Makalah Fix

47
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas berkat dan rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Rehabilitasi Pasien dengan Trauma otak (Brain Injury) dan trauma Medula Spinalis. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur mata kuliah Rehabilitasi Keperawatan Tahun Akademik 2013/2014 di Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura. Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada : 1. Ibu Murti, S.Kep, Ns selaku dosen pembimbing mata kuliah Rehabilitasi Keperawatan. 2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2012 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura, dan 3. Pihak yang membantu baik secara langsung maupun tak langsung. Segala sesuatu di dunia ini tiada yang sempurna, begitu pula dengan makalah ini. Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan demi kesempurnan makalah berikutnya. Penulis harapkan semoga makalah ini dapat memberikan suatu manfaat bagi kita semua dan memilki nilai ilmu pengetahuan. Pontianak, Maret 2014 i

description

ttyyuug

Transcript of Makalah Fix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Rehabilitasi Pasien dengan Trauma otak (Brain Injury) dan trauma Medula Spinalis. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur mata kuliah Rehabilitasi Keperawatan Tahun Akademik 2013/2014 di Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura.Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada :1. Ibu Murti, S.Kep, Ns selaku dosen pembimbing mata kuliah Rehabilitasi Keperawatan.2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2012 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura, dan3. Pihak yang membantu baik secara langsung maupun tak langsung.Segala sesuatu di dunia ini tiada yang sempurna, begitu pula dengan makalah ini. Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan demi kesempurnan makalah berikutnya. Penulis harapkan semoga makalah ini dapat memberikan suatu manfaat bagi kita semua dan memilki nilai ilmu pengetahuan.

Pontianak, Maret 2014

Penulis

3

BAB IPENDAHULUAN

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 1544 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi.

Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus per tahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya.Dari total ini, 7585 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki laki berumur antara 1524 tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor. Menurut Rinner, dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).

Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Trauma medula spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus .

Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya. Kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga.

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis (York, 2000 dalam Pinzon, 2007). Wyndaele dan Wyndaele (2006) melaporkan bahwa insiden cedera medula spinalis secara global bervariasi dengan kisaran 10.483 kasus per juta populasi setiap tahun (Furlan and Fehlings, 2009).

BAB IIPEMBAHASANA. Rehabilitasi NeurologiPraktik keperawatan telah digambarkan sebagai suatu seni dan ilmu pengetahuan dan diinformasikan sebagai batang tubuh pengetahuan yang diambil dari berbagai disiplin ilmu. Rehabilitasi apapun membutuhkan basis pengetahuan yang luas karena memiliki holisme sebagai konsep inti. Dalam neurorehabilitation pendekatan multi-paradigmatik ini penting karena sistem saraf tidak hanya mengatur fisiologi kita, tetapi juga cara kita memahami dan menafsirkan dunia di sekitar kita.1. Definisi Rehabilitasi NeurologiNeurorehabilitation telah didefinisikan sebagai, "sebuah proses aktif dan dinamis dimana orang yang disabilitas (ketidakmampuan) dibantu atau difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk memaksimalkan fungsi fisik, psikologis dan sosial (Barner & Radermacher, 2003)Ada tiga pendekatan utama: untuk mengurangi injuri (cidera), untuk mempromosikan adaptasi melalui perolehan keterampilan atau strategi baru, dan untuk mengurangi disabilitas dengan meminimalkan hambatan sosial dan fisik kecacatan dengan bekerja untuk menghapus hambatan sosial dan fisik.

2. EpidemiologiKondisi neurologis merupakan penyebab paling umum kecacatan serius di dunia Barat , memiliki dampak yang signifikan terhadap pelayanan kesehatan, sosial dan akuntansi untuk 19 % dari seluruh penerimaan rumah sakit . Telah diperkirakan bahwa 10 juta orang di Inggris yang hidup dengan kondisi neurologis yang memiliki dampak signifikan pada kehidupan mereka ( Neurologis Alliance, 2003).

Prevalensi kondisi kronis meningkat karena kombinasi peningkatan umur panjang dan teknik diagnostik yang lebih baik dan pengobatan . Ada juga peningkatan prevalensi kondisi neurologis di orang tua karena beberapa kondisi terutama mempengaruhi orang-orang tua . Angka-angka ini diperkirakan akan meningkat tajam dalam dua dekade mendatang dan telah diidentifikasi sebagai tantangan utama untuk pelayanan baik di Inggris dan internasional ( World Health Organization , 2002) . Dampak dari angka-angka ini pada individu dan pengiriman kesehatan dan perawatan dapat diilustrasikan oleh statistik berikut disediakan oleh Neurologis Aliansi : Lebih dari 1 juta orang di Inggris ( 2 % dari populasi ) yang dinonaktifkan oleh kondisi neurologis mereka. 350 000 orang membutuhkan bantuan untuk sebagian besar kegiatan hidup sehari-hari mereka. Setiap tahun 600 000 orang yang baru didiagnosis dengan kondisi neurologis . 10 % dari kunjungan ke kecelakaan dan darurat ( A & E ) departemen adalah untuk masalah neurologis . 17 % dari GP konsultasi adalah untuk gejala neurologis . 30 % dari orang yang menghadiri A & E departemen untuk cedera kepala adalah anak anak 15 tahun ke bawah . 25 % dari orang berusia antara 16 dan 64 tahun dengan cacat kronis memiliki kondisi neurologis . Sekitar sepertiga dari orang-orang cacat yang tinggal di perawatan perumahan memiliki kondisi neurologis . Sekitar 850 000 orang di Inggris merawat seseorang dengan kondisi neurologis .

3. Tantangan dan Kesempatan untuk kemajuan perawat spesialis/ ahli di bidang neurorehabilitasi.1. Tantangan: StigmaMeskipun sejumlah besar individu yang terkena , masyarakat umum sering memiliki sedikit wawasan tentang konsekuensi dari kondisi neurologis sampai mereka memiliki pengalaman pribadi langsung . Tingkat kesadaran yang rendah bahkan tentang kondisi yang relatif umum seperti epilepsi dan cedera kepala. Staff yang sibuk menyebabkan salah menginterpretasikan masalah kognitif dan perilaku sehingga sulit diatasi. Sikap mengabaikan dapat menyebabkan individu dengan disabilitas merasa distigmatisasi dan timbul salah paham sehingga menimbulkan kerugian sosial, emosional dan ekonomi

2. Kesempatan: pendidikanRehabilitasi adalah disiplin ilmu berbasis pendidikan dan sangat penting bahwa perawat dan pasien memahami proses dan tujuan dari pekerjaan mereka sehingga mereka bisa bekerja sama untuk mencapai hasil terbaik . Suatu bagian penting dari peran khusus praktisi adalah memberikan pendidikan dan informasi serta menerapkan praktik berbasis bukti/ilmiah terbaik.Seorang Perawat spesialist rehabilitasi neurologi perlu mendatangi klien dengan Setting berbeda. Contoh di unit perawatan intensif di rumah sakit (ICU), panti jompo atau rumah pasien sendiri. Tujuannya yaitu support proses rehabilitasi dengan bekerja melalui partnership dengan pasien dan pemberi pelayanan.Pendekatan yang dilakukan yaitu: Menjadi advokat pasien Meluangkan waktu dalam mengembangkan proses pengkajian dini Menetapkan faktor motivasi Mengidentifikasi tujuan yang berpusat pada pasien Memberikan kesempatan untuk share dan mengeksplor rasa cemas Memberikan informasi atau nasehat pada saa latihan Memberikan dorongan kepada klien untuk bersosialisasi baik dengan pasien lain maupun keluarga mereka.STUDI KASUS:Frank, 32 tahun, mengalami brain damage akibat kecelakaan lalu lintas. Dia telah dirawat di rumah sakit dan melanjutkan rehabilitasinya sehingga mampu beradaptasi. Frank dapat melihat dan berespon tetapi tak dapat berkomunikasi secara konsisten sehingga pengkajian atas persepsi dan kognitifnya terbatas. Frank sulit duduk dengan baik. Lengan dan kaki Frank yang kaku membuatkan sulit dalam melakukan aktifitas sehari2 seperti mandi dan berpakaian sehingga Frank sering menangis dan melawan perawat yang membantunya. Perawat dan terapis pun frustrasi karena tak dapat berbuat banyak dalam aktivitas Frank sehinga mereka percaya bahwa tak ada lagi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Ketegangan pun terjadi antara tim dengan ibunya Frank. Sehingga tim mulai menghindari ibu Frank dan takut merawat Frank.

INTERVENSIPerawat spesialis mendiskusikan isu dengan tim, meninjau kerusakan fisik Frank, dan mengeksplorasi asumsi tim terhadap intervensi. Perawat spesialis memimpin sesi refleksi tim untuk mendukung perawat untuk mempertimbangkan pengaruh perilaku Frank terhadap sikap perawat untuk eksplorasi kepercayaan tim mengenai rehabilitasi sehingga mereka dapat mengidentifikasi mengapa mereka dapat bereaksi dalam situasi tsb dan pembelajaran yang mereka butuhkan dalam situasi tersebut.

Konsekuensi bagi tim:Sebagai hasil dari diskusi katarsis ini , perawat spesialis diatur dengan manajer ward bahwa neurophysiotherapist , yang bekerja secara eksklusif dengan individu yang memiliki cedera kepala berat , untuk bekerja dengan tim baik sebagai kelompok dan atas dasar satu-ke - satu dengan Peter dan ibunya untuk menunjukkan cara terbaik untuk mendekati perawatan sehari-hari . Sebuah video dibuat pagi nya rutin untuk digunakan sebagai alat bantu mengajar untuk staf baru. Ketika Petrus habis video itu juga digunakan sebagai bagian dari paket induksi untuk barunya penjaga . Tim lingkungan yang sangat antusias untuk menyampaikan pembelajaran baru mereka untuk kedua wali dan keluarganya sehingga meningkatkan kualitas hubungan antara perawat dan ibu Petrus .Konsekuensi bagi Peter:Peter mampu berpartisipasi dalam banyak kegiatan pagi dan kekakuannya menurun . Meskipun ia masih berisik pada kesempatan , kualitas interaksi dengan staf membaik . Setelah itu rutinitas pagi, waktu singkat santai, posisi istirahat memungkinkan dia untuk duduk lebih nyaman di kursinya dan terlibat dalam interaksi sosial lainnya . Ketika ia diberhentikan dari rumah sakit kelangsungan pendekatan dipertahankan oleh penggunaanpelatihan video .Pendekatan ini campuran , memberikan pengetahuan khusus sambil menjelajahi dan keyakinan yang mendasari menantang , memungkinkan pengembangan dan pertumbuhan rekan dan model prinsip-prinsip praktik rehabilitatif baik . Ini menciptakan lebih besar kepercayaan praktisi , menyediakan mereka dengan wawasan yang mengarah ke lebih baik hubungan dengan pasien dan keluarga mereka . Hal ini , pada gilirannya , memiliki manfaat tidak hanya untuk satu pasien tetapi juga untuk semua pasien masa depan yang melewati itu.

3. Tantangan: DisabilitasMasalah neurologi banyak terjadi dan bervariasi. Beberapa penyakit menetap sepanjang waktu seperti Multiple Sclerosis. Onset berbahaya menyebabkan sulit diantisipasi dan direncanakan dari hari ke hari dan dimasa mendatang. Perencanaan yan tepat melibatkan pengkajian kebutuhan individu dan keluarga.Faktor-faktor ini membuat sangat sulit untuk mengantisipasi dan berencana untuk kedua manajemen sehari- hari dan masa depan .Seperti banyak kondisi menjadi jelas atau terjadi pada usia dewasa muda, dampak perubahan mendadak dalam keberuntungan dan kesulitan dalam perencanaan untuk masa depan melampaui individu yang terkena dampak langsung . Hal ini dapat memiliki dampak yang signifikan pada keluarga individu . Oleh karena itu , perencanaan paket perawatan yang tepat membutuhkan penilaian tidak hanya dari kebutuhan individu tetapi juga kebutuhan keluarga. Perlu manajemen yang proaktif dengan peninjauan dan pengkajian ulang. Model praktik yang dikembangkan yaitu bekerja sama dengan individu dan keluarga . Tantangan yang dihadapi yaitu untuk mengatur potensi ketergantungan yang lama dengn cara memperomosikan otonomi diri dan mempertahankan batasan terapeutik

4. Kesempatan: Tim Kerja Yang TerintegrasiKata Tim dapat berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda . Meskipun berbeda, keuntungan bekerja dalam sebuah tim yang dibentuk yang berbagi dasar, hal ini tidak penting untuk kerja tim yang efektif . Bukti menunjukkan bahwa pendekatan tim sebagai cara kerja , juga sangat diterima oleh klien ( Oxtoby , 1999) .Manfaat utama yang diidentifikasi antara lain: Kontinuitas perawatan : tim menawarkan kontinuitas kontak, yang dapat menghindari duplikasi penilaian dan informasi . Pengembangan keahlian profesional : beberapa kondisi neurologis yang disebutkan relatif jarang dan variabel dalam tanda-tanda dan gejala mereka , sulit bagi dokter umum , perawat umum dan terapis untuk membangun pengetahuan khusus dan keahlian . Pendekatan tim memungkinkan untuk pengembangan keahlian tersebut dan dapat menawarkan sumber daya untuk Peningkatan dukungan untuk kedua klien dan pekerja tim : oleh penyediaan dukungan dan informasi yang mengakui dan membahas emosional ,aspek praktis dan sosial dari situasi individu , tim dapat membantu mencegah rasa putus asa yang sering dapat menyertai penyakit jangka panjang .

Clinical SupervisionModel yang memperkuat dukungan dalam tim serta meningkatkan praktik klinik dan profesional dengan mengatasi tantangan dan aspek emosional dalam bekerja. Bentuknya berupa proses formal dari pembelajaran dan dukungan profesional yang dapat mengembangkan pengetahuan dan kompetensi praktisi yang bertanggung jawab serta meningkatkan perlindungan dan keamanan konsumen.

Supervisi klinis kemudian didefinisikan sebagai : " proses formal dukungan profesional dan pembelajaran yang memungkinkan individu untuk praktisi mengembangkan pengetahuan dan kompetensi , bertanggung jawab atas praktek mereka sendiri dan meningkatkan perlindungan konsumen dan keamanan dalam situasi yang kompleks ' ( DH ,1993) . Ide supervisi klinis seperti dijelaskan di atas hanya dikembangkan selama 1980-an dan awal 1990-an akhir , yang telah diterima secara umum sebagai standar praktek dalam pekerjaan sosial dan psikoterapi . Masyarakat Tim Rehabilitasi ( CRT ) merasa bahwa kerangka kerja ini memiliki banyak manfaat untuk menawarkan , tidak hanya aspek mendukung tetapi juga kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan praktek profesional . Setelah CRT telah menyetujui model pengawasan kelompok dan aturan-aturan dasar yang akan digunakan, petugas kesehatan spesialis dicari fasilitator yang sesuai dari latar belakang psikologi klinis , yang akan mendukung proses dan memberikan wawasan Pengalaman kelompok . Keuntungan: Berkurangnya perasaan terisolasi Meningkatkan percaya diri dan kompetensi Kesempatan refleksi dalam membuat keputusan klinis Dapat berbagi ide Anggota tim Merasa didukung Anggota tim Merasa aman mengekasplorasi aspek emosi dari peran mereka

5. Tantangan: Pengkajian (assessment)Bukan pada prosedur pengkajian, tapi pada proses memahami, menginterpretasikan dan mengaplikasikan informasi yang disampaikan pasien.Mungkin mustahil untuk wawancara atau mendapatkan sejarah yang akurat dariindividu yang telah merugikan persepsi atau komunikasi , mengakibatkan kebingungan dan kesenjangan dalam pemahaman situasi .Pasien dengan gangguan kognitif yang kehilangan daya ingat dan pandangan dan mengakibatkan didapatnya riwayat yang salah. Perawat harus sadar akan hal ini dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis dan keterampilan interpesonal dengan observasi detail, pengkajian, dalam mendapatkan riwayat klien

6. Kesempatan : Pengembangan ProfesionalNeurorehabilitation menawarkan kesempatan untuk bekerja sama dengan spesialis dari berbagai disiplin ilmu lainnya (neurologist, orthopedist, urologist, gastroenteologist, psychologist dan consellor) menyediakan sumber ilmu untuk semua perawat rehabilitasi yang ingin memajukan keterampilan dan praktek mereka . Ada juga jalan yang lebih formal untuk profesional pembangunan dalam bentuk jalur pendidikan pasca - pendaftaran dan maju program pemeriksaan kesehatan . Ini adalah waktu yang menarik bagi perawat untuk memulai atas inisiatif baru .

B. Rehabilitasi Pasien Trauma Otak1. DefinisiTrauma kepala atau cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak (Brunner & Suddart, 2002). Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit.Rehabilitasi adalah proses kreatif, dinamis yang membutuhkan tim profesional yang bekerja bersama dengan pasien dan keluarga (Brunner & Suddart, 2002).Jadi, rehabilitasi trauma kepala merupakan suatu proses penyembuhan terhadap perawatan yang dilakukan secara khusus untuk penyembuhan atau pemulihan pada pasien yang mengalami trauma kepala.

2. Perawatan Klien Trauma KepalaCedera kepala fatal terjadi lebih dari 30% kasus sebelum tiba di rumah sakit karena keseriusan cedera. Sebagian orang meninggal karena cedera kepala sekunder. Cedera sekunder meliputi iskemia karena hipoksia dan hipotensi, hemoragi sekunder, dan edema serebral.Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala, penyebab lain mungkin adalah jatuh, pemukulan, kecelakaan. Cedera kepala diakibatkan dari kekuatan yang ditransmisikan ke kranium. Cedera dapat mengakibatkan kerusakan pada:1. Tengkorak tanpa cedera otak2. Otak tanpa kerusakan tengkorak3. Tengkorak dan otak

Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien trauma kepala (ringan, sedang, berat) secara komprehensif sesuai tingkat kemampuan klien. Tujuan prosedur perawatan adalah untuk memenuhi kebutuhan klien.Berikut adalah hal-hal yang dilakukan untuk tindakan keperawatan pada klien dengan trauma kepala :a. Membuat dokumentasi spesifik (mis. GCS).b. Memantau tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.c. Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit adekuat dengan : Mengukur masukan dan haluaran. Memperhatikan ketepatan volume cairan intravena untuk mencegah edema serebri. Melakukan pemeriksaan darah dan urine untuk mengobservasi gangguan regulasi natrium dan kalium. Memasang selang nasogastrik bila klien tidak bisa menelan. Memasang kateterisasi urine bila klien tidak sadar atau tidak dapat berkemih spontan.d. Memberikan pengobatan yang tepat sesuai dengan program pengobatan untuk mempertahankan tekanan intrakranial.e. Mengobservasi tanda vital, dan mengoreksi bila ada ketidaknormalan.f. Mengobservasi kebocoran cairan sumsum tulang belakang melalui hidung atau telinga : Menempelkan kapas pada hidung atau telinga. Meninggikan kepala 20-30 derajat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Menjaga agar klien tidak melakukan ver Valsava (bersin, batuk, mengejan).g. Menjaga keamanan dan keselamatan klien selama gelisah : Tidak melakukan pengikatan bila tidak perlu, gunakan papan pagar tempat tidur. Mempertahankan lingkungan tenang.h. Menjaga mata terhadap iritasi dari kornea (menutup kelopak mata dengan kasa basah).i. Menjalankan teknik rehabilitasi.

3. Rehabilitasi untuk Klien Trauma Kepalaa. Memberi posisi yang benar untuk mencegah kontraktur.b. Melakukan latihan rentang gerak.c. Mempertahankan kulit tetap kering, bersih, dan mencegah dekubitus.d. Meningkatkan aktivitas fisik dan mental.

Hal penting perlu diberikan untuk instruksi pemulangan bagi klien dengan cedera kepala dan orang terdekatnya.a. Membangunkan klien setiap 2 jam (selama 8 jam berikutnya) dan periksa tingkat kesadaran serta orientasi.b. Memberikan hanya cairan selama 8 jam pertama, kemudian lanjutkan pada diet reguler.c. Memberikan asetaminofen untuk sakit kepala. Bila obat yang lebih kuat diperlukan, hubungi dokter. (Catatan: tekankan hal ini, karena klien mungkin menggunakan narkotik karena penyakit sebelumnya dan harus memahami bahwa narkotik dikontraindikasikan pada cedera kepala).d. Memberi tahu dokter atau kembali ke unit kedaruratan bila ada hal berikut yang terjadi : satu atau kedua pupil dilatasi dan tidak reaktif, tingkat kesadaran menurun, terjadi konfusi atau peka rangsang, tidak dapat menggunakan lengan atau kaki, kejang, atau muntah terus menerus.e. Memberikan instruksi verbal dan tertulis.4. PencegahanUpaya pencegahan trauma kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :a. Pencegahan primerPencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma, seperti : Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt). Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anak-anak, seperti : meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai tidak licin, membuat pegangan pada kedua sisi tangga.

b. Pencegahan sekunderPencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang terjadi. Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.

AnamnesisSedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keluarga pasien ditanyakan apa yang terjadi.

Pemeriksaan fisik umumPada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur), soporokomo atau koma. Selain itu ditentukan pula Skala Koma Glasgow.

Pemeriksaan radiologisPemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah menggunakan foto rontgen polos, Compute Tomografik Scan (CT- Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI).

c. Pencegahan TersierPencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan penderita trauma kepala. Tujuan dari rehabilitasi setelah trauma kepala yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam masyarakat.

Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan penderita untuk berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma kepala untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi lingkungan tempat tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah. Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita yang mengalami gangguan psikologis, selain itu dukungan keluarga juga membantu proses penyembuhan psikis penderita.

5. Terapi Trauma KepalaRehabilitasi cedera otak melibatkan dua proses penting yaitu pemulihan fungsi yang dapat dipulihkan dan belajar bagaimana melakukan sesuatu yang berbeda ketika fungsi tidak dapat dikembalikan ke tingkat pra-cedera. Rehabilitasi trauma otak didasarkan pada sifat dan ruang lingkup neuropsikologi gejala diidentifikasi pada tes khusus yang dirancang untuk mengukur fungsi otak setelah cedera otak. Sementara praktek dalam berbagai tugas kognitif - melakukan masalah aritmatika, memecahkan teka-teki logika, keterampilan konsentrasi, atau membaca - dapat membantu rehabilitasi otak, ini biasanya tidak cukup.Rehabilitasi trauma otak harus dirancang dengan mempertimbangkan berbagai kekuatan dan kelemahan neuro-fungsional. Keterampilan dasar harus diperkuat sebelum keterampilan lebih kompleks ditambahkan. Hanya melalui analisis neuropsikologis yang komprehensif dapat efek yang mungkin banyak dari cedera otak diselesaikan. Pola kekuatan dan kelemahan fungsional menjadi dasar untuk merancang program rehabilitasi otak. Pemulihan otak berikut pola perkembangan otak. Sistem Bruto atau skala besar harus mengembangkan (atau dilatih kembali) sebelum sistem dengan baik. Perhatian, fokus, dan mengembangkan keterampilan persepsi (atau dilatih kembali) sebelum kegiatan intelektual yang kompleks dapat berhasil.1. Terapi KognitifMasalah kognitif dan komunikasi yang disebabkan dari cedera otak traumatik bervariasi dari orang ke orang. Masalah-masalah ini tergantung pada banyak faktor yang termasuk kepribadian seseorang, kemampuan preinjury, dan tingkat keparahan kerusakan otak.Fungsi kognitif mengacu pada apa atau berapa banyak (misalnya, Berapa banyak hal yang dia tahu? Apa yang bisa ia lakukan? Selama fungsi eksekutif utuh, seseorang dapat mempertahankan hilangnya kognitif yang cukup besar dan masih terus menjadi independen, konstruktif melayani diri sendiri, dan produktif.Ketika fungsi eksekutif terganggu. individu mungkin tidak lagi mampu memuaskan perawatan diri, melakukan pekerjaan yang menguntungkan atau berguna pada nya sendiri, atau mempertahankan hubungan sosial yang normal terlepas dari seberapa baik dialami adalah kapasitas kognitifnya atau seberapa tinggi nya skor pada tes kemampuan, pengetahuan, dan kemampuan.Selain itu, defisit kognitif biasanya melibatkan fungsi-fungsi khusus atau area fungsional; penurunan fungsi eksekutif cenderung muncul secara global, yang mempengaruhi semua aspek perilaku.Fungsi eksekutif terdiri dari kapasitas mereka yang memungkinkan seseorang untuk terlibat dalam perilaku independen, purposive, melayani diri sendiri dengan sukses. Mereka berbeda dari fungsi kognitif pada beberapa cara. Pertanyaan tentang fungsi eksekutif bertanya bagaimana atau apakah seseorang pergi tentang melakukan sesuatu . (Sumber: Dr Muriel Lezak, Penilaian Neuropsikologi)Efek dari kerusakan otak umumnya paling besar segera setelah cedera. Namun, beberapa efek dari cedera otak traumatis dapat menyesatkan. Otak yang baru terluka sering mengalami kerusakan sementara misalnya pembengkakan dan suatu bentuk "lebam" yang disebut kontusio . Jenis kerusakan ini biasanya tidak permanen dan fungsi wilayah yang oleh otak kembali setelah pembengkakan atau memar hilang. Oleh karena itu, sulit untuk memprediksi secara akurat tingkat masalah jangka panjang dalam minggu-minggu pertama setelah cedera otak traumatis.Kerusakan fokal, bagaimanapun, dapat mengakibatkan jangka panjang, kesulitan permanen. Perbaikan dapat terjadi sebagai area lain dari otak belajar untuk mengambil alih fungsi kawasan yang rusak. Otak anak-anak jauh lebih mampu fleksibilitas ini daripada otak orang dewasa. Untuk alasan ini, anak-anak yang menderita trauma otak mungkin maju lebih baik dari orang dewasa dengan kerusakan yang sama.Sedang sampai luka parah, pembengkakan dapat menyebabkan tekanan pada bagian bawah otak yang disebut batang otak , yang mengontrol kesadaran atau terjaga. Banyak orang yang menderita jenis cedera berada dalam keadaan tidak sadar disebut koma . Seseorang dalam keadaan koma mungkin sama sekali tidak responsif terhadap semua jenis rangsangan seperti suara keras, nyeri, atau bau.

Orang lain mungkin bergerak, membuat kebisingan, atau menanggapi rasa sakit tetapi tidak menyadari lingkungan mereka. Orang-orang ini tidak dapat berkomunikasi. Beberapa orang sembuh dari koma, menjadi alert dan mampu berkomunikasi.Pada individu yang sadar, gangguan kognitif sering termasuk memiliki masalah berkonsentrasi untuk berbagai periode waktu, mengalami kesulitan mengorganisir pikiran, dan menjadi mudah bingung atau pelupa. Beberapa individu akan mengalami kesulitan mempelajari informasi baru. Yang lain tidak akan dapat menafsirkan tindakan orang lain dan karena itu memiliki masalah besar dalam situasi sosial. Untuk orang-orang ini, apa yang mereka katakan atau apa yang mereka lakukan adalah sering tidak sesuai untuk situasi. Banyak akan mengalami kesulitan memecahkan masalah, membuat keputusan, dan perencanaan. Penghakiman sering terpengaruh.

2. Terapi WicaraMasalah bahasa juga bervariasi Masalah sering termasuk.: Kesulitan menemukan kata. Pembentukan kalimat yang tidak sempurna. Apabila menyebutkan kalimat yang panjang akan mudah rancu atau rusak.

Individu dengan cedera otak traumatis sering tidak menyadari kesalahan mereka dan dapat menjadi frustrasi atau marah dan menyalahkan kesulitan komunikasi untuk pada orang kepada siapa mereka berbicara. Membaca dan menulis kemampuan sering lebih buruk daripada berbicara dan memahami kata-kata yang diucapkan. Kemampuan matematika sederhana dan kompleks sering terpengaruh.Pidato dilakukan oleh orang yang memiliki cedera otak traumatis mungkin lambat, cadel, dan sulit atau tidak mungkin untuk memahami jika area otak yang mengendalikan otot-otot mekanisme bicara yang rusak. Jenis masalah pidato disebut disartria. Individu ini juga mungkin mengalami masalah menelan. Ini disebut disfagia . Orang lain mungkin memiliki apa yang disebut apraxia berbicara, suatu kondisi dimana kekuatan dan koordinasi otot-otot pidato yang utuh tetapi kesulitan pengalaman individu mengucapkan kata-kata dengan benar dengan cara yang konsisten.Misalnya, seseorang mungkin berulang kali tersandung pada kata "besok" ketika diminta untuk mengulanginya, tapi kemudian bisa mengatakan itu dalam sebuah pernyataan seperti, "Saya akan mencoba mengatakannya lagi besok."

Penilaian masalah kognitif dan komunikasi adalah proses, terus-menerus berkelanjutan yang melibatkan sejumlah profesional. Segera setelah cedera, seorang ahli saraf (dokter yang spesialisasi pada gangguan sistem saraf) atau dokter yang lain mungkin melakukan evaluasi, informal samping tempat tidur. Perhatian Ingatan Dan kemampuan untuk memahami dan berbicara.

Setelah kondisi fisik orang tersebut telah stabil, sebuah pidato bahasa patolog dapat mengevaluasi kemampuan kognitif dan komunikasi, dan neuropsikolog dapat mengevaluasi kemampuan kognitif dan perilaku lainnya. Terapis okupasi juga menilai kemampuan kognitif yang berkaitan dengan kemampuan individu untuk melakukan "aktivitas hidup sehari-hari" (ADL) seperti berpakaian atau menyiapkan makanan. Seorang audiologist harus menilai pendengaran. Semua penilaian terus pada interval yang sering selama proses rehabilitasi sehingga kemajuan yang dapat didokumentasikan dan rencana perawatan diperbarui. Proses rehabilitasi dapat berlangsung selama beberapa bulan sampai satu tahun.

6. Rehabilitasi Kognitif dan Komunikasi Untuk Pasien Trauma KepalaMasalah kognitif dan komunikasi cedera otak traumatik paling baik ditangani awal, sering dimulai ketika orang tersebut masih tetap di rumah sakit. Terapi awal sering akan berpusat pada peningkatan keterampilan kewaspadaan dan perhatian. Mereka akan fokus pada peningkatan orientasi orang, tempat, waktu, dan situasi, dan pemahaman pembicaraan merangsang. Terapis akan memberikan latihan motorik oral dalam kasus dimana individu memiliki pidato dan masalah menelan.Rehabilitasi jangka panjang dapat dilakukan secara individu, kelompok, atau keduanya, tergantung pada kebutuhan individu. Terapi ini sering terjadi pada fasilitas rehabilitasi yang dirancang khusus untuk pengobatan individu dengan cedera otak traumatis.Jenis pengaturan memungkinkan untuk terapi intensive oleh pidato bahasa patolog, ahli terapi fisik, okupasi terapis, dan neuropsychologists pada saat individu yang terbaik yang dapat manfaat dari terapi intensif.Individu lain mungkin menerima terapi di rumah dengan mengunjungi terapis atau secara rawat jalan di rumah sakit, pusat medis, atau fasilitas rehabilitasi. Tujuan dari rehabilitasi adalah untuk membantu kemajuan individu untuk tingkat yang paling independen.Bagi beberapa, kemampuan untuk mengekspresikan kebutuhan secara verbal dalam hal sederhana dapat menjadi gol. Bagi yang lain, tujuannya mungkin untuk mengekspresikan kebutuhan dengan menunjuk ke gambar. Bagi yang lainnya lagi, tujuan dari terapi mungkin untuk meningkatkan kemampuan untuk mendefinisikan kata atau menggambarkan konsekuensi dari tindakan atau peristiwa.Terapi akan fokus pada mendapatkan kembali keterampilan yang hilang serta belajar cara untuk mengimbangi kemampuan yang telah berubah secara permanen karena cedera otak. Kebanyakan individu merespon terbaik untuk program disesuaikan dengan latar belakang dan kepentingan mereka. Program terapi yang paling efektif melibatkan anggota keluarga yang terbaik dapat memberikan informasi ini. Dengan bantuan komputer program telah berhasil dengan beberapa individu.

Penelitian yang sedang dilakukan untuk Masalah Kognitif dan Komunikasi Akibat Trauma Cedera Otak : Para peneliti sedang mempelajari banyak hal terkait dengan kognitif khusus dan masalah komunikasi yang dialami oleh individu yang memiliki cedera otak traumatis. Para ilmuwan merancang alat evaluasi baru untuk menilai masalah-masalah khusus bahwa anak-anak yang menderita cedera otak traumatis. Karena otak seorang anak sangat berbeda dari otak orang dewasa, para ilmuwan juga meneliti efek dari berbagai metode pengobatan yang telah dikembangkan secara khusus untuk anak-anak. Strategi-strategi baru termasuk penggunaan program komputer. Selain itu, penelitian ini menguji efek beberapa obat pada pemulihan berbicara, bahasa, dan kemampuan kognitif setelah cedera otak traumatis.

C. Pasien Cidera Medula Spinalis1. DefinisiCedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis, (Brunner & Suddarth, 2001). Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338). Cidera medula spinalis adalah kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan di dalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai kehilangan motorik total dan campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik.Cedera medula spinalis dapat dibagi komplet dan inkomplet berdasarkan ada atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi (Young, 2002 dalam Pinzon, 2007). Status fungsional dan kemandirian pasien dapat ditingkatkan serta morbiditas dapat diturunkan dengan program rehabilitasi terpadu yang melibatkan multidiplin kesehatan, yakni dokter, perawat, fisioterapis, occupational therapist, speech and language pathologist (Black and Hawk, 2009).Rehabilitasi pada pasien cedera medula spinalis biasanya dilakukan di unit perawatan neurologi dengan lama hari rawat/length of stay (LOS) yang panjang akibat disabilitas dan berbagai komplikasi yang terjadi. Salah satu upaya untuk mengurangi hal tersebut dengan tetap mempertahankan kualitas pelayanan, cost effective, dan untuk mendukung perawatan berkelanjutan di rumah adalah dengan pendekatan telemonitoring.

Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.

Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyakpihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.4

Dosis metilprednisolon 30 mg/kgBB diberikan secara bolus IV dalam 8 jam setelah cedera, di ikuti dengan dosis maintenace 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Metilprenidsolon menghambat lipid peroxidase dan hidrolisis yang menghambat destruksi membran sel. Kerusakan membransel mencapai puncaknya kira-kira 8 jam dan alasan inilah mengapa harus diberikan dalam waktu tersebut.2 Lipid peroksidasi mengacu pada degradasi oksidatif lipid . Ini adalah proses di mana radikal bebas "mencuri" elektron dari lipid pada membran sel , mengakibatkan kerusakan selPrinsip tatalaksana dapat diringkaskan sebagai berikut: Segera imobilisasi dan diagnose dini Stabilisasi daeerah tulang yang mengalami trauma Pencegahan progreivitas gangguan medulla spinalis Rehabilitasi dini

Pada penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada daerah servikal harus difiksasi degan kerah servikal(cervical collar). Bila kerah tidak tersedia , maka kepala dan leher difiksasi (imobilisasi) dengan menggunakan bantal pasir pada sisi kanan dan kiri kepala serta leher, sedangkan penderita dibaringkan dalam posisi terlentang pada alas yang keras(papan). Sewaktu penanggulanganawal dimulai , oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat pada medulla spinalis dipertahankan. Perhatian yang besra ditujuakan untuk mempertahankan jalan nafas.

Bila tekanan oksigen medulla spinalis atau aliran darah berkurang . maka lesi medulla spinalis akan memburuk. Pemeberian cairan secar intravena segera dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.

Trauma medulla spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot- otot interkostal. Oleh karena itu dapatterjadi gangguan pernafasan bahkan kadang kala apneu. Bila perlu dilakuka inkubasi nasotrakeal(hindari fleksi dan ekstensi yang berlebihan) bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita.Pada trauma servikal, hilangnya control vasomotor menyebabkan pengumpula darah di pembuluh darah di abdomen , anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi , menyebabkan timbulnya hipotensi.

Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut.Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernafasan . secepat mungkin diruang gawat darurat dilakukan pemasangan kateter foley sebab retensio urin akan berkembang dalam waktu beberapa jam. Perawatan yang baik perlu untuk mencegah timbulnya efek infeksi mtraktus urinarius.

Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema. Kemudian bila periltastik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat digantidengan supositoria. Penderita harus sering diperhatikan ada/ tidaknya fekalit. Untuk mencegah timbulnya dekubitus perlu dilakukan alih baring tiap 2 jam.

Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema medulla spinalismasih controversial.bila hendak diberikan dapat dipakai deksametason. Bila timbul spastisitas dapat digunakan diazepam,baklofen dan dantrolen sodium untuk mengatasinya.

Penanganan lanjut dari cedera medulla spinalis adalah : Pemeriksaan diagnostik seperti : CT-scan, foto thoraxMempertahankan traksi fraktur Terapi okupasi, semacam membuat kerajinan-kerajinan yang bertujuan untuk meningkatkan gerak. Biasanya pasien dengan cedera medulla spinalis melakukan latihan ROM pasif.

Latihan fisik untuk pasien dengan cedera medula spinalis : Memperbaiki mobilitas seperti kaki diposisikan terhadap papan kaki yang diberi bantalan untuk mencegah foot drop. Harus ada ruang antara ujung matras dan papan kaki untuk memungkinkan suspensi bebas tumit. Blok kayu pada kedua ujung matras mencegah matras mendorong papan kaki. Membalikkan pasien (logroll) setiap 2 jam indikasi pada pasien yang mengalami hipotensi akibat adanya lesi di atas ketinggian midtorakanl yang mengalami kehilangan kontrol aktivitas vasokontriktor simpatis. Meningkatkan aktivitas pada pasien yang mengalami paralisis karena pemutusan komplet medulla. Makin cepat otot menjadi kuat, makin sedikit kemungkinan terjadi atrofi. Misalnya seperti berdiri, untuk mencegah perubahan osteoporosis yang terjadi pada tulang panjang. Adanya program latihan otot-otot lengan,bahu, tangan, dada, tulang belakang.

Salah satu efek dari cedera medulla spinalis adalah disfungsi seksual. Efek yang dapat terjadi berupa perubahan pada fungsi seksual, kemampuan secara biologis untuk memiliki anak, problem emosional yang berdampak pada performa seksual. Terapi yang dapat dilakakukan seperti

Pada priaObat-obatan untuk Disfungsi Ereksi :

1. Obat-obat oral: sildenafil (Viagra), tadalafil (Cialis), vardenafil (Levitra)2. Toleransi cukup baik pada penyandang CMS3. Obat-obatan hanya meningkatkan aliran darah untuk memperbaiki kualitas ereksi4. Obat-obatan tidak menyebabkan ereksi!5. Tetap diperlukan rangsangan seksual untuk mencapai ereksi

Hati-hati Menggunakan Obat untuk Disfungsi Ereksi1. Obat-obatan disfungsi ereksi dapat berbahaya bila pasien memiliki kondisi medis tertentu2. Memerlukan pemeriksaan dokter sebelum diresepkan3. Efek dapat dipengaruhi oleh level cedera saraf tulang belakang

Risiko Terapi Disfungsi Ereksi pada Pasien Pasca CMS1. Priaprimus : kondisi medik yang ditandai dengan masa ereksi yang memanjang. Dapat merusak jaringan penis & nyeri. Efek jangka panjang: hilangnya kemampuan ereksi. Harus segera mendapat pertolongan bila ereksi terjadi lebih dari 4 jam.2. Autonomic dysreflexia : Kondisi yang mengancam nyawa. Dapat terjadi pada level cedera T6 atau lebih. Tanda-tanda: tekanan darah meningkat tinggi, jantung melambat. Gejala: kemerahan di wajah (flushing), nyeri kepala, hidung tersumbat, penglihatan berubah. Gejala-gejala mirip atau mungkin saja merupakan efek samping obat

Kesuburan dan Kemampuan Memiliki Anak1. Banyak pria yang memiliki kesulitan untuk mendapatkan anak melalui hubungan seksual (ada sebagian kecil yang bisa)2. Masalah utama adalah ketidak-mampuan ejakulasi3. Sekitar 90% pria sulit mencapai ejakulasi (anejaculation)4. Masalah lain: ejakulasi retrograde(sperma & air mani tidak keluar, namun masuk ke kandung kencing)5. Kualitas air mani umumnya kurang6. Jumlah sperma umumnya normal, namun motilitas (pergerakan) sperma dalam cairan mani umumnya rendah (20% kemampuan)7. Penyebab tidak diketahui, mungkin berhubungan dengan level cedera, usia, lamanya periode pasca cedera, dan frekuensi mengalami ejakulasi

Terapi Fertilitas Pada PriaInseminasi Buatan:1. Untuk pasca cedera akut: cairan sperma segera diambil dalam periode 6-12 hari pasca cedera, selagi kualitas sperma masih baik (bank sperma)2. Untuk kasus lanjut: penggunaan alat untuk mencapai ejakulasi :a) Penile Vibratory Stimulation (PVS / vibrator)b) Rectal Probe Electroejaculation (RPE)

Fungsi Seksual pada Wanita Partisipasi hubungan seksual umumnya lebih rendah dibanding sebelum CM Perubahan fisiologis pasaca CMS mempengaruhi siklus respon seksualnya, dan dipengaruhi oleh level neurologisnya

Perubahan Secara Ginekologis Perubahan hormonal yang tidak stabil hingga 3 -6 bulan pasca cedera Dapat mempengaruhi:Siklus haid: tidak haid, perdarahan memanjang, siklus memendek, dst. Fertilitas (kesuburan): kemampuan untuk memiliki anak Umumnya setelah 6 bulan, kondisi hormonal kembali stabil / normal

Respon Seksual secara Faali1. Fase rangsangan: Terdiri dari lubrikasi (basah) dan pembesaran klitoris Dipersarafi oleh parasimpatis (S2 S4)2. Fase orgasme: Kontraksi ritmik organ dalam rahim dipersarafi oleh simpatis (T10 L1) Fase final (mirip dengan ejakulasi pada pria) dipersarafi oleh parasimpatis dan saraf tubuh (somatik)

Studi Respon Seksual Pasca CMS1. Wanita dengan cedera inkomplit atau komplit dapat mencapai lubrikasi secara reflex2. Lebih sulit mencapai orgasme dibanding non-CMS3. Bagaimanapun pencapaian orgasme tidak terkait level cedera maupun derajat beratnya (komplit / inkomplit)

Fenomena Seksual Pasca CMS1. Wanita dapat mengalami paraorgasme: suatu perasaan puas yang sangat (intens) di atas level cedera2. Daerah sensitif seperti leher atau payudara dapat menjadi zona erogen untuk pemuasan seksual

Potensi Masalah Wanita dalam Hubungan Seks1. Tidak dapat menahan kencing (inkontinensia)2. Refleks buang air besar yang tidak diinginkan (unwantedbowel reflexes)3. Potensi autonomic dysreflexia (cedera setinggi T6 ke atas)

Perhatian Khusus1. Berbagai potensi masalah perlu didiskusikan, terutama kepada pasien sendiri2. Bila tidak terjadi lubrikasi, dapat menggunakan jelly khusus3. Obat-obat pencegah (profilaksis) antispastisitas atau obat-obat autonomic dysreflexia mungkin perlu diminum sebelum hubungan seks4. Sebaiknya mengosongkan kandung kemih dan saluran cerna sebelum berhubungan seks

Kontrol Kehamilan1. Tidak semua alat atau metode kontrol kehamilan aman2. Pilihan terbanyak: kondom (oleh pasangan), sterilisasi permanen3. Perlu hati-hati (paling sedikit dipilih): kontrasepsi oral. Hati-hati dengan kombinasi kontrasepsi yang mengandung kadar estrogen tinggi!Risiko: trombosis vena dalam, infark jantung

Amankan Untuk Hamil ?1. Pada dasarnya kemampuan untuk hamil tidak terganggu2. Stratifikasi risiko untuk menentukan keamanan kehamilan (konsultasi dulu dengan dokter)3. Masalah medis seperti: buang air kecil, buang air besar, masalah kulit, kebugaran jantung dan pernapasan (masalah utama yang sering muncul)4. Masalah terkait tingginya level cedera:autonomic dysreflexia (lesi >T6

BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanDua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.Cidera medulla spinalis merupakan suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 atau di bawahnya dan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemihCedera medulla spinalis terbagi menjadi:-Cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk,-Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik dan kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50% Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada.Rehabilitasi pada pasien cedera medula spinalis biasanya dilakukan di unit perawatan neurologi dengan lama hari rawat/length of stay (LOS) yang panjang akibat disabilitas dan berbagai komplikasi yang terjadiPrinsip tatalaksana rehabilitasi terhadap klien cedera medulla spinalis: Segera imobilisasi dan diagnose dini Stabilisasi daeerah tulang yang mengalami trauma Pencegahan progreivitas gangguan medulla spinalis Rehabilitasi diniPemberian Terapi pada cedera medula spinalis ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris.

DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol 2 Ed 6. Jakarta: EGC.Jester, Rebeca. 2007. Advanced Rehabilitation Nursing. United Kingdom: Blackwell Publishing.Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

http://www.alternativestemcells.com/id/stroke-cedera-otak/apa-itu-cedera-otakhttp://www.slideshare.net/raymondposuma/tbi-rehab-upload-slideshare