Makalah GI Fixhj
-
Upload
grace-simarmata -
Category
Documents
-
view
53 -
download
0
description
Transcript of Makalah GI Fixhj
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses penuaan secara normal membawa perubahan mental maupun fisik.
Penurunan intelektual mulai terlihat pada dewasa muda dan semakin jelas pada
usia tua. Schaie dan Willis (1992) mengatakan bahwa tahap usia tua akan dialami
oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis, dan sosial yang terjadi. Di sisi lain
kondisi fisik dan psikis setiap lansia akan berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan
pengalaman masa lalu dan lingkungan sosial budaya mereka. Akibatnya, di
berbagai negara akan mempunyai karakteristik usia lanjut yang berbeda, salah
satunya adalah harapan hidupnya.
Saat ini penduduk yang berusia lanjut di Indonesia terus meningkat
jumlahnya bahkan pada tahun 2005-2010 menyamai jumlah balita yaitu sekitar
8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Di negara-negara
yang sedang berkembang, usia harapan hidup berkisar 10 tahun atau lebih ada di
bawah rata-rata usia harapan hidup penduduk dunia. Usia harapan hidup yang
lebih lama akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada struktur dan sistem
masyarakat dunia. Banyak permasalahan yang dapat dialami oleh para lansia salah
satunya adalah masalah pencernaan.
Pada lansia akan terjadi perubahan di saluran pencernaan dan tidak jarang
timbul keluhan, misalnya hilangnya rasa di dalam mulut, gangguan motilitas
esofagus, perubahan membran mukosa di lambung sehingga timbul aklorhidri,
gangguan absorpsi di intestin, sering timbul konstipasi, timbul divertikel di
beberapa tempat diantaranya di esofagus, duodenum, jejunum dan di kolon.
Dalam menetukan kelainan pada saluran pencernaan pada penderita berusia
lanjut, seringkali ditemui kesulitan, diantaranya kesulitan dalam komunikasi yang
mungkin disebabkan oleh menurunnya daya ingat penderita lansia, menurunnya
perhatian penderita terhadap sekitarnya dan sebagainya. Kesulitan lain dapat
disebabkan karena keluhan yang menyertainya. Oleh karena itu, diperlukan
kesabaran dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan, sehingga penting bagi
1
perawat untuk memahami tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem
gastrointestinal lansia agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian sistem gastrointestinal?
2. Bagaimana proses penuaan normal pada saluran gastrointestinal?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan
gastrointestinal?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Menjelaskan pengertian sistem gastrointestinal.
2. Menjelaskan proses penuaan normal pada saluran gastrointestinal.
3. Menjelaskan asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan
gastrointestinal.
2
BAB II
ISI
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastrointestinal Manusia
1. Pengertian Sistem Gastrointestinal
Sistem gastrointestinal atau sistem pencernaan adalah sistem organ dalam
manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat
gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang
bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari
tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,
lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga
meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati
dan kandung empedu.
2. Organ-Organ dalam Sistem Gastrointestinal
a. Mulut
Mulut merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air.
Mulut adalah jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut
dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat
di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin
dan pahit. Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah
oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih
mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari
makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah
protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara
sadar dan berlanjut secara otomatis.
b. Faring
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal
dari bahasa yunani yaitu pharynk. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil
(amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan
merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan
nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, di
3
depan ruas tulang belakang. Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga
hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan
dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium.
Tekak terdiri dari; Bagian superior = bagian yang sangat tinggi dengan hidung,
bagian media = bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior =
bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior disebut nasofaring, pada
nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang
telinga,Bagian media disebut orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar
lidah bagian inferior disebut laring gofaring yang menghubungkan orofaring
dengan laring.
c. Esofagus
Esofagus adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu
dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi
menjadi tiga bagian:
1) Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka).
2) Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus).
3) Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
d. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu:
1) Kardia
2) Fundus
3) Antrum
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan
normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam
kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi
secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang
melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu:
4
a) Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
b) Asam Klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
c) Prekursor Pepsin
Merupakan enzim yang yang memecahkan protein.
e. Usus Halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Adapun lapisan usus yaitu
lapisan mukosa, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan lapisan
serosa. Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus
kosong (jejunum) dan usus penyerapan (ileum).
1) Duodenum
Duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan
menghubungkannya ke jejunum. Duodenum merupakan bagian terpendek dari
usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Duodenum merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya
oleh selaput peritoneum. pH duodenum yang normal berkisar pada derajat
sembilan. Pada duodenum terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan
kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum
digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam
usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang
5
bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal
kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
2) Jejunum
Usus kosong atau Jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian
kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus
penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8
meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong
berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas
jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit
untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam bahasa
Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti
“kosong”.
3) Illeum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH
antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan
garam-garam empedu.
f. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri
dari:
1) Kolon asendens (kanan)
2) Kolon transversum
3) Kolon desendens (kiri)
4) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus
6
besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah
diare.
g. Usus Buntu (Sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi
adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,
sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau
seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
h. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Dalam
anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix
(atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan
caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang
dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai
20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa
berbeda – bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di
peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ
vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi
dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai
appendektomi.
i. Rektum dan Anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan
yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus.
Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya
rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum,
maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding
rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf
yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
7
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan
air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,
konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih
tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus
merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari
tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya
dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses
dibuang dari tubuh melalui proses defekasi, yang merupakan fungsi utama anus.
j. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama
yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti
insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat
dengan duodenum (usus dua belas jari). Pankreas terdiri dari dua jaringan dasar,
yaitu:
1) Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan.
2) Pulau Pankreas, menghasilkan hormon.
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan
hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna
protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam
bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif.
Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga
melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi
duodenum dengan cara menetralkan asam lambung.
k. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki
berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Organ ini
memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi
dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Zat-
zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh
darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena
8
yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam
hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di
dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut
dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah
dialirkan ke dalam sirkulasi umum.
l. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar
50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia,
panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap, bukan
karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang
dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari
melalui saluran empedu. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
1) Membantu pencernaan dan penyerapan lemak.
2) Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
Haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol.
B. Proses Penuaan Normal Pada Saluran Gastrointestinal
Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam sistem
gastrointestinal (GI). Namun karena luasnya persoalan fisiologis pada sistem
gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang berkaitan dengan usia yang
dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-masalah GI yang dihadapi oleh
lansia yang erat kaitannya dengan fungsi normal saluran gastrointestinal dan
perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia.
b. Rongga Mulut
Penampilan fisik kemampuan, berkomunikasi dan asupan nutrisi di
tingkatkan oleh kebersihan mukosa mulut dan keutuhan gigi. Walaupun
tanggalnya gigi bukan suatu konsekuensi dasar dari proses penuaan, banyak lansia
yang mengalami penanggalan gigi sebagai akibat dari hilangnya tulang
penyokong pada periosteal dan periodontal. Hilangnya sokongan tulang ini juga
berperan terhadap kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan penyediaan
sokongna gigi yang adekuat dan stabil pada usia lebih lanjut. Gigi yang tersisa
9
pada usia setelah 70 tahun sering menimbulkan perasaan ngilu pada permukaan
pengunyahan. Penyusutan dan fibrosis pada akar halus bersama-sama dengan
retraksi gusi yang berkontribusi terhadap penanggalan gigi pada penyakit
periodontal. Mukosa mulut tampak merah dan berkilat pada lansia karena adanya
atrofi. Bibir dan gusi tampak tipis karena epitelium telah menyusut dan menjadi
lebih mengandung keratin. Vaskularitas mukosa mulut menurun dan gusi yang
tampak pucat adalah akibat dari menurunnya suplai darah.
Aliran air liur tetap normal pada lansia sehat dan tidak mendapatkan
pengobatan yang akan dapat menyebabkan mulut menjadi kering. Meskipun ada
beberapa kontroversi berkenaan dengan hilangnya kuncup perasa akibat proses
penuaan, banyak lansia mengeluh adanya gangguan sensasi rasa dan penurunan
kemampuan mengenali rasa yang tidak tajam.
c. Esofagus, Lambung dan Usus
Motilitas esofagus tetap normal meskipun esofagus mengalami sedikit
dilatasi seiring penuaan. Sfingter esofagus bagian bawah (kardiak) kehilangan
tonus. Reflex muntah pada lansia akan melemah. Kombinasi dan faktor-faktor ini
meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia. Kesulitan dalam mencerna
makanan adalah akibat dari penurunan sekresi asam hidroklorik, dengan
pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B12. Motilitas gaster biasanya
menurun dan melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar
dari lambung dan terus melalui usus halus dan usus besar.
d. Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas
Kapasitas fungsional hati dan pankreas tetap dalam rentang normal karena
adanya cadangan fisiologis dari hati dan pankreas. Setelah usia 70 tahun, ukuran
hati dan pankreas akan mengecil, terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan
kemampuan mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin
normal dengan kadar gula darah yang tinggi (250-300 mg/dL), tetapi respon
insulin akan berkurang seiring dengan peningkatan gula darah secara moderat
(120-200 mg/ dL). Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa
perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini mempengaruhi
peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi
dalam sistem empedu yang terjadi pada pasien yang gemuk (obesitas).
10
C. Kebutuhan Nutrisi pada Lansia dalam Rangka Promosi Kesehatan
Secara fisiologis, kebutuhan energi lebih dikaitkan dengan tingkat aktivitas
fisik daripada usia kronologis. Kebutuhan asupan kalori sehari-hari yang
disarankan (Recommended Daily Allowence) pada lansia yang berusia 65 sampai
75 tahun adalah 2300 kkal. RDA untuk lansia di atas 75 tahun diturunkan
menjadi 2050 kkal, konsumsi kalori dari karbohidrat kompleks yang diharuskan
sebanyak 55 samapai 65 % dan kurang dari 30% lemak, serta porsi sisanya adalah
protein. Faktor-faktor fisiologis lainnya yang dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi
yang unik pada lansia adalah menurunnnya sensitivitas olfaktorius, perubahan
persepsi rasa dan peningkatan kolesistikinin yang dapat mempengaruhi keinginan
untuk makan dan peningkatan rasa kenyang. Proses penuaan itu sendiri
sebenarnya tidak mengganggu proses penyerapan vitamin pada berbagai tingkatan
yang luas. Namun, laporan-laporan terakhir mengindikasikan bahwa lansia
mengalami defisiensi vitamin B12, vitamin D dan asam folat. Perubahan-perubahan
dalam kebutuhan mineral meliputi rendahnya kebutuhan akan zat besi pada wanita
lansia daripada wanita usia produktif. Asupan kalsium sebagai satu mineral
esensial lainnya bagi lansia sekitar 600 mg perhari untuk wanita. Hal ini hanya
menggambarkan 30 sampai 40% dari kebutuhan yang disarankan. Pada proses
penuaan yang normal, peningkatan jaringan adipose secara normal dapat
menyertai penurunan massa tubuh dan cairan tubuh total.
1. Pencegahan primer
Proses penuaan memengaruhi kebutuhan nutrisi dan status pada 30 juta
lansia, 6 juta dari mereka beresiko tinggi terhadap malnutrisi. Studi-studi
mengindikasikan bahwa lansia yang memiliki penghasilan kurang dari 6000 dolar
pertahun atau kurang dari 35 dolar perminggu untuk konsumsi makanan, dan para
lansia yang mengunjungi rekan atau keluarganya kurang dari dua kali perminggu,
dna para lansia yang kelebihan berat badan sebesar 25 kg atau yang kekurangan
berat badan 10 kg adalah mereka yang beresiko tinggi mengalami kekurangan
nutrisi. Faktor-faktor sosioekonomi, juga penderita penyakit kronis dan
polifarmasi, turut berperan terhadap masalah malnutrisi yang aktual atau potensial
bagi lansia.
11
a. Faktor-Faktor Sosioekonomi
Faktor-faktor sosioekonomi yang memengaruhi lansia meliputi isolasi sosial dan
pendapatan yang rendah.. Banyak lansia harus memilih antara makanan, obat-
obatan atau sewa tempat tinggal karena mereka hidup dengan pendapatan yang
rendah atau tidak teratur. Kekurangan asupan protein, vitamin dan mineral dapat
diakibatkan karena ketidakmampuan untuk membelanjakan makanan yang tepat.
Banyak lansia yang tidak bergigi memiliki masalah kelainan gigi atau penyakit
peridontal dan tidak dapat merawat giginya. Daging yang berkualitas tinggi, buah-
buahan mentah mentah dan sayuran sering dihindari karena semua itu terlalu
mahal atau tidak dpat dikunyah atau ditelan. Perawat mungkin dapat bekerja sama
dengan dokter gigi setempat atau sekolah doktervgigi untuk menyediakan
pelayanan penapisan gigi.
b. Penyakit-Penyakit Kronis
Banyak penyakit kronis seperti gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronis
yang membutuhkan terapi diet yang sangat ketat. Diet ini sering menyulitkan
dalam mempertahankannyadan mungkin dapat turut berperan terhadap masalah
defisiensi nutrisi. Perhatian yang sungguh-sungguh harus diberikan terhadap
orang-orang yang memebutuhkan terapi diet untuk meyakinkan asupan nutrisi
yang adekuat.
c. Pengobatan
Pengobatan seperti diuretik akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan
elektrolit. Penyalahgunaan pemakaian laksatif dan penurunan fungsi nefron ginjal
normal terkait usia mungkin dapat terjadi bagian dari masalah ini. Lansia dapat
lebih memahami penjelasan tentang interaksi obat nutrient yang merugikan karena
adanya penurunan metabolism dan penggunaan berbagai obat. Efek samping
lainnya adalah peningkatan atau penurunan absorpsi nutrient. Alcohol juga
mengganggu absorpsi vitamin B dan folat. Zat-zat neuroleptic dapat menekan
nafsu makan, sementara obat-obat lainnya dapat meningkatkannya. Antihistamin
juga turut berperan terhadap penurunan nafsu makan. Minyak mineral, yang
kadang-kadang digunakan seperti laksatif dapat menghambat penyerapan vitamin
A, D dan K yang larut dalam lemak.
12
Banyak lansia juga mengalami masalah kelebian berat badan sekarang daripada
sebelumnya. Kondisi ini menempatkan lansia pada peningkatan resiko untuk
mengalami penyakit kronis seperti hipertensi, stroke, arteri korener dan diabetes.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dimulai dari pengkajian seksama terhadap klien dan
upaya-upaya untuk mengidentifikasi sumber masalah gizi. Kesalahan pengaturan
metabolism seharusnya diperbaiki dan pemberian obat-obatan untuk kondisi-
kondisi kronis dapat disesuaikan untuk mengurangi efek samping yang
mengganggu nutrisi yang normal.depresi yang tidak terdeteksi dan fase awal
demensia sering terjadi pada kurangnya asupan diet dan malnutrisi. Selain itu
suatu pengkajian nutrisi adalah penting untuk menentukan tujuan yang realistis
dan tepat pada lansia dengan masalah nutrisi. Pelayanan ahli diet akan
menguntungkan bagi klien.
Banyak lansia yang tidak mengetahui bagaimana kebutuhan nutrisi mereka
mengalami perubahan sebagai akibat penuaan. Oleh akrena itu seluruh pemberi
pelayanan kesehatan perlu dipersiapkan untuk memberikan informasi yang akurat
dan terbaru tentang nutrisi normal. Asuhan keperawatan adalah suatu bagian
penting dalam memperbaiki asupan nutrisi apda institusi pelayanan akut maupun
pelayanan jangka panjang. Keterlibatan keluarga sangat penting untuk
menyediakan nutrisi yang baik di semua lingkungan. Kemampuan untuk
memberikan makanan kesukaan lansia dan memberikan atmosfir social yang
mendorong asupan makanan adalah hal terbaik yang dapat dilakukan oleh
keluarga. Keluarga sering memiliki keinginan yang kuat untuk berpartisipasi
dalam cara ini dan berespon dengan baik terhadap saran-saran.
D. Gangguan-Gangguan Pada Sistem Gastrointestinal
b. Penyakit Peridontal
Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Penyakit periodontal (gingitivis dan periodontitis) adalah inflamasi dari
struktur-struktur yang menyokong gigi, dengan hasil akhir berupa kerusakan
tulang. Kerusakan ini menyebabkan kehilangan gigi. Gingitivis dan periodontitis
disebabkan oleh bakteri yang terdapat dalam plak. Gingitivis adalah infeksi gusi
13
superfisial, biasanya disebabkan oleh hiegine gigi yang buruk. Tanda pertama
gingitivis adalah gusi yang kemerahan dan gusi bengkak yang berdarah ketika
menggosok gigi. Jika infeksi terus berkembang, bau mulut tidak sedap (halitosis),
rasa tidak enak dalam mulut atau adanya eksudat purulen di sekitar garis gusi.
Kondisi lain yang dapat memperberat penyakit periodontal meliputi infeksi mulut,
maloklusi, malnutrisi, disbetes mellitus, dan iritasi lokal seperti posisi gigi palsu
yang tidak tepat.
a. Pencegahan primer
Pencegahan efektif termasuk menggosok gigi secara teratur dan
emmbersihkan gigi dengan benang, dan pemeriksaan gigi secar teratur untuk
pembersihan plak dan kalkulus dua atau tiga kali pertahun. Lansia harus
mengunjungi dokter gigi secara teratur bahkan jika mereka memiliki
sebagian gigi palsu. Gigi palsu harus diperiksa secara periodic untuk
menjamin posisi gigi yang tepat dan untuk mencegah iritasi mulut.
b. Pencegahan sekunder
Klien dapat mengeluh gusi sakit dan bengkak yang membuat sulit untuk
mengunyah, atau gigi yang tanggal, apath sebagian kecil gigi atau bahkan
bau yang tidak enak. Gusi berdarah atau eksudat purulent dapat terlihat.
Perawat harus menentukan apakah pasien mengunjungi dokter gigi, jika ya,
kapan tanggal pemeriksaan terakhir klien. Jika infeksi gigi terjadi, inflamasi
dapat terlihat. Gingitivis dapat disembuhkan dengan intervensi gigi secara
dini. Perawatannya melibatkan pembersihan secara seksama dengan cara
membersihkan tartar dan bakteri dari baeah gusi dan dari permukaan akar
gigu. Proses pembersihan ini disebut penghlusan akar gigi. Jika infeksi
periodontal (piorea) yang berat terjadi pengobatan dengan antibiotic
mungkin diperlukan. Pembedahan gigi mungkin diperlukan untuk
memperbaiki tulang dan jaringan. Dengan intervensi dini, periodontis
biasanya dapat dikendalikan. Perawat dapat membantu pasien untuk
mendapatkan penanganan dari seorang ahli bedah mulut jika tanggalnya gigi
dan penyakit gusi menjadi berat.
14
2. Disfagia
Walaupun disfagia dianggap konsekuensi normal akibat penuaan, penyebab
struktural, vaskular atau neurogenik sekarang telah dikenali sebagai patologi
yang mendasari. Disfagia menunjukkan patologi yang signifikan pada
lansia. Tanpa meperhatikan penyebabnya, mukosa esofagus biasanya
mengalami iritasi akibat makanan yang statis. Perasaan jantung seperti
terbakar atau nyeri dada biasanya diketahui. Secara umum makanan padat
dapat ditelan lebih mudah daripada cairan, kecuali jika terjadi lesi
struktural.regurgutasi dan aspirasi pulmonal sering terjadi, juga keluhan-
keluhan makanan yang menyangkut di kerongkongan dan batuk selama
menelan.
a. Pencegahan primer
Disfagia dapat terjadi dari paralisis, iritasi tenggorokan, efek samping obat,
lesi struktural (tumor atau striktur), atau perubahan vaskular (disfagia
aortika). Stroke dan gangguan neuromuscular seperti penyakit Parkinson,
polimiosititis, miastenia gravis, hipertiroidisme, dan sklerosis amiotropik
lateral dapat menyebabkan disfagia. Disfagia yang diakibatkan dari
penyebab vaskular dapat terjadi dari dilatasi atau aneurisma aorta. Seluruh
atau sebagian esogfgus dapat dipengaruhi abnormalitas struktural atau
neurogenik. Permulaan dari mekanisme menelan dan pergerakan makanan
ke dalam lambung dapat terganggu.
b. Pencegahan sekunder
Pengumpulan riwayat penyakit sangat penting untuk menentukan respon
klien terhadap disfagia. Perawat harus mengobservsi klien pada waktu
makan dan memperhatikan bagaimana ia dapat mengatur cairan atau
makanan dengan konsistensi yang berbeda. Kemampuan klien untuk
menghasilkan saliva harus dikaji. Saliva yang adekuat dapat membantu
pembentukan bolus makanan. Saliva yang kental dan mulur dapat
mengganggu makan. Seperti juga halnya jika terdapat xerostomia (mulut
kering) makanan dapat terpecah-pecah di dalam mulut, yang menyebabkan
pasien tersedak. Saat perawat berbicara dengan pasien, keabnormalan pola
bicara dan nada suara dapat diketahui. Palatum dan orofaring yang
15
mengalami paralisis dapat menyebabkan nada suara hipernasal. Suara yang
serak dapat diseabbkan oleh paralisis parsial dari saraf kranial ke 10.
Pencegahan regurgitasi dan aspirasi adalah suatu keharusan dan pengkajian
kemampuan klien untuk menelan adalah langkah pertama kearah
pencegahan. Hufler merekomendasikan 3 pemeriksaan yang digunakan
untuk mengevaluasi reflex menelan klien:
- Minta klien untuk meletakkan lidahnya pada palatum. Pergerakan ini
penting untuk mendorong makanan masuk ke kerongkongan.
- Usap arkus tonsiler pasien dan palatum mole dengan usapan kapas lembab
dan tanyakan apakah usapan ini dapat dirasakan. Beberapa perasaan sangat
penting pada area-area ini agar menelan dapat dilakukan.
- Periksa kontraksi normal faring dengan meransang askus tonsiler dengan
usapan kapas. Apusan kapas tersebut harus dilembabkan dengan air jeruk
dingin untuk mendapatkan informasi tentang kontraksi otot-otot faring.
Perawat dapat membantu klien memposisikan lidahnya pada
palatum dengan cara mealkukan maneuver ini di depan cermin. Kemudian,
arkus tonsiler dimasase dengan apusan kapas lembab, yang akan
membantu menjaga otot-otot farin. Jika klien memperoleh kembali reflex
menelannya, diet yang lunak seperti pudding atau makanan bayi yang
lunak dapat mulai diberikan. Untuk mencegah asprasi klien harus
diposisikan dengan leher agak direfleksikan ke depan. Maneuver ini
mendorong trakea untuk tertutup dan esofagus untuk terbuka. Cairan harus
dihindari pada awalnya karena pasien disfagia biasanya memiliki kesulitan
untuk menelan cairan. Untuk itu sejumlah cairan harus dicampurkan
dengan makanan.
Perawat mengobservasi kehilangan berat badan klien atau tanda-
tanda dehidrasi. Klien harus ditimbang dengan interval yang teratur.
Ketakutan tersedak dapat menyebabkan klien membatasi asupan makanan
dan cairan. Jika tersedak menjadi suatu masalah, siapkan alat pengisap di
dekat klien. Asuhan keperawatan dapat meliputi pemberian obat-obatan
nitrat untuk mengurangi nyeri akibat spasme esofagus. Klien harus
diinfoemasikan tentang efek samping dari obat-obatan.
16
3. Refluks Gastroesofagus dan Hernia Hiatal
Refluks gastroesofagus adalah aliran balik getah lambung masuk kedalam
esofagus. Dinding esofagus lebih tipis dan lebih sensitif pada lansia. Selain itu,
dilatasi esofagus bagian bawah dengan relaksasi sfingter esofagus bawah (lower
esophageal spihinkter [LES]) membuat refluks esofagus lebih cenderung terjadi.
Hernia hiatal sering terlihat dengan tekanan LES. Namun, banyak lansia yang
mengalami gejala refluks tanpa hernia hiatal. Hernia hiatal adalah masuknya
lambung dan organ-organ dalam abdomen lainnya ke dalam rongga toraks melalui
suatu pembesaran hiatus esofagus dalam diagfragma. Hernia hiatal hiatal terjadi
pada 40 sampai 60% orang dewasa yang berusia lebih dari 60 tahun. Terdapat dua
tipe hernia hiatal. Tipe 1 atau hernia pergeseran (sliding hernia) adalah herniasi
lambung ke atas masuk ke dalam hiatus diafragma yang mengalami sedikit
pembesaran. Hernia tipe 1 ini lebih sering terjadi dari pada hernia tipe 2, atau
hernia bergulung (rolling hernia), yaitu adanya herniasi dari sebagian lambung
disepanjang esofagus, yang memperbesar taut gastroesofagus.
Manifestasi Klinik
Gejala-gejala refluks esofagus mungkin tidak ada atau bervariasi. Keluhan
biasanya termasuk rasa terbakar pada jantung,regurgitasi,”lambung yang asam”,
disfagia, dan odinofagia (nyeri saat menelan). Rasa terbakar pada jantung
dimanifestasikan dengan adanya rasa terbakar retrosternal, biasanya setelah
makan, yang terjadi ketika membungkuk atau berbaring telentang.
Sebagian besar hernia hiatal tidak menimbulkan gejala. Jika gejala terjadi,
lansia dapat mengalami beberapa derajat rasa terbakar pada dada, flatulensi,
bersendawa, disfagia, atau rasa nyaman pada epigastrium setelah memakan jenis-
jenis makanan tertentu. Gejala-gejala hernia hiatal biasanya berhubungan dengan
refluks esofagus, yang terjadi akibat regurgitasi getah lambung masuk kedalam
esofagus bawah, yang menyebabkan iritasi mukosa esofagus. Jika refluks
esofagitis berat terjadi, ulserasi peptikum dan striktur dapat terjadi. Refluks
gastroesofagus lebih cenderung terjadi pada tipe 1. Nyeri yang dihasilkan dari
refluks esofagus harus dibedakan dari nyeri angina. Nyeri refluks biasanya
dihubungkan dengan makan atau berbaring telentang, dan tidak dihubungkan
dengan perubahan tanda-tanda vital.
17
a. Pencegahan
Ketika mengkaji riwayat penyakit, perawat harus menanyakan tentang
adanya rasa terbakar pada jantung, disfagia, bersendawa, “lambung yang asam”,
atau regurgitasi. Perawat harus menentukan jenis makanan apakah yang
berhubungan dengan awitan terjadinya gejala dan apakah aktivitas-aktivitas
tertentu (misalnya berjongkok, membungkuk, atau berbaring terlentang) yang
mengurangi atau memperberat gejala.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Asuhan keperawatan pada lansia dengan refluks esfagus atau hernia hiatal
melibatkan pengkajian yang berkelanjutan, pengajaran pasien, dan pemantauan
respons terhadap terapi. Karena modifikasi perilaku gaya hidup dapat membantu
mengurangi gejala-gejala, klien harus diinstruksikan tentang tindakan-tindakan
yang dapat menurunkan tekanan intrabdomen dan membantu digesti, juga tentang
obat-obatan yang diresepkan dan efek sampingnya. Klien harus dianjurkan untuk
menghilangkan zat-zat yang dapat menimbulkan gejala dari dietnya.
4. Gangguan-Gangguan pada Usus Halus
a. Penyakit malabsorpsi
Gangguan yang paling sering terjadi pada usus halus yang berkaitan dengan
klien lansia adalah malabsorpsi, yaitu gangguan asimilasi nutrien dari usus halus.
Penurunan sekresi asam lambung dan penggunaan antasid dalam waktu lama
mendorong ke arah pertumbuhan bekteri secara berlebihan, sering menyebabkan
malabsorpsi pada lansia. Malabsorpsi dapat juga dihubungkan dengan operasi
usus sebelumnya atau obat-obatan, seperti antikolinergik, dan narkotik yang
memperlambat motilitas usus yang kemudian meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Ketika mekanisme imun usus mengalami gangguan, seperti karena infeksi usus
kronis akibat Giardia lambia, diare berat akibat malabsorpsi. Pankreatitis kronis
mungkin dapat menyebabkan keadaan malabsorpsi karena aliran getah pankreas
berkurang, sehingga hanya sebagian makanan yang diingesti yang dapat
diabsorpsi. Penyakit celiac pada orang dewasa atau gluten enterophaty juga dapat
menyebabkan malabsorpsi karena gluten dalam diet dapat menyebabkan
18
pengecilan vili usus halus dan mengurangi area permukaan yang tersedia untuk
absorpsi nutrien.
Malabsorpsi pada pasien lansia dapat juga terjadi akibat iskemia mesentrika.
Bila aliran darah ke usus terganggu, efisiensi usus mengalami penururnan, oleh
karena itu menyebabkan malabsorpsi. Kontaminasi usus halus oleh bakteri
abdomen (sindrom blind loopl lengkung buta) juga dapat menyebabkan
malabsorpsi. Bakteri bersaing dengan vitamin B12 Dan juga menyerang garam
empedu, menganggu fungsi deterjen mereka dalam absorpsi lemak. Kondisi
malabsorpsi ini lebih sering dihubungkan dengan divertikulosis usus halus, statis
akibat usus yang konstriksi, dan statis setelah gastrektomi parsial.
Manifestasi Klinik
Malabsorpsi bukan akibat yang normal dari penuaan, walaupun masalah
malabsorpsi dapat muncul pada lansia, sering dengan manifestasi lain yang
menyertainya. Tanda dan gejala malabsorpsi sering terlihat dalam hubungannya
dengan gangguan inflamasi usus. Diare, nyeri abdomen, dan perdarahan rektum
adalah gejala-gejala yang paling jelas. Orang-orang yang mengalami penyakit
celiac dapat mengalami osteomalasia yang terjadi akibat gangguan absorpsi
vitamin D dan kehilangan kalsium secara tidak normal dalam feses. Lansia sering
tampak kurus dan semakin kurus akibat sakit, dengan membran mukosa yang
pucat dan kulit yang kering dan berisik. Tekanan darah mungkin rendah dan
demam dapat terjadi jika terdpat pertumbuhan bakteri yang berlebih dalam usus.
1) Pencegahan primer
Pencengahan primer terhadap malabsorpsi bertujuan untuk memodifikasi
atau menghilangkan faktor-faktor yang turut berperan. Pasien harus diperingatkan
tentang penggunaan antasida berlebihan yang menyebabkan pertumbuhan bakteri
secara berlebihan yang dapat berbahaya bagi pasien, yang membawa ke arah
kondisi malabsorpsi. Pemantauan secara seksama dan terus-menerus pada kklien
yang menggunakan berbagai macam obat yang diresepkan sangat penting untuk
mencegah penurunan mortilitas usus yang disebabkan oleh obat-obatan.
Pasien lansia harus diajarkan untuk membaca label dan mewaspadai
makanan-makanan yang menimbulkan tanda-tanda intoleransi, seprerti susu dan
produk-produk yang mengandung susu. Produk-produk susu yang
19
difermentasikan, seperti yogurt, sering dapat ditoleransi lebih baik dari pada
produk-produk yang mengandung susu. Intoleransi laktosa mungkin dapat
dikurangi dengan susu yang laktosanya telah dihidrolisis atau produk enzim yang
dijual bebas, seperti lact-acid.
Klien dapat mempunyai masalah malabsorpsi akibat isolasi atau situasi
kehidupan yang penuh stress. Evaluasi dan modifikasi stresor pada situasi lansia
harus ditujukkan dengan cara memberikan makana-makanan yang mudah dicerna
dalam suatu lingkungan yang nyaman. Kontak sosial dan dukungan adalah faktor
penting yang meningkatkan kebiasaan makan yang sehat untuk banyak lansia.
2) Pencegahan Sekunder
Pasien harus ditanyai tentang pola eliminasi dan asupan diet yang
normalnya. Jika diare sering terjadi, karakter, konsistensi, warna, dan bau feses
harus dicatat. Pengkajian klien meliputi pengawasan terhadap tanda dan gejala
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit dengan memeriksa berat badan klien
setiap hari, karakter membran mukosa, dan hipotensi postural.
Riwayat diet memberikan suatu dasar untuk membuat modifikasi yang
diperlukan. Klien dapat diajarkan untuk memodifikasi diet dengan cara
menghilangkan gluten dan latktose. Karena pembatasan diet yang ketat sering
merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi lansia, dukungan yang terus-menerus
mungkin diperlukan untuk memastikan kepatuhan klien dan untuk menghilangkan
masalah-masalah malabsorpsi lebih lanjut. Ketika kondisi pasien telah semakin
membaik, sejumlah kecil gluten atau laktose mungkin dapat ditoleransi oleh klien.
Konsultasi secara periodik dapat membantu menjamin dukungan nutrisi yang
adekuat. Klien dapat hanya menunjukkan tanda-tanda penyakit malabsorpsi yang
samar-samar. Mungkin hanya anemia, diare, dan penurunan berat badan yang
menjadi tanda bahwa malabsorpsi sedang terjadi. Perawat mungkin mampu
mendeteksi tanda-tanda ini, yang tidak tampak penting bagi klien. Edukasi pasien
secara berkelanjutan diperlukan untuk memberikan penguatan tentang pentingnya
gejala-gejala penyerta ini.
20
5. Penyakit-Penyakit pada Usus Besar
Gangguan yang sering terjadi pada usus besar yang mempengaruhi lansia
adalah divertikulosis, kanker, konstipasi dan diare.
a. Penyakit Divertikular
Penyakit divertikular sering terjadi pada lansia. Pada usia 80 tahun,
sedikitnya 40% orang-orang terkena penyakit ini. Kultur barat dan diet yang
secara khas rendah serat mungkin menyebabkan insidensi divertikulosis yang
tinggi. Divertikulum kolonik adalah suatu kantong diluar atau herniasi melalui
mukosa kolon. Biasanya terdapat penebalan dinding kolon yang jelas. Kolon
sigmoid paling sering terpengaruh dan mungkin merupakan satu-satunya bagian
usus yang terkena pada 50 sampai 65% pasien.
Sebagian besar orang dengan divertikulosis adalah tanpa gejala; namun,
sebagian orang dapat mengalami konstipasi, kembung, dan rasa tidak nyaman
serta distensi abdomen. Komplikasi dari divertikulosis timbul ketika terdapat
inflamasi akut (divertikulitis), ruptur dari satu atau lebih divertikula, perdarahan
atau obstruksi. Divertikulitis terjadi ketika ada mikroperforasi dan kebocoran isi
usus ke dalam jaringan-jaringan disekitarnya, yang menyebabkan inflamasi.
Pasien dapat mengalami nyeri, nyeri tekan abdomen, demam, dan sering terdapat
massa yang dapat diraba. Perdarahan gastrointestinal bagian bawah terjadi sampai
15% dari pasien dengan penyakit divertikular. Perdarahan sering terjadi tanpa
nyeri abdomen yang signifikan.
Gangguan mortilitas usus dianggap merupakan predisposisi pembentukan
divertikula pada lansia. Terjadinya ruptur divertikulum dapat mengancam jiwa,
yang akhirnya perlu pembedahan besar dan sering kali suatu kolostomi sementara.
Obstruksi usus dan penyakit divertikular adalah penyebab kematian terbanyak
yang berhubungan dengan gastrointestinal pada lansia.
1) Pencegahan Primer
Klien lansia harus dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah samar di
dalam feses setiap tahunnya. Diet yang seimbang dengan asupan serat yang
adekuat sangat dianjurkan. Pasien yang mengalami perubahan kebiasaan buang air
besar secara tiba-tiba atau adanya perdarahan gastrointestinal harus segera
mendapatkan perhatian medis. Gaya hidup yang aktif harus dianjurkan karena
21
latihan dan kontak sosial yang berarti dapat meningkatkan pola makan dan
eliminasi yang sehat.
2) Pencegahan Sekunder
Pengajuan pertanyaan yang seksama tentang kebiasaan buang air besar,
khususnya perubahan dalam konstipasi dan diare, adalah bagian yang penting
dalam pengkajian. Diare atau konstipasi yang terjadi secara bergantian yang
berkembang menjadi mual dan muntah merupakan tanda adanya ruptur atau suatu
obsrtuksi divertikulum. Status nutrisi pasien, kebiasaan makan, dan pengetahuan
umum tentang proses penyakit harus dikaji.
Asuhan keperawatan terhadap lansia dengan penyakit divertikular termasuk
penatalaksanaan nyeri dan manipulasi diet. Upaya-upaya untuk menangani nyeri
harus menghindari penggunaan opiat, yang dapat meningkatkan tekanan
intralumen sigmoid. Manipulasi diet adalah kebutuhan terus-menerus yang secara
aktif melibatkan klien dan pemberi perawatan. Oleh karena itu, edukasi dimulai
selama fase akut proses penyakit untuk mengajarkan klien tentang pentingnya
serat dalam diet, menghindari makanan yang pedas, dan mengendalikan konstipasi
tanpa menggunakan laksatif secara berlebihan.
b. Obstruksi Usus
Obstruksi usus adalah penghentian sebagian atau keseluruhan dari majunya
aliran isis usus, biasanya terjadi sebagai akibat dari penutupan lumen usus yang
aktual. Obstruksi dapat disebabkan oleh adhesi mekanis (dari pembedahan
sebelumnya), volvolus, intusepsi, tumor, atau ileus neurogenik atau paralitik, atau
penyakit usus iskemik. Kanker kolon mungkin merupakan penyebab obstruksi
yang paling sering pada lansia.
Usus secara normal mensekresikan dan mereabsorpsi kira-kira 7 sampai 8
liter cairan yang kaya elektrolit setiap harinya. Ketika suatu obsrtuksi terjadi,
sejumlah besar cairan, bakteri yang berfermentasi, dan udara yang tertelan
berkumpul pada bagian proksimal dari obstruksi tersebut. Pasien mengalami
mual, muntah, dan distensi. Pertukaran cairan sering terjadi dan permeabilitas
kapiler menurun, yang menyebabkan kebocoran isis usus yang masuk ke dalam
rongga peritoneal.
22
Pada awalnya, pasien dengan obstruksi usus akan memiliki tanda dan gejala
yang berhubungan dengan upaya tubuh untuk mengatasi obstruksi tersebut.
Peristaltik akan berusaha untuk meningkatkan kecepatan untuk mencoba melewati
isi usus melalui sistem tersebut. Pasien akan mengalami bisisng usus dengan
kecepatan tinggi dengan nyeri kram. Seiring dengan perkembangan obstruksi,
bising usus menjadi hipoaktif, distensi abdomen meningkat, dan muntah, sering
menyemprot, jika selang nasogastrik tidak digunakan. Pasien akan tetap memiliki
pergerakan usus bahkan dengan adanya obstruksi karena kolon distal akan terus
mengosongkan isinya. Lansia, yang mungkin mengalami dehidrasi, ringan
sebelum episode akut, akan dengan cepat mengalami penurunan volume cairan.
Tanda-tanda sepsis dapat terjadi akibat kebocoran usus kedalam rongga abdomen.
1) Pencegahan Primer
Pencegahan obstruksi usus pada klien lansia dapat dicapai dengan
memberikan pendidikan kepada mereka tentang tanda-tanda peringatan kanker
kolon. Hal ini melibatkan kebutuhan utnuk melaporkan perubahan-perubahan
kebiasaan buang air besar kepada pemberi perawatan primer. Pemeriksaan darah
samar pada feses secara periodik, bersama-sama dengan pendididikan tentang
faktor risiko yang lain, seperti riwayat keluarga dan kebiasaan diet yang buruk,
juga sangat penting.
2) Pencegahan Sekunder
Pengkajian keperawatan termasuk pengkajian riwayat nyeri pasien secara
seksama. Pengkajian abdomen harus meliputi auskultasi bising usus dan palpasi.
Pengkajian tekanan darah posisi telentang dapat menunjukkan defisit volume
cairan. Data laboratorium dapat menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
peningkatan hemoglobin dan hematokrit yang disebabkan oleh hemokonsentrasi
dan defisit volume cairan. Pasien dapat mengalami demam atau temperatur
dibawah normal jika terjadi sepsis akut.
Penatalaksanaan keperawatan akan memfokuskan pada penggantian cairan
dan elektrolit yang hilang melaui muntah atau drainase nasogastrik secara
seksama. Cairan harus diganti secara perlahan-lahan untuk mencegah kompilkasi
gagal jantung kongestif. Klien biasanya dipertahankan untuk istirahat di tempat
tidur selama fase akut. Perawatan harus terstruktur untuk menghindari komplikasi
23
yang berhubungan dengan imobilitas. Penatalaksanaan nyeri yang bijaksana
sangat penting untuk menghindari komplikasi yang berhubungan dengan
imobiltas. Penataksanaan nyeri yang bijaksana sangat penting untuk memberikan
penurunan rasa nyeri sementara menghindari masalah lebih lanjut akibat konfusi
dan disorientasi. Selain itu, jika obstruksi tidak dapat dihilangkan dalam waktu 48
jam, penambahan nutrisi harus dilakukan.
c. Konstipasi
Peristaltik mengandalkan suatu sistem yang kompleks dari integrasi antar
sistem saraf simpatis, parasimpatis, saraf gaster, dan efek neuron lokal dan sistem
saraf pusat. Makanan-makanan tertentu, aktivitas, pengobatan, dan emosi
semuanya mepengaruhi peristaltik. Konstipasi adalah masalah umum yang
disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, dan penururnan kekuatan
dan tonus otot. Defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat juga dapat
menimbulkan konstipasi. Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari
penumpulan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan
dalam menanggapi sinyal untuk defekasi.
Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai
dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses. Konstipasi dapat
dikategorikan lebih lanjut sebagai konstipasi yang diimajinasikan, konstipasi
kolonik, atau konstipasi rektal.
1) Pencegahan Primer
Pencegahan konstipasi pada lansia dimulai dengan memodifikasi
kepercayaan tentang eliminasi. Pemberian edukasi tentang kandungan cairan,
selulosa, dan serat dalam diet dan menetapkan laithan rutin yang sesuai akan
membantu dalam eliminasi yang sehat. Diet yang berserat sangat membantu
dalam mencegah konstipasi karena serat menahan cairan, membuat feses menjadi
lebih berbentuk, lunak, dan mudah untuk dikeluarkan. Karena lansia mengalami
perlambatan motilitas gastrointestinal, tambahan diet berserat akan menururnkan
waktu yang diperlukan bagi suatu zat untuk bergerak melalui usus. Jumlah asupan
diet serat setiap hari yang dianjurkan adalah dari 20 sampai 35 gram. Suatu
campuran gandum, saus apel, dan jus kismis telah ditemukan merupakan metode
yang efektif dalam meningkatkan eliminasi usus yang normal.
24
Kegiatan pengajaran termasuk memberikan informasi tentang pemberian
obat-obatan katartik, laksatif, dan purgatif. Purrgatif tidak digunakan karena dapat
menyebabkan hal-hal seperti feses encer dan kram yang berbahaya. Katariktik
dapat mengakibatkan feses lunak, tetapi juga dihubungkan dengan beberapa kram
abdomen. Laksatif juga bekerja pada usus besar dan diklasifikasikan sebagai
pemberi bentuk, osmotik, surfaktan (zat yang membasahi), kontak (stimulan,
iritan), lubrikan, atau supositoria dan enema. Suatu regimen untuk usus terdiri dari
suposituria sesuai kebututhan jika dipilih untuk dosis harian dari Susu Magnesium
atau Metamucil. Cairan, terutama air bening, adalah pelembut feses yang alami.
Anjurkan untuk minum beberapa gelas air putih setiap harinya. Kopi, teh, dan jus
bekerja sebagai deuretik, menarik air daris usus, sehingga menghasilkan feses
yang keras. Walaupun kopi dan teh, terutama sebagai rutinitas pagi hari, dapat
menstimulasi kerja usus harian, asupannya harus minimal.
Latihan fisik adalah suatu faktor yang penting dalam menghindari
konstipasi. Untuk klien yang mengalami imobilitas yang telah mengalami
perlambatan motilitas usus, bahkan ketika berganti posisi di tempat tidur atau
memindahkan berat seseorang di kursi dapat memiliki efek yang positif terhadap
peristaltik. Suatu program untuk meningkatkan aktivitas yang dimulai dengan
latihan rentang gerak pasif adlah suatu komponen esensial dalam mencegah
konstipasi.
2) Pencegahan Sekunder
Perawat yang mengkaji konstipasi pada lansia harus:
Menetukan jenis konstipasi melalui suatu riwayat buang air besar.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi
untuk mengalami konstipasi.
Mengisolasi dan memodifikasi elemen-elemen yang turut berperan terhadap
masalah kostipasi.
Penatalaksanaan keperawatan untuk lansia dengan konstipasi yang
dibayangkan atau dipersepsikan harus memfokuskan pada pendidikan tentang
defekasi yang normal. Perawat dapat membantu klien utnuk memeriksa sumber
dari sikap dan kepercayaannya tentang eliminasi. Klien dianjurkan untuk
menetapkan tujuan dari eliminasi setiap hari dan untuk menyimpan kalender atau
25
catatan harian sebagai pengingat selama fase awal perubahan perilaku. Jika
terdpat penyalahgunaan laksatif jangka panjang, konstipasi kolonik dapat terjadi
ketika obat-obat ini dihentikan. Oleh karena itu, klien akan perlu diajarkan tentang
tindakan-tindakan preventif.
Tindakan-tindakan tambahan untuk lansia yang mengalami konstipasi
kolonik termasuk menetapkan rutinitas defekasi dengan privasi yang adekuat.
Waktu yang paling sering untuk buang air besar adalah 1 jam setelah sarapan
pagi. Jika riwayat defekasi klien menunjukkan adanya pola eliminasi pada malam
hari, 1 jam setelah makan malam mungkin lebih produktif. Memberikan cairan
hangat dengan makanan dan membantu klien pada posisi duduk tegak yang
nyaman akan membantu pergerakan feses. Kostipasi rektal memerlukan semua
intervensi yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, lansia dengan konstipasi
rektal mungkin memerlukan latihan otot-otot pelvis kembali.
d. Diare
Diare adalah defekasi yang meningkat dalam frekuensi, lebih cair, dan sulit
untuk dikendalikan. Infeksi bakteri dan virus, impaksi fekal, pemberian makanan
melalui slang, dan diet yang berlebihan (terutama pisang) dapat menyebabkan
diare akut pada lansia. Diare dapat mengganggu gaya hidup normal. Untuk lansia
yang aktif secara fisik, diare dapat membatasi interaksi sosialnya. Ketika klien
harus berada ditempat tidur atau kurang mobilisasi, diare dapat menimbulkan
masalah serius, seperti infeksi saluran kemih atau ulkus dekubitus.
Diare kronis dapat disebabkan oleh malabsorpsi, penyakit divertikular,
gangguan inflamasi usus, atau obat-obatan, terutama antasid, antibiotik,
antidisritmia, dan antihipertensi. Penyakit sistemik seperti tirotoksikosis, penyakit
hati, neuropati diabetik, dan uremia dapat menyebabkan diare. Penyakit iskemi
diantara lansia, terutama mereka dengan masalah jantung, dapat mengarah pada
kolitis iskemik dengan diare. Prosedur pembedahan, seperti gastrektomi dan
gangguan psikogenik juga dapat menyebabkan diare.
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer pada lansia dengan diare bertujuan untuk memebrikan
pendididkan pada klien tentang penyebab diare dan mempertahankan diet yang
seimbang. Karena diare mungkin merupakan akibat dari gangguan yang lebih
26
serius seperti obstruksi usus atau keganasan, semua lansia harus dianjurkan untuk
mencari bantuan medis jika diare tetap terjadi.
2) Pencegahan Sekunder
Lansia dengan awitan diare akut biasanya mengalami penururnan volume
dan dapat mengalami demam, takikardia, dan hipotemsi postural, turgor kulit
buruk. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit, seperti juga perubahan kadar
kalium dan natrium serum, dapat terjadi. Pada awalnya, perawat memeriksa
pasien untuk mengetahui adanya impaksi fekal. Perhitungan banyaknya feses dan
pengukuran asupan dan haluaran yang akurat perlu dicatat. Pemberian makanan
melalui selang yang terlalu cepat atau memiliki osmolaritas terlalu tinggi dapat
menyebabkan diare. Pengobatan pasien harus ditinjau ulang untuk mengobservasi
obat-obatan dengan diare sebagai potensial efek sampingnya. Kaji adanya nyeri
atau daerah nyeri tekan terlokalisasi pada abdomen.
Fokus utama penatalaksanaan keperawatan adalah untuk mempertahankan
nutrisis yang adekuat dan keseimbangan elektrolit serta untuk mencegah
kerusakan kulit, sementara menemukan dan menghilangkan penyebab diare.
Malnutrisi dapat menjadi penyebab dan akibat dari diare pada lansia. Formula
asam amino bebas yang diberikan secara perlahan (20 sampai 30 mi/jam) melalui
selang lambung mungkin diperlukan untuk mengatasi malnutrisi dan
meningkatkan absorpsi. Selain itu, klien harus diberikan hidrasi secara adekuat
sebelum program pemberian makanan jenis apa pun mulai dilakukan.
Pencegahan kerusakan kulit selama episode-episode diare memerlukan
pengawasan secara ketat. Kulit harus langsung diberikan dengan sabun ringan dan
air hangat dan dikeringkan dengan baik setelah buang air besar. Krim pelembap
protektif dapat memberikan perlindungan terhadap keasaman enzim digestif.
27
E. Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Gastrointestinal
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Informasi yang harus dikumpulkan dari pasien lansia adalah tentang sejarah
penyakit-penyakit atau masalah-masalah yang berkaitan dengan fungsi
Gasrointestinal (GI), seperti nyeri perut, gastritis, mual dan muntah, diare dan
sembelit, hepatitis, radang usus besar, bisul perut, distensi abdomen, ikterus,
anemia, hiatus hernia, penyakit kandung empedu, disfagia, mulas, dispepsia,
perubahan nafsu makan, hematemesis, intoleransi makanan, gangguan
pencernaan, gas yang berlebihan, kembung, melena, wasir, hernia, atau anus
berdarah.
Pasien harus ditanya tentang sejarah berat badan. Setiap penurunan berat
badan yang tidak diterangkan atau tidak direncanakan atau berat badan dalam 12
bulan terakhir harus dikaji secara rinci. Sejarah diet kronis dan penurunan berat
badan berulang harus didokumentasikan.
b. Obat-Obatan
Riwayat kesehatan termasuk pengkajian mengenai penggunaan obat-obatan
di masa lalu dan penggunaan saat ini. Nama obat, frekuensi dan durasi
penggunaan sangat penting untuk dikaji khususnya informasi tentang resep obat
yang berhubungan dengan masalah hati. Banyak bahan-bahan kimia yang
potensial bersifat hepatotoxic. Perawat harung menanyakan apakah pasien
menggunakan laksativ atau antasid, termasuk jenis dan frekuensinya. Penggunaan
resep obat yang dapat menekan nafsu makan juga harus dicatat.
c. Pembedahan atau Pengobatan Lain
Informasi yang harus diperoleh adalah mengenai pengobatan di RS yang
terkait dengan sistem GI. Kaji data yang terkait dengan pembedahan perut atau
dubur, termasuk tahun, alasan untuk pembedahan, pascaoperasi, dan kemungkinan
transfusi darah.
28
d. Persepsi kesehatan - Pola manajemen kesehatan
Perawat harus mengkaji persepsi kesehatan pasien yang berhubungan
dengan sistem GI, seperti pemeliharaan berat badan normal, perawatan gigi,
nutrisi yang adekuat, dan kebiasaan eliminasi. Pasien harus ditanya tentang
pemaparan bahan kimia hepatotoxic seperti arsenik, fosfor, dan merkuri, tentang
perjalanan ke luar negeri yang mungkin dapat terkena hepatitis, infeksi parasit
atau gangguan bakteri.
Identifikasi kebiasaan-kebiasaan tertentu yang memiliki efek langsung pada
fungsi GI, seperti konsumsi alkohol dalam jumlah besar memiliki efek merugikan
pada mukosa lambung dan juga meningkatkan sekresi asam klorida dan
pepsinogen. Paparan alkohol menyebabkan infiltrasi lemak pada hati, merokok
berhubungan dengan berbagai GI (khususnya kanker mulut dan kerongkongan),
esophagjtis, dan ulcer. Merokok juga dapat menunda penyembuhan ulkus.
e. Nutrisi-Pola Metabolisme
Penilaian gizi yang menyeluruh sangat penting. Perawat harus menanyakan
pertanyaan-pertanyaan terbuka yang akan memungkinkan pasien untuk
mengekspresikan keyakinan dan perasaan tentang diet. Perawat harus mengkaji
asupan makanan termasuk asupan pagi dan malam hari. Perawat harus mencari
tahu tentang asupan makanan ringan, cairan, dan suplemen vitamin.
Perawat harus mengkaji penggunaan gula dan garam pengganti, kafein, dan
jumlah cairan dan asupan serat. Kaji adanya perubahan perubahan dalam nafsu
makan, toleransi terhadap makanan, dan berat badan Anorexia dan penurunan
berat badan dapat mengindikasikan karsinoma. Kaji adanya alergi terhadap
makanan dan periksa gejala GI seperti respon dari alergi.
f. Pola Eliminasi
Kaji pola eleminasi pasien (frekuensi, waktu, dan konsistensi dari tinja biasa
harus dicatat). Penggunaan pencahar dan enema, termasuk jenis, frekuensi, dan
hasil, harus didokumentasikan. Setiap perubahan terbaru dalam pola usus harus
diselidiki. Kaji asupan dan keluaran cairan. Masalah kulit dapat dikaitkan dengan
masalah GI. Alergi makanan dapat menyebabkan lesi, pruritus, dan edema. Diare
29
dapat menyebabkan kemerahan, iritasi, dan rasa sakit di daerah perianal. Sistem
drainase eksternal seperti ileostomi atau saluran ileum dapat menyebabkan iritasi
kulit lokal. Kaji hubungan masalah kulit dan masalah GI.
g. Kegiatan Pola-Latihan
Kaji status ambulatory untuk menentukan apakah pasien mampu
mengamankan dan menyiapkan makanan. Batasan kemampuan pasien untuk
makan sendiri secara independen harus dicatat. Kaji adanya kesulitan dalam
mengakses lingkungan yang aman untuk eliminasi. Kaji kegiatan dan latihan yang
dapat mempengaruhi motilitan GI.
h. Pola Tidur-Istirahat
Kaji masalah-masalah tidur yang berhubungan dengan gangguan sistem
pencernaan, seperti mual, muntah, diare, gangguan pencernaan, kembung, dan
kelaparan. Kaji ritual tidur yang melibatkan penggunaan suatu makanan atau
minuman tertentu. Susu hangat dapat menyebabkan tidur melalui efek dari
serotonin prekursor L-triptofan. Teh herbal dan melatonin sering dapat membantu
untuk tidur. Kaji Rutinitas individu yang mungkin dapat menghindari tidu seperti:
Lapar dapat mencegah tidur sehingga harus dikurangi dengan makanan yang
ringan dan mudah di cerna.
i. Kognitif Pola-Perseptual
Penurunan sensoris dapat mengakibatkan permasalahan yang terkait dengan
kemampuan mempersiapkan, dan mengkonsumsi makanan. Perubahan dalam rasa
atau aroma dapat mempengaruhi nafsu makan. Sensitivitas panas atau dingin bisa
membuat makanan tertentu menyakitkan untuk makan. Mengkaji pasien dalam
pola ini untuk menilai efek kekurangan asupan gizi yang adekuat. Jika pasien
telah didiagnosis memiliki gangguan GI, perawat harus mengajukan pertanyaan
untuk menentukan pemahaman pasien tentang penyakit dan pengobatannya.
Nyeri di area lain memerlukan pengkajian yang hati-hati berkaitan dengan
efeknya pada sistem GI dan gizi. Kaji efek yang mungkin ada dari obat
30
penghilang rasa sakit yang berkaitan dengan sembelit, sedasi, dan pengurangan
nafsu makan.
j. Persepsi Diri-Pola Konsep Diri
Kelebihan dan kekurangan berat badan sering menjadi masalah terkait
dengan harga diri dan citra tubuh. Cara seseorang menceritakan sejarah berat
badannya merupakan tanda akan kemungkinan terjadi masalah di daerah ini. Area
masalah potensial lain adalah kebutuhan terhadap perangkat eksternal untuk
mengatur eliminasi, seperti kolostomi atau ileostomi. Kesediaan pasien untuk
terlibat dalam perawatan diri dan mendiskusikan mengenai situasi ini menuntut
perawat untuk menyediakan informasi berharga yang berkaitan dengan citra tubuh
dan harga diri. Penyakit kuning dan asites menyebabkan perubahan fisik yang
signifikan. Sikap pasien terhadap perubahan-perubahan ini harus dikaji.
k. Peran Pola-Hubungan
Masalah yang terkait dengan sistem GI seperti sirosis, alkoholisme,
hepatitis, ostomies, obesitas, dan karsinoma dapat berdampak besar pada
kemampuan pasien untuk mempertahankan peran dan hubungannya. Penyakit
kronis dapat menyebabkan pasien meninggalkan tugasnya atau mengurangi
jumlah jam kerja. Perubahan dalam citra tubuh dan harga diri dapat
mempengaruhi hubungan. Hal ini penting perawat harus menyadari yang mungkin
terjadi kehadiran mereka.
l. Pola Reproduksi-Seksualitas
Perubahan yang terkait dengan seksualitas dan status reproduksi dapat
disebabkan oleh masalah sistem GI, sepeti obesitas, sakit kuning, anoreksia, dan
asites, dapat menurunkan potensi penerimaan pasangan seksual. Penggunaan
ostomy dapat mempengaruhi kepercayaan diri pasien yang berkaitan dengan
aktivitas seksual. Pertanyaan yang sensitif dari perawat dapat menentukan adanya
potensi masalah. Anorexia dapat mempengaruhi status reproduksi kewanitaan.
Peminum alkohol dapat mempengaruhi status reproduksi laki-laki dan perempuan.
Asupan gizi yang buruk sebelum dan selama kehamilan dapat mengakibatkan
31
rendah berat lahir bayi. Perawat harus menentukan keinginan pasien mengenai
reproduksi dan kaji langsung berdasarkan respon pasien.
m. Koping-Pola Toleransi Setress
Kaji koping terhadap stress. Gejala gangguan pencernaan seperti nyeri
epigastrik, mual, dan diare menyebabkan seseorang berespon terhadap stress atau
situasi emosional. Beberapa masalah sistem pencernaan seperti tukak lambung
dapat diperburuk oleh stress.
n. Nilai-Pola Keyakinan
Kaji keyakinan spiritual dan budaya pasien tentang makanan dan persiapan
makanan, kesukaan pasien ini harus dihormati oleh para penyedia layanan
kesehatan.
2. NANDA, NOC dan NIC
Banyak diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan
gangguan gastrointestinal, namun diagnosa keperawatan yang paling sering
muncul pada lansia dengan gangguan gastrointestinal adalah ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, nyeri akut dan kurang pengetahuan.
No.Diagnosa
KeperawatanNOC NIC
1. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
ketidakmampuan
mencerna makanan
Nutritional Status: food
and fluid intake
Kriteria hasil:
Adanya peningkatan
berat badan sesuai
dengan tujuan.
Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan.
Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi.
Nutrition Management
Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake Fe
Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan
vitamin C.
Yakinkan diet yang dimakan
mengandung tinggi serat
32
Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi.
Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
Tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti.
untuk mencegah konstipasi.
Berikan makanan yang
terpilih (sudah
dikonsultasikan dengan ahli
gizi).
Ajarkan kepada keluarga
pasien tentang bagaimana
membuat catatan menu
makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi kepada
keluarga pasien.
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas
normal.
Monitor adanya penurunan
berat badan.
Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan.
2. Nyeri Akut
berhubungan dengan
agen cedera
(biologis)
NOC:
- Pain Level
- Pain Control
- Comfort Level
Kriteria Hasil:
Mampu mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan teknik
NIC:
Pain Management
Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi.
Observasi reaksi nonverbal
33
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri.
Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri).
Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang.
dari ketidaknyamanan.
Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau.
Evaluasi bersama pasien,
keluarga, dan tim kesehatan
lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau.
Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri,
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan.
Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi).
Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi.
Ajarkan teknik
nonfarmakologi.
Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian analgetik.
Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri.
Tingkatkan istirahat.
Kolaborasikan dengan
34
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil.
3. Kurang pengetahuan
berhubungan dengan
kurang pajanan
informasi.
NOC:
- Knowledge: disease
process
- Knowledge: health
behavior
Kriteria Hasil:
Pasien dan keluarga
menyatakan pemahaman
tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan
program pengobatan.
Pasien dan keluarga
mampu melaksanakan
prosedur yang dijelaskan
secara benar.
Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya.
NIC:
Teaching : disease process
Berikan penilaian tentang
tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit
yang spesifik.
Gambarkan tanda dan gejala
yang biasa muncul pada
penyakit, dengan cara yang
tepat.
Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat.
Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang
akan datang.
Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang
tepat.
BAB III
PENUTUP
35
A. Kesimpulan
Sistem gastrointestinal atau sistem pencernaan adalah sistem organ dalam
manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat
gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang
bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari
tubuh. Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam sistem
gastrointestinal. Adapun gangguan gastrointestinal yang dapat ditemukan pada
pasien lansia adalah penyakit peridontal, disfagia, refluks gastroesofagus dan
hernia hiatal, gangguan-gangguan pada usus halus (penyakit malabsorbsi),
penyakit pada usus besar (penyakit divertikular, obstruksi usus, konstipasi, diare).
Adapun diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada lansia dengan
gangguan gastrointestinal ada banyak, namun diagnosa keperawatan yang paling
sering muncul adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,
nyeri akut dan kurang pengetahuan.
B. Saran
Diperlukan kesabaran dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan, agar
mendapatkan data yang lengkap, sehingga penting bagi perawat untuk memahami
tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal lansia agar
dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
36