Makalah Paru
-
Upload
zamrud-wilda-nuril-awaly -
Category
Documents
-
view
1.193 -
download
0
Transcript of Makalah Paru
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium
tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertamakali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit
tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabad-abad
hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lesi
tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian juga di Indonesia,
yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi Borobudur.1
Tuberculosis menurut Laporan dari WHO pada tahun 1992 menjadi salah satu
masalah kesehatan yang penting di dunia. Pada Tahun 1993, WHO mencanangkan
kedaruratan global penyakit TBC karena pada sebagian besar negara didunia, penyakit TBC
tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidah berhasil disembuhkan,
terutama penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi
sekitar 9 juta penderita baru TBC dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of
Tuberculosis, Guidelines of National Programme 1997).4 Di negara-negara berkembang
kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Diperkirakan 95% penderita TBC berada di negara berkembang 75% penderita TBc adalah
kelompok usia produktif (15- 50 tahun).6
Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga pendudiuk dunia, dan
menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara, kurang lebih
sekitar 33% yang terjadi di dunia. Munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia, diperkirakan
penderita TBC akan meningkat. Hal ini dapat terlihat salah satu contohnya dengan adanya
angka kejadian TB di afrika yang meningkat yaitu dari 250 menjadi 400 kasus per 100.000
penduduk.2 Kematian wanita karena TBC lebih banyak dari pada kematian karena
kehamilan, persalinan dan nifas (WHO). Laporan oleh WHO pada tahun 2004, kematian
akibat TB sekitar 8000 setiap harinya, dan kurang lebih sekitar 2-3 juta setiap tahunnya.
angka terbanyak berada pada benua Afrika dengan angka kematian sebesar 85 kasus per
100.000 orang.3
Negara berkembang seperti Indonesia sendiri, penyakit TBC ini merupakan masalah
utama kesehatan masyarakat, pada tahun 1995, hasil survei kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomer tiga (3)
Lung Tuberculosis | 1
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok
usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 1999, WHO
memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TBC dengan kematian karena TBC
sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130
penderita baru TBC paru BTA positif.2
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang
dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering
tidak mempunyai korelasi yang baik.1 Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis
paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis
banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai
gejala umum berupa kelelahan dan panas.6
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengenali dan mendiagnosa Tuberculosis Paru?
Bagaimana pengobatan dan penatalaksanaan Tuberculosis Paru?
1.3 Tujuan
Mengetahui cara mengenali dan mendiagnosa Tuberculosis Paru?
Mengetahui cara pengobatan dan penatalaksanaan Tuberculosis Paru?
Lung Tuberculosis | 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis. Infeksi
ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ-organ
tertentu. Cara penularan TB paru dapat terjadi secara langsung melalui percikan dahak yang
mengandung kuman TB, terisap oleh orang sehat melalui jalan napas dan kemudian
berkembang biak di paru. Dapat juga terjadi secara tidak langsung bila dahak yang
dibatukkan penderita ke lantai atau tanah kemudian mengering dan menyatu dengan debu,
lalu beterbangan di udara; bila terisap orang sehat akan dapat menjadi sakit. Berdasarkan
cara-cara penularan ini, TB paru juga dimasukkan dalam golongan airbone disease.1
2. Patogenesa
Bakteri Mikobakterium tuberkulosa adalah bakteri intra-seluler, sama seperti bakteri
lain seperti : Mikobakterium Leprae, Salmonella enterica, Chlamydia trachomata, Chlamydia
pneumonia, Mikobakterium avium/intracellulare, Rickettsia, Legionella pneumophilla, Listeria
monocytogenes.3 Bakteri ini hidup didalam sel host, hampir sepanjang hidupnya, umumnya
bakteri-bakteri ini punya toksisitas rendah. Karena letaknya intra-seluler, maka patogen-
patogen ini terhindar dari imunitas humoral. Namun, bagaimanapun juga, selama hidup
intra-seluler tersebut, protein mokrobial diproses dan peptida-peptida hasil proses tersebut
dipresentasikan (oleh Antigen Presenting Cell, diperankan oleh Makrofag), dalam kontek
MHC molekul, untuk selanjutnya akan mengaktivasi T-cell Limfosit untuk memulai
membentuk imunitas seluler spesifik. Jadi, acquired resistance terhadap dan patogenesis
dari infeksi bakteri intra-seluler ini sangat tergantung pada T-Limfosit. Akhir-akhir ini, ada
kemungkinan bukan saja jenis CD4, tapi juga CD8 punya andil dalam Acquired resisitance
ini.2
Hampir semua bakteri intra-seluler masuk kedalam tubuh lewat mukosa, dan entry
masuknya bakteri diawali oleh adhesi ke sel epitel mukosa. Patogen-patogen yang “air
borne” seperti Tb dan Legionella masuk lewat Paru, yang “food borne” seperti Salmonella
Lung Tuberculosis | 3
dan Listeria lewat mukosa usus, sedangkan Rickettsia masuk langsung kedalam darah
lewat gigitan insektisida. Setelah adhesi, bakteri akan lewati lapisan epitel baik secara aktif
menginduksi trancytosis (endo dan ekso-cytosis) lewat epitel sel ataupun secara pasif
masuk ke fagositosis.2
Patogenesis terjadinya penyakit TB Paru
Lung Tuberculosis | 4Control the Primary Infection in most situation5% : Progressive5-10% : initially controlled—fail later time---endogenous reactivation
DROPLET NUCLEI (M.TB)
Alveolar Space(dependent lower half of the
lung)
Primary focus of infection (localized process)
Alveolar Mo belum
siap Multiply M.TB or Destroyed
M.TB
Alveolar Mo terinfeksi
Natural Killer Cells dan T Cells
IL-12 Destroyed M.TB
(Retard local
infection)
control
uncontrol
M.TB Menyebar ke KGB Lokal lwt pembuluh limfe
M.TB Menyebar ke Organ jauh lwt pembuluh darah (ke Extra Pulmonary Site, seperti Bones,
Meningens, Kidney, Apical segment)
Naiv CD4+TCELL
Anti-TB CD4+TCELL
IL-2 : CYTOTOXIC T LYMPHOCYTE functionSECRETION IFN
Class II MHC
Infeksi primer terjadi pada orang yang belum pernah kontak/ekspose dengan kuman
Tb. Droplet nuklei yang masuk kedalam Paru bisa terhindar dari pertahanan mukosilier
bronkus karena kecilnya, dan mampu mencapai alveoli. Di Alveoli, kuman segera akan
berhadapan dengan sel-sel pertahanan tubuh, yaitu Alveolar Macrophage (Alveolar Mo).2
Pada awal masuknya kuman M TB, fagositosis oleh Alveolar Mo yang tidak
berpengalaman, mungkin mampu menghancurkan kuman, sehingga infeksi bisa dihentikan
beberapa saat atau seterusnya. Tetapi umumnya kuman tidak mati, bahkan mampu hidup
dan bermultiplikasi dalam Mo, sehingga menghancurkan Mo. Fokus infeksi awal ini disebut
sebagai Fokus primer (Ghon’s focus). Kuman Tb kemudian menyebar lewat pembuluh limfe
(sehingga terjadi Limfangitis), ke kelenjar getah bening regional (di hilus) sehingga terjadi
Limfadenitis. Fokus primer, Limfangitis dan Limfadenitis tersebut disebut sebagai Kompleks
Primer. Alveolar Mo yang terinfeksi akan mengkoordinasikan pertahanan non spesifik
dengan mensekresi IL-12, yang mampu mengaktifkan Natural Killer Cell dan /δ T Cell
untuk bersama-sama mengontrol dan menghentikan infeksi lokal tersebut. Pada saat yang
bersamaan, maka Alveolar Mo juga mulai membangkitkan pertahanan yang spesifik
dengan mempresentasikan antigen kuman M TB kepada CD4+ T Cell, yang akan menjadi
ANTI-TB CD4+ T Cell. Jadi, Respon imun Non Spesifik : dijalankan oleh Alveolar Mo,
Natural Killer Cell, dan δ T Cell.2
Respon imun Spesifik : (Specific Anti TB Cell Mediated Immunity = T Helper Cell
Immunity) dikoordinasikan oleh Anti-TB CD4+ T Cell, lewat 2 jalan yaitu : pertama
mensekresi IL-2 yang berguna untuk meningkatkan fungsi cytotoxic T Lymphocyte, yang
selanjutnya akan mampu menghancurkan sel-sel lain yang terinfeksi kuman TB secara
langsung, dan kedua dengan mensekresi IFN , yang mampu menggalakkan Mo yang
belum terinfeksi untuk mematikan kuman TB secara efisien.2
Respon imun Spesifik ini pada kebanyakan kasus, mampu mengontrol Infeksi Primer. Hanya
sekitar 5% kasus menjadi progresif, dan sekitar 5-10% yang semula terkontrol menjadi
tidak terkontrol/aktif kembali dikemudian hari (= endogenous reactivation).3
Onset respon imun spesifik terjadi beberapa minggu setelah infeksi, bersamaan
dengan terjadinya casseous necrosis ditempat primer sites, dan terJadinya Delayed type
Hypersensitivity. Respons Cytotoxic T-Lymphocyte adalah bersifat bacteriostatic hanya
terhadap M Tb, dan tidak menghasilkan imunitas. Priming Alveolar Mo yang terjadi setelah
Lung Tuberculosis | 5
4-6 minggu adalah pertahanan pokok utama untuk mengontrol dan mengeradikasi infeksi
primer.2
Progressive Pulmonary TB ditandai khas oleh adanya: 1. Liquefaction of the solid caseous
core; 2. Extracellular proliferation M Tb yang banyak; 3.Extensive localized tissue necrosis
akibat reaksi Cytotoxic T Cell dengan antigen M Tb yang banyak; 4.Pembentukan Cavity
akibat Tubercle wall rupture; 5. Bronkopneumonia karena aspirasi bahan-2 kaseosa.2
Bagaiman Reaktivasi endogen bisa terjadi? Sebenarnya masih belum jelas. Para
ahli memperkirakan akibat turunnya Imunitas cell mediated lokal secara graduil atau
akut. Pada individu yang Immuno-competent, maka reaktivasi lokal akan dihambat oleh
respon cell mediated yang baik, sehingga mampu membatasi penyebaran sistemik.
Sebaliknya, pada individu yang Imuno-compromised (misal pada pasien infeksi HIV),
respon Cell mediated tidak mampu membatasi atau bahkan mungkin tidak ada respon,
sehingga reaktivasi endogen akan meluas sistemik secara ekstensif, bahkan miliari.3
Penderita-2 yang memiliki kondisi yang berhubungan dengan abnormalitas pada Cell
Mediated Immunity-nya, mempunyai resiko untuk terjadinya Progressive Primary
Infection atau Reaktivasi endogen. Pada penderita HIV +, limfosit darah perifer
mensekresi hanya sedikit IFN saat respon terhadap antigen M Tb. Meskipun demikian,
Progresi dan reaktivasi bisa juga terjadi pada individu normal. Penyebabnya mungkin karena
faktor virulensi kuman yang tinggi ( telah dibuktikan pada penelitian-2 hewan), atau lebih
penting lagi adalah karena beda genetik dari sistem imun penderita. IL-12 sangat penting
dan diperlukan untuk development Cell Mediated Immunity, dan defek pada reseptor IL-12
dihubungkan dengan disseminated M Tb infection yang terjadi setelah vaksinasi BCG. TNF-
α bertanggug jawab terhadap pembentukan Granuloma dan juga produksi Reactive Nitrogen
Intermediate yang diperlukan untuk membunuh kuman intraseluler. High rates of active Tb
terjadi setelah pemberian Anti-TNF-α antibody.
IFN-α diperlukan untuk produksi TNF-α oleh Mo, dan genetic absence dari IFN receptor
dihubungkan dengan Disseminated non Tb mycobacterial infection pada manusia.2
3. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu
definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita.
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus yaitu 5:
1. Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru;
2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung : BTA positif atau BTA Negatif;
Lung Tuberculosis | 6
3. Riwayat pengobatan sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati;
4. Tingkat keparahan penyakit ringan atau berat.
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan, untuk menetapkan
paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak , TBC Paru dibagi dalam 4:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurang 2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menujukkan
gambar tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambar tuberkulosis aktif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan biakan M.
Tuberculosis positif
TBC paru BTA Negatif, Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakit nya , yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru
yang luas ( misalnya proses “ far advanced “ atau millier ) dan/atau keadaan umum
penderita buruk.
Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura selaput
otak, selaput jantung ( pericardium ), kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit ,usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain TBC ekstra paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu 4:
a. TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBc kelenjar Limphe, Pleuritis eksudativa unilateral tulang ( kecuali tulang
belakang ), sendi , dan kelenjar adrenal.
b. TBC Ekstra Paru Berat
Misal : meningtis , millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang
belakang , TBC Usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.
Catatan:
Yang dimaksud dengan TBC paru adalah TBC dari parenchyma paru, sebab itu TBC pada pleura atau
TBC, pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologis paru , dianggap sebagai penderita TBC ekstra
paru
Lung Tuberculosis | 7
Bila seorang penderita TBC paru juga mempunyai TBC ekstra paru maka untuk kepentingan
pencatatan , penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TBC paru.
Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ maka dicatat sebagai TBC ekstra paru pada
organ yang penyakitnya paling berat.
Berdasar tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada
beberapa tipe penderita yaitu,
a. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).2
b. Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan ada gejala klinis maka kita memikirkan
kemungkinan lesi non TB atau TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis paru
yang berkompeten dalam menangani kasus TB.4
c. Pindahan (Transfer in)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu daerah dan kemudian
pindah berobat ke daerah lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan /pindahan tersebut harus membawa surat rujukan /pindah (Form TB 09 )4
d. Lalai ( Pengobatan setelah defaulted / drop-out )
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang I bulan dan berhanti 2 bulan
atau lebih , kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Lain- lain:4
1. Gagal
Ada penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke 5 ( satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih).
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke 2 pengobatan.
2. Bekas TB
Hasil BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Gambaran radiologi meragukan dan telah mendapatkan pengobatan OAT 2 bulan
serta foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiolgi.
3. Kasus Kronis
Lung Tuberculosis | 8
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2
4. Gambaran Klinis
Diagnosis TB dapat ditegakkanberdasarkan gejala klnis, pemeriksaan fisis/jasmani,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.5
Penemuan penderita TBC dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka
penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.
Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
penderita cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding ( penemuan
penderita secara pasif dengan promosi yang aktif ). Selain itu semua kontak penderita TBC
Paru BTA positif, dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas
kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat
tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.4
Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut yaitu sewaktu, pagi, sewaktu ( SPS ).4
5. Manifestasi Klinis
Riwayat penyakit : 6
Gejala sudah timbul berapa lama
Sudah berobat atau belum.
Adakah kontak dengan penderita tuberkulosis paru di lingkungan keluarga,
pekerjaan atau kawan dekat.
Sudah pemah mendapat pengobatan obat-obat antituberkulosis
(OAT) atau belum, berapa lama dan berapa macam obat.
Adakah penyakit gula, sebab diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi
terjadinya penyakit tuberkulosis paru.
Penyakit tuberkulosis paru dapat timbul beberapa tahun kemudian setelah terjadi
efusi pleura.
Ada 2 golongan gejala pada penderita TB yaitu
1) Gejala sistemik (umum), berupa :
a) Demam
Lung Tuberculosis | 9
Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala
influenza. Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam,
kadang-kadang suhu badan dapat mencapai 40° 41° C. Serangan seperti influenza ini
bersifat hilang timbul, dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3
bulan, 6 bulan, 9 bulan (dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan).
b) Gejala yang tidak spesifik
TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak
badan (malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit
kepala
dan badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan siklus haid.
2) Gejala respiratorik (paru), berupa :
a) Batuk
Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru; batuk
baru akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya
bronkus, bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi
produktif karena diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan.
Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen.
b) Batuk darah
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah; berat atau ringan nya batuk darah
tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah ini tidak selalu
terjadi pada setiap TB paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses TB
paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut pautnya dengan terdapatnya kavitas pada paru.
c) Sesak napas
Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada
penyakit paru yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai
gejala ini.
d) Nyeri dada
Biasanya terjadi bila sistem saraf terkena, dapat bersifat lokal atau pleuritik, hal ini
tidak selalu didapatkan.
6. Pemeriksaan fisis dan Penunjang4
Pemeriksaan fisis/jasmani
Pemeriksaan jasmani pada paru hanya memberi keterangan tentang kelainan
struktural pada tempat tersebut. Pemeriksaan ini sama sekali tidak memberi keterangan
tentang etiologinya. Namun demikan, ada beberapa pegangan untuk menduga
Lung Tuberculosis | 10
kemungkinan etiologi penyakit. Misalnya ada kelainan pemeriksaan jasmani di bagian atas
paru, maka kita akan menduga suatu tuberkulosis paru, sebab penyakit ini sering bersarang
di puncak paru.
Tergantung dari luasnya dan kelainan struktural jaringan paru yang diakibatkan oleh
penyakitnya, maka tanda-tanda kelainan pemeriksaan jasmani dapat berupa infiltrat (redup,
bronkial, ronki basah dan sebagainya), fibrosis (penarikan trakea, paru dan sebagainya),
adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan saluran bronkus (hipersonor/timpani,
amforik). Tanda dan gejala tuberkulosis paru didapatkan pada 90% penderita dengan BTA
positif. Penderita dengan BTA negatif hanya 50% menunjukkan gejala. Kadang-kadang
demam yang tidak diketahui sebabnya, merupakan satu-satunya tanda atau gejala
tuberkulosis paru. WHO menyebutkan empat gejala kardinal, yaitu batuk-batuk lebih dari 3
minggu, batuk darah, nyeri dada dan panas.1
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks
PA dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi dikerjakan atas
indikasi. 3
Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru 5
Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru
Bayangan berawan atau berbercak
Terdapat kavitas tunggal atau banyak
Terdapat kalsifikasi
Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru
Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu.
Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus atas,
segmen posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen, seperti
lobus inferior atau di daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi
masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti
awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila diliputi oleh jaringan ikat maka seperti bulatan
tegas, hal ini disebut tuberkuloma.6
Rasmin menyatakan bahwa gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan
hanya satu bentuk sarang saja, akan tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara
bersamaan sekaligus yang merupakan bentuk khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang
dijumpai pada kelainan radiologik adalah : sarang dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik,
kavitas sklerotik, keadaan penyebaran penyakit yang sudah lanjut. Kelainan radiologik foto
Lung Tuberculosis | 11
toraks hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru dapat memberikan semua bentuk
abnormal pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan istilah” great imitator”
Pemeriksaan khusus yang kadang juga diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk
melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan bila pasien menjalani pembedahan paru.4
Pemeriksaan BTA
Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk
menemukan BTA tersebut. Pemeriksaan ini sangat spesifik, namun tidak sensitif. Hanya
30–70% saja dari penderita tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologik.
Hal ini disebabkan oleh karena untuk mendapatkan hasil yang positif, dibutuhkan
sekurangkurangnya 5000 batang/ml dahak. BTA baru dapat ditemukan dalam sputum, bila
bronkus sudah terlibat, sehingga sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan
mengandung BTA. Pemeriksaan mikroskopik langsung dengan BTA (-), bukan berarti tidak
ditemukan Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab, dalam hal penting sekali peranan
hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan basil bakteriologik negatif
adalah: 4
Belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit,
Terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan yang
tidak adekuat,
Cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,
Pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin.
Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam sputum,
maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru pada TB
paru yang baru dengan sputum BTA (-) dan belum menular pada orang lain, paling mudah
diobati dan disembuhkan sempurna.1
Pemeriksaan uji tuberkulin (Mantoux)
Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada TB
paru anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB
paru masih tinggi seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
Handoko dkk terhadap penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi
uji tuberkulin tidak mempunyai arti diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja,
sehingga uji tuberkulin ini jarang dipakai untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di
Lung Tuberculosis | 12
mana sukar untuk menegakkan diagnosis. Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin
berkurang (negatif palsu) yakni:5
Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB
Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)
Penyakit eksantematousdengan panas yang akut (Morbili, Cacar)
Reaksi hipersensitif menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obatan immunosupresi lainnya
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan
Pemeriksaan laboratorium penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB paru dan
kadang-kadang juga dapat untuk mengikuti perjalanan penyakit yaitu 3
Laju Endap Darah (LED)
Jumlah Leukosit
Hitung jenis Leukosit.
Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri dan
limfosit di bawah nilai normal, laju endap darah meningkat. Dalam keadaan
regresi/menyembuh, leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari nilai
normal, laju endap darah akan menurun kembali.
7. Terapi4
Tujuan dari pengobatan TB adalah Menyembuhkan penderita, Mencegah kematian,
Mencegah kekambuhan, dan Menurunkan tingkat penularan.6
a) Isoniasid ( H )
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang,Dosis harian yang
dianjurkan 5 mg/kk BB,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan
dengan dosis 10 mg/kg BB.
b) Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi –dormant ( persister ) yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian
maupun intermiten 3 kal seminggu.
c) Pirasinamid ( Z )
Lung Tuberculosis | 13
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten
3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
d) Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur
sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih
diberikan 0,50 gr/hari.
e) Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB.
7.1 Prinsip Pengobatan4
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister)
dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,
sebaiknya pada saat perut kosong. Aapabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat
(jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman
kebal obat (resisten). uNtuk menjamin kepatuhan penderita menelan obot , pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh
seorang pengawas Menelan Obat (PMO ) Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu
tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin .
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA
positif menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.
Pengawasan Ketet dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Lung Tuberculosis | 14
7.2 Panduan Pengobatan OAT
WHO dan IUATLD ( Internatioal Union Against Tuberculosis and lung Disease ) me-
rekomendasikan paduan OAT Standar, yaitu :
Kategori 1 : 2HRZE / 4 H3R3 , 2HRZE / 4 HR , 2HrZE / 6 HE
Kategori 2 : 2HRZES / HRZE /5H3R3E3 , 2HRZES / HRZE / 5HRE
Kategori 3 : 2HRZ / 4H3R3 , 2 HRZ / 4 HR , HRZ / 6 HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT 4
Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E)
Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ). Kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) danRifampisin (R) diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
Penderita baru TBC Paru BTA Positif
Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
Penderita TBC Ekstra Paru berat.
Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari . Setelah itu diteruskan
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam
seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita
selesai menelanobat.
Obat ini diberikan untuk :
Penderita kambuh ( relaps )
Penderita Gagal ( failure )
Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after defaulted )
Kategori –3 ( 2HRZ / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ ) diteruskan
dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :
Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis
eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan
kelenjar aderenal.
OAT Sisipan ( HRZE ) 2
Lung Tuberculosis | 15
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori
1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak
masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk
memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan ( kontinuitas ) pengobatan
sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1) masa pengobatan.
7.3 Efek Samping OBAT ANTI TUBERKULOSIS ( OAT )
Sebagian besar penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karene itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara:
Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping
Menanyakan adanya gejala efek sampang pada waktu penderita mengambil OAT
Efek Samping OAT
Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam
kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk
ke UPK spesialistik
Efek Samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak
gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik atau obat
sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama
pengobatan dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan.
a) Isoniasid ( INH )
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5 %
penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik. Bila tanda-
tanda hepatitisnya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK spesialistik.
Efek samping INH yang ringan dapat berupa :
Tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan ,dan nyeri otot atau gangguan
kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (Vitamin B6
dengan dosis 5–10 mg perhari atau dengan vitamin B Kompleks)
Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin (Syndroma pellagra)
Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal.
Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.
Lung Tuberculosis | 16
b) Rifampisin
Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan , jarang menyebabkan efek
samping , terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek samping,
terutama pada pemakaian teru menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat dari
rifampisin adalah Hepatitis. Walaupun ini sangat jarang terjadi Alkoholisme. Penyakit hati
yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat hepatotoksis yang lain secara bersana akan
meningkatkan risiko terjadinga hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu
dihentikan, Bila hepatitisnya sudah hilang /sembuh pemberian rifampisin dapat diulang lagi.
(a) Efek samping Rifampisin yang berat tapi terjadi adalah :
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas, kadang-kadang disertai
dengan kolaps atau renjatan (Syok). Penderita ini perlu dirujuk ke UPK spesialistik
karena memerlukan perawatan darurat.
Purpura, anemia haemolitik yang akut , syok dan gagal ginjal bila salah satu dari
gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
meskipun gejalanya sudah menghilang, sebaiknya segera dirujuk ke UPK spesialistik
(b) Efek samping Rifampisin yang ringan adalah :
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Sindrom flu berupa demam, menggigil , nyeri tulang
Sindrom perut berupa nyeri perut , mual, muntah, kadang-kadang diare.
Efek Samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri
atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik, Rifampisin dapat menyebabkan warna
merah pada urin, keringat , air mata, air liur. Hasil ini harus diberitahukan kepada penderita
agar penderita tidak jadi khawatir, warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya.
c) Pirasinamid
Efek samping utama dari penggunaan pirasinamid adalah hepatitis. Juga dapat
terjadi nyeri sendi dan kadang–kadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi danpenimbunan asam urat kadang-kadang
terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
d) Streptomisin
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakkan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran, Risiko efek samping tersebut akan
Lung Tuberculosis | 17
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.
Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr jika
pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
( kehilangan keseimbangan dan tuli ) . Risiko ini terutama akan meningkat pada penderita
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas kadang-kadang terjadi berupa
demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit
hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik.
Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan ,
rasa kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi
dengan 0,25 gr stoptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanit hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin,
e) Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman Penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai.
Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB per hari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan tiga (3) kali seminggu. Setiap penderita yang menerima etambutol harus
diingatkan bahwabila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan
pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler sulit dideteksi pada anak-anak,
maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak.
7.4 Pemantauan Pengobatan 4
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis . Pemeriksaan dahak secara mikroskopis
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua
kali sewaktu dan pagi ) hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut
negatif bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
Lung Tuberculosis | 18
dinyatakan positif. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pada :
a) Akhir tahap Intensif
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan penderita baru BTA
positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang
penderita BTA positif dengan kategori 2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif
dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak yaitu perubahan dari BTA
positif menjadi negatif.
> Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori –1 :
Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar ( seharusnya > 80 % ) dari penderita
Dahak nya sudah BTA negatif ( konversi ) . Penderita ini dapat meneruskan pengobatan
dengan tahap lanjutan. Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya masih
BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Setelah paket
sisipan satu bulan selesai , dahak diperiksa kembali , Pengobatan tahap lanjutan tetap
diberikan meskipun hasil pemeriksaan ulang dahak BTA masih tetap positif.
> Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori –2 :
Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif, tahap intensif
harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan , Setelah satu bulan diberi sisipan
dahak diperiksa kembali.Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil
pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. Bila hasil uji kepekaan obat menunjukan
bahwa kuman sudah resisten tehadap 2 atau lebih jenis OAT,maka penderita tersebut
dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani kasus resisten . Bila tidak
mungkin , maka pengobatan dengan tahap lanjutan diteruskan sampai selesai.
> Pengobatan penderita BTAnegatif rontgen positif dengan kategori 3 ( ringan ) atau
kategori 1 ( berat ) :
Penderita TBC paru BTA negatif , rontgen positif , baik dengan pengobatan kategori
3 ( ringan ) atau kategori 1 (berat) tetap dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada akhir
bulan ke 2 . Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif maka ada 2 kemungkinan:
1. Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama ( pada saat diagnsis sebenarnya adalah
BTA positif tapi dilaporkan sebagai BTA negatif ). 3
2. Penderita berobat tidak teratur
Seorang penderita yang diagnosa sebagai penderita BTA negatif dan diobati dengan
kategori 3 yang hasil pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 adalah BTA positif
Lung Tuberculosis | 19
harus didaftar kembali sebagai penderita gagal BTA positif dan mendapat pengobatan
dengan kategori 2 mulai dari awal.
Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tahap intensif pada penderita baru dan penderita
pengobatan ulang BTA positif , dahak menjadi BTA negatif pengobatan diteruskan ketahap
lamjutan. Bila pada pemeriksaan ulang dahak akhir pada tahap akhir intensif penderita BTA
negatif Rontgen positif dahak menjadi BTA positif, penderita dianggap gagal dan dimulai
pengobatan dari permulaan dengan kategori 2.
b) Sebulan sebelum akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang menderita
BTA positif dengan kategori 2
c) Akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 , atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif ,
dengan kategori 2. Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan
akhir pengobatan ( AP) bertujuan untuk menilai hasil pengobatan ( “ Sembuh atau gagal “)
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak ( follow up paling sedikit 2 ( dua ) kali berturut-turut
hasilnya negatif ( yaitu pada AP dan / atau sebulan Ap , dan pada satu pemeriksaan follow –
up sebelumnya ).
Contoh :
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir pengobatan (AP) , pada
sebulan sebelum AP, dan pada akhir intensif
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan pada akhit intensif ( pada
penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum
AP tidak diketahui hasilnya.
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan pada setelah sisipan
( pada penderita yang mendapat sisipan ) meskipun pemeriksaan ulang dahak pada
sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya,
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada
akhir intensif ( pada penderita tanpa sisipan ), meskipun pemeriksaan ulang dahak
pada AP tidak diketahui hasilnya.
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada
setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan meskipun pemeriksaan ulang
dahak pada AP tidak diketahui hasilnya.
Lung Tuberculosis | 20
Bila penderita menyelesaikan pengobatan lengkap, tapi tidak ada hasilnya
pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut turut negatif , maka tidak dapat dinyatakan
"sembuh" tetapi dinyatakan sebagai "pengobatan lengkap".
Bila BTA masih positif pada sebulan sebelum AP, pendrita dinyatakan gagal dan
pengobatan nya diganti. Bila penderita gagalsetelah pengobatan dengan kategori 1
Pengobatan diganti dengan kategori 2 mulai dari awal. Bila penderita gagal setelah
pengobatan dengan katagori 2, penderita dianggap sebagai "kasus kronik" kalau
fasilitas
Laboratorium memungkinkan , dilakukan uji kepekaan atau penderita tersebut dirujuk
ke UPK spesialistik. Bila tidak mungkin kepada penderita diberikan tablet isoniasid
(INH) seumur hidup. 4
8. International Standard for Tuberculosis (ISTC)
Standar Internasional ini merupakan sebuah standar prosedur tatalaksana
tuberkulosis dalam proses diagnosis, pengobatan, kepatuhan berobat, peran pencegahan,
serta tatalaksana khusus TB dan HIV serta Hepatitis yang muncul bersamaan.
Penanganan TB atau diduga TB di manapun di dunia seharusnya sama, yaitu
diagnosis sedini mungkin, cepat dan akurat. Penerapan terapinya dilakukan dengan paduan
obat baku yang telah terbukti efektif bersama dengan terapi penunjang dan pengawasan
memadai serta pemantauan respon pengobatan ditambah tanggung jawab untuk melindungi
masyarakat dari risiko tertular penyakit.
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS
1. Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
2. Semua pasien yang diduga penderita TB paru ( dewasa, remaja dan anak-anak yang
dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis
minimal 2 kali di lab yang kualitasnya terjamin. Bila memungkinkan minimal 1 kali
pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu ( dewasa, remaja dan anak ) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti
dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
Lung Tuberculosis | 21
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang
pada 3(2) kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks
menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan
perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan
biakan. Pada pasien dengan atau di duga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan dan
jika bukti klinis sangat mendukung ke arah TB, pengobatan harus dimulai
6. Pada anak yang diduga menderita TB intratoraks (paru,pleura, KGB hilus/mediastinal )
sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release
assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan
dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat
memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh
terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin
kepatuhan hingga pengobatan selesai
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
panduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan
rifampisin yang selama 4 bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase
lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan
dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas
khususnya pada pasien HIV.
Lung Tuberculosis | 22
9.Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose
combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin ,yang terdiri dari 3 obat yaitu
INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid
dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat
menelan obat.
Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing-masing individu dan dapat diterima
baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk
pengawasan langsung minum obat oleh PMO ( untuk TB dan jika memungkinkan untuk
HIV ) yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab
kepada pasien dan sistem kesehatan.
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik
adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase
awal (2 bulan), bulan kelima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan
kelima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi
yang tepat (sesuai standar 14 dan 15).
Penilai respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai
secara klinis.Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat
menyesatkan (misleading).
11. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu,
pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam
masyarakat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien. Uji sensiviti
obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya
pernah diobati.
Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien
gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai
terhadap resistensi obat.
Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat
setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk
meminimilkan kemungkinan penularan.
Cara-cara pengenalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat
pelayanan.
Lung Tuberculosis | 23
12. Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang
disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan
panduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Panduan obat
yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau
yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk
obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setalah konversi biakan. Cara-cara yang
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam
pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan
13. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
STANDAR UNTUK PENANGANAN INFEKSI HIV DAN KONDISI KOMORBID LAIN
14. Uji HIV dan konseling harus dirokemendasikan pada semua pasien yang menderita atau
yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari
manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi
dalam polulasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV,
dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang
erat antara tuberkulosis dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi yang tinggi
pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan
kedua infeksi.
15. Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama masa pengobatan
tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral seharusnya
dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan
tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi
kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
16. Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita
tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi selama 6-9 bulan.
17.Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap
kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis.
Lung Tuberculosis | 24
Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus
mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi
semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan.
Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan
penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil
pengobatan, seperti diabetes mellitus,
Program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososil lain, atau layanan-layanan
seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.
STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT
18. Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan
bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular
seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecendrungan bahwa kontak :
1) menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis;
2) berisiko tinggi menderita tuberkulosis berat jika terinfeksi;
3) berisiko menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang; dan
4) berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien.
Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah :
– Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis
– Anak berusisa <5 tahun
– Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV
– Kontak dengan pasien MDR/XDR TB.
Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah.
19. Anak berusia <5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak
erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita
tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid.
20. Setiap fasiliti pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga
menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian
infeksi tuberkulosis yang memadai.
21. Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru
maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor Dinas kesehatan
setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.
Lung Tuberculosis | 25
9. Pengawasan Menelan Obat ( PMO )
Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
seorang PMO 6
a) Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal , dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita
Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita
Bersedia membantu penderita dengan sukarela
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita
b) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa , Perawat ,
Pekarya Sanitarian , juru imunisasi dll .
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan , PMO dapat berasal dari
kader Kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.4
c) Tugas seorang PMO
Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan
Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur
Mengingatkan penderita untuk pemeriksa ulang dahak pada waktu waktu yang telah
ditentukan.
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-
gejala tersangka TBC untuksegera memeriksakan diri ke unit Pelayanan kesehatan.4
9. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Ada komplikasi dini bagi penderita TB seperti pleuritis, efusi pleura, empyema, laringitis.
Sedangkan komplikasi lanjut dapat berupa Obstruksi jalan napas, kerusakan parenkim
(fibrosis paru), karsinoma paru, ARDS, sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.1
Lung Tuberculosis | 26
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam rangka menemukan penderita TB paru, sangat diperlukan cara menegakkan
diagnosis secara baik dan benar agar prinsip terapi dan pengobatan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan maupun penderita sesuai dengan protap yang sudah ada.
Klasifikasi TB paru merupakan suatu upaya untuk menegakkan diagnosis yang tepat
dan penatalaksanaan yang lebih baik pada penderita TB paru.
Dibutuhkan suatu penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberukan angka
kesembuhan yang tinggi. Menurut WHO strategi DOTS MERUPAKAN STRATEGI
Kesehatan yang paling Cost-effective.
Lung Tuberculosis | 27