan sebagai treatment untuk mengkoreksi abnormalitas ritme jantung atau untuk gambaran nyeri dada. Valsalva maneuver juga digunakan untuk pasien yang mengalami gagap, dan lain sebagainya. Namun untuk kasus neurology yang berhubungan dengan tekanan intracranial valsalva maneuver tidak boleh dilakukan karena akan meningkatkan tekanan intracranial.

34

Page 38: Managemen Terapi1

Fisiologi Valsalva ManeuverTerdapat empat tahap fisiologi pada valsalva maneuver (Yale,2005) yaitu

permulaan strain (ketegangan), strain dilanjutkan, penurunan dan recovery (perbaikan).Tabel 4. Perubahan Fase dan fisiologi pada Valsalva Maneuver

Secara normal, mengedan sebagai bentuk strain akan menyebabkan penutupan glotis sehingga meningkatkan tekanan intra thorax dan tekanan darah sistolik yang akhirnya menyebabkan kompensasi aorta (fase I). Kemudian diikuti oleh penurunan venous return dan tekanan darah sistolik sampai dibawah baseline untuk mempertahankan tekanan positif intrathorax (fase II). Pada fase III dan IV terjadi kompensasi sebagai mekanisme fisiologi dalam menurunkan tekanan intrathorax. Kompensasi ini meliputi penurunan tekanan darah sistolik. Suara korotkof merupakan respon dari peningkatan tekanan darah sistolik, hal ini normal terjadi bila dilakukan auskultasi pada arteri brachialis selama fase II dan IV.

Ekshalasi kuat dengan glotis yang tertutup, dapat menyebabkan efek terhadap tekanan darah arteri. Selama regangan yang aktif, aliran darah venous di dalam paru secara temporer terhalang karena peningkatan tekanan intrathorax. Tekanan ini menyebabkan kollaps vena-vena besar di paru. Atrium dan ventrikel menerima lebih sedikit darah, dan menyebabkan penurunan aliran darah systolic dan akhirnya terjadi penurunan cardiac output. Hal ini menurunkan tekanan arteri secara temporer. Hampir secara mendadak setelah periode hipotensi ini, peningkatan arteri terjadi: peningkatan tekanan yang terjadi melampaui angka yang sebenarnya (rebound phenomena). Pada klien dengan hypertensi, reaksi kompensasi dapat mencapai tekanan yang sangat tinggi dan merupakan ancaman bahaya sehingga mengancam ruptur arteri mayor pada otak atau pembuluh darah lain.

Manuver Valsava dilakukan dengan melawan glotis yang tertutup menghasilkan peningkatan tekanan yang drastis dalam rongga toraks, bagian udara sempit dari torso yang membungkus jantung dan paru. Pada ekshalasi normal, diafragma berkontraksi, menekan keluar dan ke rongga toraks, hal ini meningkatkan tekanan dalam rongga dan mendorong udara keluar dari paru, sehingga ketika udara tidak dapat keluar, ketika glotis tertutup dalam valsava maneuver, tekanan terus mengisi rongga toraks sampai diafragma rileks atau udara dilepas keluar. Hal ini menurunkan jumlah aliran darah ke dalam rongga toraks terutama dalam vena yang menuju ke atrium kanan jantung. Aktivitas ini juga meningkatkan tekanan intrakranial sehingga sebaiknya dihindari untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK.

Hal ini dapat meningkatkan tekanan intra-abdominal atau tekanan intra torakal yang menghalangi venous return dari otak dimana dapat meningkatkan TIK. Dan juga meningkatkan transmisi tekanan diantara ruang subarachnoid spinal ke ruang subarachnoid spinal dan melewati vena yang mengokomunikasikan antara pembuluh

35

Page 39: Managemen Terapi1

darah dural dan ruang subarachnoid intrakranial. Venous return dari ruang kranial terhalang yang mengakibatkan peningkatan TIK.

c). Monitor peningkatan TIK (jika ada monitor, ataupun dilihat dari tanda dan gejala yaitu nyeri kepala, mual dan muntah proyektik dan papil edema).

Ruang intracranial yang kaku berisi jaringan otak (1400 g), darah (75 ml) darah otak di suplai dari 3 sumber utama yaitu arteri vertebral, arteri carotis internal, willis circle, dan cairan serebrospinal/CSS (75 ml). volume dan tekanan pada ketiga komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan.

Hipotesa Monro-Kellie menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini menyebabkan perubahan pada volume yang lain, dengan mengubah posisi atau menggeser CSS, meningkatkan absorbsi CSS, atau menurunkan volume darah serebral. Tanpa adanya perubahan , TIK akan meningkat.

Dalam keadaan normal, perubahan ringan pada volume darah dan volume CSS yang konstan. Ketika ada perubahan tekanan intratorakal (seperti batuk, bersin, tegang), perubahan bentuk dan tekanan darah dan fluktuasi kadar gas darah arteri. Keadaan patologis seperti cedera kepala, stroke, radang, tumor otak atau bedah intracranial mengubah hubungan antara volume intracranial dan tekanan.

TIK secara umum dapat disebabkan oleh 4 faktor, yaitu : Peninggian cerebral blood volume. Hal ini dapat disebabkan karena peninggian central

venous pressure dan vasodilatasi serebral. Edema serebri. Hal ini dapat disebabkan karena penurunan tekanan sistemik yang

akan menimbulkan penurunan cerebral perfusion pressure, selanjutnya akan menurunkan cerebral blood flow sehingga menimbulkan hipoksia jaringan otak. Jika hal ini berlanjut akan terjadi kerusakan otak kemudian kerusakan blood brain barrier sehingga edema serebri.

Obstruksi aliran CSS (cairan serebro spinal). Hal ini dapat disebabkan karena efek massa, infeksi, perdarahan trauma, dan lain-lain.

Efek massa. Hal ini dapat menimbulkan desakan dan peregangan mikrovaskuler akibatnya terjadi pergeseran jaringan otak dan kerusakan jaringan.

Peningkatan TIK merupakan kedaruratan yang harus diatasi dengan segera. Ketika tekanan meninggi, subtansi otak ditekan. Fenomena sekunder disebabkan gangguan sirkulasi dan edema yang dapat menyebabkan kematian.

Tujuan memonitor tekanan intrakranial adalah untuk melindungi jaringan otak terhadap pengaruh merusak dari kenaikan tekanan. Dengan demikian kenaikan yang terjadi bisa diketahui sejak dini dan dilakukan langkah untuk menurunkan tekanan hingga aman setidaknya untuk sementara. Koreksi kenaikan tekanan belum berarti menghilangkan penyebab penyakit dasarnya. Hasil terapi belum pasti akan baik bilamana penyebab dasar penyakit tidak dilenyapkan.

Sebagai contoh: Penanggulangan kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi pada hipotensi + vasospasme tidak akan berhasil sempurna bila kedua faktor dasar ini tidak dihilangkan. Sebaliknya bisa terjadi bahwa(karena letaknya), suatu proses belum meningkatkan tekanan intrakranial secara bermakna walaupun disekitarnya telah terjadi edema yang mendorong

36

Page 40: Managemen Terapi1

timbulnya herniasi otak. Ini misalnya terjadi pada tumor/lesi di fossa cerebri media dimana kenaikan tekanan lokal lambat menimbulkan kenaikan tekanan global.

d). Pertahankan oksigenasi yang adekuat (berikan terapi O2, monitor AGD (analisa gas darah), kaji tanda dyspnea dan cyanosis) dan fungsi pernafasan.

Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan terjadi edema otak dan peningkatan TIK.

e). Pertahankan normothermia

Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningkatan suhu tubuh akan muncul akibat dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya yang dapat mengakibatkan peningkatan TIK.

Hipotermia dapat terjadi sebagai akibat dari injuri hipotalamus karena hipotalamus adalah pusat regulasi panas pada otak. Hipertemia pada pasien dengan injuri otak dapat dihubungkan dengan injuri langsung pada hipotalamus atau perdarahan petechia pada hipotalamus atau pons. Hipertemia harus dapat dikontrol karena dapat meningkatkan rata-rata metabolik sel diseluruh tubuh termasuk otak. Konsumsi oksigen mencapai 10% setiap kenaikan 1oC suhu tubuh. Antara 37 oC – 40,5 oC mengakibatkan 35% peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini dapat mengakibatkan iskemik pada otak yang injuri yang nyaris memenuhi kebutuhan ketika suhu tubuh dalam rentang normal.

Salah satu penelitian yang terdiri dari 20 pasien, 10 orang diantaranya mengalami cidera otak akut, ditemukan peningkatan suhu otak yang berhubungan dengan peningkatan TIK yang signifikan (Rossi, Zanier, Mauri, Columbo, & Stocchetti, 2001 dalam AANN, 2008).

4.2 ANALISIS TERAPI MEDIS (OBAT-OBATAN DAN INTERVENSI) SERTA IMPLIKASI KEPERAWATANNYA

4.2.1 Ranitidin 2 x 150 mgA. Farmakologi

Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36–94 mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 6–8 jam.

Ranitidine diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma dicapai 2–3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2 ½–3 jam pada pemberian oral, Ranitidine diekskresi melalui urin.

B. Indikasi

37

Page 41: Managemen Terapi1

Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak lambung aktif, mengurangi gejala refluks esofagitis.

Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak lambung. Pengobatan keadaan hipersekresi patologis (misal : sindroma Zollinger Ellison dan

mastositosis sistemik). Ranitidine injeksi diindikasikan untuk pasien rawat inap di rumah sakit dengan

keadaan hipersekresi patologis atau ulkus 12 jari yang sulit diatasi atau sebagai pengobatan alternatif jangka pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa diberi Ranitidine oral.

C. Dosis Intermittent bolus : 50 mg (2 mL) tiap 6 – 8 jam. Encerkan injeksi 50 mg dalam

larutan NaCl 0,9% atau larutan injeksi i.v. lain yang cocok sampai diperoleh konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/mL (total volume 20 mL). Kecepatan injeksi tidak lebih dari 4 mL/menit (dengan waktu 5 menit).

Intermittent infusion : 50 mg (2 mL) tiap 6 – 8 jam. Encerkan injeksi 50 mg dalam larutan dekstrosa 5% atau larutan i.v. lain yang cocok sampai didapat konsentrasi tidak lebih besar dari 0,5 mg/mL (total volume 100 mL).

Kecepatan infus tidak lebih dari 5 – 7 mL/menit (dengan waktu 15 – 20 menit). Infus kontinyu : 150 mg Ranitidine diencerkan dalam 250 mL dekstrosa atau

larutan i.v. lain yang cocok dan diinfuskan dengan kecepatan 6,25 mg/jam selama 24 jam. Untuk penderita sindrom Zollinger-Ellison atau hipersekretori lain, Ranitidine injeksi harus diencerkan dengan larutan dekstrosa 5% atau larutan i.v. lain yang cocok sehingga diperoleh konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/mL. Kecepatan infus dimulai 1 mg/kg BB/jam dan harus disesuaikan dengan keadaan penderita.

D. Implikasi KeperawatanTujuan dari obat ini adalah untuk mempertahankan pH > 5. Pada cidera kepala

ada beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko iritasi lambung, ulkus lambung dan perdarahan intestinal yang disebut dengan sindrom Cushings ulcer.

Mekanisme terjadinya Cushings ulcer masih dalam perdebatan akan tetapi ada beberapa yang menyatakan bagaimana mekanisme itu terjadi yaitu peningkatan TIK menstimulus nervus vagus (nervus 10) yang berfungsi mengontrol sekresi asam lambung. Saat ada stimulus maka secara otonom menstimulasi sel-sel untuk mensekresi asam lambung yang mengakibatkan berlebihannya asam clorida (HCl). Berlebihannya produksi asam klorida membuat selaput lendir lambung dan duodenum rusak akibat lingkungan yang sangat asam sehingga terjadilah Cushings ulcer.

Area dari lambung yang paling sering terkena Cushings ulcer adalah bagian antrum, bagian distal lambung dan bagian awal dari duodenum. Para neurologist sementara akan menangani peningkatan intrakranial tetap menjaga kemungkinan Cushings ulcer karena ulcer ini kemungkinan perdarahan atau perforasi. Perdarahan akut dari Cushings ulcer dapat menyebabkan hematemesis melena yang biasanya

38

Page 42: Managemen Terapi1

diikuti dengan anemia hipovolemik akut. Perforasi ulkus kedalam rongga peritoneum dapat menyebabkan terjadinya peritonitis.

Peran perawat seharusnya memonitor feses jika terdapat gumpalan darah, penurunan Hb dapat mengakibatkan perdarahan. Dan apabila terdapat gumpalan darah pada feses maka kemungkinan penyebabnya adalah Cushings ulcer sehingga perlu diberikan histamin antagonis lain yang berfungsi menurunkan produksi asam lambung. Peran lainnya yaitu mencegah terjadinya Cushings ulcer dengan memberikan obat kepada pasien dan memonitor serta mengobservasi tanda dan gejala yang ada.

4.2.2 Ceftriaxone 2 x 1 grA. Indikasi

Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.

B. Dosis Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada

infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.

Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari. Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50

mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit.

Lamanya pengobatan Lamanya pengobatan berbeda-beda tergantung dari penyebab penyakit seperti

pengobatan dengan antibiotik pada umumnya, pemberian obat harus diteruskan paling sedikit sampai 48 - 72 jam, setelah penderita bebas panas atau pembasmian kuman tercapai dengan nyata.

C. KelebihanSpektrum aktivitas anti bakterinya luas, mencakup bakteri gram negatif dan

gram positif dengan masa kerja yang panjang dimana efek bakterisidal (membunuh bakteri) dapat bertahan selama 24 jam. Ceftriaxone cepat berdifusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh. Ceftriaxone dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat dicapai kadar obat yang cukup tinggi dalam cairan serebrospinal.

D. Implikasi KeperawatanCeftriaxone bekerja sebagai profilaksis infeksi sehingga dapat meminimalisir kejadian pada pasien. Peran perawat adalah mengobservasi tanda-tanda infeksi baik dari drainase ataupun area luka post op.

39

Page 43: Managemen Terapi1

4.2.3 Ketorolac 3 x 30 mgA. Farmakodinamik

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.

B. FarmakokinetikKetorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian

intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.

C. IndikasiKetorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri

akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.

D. DosisKetorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus

intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi: Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang.

E. Implikasi Keperawatan

40

Page 44: Managemen Terapi1

Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Setelah 5 hari penggunaan sebaiknya menggunakan obat oral karena dapat menyebabkan efek samping. Penggunaan ketorolac pada pasien dengan cidera kepala berfungsi untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK yang diakibatkan karena adanya peningkatan massa diotak sehingga menggeser ruang sub arachnoid (durameter dan arachnoid) dan dimana mekanisme yang terjadi hampir sama dengan mekanisme peningkatan TIK pada umumnya.

Setelah pasien sadar dan dapat diajak berbicara, ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam, guided imagery atapun terapi musik dan distraksi) untuk mengurangi nyeri yang dirasakan sebagai pengganti obat.

4.2.4 Fenitoin 3 x 100 mgA. Cara kerja obat:

Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang. Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22 jam (antara 7-42 jam).

B. Indikasi:Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand

mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”.

C. Implikasi KeperawatanPerubahan struktur dan fisiologis yang menimbulkan kejang paska trauma belum

begitu banyak dipahami, tapi faktor yang menginisiasikannya dan menimbulkan perubahan tersebut sudah diketahui antara lain perubahan struktural, listrik dan biokimia, hipersensitif post sinap, menurunya mekanisme inhibisi, timbunan besi karena perdarahan, faktor genetik dan lain-lain.

Pemeriksaan secara histopatologi dari jaringan otak setelah terjadi trauma memperlihatkan terjadinya suatu gliosis yang reaktif, axon retraction ball , degenerasi Wallerian dan formasi mikroglial dalam lesi dimassa putih. Mekanisme dari patofisiologinya diketahui melalui 2 cara yaitu karena adanya timbunan besi dan terjadi aktifasi dari kaskade asam arakidonat.

Laserasi kortek serebri atau kontusio menyebabkan keluarnya sel darah merah kemudian terjadi hemolisis dan timbunan sel darah merah. Besi dilepaskan dari hemoglobin dan transferin. Besi dan komponen lainnya telah diketahui mempengaruhi peningkatan kalsium didalam sel. Aktifasi kaskade asam arakidonat

41

Page 45: Managemen Terapi1

menimbulkan pembentukan DAG (diacylglycerol) dan IP3 (inositoltidyl phosphytate). Peningkatan IP3 menyebabkan pelepasan kalsium intrasel dan memodifikaski kanal kalsium yang akhirnya akan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam sel dan hal ini menimbulkan kerusakan eksitotoksis dari sel neuron. Sel yang mati dan reaktif gliosis dapat menimbulkan formasi jaringan parut glia, hal ini akan membentuk episenter dari fokus yang hipereksitasi. Focus epileptogenik ini terbentuk kira-kira 8 minggu setelah terjadinya trauma kepala.

Waktu penghentian pengobatan berubah-ubah sesuai keadaan klinis, sampai pasien tidak mengalami kejang lagi. Untuk maintenance dengan obat anti kejang adalah selama 6 bulan atau dapat dilanjutkan sampai 2 tahun. Penurunan dosis obat sering dilakukan oleh banyak dokter dalam waktu yang panjang untuk menghindari terjadinya efek berupa kejang karena penghentian obat yang terlalu cepat.

Setelah pasien pulang dari rumah sakit, anjurkan pasien untuk kontrol ke poli untuk mendapatkan terapi yang sesuai dan pastiny diperlukan feniton/dilantin yang berguna untuk mencegah terjadinya kejang pada pasien dengan trauma kepala.

Pemberian fenitoin dan valproate setelah terjadinya cidera otak telah terbukti dapat mengurangi risiko kejang dini paska trauma tanpa adanya efek gangguan kejang akhir (Chang & Lowenstein, 2003; Schierhout & Roberts, 2001).

Guidelines for the Management of Severe TBI, 3rd Edition merekomendasikan penggunaan antikonvulsan untuk mengurangi kejadian kejang post traumatik pada 7 hari pertama ketika otak sangat rentan terhadap cidera sekunder (Brain Trauma Foundation et al., 2007).

4.2.5 Inhalasi – Ventolin : Bisolvon : NaCl = 1 : 1 : 1Bisolvon

Indikasi:Bekerja sebagai mukolitik untuk meredakan batuk berdahak.

Deskripsi: Bisolvon bekerja dengan mengecerkan sekret pada saluran pernapasan dengan jalan menghilangkan serat-serat mukoprotein dan mukopolisakarida yang terdapat padda spetum sehingga lebih mudah dikeluarkan.

Ventolin

Setiap 1 ampul Ventolin Nebules mengandung salbutamol sulfat 2,5 mg.

Farmakologi (Cara Kerja Obat)Salbutamol adalah obat beta-adrenergik (beta agonist) yang mempunyai aktivitas selektif terhadap reseptor otot bronkial, dan dalam dosis terapi, salbutamol mempunyai efek minimal (atau tidak berefek) terhadap reseptor otot jantung.

IndikasiVentolin tablet dan ventolin sirup diindikasikan untuk mengurangi gejala bronkospasme yang disebabkan oleh asma, bronkitis kronik, dan emfisema.Ventolin sirup adalah terapi oral yang sesuai bagi anak dan dewasa yang lebih

42

Page 46: Managemen Terapi1

menyukai obat sirup.Karena efeknya yang selektif terhadap bronkus, dan efeknya yang minimal pada sistem kardiovaskular,Ventolin oral adalah pilihan yang sesuai untuk mengobati bronkospasme pada pasien yang juga menderita penyakit jantung dan hipertensi.

4.2.6 Manitol 4 x 25 mgA. Pendahuluan

Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic. Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus menjadi menjadi meningkat karena Natrium lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion didalam urine dan darah.

Ada beberapa jenis Diuretik, yang sudah dikenal dan sering digunakan dalam pengobatan klien dengan masalah gangguan cairan dan elektrolit. Jenis-jenis tersebut adalah Penghambat Karbonik Anhidrase, Diuretik Kuat (loop Diuretik), Diuretik Tiazid, Diuretik Hemat Kalium, Antagonis ADH dan Diuretik Osmotik ( Mary J Mycek, 2001), (Harian E. Ives & David G Warnock dalam Bertram G. Katzung 2004).

Hal tersebut diatas sesuai dengan jurnal Brain Trauma Foundation et al., 2007, yang menyebutkan bahwa manitol efektif untuk mengontrol tekanan TIK pada dosis 0,25 g/Kg BB – 1 g/Kg BB.

B. Diuretik OsmotikIstilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah

dan cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila memenuhi 4 syarat: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus. (2) tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal. (3) secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic (Sunaryo dalam Sulistia (editor), 2005). Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma, filtrate glomerulus dan cairan tubuli.

Diuretik Osmotik (manitol) adalah Diuretik yang digunakan dan mempuyai efek meningkatkan produksi urin, dengan cara meningkatkan tekanan osmotic di Filtrasi Glomerulus dan tubulus. Mencegah tubulus mereabsorbsi air. Tubulus proksimal dan

43

Page 47: Managemen Terapi1

ansa henle desenden sangat permeable terhadap reabsobsi air. Diuretik osmotik yang tidak ditransportasi menyebabkan air dipertahankan disegmen ini, yang dapat menimbulkan diuresis air. Contoh lain dari Golongan obat anti DIuretik osmotic adalah: uera, gliserin, isosorbit.

Pada gangguan Neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis Diuretik yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang digunakan dengan segera meningkat Volume plasma untuk meningkatkan aliran darah otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M, 2005). Ini merupakan salah satu alasan Manitol sampai saat ini masih digunakan untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tenanan intra cranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi Oedema Otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi (Mariannne Chulay, 2006). Manitol masih merupakan obat Magic untuk menurunkan tekanan intra cranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana mestinya (A.Vincent Tahmburaj,Dr, 2005). Bila tidak semestinya akan menimbulkan Toksisitas dari pemberian Manitol, dan hal ini harus dicegah dan dimonitor. Selain itu Manitol merupakan obat pilihan untuk mengurangi tekanan intraokuler. Manitol sering juga digunakan pada kegagalan ginjal akut Oligurie, karena syok, keracunan obat dan trauma.

C. FarmakokinetikManitol tidak dimetabolisme terutama oleh Glomerulus Filtrasi, sedikit atau

tampa mengalami reabsobsi dan sekresi di tubulus atau bahkan praktis dianggap tidak direabsrbsi. (Sunaryo dalam Sulistia (editor), 2005). Manitol meningkatkan tekanan Osmotik pada Glomerulus Filtrasi dan mencegah tubulus mereabsorbsi air dan sodium. Sehingga Manitol paling sering digunakan diantara obat ini. Sesuai dengan definisi, diuretic osmotic absobsinya jelek bila diberikan peroral, yang berarti bahwa obat ini harus diberikan secara parenteral. Manitol diekresikan melalui Filtrasi Glomerulus dalam waktu 30 – 60 menit setelah pemberian. Efek yang segera dirasakan klien adalah peningkatan jumlah urine. Bila diberikan peroral manitol menyebabkan diare Osmotik. Karena Efek ini maka Manitol dapat juga digunakan untuk meningkatkan efek pengikatan K+ dan resin atau menghilangkan bahan-bahan toksin dari saluran cerna yang berhubungan dengan zat arang aktif.

D. Farmakodinamik.Diuretik Osmotik (Manitol) mempunyai tempat utama yaitu: pada Tubulus

Proksimal, Ansa Henle dan Duktus kolingens (Sunaryo,2005). Diuresis osmotic digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di jaringan (intra sel) otak . diuretic osmotic yang tetap berada dalam kompartemen intravaskuler efektif dalam mengurangi pembengkakan otak (Ellen Barker. 2002).

Manitol adalah larutan Hiperosmolar yang digunakan untuk terapi meningkatkan osmolalitas serum .(Ellen Barker. 2002). Dengan alasan fisiologis ini, Cara kerja Diuretic Osmotik (Manitol) ialah meningkatkan Osmolalitas Plasma dan menarik

44

Page 48: Managemen Terapi1

cairan normal dari dalam sel otak yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang olmolar tinggi, untuk menurunkan oedema Otak. Pada sistim Ginjal bekerja membatasi reabsobsi air terutama pada segmen dimana nefron sangat permeable terhadap air, yaitu tubulus proksimal dan ansa henle desenden. Adanya bahan yang tidak dapat direbasobsi air normal dengan masukkan tekanan osmotic yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urine meningkat bersamaan dengan ekskresi manitiol. Peningkatan dalam laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan dan epitel tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. namun demikian, natriureis yang terjadi kurang berarti dibandingkan dengan diureisi air, yang mungkin menyebabkan Hipernatremia. Karena diuretic Osmotik untuk meningkatkan ekskresi air dari pada ekskresi natrium, maka obat ini tidak digunakan untuk mengobati Retensi Na+.(Mary J Mycek, 2001). Manitol mempuyai efek meningkatkan ekskresi sodium, air, potassium dan chloride, dan juga elekterolit lainnya. (Mariannne Chulay, 2006).

Pemberian Manitol untuk menurunkan Tekanan Intra cranial masih terus dipelajari dan merupakan objek penelitian, untuk mengetahui efek, mekanisme kerja dan efektifitas secara klinis manitol untuk menurunkan PTIK. Telah diketahui pemberian manitol banyak mekanisme aksi yang terjadi pada sistim sirkulasi dan darah dalam mengatur haemostasis dan haemodinamik tubuh, sehingga menjadi obat pilihan dalam menurunkan Peningkatan tekanan intra cranial. Berdasarkan Farmakokinetik dan farmakodimik diketahui beberapa mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah segagai berikut:1. Menurunkan Viskositas darah dengan mengurangi haematokrit, yang penting

untuk mengurangi tahanan pada pembuluh darah otak dan meningkatkan aliran darahj keotak, yang diikuti dengan cepat vasokontriksi dari pembuluh darah arteriola dan menurunkan volume darah otak. Efek ini terjadi dengan cepat (menit).

2. Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air dalam jaringan otak yang mengalami injuri, manitol menurunkan kandungan air pada bagian otak yang yang tidak mengalami injuri, yang mana bisa memberikan ruangan lebih untuk bagian otak yang injuri untuk pembengkakan (membesar).

3. Cepatnya pemberian dengan Bolus intravena lebih efektif dari pada infuse lambat dalam menurunkan Peningkatan Tekanan intra cranial.

4. Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa menimbulkan gagal ginjal. Ini dikarenakan efek osmolalitas yang segera merangsang aktivitas tubulus dalam mensekresi urine dan dapat menurunkan sirkulasi ginjal.

5. Pemberian Manitol bersama Lasik (Furosemid) mengalami efek yang sinergis dalam menurunkan PTIK. Respon paling baik akan terjadi jika Manitol diberikan 15 menit sebelum Lasik diberikan. Hal ini harus diikuti dengan perawatan managemen status volume cairan dan elektrolit selama terapi Diuretik.

E. Indikasi dan Dosis pada terapi menurunkan Tekanan Intra Kranial.Indikasi.

45

Page 49: Managemen Terapi1

Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intra cranial dimulai bila mana tekanan Intra cranial 20-25 mmHg (Dea Mahanes dalam Mariannne Chulay, 2006). Managemen Penatalaksanaan Peningkatan tekanan Intra cranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik OSMOTIK (Manitol), khususnya pada keadaan patologis oedema otak. Tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan Tumor Otak. Seperti yang telah dijelaskan diatas, Diuretik Osmotik (Manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih dari kation total tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.

Dosis. Untuk menurunkan tekanan Intra cranial, dosis Manitol 0.25 – 1 gram/kg Berat Badan diberikan bolus intra vena (Dea Mahanes dalam Mariannne Chulay, 2006). Atau dosis tersebut diberikan intra vena selama lebih dari 10 – 15 menit. (Hudac & Gallo, 2005). Manitol dapat juga diberikan/dicampur dalam larutan Infus 1.5 – 2 gram/Kg BB sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit (sunaryo, 2005). Manitol diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 – 320 mOsm/L (Richard B. Arbour dalam Ignativicius. 2006). Osmolalitas serum seringkali dipertahankan antara 290 – 310 mOsm (Hudac & Gallo, 2005). Tekanan Intra cranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 – 90 menit, karena efek manitol dimulai setelah 0.5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama klien mendapatkan Manitol.

Sedian Obat: Manitol produksi otsuka, Larutan Injeksi 20% dalam 250 ml atau 500 ml (MIMS petunjuk konsultasi, 2005/2006. halaman 149)

F. Implikasi KeperawatanImplikasi keperawatan diberikannya Manitol yaitu sesuai dengan

intervensi/tindakan keperawatan yang terdapat pada diagnosa risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral yaitu dengan monitoring TIK. Manitol merupakan diuresis osmotik yang digunakan untuk menurunkan kandungan cairan pada otak yang tidak mengalami injuri (menurunkan cairan ekstraseluler dan edema serebral) sehingga dapat meminimalisir terjadinya peningkatan TIK yang berdampak terhadap CPP dan CBV.

Peran perawat yang sangat penting yaitu memperhatikan secara serius, pemberian manitol bila Osmolalitas lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi dapat terjadi dengan pemberian Manitol dalam jumlah dosis yang banyak sehingga perlu kontrol intake dan output secara ketat (balance cairan). Foley catheter harus dipasang selama klien mendapat terapi manitol yang bertujuan unuk memonitor keesimbangan cairan (intake dan output) dan diuresis. Dehidrasi adalah manisfestasi dari peningkatan sodium serum dan nilai osmolalitas. Tekanan darah dan juga elektrolit perlu dikontrol secara ketat karena satu bahaya yang berhubungan dengan diuresis adalah hipotensi yang dapat menyebabkan hipoperfusi serebral dan iskemik.

46

Page 50: Managemen Terapi1

4.2.7 Paracetamol 3 x 500 mg n.p.oA. Farmakologi

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana, 1995). Efek analgetik Paracetamol dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol menghilangkan nyeri, baik secara sentral maupun secara perifer. Secara sentral diduga Paracetamol bekerja pada hipotalamus sedangkan secara perifer, menghambat pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi, mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi. Efek antipiretik dapat menurunkan suhu demam. Pada keadaan demam, diduga termostat di hipotalamus terganggu sehingga suhu badan lebih tinggi (Zubaidi, 1980).

Paracetamol bekerja dengan mengembalikan fungsi termostat ke keadaan normal. Pembentukan panas tidak dihambat tetapi hilangnya panas dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke perifer dan pengeluaran keringat. Efek penurunan suhu demam diduga terjadi karena penghambatan terbentuknya prostaglandin (Zubaidi, 1980).

Senyawa Paracetamol memiliki waktu paruh 1 – 3 jam, dan tidak menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atau gangguan asam basa seperti asam asetilsalisilat, tetapi mempunyai bentuk toksisitas hepatik sedang sampai berat. (Andrianto.P., 1985).

B. Implikasi KeperawatanHipotermia dapat terjadi sebagai akibat dari injuri hipotalamus karena

hipotalamus adalah pusat regulasi panas pada otak. Hipertemia pada pasien dengan injuri otak dapat dihubungkan dengan injuri langsung pada hipotalamus atau perdarahan petechia pada hipotalamus atau pons. Hipertemia harus dapat dikontrol karena dapat meningkatkan rata-rata metabolik sel diseluruh tubuh termasuk otak. Konsumsi oksigen mencapai 10% setiap kenaikan 1oC suhu tubuh. Antara 37 oC – 40,5 oC mengakibatkan 35% peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini dapat mengakibatkan iskemik pada otak yang injuri yang nyaris memenuhi kebutuhan ketika suhu tubuh dalam rentang normal.

Peran perawat adalah mencegah terjadinya hipertemia yang dapat mengakibatkan peningkatan TIK. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya hipertemia yaitu dengan menggunakan tepid sponge (kompres), area kepala menggunakan air dingin dan kompres alkohol jika pada anak-anak. Akan tetapi perawat jarang untuk memberikan kompres kepada pasien jika terjadi hipertemia, perawat lebih memilih untuk memberikan analgesik sebagai tindakan keperawatan.

Analgesik jika dikombinasikan dengna tepid sponge maka akan memberikan impact yang cukup signifikan terhadap penurunan suhu tubuh pasien sehingga tidak terjadi iskemik yang mengakibatkan bertambahnya konsumsi oksigen 10%.

4.3 REFLEKSI PROSES PEMBERIAN TERAPI DAN REKOMENDASI

47

Page 51: Managemen Terapi1

Dalam pemberian terapi keperawatan elevasi kepala hingga sudut 30o dan menjaga leher dalam posisi netral (kepala sejajar bahu diganjal bantal) telah dilakukan oleh perawat ruangan dan mahasiswa dan juga handrail juga terpasang untuk mencegah pasien jatuh dari tempat tidurnya. Semua intervensi keperawatan telah dilakukan dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

AANN (American Association of Neuroscience Nurses). (2008). Nursing management of adults with severe traumatic brain injury. AANN clinical practice guidelines series. the Defense and Veterans Brain Injury Center. Lake Avenues. Available at www.aann.org.

American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam: Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004.

48

Page 52: Managemen Terapi1

Barker E. (2002). Neuroscience Nursing, a spectrum of care. Second Edition, Mosby.

Black, Joyce M.& Hawks JH; (2005), Medical Surgical Nursing; Clinical Management For Positive Outcomes. Volume 2, 7th edition. Elsevier Saunders.

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org [diakses 19 Juni 2008]

Brain Trauma Foundation, American Association of Neurological Surgeons, & Congress of Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care, AANS/CNS. (2007). Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury: 3rd Edition. Journal of Neurotrauma, 24(Suppl. 1).

Brunner & Suddarth; (2004). Teksbook Of Medical-Surgical Nursing, 10th edition. Lippincott-Raven Publisher.

Chang, B., & Lowenstein, D. (2003). Practice parameter: Antiepileptic drug prophylaxis in severe traumatic brain injury: Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology, 60(1).

Fan, J. (2004). Effect of backrest position on intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in individuals with brain injury: A systematic review. Journal of Neuroscience Nursing, 36(5).

Hanif G Tobing (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM. Jakarta : Sagung Seto.

Hickey JV. (2003). Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins,.

http://www.skeptcfiles.org/md001/osmoyic.htm. Laura Ibsen. Cerebral Resusitation and Increased Intracranial Pressure. Akses tanggal 12 februari 2012.

http://www.skeptcfiles.org/md001/osmoyic.htm. Osmotic Diuretics Mechanisms osmotic agents shift water between comprtements because th. akses tanggal 12 februari 2012.

Hudak & Gallo; (2005). Critical Care Nursing; A Holistic Aproach. 8/E J-B Lippincott Company.

Ignativicius & Workman (2006): Medical Surgical Nursing: Critical Thingking For Collaborative Care. Volume 1, 5th edition. Elsevier Saunders

Katzung B, (2004): Basic and Clinical Pharmakology, 9Th edition,. Prentice Hall.

Mariannne Chulay, Suzanne M. Burns, (2006): AACN Essentials of Critical Care Nursing. International Edition. By Mc Graw Hill.

Mary J Mycek, et all (2001); Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 3th edition, by Limppincott.

49

Page 53: Managemen Terapi1

Muttaqin A. (2008). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Salemba Medika.

Price & Wilson: (2002). Pathophyiology: Clinical Concepts of Disease Processes. 6th edition. Elsevier Saunders.

Rossi, S., Zanier, E., Mauri, I., Columbo, A., & Stocchetti, N. (2001). Brain temperature, core temperature, and intracranial pressure in acute cerebral damage. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry, 71(4), 448-454.

Smelthzer, Suzanne C Brenda G Bare, ( 2001 ), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddart, Edisi 8, Jakarta : EGC

Sulistia dkk (editor), (2005). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Penerbit Gaya Baru. jakarta.

Tahmburaj AV, (2005). Intracranial Pressure. http://www.thamburaj.com/intracranial pressure. akses tangal 12 Februari 2012.

50

Page 54: Managemen Terapi1

51