makalah islam -...

22
MAKALAH ISLAM Wahyu Widiana, Sosok yang Peduli terhadap Hisab Rukyat

Transcript of makalah islam -...

MAKALAH ISLAM

Wahyu Widiana, Sosok yang

Peduli terhadap Hisab Rukyat

Makalah Islam

Wahyu Widiana, Sosok yang Peduli terhadap Hisab

Rukyat

Anisah Budiwati, MSI

(Dosen Fakultas Syariah UII Yogyakarta)

Tidak banyak yang mengetahui, Drs. Wahyu

Widiana, MA, ahli falak kelahiran Ciawi, Tasik Malaya

ini sebenarnya lahir pada 18 November 1952, meskipun

yang lebih banyak ia tuliskan dalam beberapa sumber 18

September 1952. Hal ini terkait dengan kesalahan tulis

bulan dengan angka romawi yang seharusnya XI tetapi

tertulis IX. Selain itu, namanya pun mengalami

perubahan. Pada saat itu ada ketentuan yang

mengharuskan nama terdiri dari dua kata yang akhirnya

namanya menjadi Wahyu Widiana. Ia adalah putera ke

sepuluh dari sebelas bersaudara dari Bapak H. Idris dan

Ibu Siti Juhro. Ayahnya adalah seorang wirastawan yang

ulet dan ibunya berasal dari keluarga dengan latar agama

yang sangat kuat. Ibunyalah yang mengarahkan ia

menuntut ilmu dan berkarir di bidang agama.

Ketika kecil selain belajar di SD dan SMP, di

siang dan malam hari ia menuntut ilmu di Madrasah.

Masa SMA nya dihabiskan dengan berguru di Pondok

Pesantren Cipasung asuhan KH. Ilyas Ru’yat, kiyai

kharismatik Nahdhatul Ulama. Lulus pesantren, ia

diarahkan Ibunya untuk kuliah dan ia memilih fakultas

Syariah IAIN Yogyakarta. Di kampus tersebut,ia

berkenalan dan mulai mendalami ilmu falak. Sebagai

persyaratan kelulusan sarjana muda, ia menerbitkan

sebuah risalah tentang IIDL dalam hubungan dengan

shalat jum’at. Sementara itu, untuk mendapatkan gelar

sarjana ia menulis skripsi dalam bidang ilmu falak dengan

judul ijtima’ sebagai pedoman dalam menentukan awal

bulan qamariyah. Dalam waktu yang sama, terlibat dalam

penyusunan kamus istilah ilmu falak yang diterbitkan

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama.

Lulus kuliah ia menikah dengan Bu Nina Nurfarah

dan dikarunia enam orang anak. Dalam perjalanan

berkeluarga, ia dikenal sebagai pemimpin keluarga yang

demokratis, membebaskan anak-anaknya untuk memilih

sekolah dan pekerjaan. Ia adalah seorang ayah yang selalu

menyempatkan waktu berinteraksi dengan keluarga di

kala ia mengemban amanah berat abdi negara di birokrat.

Keahliannya di bidang ilmu falak telah ia dalami

saat SMA. Ia bersekolah di SMA Paspal (Pasti dan

Pengetahuan Alam) dan berguru kepada Endang Afandi,

seorang ahli matematika. Selama mengenyam SMA ia

mempelajari geografi dan ilmu falak. Semenjak ia

mengenyam kuliah pun, saat tingkat satu ia belajar ilmu

falak dari Sa’adoeddin Djambek dan Abdur Rachim.

Abdur Rachim sering memberikannya tugas sampai larut

malam. Pada waktu itu ia bersama murid Abdur Rachim

yang lain, Oman Fathurahman. Berlanjut ketika selesai

dari IAIN Kalijaga, ia belajar kitab Sullamun Nayirain

dari seorang Ajengan Khudori, Tasik. Sejak berkarir di

Jakarta sampai dengan sekarang, ia tidak pernah lepas dari

persoalan hisab rukyat.

Sepak Terjang Abdi Negara

Karir Wahyu Widiana sebagai abdi negara dimulai

pada tahun 1978. Kala itu, ia yang berpredikat alumni

terbaik Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta hanya ingin

menjadi dosen di Yogyakarta. Ia yang pada saat itu sudah

menjadi asisten dosen Abdur Rachim hanya bercita-cita

menjadi pengajar dan membayangkan memakai sepeda

ontel untuk pergi dan pulang. Namun, Tuhan

menghendaki lain, ia dilihat Sa’adoeddin Djambek dan

Abdur Rahim, gurunya sebagai orang yang memiliki

potensi besar. Ia masih teringat surat yang ia simpan di

buku hariannya, ia membuat judul di buku hariannya;

surat seorang tokoh (Sa’adoeddin Djambek) ke seorang

tokoh (Abdur Rahim) yang membicarakan calon tokoh

(wahyu widiana). Semenjak itu karirnya melejit dan

menjadikannya tidak hanya menorehkan prestasinya di

berada di Badan Peradilan Agama, tetapi ia orang nomor

satu yang mengurusi hisab rukyat di Badan Hisab Rukyat

Nasional yang pada waktu itu pernah ada di bawah

payung Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung.

Awal perjalanan karirnya dimulai ketika ia

menjadi pegawai Depag dan diperbantukan di Pengadilan

Agama Jakarta Utara sebagai staf. Tiga tahun kemudian,

di tempat tugas yang sama, ia diangkat menjadi hakim

anggota tidak tetap alias hakim honor. Prestasi yang luar

biasa, karena ia bisa dipercaya dalam usia yang sangat

muda. Pada tahun 1981 ia diangkat sebagai Kepala Seksi

Hisab Rukyat pada Direktorat Pembinaan Peradilan

Agama Depag. Jabatan itu diembannya selama sepuluh

tahun.

Pada tahun 1988-1990 Wahyu Widiana

melanjutkan sekolah master dan lulus dari University of

Michigan. Sepulang ke tanah air, ia naik jabatan. Ia

diangkat menjadi Kasubdit Pertimbangan Hukum Agama

dan Hisab Rukyat. Pada waktu itu, SK Kasubdit

seharusnya jatuh pada Pak Muhamimin, namun Kasubdit

beralih pada dirinya, karena calon kasubditnya meninggal

dunia. Lima tahun kemudian, Pak Atho Mudzhar

menariknya menjadi Kasubdit Penelitian dan Pengabdian

Masyarakat. Namun jabatan ini hanya diembannya

selama 8 bulan, yakni Mei-Desember 1996.

Dari Desember 1996 hingga November 1998,

Wahyu Widiana mendapat amanat baru sebagai Kepala

Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri. Pada November

1998 hingga September 1999, ia beralih tugas menjadi

Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan. Kemudian pada

periode September 1999-Mei 2000, ia menjadi Staf Ahli

Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama.

Pada periode 1996-2000, Wahyu Widiana tercatat pula

sebagai sekretaris empat Menteri Agama yang berbeda.

Keempat menteri tersebut adalah Tarmizi Taher, Quraisy

Shihab, Malik Fadjar dan Tolhah Hasan.

Pada Mei 2000 Wahyu Widiana diangkat menjadi

Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama atau bisa

disebut Dirbinbapera pada Ditjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam. Jabatan ini diembannya

hingga Juni 2001. Setelah itu terjadi perubahan organisasi

dan nomenklatur jabatan. Wahyu Widiana menjadi

Direktur Pembinaan Peradilan Agama atau Dirbinpera

pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji. Ia menduduki jabatan itu hingga

2005.

Seiring dengan penyatuatapan badan peradilan, di

mana Peradilan Agama beralih dari Departemen Agama

ke Mahkamah Agung, sejak tahun 2005 Wahyu Widiana

menjadi pejabat eselon I. Ia dilantik sebagai Direktur

Jenderal Badan Peradilan Agama alias Dirjen Badilag.

Jabatan itu terus diembannya hingga 31 Juli 2012.

Terakhir menjabat sebagai Direktur Jendral Badan

Peradilan Agama di Mahkamah Agung. Ia dikenal sebagai

pelopor Implementasi teknologi di Pemerintahan dan di

Peradilan Agama. Layanan peradilan yang ramah

terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan konsep

yang ia lakukan selama ini.

Dua hal yang patut dicatat sebagai jejak terpenting

sebagai abdi negara, pertama ia berhasil mendorong

lembaganya dan PA di seluruh Indonesia menerapkan

teknologi informasi sehingga menjadi lebih efisien dan

transparan. Kepemimpinan dalam implementasi teknologi

informasi ini berbuah penghargaan best of the best bagi

PA dalam penilaian terhadap website seluruh pengadilan

di tanah air yang dilakukan di The Australian –Indonesia

Partnership for Justice. Ia mendorong pengembangan

sistem informasi administrasi perkara Pengadilan Agama

serta sistem informasi manajemen kepegawaian.

Kedua, karya terpenting adalah implementasi dari

konsep justice for the poor, belajar dari masa mudanya,

Pengadilan Agama yang tak ramah terhadap orang

miskin. Ia membangun sistem agar masyarakat miskin

dan pinggiran mendapat layanan hukum yang baik. Bagi

masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara,

PA memiliki sistem layanan prodeo yang gratis.

Kemudian, bagi mereka yang tidak mampu datang ke

Pengadilan Agama karena letaknya jauh dan tidak mampu

membayar transportasi diadakan program sidang keliling.

Dalam hal ini Hakim dan Panitera yang berkeliling

mendatangi mereka yang berperkara. Bagi masyarakat

yang memerlukan bantuan hukum dan tak mampu untuk

membayar pengacara, maka Pengadilan Agama

menyediakan layanan pos bantuan hukum. Prestasinya

dan ajarannya terlihat jelas di program bantuan hukum di

46 Pengadilan Agama.

Hisab Rukyah di Mata Wahyu Widiana

“Saya bukan ilmuan hisab rukyat, hanya orang

yang mengurus hisab rukyat di birokrat”, tutur Wahyu

Widiana yang rendah hati, ketika ditanya pendapat alasan

pentingnya penulisan periodisasi perkembangan hisab

rukyat di Indonesia. Hal ini diungkapnya dalam

wawancara perkembangan hisab rukyat. Ia selalu

mengingatkan akan pentingnya sejarah hisab rukyat

dalam kegiatan hisab rukyat di manapun. Ia mengakui

bahwa saat ini sudah banyak ilmuan hisab rukyat yang

terlibat, yang tidak hanya berlatar belakang fiqh saja,

namun astronomi dan keilmuan yang lain.

Orang terlama di Pemerintahan yang sangat

memahami perjalanan hisab rukyat di Indonesia ini juga

sangat mengapresiasi kemajuan yang saat ini tengah

terjadi. Selain karena anggaran Pemerintahan dalam

memajukan hisab rukyat juga memadai, sekarang ini

sumber daya manusia di bidang hisab rukyat sangat

berkembang. Sekarang sudah banyak lulusan doktor atau

profesor yang ahli. Kita bisa lihat juga dari hubungan

dengan instansi lain selain Depag yang tentunya semakin

meluas. Orang umum sudah mulai belajar tentang ilmu

falak. Peserta temu kerja atau BHR pun sekarang

anggotanya semakin banyak dan beragam.

Meskipun kemajuan yang sedang terjadi ini adalah

sebuah tahapan yang harus dipertahankan, permasalahan

dapat bertambah berbanding lurus dengan kemajuan. Sisi

positif yang bisa ditangkap dari semakin banyak pihak

atau ilmuan dari berbagai ilmu yang diikut sertakan dalam

kegiatan hisab rukyat adalah sisi positif dari segi aspirasi

atau demokrasi. Namun, semakin banyak orang yang

dilibatkan, proses penyatuan sebenarnya akan cenderung

lebih sulit. Karena ia menganggap bahwa hisab rukyat

pada dasarnya adalah kesepakatan. Perbedaan akan

timbul dengan banyaknya kran demokrasi yang dibuka.

“Upaya dengan banyaknya pihak yang terlibat adalah

sebuah kemajuan, namun untuk penyatuan, terus terang

saja sulit. Karena berbeda-beda itu sejak dulu”, tuturnya

di sela pembicaraan.

Kenapa sekarang perbedaan lebih tergaungkan

lagi? Ia mengawali pembicaraanya dengan sebuah

pertanyaan yang kemudian ia lanjutkan dengan nada

jawaban setengah oktaf. “Peran medialah yang

menggaungkan berita perbedaan itu”. Ia mulai bercerita

mengenang sebuah kejadian. Dahulu, ketika sidang isbat

akan digelar atau terjadi perbedaan, media televisi jarang

merekam sehingga masyarakat tidak tahu. Bahkan

selesainya mentri Agama memimpin sidang isbat, selalu

repot terkena macet dan naik ojeg untuk hadir ke stadion

TVRI. Jadi bukan media televisinya yang datang untuk

mencari informasi. Untuk mengantisipasi hal itu,

Pemerintah juga pernah beberapa kali pindah ke gedung

TVRI untuk sidang isbat.

Jika melihat zaman sekarang, tentulah berbeda.

Sekarang, semua media datang mencari berita. Dengan

adanya sidang isbat yang melibatkan banyak asprirasi

sebenarnya membuat prosesnya rumit juga. Misalnya

pada waktu itu, kondisi awal bulan yang dihadapi dalam

kondisi tidak ada masalah, hilal ada di bawah ufuk yang

membuat konsekwensi semua pihak dari manapun akan

mengistikmalkannya. Namun pada kenyataannya, banyak

anggota sidang isbat unjuk tangan berpendapat. Jelas ini

juga sangat merepotkan, menampung pendapat yang

memerlukan waktu di tengah penantian masyarakat

wilayah timur Indonesia yang sudah menunggu-nunggu.

Sehingga ia menegaskan lagi pendapatnya bahwa proses

untuk penyatuan semakin besar upayanya, tapi bisanya

bersatu sangat sulit.

Wahyu Widiana sangat memahami kondisi

bagaimana Pemerintah dalam hal ini menteri Agama

mengawal masyarakat dalam masalah hisab rukyat. Ia

mengakui bahwa asas negara kita berbeda dengan negara

yang sudah berlandaskan syariat. Katakanlah di Malaysia,

Brunei, jika terdapat perbedaan, maka yang berbeda itu

tidak diumumkan luas. Kriteria bisa dipaksa oleh negara

yang otoriter. Jika mau lihat pendapat Thomas

Jamaluddin yang mengusung tiga konsep dalam

penyatuan kalender Islam, menurut saya kita baru hanya

memenuhi satu kriteria saja, kita baru punya wilayah saja,

otoritas dan kriteria belum kita miliki.

Sebenarnya, ada harapan kecil upaya penyatuan

hisab rukyat bisa terwujud yaitu dengan teknologi, ujar

wahyu widiana. Dulu, jika melihat bulan di siang hari

adalah tidak mungkin, namun seiring berkembangnya

teknologi, hal itu sekarang bisa dilakukan. Mungkin, hal

yang bisa menyatukan itu bisa saja dilakukan jika bulan

itu sudah wujud dan ada cara teknologi untuk bisa

menembus awan. Meskipun ia memungkiri hal itu tidak

mungkin terjadi, namun ia berkeyakinan mungkin saja

akan ada keajaiban teknologi.

Wahyu menganalisis bahwa hisab sangat maju

dalam soal perhitungan, data dan aplikasi, sementara

rukyat tidak secepat seperti hisab. Sehingga salah satu

faktor inilah yang membuat sulit untuk disatukan. Saya

beranggapan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal

dan Dzulhijjah memang harus dilakukan oleh yang punya

otoritas yaitu pemerintah dalam hal ini menteri agama.

Kewenangan Pemerintah haruslah dikedepankan karena

hal ini menyangkut orang banyak. Kalo sendiri untuk

berbeda ya silakan saja, kalau banyak harus diurus

Pemerintah. Bagi mereka yang acuh agar Pemerintah

tidak mengurusi hal ini, ia golongkan mereka sebagai

kelompok yang berputus asa. Pada dasarnya, semua

kesulitan ini bukan berarti membuat kita putus harapan,

tandasnya tegas.

Harapan untuk menyatukan hisab rukyat

sebenarnya adalah dengan terus menerus

mengembangkan ilmu pengetahuan. Upaya penyatuan

sudah on the track dengan apa yang dilakukan oleh Bimas

Islam dan Direktorat Urais saat ini,apalagi Kasubditnya

Dr. Ahmad Izzuddin yang semangat menata melakukan

pembakuan dan standardisasi hisab rukyat Indonesia,

kiranya sangat bagus dan saya yakin akan berhasil. Ia

berharap semakin banyak yang dilibatkan dengan kinerja

istiqomah untuk terus dilakukan penyatuan akan semakin

terbuka. Ia mengapresiasi ketika ada upaya dengan cara

mendekatkan anak muda Muhammadiyah dan Nahdhatul

Ulama untuk memperoleh titik penyatuan, tetapi ketika di

bawa ke pintu organisasinya masing-masing semua

mentah dan tidak berubah. Hal ini dimaklumi mengingat

bahwa ada perbedaan di dalam masing-masing metode.

Pada saatnya regenerasi, para senior ormas masing-

masing akan bisa dikembangkan dengan syarat ilmiah dan

syariah agar bisa bersatu. Saya tidak sangat pesimis, yang

penting kesepakatan.

Saran untuk masyarakat yang dalam perbedaan,

wahyu memberikan testimoninya. Kita kembali ke sejauh

mana kerukunan antara ormas dan juga ormas dengan

pemerintah. Secara umum, Kemenag bisa merangkul,

namun jika ada masalah dari kelompok dan mencuat

persoalan tentunya akan merugikan. Jika antar ormas atau

ormas dan Pemerintah memiliki kesepahaman dan

kerukunan tentunya bisa saja direm. Ini sebagai jalan

terakhir yang sementara ini bisa kita lakukan dalam

beberapa tahun berikutnya jika terjadi perbedaan. Kita

sepakat untuk berbeda tapi tidak menimbulkan efek

negatif dalam kehidupan sosial.

Ketika ditanya pengalamannya semasa mengurus

hisab rukyat ia berkomentar, “awal mulanya saya kaget,

namun lama kelamaan saya faham”. Ada dua

pengalaman yang bisa disampaikan dalam tulisan ini yaitu

ketika ada satu kelompok dalam ilmu falak secara parsial

hanya menguasai salah satu metode saja dan tidak belajar

dari lainnya menimbulkan keterpaksaan keyakinan.

Terkesan ada pemaksaan terhadap keyakinan untuk

meyakini secara yakin. Contohnya ketika ada pelapor

rukyatul hilal yang menyatakan melihat secara yakin

adanya hilal padahal secara ilmu pengetahuan hilal di

bawah ufuk. Pada waktu itu kami tolak karena memang

tidak berdasar ilmu pengetahuan.

Kejadian lain ketika dunia internasional

meremehkan kita. Saat kita memberikan informasi data

pengamatan rukyatul hilal di Indonesia, mereka yang

terdiri dari ahli astronomi menertawakan kita. Ketinggian

hilal dua derajat untuk dapat terlihat itu sangat tidak

mungkin. Hampir tidak ada pengalaman hilal dengan

ketinggian seperti itu dapat terlihat. Begitu juga dalam

acara peringatan 70 tahun teknologi masuk Indonesia, ia

pernah menjadi pembicara untuk menjelaskan

pengamatan rukyatul di Indonesia. Pada waktu itu, ada

ahli astronomi yang mengatakan bahwa Menteri agama

meremehkan ilmu pengetahuan.

Ketika ditanya bagaimana masa depan ilmu falak,

dengan santai ia menjawab bahwa belajar ilmu falak itu

ya belajar astronomi, tidak ada dualisme. Sekarang ini di

dunia ilmu pengetahuan dan akademis, tidak ada beda

antara ilmu falak dengan yang ada di UIN maupun di ITB.

Kawan-kawan ITB justru berbagi bahkan mempelajari

yang ada di UIN. Hanya di Perguruan Tinggi Islam, ilmu

falak masih sebagian dari ilmu fiqh atau masalah

keilmuannya belum dikembangkan secara pesat,

sepertinya tidak akan semaju dengan keilmuan astronomi

yang ada di perguruan tinggi umum. Saya senang di

semarang sudah ada jurusan ilmu falak, meskipun tidak

semaju yang ada di ITB, itu tidaklah apa-apa, seiring

berkembangnya waktu, lambat laun akan maju dan

berkembang. Sehingga kedepannya, jurusan ilmu falak

sebaiknya harus lebih dikembangkan, mungkin menjadi

bagian dari Departemen astronomi.

Benarkah keputusan Mentri Agama itu

dipengaruhi latar belakang Muhammadiyah atau

Nahdhatul Ulama? Pertanyaan ini dijawab Wahyu dengan

banyak pengalamannya mengikuti perkembangan sidang

isbat. Saya sudah lama sekali mengikuti sidang isbat dan

memahami sekali bagaimana persoalan yang terjadi.

Meskipun Menteri agama dari Nahdhatul Ulama atau

Muhammadiyah, Menteri akan tetap selalu

mengedepankan dan mengakomodir demi kemaslahatan

umat, jadi bukan berdasarkan latar belakang

muhammadiyah atau NU. Contohnya saja, menjelang

awal Syawal yang diprediksikan terjadi perbedaan,

Menteri khawatir dan mencoba mengupayakan koordinasi

ormas, MUI dan upaya-upaya lainnya untuk kepentingan

umat. Sehingga keputusan yang diambil hanya demi

kemaslahatan umat.

Wahyu memberikan sebuah gambaran. Coba

bayangkan jika keputusan Pemerintah itu adalah

keputusan ilmiah, di mana kriteria ketinggian hilal secara

astronomis itu adalah minimal 4 derajat. Misalnya pada

selasa, tanggal 29 Ramadan, ketinggian hilal 4 derajat,

pada waktu itu ada yang melapor melihat. Karena Menteri

dasarnya ilmiah, Menteri agama menolak laporan rukyat

dikarenakan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan

keputusannya adalah mengistikmalkan sehingga awal

syawal hari rabu. Di lapangan, Muhammadiyah jelas

besok akan mengawali 1 Syawal, PERSIS pun akan sama,

dan terlebih Nahdatul Ulama yang melaporkan melihat.

Lalu bagaimana masyarakat awam? Tentunya mereka

mengikuti yang lebih cepat. Kemudian siapa yang mau

mengikuti keputusan Pemerintah? Hal ini menjadi dilema

tersendiri. Saya melihat keputusan Pemerintah pada

dasarnya bukan dipertimbangkan dari segi ilmiah, tetapi

politis yang ingin mempertimbangkan hasil hisab dan

laporan rukyat. Sehingga baik menteri agamanya dari

ormas manapun saya kira tidak berpengaruh terhadap

keputusan 1 Syawal, jadi tidak benar pernyataan yang

mengatakan latar belakang mentri agama mempengaruhi

hasil keputusan Pemerintah.

Waktu dulu, pernah ada ketika Menteri Agamanya

NU, keadaan hilal di bawah ufuk dan Pemerintah

menetapkan syawal dan ramadan secara bersamaan yaitu

sepakat untuk diistikmalkan dan tidak dilakukan rukyat.

Namun akhir-akhir ini, menteri mengakomodir kelompok

yang mengatakan bahwa rukyat itu ibadah dan akhirnya

tetap dilakukan rukyat walau hilal di bawah ufuk.

Sehingga sebenarnya selalu terjadi perubahan yang pada

akhirnya bisa ditangkap bahwa peran Pemerintah di sini

adalah untuk mengakomodir. Obrolan di sore hari itu

berkesimpulan bahwa pengalaman Wahyu Widiana

menjadi birokrat hisab rukyat mengajarkannya satu hal

yaitu untuk menyatukan itu intinya memerlukan

kesepakatan dan ia adalah orang yang tidak pernah putus

asa untuk menyatukan perbedaan.

Setelah menyelesaikan masa baktinya di Badan

Peradilan Agama Mahkamah Agung, terhitung Juli 2012,

ia beraktifitas sebagai dosen ilmu falak di FSH UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga menjadi konsultan

di AIPJ (Australia Indonesia Parthership for Justice) yang

mengurusi bidang identitas hukum bagi yang mereka

tidak mampu meliputi hak atas akta kelahiran, akta nikah

dan akta cerai yang dimaksudkan sebagai prasyarat dalam

mewujudkan hak-hak dasar sosial dan ekonomi.

Sekarang, ia tinggal beserta istrinya Nina Nurfarah di

Komplek Depag Blok VII/E.1 Rt 07 Rw 04 No. 1

Pamulang Tangerang Selatan. Ia bisa dihubungi di alamat

email [email protected] dan no HP.

081381934687.

Sumber : bimasislam.kemanag.go.id/informasi/opini