Makalah THT

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang, rhinitis atrofi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis. Rhinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rhinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rhinitis kering, rhinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung. 3 Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. 3 Menurut Boies, frekuensi penderita rhinitis atrofi pada wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 1 Rhinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan, 1

Transcript of Makalah THT

Page 1: Makalah THT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rhinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa

sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang,

rhinitis atrofi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan

medis. Rhinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rhinitis

atrofi juga dikenal sebagai suatu rhinitis kering, rhinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal

dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.3

Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu

penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rhinitis atrofi, foetor

ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang

sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang

perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.3

Menurut Boies, frekuensi penderita rhinitis atrofi pada wanita : laki adalah 3 : 1.

Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas.

Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan

yang buruk dan di negara sedang berkembang.1

Rhinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum

dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku.

Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan

gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan

operasi. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai rhinitis atrofi. 3

1.2. Batasan Masalah

1. Apakah definisi dari rhinitis atrofi (ozaena) ?

2. Bagaimana patofisiologi dan gejala klinis dari rhinitis atrofi (ozaena) ?

3. Bagaimana cara mendiagnosa rhinitis atrofi (ozaena) ?

4. Bagaimana penatalaksanaan rhinitis atrofi (ozaena) ?

5. Bagaimana prognosis dari rhinitis atrofi (ozaena) ?

1

Page 2: Makalah THT

1.3. Tujuan

1. Pembaca dapat memahami definisi, patofisiologi, gejala klinis, cara mendiagnosa,

penatalaksanaan, dan prognosis dari rhinitis atrofi (ozaena).

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah kedokteran.

3. Memenuhi tugas makalah pada SMF Ilmu Penyakit THT RSUD dr. Moh. Saleh

Probolinggo.

2

Page 3: Makalah THT

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Hidung

Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari

biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan

yang tidak menguntungkan.[8]

1. Hidung Luar[9],[13]

Bentuk hidung luar seperti piramid. Bagian puncak hidung disebut apeks. Agak ke

atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai

ke belakang ke pangkal hidung dan menyatu ke dahi (lihat gambar 1). Yang disebut

kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan

terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik  pertemuan kolumela dengan bibir atas

dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal

memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kanan dan kiri kolumela adalah

nares anterior atau nostril kanan dan kiri, sebelah latero superior dibatasi oleh ala nasi dan

di sebelah inferior oleh dasar hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan

tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi

untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Gambar 1 : Anatomi Hidung Luar[13]

3

Page 4: Makalah THT

Kerangka tulang terdiri dari : (lihat gambar 2)

1. Sepasang os nasalis

2. Prosesus frontalis os maksila

3. Prosesus nasalis os frontal

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari :

1. Sepasang kartilago nasalis lateral superior 

2. Sepasang kartilago nasalis lateral inferior 

3. Beberapa pasang kartilago ala minor 

4. Kartilago septum

Gambar 2 : Kerangka Tulang dan Kartilago Hidung.

A) Tampak Lateral, B) Tampak Basal[13]

Kerangka tulang dan kartilago dari hidung ditutupi oleh otot-otot yang dapat

menggerakkan ala nasi, otot-otot tersebut antara lain :

1. M. proserus

2. M. dilator nares

3. M. levator labii superior 

4. M. nasalis

5. M. depresor septi

4

Page 5: Makalah THT

2. Hidung Dalam[9],[13]

Hidung dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap

kavum nasi tersebut dihubungkan dengan dunia luar melalui nares anterior dan

dihubungkan dengan nasofaring melalui nares posterior (koana). Hidung bagian dalam

terdiri dari :

a. Vestibulum

Terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrissae. 

b. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yang membagi kavum nasi

menjadi kavum nasi kanan dan kiri (lihat gambar 3).

Bagian tulang terdiri dari :

- Lamina perpendikularis os etmoid

- Os vomer 

- Krista nasalis os. Maksila

- Krista nasalis os. Palatine

Bagian tulang rawan terdiri dari :

- Kartilago septum (lamina kuadraangularis)

- Kolumela

Gambar 3: Anatomi Septum Nasi[13]

5

Page 6: Makalah THT

c. Kavum Nasi

1) Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os. Maksila dan prosesus horizontal

os. Palatum.

2) Atap hidung

Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus nasalis os.

Maksila, korpus os. Etmoid dan korpus os. Sphenoid. Sebagian besar atap hidung

dibentuk oleh lamina kribrosa yang didahului oleh filament-filamen n. olfaktorius

yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian

teratas septum nasi dan permukaan cranial konka superior.

3) Dinding lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os.Maksila, os.

Lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis,

os.Palatum dan lamina pterigodeus medial.

4) Konka

Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Dari bawah ke atas yaitu konka

inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema ini

biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada

os. Maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media dan superior merupakan

bagian dari labirin etmoid.

5) Meatus nasi

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus (lihat gambar 4). Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan

dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, dimana pada meatus ini terdapat

muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara konka media dan

dinding lateral rongga hidung, di meatus ini terdapat muara sinus maksila, sinus

frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang

antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

sinus sphenoid.

6

Page 7: Makalah THT

6) Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Gambar 4 : Struktur Dinding Lateral Hidung[13]

3. Sinus Paranasalis[9]

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri bervariasi. Sinus-

sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang

sesuai yaitu sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis, dan etmoidalis (lihat gambar 5).

Yang terakhir biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan

posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam

hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami

modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam

rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.

Sinus maksilaris rudimenter atau antrum umumnya telah ditemukan pada saat

lahir. Sinus paranasalis lainnya timbl pada anak-anak dalam tulang wajah. Tulang-

tulang ini bertumbuh melebihi kranium yang menyangganya. Dengan teresorpsinya

bagian tengah yang keras, maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam

rongga yang baru terbentuk.

7

Page 8: Makalah THT

Gambar 5 : Anatomi Hidung (atas) dan Sinus Paranasal Bawah[14]

2.2. Vaskularisasi Hidung[13]

1. Sistem karotis interna

a. Arteri etmoidalis anterior  

b. Arteri etmoidalis posterior

Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika.

2. Sistem karotis eksterna

a. Arteri spenopalatina (cabang arteri maksilaris). 

b. Arteri palatina mayor cabang septum (cabang dari arteri maksilaris).

c. Arteri labialis superior cabang septum (cabang dari arteri fasialis).

 

Dinding Lateral

1. Sistem karotis interna

a. Arteri etmoidalis anterior  

b. Arteri etmoidalis posterior

Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika.

8

Page 9: Makalah THT

2. Sistem karotis eksterna

a. Arteri spenopalatina 

b. Arteri palatina mayor dari arteri maksilaris

c. Arteri maksilaris cabang infraorbital

d. Cabang arteri fasialis

Gambar 6 : Perdarahan Septum Nasi[13]

Gambar 7 : Perdarahan Dinding Lateral Hidung[13]

9

Page 10: Makalah THT

Pada bagian bawah depan dari septum terdapat anastomosis dari empat jenis arteri

yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri laibialis superior, arteri sfenopalatina, arteri palatina

mayor, yang membentuk plexus Kiesselbach (Little’s Area). Area ini mudah berdarah

oleh trauma dan merupakan lokasi biasa terjadinya epistaksis pada anak-anak dan dewasa

muda.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena

ophtalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

2.3. Sistem Limfatik[8]

Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan

posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh

fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung

—vestibulum dan daerah prekonka.

Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan

ketiga saluran utama di daerah hidung belakang—saluran superior, media dan inferior.

Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung

yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius dan bermuara pada kelenjar limfe

retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka

inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe

jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan

menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.

2.4. Persarafan Hidung[13]

1. Saraf motorik 

Untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar mendapat persarafan dari cabang

nervus fasialis.

2. Saraf sensoris

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior, merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari

10

Page 11: Makalah THT

nervus ophtalmika (N. V-I). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.

3. Saraf otonom

Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut

parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di

belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

4. Nervus olfaktorius (penciuman) 

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribriformis dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor  penghidu pada mukosa

olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (gambar 8).

Gambar 8: Persarafan Hidung[13]

2.5. Histologi Hidung[13]

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung

dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudostratified

columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi

oleh palut lendir pada permukaannya.

11

Page 12: Makalah THT

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.

Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke

arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk kedalam rongga hidung.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,

kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

2.6. Fisiologi Hidung[10],[13]

Fungsi hidung ialah :

1. Sebagai jalan nafas, untuk mengatur keluar masuknya udara.

2. Pengatur kondisi udara (Air Conditioning), perlu untuk mempersiapkan udara yang

akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur

kelembaban udara dan mengatur suhu.

3. Sebagai penyaring dan pelindung, ini berguna untuk membersihkan udara yang masuk

dari debu dan bakteri.

4. Indera pencium dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka

superior dan sepertiga atas septum.

5. Resonansi suara, penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

6. Proses bicara, hidung membantu proses pembentukan kata-kata.

7. Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler, pernafasan.

2.7. Definisi[6],[10]

Rhinitis atrofi (ozaena) merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh

adanya atrofi progresif pada mukosa dan dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung

12

Page 13: Makalah THT

menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang

berbau busuk (lihat gambar 9).

Gambar 9 : Rhinitis Atrofi[12]

2.8. Epidemiologi

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang.

Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas

seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari

kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi

pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan pertama

kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875. Penyakit ini paling sering

menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini

dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal).[3]

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika

Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak

Perang Dunia II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam dalam

insidens ozaena.[8]

2.9. Etiologi[10]

Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis atrofi dikemukakan, antara

lain:

a. Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella,

terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan adalah

Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa

13

Page 14: Makalah THT

b. Defisiensi Fe

c. Defisiensi vitamin A

d. Sinusitis kronik

e. Kelainan hormonal

f. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor penyebab.

2.10. Klasifikasi[3]

Rhinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson

(1875) sebagai berikut:

1. Rhinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah

ditangani dengan irigasi.

2. Rhinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.

3. Rhinitis atrofi berat, misalnya rhinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh

rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan atas:

1. Rhinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rhinitis atrofi yang didiagnosis

pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.

Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.

2. Rhinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara

berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta

penyakit granuloma dan infeksi.

2.11. Patologi dan Patogenesis[5],[7]

Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik

dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam

jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh

karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :

1. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi

kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

2. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan

berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.

14

Page 15: Makalah THT

Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang

menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.

Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta

tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga

dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang

berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama

menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.

Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus

clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan

menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung

dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel,

membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

2.12. Gejala Klinis[4]

Adapun gejala klinis dari rhinitis atrofi ini yang sering dikeluhkan oleh

penderita rhinitis atrofi (ozaena) adalah :

Hidung tersumbat

Sakit kepala atau nyeri pada wajah

Adanya sekret hijau kental serta krusta (kerak) berwarna kuning kehijauan atau

kadang-kadang dapat berwarna hitam dan berbau busuk

Hidung terasa kering dan epistaksis (hidung berdarah)

Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau

(sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi orang di sekitar penderita yang

biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri tidak merasakannya

karena hiposmia atau anosmia.

Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak

tahan udara dingin. 

Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang

makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang

mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa

hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambarannya.

Kadang kala penderita mengeluhkan gangguan pada telinga, ini terjadi karena

kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel

nasofaring dan laring, Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius,

15

Page 16: Makalah THT

berakibat efusi telinga kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak

diharapkan pada apparatus lakrimalis, termasuk keratitis sikka.

Secara klinis, Sutomo dan Samsudin membagi rinitis atrofi dalam tiga tingkatan yaitu:

1. Tingkat I  : atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta

sedikit.

2. Tingkat II : atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering, warna makin

pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

3. Tingkat III : atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,

rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat

anosmia yang jelas.

2.13. Diagnosis

Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi (ozaena) dilakukan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

A. Anamnesa

Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau

(sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau,

gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung tersumbat.[11]

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan

media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna hijau.[10]

C. Pemeriksaan Penunjang[1],[2],[4],[11]

Dapat dilakukan transiluminasi

Pemeriksaan darah rutin dan Fe serum, kultur dan uji sensitifitas sekret hidung, uji

serologis (VDRL) untuk menyingkirkan sifilis, uji mantoux dan foto toraks PA

apabila rhinitis atrofi diduga berhubungan dengan tuberkulosis, foto rontgen dan

CT-scan sinus paranasal dan pemeriksaan biopsi hidung. 

Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan rongga hidung

yang lapang.

Pada CT scan sinus paranasal terdapat gambaran penebalan dari mukosa sinus

paranasal, hilangnya kompleks osteo meatal akibat destruksi bulla etmoid dan

16

Page 17: Makalah THT

prosesus unsinatus, hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran dari rongga hidung

dengan destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior dan

konka media (lihat gambar 10).

Gambar 10 : CT Scan Rhinitis Atrofi (Ozaena)[4]

Dari pemeriksaan histopatologi terlihat :[2]

Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

Silia hidung. Silia akan menghilang.

Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia

menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau

jumlahnya berkurang.

2.14. Diagnosis Banding[4]

a. Rhinitis tuberkulosis

Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang

rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat

sekret mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret

hidung.

b. Rhinitis sifilis

17

Page 18: Makalah THT

Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rhinitis sifilis yang

primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada mukosa. Pada rhinitis sifilis

tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang terutama mengenai septum nasi dan

dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret

mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan

mikrobiologik dan biopsi.

c. Rhinitis lepra

Penyebab rinitis lepra adalah Microbacterium leprae. Lesi pada hidung sering terlihat

pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat oleh karena pembentukan

krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung terlihat pucat. Apabila infeksi

berlanjut dapat menyebabkan perforasi septum.

d. Rhinitis sika

Pada rhinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum

dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien biasanya

mengeluh rasa iritasi atau rasa kering yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis.

Penyakit ini biasa ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di

lingkungan yang berdebu, panas dan kering.

2.15. Komplikasi[4]

Perforasi septum dan hidung pelana

Pada kasus yang parah dan tidak diterapi, dapat menyebabkan komplikasi berupa

destruksi dari tulang dan tulang rawan hidung yang mengakibatkan perforasi septum

dan hidung pelana.

Faringitis atrofi

Hal ini biasanya terjadi bersamaan dengan rinitis atrofi dimana terdapat mukosa faring

yang kering. Krusta yang lepas dapat menyebabkan episoda batuk seperti tercekik.

Miasis nasi

Merupakan komplikasi yang jarang ditemui, terutama pada pasien dengan sosio

ekonomi yang rendah dimana bau busuk tersebut menarik lalat dari genus Chrysomia

(C. Bezianna vilteneauve). Lalat ini meletakkan telurnya yang kemudian menetas

18

Page 19: Makalah THT

menjadi magot. Puluhan sampai ratusan magot dapat memenuhi rongga hidung dimana

mereka makan dari mukosa sampai tulang hidung. Mereka membuat terowongan di

jaringan lunak hidung, sinus paranasal, nasofaring, dinding faring jaringan orbita,

lakrimal, sampai dasar tengkorak yang dapat menyebabkan meningitis dan kematian.

2.16. Penatalaksanaan[3],[6],[10],[11]

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang

baku. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.

Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif.

Pengobatan konservatif dapat diberikan secara topikal dan sistemik :

Terapi topikal

Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi

nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai

suatu terapi yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah

terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe

dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukkan akan

kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.

Adapun bahan-bahan itu antara lain :

1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan

R/ NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa9

Aqua ad 300 cc

1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

2. Larutan garam dapur

3. Campuran

R/ Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan

menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,

dilakukan 2 kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan

19

Page 20: Makalah THT

minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rhinitis

atrofi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rhinitis atrofi dengan irigasi nasal tidak

berfungsi untuk menghilangkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit

hingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidakpatuhan dalam melanjutkan terapi

biasnya berdampak dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.

Terapi sistemik

Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang

biasa digunakan ialah :

1. Antibiotik berspektrum luas atau sesuai uji resistensi kuman sampai gejala hilang,

dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir

merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik

aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali

cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun

pemakaian.

2. Vitamin A 3 x 50.000 U dan preparat Fe selama 2 minggu.

3. Pengobatan sinusitis, bila terdapat sinusitis.

Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal,

pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang

muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah

pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan

terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain

denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :[7]

1. Operasi Young

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan

penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung

bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

2. Operasi Young yang dimodifikasi

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3. Operasi Lautenschlager

20

Page 21: Makalah THT

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian

dipindahkan ke lubang hidung (lihat gambar 11).

Gambar 11 : Operasi Lautenschlager[13]

4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti

teflon, campuran triosite dan lem fibrin (lihat gambar 12).

Gambar 12 : Implantasi Submukosa[4]

21

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

QuickTime™ and a decompressor

are needed to see this picture.

Page 22: Makalah THT

5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan

membasahi mukosa hidung.

Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain :

1. Simpatektomi servikal

2. Blokade ganglion Stellata

3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada

penderita rhinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat

dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung

sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun.

2.17. Prognosis[3],[4]

Penyakit ini dapat menetap bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk sembuh

spontan pada usia pertengahan. Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan

keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus

menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

22

Page 23: Makalah THT

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Rhinitis atrofi termasuk penyakit hidung kronik yang etiologi pastinya belum jelas.

Penyebab terseringnya adalah infeksi Klebsiella ozaena, penjalaran dari infeksi lokal

setempat, efek lanjut dari tindakan intervensi bedah, efek radiasi, trauma,defisiensi

vitamin A, defisiensi Fe, dan bahkan ada yang mengatakan karena pengaruh genetik.

Penyakit ini juga lebih sering terjadi pada wanita usia pubertas dibanding pada pria.

2. Patofisiologi rhinitis atrofi bermula dari adanya etiologi yang telah disebutkan diatas.

Jika hal-hal tersebut terjadi lama (tidak kunjung sembuh) maka akan menimbulkan

peradangan kronis yang membuat perubahan pada struktur anatomi dan fungsi dari

hidung. Diantaranya epitel menjadi menipis dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa

mengalami atrofi.

3. Gejala klinik yang membuat pasien datang ke dokter adalah karena adanya foetor ex

nasi (bau busuk dari dalam hidung) yang hanya dirasakan oleh orang sekitar  penderita,

tetapi penderita sendiri tidak merasakannya. Selain itu juga didapatkan gejala hidung

tersumbat, gangguan penghidu, epistaksis, dan cefalgia.

4. Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi, pemeriksaan yang paling pertama kita

lakukan adalah pemeriksaan anamnesis. Setelah pemeriksaan anamnesis, kita masuk ke

pemeriksaan fisik, dimana pada pemeriksaan hidung ditemukan adanya rongga hidung

yang sangat lapang, banyak krusta, dan jika krusta tersebut diangkat maka akan ada

perdarahan (epistaksis), konkha media dan inferior mengalami atrofi, dan terdapat

gangguan penghidu. Selain pemeriksaan fisik, terdapat juga pemeriksaan penunjang

lain seperti CT-Scan.

5. Diagnosis banding dari rhinitis atrofi ini adalah rhinitis kronik tuberkulosa dan rhinitis

kronik sifilis. Dimana diagnosisnya harus dapat dibedakan dari rhinitis atrofi.

Komplikasi yang timbul dapat berupa Perforasi Septum, Faringitis, Sinusitis,

HidungPelana dan Miasis Hidung.

23

Page 24: Makalah THT

6. Pengobatannya terdiri dari menghilangkan krusta, membilas hidung secara teratur

dengan larutan garam fisiologis dan bila perlu memberikan antibiotika agak lama

dengan dosis yang adekuat. Bila dengan cara ini tidak menolong secara tuntas, barulah

diperlukan tindakan bedah untuk menyempitkan rongga hidung. Dan

untuk  prognosisnya tergantung pada penatalaksanaan yang tepat terhadap pasien dapat

diberikan secara konservatif dan pembedahan.

24

Page 25: Makalah THT

DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin, T. 2009. Rinitis Atrofi (Ozaena). Tersedia di:

http://tht-fkunram.blogspot.com/2009/02/rinitis-atrofi-ozaena.html, diakses pada tanggal

26 Maret 2013, pukul 14.34 WIB.

2. Kartikawati, H. 2007. Ozaena (Rinitis Atrofi). Tersedia di:

http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/ozaena-rinitis-atrofi/, diakses pada

tanggal 26 Maret 2013, pukul 14.35 WIB.

3. Rizsa. 2008. Ozaena (Rhinitis Atrofi). Tersedia di:

http://rizsa82.wordpress.com/2008/07/19/ozaena-rhinitis-atrofi/, diakses pada tanggal 26

Maret 2013, pukul 22.58 WIB.

4. Epi, S. 2012. Rhinitis atrofi : Penyakit pilek dengan sekret kering berbau busuk. Tersedia

di: http://sikkahoder.blogspot.com/2012/07/rhinitis-atrofi-penyakit-pilek-dengan.html,

diakses pada tanggal 26 Maret 2013, pukul 23.01 WIB.

5. http://www.kesimpulan.com/2009/05/rinitis-atrofi.html , diakses pada tanggal 26 Maret

2013 pukul, 23.03 WIB.

6. http://onmedik.wordpress.com/2008/11/06/rinitis-atrofi-ozaena/ , diakses pada tanggal 26

Maret 2013, pukul 23.11 WIB.

7. http://www.blogkesmas.com/2012/02/pengobatan-penyakit-rinitis-atrofi.html , diakses

pada tanggal 26 Maret 2013, pukul 23.12 WIB.

8. Adams, G. L. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT Ed. ke-6. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

9. Ashari, I. 2011. Anatomi Hidung. http://www.dokterirga.com/anatomi-hidung/, diakses

pada tanggal 30 Maret 2013, pukul 11.46 WIB.

10. Soepardi, E.A. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

& Leher Ed. ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

11. Mansjoer, A. dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Ed. ke-3, Jilid 1. Jakarta: Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

12. http://www.scoopweb.com/Atrophic_rhinitis , diakses pada tanggal 1 April 2013,

pukul 21.30 WIB.

13. http://id.scribd.com/doc/125386656/rinitis-atrofi-1 , diakses pada tanggal 1 April 2013,

pukul 20.20 WIB.

25

Page 26: Makalah THT

14. http://www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html , diakses pada tanggal 9 April 2013,

pukul 22.50 WIB.

26