UAS Hukum Humaniter Internasional

25
PAPER UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PADA TINGKAT NASIONAL Oleh : YANUAR NURUL FAHMI (115010107121023)

description

Makalah mengenai mekanisme penegakan hukum humaniter internasional secara nasional, baik di Indonesia maupun Afrika Selatan

Transcript of UAS Hukum Humaniter Internasional

Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional pada Tingkat Nasional

PAPER UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PADA TINGKAT NASIONALOleh :

YANUAR NURUL FAHMI

(115010107121023)

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS BRAWIJAYA2015Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional pada Tingkat Nasional

Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional

Dalam pembahasan mengenai cara penyelesaian konflik, dibedakan antara hasil atau penyelesaian masalah dengan prosedur perundingan diplomatik resmi. Mungkin konflik diselesaikan melalui penaklukan, dan diplomasi benar-benar dianggap tidak ada, kecuali dalam merancang bentuk penyerahan atas masalah tersebut diselesaikan melalui berbagai bentuk kompromi resmi yang diperoleh setelah melakukan berbagai perundingan. Dengan kata lain, hasil atau penyelesaian berarti setiap bentuk akhir akibat dari konflik, sedangkan "prosedur" ialah berbagai bentuk kompromi. Kompromi merurapakan salah satu kemungkinan "hasil" atau "penyelesaian konflik". Lima bentuk kemungkinan lainnya ialah penolakan atau menghindarkan penarikan kembali tuntutan atau tindakan; penaklukan dengan kekerasan; penangkalan yang efektif atau "tunduk"; penyelesaian melalui pihak ketiga; dan penyelesaian sengketa secara damai melalui prosedur perundingan diplomatik resmi.

Selain itu, ketentuan hukum positif bahwa penggunaan kekerasan dalam hubungan antarnegara sudah dilarang sehingga sengketa-sengketa internasional harus diselesaikan secara damai. Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai ini pada mulanya tercantum dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa secara Damai yang ditandatangani di Den Haag, 18 Oktober 1909. Kemudian, dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 5 Piagam PBB yang berbunyi: "seluruh anggota akan memberikan segala bantuan kepada PBB dalam sesuatu tindakannya yang diambil sesuai dengan Piagam ini, dan tidak akan memberikan bantuan kepada sesuatu negara yang oleh PBB dilakukan tindakan-tindakan pencegahan atau kekerasan".

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang melarang negara anggota menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Aturan ini juga secara tegas memberikan indikasi bahwa para pihak yang sedang bersengkata juga menaati aturan sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang mengatur perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang, terutama memperlakukan tahanan perang.

Kejahatan Perang/Pelanggaran berat hukum humaniter adalah pelanggaran-pelanggaran tertentu yang dilakukan pada waktu perang, yaitu tindakan yang bertentangan dengan Hukum Humaniter dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi (protectedpersons), misalnya kombatan yang lukadan sakit, tawanan perang dan penduduk sipilyang berada di bawah kekuasaan negara lain.

Ketentuan yang mengatur : Pasal50 Konvensi Jenewa I tahun 1949; Pasal 51 Konvensi Jenewa II tahun 1949; Pasal 130 Konvensi Jenewa III tahun 1949; Pasal 147 Konvensi Jenewa IV tahun 1949; dan Pasal 85 Protokol I tahun 1977.

Yang termasuk kejahatan perang antara lain: pembunuhan semena-mena, penganiayaan atau perlakuan yang tidak manusiawi (termasuk eksperimen medis), dengan sengaja menimbulkan penderitaan yang luar biasa terhadap badan dan kesehatan, perusakan yang luar biasa dan pengambilalihan secara tidak sah atas hak milik yang tidak dibenarkan menurut kepentingan militer, memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bekerja bagi pihak militer yang bersengketa, mengabaikan dengan semena-mena hak atas peradilan yang adil bagi tawanan perang dan penduduk sipil yang dilindungi, deportasi atau pemindahan penduduk sipil secara tidak sah, melakukan penyanderaan, menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran serangan, penyalahgunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah, penyerangan atas benda-benda budaya.Untuk memberikan perlindungan kepada para pihak yang menjadi korban sengketa bersenjata, dikenal adanya Laws of War, kemudian berubah namanya menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict) yang akhirnya pada saat ini dikenal dengan International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, yaitu sejumlah prinsip-prinsip dasar dan aturan mengenai batasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata.

Itulah sebabnya para pihak yang melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan dapat dikategorikan sebagai penjahat-penjahat perang (War Criminals). Dikatakan demikian, karena dianggap melanggar hukum pidana biasa maupun hukum yang berlaku secara universal sehingga harus diperiksa dan diputuskan oleh mahkamah militer, pengadilan nasional bahkan pengadilan pidana internasional.

Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional Melalui Mekanisme NasionalNegara wajib untuk menetapkan UU yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu pelanggaran berat Hukum Humaniter. Negara wajib untuk mencari orang dan mengadili orang-orang yang melakukan pelanggaran berat tersebut, atau menyerahkannya kepada Negara lain yang berkepentingan untuk mengadilinya.

Ketentuan yang mengatur : Pasal49 Konvensi Jenewa I tahun 1949; Pasal 50 Konvensi Jenewa II tahun 1949; Pasal 130 Konvensi Jenewa III tahun 1949; Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949.Kasus Indonesia

Sebagai anggota masyarakat internasional yang aktif dalam memelihara perdamaian dan keamanan dunia, Indonesia telah menjadi pihak dalam Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang tanpa reservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 pada tanggal 4 Juli 1958 sejak meratifikasi konvensi tersebut. Kemudian perbuatan-perbuatan kejahatan perang tersebut beserta ancaman hukumannya telah dirumuskan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2004.

Ratifikasi terhadap konvensi-konvensi dan protokol tersebut menimbulkan konsekuensi berupa timbulnya suatu kewajiban bagi negara pihak untuk melakukan berbagai tindakan yang bersifat implementatif, yaitu implementasi legislasi dan kewajiban untuk melakukan penyebarluasan Hukum Humaniter Internasional.

Dalam praktik, penerapan beberapa perjanjian hanya dimungkinkan apabila perjanjian tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Persoalannya adalah Indonesia belum menandatangani Statuta Mahkamah yang diterima pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma dan sekarang pun belum meratifikasinya, mengesahkan (aksesi) Statuta Mahkamah. Sebagaimana diketahui Statuta Mahkamah sudah mulai berlaku semenjak 1 Juli 2002 dan sampai September 2004 sudah diratifikasi oleh 97 negara. Dari kalangan negara anggota ASEAN hanya Kamboja yang telah meratifikasi Statuta tersebut.

Lahirnya ICC disambut baik oleh Indonesia, tetapi untuk meratifikasinya, masih dibutuhkan waktu untuk membahas ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya apakah sudah sesuai atau tidak dengan kepentingan nasional Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia sudah mempunyai perangkat perundang-undangan bagi perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam:

TAP MPR XVII Tahun 1998 tentang HAM;Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM

Pasal 28 Perubahan II UUD 1945Dalam hukum positif Indonesia saat ini tidak ada kualifikasi tindak pidana yang disebut sebagai kejahatan perang. Beberapa pasal KUHP merumuskan tentang kejahatan yang berkaitan dengan perang atau yang dilakukan dalam masa perang, dan dikualifikasikan sebagai Kejahatan terhadap Keamanan negara antara lain (Bab I Buku II KUHP) : Ps. 111 ; ayat 1; Ps. 122 ke-1; Ps. 122 ke-2; Ps. 123; Ps. 124 ayat 1; Ps. 124 ayat 2 ke-1; Ps. 124 ayat 2 ke-2; Ps. 124 ayat 3 ke-2; Ps. 124; Ps. 126; dan Ps. 127.

Apabila dilihat dari bentuk tekstualnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 dapat dikatakan sebagai bentuk ratifikasi Statuta Roma, meskipun hanya mengadopsi dua dari empat kejahatan internasional yang diatur dalam Statuta Roma. Kedua kejahatan itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan pemusnahan suatu kelompok, golongan, suku, ras dan agama (genosida). Masalahnya terdapat kekosongan hukum, yakni dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tidak memasukkan tentang kejahatan perang

Dari segi struktur hukum, Indonesia sudah memiliki pengadilan HAM permanen yang memiliki hakim ad hoc dan penuntut umum ad hoc. Penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat juga diberikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomNas HAM). Hal yang terpenting adalah bagaimana ketentuan-ketentuan mengenai HAM dapat dilaksanakan dengan adil, transparan, berkesinambungan dan dipercaya.

Guna mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan, pemerintah Indonesia melalui Peradilan HAM ad hoc Jakarta kasus Timor Leste telah mengadili para militer yang terlibat dalam kasus Timor Leste pasca jajak pendapat.

Kasus Afrika Selatan

Afrika Selatan telah lama hidup dalam kebijakan perbedaan warna kulit (apartheid). Konflik demi konflik melingkupi sejarah apartheid hibgga banyak orang yang nasibnya tidak pernah diketahui lagi.

Pemilu multirasial Afrika Selatan pertama pada tahun 1994 dimenangkan oleh African National Congress yang dipimpin oleh Nelson Mandela, yang akhirnya menjadi presiden kulit hitam pertama.

Tampilnya tokoh kulit hitam, Nelson Mandela yang memenangkan Pemilihan Umum multirasial pertama pada tahun 1994 pada mulanya memicu kekhawatiran akan aksi balas dendam terhadap rezim kulit putih. Kenyataanya ketakutan-ketakutan itu tidak terjadi disebabkan oleh tiga hal: (1) Nelson Mandela yang karismatik; (2) dalam tiap pidatonya Nelson Mandela tidak pernah menebar semangat balas dendam, tetapi terus-menerus mengajak rakyat untuk melupakan masa lalu yang pahit; dan (3) Nelson Mandela mengusulkan untuk didirikannya The Truth and Reconciliation Commission (TRC).

The Truth and Reconciliation Commission (TRC) adalah komisi yang bertugas untuk mencari kebenaran dan melakukan penyelidikan terhadap kejahatan HAM yang terjadi selama rezim apatheid dalam kurun waktu 1960 - 1994. Tiga Sasaran Utama TRC adalah :

Komisi diharapkan mampu memberikan gambaran lengkap dan jelas atas rangkaian kekejaman HAM sepanjang masa lalu.

Komisi diharapkan mampu merehabilitasi dan memulihkan harga diri para korban HAM.

Rekomendasi komisi ini juga diperlukan agar para pelaku pelanggaran HAM bisa mendapatkan amnesti untuk kejahatan HAM dengan alasan-alasan politik.

TRC terdiri dari tiga komisi dengan tugasnya masing-masing antara lain:

Committee on Human Rights Violationsbertugas melakukan investigasi atas pelanggaran HAM, menemukan siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus itu, mengungkapkan bagaimana terjadinya kasus itu dan kepentingan apa yang melatarbelakanginya.

Committee on Amnestybertugas memberikan rekomendasi amnesti atas pelaku pelanggaran HAM kepada parlemen dan presiden.

Committee on Reparation and Rehabilitationbertugas merancang program-program rehabilitasi medis, sosiologis, dan psikologis untuk korban pelanggaran HAM; membuat usulan mengenai kompensasi yang harus diberikan kepada para korban.

Dengan demikian, penegakan HHI melalui mekanisme nasional dilakukan dengan dua cara, yaitu:

negara wajib membuat peraturan perundang-undangan yang menetapkan sanksi bagi pelaku kejahatan perang; dan

mengadili pelaku kejahatan perang.