Makalah PBL Blok 18-Ajeng Aryuningtyas

download Makalah PBL Blok 18-Ajeng Aryuningtyas

of 12

description

makalah pbl blok 18

Transcript of Makalah PBL Blok 18-Ajeng Aryuningtyas

Difteri Pada AnakAjeng Aryuningtyas Dewanti102012259 E6e-mail: [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana 2012Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk-Jakarta Barat 11510No. Telp (021) 5694-2061

Pendahuluan1.1 Latar BelakangDifteri adalah suatu infeksi akut pada saluran pernafasan terutama bagian tonsil, dan nasofaring yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh penderita, juga melalui batuk dan bersin penderita, dan difteri lebih sering menyerang pada anak-anak. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan sanitasi yang rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.1Untuk menekan angka kejadian difteri, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan imunisasi, yaitu vaksin DPT secara lengkap. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Diphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai dan vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan untuk mencegah virus Corynebacterium diptheriae masuk ke dalam tubuh.

TujuanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk membantu mahasiswa kedokteran dalam memahami penyakit difteri yang terjadi pada anak, baik anamnesanya, pemeriksaan, diagnosa banding, etiologi, epidemiologi, gejala klinis, patologi, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis.

SkenarioSeorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RS karena sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. ( KU tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, tampak sesak dan agitasi, frekuensi nafas 50x/menit, denyut nadi 130x/menit, suhu 40oc, stridor (+), leher terlihat membesar dan teraba keras, kedua tonsil membesar dengan ditutupi selaput putih keabu-abuan yang menyebar sampai ke dinding faring. Bila selaput tersebut berusaha diangkat menyebabkan tonsil berdarah. Usap tenggorok: batang gram positif ).

Pembahasan AnamnesisAnamnesis adalah wawancara antara dokter dengan pasien untuk mendapatkan infomasi tentang penyakit pasien seperti identitas (nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat lengkap), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, faktor lingkungan.Pada pasien dengan difteri ditanyakan : Sudah berapa lama batuk-pileknya? Apakah setiap hari? Apakah yang keluar sputum/dahak atau darah? apa warnanya? Apakah ada darah di dahaknya ? Seberapa banyak dahak yang dikeluarkan? cair/kental? Apakah nyeri kalau bernafas? Nyeri tenggorkannya menetap atau hilang timbul? Sejak kapan nyerinya? Apakah nyeri tenggorokannya disertai demam, batuk, serak dan tenggorokan terasa kering? Apakah nyeri saat menelan? sudah berapa lama? Apakah juga disertai rasa muntah dan berat badan yang turun dengan cepat? Obat apa saja yang sudah digunakan? apakah obatnya mengurangi rasa sakit atau memperburuk keadaan?

PemeriksaanPemeriksaan Fisik Keadaan umum dan tanda-tanda vital Sebelum lanjut ke pemeriksaan fisik yang lain dapat dilakukan pemeriksaan keadaan umum seperti tanda-tanda vital diantaranya frekuensi nadi, nafas, tekanan darah, suhu. Pemeriksaan faring dan rongga mulutDengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut dilakukan inspeksi pada bagian luar bibir dengan perhatikan warna, kelembapan dan apakah ada kelainan seperti benjolan, ulkus, fissure, dan sebagainya. Setelah itu dilihat kedalam rongga mulut dengan menekan bagian lidah dengan menggunakan spatula lidah supaya rongga mulut jelas terlihat. Dilihat pada mukosa oral seperti warna, ulkus, bercak putih, dan juga nodul, dan warna palatum juga harus dilihat. Pemeriksaan diteruskan dengan melihat dinding belakang faring serta kelenjar limfe, uvula, arkus faring serta gerakanannya, tonsil, dan gusi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah lengkap: Didapatkan penurunan kadar hemoglobin, dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Bakteriologik: Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab) Darah rutin: Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin Tes schick: Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam, berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya. Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.2 Working Diagnosis (WD)Sesuai skenario yang didapat, anak tersebut diduga menderita difteri. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Dan biasanya difteri terjadi pada anak. Beberapa tahun yang lalu difteri menjadi penyebab kematian pada anak-anak, tapi beberapa tahun belakangan ini sudah tidak terjadi lagi karena sudah adanya vaksin DPT.Difteri dibagi menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi, yaitu sebagai berikut :1. Infeksi RinganPseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.2. Infeksi SedangPseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.3. Infeksi BeratDistertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun nefritis dapat menyertai.

Berdasarkan lokasi gejalanya, difteri dibagi menjadi :1. Difteri faring dan tonsil Difteri ini paling sering dijumpai, sekitar 75%. Dalam keadaan ringan tidak terbentuk pseudomembran, dapat sembuh sendiri dan dapat membentuk kekebalan. Bila berat akan timbul gejala demam tapi tidak tinggi, nyeri telan, terdapat pseudomembran yang mula-mula hanya ada bercak putih keabu-abuan dan cepat meluas ke daerah faring dan laring. Nafas berbau, timbul pembengkakan pada kelenjar daerah regional sehingga leher membesar yang biasa disebut leher banteng atau bullneck. Dalam keadaan ini dapat tersedak (karena adanya kelumpuhan saraf telan atau palatum molle) suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.2. Difteri laring dan trakeaDifteri ini merupakan yang terbanyak dan umumnya sebagai perjalanan dari difteri faring dan tonsil. Gejala sama dengan difteri faring hanya lebih berat. Pasien tampak sesak nafas hebat, stridor inspiratoir, sianosis, terdapat retraksi otot suprasternal dan epigastrium, pembesaran kelenjar regional. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan tertutup oleh pseudomembran. Pada keadaan ini terdapat sumbatan jalan nafas yang berat sehingga memerlukan pembuatan jalan nafas buatan (trakeastomi).3 Differential Diagnosis (DD) Abses RetrofaringAbses retrofaring yang paling sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih muda, seringkali merupakan sekuel infeksi saluran pernafasan atas dengan supurasi kelenjar getah bening retrofaring yang membentuk abses. Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh trauma tembus. Abses ini bermanefestasi sebagai nyeri tenggorokan akut disertai demam tinggi, kaku leher, dan kadang-kadang gangguan pernafasan. Pembengkakan lebih nyata pada satu sisi, serta disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan, sering ditemukan dinding faring membengkak dan eritematosa. Organisme piogenik sering kali menjadi penyebab dan pengobatannya adalah inisisi bedah intraoral atau ekstraoral serta drainase dengan proteksi jalan nafas untuk mencegah aspirasi bahan purulen. Terapi antibiotik intravena harus diberikan setelah drainase bedah. Abses PeritonsilAbses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan penyebab kuman tonsillitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa muda.Abses perintonsiler disebabkan oleh oraganisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob. Oraganisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobcaterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara kuman aerob dan anaerob. Tonsilitis Folikularis Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih, anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.4 EtiologiPenyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Basil ini disebut juga bakteri Klebs-Loffler, karena ditemukan oleh Edwin Kelbs dan Friedrich Loffler. Basil termasuk jenis batang gram positif, pleomorfik, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak membentuk spora (kapsul), aerobic, dan dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu (pembesaran pada salah satu ujung). EpidemiologiPenyakit difteri tersebar diseluruh dunia, terutama dinegara miskin yang penduduknya tinggal di tempat yang rapat dengan hygine dan sanitasi yang buruk, dan fasilitas kesehatan yang kurang. Orang-orang yang beresiko terkena difteri adalah : Tidak mendapatkan imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap Immunocompremised, seperti sosial ekonomi yang rendah, populasi anak jalanan, penderita HIV, diabetes mellitus, pecandu alkohol, dan narkotika. Tinggal ditempat yang padat, seperti penjara, tempat penampungan, dll. Sedang melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sebelumnya merupakan daerah endemik difteri.5 PatogenesisInfeksi difteri biasanya terjadi ditenggorokan dan disebarkan melalui percikan ludah dari orang-orang yang terinfeksi atau karier sehat. Masa inkubasi difteri adalah 2 sampai 7 hari. Anak yang terinfeksi akan mengalami nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil. Eksudat faring akan meluas disertai destruksi epitel dan pembentukan membran yang kemudian akan menyebabkan obstruksi jalan nafas atas. Eksotoksin yang dihasilkan bakteri dapat menyebabkan miokarditis (minggu kedua), dan neuritis yang disertai paralisis (minggu ketiga sampai minggu ketujuh). Basil hidup dan berkembang pada traktus respitarius bagian atas. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin, pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksin juga menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, kematian terutama di sebabkan oleh sumbatan membran pada laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.6 Manifestasi KlinisLesu, sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak terlalu tinggi tapi pasien terlihat toksik. Dalam waktu 2-3 hari terbentuk membran yang bewarna putih kebiruan dan menyebar sampai kedaerah tonsil dan hampir menutupi seluruh palatum molle. Membran melekat pada jaringan dan berdarah jika dilepaskan. Pembentukan membran secara ekstensif dapat menimbulkan sumbatan pernafasan. Pada keadaan berat pasien terlihat pucat, nadi cepat, dan bisa meninggal dalam waktu 6-10 hari. Pada keadaan berat juga dapat menimbulkan udem yang hebat pada daerah submandibular dan terjadinya limfadenopati kelenjar servikalis anterior, keadaan ini disebut sebagai bullneck appearance.6 Komplikasi Saluran pernafasanObstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis. KardiovaskularMiokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini. UrogenitalDapat terjadi nefritis Susunan sarafKira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.Paralisis/parese dapat berupa :a. Paralisis/paresis palatum molle, sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan. Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu pertama dan kedua.b. Paralisis/paresis otot-otot mata, sehingga dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu ketiga.Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat, kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernafasan.7 Penatalaksaana. Pengobatan umumTerdiri dari perawatan yang baik, istirahat di tempat tidur, isolasi penderita dan perawatan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain dengan melakukan pemeriksaan EKG setiap minggu.b. Pengobatan spesifik1. Anti Diphtheria Serum ( ADS ) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.2. Antibiotika. Di berikan penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari selama 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis.3. Kortikosteroid. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan predinson 2 mg/kgbb/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.4. Pengobatan Kontak: Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. 5. Pengobatan Karier: Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. BiakanUji ShickTindakan

(-)(-)Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria

(+)(-)Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

(+)(+)Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-)(+)Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

Tabel 1. Pengobatan Terhadap Kontak Difteri

Penderita difteri dirawat selama 3-4 minggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa pasien. Perawatan pasca trakeostomi juga memegang pernanan penting seperti pengisapan ledir secara berhati-hati dan teratur, sebab pengisapan lendir secara tidak baik dapat menimbulkan refleks vagal yang dapat menyebabkan kematian. Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang mengalami sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum.Bila ada komplikasi paralilis/paresis otot, dapat diberikan striknin mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari selama 10 hari berturut-turut.

Pencegahan dan Intervensi Dini 1. IsolasiPenderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat corynebacterium diphtheria 2 kali berturut-turut.2. ImunisasiImunisasi aktif dilakukan dengan menyuntikkan toksoid. Imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya diberikan bersama-sama toksoidtetanus dan basil B pertusis. Vaksinasi ulangan dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira pada umur 1 - 2 tahun dan pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya diberikan vaksin difteri dan tetanus ( vaksin DT ) atau bila ada kontak dengan penderita difteri.3. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteri .Dilakukan dengan uji schick, yaitu bila hasil negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat imunisasi) maka harus dilakukan hapusan tenggorok, jika ternyata ditemukan corynebacterium diphtheria, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.8

Gambar 1. Penjelasan Vaksin Difteri PrognosisPrognosis penyakit ini bergantung kepada : 1. Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek prognosisnya. 2. Perjalanan penyakit. Makin terlambat diketemukan, makin buruk keadaanya. 3. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan. 4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, keadaanya juga buruk. 5. Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosisnya. 6. Pengobatan, terlambat pemberian ADS, prognosis makin burukPenutup Kesimpulan Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae ditandai dengan pembentukan psedomembran pada kulit atau mukosa. Untuk mengurangi angka kejadian penyakit difteri, Indonesia telah mencanangkan imunisasi vaksin DPT yang diberikan tiga kali. Dimana DPT 1 diberikan umur 2 bulan, DPT 2 umur 3 bulan, DPT 3 umur 4 bulan, dan ada juga vaksin ulangan yang dikenal dengan booster. Tanda dan gejalanya adalah demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah,nyeri telan,sesak napas,serak hingga adanya stridor.Daftar Pustaka 1. Latief A, Napitupulu MP, Putra ST. Infeksi bakteri in Ilmu kesehatan Anak. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2009. Hal 549-56. 2. Kee Joyce LeFever. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik edisi keenam. Jakarta: EGC; 2008. Hal 56-7. 3. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson esensi pediatri. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2010. Hal 341-50. 4. Merdjani. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2003. Hal 546-515. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi penularan dan pemberantasannya. Jakarta: Erlanggga; 2005. Hal 79-86.6. Price, Sylvia, dkk. Buku patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. Hal 376-9. 7. Kadun I Nyoman. Manual pemberantasan penyakit menular. Jakarta: CV Infomedika; 2006. Hal 678-80.8. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: 2007. Hal 63,85. .

12