makalah islam -...
Transcript of makalah islam -...
Makalah Islam
Wahyu Widiana, Sosok yang Peduli terhadap Hisab
Rukyat
Anisah Budiwati, MSI
(Dosen Fakultas Syariah UII Yogyakarta)
Tidak banyak yang mengetahui, Drs. Wahyu
Widiana, MA, ahli falak kelahiran Ciawi, Tasik Malaya
ini sebenarnya lahir pada 18 November 1952, meskipun
yang lebih banyak ia tuliskan dalam beberapa sumber 18
September 1952. Hal ini terkait dengan kesalahan tulis
bulan dengan angka romawi yang seharusnya XI tetapi
tertulis IX. Selain itu, namanya pun mengalami
perubahan. Pada saat itu ada ketentuan yang
mengharuskan nama terdiri dari dua kata yang akhirnya
namanya menjadi Wahyu Widiana. Ia adalah putera ke
sepuluh dari sebelas bersaudara dari Bapak H. Idris dan
Ibu Siti Juhro. Ayahnya adalah seorang wirastawan yang
ulet dan ibunya berasal dari keluarga dengan latar agama
yang sangat kuat. Ibunyalah yang mengarahkan ia
menuntut ilmu dan berkarir di bidang agama.
Ketika kecil selain belajar di SD dan SMP, di
siang dan malam hari ia menuntut ilmu di Madrasah.
Masa SMA nya dihabiskan dengan berguru di Pondok
Pesantren Cipasung asuhan KH. Ilyas Ru’yat, kiyai
kharismatik Nahdhatul Ulama. Lulus pesantren, ia
diarahkan Ibunya untuk kuliah dan ia memilih fakultas
Syariah IAIN Yogyakarta. Di kampus tersebut,ia
berkenalan dan mulai mendalami ilmu falak. Sebagai
persyaratan kelulusan sarjana muda, ia menerbitkan
sebuah risalah tentang IIDL dalam hubungan dengan
shalat jum’at. Sementara itu, untuk mendapatkan gelar
sarjana ia menulis skripsi dalam bidang ilmu falak dengan
judul ijtima’ sebagai pedoman dalam menentukan awal
bulan qamariyah. Dalam waktu yang sama, terlibat dalam
penyusunan kamus istilah ilmu falak yang diterbitkan
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama.
Lulus kuliah ia menikah dengan Bu Nina Nurfarah
dan dikarunia enam orang anak. Dalam perjalanan
berkeluarga, ia dikenal sebagai pemimpin keluarga yang
demokratis, membebaskan anak-anaknya untuk memilih
sekolah dan pekerjaan. Ia adalah seorang ayah yang selalu
menyempatkan waktu berinteraksi dengan keluarga di
kala ia mengemban amanah berat abdi negara di birokrat.
Keahliannya di bidang ilmu falak telah ia dalami
saat SMA. Ia bersekolah di SMA Paspal (Pasti dan
Pengetahuan Alam) dan berguru kepada Endang Afandi,
seorang ahli matematika. Selama mengenyam SMA ia
mempelajari geografi dan ilmu falak. Semenjak ia
mengenyam kuliah pun, saat tingkat satu ia belajar ilmu
falak dari Sa’adoeddin Djambek dan Abdur Rachim.
Abdur Rachim sering memberikannya tugas sampai larut
malam. Pada waktu itu ia bersama murid Abdur Rachim
yang lain, Oman Fathurahman. Berlanjut ketika selesai
dari IAIN Kalijaga, ia belajar kitab Sullamun Nayirain
dari seorang Ajengan Khudori, Tasik. Sejak berkarir di
Jakarta sampai dengan sekarang, ia tidak pernah lepas dari
persoalan hisab rukyat.
Sepak Terjang Abdi Negara
Karir Wahyu Widiana sebagai abdi negara dimulai
pada tahun 1978. Kala itu, ia yang berpredikat alumni
terbaik Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta hanya ingin
menjadi dosen di Yogyakarta. Ia yang pada saat itu sudah
menjadi asisten dosen Abdur Rachim hanya bercita-cita
menjadi pengajar dan membayangkan memakai sepeda
ontel untuk pergi dan pulang. Namun, Tuhan
menghendaki lain, ia dilihat Sa’adoeddin Djambek dan
Abdur Rahim, gurunya sebagai orang yang memiliki
potensi besar. Ia masih teringat surat yang ia simpan di
buku hariannya, ia membuat judul di buku hariannya;
surat seorang tokoh (Sa’adoeddin Djambek) ke seorang
tokoh (Abdur Rahim) yang membicarakan calon tokoh
(wahyu widiana). Semenjak itu karirnya melejit dan
menjadikannya tidak hanya menorehkan prestasinya di
berada di Badan Peradilan Agama, tetapi ia orang nomor
satu yang mengurusi hisab rukyat di Badan Hisab Rukyat
Nasional yang pada waktu itu pernah ada di bawah
payung Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung.
Awal perjalanan karirnya dimulai ketika ia
menjadi pegawai Depag dan diperbantukan di Pengadilan
Agama Jakarta Utara sebagai staf. Tiga tahun kemudian,
di tempat tugas yang sama, ia diangkat menjadi hakim
anggota tidak tetap alias hakim honor. Prestasi yang luar
biasa, karena ia bisa dipercaya dalam usia yang sangat
muda. Pada tahun 1981 ia diangkat sebagai Kepala Seksi
Hisab Rukyat pada Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Depag. Jabatan itu diembannya selama sepuluh
tahun.
Pada tahun 1988-1990 Wahyu Widiana
melanjutkan sekolah master dan lulus dari University of
Michigan. Sepulang ke tanah air, ia naik jabatan. Ia
diangkat menjadi Kasubdit Pertimbangan Hukum Agama
dan Hisab Rukyat. Pada waktu itu, SK Kasubdit
seharusnya jatuh pada Pak Muhamimin, namun Kasubdit
beralih pada dirinya, karena calon kasubditnya meninggal
dunia. Lima tahun kemudian, Pak Atho Mudzhar
menariknya menjadi Kasubdit Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. Namun jabatan ini hanya diembannya
selama 8 bulan, yakni Mei-Desember 1996.
Dari Desember 1996 hingga November 1998,
Wahyu Widiana mendapat amanat baru sebagai Kepala
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri. Pada November
1998 hingga September 1999, ia beralih tugas menjadi
Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan. Kemudian pada
periode September 1999-Mei 2000, ia menjadi Staf Ahli
Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama.
Pada periode 1996-2000, Wahyu Widiana tercatat pula
sebagai sekretaris empat Menteri Agama yang berbeda.
Keempat menteri tersebut adalah Tarmizi Taher, Quraisy
Shihab, Malik Fadjar dan Tolhah Hasan.
Pada Mei 2000 Wahyu Widiana diangkat menjadi
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama atau bisa
disebut Dirbinbapera pada Ditjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Jabatan ini diembannya
hingga Juni 2001. Setelah itu terjadi perubahan organisasi
dan nomenklatur jabatan. Wahyu Widiana menjadi
Direktur Pembinaan Peradilan Agama atau Dirbinpera
pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji. Ia menduduki jabatan itu hingga
2005.
Seiring dengan penyatuatapan badan peradilan, di
mana Peradilan Agama beralih dari Departemen Agama
ke Mahkamah Agung, sejak tahun 2005 Wahyu Widiana
menjadi pejabat eselon I. Ia dilantik sebagai Direktur
Jenderal Badan Peradilan Agama alias Dirjen Badilag.
Jabatan itu terus diembannya hingga 31 Juli 2012.
Terakhir menjabat sebagai Direktur Jendral Badan
Peradilan Agama di Mahkamah Agung. Ia dikenal sebagai
pelopor Implementasi teknologi di Pemerintahan dan di
Peradilan Agama. Layanan peradilan yang ramah
terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan konsep
yang ia lakukan selama ini.
Dua hal yang patut dicatat sebagai jejak terpenting
sebagai abdi negara, pertama ia berhasil mendorong
lembaganya dan PA di seluruh Indonesia menerapkan
teknologi informasi sehingga menjadi lebih efisien dan
transparan. Kepemimpinan dalam implementasi teknologi
informasi ini berbuah penghargaan best of the best bagi
PA dalam penilaian terhadap website seluruh pengadilan
di tanah air yang dilakukan di The Australian –Indonesia
Partnership for Justice. Ia mendorong pengembangan
sistem informasi administrasi perkara Pengadilan Agama
serta sistem informasi manajemen kepegawaian.
Kedua, karya terpenting adalah implementasi dari
konsep justice for the poor, belajar dari masa mudanya,
Pengadilan Agama yang tak ramah terhadap orang
miskin. Ia membangun sistem agar masyarakat miskin
dan pinggiran mendapat layanan hukum yang baik. Bagi
masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara,
PA memiliki sistem layanan prodeo yang gratis.
Kemudian, bagi mereka yang tidak mampu datang ke
Pengadilan Agama karena letaknya jauh dan tidak mampu
membayar transportasi diadakan program sidang keliling.
Dalam hal ini Hakim dan Panitera yang berkeliling
mendatangi mereka yang berperkara. Bagi masyarakat
yang memerlukan bantuan hukum dan tak mampu untuk
membayar pengacara, maka Pengadilan Agama
menyediakan layanan pos bantuan hukum. Prestasinya
dan ajarannya terlihat jelas di program bantuan hukum di
46 Pengadilan Agama.
Hisab Rukyah di Mata Wahyu Widiana
“Saya bukan ilmuan hisab rukyat, hanya orang
yang mengurus hisab rukyat di birokrat”, tutur Wahyu
Widiana yang rendah hati, ketika ditanya pendapat alasan
pentingnya penulisan periodisasi perkembangan hisab
rukyat di Indonesia. Hal ini diungkapnya dalam
wawancara perkembangan hisab rukyat. Ia selalu
mengingatkan akan pentingnya sejarah hisab rukyat
dalam kegiatan hisab rukyat di manapun. Ia mengakui
bahwa saat ini sudah banyak ilmuan hisab rukyat yang
terlibat, yang tidak hanya berlatar belakang fiqh saja,
namun astronomi dan keilmuan yang lain.
Orang terlama di Pemerintahan yang sangat
memahami perjalanan hisab rukyat di Indonesia ini juga
sangat mengapresiasi kemajuan yang saat ini tengah
terjadi. Selain karena anggaran Pemerintahan dalam
memajukan hisab rukyat juga memadai, sekarang ini
sumber daya manusia di bidang hisab rukyat sangat
berkembang. Sekarang sudah banyak lulusan doktor atau
profesor yang ahli. Kita bisa lihat juga dari hubungan
dengan instansi lain selain Depag yang tentunya semakin
meluas. Orang umum sudah mulai belajar tentang ilmu
falak. Peserta temu kerja atau BHR pun sekarang
anggotanya semakin banyak dan beragam.
Meskipun kemajuan yang sedang terjadi ini adalah
sebuah tahapan yang harus dipertahankan, permasalahan
dapat bertambah berbanding lurus dengan kemajuan. Sisi
positif yang bisa ditangkap dari semakin banyak pihak
atau ilmuan dari berbagai ilmu yang diikut sertakan dalam
kegiatan hisab rukyat adalah sisi positif dari segi aspirasi
atau demokrasi. Namun, semakin banyak orang yang
dilibatkan, proses penyatuan sebenarnya akan cenderung
lebih sulit. Karena ia menganggap bahwa hisab rukyat
pada dasarnya adalah kesepakatan. Perbedaan akan
timbul dengan banyaknya kran demokrasi yang dibuka.
“Upaya dengan banyaknya pihak yang terlibat adalah
sebuah kemajuan, namun untuk penyatuan, terus terang
saja sulit. Karena berbeda-beda itu sejak dulu”, tuturnya
di sela pembicaraan.
Kenapa sekarang perbedaan lebih tergaungkan
lagi? Ia mengawali pembicaraanya dengan sebuah
pertanyaan yang kemudian ia lanjutkan dengan nada
jawaban setengah oktaf. “Peran medialah yang
menggaungkan berita perbedaan itu”. Ia mulai bercerita
mengenang sebuah kejadian. Dahulu, ketika sidang isbat
akan digelar atau terjadi perbedaan, media televisi jarang
merekam sehingga masyarakat tidak tahu. Bahkan
selesainya mentri Agama memimpin sidang isbat, selalu
repot terkena macet dan naik ojeg untuk hadir ke stadion
TVRI. Jadi bukan media televisinya yang datang untuk
mencari informasi. Untuk mengantisipasi hal itu,
Pemerintah juga pernah beberapa kali pindah ke gedung
TVRI untuk sidang isbat.
Jika melihat zaman sekarang, tentulah berbeda.
Sekarang, semua media datang mencari berita. Dengan
adanya sidang isbat yang melibatkan banyak asprirasi
sebenarnya membuat prosesnya rumit juga. Misalnya
pada waktu itu, kondisi awal bulan yang dihadapi dalam
kondisi tidak ada masalah, hilal ada di bawah ufuk yang
membuat konsekwensi semua pihak dari manapun akan
mengistikmalkannya. Namun pada kenyataannya, banyak
anggota sidang isbat unjuk tangan berpendapat. Jelas ini
juga sangat merepotkan, menampung pendapat yang
memerlukan waktu di tengah penantian masyarakat
wilayah timur Indonesia yang sudah menunggu-nunggu.
Sehingga ia menegaskan lagi pendapatnya bahwa proses
untuk penyatuan semakin besar upayanya, tapi bisanya
bersatu sangat sulit.
Wahyu Widiana sangat memahami kondisi
bagaimana Pemerintah dalam hal ini menteri Agama
mengawal masyarakat dalam masalah hisab rukyat. Ia
mengakui bahwa asas negara kita berbeda dengan negara
yang sudah berlandaskan syariat. Katakanlah di Malaysia,
Brunei, jika terdapat perbedaan, maka yang berbeda itu
tidak diumumkan luas. Kriteria bisa dipaksa oleh negara
yang otoriter. Jika mau lihat pendapat Thomas
Jamaluddin yang mengusung tiga konsep dalam
penyatuan kalender Islam, menurut saya kita baru hanya
memenuhi satu kriteria saja, kita baru punya wilayah saja,
otoritas dan kriteria belum kita miliki.
Sebenarnya, ada harapan kecil upaya penyatuan
hisab rukyat bisa terwujud yaitu dengan teknologi, ujar
wahyu widiana. Dulu, jika melihat bulan di siang hari
adalah tidak mungkin, namun seiring berkembangnya
teknologi, hal itu sekarang bisa dilakukan. Mungkin, hal
yang bisa menyatukan itu bisa saja dilakukan jika bulan
itu sudah wujud dan ada cara teknologi untuk bisa
menembus awan. Meskipun ia memungkiri hal itu tidak
mungkin terjadi, namun ia berkeyakinan mungkin saja
akan ada keajaiban teknologi.
Wahyu menganalisis bahwa hisab sangat maju
dalam soal perhitungan, data dan aplikasi, sementara
rukyat tidak secepat seperti hisab. Sehingga salah satu
faktor inilah yang membuat sulit untuk disatukan. Saya
beranggapan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal
dan Dzulhijjah memang harus dilakukan oleh yang punya
otoritas yaitu pemerintah dalam hal ini menteri agama.
Kewenangan Pemerintah haruslah dikedepankan karena
hal ini menyangkut orang banyak. Kalo sendiri untuk
berbeda ya silakan saja, kalau banyak harus diurus
Pemerintah. Bagi mereka yang acuh agar Pemerintah
tidak mengurusi hal ini, ia golongkan mereka sebagai
kelompok yang berputus asa. Pada dasarnya, semua
kesulitan ini bukan berarti membuat kita putus harapan,
tandasnya tegas.
Harapan untuk menyatukan hisab rukyat
sebenarnya adalah dengan terus menerus
mengembangkan ilmu pengetahuan. Upaya penyatuan
sudah on the track dengan apa yang dilakukan oleh Bimas
Islam dan Direktorat Urais saat ini,apalagi Kasubditnya
Dr. Ahmad Izzuddin yang semangat menata melakukan
pembakuan dan standardisasi hisab rukyat Indonesia,
kiranya sangat bagus dan saya yakin akan berhasil. Ia
berharap semakin banyak yang dilibatkan dengan kinerja
istiqomah untuk terus dilakukan penyatuan akan semakin
terbuka. Ia mengapresiasi ketika ada upaya dengan cara
mendekatkan anak muda Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama untuk memperoleh titik penyatuan, tetapi ketika di
bawa ke pintu organisasinya masing-masing semua
mentah dan tidak berubah. Hal ini dimaklumi mengingat
bahwa ada perbedaan di dalam masing-masing metode.
Pada saatnya regenerasi, para senior ormas masing-
masing akan bisa dikembangkan dengan syarat ilmiah dan
syariah agar bisa bersatu. Saya tidak sangat pesimis, yang
penting kesepakatan.
Saran untuk masyarakat yang dalam perbedaan,
wahyu memberikan testimoninya. Kita kembali ke sejauh
mana kerukunan antara ormas dan juga ormas dengan
pemerintah. Secara umum, Kemenag bisa merangkul,
namun jika ada masalah dari kelompok dan mencuat
persoalan tentunya akan merugikan. Jika antar ormas atau
ormas dan Pemerintah memiliki kesepahaman dan
kerukunan tentunya bisa saja direm. Ini sebagai jalan
terakhir yang sementara ini bisa kita lakukan dalam
beberapa tahun berikutnya jika terjadi perbedaan. Kita
sepakat untuk berbeda tapi tidak menimbulkan efek
negatif dalam kehidupan sosial.
Ketika ditanya pengalamannya semasa mengurus
hisab rukyat ia berkomentar, “awal mulanya saya kaget,
namun lama kelamaan saya faham”. Ada dua
pengalaman yang bisa disampaikan dalam tulisan ini yaitu
ketika ada satu kelompok dalam ilmu falak secara parsial
hanya menguasai salah satu metode saja dan tidak belajar
dari lainnya menimbulkan keterpaksaan keyakinan.
Terkesan ada pemaksaan terhadap keyakinan untuk
meyakini secara yakin. Contohnya ketika ada pelapor
rukyatul hilal yang menyatakan melihat secara yakin
adanya hilal padahal secara ilmu pengetahuan hilal di
bawah ufuk. Pada waktu itu kami tolak karena memang
tidak berdasar ilmu pengetahuan.
Kejadian lain ketika dunia internasional
meremehkan kita. Saat kita memberikan informasi data
pengamatan rukyatul hilal di Indonesia, mereka yang
terdiri dari ahli astronomi menertawakan kita. Ketinggian
hilal dua derajat untuk dapat terlihat itu sangat tidak
mungkin. Hampir tidak ada pengalaman hilal dengan
ketinggian seperti itu dapat terlihat. Begitu juga dalam
acara peringatan 70 tahun teknologi masuk Indonesia, ia
pernah menjadi pembicara untuk menjelaskan
pengamatan rukyatul di Indonesia. Pada waktu itu, ada
ahli astronomi yang mengatakan bahwa Menteri agama
meremehkan ilmu pengetahuan.
Ketika ditanya bagaimana masa depan ilmu falak,
dengan santai ia menjawab bahwa belajar ilmu falak itu
ya belajar astronomi, tidak ada dualisme. Sekarang ini di
dunia ilmu pengetahuan dan akademis, tidak ada beda
antara ilmu falak dengan yang ada di UIN maupun di ITB.
Kawan-kawan ITB justru berbagi bahkan mempelajari
yang ada di UIN. Hanya di Perguruan Tinggi Islam, ilmu
falak masih sebagian dari ilmu fiqh atau masalah
keilmuannya belum dikembangkan secara pesat,
sepertinya tidak akan semaju dengan keilmuan astronomi
yang ada di perguruan tinggi umum. Saya senang di
semarang sudah ada jurusan ilmu falak, meskipun tidak
semaju yang ada di ITB, itu tidaklah apa-apa, seiring
berkembangnya waktu, lambat laun akan maju dan
berkembang. Sehingga kedepannya, jurusan ilmu falak
sebaiknya harus lebih dikembangkan, mungkin menjadi
bagian dari Departemen astronomi.
Benarkah keputusan Mentri Agama itu
dipengaruhi latar belakang Muhammadiyah atau
Nahdhatul Ulama? Pertanyaan ini dijawab Wahyu dengan
banyak pengalamannya mengikuti perkembangan sidang
isbat. Saya sudah lama sekali mengikuti sidang isbat dan
memahami sekali bagaimana persoalan yang terjadi.
Meskipun Menteri agama dari Nahdhatul Ulama atau
Muhammadiyah, Menteri akan tetap selalu
mengedepankan dan mengakomodir demi kemaslahatan
umat, jadi bukan berdasarkan latar belakang
muhammadiyah atau NU. Contohnya saja, menjelang
awal Syawal yang diprediksikan terjadi perbedaan,
Menteri khawatir dan mencoba mengupayakan koordinasi
ormas, MUI dan upaya-upaya lainnya untuk kepentingan
umat. Sehingga keputusan yang diambil hanya demi
kemaslahatan umat.
Wahyu memberikan sebuah gambaran. Coba
bayangkan jika keputusan Pemerintah itu adalah
keputusan ilmiah, di mana kriteria ketinggian hilal secara
astronomis itu adalah minimal 4 derajat. Misalnya pada
selasa, tanggal 29 Ramadan, ketinggian hilal 4 derajat,
pada waktu itu ada yang melapor melihat. Karena Menteri
dasarnya ilmiah, Menteri agama menolak laporan rukyat
dikarenakan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan
keputusannya adalah mengistikmalkan sehingga awal
syawal hari rabu. Di lapangan, Muhammadiyah jelas
besok akan mengawali 1 Syawal, PERSIS pun akan sama,
dan terlebih Nahdatul Ulama yang melaporkan melihat.
Lalu bagaimana masyarakat awam? Tentunya mereka
mengikuti yang lebih cepat. Kemudian siapa yang mau
mengikuti keputusan Pemerintah? Hal ini menjadi dilema
tersendiri. Saya melihat keputusan Pemerintah pada
dasarnya bukan dipertimbangkan dari segi ilmiah, tetapi
politis yang ingin mempertimbangkan hasil hisab dan
laporan rukyat. Sehingga baik menteri agamanya dari
ormas manapun saya kira tidak berpengaruh terhadap
keputusan 1 Syawal, jadi tidak benar pernyataan yang
mengatakan latar belakang mentri agama mempengaruhi
hasil keputusan Pemerintah.
Waktu dulu, pernah ada ketika Menteri Agamanya
NU, keadaan hilal di bawah ufuk dan Pemerintah
menetapkan syawal dan ramadan secara bersamaan yaitu
sepakat untuk diistikmalkan dan tidak dilakukan rukyat.
Namun akhir-akhir ini, menteri mengakomodir kelompok
yang mengatakan bahwa rukyat itu ibadah dan akhirnya
tetap dilakukan rukyat walau hilal di bawah ufuk.
Sehingga sebenarnya selalu terjadi perubahan yang pada
akhirnya bisa ditangkap bahwa peran Pemerintah di sini
adalah untuk mengakomodir. Obrolan di sore hari itu
berkesimpulan bahwa pengalaman Wahyu Widiana
menjadi birokrat hisab rukyat mengajarkannya satu hal
yaitu untuk menyatukan itu intinya memerlukan
kesepakatan dan ia adalah orang yang tidak pernah putus
asa untuk menyatukan perbedaan.
Setelah menyelesaikan masa baktinya di Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung, terhitung Juli 2012,
ia beraktifitas sebagai dosen ilmu falak di FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga menjadi konsultan
di AIPJ (Australia Indonesia Parthership for Justice) yang
mengurusi bidang identitas hukum bagi yang mereka
tidak mampu meliputi hak atas akta kelahiran, akta nikah
dan akta cerai yang dimaksudkan sebagai prasyarat dalam
mewujudkan hak-hak dasar sosial dan ekonomi.
Sekarang, ia tinggal beserta istrinya Nina Nurfarah di
Komplek Depag Blok VII/E.1 Rt 07 Rw 04 No. 1
Pamulang Tangerang Selatan. Ia bisa dihubungi di alamat
email [email protected] dan no HP.
081381934687.
Sumber : bimasislam.kemanag.go.id/informasi/opini