Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

28
Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBEDAAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK BERSENJATA Nama : Mulyono Stambuk : D 101 07 437

Transcript of Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Page 1: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBEDAAN HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK

BERSENJATA

Nama     :  Mulyono

Stambuk :  D 101 07 437

F A K U L T AS  H U K U M

U N I V E R S I T A S  L A M P UN G

2 0 1 2

Page 2: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Bahwa penulis telah

menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Humaniter Internasional. Dalam penyusunan

makalah ini, ada sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa

kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan

orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

Yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi

dan menyelesaikan makalah ini. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing dan

mengatasi berbagai kesulitan sehingga makalah ini selesai.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena

itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan tugas-tugas yang akan

datang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam

pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak

yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,

amin.

                                                                                        Palu,  13 Maret  2014

                                                                                                          

Page 3: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1

PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang   

B. Permasalahan

BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi Definisi dari Terminologi masalah

B. Prinsip Pembedaan Dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter

a. Tujuan Prinsip Pembedaan

b. Asas Umum Prinsip Pembedaan

c. Penerapan Aturan Hukum Mengenai Prinsip Pembedaan

BAB IV

PENUTUP 

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

BAB  I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tak dapat dipungkiri bahwa hukum dan pelanggaran itu adalah suatu yang saling

berdampingan layaknya pepatah tua yaitu bila ada siang maka ada malam, ada hitam ada

putih, ada atas ada bawah, ada baik maka ada buruk,  dan sebagainya. Disini

adalah  merupakan suatu hukum alam yang dibuat oleh Tuhan dimana selalu ada perbedaan

di dalamnya yang saling berdampingan sehingga terciptanya suatu dinamika. Begitupun

dalam realita kehidupan manusia yang selalu akan haus kedudukan dan kemenangan

sehingga terjadi suatu permusuhan. Dalam suatu permusuhan mereka buta terhadap sesuatu

yang orang lain pandang itu tak layak namun layak bagi mereka. Sehingga mereka pun

berlaku kejam tak dan melakukan sesuatu tanpa memperdulikan apapun semata – mata demi

kemenangan.

Dalam sejarah dunia, perang merupakan suatu hal yang tidak lazim lagi bagi kalangan

manusia, bahkan bisa dikatakan bahwa perang akan selalu ada dan sulit untuk dihindari atau

dihapuskan dalam perkembangan sejarah dunia. Hal ini pun diperkuat oleh berbagai fakta

sejarah peradaban dunia, dimana dari masa ke masa, bahkan sebelum masehi hingga pada

abad sekarang ini, peperangan senantiasa mengambil korban dalam jumlah yang banyak dan

berujung kepada penderitaan, baik itu pada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak

ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut.

Istilah hukum hukum humaniter atau lengkapnya disebutInternational Humanitarian

Law applicable in Armed Conflictdiperkenalkan oleh International Committee of Red Cros

( ICRC),[1] yang sebenarnya berawal dari istilah Hukum Perang, namun karena istilah

Page 5: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

perang disimi terbilang mengerikan akibat trauma terhadap PD II dan berbagai peperangan

yang masih marak di berbagai negara, maka istilah Hukum Perang pun diganti dengan

Hukum Sengketa Bersenjata yang kemudian mengalamai pergeseran menjadi Hukum

Humaniter.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, adalah suatu kenyataan yang menyedihkan

bahwa selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun

perdamaian.[2]Dalam sejarah Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan

– aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Dan perkembangan modern dari

hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Dan sejak itu,  negara-negara telah setuju

untuk menyusun aturan – aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman pengalaman pahit

atas peperangan modern.[3]

Dalam suatu konflik bersenjata tentu akan menimbulkan dampak kerugian moral

dimana rasa perikemanusiaan tidak diperdulikan lagi. Atas hal tersebut maka timbul

kesadaran dan kepedulian atas perang maka mereka pun mulai memuat dan menetapkan

ketentuan – ketentuan yang mengatur tentang tata cara dalam hal berperang dan

perlindungannya terhadap para korban yang ikut atau tidak ikut berperang. Seperti yang kita

ketahui sekarang tentang Hukum Den Haag dan hukum Jenewa.

Perlu diketahui pula bahwa Hukum Humaniter Internasional sendiri mengenal tiga

asas utama di dalamnya, yang merupakan sebuah landasan terciptanya peraturan hukum,

yaitu:

1. Asas kepentingan militer (military necessity), Asas ini dalam pelaksanaannya sering pula

dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip – prinsip sebagai berikut:[4]

Page 6: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

I. Prinsip pembatasan (Limitation Principle), adalah suatu prinsip yang menghendaki

adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang

dilakukan oleh pihak yang bersengketa.

II. Prinsip proporsionalitas (ProportionalityPrinciple), yang menyatakan bahwa

kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek sipil harus proporsional

sifatnya.

2. Asas Perikemanusiaan (humanity), adalah keharusan pihak bersengketa untuk

memperhatikan rasa perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan

kekerasan yang dapat menimbulkan luka berlebih atau penderitaan yang tidak perlu.

3. Asas kesatriaan (chivalry), Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran

harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidatk terhormat, berbagai macam tipu

muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Selain itu juga terdapat satu asas, yang yang membedakan atau membagi

penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik

bersenjata kedalam dua golongan yaitu, kombatan yang merupakan golongan penduduk

yang secara aktif turut serta dalam peperangan dan penduduk sipil adalah golongan

penduduk yang tidak turut serta dalam peperangan, yang disebut dengan “asas

pembedaan” atau “prinsip pembedaan “.[5]

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa definisi  hukum

humaniter adalah: “ Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan – ketentuan

perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu

sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang Itu sendiri”.[6]

Page 7: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Dan dengan demikin, bahwa Hukum Humaniter internasional ini

adalah   seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi

akibat – akibat dari pertikaian senjata.[7] Yang mempunyai tujuan antara lain:

1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan

yang tidak perlu (unnecessary suffering).

2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan

musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak

diperlakukan sebagi tawanan perang.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang

terpenting adalah asas perikemanusiaan[8]

Berdasarkan dari asumsi diatas penulis tertarik tentang asas asas hukum pembentuk

peraturan hukum humaniter itu sendiri. Dan disini penulis ingin ingin secara khusus mencoba

mengupas bagaimana konsep Hukum Humaniter Internasional dalam prinsip pembatasan

yang selama ini dihubungkan dengan aturan konflik bersenjata. Oleh karenanya maka penulis

mengambil judul IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBEDAAN HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK BERSENJATA  dan diharapkan dari

makalah ini dapat diketahui dan dipahami dengan jelas mengenai suatu yuridiksi humaniter

yang sebenarnya.

B. Permasalahan

Sejalan dengan hal-hal seperti yang diuraikan, penulis tertarik untuk  maka timbul

permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah  “Bagaimanakah implementasi

peraturan hukum humaniter terhadap asas atau prinsip pembedaan dalam konflik

bersenjata ?”

Page 8: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi  Implementasi, Hukum Humaniter dan Konflik

Mengenai aturan-aturan hukum, sebenarnya merupakan pengertian dari sebuah

sumber hukum, dimana sumber hukum adalah keseluruhan aturan yang mengikat dan

memaksa sehingga aturan tersebut membatasi ruang gerak terhadap mereka yang ada di

dalamnya dan apabila dilanggar tentu akan mendapatkan sanksi yang tegas dan nyata.

Jadi disini sudah menjadi suatu ciri yang hakiki bahwa hukum sudah pasti memiliki

aturan ataupun sumber hukum itu sendiri sesuai dengan ruang lingkup yang dikajinya sebagai

pedoman ayau dasar untuk terlaksananya suatu hukum uang dikehendakinya dalam

masyarakat. Dan Seperti yang umumnya kita ketahui saat ini bahwa terdapat dua aturan

hukum yang umumnya digunakan pada hukum humaniter internasional, antara lain adalah;

1. Hukum jenewa atau konvensi Jenewa 1949,  didalamnya terdiri dari konvensi Jenewa

I,II,III, dan IV dan Kemudian Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun

1977 kembali dilengkapi dengan 2 Protokol Tambahan yakni Protokol Tambahan I dan

Protokol Tambahan II. Hukum Jenewa merupakan aturan yang berlaku pada masa konflik

bersenjata, dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta

dalam permusuhan, yaitu kombatan yang terluka atau sakit, tawanan perang, orang sipil,

dan personel dinas medis dan dinas keagamaan.

2.  Hukum Den Haag atau konvensi Den Haag, merupakan ketentuan hukum humaniter

yang mengatur mengenai cara dan alat berperang dan terdiri dari;

1) Konvensi Den haag 1899 yang didalamya terdapat tiga konvensi dan tiga deklarasi,

serta

Page 9: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

2) Konvensi Den Haag 1907 yang terdiri dari 13 konvensi.

Dari kedua konvensi yang merupakan aturan dari hukum humaniter internasional ini,

maka Mochtar Kusumaatmdja membagi hukum perang sebagai berikut:[9]

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara

dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;

2. Jus ad bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war). Bagian ini biasanya

disebut The hague laws ( Hukum Den haag)

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini

lazimnya disebut The Genewa laws ( Hukum Jenewa)

Perlu disimpulkan pula, bahwa keseluruhan dari aturan – aturan yang dimuat dalam

Hukum Humaniter ini adalah aturan yang mengatur tentang bagaimana individu mengambil

suatu sikap dan tindakan saat terjadi suatu konflik bersenjata. Hal inilah yang menjadi ciri

khas yang tersendiri dengan Hukum Internasional lainnya, yang pada umumnya mengatur

tentang suatu negara atau lembaga organisasi suatu negara.

Dan selanjutnya dalam bab ini kita akan membahas tentang suatu kebijakan

implementasi hukum humaniter internasional terhadap konflik bersenjata. Dan kata kebijakan

implementasi sendiri mempunyai pengertian yang diketahui bahwa implementasi kebijakan

menyangkut tiga hal, yaitu:[10]

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan

2. Adanya aktivitas/kegiatan pencapaian tujuan dan

3. Adanya hasil kegiatan

Page 10: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Lalu  apa yang dinamakaan konflik bersenjata, menurut Pietro Veeri, istilah konflik

bersenjata merupakan ungkapan umum yang mencangkup segala bentuk konfrontasi antara

beberapa pihak yaitu :  

1. Dua negara atau lebih,

2. Suatu negara dengan suatu entitas bukan-negara,

3. Suatu negara dengan suatu faksi pemberontak, atau

4. Dua kelompok etnis yang berada dalam suatu Negara[11]

Dalam hukum humaniter Internasional perlu kita ketahui juga bahwa konflik

bersenjata itu terbagi menjadi dua yaitu :

1. Konflik bersenjata yang bersifat Internasional,

Adalah konflik bersenjata yang terdapat di dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol

Tambahan I tahun 1977. Seperti yang telah ditetapkan dalam pasal  2 common article[12] konvensi-

konvensi Jenewa tahun 1949 , yaitu bahwa konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang

dinyatakan atau konflik bersenjata lainnya yang timbul di antara dua pihak peserta atu lebih

sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi berlaku pada

peristiwa pendudukan sekalipun tidak mengalami perlawanan. Konvensi juga akan tetap

berlaku sekalipun salah satu negara yang terlibat dalam konflik bukan negara peserta

konvensi. Lalu pada pasal (1) ayat (4) jo. Pasal (96) ayat (3) Protokol Tambahan I tahun

1977.

2. Konflik bersenjata yang Besrifat Non-Internasional

Adalah suatu konflik yang dikenal  juga swbagai perang pemberontakan yang terjadi

didalam suatu negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Ketentuan mengenai sengketa

Page 11: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal yakni pasal 3 common

article konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II tahun 1977.[13]

Dan berdasarkan dari definisi – definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

implementasi hukum merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana

kebijakan  melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan suatu  hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

Begitupun yang terjadi pada saat perang atau konflik bersenjata menurut Hukum

Humaniter Internasional, apa saja kebijakan implementarisnya yang didasarkan pada aturan –

aturan hukum yang ditentukan oleh internasional. 

B. Prinsip Pembedaan Dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum

Humaniter Internasional

Perlu dketahui dalam suatu konflik bersenjata baik itu bersifat internasional maupun

non internasional, terdapat sasaran militer dan objek sipil sebagai targetnya,terutama ketika

terjadi perang atau operasi militer dan objek sipil sebagai targetnya, terutama ketika terjadi

perang atau operasi militer di lapangan. Hal ini pun terkait dengan prinsip pembedaan atau

distinction principle, yang mulanya hanya ada kombatan dan non-combatan. Namun sesuai

perkembangan maka prinsip pembedaan diperluas mencakup pembedaan antara penduduk

sipil dengan kombatan, serta obyek-obyek sipil dengan sasaran militer. Kombatan adalah

golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.[14] Lalu

yang dinamakan objek sipil adalah, semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena

itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu

objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan atau

diserang dan akan memberikan keuntungan yang signifikan terhadap aksi militer.

Page 12: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

a. Tujuan prinsip Pembedaan

Tujuan  dengan diadakannya prinsip pembedaan ini adalah, untuk mengetahui siapa

dan apa saja yang boleh turut serta dan dilindungi dalam suatu peperangan juga untuk

tujuan kemanusiaan. sebagaimana yang menjadi Contohnya  Penduduk sipil, karena

mereka tidak turut serta atau bertempur dalam peperangan tersebut , maka harus

dilindungi dari tindakan peperangan itu begitupun sebaliknya dengan kombatan yang

memang diperuntukan untuk  maju ke medan pertempuran dan termasuk menu sasaran

atau objek serangan, sehingga apabila kombatan membunuh kombatan dari pihak musuh

dalam situasi peperangan, maka hal tersebut bukanlah merupakan tindakan yang

melanggar hukum.

Hal ini sangat penting ditekankan karena yang namanya perang, sejatinya hanyalah

berlaku bagi  anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bersengketa.  Sedangkan

penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dari tindakan-

tindakan peperangan itu. Dan keadaan ini pun sudah diakui sejak zaman kuno. Hal ini dapat

dilihat dari setiap kodifikasi hukum modern yang kembali menegaskan perlunya

perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau kekejian perang.[15]

Jadi tujuan prinsip ini selain untuk membagi atau membedakan kombatan dan

penduduk sipil, namun juga bertujuan penting untuk menjaminnya perlindungan terhadap

penduduk sipil yang menjadi korban peperangan.

b. Asas Umum  Prinsip Pembedaan

Menurut jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas

pembatasan yang menyatakan bahwa penduduk sipil harus mendapatkan perlindungan umum

Page 13: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

dari bahaya yang ditimbulkan akibat operasi militer.[16]Penjabaran ini harus diterapkan

dalam prinsip pembedaan dalam arti

1) Pihak – pihak bersengketa tersebut setiap saat harus dapat membedakan antara  kombatan

dan penduduk sipil, juga mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk

penyelamatan penduduk sipil guna menekan kerugian yang tak disengaja seminimal

mungkin

2) Penduduk sipil tidak berhak;

i. menyerang dan bertempur melawan musuh, dan

ii. dijadikan sasaran militer. 

c. Penerapan Prinsip pembedaan dalam Aturan Hukum Humaniter

Upaya penerapan  yang dilaksanakan atau dilakukan mengenai prinsip pembedaan

oleh para pihak yang turut bersengketa dalam suatu sengketa bersenjata atau pertempuran

memang untuk sejauh ini terlihat dari peraturan hukum humaniter  yang merupakan dasar

hukum dari prinsip ini, yang dibuat baik di dalam konvensi Den haag 1907, Konvensi Jenewa

1949, maupun Protokol Tambahan 1977.

I. Konvensi Den haag  1907

Secara implisit terdapat di dalam Konvesi Den Haag IV mengenai hukum dan

Kebiasaan Perang di Darat, khususnya dalamHague Regulations sering disebut The

Soldier’s Vadamecum, sebab ketentuan pada HR bagi kalangan angkatan bersenjata

dianggap sangatlah penting. Dimana bagian pertama dalam HR ini membahas tentang

persyaratan bagi belligerent.  Terdiri dari 3 pasal pokok antara lain pada Bab I pasal 1, 2

dan 3 Regulasi Den Haag (Hague Regulation) pihak-pihak yang bersengketa dan

kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa, dipaparkan sebagai berikut:\

Page 14: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Pada Pasal 1, kita dapat melihat bahwa tak ada perbedaan hukum, hak, dan kewajibannya

bagi milisi dan korp sukarelawan ini sama dengan tentara. Dan berhak untuk maju ke

medan pertempuran.

Kemudian berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag di atas, maka ternyata ada pula

segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents,

sepanjang memenuhi persyaratan yaitu :[17]

1. Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki;

2. Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan terhadap musuh

yang akan memasuki tempat tinggal mereka; dan oleh karena itu

3. Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri sebagaimana

ditentukan oleh Pasal 1;

4. Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta

5. Mereka membawa senjata secara terang-terangan.

Golongan penduduk sipil dalam koridor Pasal 2 Regulasi Den Haag itulah yang dikenal dengan istilah

“Levee En Masse“.  Levee En Masse adalah istilah Perancis untuk wajib militerselama Perang Revolusi

Perancis, terutama untuk satu dari 16 Agustus 1793 yang secara harfiah artinya "berkumpul retribusi" atau

"pemberontakan secara massal".[18]

Lalu pada Pasal 3, status kombatan dan non-kombatan pada dasarnya sama yaitu

anggota pangkatan bersenjata, namun non- combatan digolongkan seperti anggota dinas

kesehatan dan dapur umum, rohaniwan, dan sebagainya. Non-combatan dilindungi

berdasarkan Konvensi Jenewa III tahun 1949 mengenai perlakuan terhadap tawanan perang.

Namun, jika situasi menghendaki, mereka bisa saja ditugaskan di medan pertempuran, dan

jika demikian maka mereka adalah kombatan.[19]

Page 15: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

Dengan demikian, menurut Konvensi Den Haag 1907, khususnya mengenai Haag Regulation (HR)

yang dapat dikategorikan sebagai kombatan adalah.:

Armies (tentara);

Militia dan volunteer Corps (milisi dan korps sukarela) dengan melihat Pasal 1;

Levee en masse (penduduk sipil dalam kategori pasal 2 HR)

II. Konvensi jenewa 1949

Dalam Konvensi  yang terdiri dari konvensi I, II, III dan IV tidak menyebut

masalah kombatan maupun non kombatan, melainkan masalah penentuan bagi korban

yang luka dan sakit yang termuat bab 2 Pasal 13 konvensi I dan II. Serta   yang berhak

mendapatkan perlakuan tawanan perang jika jatuh ke tangan musuh pada Pasal 4 pada

konvensi III. Namun meskipun demikian ketentuan yang termuat dalam ketiga pasal

tersebut, pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan dan yang dapat

dimasukkan dalam kategori kombatan adalah:

Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya;

Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari jarak jauh;

Mereka yang membawa senjata secara terbuka;[20]

III. Protokol Tambahan 1977. 

Pada protokol tambahan ini, prinsip pembedaan terkait dengan status

kombatan terdapat pada Pasal 43, 44, dan  48. Dan dalam Pasal 43 dengan tegas

menentukan mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah  mereka yang termasuk

angkatan suatu negara terdiri dari :

a. Angkatan bersenjata yang terorganisir,dalam bentuk group atau unit kesatuan dan di

bahwa komando yang bertangung jawab.

Page 16: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

b. Ikut serta secara langsung dalam permusuhan.

c. Pemberitahuan kepada pihak-pihak lain yang bertikai jika salah satu pihak yang

bertikai memasukkan sebuah kesatuan (agency) dalam angkatan bersenjata mereka.

Lalu  dalam Pasal 44 mengatur, tentang kombatan dan tawanan perang, disini

apabila kombatan jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan maka harus diperlakukan atau

menjadi tawanan perang.

Kemudian pada Pasal 48 yaitu, tentang penjaminan penghormatan dan

perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil. Dimana para pihak dalam

sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek

sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap

sasaran-sasaran militer.

Dan dengan adanya dasar hukum mengenai prinsip pembedaan tersebut

diberlakukan, maka hal ini termasuk dalamkiat yang dilakukan dari hukum humaniter

untuk mewujudkan suatu peraturan peperangan yang mengenal batas tertentu sehingga

dapat menjamin nilai hak – hak  kemanusiaan. Dan  besar pula harapan masyarakat

internasional untuk dipatuhi oleh para pihak bersengketa sebagai landasan dasar suatu

pertempuran guna memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum

humaniter, khususnya kejahatan perang yang dilakukan oleh kombatan dengan sengaja

Page 17: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan

kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat – akibat dari pertikaian senjata dan mempunyai

tujuan memberikan perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil, serta Menjamin hak

asasi manusia untuk mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas dan

terdiri atas tiga asas utama didalamnya yaitu Asas kepentingan militer, Asas

Perikemanusiaan dan Asas Kesatriaan.

Prinsip pembedaan adalah asas yang  membedakan kombatan dan penduduk sipil serta

obyek-obyek sipil dengan sasaran militer dan bertujuan untuk mengetahui siapa dan apa saja

yang boleh turut serta dan dilindungi dalam suatu peperangan juga untuk tujuan

kemanusiaan. Prinsip ini diterapkan dalam Pasal 1, 2, 3 Regulasi Den Haag 1907, Konvensi

Jenewa 1949 meliputi Pasal 13 konvensi I dan II serta Pasal 4 Konvensi III, lalu pada pasal

43, 44 dan 48 Protokol Tambahan 1977.

B.. SARAN

Dikarenakan pelanggaran terhadap prinsip pembedaan adalah merupakan salah satu

bentuk kejahatan perang maka dalam upaya penegakan prinsip pembedaan, hendaknya

prinsip pembedaan ini merupakan, sebuah  acuan dasar untuk kedepannya bagi para pihak

bersengketa guna mewujudkan suatu peperangan yang mengenal batas, karena mengingat

masih banyak pelanggaran yang terjadi di dunia internasional.

Page 18: Makalah Hukum Humaniter Internasional Terhadap Konflik Bersenjata

DAFTAR PUSTAKA

1. http://rimaru.web.id/pengertian-implementasi-menurut-beberapa-ahli/ (diakses 12 Mei

2012 , 19:00 WIB)

2. Verri ,Pietro, 1992, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC,

Geneve, hal. 34-35. dalam Arlina web’s Blog, Apa arti “Konflik Bersenjata”, (diakses 12

Mei 2012 , 21:00 WIB)

3. Konvensi Jenewa 1949

4. Courtesy of ICRC, Regional Delegation Jakarta. Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe

konflik yang diatur dalm Hukum

Humaniter,http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/

(diakses 12 Mei 2012, pukul 22:15 WIB)

5. Konvensi Den Haag 1907

6. Leese En Masse,http://en.wikipedia.org/wiki/Lev%C3%A9e_en_masse (diakses 13 Mei

2012 pukul 12:10 WIB)

7. Protokol Tambahan 1949

8. Kusumaatmadja, Mochtar, 1980, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan

Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung

9. Baharuddin , Ahmad, 2010, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung,

Bandar Lampung

10. Haryomataram, 1984, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta

11. Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta,

Bandung