Makalah Penginderaan Jauhx
-
Upload
pemudabelati -
Category
Documents
-
view
884 -
download
3
Transcript of Makalah Penginderaan Jauhx
I. PENDAHULUAN
Penginderaan jauh dapat diserupakan dengan suatu proses membaca. Dengan
menggunakan mata Anda bertindak sebagai alat pengindera (sensor) yang menerima
cahaya yang dipantulkan dari halaman suatu buku. Data yang diterima oleh mata Anda
berupa energi sesuai dengan jumlah cahaya yang dipantulkan dari bagian terang pada
halaman buku tersebut. Data tersebut dianalisis atau ditafsir di dalam pikiran Anda agar
dapat
menerangkan bahwa bagian yang gelap pada halaman buku tesebut merupakan
sekumpulan huruf-huruf
yang menyusun kata-kata. Lebih dari itu, kata-kata tersebut menyusun kalimat-kalimat,
dan Anda menafsir arti informasi yang terdapat pada kalimat-kalimat itu.
Untuk lebih jelasnya, ada beberapa definisi berikut ini yang dapat disimak.
1. Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang
objek,
daerah atau gejala, dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan
menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau gejala yang
akan dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
2. Penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh, menemutunjukkan
(mengidentifikasi) dan menganalisis objek dengan sensor pada posisi pengamatan
daerah kajian (Avery, 1985).
3. Penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan
menganalisis informasi tentang bumi. Informasi itu berbentuk radiasi elektromagnetik
yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (Lindgren, 1985).
Dari beberapa batasan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penginderaan
jauh
merupakan upaya memperoleh informasi tentang objek dengan menggunakan
alat yang
disebut “sensor” (alat peraba), tanpa kontak langsung dengan objek.
Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan upaya untuk
memperoleh data dari jarak jauh dengan menggunakan peralatan tertentu. Data yang
diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Data yang diperoleh dari penginderaan jauh dapat berbentuk hasil dari variasi daya,
gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Sebagai contoh grafimeter memperoleh
data dari variasi daya tarik bumi (gravitasi), sonar pada sistem navigasi memperoleh
data dari gelombang bunyi dan mata kita memperoleh data dari energi elektromagnetik.
(Tentang tiga hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bagian lain).
Jadi penginderaan jauh merupakan pemantauan terhadap suatu objek dari jarak jauh
dengan tidak melakukan kontak langsung dengan objek tersebut.
Estes dan Simonett (1975) dalam Sutanto (1992) mengatakan bahwa interpretasi citra
merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat
menentukkan hasil interpretasi, karena persepsi pengenalan objek bagi orang-orang
yang berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek
yang sama pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Misalkan pada citra A
dianggap sebuah pemukiman, maka pada citra B atau C pun tetap bisa dikenal sebagai
pemukiman walaupun agak sedikit berbeda dalam penampakannya.
Bila kita melihat suatu foto atau gambar, kadang kita sendiri bingung dan bahkan tidak
tau tentang objek-objek yang ada di dalam foto/gambar tersebut. Ada beberapa objek
yang dapat dikenali secara langsung tetapi ada sebagain objek yang malah tidak
dikenali. Proses pengenalan objek ini sangat tergantung dari pengalaman dan persepsi
dari orang yang melihat foto tersebut. Bagi yang sudah biasa, mungkin dapat secara
mudah mengidentikasi objek, tetapi bagi yang tidak berpengalaman, proses pengenalan
objek akan sangatlah sulit. Apabila sudah bisa mengenali objek tersebut dan sudah
bisa menyampaikan informasinya kepada orang lain maka kita sedang melakukan
proses interpretasi. Pekerjaan interpretasi bukan hanya dilakukan oleh para fotografer
tapi juga oleh orang-orang yang berada didisiplin ilmu penginderaan jauh, bahkan bagi
orang2 yg bergantung pada hasil penginderaan jauh, interpretasi merupakan langkah
awal yang sangat menentukkan bagi hasil pekerjaannya nanti.
Ada tiga hal penting yang perlu dilakukan dalam proses interpretasi, yaitu deteksi,
identifikasi dan analisis. Deteksi citra merupakan pengamatan tentang adanya suatu
objek, misalkan pendeteksian objek disebuah daerah dekat perairan. Identifikasi atau
pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup, misalnya mengidentifikasikan suatu objek
berkotak2 sebagai tambak di sekitar perairan karena objek tersebut dekat dengan laut.
Sedangkan analisis merupakan pengklasifikasian berdasarkan proses induksi dan
deduksi, seperti penambahan informasi bahwa tambak tersebut adalah tambak udang
dan diklasifikasikan sebagai daerah pertambakan udang.
Pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari 2 proses, yaitu melalui pengenalan
objek melalui proses deteksi dan penilaian atas fungsi objek.
1. a. Pengenalan objek melalui proses deteksi yaitu pengamatan atas adanya suatu
objek, berarti penentuan ada atau tidaknya sesuatu pada citra atau upaya untuk
mengetahui benda dan gejala di sekitar kita dengan menggunakan alat
pengindera (sensor).
Untuk mendeteksi benda dan gejala di sekitar kita, penginderaannya tidak
dilakukan secara langsung atas benda, melainkan dengan mengkaji hasil
rekaman dari foto udara atau satelit
b. Identifikasi.
Ada 3 (tiga) ciri utama benda yang tergambar pada citra berdasarkan ciri yang
terekam oleh sensor yaitu sebagai berikut:
• Spektoral
Ciri spektoral ialah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga
elektromagnetik dan benda yang dinyatakan dengan rona dan warna.
• Spatial
Ciri spatial ialah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk, ukuran,
bayangan, pola, tekstur, situs, dan asosiasi.
• Temporal
Ciri temporal ialah ciri yang terkait dengan umur benda atau saat perekaman.
2. Penilaian atas fungsi objek dan kaitan antar objek dengan cara menginterpretasi
dan menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi yang menuju ke arah teorisasi
dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari penilaian tersebut. Pada tahapan ini,
interpretasi dilakukan oleh seorang yang sangat ahli pada bidangnya, karena hasilnya
sangat tergantung pada kemampuan penafsir citra.
Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi
secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi secara
manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada
pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali
berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna,
tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi
kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra
digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan
dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara digital, mempunyai tujuan
khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi
spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola
spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema
keruangan (spasial) tertentu.
II. Teknik Pengumpulan Data
Data dapat dikumpulkan dengan berbagai macam peralatan tergantung kepada objek
atau fenomena yang sedang diamati. Umumnya teknik-teknik penginderaan jarak jauh
memanfaatkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek
yang diamati dalam frekuensi tertentu seperti inframerah, cahaya tampak, gelombang
mikro, dsb. Hal ini memungkinkan karena faktanya objek yang diamati (tumbuhan,
rumah, permukaan air, udara dll) memancarkan atau memantulkan radiasi dalam
panjang gelombang dan intensitas yang berbeda-beda. Metode penginderaan jarak
jauh lainnya antara lain yaitu melalui gelombang suara, gravitasi atau medan magnet.
III. Pemodelan Hidrologi untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir di
Sebagian Wilayah Surakarta Menggunakan SIG (Sistem Informasi
Geografi)
Banjir di daerah Surakarta merupakan banjir yang jarang terjadi sebelumnya, banjir ini
disebabkan karena sungai bengawan solo tidak mampu menampung aliran langsung
permukaan sehingga terjadi luapan yang menggenangi wilayah disekitar sungai.
Penggunaan hidrologi modeling pada SIG (Sistem Informasi Geografis) dapat
digunakan sebagai pendeteksi dan identifikasi lokasi-lokasi yang rawan terhadap banjir.
Dengan mendasarkan pada tipologi wilayah dalam identifikasi aliran langsung
permukaan secara kualitatif serta grid spasial guna mengetahui arah aliran, akumulasi
aliran serta konsentrasi aliran. Wilayah yang teridentifikasi mempunyai akumulasi aliran
serta konsentrasi aliran tinggi yaitu meliputi kecamatan Banjarsari, Jebres, Masaran,
Sragen, Sambungmacan, Tangen, dan Gesi. Wilayah di dalam DAS yang teridentifikasi
rawan terhadap banjir meliputi kecamatan Masaran, Sidoredjo, Plupuh dan Sebagian
daerah Jebres curah hujan harian maksimal sebesar 104-121 mm/hari.
Secara umum banjir merupakan suatu keluaran (output) dari hujan (input) yang
mengalami proses dalam sistem lahan yang berupa luapan air yang berlebih. Kejadian
atau fenomena alam berupa banjir yang terjadi ahir-akhir ini di Indonesia memberikan
dampak yang amat besar bagi korban baik dalam segi material maupun spiritual. Untuk
melakukan suatu mitigasi bencana banjir maka diperlukan suatu pemetaan daerah-
daerah yang rawan terhadap bahaya banjir.
Lahan merupakan sumberdaya penting yang memberikan informasi mengenai kondisi
lingkungan. Dari sudut pandang hidrologi informasi tersebut dapat digunakan untuk
teknik penyadapan mengenai karakteristik dan data sumberdaya air, seperti pemetaan
banjir, pemetaan batas-batas air permukaan serta zonasi-zonasi wilayah yang
mengalami pengendapan.
Menurut Gunawan (1992) interpretasi hidrologi pada teknik penginderaan jauh
diarahkan untuk menduga hubungan/interaksi kenampakan bentang lahan (landscape
features) dengan proses-proses hidrologi. Penggunaan citra penginderaan jauh untuk
pemetaan hidrologi permukaan cukup didekati dengan mendasarkan pada elemen-
elemen lahan dan karakteristik citra.
Dengan menggunakan pendekatan kenampakan secara tiga dimensi (3D) karakteristik
wilayah dapat diketahui dengan jelas, yaitu adanya tenaga alam yang berperan dalam
pembentukan konfigurasi permukaan bumi (geomorfologi) sebagai indikasi atau
gamnbaran kejadian alam yang telah lalu hingga prediksi fenomena ataupun kejadian
yang akan datang.
Analisis SIG mengenai fenomena permukaan lahan dapat dimodelkan dalam kaitannya
untuk mencari lokasi-lokasi yang rawan terhadap banjir yaitu dengan mendasarkan
pada sifat-sifat air dipermukan lahan.
Sajian dalam SIG dapat berupa manipulasi data yang berupa spasial serta data yang
berupa atribut, serta mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memodelkan
suatu 3D permukaan sebagai DEM (Digital Elevation Model ;, Model Digital
Ketinggian) ; DTM (Digital Terrain model : Model Digital Permukaan) atau TIN
(Triangular Irregular Network ; Jaringan Bersegitiga yang tidak beraturan). Berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya air dapat dianalisa dan dimodelkan,
misalnya seperti saluran air, konsentrasi aliran air, akumulasi aliran air, arah aliran air
permukaan, wilayah pengendapan, zonasi satuan Sub DAS (Daerah Aliran Sungai),
serta daerah dataran banjir.
Berdasarkan analisis flow direction, daerah yang mempunyai kemampuan dalam
menampung aliran air permukaan paling tinggi terdapat di Kabupaten Sragen, yaitu
sekitar daerah Sidoredjo, Plupuh dan Masaran. serta untuk Kota Surakarta di sebagian
wilayah Banjarsari Sehingga dapat dimungkinkan terjadi banjir yang berupa banjir
luapan akibat akumulasi serta konsentrasi aliran pada tipologi lahan yang rendah dan
datar.
Selain akumulasi dan konsentrasi aliran pada sistem sungai yang mengakibatkan
luapan, adalah adanya cekungan-cekungan permukaan dapat digunakan sebagai
identifikasi arah larian dari luapan air yang mengakibatkan adanya banjir genangan
ada wilayah-wilayah tertentu.
IV. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh untuk Mengkaji Pengaruh
Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Puncak di DAS Kreo
Semarang
Alih fungsi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi akan
cenderung meningkatkan nilai koefisien aliran permukaan yang akan berpengaruh
terhadap debit puncak. DAS Kreo merupakan DAS yang berada di daerah Semarang
yang telah mengalami perubahan penggunaan
lahan. Tujuan dalam penelitian ini adalah menguji
kemampuan dan ketelitian teknik penginderaan jauh
untuk penyadapan data mengenai karakteristik fisik
dan morfometri DAS guna estimasi debit puncak
serta mengevaluasi pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap debit puncak dengan
menggunakan metode rasional. Data pokok yang
digunakan antara lain foto udara pankromatik H/P skala 1:25.000 tahun 1992, foto
udara pankromatik H/P skala 1:10.000 tahun 1999, data tinggi muka air pos Kalipancur,
tabel debit sungai, data debit sungai maksimum dan debit minimum, data intensitas
hujan, data hujan dan peta-peta bantu lainnya seperti peta tanah, peta RBI, peta
geologi.
Pengolahan dilakukan berbasis komputer dengan menggunakan SoftWare pemetaan
Arc view. Dalam melakukan estimasi nilai debit puncak digunakan rumus rasional.
Parameter-parameter yang dipertimbangkan dalam rumus tersebut antara lain koefisien
aliran, intensitas hujan dan luas DAS. Koefisien aliran menggunakan Metode Bransby
dan William yang meliputi intensitas hujan, lereng, kerapatan aliran, penggunaan lahan,
infiltrasi tanah. Dalam mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit
puncak maka dilakukan analisis mengenai perubahan luasan lahan yang signifikan
yang dapat mempengaruhi volume air larian serta digunakan hidrograf dan
perbandingan nilai debit maksimum dengan nilai debit minimum.
Foto udara merupakan salah satu jenis citra penginderaan jauh yang paling tua
perkembangannya dan paling banyak digunakan sampai saat ini. Hal ini dikarenakan
foto udara mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan jenis citra lainnya, yaitu
caranya yang sederhana, relatif murah, resolusi spasial baik dan integritas geometrinya
baik, dan yang sangat menguntungkan adalah kerana foto udara menggambarkan ujud
dan letak obyek yang mirip ujud dan letaknya dipermukaan bumi, serta meliputi daerah
yang luas dan permanen (Sutanto, 1986).
Salah satu metode yang digunakan dalam menentukan nilai debit puncak yang
berdasarkan pada faktor-faktor karakteristik fisik lahan dikenal dengan metode rasional.
Dalam metode rasional variabel-variabelnya adalah koefisien aliran, intensitas hujan
dan luas DAS. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung besarnya debit puncak
dengan rumus rasional adalah sebagai berikut :
Qp = 0,278 CIA……………………………………………..(1)
(Sumber : Chow, V, T. 1964)
dimana :
Qp = Debit puncak rancangan (m3/det)
I = Intensitas (mm/jam)
C = Koefisien aliran (tanpa dimensi)
A = Luas DAS (km2)
Sebagai pembanding nilai koefisien aliran permukaan melalui foto udara maka
digunakan data hidrograf aliran untuk mendapatkan nilai koefisien terukur. Hidrograf
aliran yang digunakan merupakan hidrograf aliran yang mempunyai curah hujan merata
dalam DAS. Pada analisa hidrograf tanggal 12 April 1992 didapatkan nilai koefisien
aliran permukaan terukur sebesar 34.34 % dan pada tanggal 5 januari 1999 didapatkan
nilai koefisien aliran permukaan terukur sebesar 54.2 %.
DAS Kreo mempunyai luasan 80, 66 km2, dari hasil perhitungan debit puncak melalui
foto udara dengan menggunakan metode rasional pada tahun 1992 maka didapat nilai
sebesar sebesar 284.88 m3/detik dengan intensitas hujan sebesar 29.6 mm/jam yang
terjadi pada tanggal 12 April 1992 sedangkan nilai debit puncak melalui foto udara
tahun 1999 sebesar 368.71 m3/detik yang diakibatkan oleh intensitas hujan sebesar
33.40 mm/jam yang terjadi pada tanggal 9 Januari 1999.
Pada analisis hidrograf yang dilakukan menggunakan data TMA pada saat terjadi
puncak banjir dan intensitas hujan dengan curah hujan merata di seluruh DAS pada
saat waktu konsentrasi. Data perhitungan nilai debit puncak terukur tahun 1992 dengan
menggunakan metode rasional yaitu sebesar 228.7 m3/detik. Sedangkan pada tahun
1999 debit puncak terukur menggunakan metode rasional sebesar 314.6 m3/detik. Nilai
debit puncak terjadi peningkatan dari tahun 1992 sampai tahun 1999 sebesar 85.9
m3/detik.
V. Penggunaan Sistem Informasi Geografi untuk Pendeteksian
Konsentrasi Aliran Permukaan di DAS Citarum Hulu
Analisa Konsentrasi aliran dalam suatu sistem sungai sangat penting diketahui untuk
mendeteksi penyebab banjir. Disamping itu tingkat kerapatan drainase, pola drainase
dan bentuk DAS juga merupakan faktor yang penting pula dalam mempengaruhi
hidrograf aliran, cepat atau lambatnya jumlah aliran air dari permukaan lahan untuk
dibawa kealur sungai, selain itu dapat digunakan untuk mengetahui kondisi daerah
mudah kering atau mudah mengalami penggenangan.
Dengan menggunakan pemodelan SIG penyebab terjadinya diharapkan dapat
dianalisis secara lebih jelas. Secara keruangaan terdapat unsur-unsur terkait yang
merupakan respon dari hujan pada suatu zona topografi. Unsur tersebut seperti
misalnya aliran runoff, erosi tanah, penumpukan sedimen yang semuanya sangat
dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang ada dalam kawasan. Bandung merupakan
kota yang masuk dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang mermuara di
laut utara Jawa,. Pemukiman-pemukiman yang memadati kawasan tersebut
mempengaruhi optimalisasi fungsi DAS sehingga akan dapat menimbulkan dampak
yang merugikan bagi wilayah tersebut. Berdasarkan kajian hidrologi bentuk dari DAS
citarum hulu ini memberikan suatu gambaran yang seperti cekung, mempunyai tingkat
kelerengan yang tinggi di hulu serta kanan-kiri sungai, sehingga aliran permukaan yang
terjadi sangat cepat untuk masuk dalam sungai.Sebaran hujan yang merata di hampir
seluruh DAS mempengaruhi laju dan akumulasi aliran air permukaan. Berdasarkan dari
hasil analisa pemodelan SIG daerah Bojongsoang merupakan tempat terjadinya
akumulasi aliran sehingga daerah ini merupakan langganan banjir.
Dengan menggunakan pendekatan kenampakan secara 3 dimensional karakteristik
wilayah dapat diketahui dengan jelas, adanya tenaga alam yang berperan dalam
pembentukan konfigurasi permukaan bumi (geomorfologi) merupakan indikasi yang
menggambarkan kejadian alam yang telah lalu sehingga fenomena ataupun kejadian
yang akan terjadi dapat diprediksi.
VI. Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan
Secara Umum Pulau Jawa
Banjir merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di Pulau Jawa. Pendekatan
kakarteristik fisik adalah potensi kawasan yang dapat digunakan dalam pemetaan
bencana banjir. Parameter yang digunakan dalam pemetaan bencana banjir adalah
bentuklahan (geomorfologi), tipe batuan induk, jenis tanah, kemiringan lereng, dan
hujan sebagai input utamanya. Banjir merupakan salah satu keluaran dari proses alam
yang disebabkan oleh adanya input berupa hujan. Hujan merupakan faktor utama yang
mengakibatkan banjir. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat
menumpangsusunkan berbagai parameter yang mengakibatkan banjir.
Indonesia Negara agraris yang mempunyai dua jenis musim, yaitu musim penghujan
dan musim kemarau. Kedua musim tersebut memberikan gambaran bahwa di
Indonesia terdapat keseimbangan musim yang saling berinteraksi. Waktu musim yang
terjadi pada dasarnya sama dalam pembagiannya. Pada saaat terjadi musim penghujan
air-air akan mengisi cekungan-ekungan tanah, tertahan dalam tumbuhan-tumbuhan
serta tertampung dalam tanah. Sehingga pada musim kemarau simpanan air yang
tertampung dalam tanah dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dalam pembuatan peta kerawanan banjir tersebut merupakan rangkaian dari tumpang
susun dari kelima parameter pemicu terjadinya banjir, dari kelima faktor tersebut
peranan yang cukup besar adalah pada tingkat curah hujan yang ada. Untuk
menghasilkan daerah yang rawan terhadap banjir merupakan daerah dengan kondisi
bentuklahan yang merupakan dataran banjir dengan kemiringan lereng rendah, curah
hujan yang tinggi serta kemampuan tanah dan batuan dalam meloloskan air ke dalam
bawah permukaan sangat kecil.
Peta kerawanan tersebut tingkat daerah yang paling rawan terhadap banjir adalah
sebagian wilayah Jakarta, jawa tengah pesisir selatan, banten, semarang sampai
dengan jepara, Surabaya dan sekitarnya serta sebagian daerah pasuruan dan
probolinggo. Secara umum pulau jawa merupakan wilayah yang berpotensi terhadap
banjir. Hasil dari pemetaan rawan banjir tersebut akan lebih detil dan baik apabila
ditambahkan parameter-parameter lainnya seperti kerapatan aliran, karakteristik
sungai, penggunaan lahan yang ada, serta penambahan analisa hujan.
VII. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu Dengan Menggunakan Data
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Kerusakan DAS sering dipicu oleh perubahan tata guna lahan akibat naiknya tingkat
kebutuhan hidup manusia serta lemahnya penegakan hukum. Penggunaan lahan
merupakan bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spiritual. Perkembangan bentuklahan
ditentukan oleh proses pelapukan dan perkembangan tanah, erosi, gerakan massa
tanah, banjir, sedimentasi, abrasi marin, oleh agensia iklim., gelombang laut, gravitasi
bumi, dan biologi termasuk manusia. Perubahan bentuk lahan berpengaruh terhadap
kondisi tanah, tata air (hidrologi), potensi bahan tambang, potensi bencana seperti
banjir, erosi, dan longsor lahan, vegetasi, dan kegiatan manusia dalam bidang
pertanian, permukiman, kerekayasaan, industri, rekreasi, dan pertambangan. Secara
garis besar, penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan
lahan pertanian dibedakan ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas
penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di
atas lahan tersebut.
Analisis tingkat bahaya erosi dilakukan dengan cara memperkirakan (memprediksi) laju
erosi tanah pada satuan-satuan lahan. Sedangkan untuk menghitung laju erosi tanah
digunakan pendekatan persamaan “Universal Soil Loss Equation” (USLE) yang
dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut:
A = RKLSCP ……………………………………………………………………..(2)
dimana :
A = jumlah tanah yang hilang (ton/ha/tahun)
R = erosivitas hujan tahunan rata-rata (mm/jam)
K = ndeks Erodibilitas Tanah
LS = Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng
C = Pengelolaan Tanaman
Erosivitas Hujan merupakan kemampuan hujan untuk mengerosi tanah. Semakin tinggi
nilai erosivitas hujan suatu daerah, semakin besar pula kemungkinan erosi yang terjadi
pada daerah tersebut. Erodibilitas merupakan suatu ketahanan dari tanah yang yang
menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-
partikel tanah oleh adanya energi kinetik air hujan dan ditentukan oleh sifat fisik dan
kimia tanah. Pada pembuatan peta indek panjang dan kemiringan lereng, panjang
lereng dapat diabaikan dan yang berpengaruh hanya kemiringan lereng (kemiringan
lereng berpengaruh 3x panjang lereng terhadap erosi) didasarkan pada satuan
topografi pada wilayah penelitian. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi
adalah (1) melalui fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, (2)
menurunkan kecepatan air larian, (3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya
dan (4) mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (chay
asdak, 1995: 452).
Konsentrasi kemudahan penggunaan lahan untuk ter-erosi penyebarannya bayak
terdapat disebelah barat dan tengah pada DAS Lukulo Hulu yang sebagian besar
berupa tanah ladang dengan tanama pertanian yang berupa biji-bijian. Secara
kerapatan tajuk tanaman ini merupakan tanama dengan kerapatan jarang, bertekstur
kasar, kemampuan tanaman dalam stroughfall dan streamfall sangat kecil, sehingga
penggerusan permukaan tanah terhadap aliran air permukaan besar.
Wilayah yang mempunyai kriteria erosi sangat ringan seluas 13787.088 hektar
(51,77%) dengan jumlah erosi kurang dari 15 ton/ha/tahun banyak ditemukan di formasi
karangsambung, di daerah basalt, dan gabro. Formasi karangsambung merupakan
suatu formasi dengan tanah berupa lempung sehingga air susah untuk permeabilitas.
Kriteria erosi ringan yang ada di DAS Lukulo Hulu seluas 6076.038 hektar (22,82%)
dengan jumlah erosi 15 sampai 60 ton/ha/tahun banyak ditemukan di daerah formasi
waturanda, formasi peniron, daerah sekis dan filit, dan anggota batu gamping formasi
napal. Kriteria erosi sedang mempunyai luasan sebesar 3804.078 hektar (14,28%)
dengan jumlah erosi 60 sampai 180 ton/ha/tahun dan penyebarannya di sebelah barat
dan timur pada DAS Lukulo Hulu. Kriteria erosi berat mempunyai luasan sebesar
1564.231 hektar (5,87%) dengan jumlah erosi 180 sampai 480 ton/ha/tahun dan erosi
sangat berat seluas 1399.518 hektar dengan jumlah erosi lebih dari 480 ton/ha/tahun
(5,26%).
VIII. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan
Kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau
kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume
yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Kekeringan paling sering dihubungkan
dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara kekeringan juga
terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang biasanya besar.
Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berada di
bagian selatan. Penggunaan lahan yang berupa lahan pertanian di Kabupaten
Kebumen lebih dari 50% dari total jenis penggunaan lahannya, masyarakat secara
umum masih banyak yang menggantungkan mata pencahariannya terhadap lahan
pertanian. Tahun 2008 Sedikitnya 26 desa yang tersebar di Kabupaten Kebumen
dilanda kekeringan, masyarakat kesulitan air bersih dan air irigasi menyusul
menurunnya debit sumber air dan Sungai Luk Ulo, Kalibanda, dan Telomoyo hal
tersebut mengakibatkan sekitar 2000 hektar lahan pertanian mengalami kekeringan dan
gagal panen.
Penggunaan data penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi
potensi daerah yang rawan kekeringan. Menggunakan transformasi mengenai indeks
kecerahan, indeks kebasahan serta indeks vegetasi dapat mengetahui kondisi
permukaan dalam hubunganya dengan kekeringan, parameter lain seperti kondisi
akuifer, curah hujan serta jenis penggunaan lahan pertanian kering faktor penentu
dalam mengidentifikasi kekeringan. Hasil dari penelitian ini mengidentifikasikan bahwa
sebagian Kecamatan di Kabupaten Kebumen yang meliputi Karanggayam,
Karangsambung, Sadang, Alian, Puring, Klirong, Buluspesantren, Ambal dan Mirit
terdeteksi memeliki potensi kekeringan.
Metode yang digunakan dalam memperoleh hasil adalah menumpangsusunkan
parameter-parameter yang berpengaruh terhadap kekeringan dengan menggunakan
SIG, sebagai bahan data primer digunakan data citra satelit Landsat TM (thematic
mapper). Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain peta digital
Kabupeten Kebumen, Citra Landsat TM path/row 120/065, data curah hujan, data
geohidrologi, seperangkat alat komputer lengkap dengan program pemetaan data
vektor dan pemroses citra digital. Parameter-parameter yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi bentuklahan, geohidrologi, curah hujan, serta penggunaan lahan
yang berupa lahan pertanian kering. Data-data tersebut di dapat dari bahan data primer
berupa citra landsat TM, data sekunder dari penelitian sebelumnya, serta data hasil
ceking lapangan.
IX. Analisis Sedimentasi dengan Inderaja
Sedimentasi atau pelumpuran di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan
sedimen. Peningkatan buangan sedimen ke dalam perairan pesisir disebabkan oleh
semakin tingginya laju erosi tanah karena pengelolaan lahan atas yang tidak
mengindahkan asas konservasi lahan dan lingkungan seperti penebangan hutan atau
pengolahan pertanian pada lahan dengan kemiringan > 40 %. Sedimentasi dapat
meningkatkan kekeruhan air yang berdampak negatif pada kelestarian ekosistem alami
dan biota perairan sehingga menyebabkan tidak optimalnya nilai ekologi dan ekonomis
kawasan pesisir (Beatly, et.al., 1994).
Pencemaran laut dan pesisir didefinisikan sebagai perubahan sifat fisik, kimia, dan
biologis lingkungan perairan yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung
oleh limbah kegiatan manusia dengan bahan polutan yang dapat membahayakan
kehidupan biota, sumber daya, kesehatan manusia, dan nilai guna ekosistem. Sumber
pencemaran dibedakan menjadi point pollution yaitu sumber polutan diketahui
lokasinya, misalnya pipa pembuangan limbah pabrik yang bermuara di sungai, dan non
point pollution yaitu sumber polutan berupa suatu luasan sehingga sulit dikontrol karena
tidak diketahui pasti titik tempat polutan berasal, hal ini berkaitan dengan pola
penggunaan lahan, serta kondisi dan respon landscape terhadap pergerakan air
permukaan.
Terjadinya pencemaran perairan pesisir dapat dilihat dari elemen penentu kualitas air
yaitu parameter fisik, kimia, dan biologi. Dalam konteks penginderaan jauh (inderaja)
paramater yang dikaji hanya parameter yang dapat mempengaruhi nilai spektral citra
yaitu salinitas, kekeruhan, temperatur permukaan, suspended sedimen, dan
konsentrasi klorofil. Dari hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa salinitas akan sulit
dideteksi karena hampir tidak ada perbedaan pantulan antara air tawar dengan air asin,
sedangkan ukuran kekeruhan juga menujukkan besarnya suspended sedimen yang
terkait dengan proses sedimentasi (Khorram, 1985).
Dasar penentuan tercemar atau tidaknya perairan pesisir berdasarkan Kep.Men. KLH
No.02 tahun1988 tentang baku mutu perairan secara nasional. Baku mutu perairan
merupakan ukuran batas daya asimilasi dan kapasitas lingkungan perairan untuk
mengakomodasi suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya
kerusakan lingkungan yang tidak dapat ditolerir (Dahuri, et.al., 1996).
Baku mutu digunakan sebagai strategi monitoring dan pengendalian sumber
pencemaran perairan melalui penetapan standar emisi pada tiap jenis aktivitas.
Penetapan bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir seharusnya dilakukan
berdasarkan penilaian terhadap kapasitas asimilasi perairannya. Pemanfaatan potensi
daratan kawasan pesisir untuk berbagai sektor perekonomian memberikan andil
terintroduksinya material ke dalam lingkungan perairan, yang menyebabkan kualitasnya
menurun sampai tingkat tertentu sehingga fungsi perairan menjadi berkurang atau
bahkan tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
X. GPS untuk Mengukur Muka Laut
Pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS) untuk mengukur tinggi muka
laut, dinilai memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan teknologi lainnya. Sejumlah
cara digunakan untuk mengukur tinggi muka laut. Di antaranya dengan memanfaatkan
satelit altimetri. Namun, altimetri ternyata memiliki resolusi rendah sebab pengukuran
dilakukan secara global. Apalagi jika telah mendekati pantai maka ketelitiannya
semakin berkurang.
Selain itu, pengukuran melalui stasiun pasang surut yang dilengkapi sumur atau pipa
yang terhubung ke laut. Pasang surut air dapat terukur melalui sensor yang ada di
dalam stasiun tersebut. Teknik ini memiliki keterbatasan karena hanya mampu
melakukan pengukuran di sekitar lokasi pasang surut saja.
Jika pengukuran tinggi muka laut di lokasi yang agak jauh dari pantai maka
ketelitiannya akan berkurang. Pasalnya kita harus membuat pemodelan lagi,
sedangkan seperti kita ketahui selama ini, pengkuran pasang surut air sifatnya time
dependent dan spatial dependent. Melalui penggunaan teknologi Global Positioning
System (GPS) ini, keterbatasan dari kedua teknik pengukuran dapat tertutupi. Ini
Karena GPS mampu mengukur baik di daerah pantai maupun di bagian laut yang
bergelombang sekalipun.
Meski demikian, isu yang paling penting sekarang adalah pembangunan infrastruktur
database yang lebih baik. Sebab, selama ini di Indonesia, infrastruktur tak terbangun
dengan baik. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik akan memberikan referensi
untuk mengetahui tinggi muka laut lebih baik pula. Selama ini memang ada stasiun
pasang surut yang berada di sejumlah wilayah tetapi setiap tempat itu memiliki karakter
pasang surut yang berbeda.
Di samping itu, teknologi GPS memungkinkan untuk mencegah kerugian negara dalam
menentukan batas wilayah. Perbatasan wilayah laut suatu negara biasanya ditentukan
dengan menghitung garis pantai, berdasarkan air pasang yang paling tinggi atau
keadaan air yang paling surut, melalui stasiun pasang surut.
Padahal, stasiun tersebut kerap memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Akibatnya hasil pengukuran pun berbeda. Ttak heran jika banyak nelayan dari negara
asing yang dengan tenangnya mengeruk kekayaan laut kita, seakan dianggap wilayah
laut negaranya.
XI. Aplikasi Penginderaan Jauh bagi Para Nelayan
Kebanyakan ikan sasaran tangkap yang dapat ditangkap dengan menggunakan alat
bantu penginderaan jarak jauh (INDERAJA), adalah jenis ikan yang banyak dipengaruhi
oleh kondisi cuaca dan tiap musimnya sering didapati di kawasan laut yang temperatur
permukaannya bervariasi. Untuk menemukan lokasi ikan ini, para nelayan biasanya
memanfaatkan termometer dan mengamati warna air laut kalau-kalau terdapat tanda
plankton yang menjadi bahan makanan ikan. Cara ini membuat tak jarang para nelayan
harus menghabiskan waktu dan biaya untuk menjelajah lautan yang biayanya cukup
tinggi. Kalau dihitung-hitung, rata-rata sekitar 20 – 50 % biaya penangkapan
dialokasikan untuk kepentingan pencarian tadi.
Teknologi penginderaan jarak jauh (INDERAJA) untuk kegiatan perikanan tangkap,
sebenarnya telah banyak diterapkan di berbagai negara. Meskipun harus mengeluarkan
biaya tambahan, teknologi tersebut telah dapat membantu nelayan dalam
meningkatkan hasil tangkapan. Kebanyakan ikan sasaran tangkap yang dapat
ditangkap dengan menggunakan alat bantu penginderaan jarak jauh, adalah jenis ikan
yang banyak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan tiap musimnya sering didapati di
kawasan laut yang temperatur permukaannya bervariasi.
Sebenarnya, untuk menemukan lokasi ikan ini, para nelayan biasanya memanfaatkan
termometer dan mengamati warna air laut kalau-kalau terdapat tanda plankton yang
menjadi bahan makanan ikan. Cara ini membuat tak jarang para nelayan harus
menghabiskan waktu dan biaya untuk menjelajah lautan. Artinya, mereka juga harus
menyiapkan banyak bahan bakar untuk kapal penangkap ikan yang biayanya cukup
tinggi. Kalau dihitung-hitung, rata-rata sekitar 20 – 50 % biaya penangkapan
dialokasikan untuk kepentingan pencarian tadi.
Sebagai solusinya, para nelayan khususnya nelayan-melayan tradisional di Indonesia
sudah harus mengenal peranan penginderaan jarak jauh (INDERAJA) bagi kegiatan
usaha penangkapan ikan.
Nelayan-nelayan tradisional di Indonesia sudah harus mulai diperkenalkan dengan
istilah Sea Surface Temperature (SST), yang dibuat berdasarkan kumpulan gambar –
gambar dari satelit penginderaan jarak jauh NOAA-H milik Amerika Serikat. Gamber
satelit ini nantinya bisa menentukan temperatur permukaan laut dan kemungkinan
lokasi keberadaan ikan. Diharapkan pengenalan peta tadi telah membuka pengetahuan
nelayan tradisional di Indonesia terhadap pentingnya keberadaan antara suatu jenis
ikan tertentu dengan suhu permukaan laut.
Untuk meningkatkan kemampuan para nelayan didalam mengefisienkan kegiatan
penangkapan ikan, seyogyanya dilatih dulu pengetahuan mengenai oceanografi
perikanan, tingkah laku ikan dan cara navigasi yang lebih tepat. Aneka informasi
penting bagi nelayan juga mutlak diberikan, antara lain artikel tentang peralatan terbaru,
peraturan penangkapan ikan di laut lepas pantai, data statistik penangkapan ikan, dan
peta–peta satelit serta instruksi penggunaanya.
Penggunanan peta SST juga diharapkan mampu meningkatkan kawasan perikanan
yang dikelola para nelayan. Diharapkan pada gilirannya dengan pemakaian teknologi
penginderaan jarak jauh, usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan
tradisionil mampu melampaui pasar lokal, dan berkembang menjadi industri berorientasi
ekspor yang nilai ekonomisnya lebih tinggi. Alangkah baiknya kalau teknologi
penginderaan jarak jauh (INDERAJA) tersebut tidak hanya diperkenalkan, namun dapat
diterapkan oleh nelayan tradisionil di Indonesia, mengingat luasnya kawasan laut yang
dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentunya memiliki potensi tangkapan
ikan juga akan semakin besar.
XII. Penutup
Inderaja diintegrasikan dengan SIG akan membentuk data base yang dapat digunakan
untuk keperluan penyususunan rencana tata ruang wilayah pesisir, Amdal maupun
untuk memonitor perubahan fisik dari pantai,air laut, mangrove maupun terumbu
karang. Dengan menggunakan citra SPOT yang mempunyai resolusi tinggi, nilai aset
fisik sumber daya alam maupun buatan dapat diukur. Secara singkat teknologi Inderaja
bila digunakan secara tepat akan meningkatkan efisiensi (data digunakan oleh semua
sektor yang ingin mengembangkan wilayah pesisir dan lautan, perhubungan,
parawisata, pemukiman dan konservasi), keadilan sosial terwujud (hak-hak masyarakat
terpenuhi, akses informasi untuk semua sama), dengan begitu ekosistem akan lestari.
Pada penyususunan tata ruang dimana diperlukan masukan dari masyarakat,data
Inderaja dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan potensi dan masalah wilayah yang
akan direncanakan kepada masyarakat.
XIII. Kesimpulan
Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu atau teknik untuk mendapatkan
informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang
diperoleh dari suatu alat, tanpak kontak langsung dengan objek, wilayah atau gejala
tersebut.
Perlengkapan yang diperlukan dalam proses penginderaan jauh antara lain:
a. Sumber energi, terdiri dari sumber energi alamiah (matahari) dan sumber energy
buatan.
b. Sensor atau alat pengindera, terdiri dari sensor fotografi (kamera) dan sensor
elektronik.
c. Wahana atau kendaraan yang digunakan, yaitu pesawat udara atau satelit maupun
radar.
Produk penginderaan jauh adalah citra, yaitu gambaran yang tampak dari suatu objek
yang sedang diamati sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau atau
sensor. Citra dapat berupa foto udara dan non foto. Citra foto dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
a. Spektrum elektromagnetik yang digunakan.
b. Sumbu kamera yang digunakan.
c. Jenis kamera yang digunakan.
d. Jenis wahana yang digunakan.
e. Wahana yang digunakan.
Berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan, foto dibedakan atas foto ultra
violet, ortokromatik, pankromatik dan infra merah. Berdasarkan posisi sumbu kamera
saat pemotretan, foto dibedakan atas foto udara condong, dan foto udara tegak.
Berdasarkan wahana yang digunakan, foto dibedakan atas foto udara dan foto satelit.
Termasuk dalam citra non foto antara lain Citra Satelit, Citra Infra Merah Thermal, Citra
radar, Citra MSS, dan lain-lain. Wahana yang digunakan dalam pembuatan citra non
foto antara lain satelit dan radar. Beberapa contoh satelit Penginderaan jauh adalah
SPOT, NOAA, GMS, Landsat dan sebagainya. Wahana radar adalah SLAR. Untuk
menganalisis foto udara dengan baik, harus diperhatikan bentuk, ukuran, pola,
bayangan, rona, tekstur dan situs dari objek yang sedang diamati.
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem yang men-capture, mengecek,
mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara
spatial (keruangan) mereferensikan kepada kondisi bumi.
Kemampuan sistem informasi geografis (SIG) untuk analisa hidrologi antara lain untuk
mengidentifikasi daerah rawan banjir, mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan
terhadap debit puncak, pendeteksian konsentrasi aliran permukaan, pemetaan potensi
rawan banjir, pemetaan erosi DAS, megidentifikasi potensi kekeringan, menganalisis
sedimentasi, megukur muka laut, serta manfaat lain bagi para nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
http://fadlysutrisno.wordpress.com
http ;//elcom.umy.ac.id/elschool
mbojo.wordpress.com
gd.itenas.ac.id
geografi.ums.ac.id/ebook
id.shvoong.com
www.docstoc.com
journal.ui.ac.id
oc.its.ac.id