Makalah Pemicu 3 Kelompok 4

download Makalah Pemicu 3 Kelompok 4

of 44

Transcript of Makalah Pemicu 3 Kelompok 4

Makalah Pleno Pemicu 3Modul Indra

Disusun oleh :

Ketua :Midun Sekretaris: Mohamad ibnu imadudin M.chalid as-sadiqyAnggota: Inti fikria Kharisma indah Khoirun muhsinin putra Llia ameliawati Maharani M.fahmi salafudin

KELOMPOK 4

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2011KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan kehadirat Nabi Muhammad SAW.Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar, fasilitator dan narasumber atas bimbingan dan pendidikan yang diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Makalah ini merupakan hasil pleno 3 kelompok 4 Modul Indra. Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari kuliah, browsing internet, buku-buku text book, diskusi kelompok, diskusi dengan beberapa narasumber, dll. Dengan pemahaman berdasarkan pokok bahasan Modul Saraf dan Jiwa. Kami sadari makalah pleno ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaannya. Demikian yang dapat kami sampaikan, Insya Allah makalah pleno ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi adik-adik kami selanjutnya. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7)

Tim Penyusun

Kelompok 4

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................... 2Daftar Isi. 3

BAB I Pendahuluan .. 4BAB II Pembahasan .. 7 2.1 Sistem Vaskularisasi Mata... 7 2.2 Kelainan Refraksi................................................................................................. 9 2.3 Penurunan Visus pada Katarak Diabetes........ 11 2.4 Diabetes dan Katarak........................18 2.5 Gloukoma........................................................................................................... 23 2.6 Neuropati,.......................................................................................................... .28 2.7 Optik Neuropati...................................................................................................39BAB III Penutup ................................................................................................433.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 43Daftar Pustaka .........................................................................................44

BAB 1 PENDAHULUANPemicu 1.Bapak Hasan (65 tahun) datang ke Puskesmas dengan keluhan penglihatan kedua matanya lambat laun menurun sejak enam bulan yang lalu. Sekarang penglihatannya semakin buram. Tidak ada keluhan lain selain buram. Ia menderita DM sejak 30 tahun lalu dengan kadar gula darah berkisar antara 150-200 mg%. Pemeriksaan mata pada mata pak hasan dengan tajam penglihatan mata kanan 2/60 dan mata kiri 6/30, tekanan bola matanya dalam batas normal, pelpebra dan konjungtiva tampak tenang, kornea jernih, bilik mata depan dalam, gambaran iris baik, pupil bulat dengan refleks cahaya baik. Lensa mata kanan keruh dan funduskopi sulitdinilai, sedangkan lensa mata kiri kekeruhannya masih ringan, tetapi pada pemeriksaan funduskopi ditemukan adanya bercak perdarahan dan eksudat di retina. Dokter dokter merujuk pak hasan ke dokter mata.Rumusan masalah.Apakah penglihatan buram yang dialami oleh Tn. H (65 tahun) berhubungan dengan Diabetes Mellitus yang dideritanya sejak 30 tahun yang lalu?Analisis Masalah.

Hipotesis Terdapat hubungan antara penglihatan buram yang dialami Tn H (65 tahun) dengan penyakit Diabetes Mellitus yang dideritanya sejak 30 tahun yang lalu dan diperkuat dengan adanya kekeruhan pada lensa mata kanan dan kiri

Learning Issue. Bagaimana hubungan antara penyakit Diabetes Mellitus dengan gangguan yang dialami pada mata? Bagaimana anatomi vaskularisasi yang terdapat pada mata? Bagaimana Retinopati ditinjau dari:1. 1

2. Etiologi3. Epidemiologi4. Patofisiologi5. Klasifikasi6. Gejala Klinis7. Pemeriksaan fisik & penunjang8. Tatalaksana9. Prognosis

Bagaimana Katarak Diabetikum ditinjau dari:1. 2. Etiologi3. Epidemiologi4. Patofisiologi5. Klasifikasi6. Gejala Klinis7. Pemeriksaan fisik & penunjang8. Tatalaksana9. Prognosis

Bagaimana Glaukoma ditinjau dari: 1. Etiologi2. Epidemiologi3. Patofisiologi4. Klasifikasi5. Gejala Klinis6. Pemeriksaan fisik & penunjang7. Tatalaksana8. Prognosis

Bagaimana neuropati ditinjau dari: 1. Etiologi2. Epidemiologi3. Patofisiologi4. Klasifikasi5. Gejala Klinis6. Pemeriksaan fisik & penunjang7. Tatalaksana8. Prognosis

Apa saja yang tergolong dengan gangguan refraksi? Jelaskan! Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang sudah didapat? Bagaiman proses terjadinya perdarahan di end arteri pada penderita Diabetes Mellitus?

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. SISTEM VASKULARISASI BOLA MATAAda 2 sistem vaskularisasi bola mata:A. Sistem arteri siliar, terdiri dari: A siliaris anterior (9), A siliaris posterior brevis (7), A siliaris posterior longus (4)B. Sistem arteri sentralis retina (12)

Gambar 1. Sistem vaskularisai bola mata

Arteri yang memperdarahi mata berasal dari arteri oftalmika yang bercabang menjadi arteri siliaris dan arteri retina sentral

Arteri siliaris: Posterior: uvea (iris, badan silier, koroid) menjaga TIO dan bentuk bola mata Longus: penetrasi sklera dekat keluarnya N II, salah satu percabangan ke temporal, cabang lain ke bag nasal menuju badan silier dan iris. Di pangkal iris: greater arterial circle of the iris, di dekat pupil: lesser arterial circle of the iris. Brevis: membentuk pleksus koroideus pada dinding posterior bola mata sampai ora serata. A siliaris anterior: berjalan dari m. rectus ke sklera dan bercabang ke jaringan episklera dan konjungtiva ( membentuk marginal loop di sekeliling margin kornea). Arteri retina sentral: bergabung dengan N.II 1 cm posterior bola mata, menembus sklera dan bercabang pada permukaan retina (lap serabut saraf retina)

2.2 KELAINAN REFRAKSI

A. Hiperopia (Penglihatan Jauh)Hiperopia dikenal pula sebagai penglihatan jauh, biasanya akibat bola mata terlalu pendek, atau kadang-kadang karena sistem lensa terlalu lemah. Pada keadaan ini, cahaya sejajar kurang dibelokkan oleh sistem lensa sehingga tidak terfokus di retina. Untuk mengatasi kelainan ini, otot siliaris berkontraksi untuk meningkatkan kekuatan lensa. Dengan menggunakan mekanisme akomodasi, pasien hiperopia dapat memfokuskan bayangan dari objek jauh di retina. Bila pasien menggunakan sebagian dari kekuatan otot siliarisnya untuk melakukan akomodasi jarak jauh, ia tetap masih mempunyai sisa daya akomodasi untuk melihat dengan tegas objek yang mendekati mata sampai otot siliaris telah berkontraksi maksimum. Pada orang tua, sewaktu lensa menjadi presbiop, pasien hiperopia sering tidak dapat berkontraksi cukup kuat untuk memfokuskan objek kauh sekalipun, apalagi untuk memfokuskan objek dekat.

B. Miopia (Penglihatan Dekat)Pada miopia atau penglihatan dekat, sewaktu otot siliaris relaksasi total, cahaya dari objek jauh difokuskan di depan retina. Keadaan ini biasanya akibat bola mata yang terlalu panjang, atau kadang-kadang karena daya bias sistem lensa yang terlalu kuat.Tidak ada mekanisme bagi miopia untuk mengurangi kekuatan lensanya karena memang otot siliaris dalam keadaan relaksasi sempurna. Pasien miopia tidak mempunyai mekanisme untuk memfokuskan bayangan dari objek jauh dengan tegas di retina. Namun, bila objek didekatkan ke mata, bayangan akhirnya akan menjadi cukup dekat sehingga difokuskan di retina. Kemudian, bila objek terus didekatkan ke mata, pasien miopia dapat menggunakan mekanisme akomodasi agar bayangan yang terbentuk tetap terfokus secara jelas. Seorang pasien miopia mempunyai titik jauh yang terbatas untuk penglihatan jelas.

C. Koreksi Miopia dan Hiperopia dengan Menggunakan LensaPerlu diingat lagi bahwa cahaya yang melalui lensa konkaf akan disebarkan. Bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu besar, seperti pada miopia, kelebihan daya bias ini dapat dinetralkan dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata, yang akan menyebarkan berkas cahaya.Sebaliknya, pada pasien hiperopia -yang mempunyai sistem lensa terlalu lemah- penglihatan abnormalnya dapat dikoreksi dengan menambahkan daya bias, menggunakan lensa konveks di depan mata.Biasanya kekuatan lensa konkaf atau konveks yang diperlukan seseorang untuk penglihatan jelas, ditentuka dengan cara trial and error yaitu mula-mula meletakkan sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang lebih kuat atau lebih lemah sampai diperoleh lensa yang meberikan tajam penglihatan terbaik.

D. PresbiopiaDengan meningkatnya usia, lensa semakin besar dan menebal serta menjadi kurang elastik, sebagian disebabkan oleh denaturasi protein lensa yang progresif. Kemampuan lensa untuk berubah bentuk akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Daya akomodasi berkurang dari 14 dipotri pada usia anak-anak menjadi kurang dari 2 dioptri pada saat kita mencapai usia 45 sampai 50 tahun; kemudian daya akomodasi berkurang menjadi 0 dioptri pada usia 70 tahun. Sesudah itu, dapat dikatakan lensa hampir sama sekali tidak dapat berakomodasi, dan keadaan itu disebut presbiopia.

Sekali orang mengalami presbiopia, matanya akan terfokus secara permanen pada suatu jarak yang hampir tidak berubah-ubah; jarak ini bergantung pada keadaan fisik mata orang tersebut. Matanya tidak dapat berakomodasi lagi dengan baik untuk melihat dekat maupun melihat jauh. Agar dapat melihat dekat maupun jauh dengan jelas, orang tua harus memakai kacamata bifokus, bagian atas untuk penglihatan jauh dan bagian bawah untuk penglihatan dekat (misalnya, untuk membaca).

2.3 PENURUNAN VISUS PADA KATARAK DIABETESDiabetes adalah sekumpulan penyakit endokrin yang ditandai dengan hiperglikemia yang merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. Diabetes memiliki banyak sekali komplikasi yang ditimbulkannya, baik itu terjadi secara akut seperti hiperglikemik hiperosmolar non-ketotik, ketoasidosis yang dapat membawa kematian, atau komplikasi yang berjalan secara kronik seperti diabetik neuropati, makroangiopati, mikroangiopati, dan sebagainya. Dalam bidang oftalmologi, komplikasi yang terpenting adalah retinopati diabetik dan peningkatan progresifitas katarak yang telah terjadi. Adapun bentuk katarak diabetik murni namun kejadiannya jarang. Pada makalah ini yang dibahas adalah pengaruh diabetes terhadap katarak yang telah ada. Beberapa studi telah menunjukkan korelasi yang kuat antara progresifitas katarak dengan diabetes yang mendasari seperti yang telah dilakukan Kim, dkk (2006) yang menyimpulkan durasi diabetes adalah faktor yang sangat signifikan untuk katarak pada penderita diabetes. Efek yang terakumulasi dari hiperglikemia terkait dengan kejernihan lensa pada diabetes.Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya kernih dan bening menjadi keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses kongenital atau karena proses degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat stadium; Insipien, Immatur, Matur dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi timbulnya katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat proses timbulnya katarak ini. Dari 200 pasien dengan katarak senilis yang dilakukan tes toleransi glukosa oleh Dukmore dan Tun (1980) ditemukan dan disimpulkan bahwa intoleransi glukosa sering dijumpai pada katarak senilis yang tidak menunjukkan glikosuria dan gula darah puasa yang normal pada pemeriksaan rutin. Terdapat beberapa teori yang hendak menjelaskan patofisiologi progresifitas katarak pada penderita diabetes, serta penelitian-penelitian yang telah berhasil membuktikan korelasi antara awitan usia menderita katarak dengan lamanya menderita diabetes.Lensa dan KaratakLensa Kristalina Normal. ensa Kristalina adalah sebuah struktur yang transparan dan bikonveks yang memiliki fungsi untuk mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi. Lensa tidak memiliki suplai darah atau inervasi setelah perkembangan janin dan hal ini bergantung pada aqueus humor untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya serta membuang sisa metabolismenya. Lensa terletak posterior dari iris dan anterior dari korpus vitreous. Posisinya dipertahankan oleh zonula Zinnii yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan melekatkannya pada korpus siliar. Lensa terdiri dari kapsula, epitelium lensa, korteks dan nukleus. Kutub anterior dan posterior dihubungkan dengan sebuah garis imajiner yang disebut aksis yang melewati mereka. Garis pada permukaan yang dari satu kutub ke kutub lainnya disebut meridian. Ekuator lensa adalah garis lingkar terbesar. Lensa dapat merefraksikan cahaya karena indeks refraksinya, secara normal sekitar 1,4 pada bagian tengah dan 1,36 pada bagian perifer yang berbeda dari aqueous humor dan vitreous yang mengelilinginya. Pada keadaan tidak berakomodasi, lensa memberikan kontribusi 15-20 dioptri (D) dari sekitar 60 D seluruh kekuatan refraksi bola mata manusia. Sisanya, sekitar 40 D kekuatan refraksinya diberikan oleh udara dan kornea. Lensa terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya usia. Saat lahir, ukurannya sekitar 6,4 mm pada bidang ekuator, dan 3,5 mm anteroposterior serta memiliki berat 90 mg. Pada lensa dewasa berukuran 9 mm ekuator dan 5 mm anteroposterior serta memiliki berat sekitar 255 mg. Ketebalan relatif dari korteks meningkat seiring usia. Pada saat yang sama, kelengkungan lensa juga ikut bertambah, sehingga semakin tua usia lensa memiliki kekuatan refraksi yang semakin bertambah. Namun, indeks refraksi semakin menurun juga seiring usia, hal ini mungkin dikarenakan adanya partikel-partikel protein yang tidak larut. Maka, lensa yang menua dapat menjadi lebih hiperopik atau miopik tergantung pada keseimbangan faktor-faktor yang berperan. Kapsula. Kapsula lensa memiliki sifat yang elastis, membran basalisnya yang transparan terbentuk dari kolagen tipe IV yang ditaruh di bawah oleh sel-sel epitelial. Kapsula terdiri dari substansi lensa yang dapat mengkerut selama perubahan akomodatif. Lapis terluar dari kapsula lensa adalah lamela zonularis yang berperan dalam melekatnya serat-serat zonula. Kapsul lensa tertebal pada bagian anterior dan posterior preekuatorial dan tertipis pada daerah kutub posterior sentral di mana. Kapsul lensa anterior lebih tebalmemiliki ketipisan sekitar 2-4 dari kapsul posterior dan terus meningkat ketebalannya selama kehidupan. Serat zonular.Lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal dari lamina basalis dari epitelium non-pigmentosa pars plana dan pars plikata korpus siliar. Serat-serat zonula ini memasuki kapsula lensa pada regio ekuatorial secara kontinu. Seiring usia, serat-serat zonula ekuatorial ini beregresi, meninggalkan lapis anterior dan posterior yang tampak sebagai bentuk segitiga pada potongan melintang dari cincin zonula. Epitel Lensa Terletak tepat di belakang kapsula anterior lensa, lapisan ini merupakan lapisan tunggal dari sel-sel epitelial. Sel-sel ini secara metabolik aktif dan melakukan semua aktivitas sel normal termasuk biosintesis DNA, RNA, protein dan lipid. Sel-sel ini juga menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi dari lensa. Sel-sel epitelial aktif melakukan mitosis dengan aktifitas terbesar pada sintesis DNA pramitosis yang terjadi pada cincin di sekitar anterior lensa yang disebut zona germinativum. Sel-sel yang baru terbentuk ini bermigrasi menuju ekuator di mana sel-sel ini melakukan diferensiasi menjadi serat-serat. Dengan sel-sel epitelial bermigrasi menuju bow region dari lensa, maka proses differensiasi menjadi serat lensa dimulai. Mungkin, bagian dari perubahan morfologis yang paling dramatis terjadi ketika sel-sel epitelial memanjang membentuk sel serat lensa. Perubahan ini terkait dengan peningkatan massa protein selular pada membran untuk setiap individu sel-sel serat. Pada waktu yang sama, sel-sel kehilangan organel-organelnya, termasuk inti sel, mitokondria, dan ribosom. Hilangnya organel-organel ini sangat menguntungkan, karena cahaya dapat melalui lensa tanpa tersebar atau terserap oleh organel-organel ini. Bagaimana pun, karena serat-serat sel lensa yang baru ini kehilangan fungsi metaboliknya yang sebelumnya dilakukan oleh organel-organel ini, kini serat lensa terganting dari energi yang dihasilkan oleh proses glikolisis. Korteks dan Nukleus Tidak ada sel yang hilang dari lensa sebagaimana serat-serat baru diletakkan, sel-sel ini akan memadat dan merapat kepada serat yang baru saja dibentuk dengan lapisan tertua menjadi bagian yang paling tengah. Bagian tertua dari ini adalah nukleus fetal dan embrional yang dihasilkan selama kehidupan embrional dan terdapat pada bagian tengah lensa. Bagian terluar dari serat adalah yang pertama kali terbentuk dan membentuk korteks dari lensa. Peningkatan Protein-protein yang Tidak Larut Air Seiring Usia Tergantung dari kelarutan dalam air, sebuah hipotesis memperkirakan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, protein lensa menjadi tidak larut air dan beragregasi untuk membentuk partikel-partikel yang sangat besar yang dapat memecahkan cahaya yang akhirnya mengakibatkan kekeruhan lensa. Beberapa peneliti berusaha untuk mengkaitkan prosentase yang lebih tinggi terhadap protein tidak larut air ini dengan peningkatan kekeruhan lensa, tetapi hipotesis ini masihlah kontroversial. Haruslah diperhatikan bahwa fraksi protein tak larut air meningkat dengan waktu sekalipun lensa masih tetap jernih. Konversi protein larut air menjadi tak larut air tampak sebagai proses yang normal pada maturasi serat lensa, tetapi dapat menjadi lebih cepat hingga berlebih pada lensa katarak tertentu.Pada katarak dengan pencoklatan nukleus lensa (katarak brunesen), peningkatan kadar protein tak larut air berkorelasi dengan derajat kekeruhan. Pada katarak brunesen yang jelas, sebanyak 90% protein inti adalah tak larut air. Perubahan-perubahan terkait dengan oksidasi juga terjadi termasuk protein-protein dan formasi ikatan disulfida protein-glutation, penurunan glutation terreduksi dan peningkatan glutation disulfida. Methionin terkait membran dan sistein juga ikut teroksidasi. Pada lensa yang muda, kebanyakan protein tak larut dapat larut dalam urea. Dengan usia dan secara nyata pembentukan katarak brunesen, protein inti menjadi tidak larut dalam urea. Sebagai tambahan pada peningkatan ikatan disulfida, protein-protein inti ini berikatan silang dengan ikatan-ikatan non disulfida. Fraksi protein tak larut ini mengandung protein kuning-coklat yang ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada katarak nuklear. Penurunan Konsentrasi Protein Lensa Seiring Usia Sekali pun usia membawa penurunan secara alami dari jumlah protein absolut dalam lensa, reduksi ini tampak semakin jelas pada katarak. Sebagaimana disebutkan pada permulaan, prosentase protein larut juga menurun, dari sekitar 81% pada lensa tranparan dewasa hingga 51,4% pada lensa katarak. Hilangnya protein dari lensa mungkin dikarenakan lolosnya kristalin intak melalui kapsula lensa. Peneliti telah menemukan bahwa, pada katarak kortikal, kadar kristalin alpha dan gamma dalam aqueous humor meningkat, pada katarak nuklear, kadar kritalin alpha meningkat sedangkan kristalin gamma menurun. Keseimbangan Air dan Kation Lensa Aspek fisiologi terpenting dari lensa adalah mekanisme yang mengatur keseimbangan air dan elektrolit lensa yang sangat penting untuk menjaga kejernihan lensa. Karena kejernihan lensa sangat tergantung pada komponen struktural dan makromolekular, gangguan dari hidrasi lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Telah ditentukan bahwa gangguan keseimbangan air dan elektrolit bukanlah gambaran dari katarak nuklear. Pada katarak kortikal, kadar air meningkat secara bermakna. Lensa manusia normal mengandung sekitar 66% air dan 33% protein dan perubahan ini terjadi sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia. Korteks lensa menjadi lebih terhidrasi daripada nukleus lensa. Sekitar 5% volume lensa adalah air yang ditemukan diantara serat-serat lensa di ruang ekstraselular. Konsentrasi natrium dalam lensa dipertahankan pada 20mM dan konsentrasi kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium disekeliling aqueous humor dan vitrous humor cukup berbeda; natrium lebih tinggi sekitar 150 mM di mana kalium sekitar 5 mM. Epitelium Lensa; Tempat Transport Aktif Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam amino yang lebih tinggi dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya. Sebaliknya, lensa mengandung kadar ion natrium (Na+) ion klorida (Cl-) dan air yang lebih sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan kation antara di dalam dan di luar lensa adalah hasil dari kemampuan permeabilitas membran sel-sel lensa dan aktifitas dari pompa (Na+, K+-ATPase) yang terdapat pada membran sel dari epitelium lensa dan setiap serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara memompa ion natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme ini tergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na+, K+-ATPase. Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik ATPase ouabain. Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan hilangnya keseimbangan kation dan meningkatnya kadar air dalam lensa. Walaupun Na+, K+-ATPase terhambat pada perkembangan katarak kortikal masih belum jelas, beberapa studi telah menunjukkan penurunan aktifitas Na+, K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak tidak menunjukkan perubahan apa pun. Dan studi-studi lain telah memperkirakan bahwa permeabilitas membran meningkat seiring dengan perkembangan katarak. Teori Kebocoran Pompa Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran seringkali dihubungkan dengan sistem kebocoran pompa pada lensa. Menurut teori ini, kalium dan molekul-molekul lainnya seperti asam-asam amino secara aktif ditransport ke anterior lensa melalui epitelium. Kemudian berdifusi keluar dengan gradien konsentrasi melalui belakang lensa.di mana tidak ada sistem transport aktif. Kebalikannya, natrium mengalir melalui belakang lensa dengan sebuah gradien konsentrasi yang kemudian secara aktif diganti dengan kalium melalui epitelium. Sebagai pendukung teori ini, gradien anteroposterior ditemukan untuk kedua ion: kalium terkonsentrasi pada anterior lensa, dan natrium pada bagian posterior lensa. Kondisi seperti pendinginan yang menginaktifasi pompa enzim tergantung energi juga mengganggu gradien ini. Kebanyakan aktifitas dari Na+, K+-ATPase ditemukan dalam epitelium lensa. Mekanisme transport aktif akan hilang jika kapsul dan epitel yang menempel dilepaskan dari lensa, tetapi tidak terjadi jika hanya kapsul saja yang dilepaskan melalui degradasi enzimatik dengan kolagenase. Temuan-temuan ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa epitel adalah tempat primer untuk transport aktif pada lensa. Natrium dipompakan keluar menuju aqueous humor dari dalam lensa, dan kalium masuk dari aqueous humor ke dalam lensa. Pada permukaan posterior lensa (lensa-vitreus), perpindahan solut terjadi secara difusi pasif. Rancangan asimetris ini bermanifestasi dalam gradien natrium dan kalium sepanjang lensa dengan konsentrasi kalium lebih tinggi pada depan lensa dan lebih rendah di belakang lensa. Dan kebalikannya konsentrasi natrium lebih tinggi di belakang lensa daripada di depan. Banyak dari difusi-difusi ini terjadi pada lensa melalui sel ke sel dengan taut antar sel resistensi rendah.Keseimbangan kalsium juga penting untuk lensa. Kadar normal intrasel dari kalsium dalam lensa adalah sekitar 30 mM di mana kadar kalsium di M Besarnya gradien transmembran kalsium dipertahankanluar mendekati 2 secara primer oleh pompa kalsium (Ca2+-ATPase). Membran sel lensa juga secara relatif tidak permeabel terhadap kalsium. Hilangnya homeostasis kalsium akan sangat mengganggu metabolisme lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat berakibat pada beberapa perubahan meliputi tertekannya metabolisme glukosa, pembentukan agregat protein dengan berat molekul tinggi dan aktivasi protease yang destruktif. Transport membran dan permeabilitas juga termasuk perhitungan yang penting pada nutrisi lensa. Transport aktif asam-asam amino mengambil tempat pada epitel lensa dengan mekanisme tergantung pada gradien natrium yang dibawa oleh pompa natrium. Glukosa memasuki lensa melalui sebuah proses difusi terfasilitasi yang tidak secara langsung terhubung oleh sistem transport aktif. Hasil buangan metabolisme meninggalkan lensa melalui difusi sederhana. Berbagai macam substansi seperti asam askorbat, myo-inositol dan kolin memiliki mekanisme transport yang khusus pada lensa.2.4 DIABETES DAN KATARAKMetabolisme Karbohidrat pada Lensa Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah untuk mempertahankan kejernihannya. Pada lensa, energi yang diperoleh bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa memasuki lensa dari aqueous baik melalui difusi sederhana dan melalui difusi terfasilitasi. Kebanyakan glukosa ditranportasi ke dalam lensa dalam bentuk terfosforilasi (Glukosa 6 fosfat =G6P) oleh enzim heksokinase. Reaksi ini adalah 70-1000 kali lebih lambat dari enzim-enzim lainnya yang terlibat dalam proses glikolisis lensa dan kecepatan terbatas pada lensa. Ketika terbentuk, G6P memasuki satu dari dua jalur metabolisme: glikolisis anaerobik atau heksosa monofosfat shunt (HMP shunt). Jalur yang lebih aktif dari antara kedua metabolisme ini adalah glikolisis anaerobik yang menyediakan ikatan fosfat energi tinggi terbanyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa. Fosforilasi terkait substrat dari ADP menjadi ATP terjadi pada dua langkah sepanjang jalan menuju laktat. Langkah dengan kecepatan yang terbatas pada jalur glikolitik sendiri ada pada tahap enzim fosfofruktokinase yang diatur melalui umpan balik oleh produk metabolik dari jalur glikolitik. Jalur ini lebih sedikit efisiensinya dibandingkan dengan glikolisis aerobik yang menghasilkan 36 molekul ATP dari setiap molekul glukosa yang dimetabolisme dalam siklus asam sitrat (metabolisme oksidatif). Karena tekanan oksigen yang rendah dalam lensa, hanya sekitar 3% dari glukosa lensa yang melewati siklus asam sitrat Krebs untuk memproduksi ATP; bagaimana pun, walau hanya dengan metabolisme aerobik yang rendah ini menghasilkan 25% dari ATP lensa. Bahwa lensa tidak tergantung pada oksigen telah didemonstrasikan dengan kemampuannya untuk menjaga metabolisme normal dalam lingkungan nitrogen. Dengan diberikan sejumlah glukosa, lensa in vitro yang anoksik tetap jernih dan utuh, memiliki kadar normal dari ATP serta mempertahankan aktivitas pompa asam amino dan ion. Bagaimana pun, ketika glukosa menurun atau kekurangan, lensa tidak dapat mempertahankan fungsi-fungsi ini dan menjadi keruh pada beberapa jam sekalipun terdapat oksigen. Jalur yang kurang aktif untuk utilisasi G6P dalam lensa adalah heksosa monofosfat shunt (HMP shunt), yang dikenal juga dengan istilah jalur pentosa monofosfat. Sekitar 5% dari glukosa lensa dimetabolisme melalui jalur ini sekalipun jalur ini distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa. Aktifitas HMP shunt lebih tinggi pada lensa dibandingkan dengan jaringan lain dalam tubuh namun perannya masih belum bisa ditetapkan. Sebagaimana pada jaringan lain, dapat menghasilkan NADPH (sebuah bentuk terreduksi dari nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADP)) untuk biosintesis asam lemak dan biosintesis ribosa untuk nukleotida. Juga dihasilkan pula NADPH untuk aktifitas glutation reduktase dan aldose reduktase dalam lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat. Aldose reduktase adalah enzim kunci pada jalur lain metabolisme karbohidrat pada lensa, yaitu jalur sorbitol. Enzim ini telah ditemukan memainkan peranan yang penting dalam pembentukan katarak gula.Sebagaimana ditekankan sebelumnya, reaksi heksokinase memiliki keterbatasan dalam memfosforilasi glukosa dalam lensa dan dihambat oleh mekanisme umpan balik dari produk glikolisis. Maka, ketika kadar glukosa meningkat dalam lensa sebagaimana terjadi pada keadaan hiperglikemia, jalur sorbitol teraktifasi lebih daripada glikolisis dan terjadi akumulasi dari sorbitol. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. Sayangnya enzim ini memilii affinitas yang rendah yang berarti sorbitol akan terakumulasi sebelum mengalami metabolisme labih lanjut. Karakteristik ini, dikombinasikan dengan kurangnya permeabilitas lensa terhadap sorbitol berakhir dengan retensi sorbitol dalam lensa. Tingginya rasio NADPH/NADH mendorong reaksi ke arah tersebut, akumulasi dari NADP yang terjadi sebagai konsekuensi teraktivasinya jalur sorbitol dapat menyebabkan stimulasi HMP shunt yang terjadi pada peningkatan glukosa lensa.Berdasarkan bukti-bukti yang ada, stress oksidatif yang terjadi pada diabetes terkait dengan penurunan kadar glutation dan penurunan kadar NADPH, dengan demikian peningkatan sorbitol dehidrogenase terkait dengan terganggunya kadar NAD+ yang bermanifestasi sebagai modifikasi protein oleh glikosilasi non-enzimatik pada protein lensa.. Penelitian yang dilakukan oleh Murya, dkk menunjukkan bahwa kadar Katalase pada pasien dengan katarak diabetik 16,42 unit/ml sedangkan pada katarak senilis 57,27 unit/ml. Kadar Superoksida dismutase pada katarak diabetik 9,19 unit/ml dan kadarnya pada katarak senilis adalah 25,30 unit/ml. Penelitian ini menyimpulkan penurunan kadar superoksida dismutase dan katalase yang lebih rendah secara nyata dan bermakna pada pasien dengan katarak diabetik dibandingkan dengan katarak senilis. Maurya menyimpulkan peran dari enzim-enzim antioksidan yang penting dalam melindungi jaringan dari perusakan oksidatif serta stress oksdatif termasuk faktor penting yang berperan dalam patogenesis katarak diabetik. Penggunaan antioksidan akan menghambat atau mencegah pembetukan katarak.Sejalan dengan sorbitol, fruktosa juga terbentuk pada lensa dengan kadar tinggi glukosa. Bersamaan, kedua gula tersebut meningkatkan tekanan osmotik di dalam lensa dan menarik air. Pada mulanya pompa tergantung energi pada lensa mampu mengkompensasi, tetapi akhirnya kemampuan tersebut terlewati. Hasilnya adalah pembengkakan serat, rusaknya arsitektur sitoskeletal normal dan kekeruhan lensa.Diabetes Mellitus dan Katarak Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi dan amplitudo akomodatifnya. Dengan peningkatan kadar gula darah, juga diikuti dengan kadar glukosa pada aqueous humor. Karena kadar glukosa darah yang meningkat pada aqueous humor dan glukosa masuk ke dalam lensa melalui difusi, kadar glukosa dalam lensa akan meningkat. Beberapa molekul glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase yang tidak dimetabolisme namun menetap di dalam lensa.Bersama dengan itu, tekanan osmotik akan menyebabkan influks dari air ke dalam lensa yang menyebabkan pembengkakan dari serat-serat lensa. Keadaan hidrasi lentikular dapat mempengaruhi kemampuan/kekuatan refraksi lensa. Pasien dengan diabetes dapat menunjukkan perubahan kekuatan refraksi berdasarkan perubahan pada kadar glukosa darah yang dialami. Perubahan miopik akut dapat mengindikasikan diabetes yang tidak terdiagnosa atau diabetes yang tidak terkontrol. Seorang dengan diabetes memiliki amplitudo akomodasi yang menurun dibandingkan dengan kontrol pada usia yang sama, dan presbiopia dapat terjadi pada usia yang lebih muda pada pasien dengan diabetes jika dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya. Bukti-bukti eksperimental memperkirakan bahwa glikosilasi dari protein lensa terlibat dalam proses pembentukan katarak. Glikosilasi dari protein lensa, di mana glukosa atau gula-gula terreduksi lainnya bereaksi dengan grup e-amino dari residu lisin atau amino terminal dari protein yang mengakibatkan pembentukan basa schiff. Basa schiff ini akan mengalami perombakan secara Amadori melalui reaksi Maillard yang akan menghasilkan ketoamin yang lebih stabil dari produk Amadori (produk glikosilasi awal). Pada tahap akhir, produk Amadori mengalami dehidrasi dan perombakan kembali untuk membentuk lintas silang antara protein terkait, menghasilkan agregat protein atau Advanced Glycocylated End Products (AGEs).Jansirani (2004) melakukan eksperimen dengan mengumpulkan nukleus-nukleus lensa dari setiap operasi ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction) dengan membandingkan kadar glukosa, protein dan protein terglikosilasi antara dua populasi; katarak senilis dengan diabetes, dan katarak senilis non-diabetik dari berbagai stadium. Dan hasil yang ditemukan adalah kadar protein terglikosilasi tertinggi ditemukan pada katarak senilis hipermatur (p daerah diskus, d) perdarahan vitreus. Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan risiko tinggi.

ETDRS= Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; NVD= new vessels on disc; NVE= new vessels elsewhere

Klasifikasi retinopati diabetes menurut bagian mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Derajat I. Terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli. Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli. Derajat III. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak, terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli. Sering terjadi perdarahan intra dan praretinal yang dapat menyebar ke dalam badan kaca.Jika gambaran fundus mata kiri tidak sama beratnya dengan mata kanan maka digolongkan pada derajat yang lebih berat.Keluhan pasien dengan retinopati diabetik biasanya tidak ada kecuali bila telah terjadi gangguan pada daerah makulanya. Gangguan penglihatan akan menjadi lebih berat bila terjadi neovaskularisasi pada retina ataupun badan kaca. Bila terjadi retinopati diabetik dengan terjadi ablasi retina, maka pasien akan kehilangan penglihatan dan sukar diatasi.Secara umum dapat dikatakan bahwa stadium retinopati diabetes menetap untuk beberapa lama tanpa terlihat adanya progresivitas kelainannya.

Retinopati Diabetes ProliferatifPada retinopati diabetes proliferatif, 50% pasien biasanya buta sesudah 5 tahun, regresi spontan dapat pula terjadi.Gejala bergantung kepada luas, tempat kelainan dan beratnya kelainan. Umumnya berupa penurunan tajam penglihatan yang berlangsung perlahan-lahan.Fundus dapat ditemui kelainan-kelainan seperti di atas berupa:1. Mikroaneurisma2. Perdarahan retina3. Exudate4. Neovaskularisasi retina5. Jaringan proliferasi di retina atau badan kacaPengobatan dengan mengontrol diabetes melitus dengan diet dan obat-obat antidiabetes.Pengobatan retinopati yang telah mengganggu tajam penglihatan atau telah menimbulkan penyulit adalah fotokoagulasi. Fotokoagulasi dilakukan pada daerah retina iskemia dengan laser dan xenon. Laser fotokoagulasi retina pada retinopati diabetik akan melindungi dan mengobati retina bila dilakukan pada waktu yang tepat. Laser akan merusak jaringan retina yang membentuk growth faktor yang akan membentuk neovaskularisasi retina.Vitrektomi dilakukan bila terdapat perdarahan ke dalam badan kaca. Pada retinopati diabetes proliferatif dilakukan panfotokoagulasi bila telah memperlihatkan kelainan retina.Penyulit yang dapat timbul adalah ablasi retina traksi dan perdarahan badan kaca.

Gambaran Retinopati Diabetik

Perjalanan Klinis dan PrognosisPasien RDNP (retinopati diabetik nonpriliferatif) minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang, memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1 tahun. Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan ulang setaip 6-12 bulan oleh karena sering bersifat progresif. Pasien RDNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema makula yang secara klinik tidak signifikan, perlu diperiksa kembali dalam waktu 4-6 bulan oleh karena memiliki risiko besar untuk berkembang menjadi edema makula yang secara klinik signifikan (CSME). Untuk pasien RDNP dengan CSME harus dilakukan terapi fotokoagulasi. Risiko kebutaan pada stadium ini akan berkurang sampai 50% apabila dilakukan terapi fotokoagulasi. Pasien RDNP berat memiliki risiko tinggi menjadi RDP (retinopati diabetik proliferatif). Separuh dari pasien RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam 1 tahun dimana 15% di antaranya tergolong RDP dengan risiko tinggi. Pasien RDNP sangat berat, risiko menjadi RDP dalam 1 tahun adalah 75% dimana 45% di antaranya tergolong RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu pasien RDNP sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3-4 bulan. Pasien dengan RDP risiko tinggi harus segera diterapi dengan fotokoagulasi. Teknik yang dilakuakn ialah dengan scatter photocoagulation. Pasien RDP risiko tinggi yang disertai dengan CSME, terapi fotokoagulasi mula-mula dengan menggunakan focal dan panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi panretinal dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema makula, maka untuk terapi dengan metode panretinal (scatter) perlu dibagi dalam 2 tahap atau lebih.

2.7 OPTIK NEUROPATI

Definisi

Optic neuropati adalah keadaan dimana terjadi penurunan daya penglihatan dan defek lapang pandang yang disertai pembengakakan diskus optikus. Anterior Iskemik Optik Neuropati (AION) adalah penyebab utama akut optik neuropati pada penderita usia lanjut. Dapat dikategorikan sebagai non-arteritik atau arteritik yang kemudian dihubungkan degan giant cell arteritis. Mempunyai karakteristik penurunan kemampuan penglihatan yang disertai dengan pembengkakan diskus optikus yang menjadi pucat dan kadang terdapat perdarahan pada lapisan neuroretinal dan juga terdapat eksudat. Kehilangan penglihatan biasanya terjadi secara mendadak danmenetap, mungkin dapat membaik pada beberapa minggu atau bulan setelah onset.

Patofisiologi

Anterior iskemik optic neuropati diperkirakan sebagai akibat dari proses iskemik yang mempengaruhi sirkulasi peredaran pembuluh darah posterior yang mensuplai darah ke nervus optikus yang keluar dari mata. Hanya sel glial yang menyusun diskus optikus di daerah tersebut dan hanya di situlah pembengkakan dapat terjadi. Iskemik posterior juga menghasilkan kondisi serupa, tetapi tanpa disertai pembengkakan dan disebut posterior iskemik optik neuropati.

Etiologi

Penyebab dan kondisi yang berhubungan dengan anterior iskemik optic neuropatiberdasarkan Walsh dan Hoyts Clinical Neuro-opthalmology adalah

1.Vasculara. Giant cell arteritisb. Post imunisasic. Sifilisd. Radiasi nekrosise. SLEf. Vasculitis alergi2. Sistemik vaskulopatia. Hipertensib. Diabetes mellitusc. Migrained. atherosclerosis3. Hematologia. Polisitemia verab. Defisiensi G-6-PDc. Penyakit Sickle cell4. Oculara. Post katarakb. Glaucoma

Gejala Klinis

1. Ketajaman penglihatan yang turun mendadak disertai dengan skotoma ( defek lapang pandang) sesuai dengan gambaran serat saraf retina / kadang-kadang altitudinal.2. Bila disertai nyeri atau nyeri tekan kulit kepala maka diagnosis arteritis sel raksasa.3. Serangan-serangan gelap yang berlangsung beberapa detik atau menit yang kemudian kembali menjadi normal (Amaurosis Fugaks).4. Lempeng optik yang membengkak dan mengalami perdarahan dengan retinadan pembuluh darah retina normal. Pada ION arteritis, lempeng dapat terlihat pucat.5. Lempeng pada mata kontralateral memiliki mangkuk optik yang kecil pada penyakit nonarteritis.6. Pada arteritis biasanya selalu didahului oleh demam dan rasa sakit kepala yang sangat, lemah badan, disertai mialgia otot-otot, seperti: otot bahu,leher serta tungkai atas .7. Pada pemeriksaan didapatkan edema papil saraf optik yang sekoral/tidak menyeluruh, pada keadaan lanjut papil menjadi pucat dan edema berkurang.

Pemeriksaan penunjang pasien dengan neuropati optik iskemik nonarteritistermasuk :

1. Hitung darah lengkap untuk menyingkirkan anemia.2. Pemeriksaan tekanan darah3. Pemerisaan gula darah4. Led dan protein reaktif-C untuk memeriksa arteritis sel raks

Penatalaksaan

Pada jenis non arteritik pengobatan ditujukan terhadap faktor dasar dan factor pencetusnya kadang-kadang ditemukan adanya perdarahan peripapil tapi tidak pernah dikemukakan adanya eksudat pada retina. Jenis arteritis diberi kortikosteroid yang mempunyai efek anti-inflamasi dan memodifikasi respon imunitas tubuh. Methylprednisolone dapat menurunkan inflamasi dengan mesupresi migrasi dari leukosit PMN dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Diberikan secara intravena dengan dosis 1 gram selama 3 hari dilanjutkan dengan prednisone 100 mg selama 10 hari.PrognosisPenglihatan jarang memburuk secara progresif pada neuropati optik iskemik nonarteritis dan keluaran penglihatan dalam hal lapang pandang serta tajam penglihatan sangat bervariasi. Penglihatan tidak kembali pulih bila telah hilang. Mata kontralateral dapat terlibat dengan cepat pada pasien dengan arteritis sel raksasa yang tidak diterapi. Selain itu juga terdapat keterlibatan mata kontralateral yang bermakna pada bentuk nonarteritis (40-50%).

BAB IIIPENUTUPKesimpulan Terdapat hubungan antara penglihatan buram yang dialami Tn. H dengan penyakit DM yang diderita sejak 30 tahun yang lalu dan diperkuat dengan adanya kekeruhan pada lensa mata kanan dan kiri Adanya kekeruhan pada lensa disebabkan oleh denaturasi protein/ degeneratif pada lensa (katarak senil) dan DM memperparah kondisi katarak tersebut Bercak perdarahan dan eksudat di retina merupakan komplikasi DM, yaitu retinopati diabetik Retinopati diabetes biasanya ditemukan bilateral dan simetris, namun kekeruhan lensa mata kanan mempersulit penglihatan dengan funduskopi

DAFTAR PUSTAKA

Saladin. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function. Edisi 3. McGraw-Hill Companies; 2003 Sherwood, Lauralee. Human Physiology From Cell to System. 5th edition: EGC; 2005 Vander et al. Human Physiology The Mechanism of Body Function. Eighth Edition: The McGrawHill Companies: 2001 Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Ilyas, Sidarta. 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sudoyo AW., dkk. (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Cetakan ke-2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Ganong, William F., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC.2002 Newell FW. Systemic Disease and the Eye; Endocrine Disease and the Eye. In; Newell FW, editor: Ophtalmology; Principles & Concepts. London, Mosby Company. 1982; 431-45. Rosenfeld S, Blecher MH. Pathology; Cataracts, Metabolic Cataracts. In: Rosenfeld S, editors. Lens & Cataract. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 45-61