Makalah Etika Keperawatan Hartono

42
ETIKA KEPERAWATAN PADA EUTANASIA Disusun oleh : WAHYU UJI PRASETYO PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN (NON REGULER)

description

ETIKA KEPERAWATAN BINA PERMATA MEDIKA

Transcript of Makalah Etika Keperawatan Hartono

Page 1: Makalah Etika Keperawatan Hartono

ETIKA KEPERAWATAN PADA EUTANASIA

Disusun oleh :

WAHYU UJI PRASETYO

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN (NON REGULER)

BINA PERMATA MEDIKA

TANGERANG

2015

Page 2: Makalah Etika Keperawatan Hartono

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan

tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit

atau keadaan tertentu. Di jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-

kasus eutanasia, baik yang terekspose maupun yang tersembunyikan. Terdapat

dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang

sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia

jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,

namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk

menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu

menyiksa.

Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang

dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan

prosedur eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui

prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain,

pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar

hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan

eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan

eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye

anti eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan

bahwa praktek eutanasia memang masih kerap terjadi.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia,

mengenai pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan

juga pandangan beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan

eutanasia serta hukum terkait eutanasia.

Page 3: Makalah Etika Keperawatan Hartono

1.2  Tujuan

Adapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:

a. Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia?

b. Pembaca mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?

c. Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?

d. Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?

e. Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di

dunia?

f. Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap praktek

eutanasia?

Page 4: Makalah Etika Keperawatan Hartono

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1    Pengertian

        Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan

Thanatos yaitu mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang

mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga

dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Hal ini menjadi unsur utama hak

asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut.

Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya

dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas

pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan

yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan

etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep

kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara

etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi

kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.

2.2 Sejarah Euthanasia

Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam

manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun

400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak

akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun

meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang eutanasia di

atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates

adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah

memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di

Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di

Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula

oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat

dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.

Page 5: Makalah Etika Keperawatan Hartono

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada

tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada

pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan

eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss

sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari

pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang

mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan

berdasarkan belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan

kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur

3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan

lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan

nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak

usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan

eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap

eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara

tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia).

Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler,

menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu

bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa

kepada semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang

cukup menarik terkait dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu

kala, berikut sedikit uraiannya: 

a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-

orang tua ke dalam sungai Gangga.

b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya

di zaman purba.

Page 6: Makalah Etika Keperawatan Hartono

c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-

undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.

d. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan

kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai

kejahatan khusus.

e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan

eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya

dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.

f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para

anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan

persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada

beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam

praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan

tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan

eutanasia pasif.

2.3      Klasifikasi

   A.   Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:

 

Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang

sakit.

Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan

kematian segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan

jiwa yang tidak menunjang.

Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang

lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma

medis.

Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan

tertentu dan alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan

bunuh diri.

Page 7: Makalah Etika Keperawatan Hartono

Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan

meringankan  penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak

yang punya hak untuk mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan

pembunuhan, tetapi agak berbeda pengertiannya karena tindakan ini

dilakukan atas dasar belas kasihan

B.  Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran

dan staf pengajar   pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian

Pikiran Rakyat   mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan

menjadi: 

Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter

atau tenaga  kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri

hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan

zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.

Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara

sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat

memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan

oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau

tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan

melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan

keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia

dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.

Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan

sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu

akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan

tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).

Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas

sendiri (APS).

C.     Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga

kategori:

Page 8: Makalah Etika Keperawatan Hartono

Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan

secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan

lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien.

Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa

yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu

contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis

(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi

dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk

menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa

penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah

"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada

dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien

yang bersangkutan.

    Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif

yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri

kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan

pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara

sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen

bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan

antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang

seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat

penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan

kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh

kebanyakan rumah sakit.

2.4 Pendapat Ahli

Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa

penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap

Page 9: Makalah Etika Keperawatan Hartono

penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk

bisa sembuh.

Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan

memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani

bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat

tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan

Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan

sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup

seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek

atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus

untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

2.5 Pandangan Agama

       A. Menurut Ajaran Agama Islam

  Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal, baik, atau sehat, dan

‘thanatos’ yang artinya mati. Secara harfiah istilah ini berkonotasi positif, yaitu

mati secara baik (dan mudah), tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya

euthanasia merupakan dambaan dan harapan setiap setiap pemeluk aliran

kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut dengan mati

yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia mengakhiri

kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk mengakhiri

penderitaannya.

    Dalam agama Islam atau hukum apapun, masalah kematian adalah suatu

keniscayaan, hanyalah Tuhan yang punya kewenangan terhadap hidup

makhluknya. Dengan demikian, manusia tidak diberi hak atau wewenang dalam

mengakhiri hidup seseorang.

   Islam sangat menghargai jiwa. Banyak ayat al Quran maupun hadist nabi yang

mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia. Oleh

Page 10: Makalah Etika Keperawatan Hartono

karenanya, seseorang tidak diperkenankan melenyapkan hidup seseorang.

Manusia dilarang memperlukakan jiwa manusia dengan tidak hormat. Tindakan

menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan

aturan pidana Islam.

    Secara normative, memudahkan proses kematian secara aktif ( Euthanasia Aktif

) tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab berarti dokter melakukan tindakan aktif

dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui

pemberian obat secara overdosis. Dengan demikian dokter telah melakukan

tindakan pembunuhan, baik dengan penghentian pengobatan, pemberian racun

yang keras, penyengatan listrik, dan lain-lain. Dalam segi agama, perbuatan

tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan meskipun factor

yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud

meringankan rasa sakitnya. Selain itu, euthanasia aktif maupun auto-euthanasia

tidak diperbolehkan, karena alasan sebagai berikut:

1.    Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter karena tidak tahan lagi

menderita sakit, karena jenis penyakit ini teralu kronis/ gawat dan telah

lama dialami, maka ia meminta kepada dokter untuk melakukan

euthanasia. Pertimbangan lain karena pasien sadar bahwa beban

pengobatannya sangat besar bagi keluarganya. Atau pasien menyadari

bahwa ajalnya sudah sangat dekat, harapan sembuhnya kecil, sehingga

pasien meminta dirinya dilakukan euthanasia. Hal ini tidak boleh

dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri dalam agama

apapun adalah terlarang.

2.    Dari pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien,

apalagi jika pasien tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.

3.    Kemungkinan lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama

dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien karena suatu factor

amoral, jelas ini merupakan suatu pembunuhan.

Page 11: Makalah Etika Keperawatan Hartono

    Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih

dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama

menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunah, wajib, mubah, atau

haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun apabila

pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara

meminum obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan

lain sebagainya dalam waktu yang relative lama tetapi penyakitnya tidak

mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu tidak wajib dilakukan,

dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses pengobatannya.

    Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli

dengan unsure membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada

tindakan aktif dari dokter, tetapi, dokter hanya meninggalkan sesuatu yang

bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh agama bila pihak

keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk

meringankan beban pasien dan keluarganya.

     Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma

misalnya, hal tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk

kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam pernapasan dan peredaran

darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien sudah

seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan

tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah

rusak. Membiarkan pasien dalam keadaan demikian hanya akan

menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan

alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih bisa

mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya

akan membuat keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi

seperti ini,medis diperbolehkan melepas seluruh instrument yang dipasang

pada seseorang meskipun jantungnya masih berdenyut, karena

berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.

Page 12: Makalah Etika Keperawatan Hartono

B. Dalam ajaran gereja Katolik Roma

    Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk

memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka

yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja

mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya

menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi,

melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang

hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan

menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran

iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia")

yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin

meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya

promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus

Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek

eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang

memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari

`budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang

meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II

juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru,

belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut

menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang

penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).

C. Dalam ajaran Agama Hindu

Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran

tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi

murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang

buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai

akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang

"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu

Page 13: Makalah Etika Keperawatan Hartono

tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti

kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu

perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa

perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat

reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah

merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang

lebih baik dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh

diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada

didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai

masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya

umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga

60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu

maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia

akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk

menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi

dari awal.

D. Dalam ajaran Agama Buddha

Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan

dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah

merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di

atas maka nampak jelas bahwa eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak

dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran

Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian

seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah

utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada

siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan

kehidupan seseorang tersebut.

Page 14: Makalah Etika Keperawatan Hartono

E. Dalam ajaran Gereja Ortodoks 

Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang

beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian

dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan

kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri

adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu

adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan

yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat

terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.

F. Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki

pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang

yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai

denominasi tersebut misalnya :

Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya

menyatakan bahwa: 

            " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang

kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat

dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong

kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup

pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".

Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi

sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan

fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-

sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan

atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang

unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya

Page 15: Makalah Etika Keperawatan Hartono

bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke

kehidupan yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa

apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu

pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi

dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi

masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy

killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian

Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan

dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

2.6    Aspek Hukum Euthanasia di Indonesia

     Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur

tentang euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab

undang-undang hukum pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara

tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan pasal 344 KUHP.

Pasal 304 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam

kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau

pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena

menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau

denda paling banyak empat ratus ribu rupiah.

Catatan.

Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman

pidananya lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia

seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2.

Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam

bab XV KUHP tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.

Page 16: Makalah Etika Keperawatan Hartono

Pasal 306 KUHP

Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304

mengakibatkan orang mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.

Pasal 344 KUHP

Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri,yang disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh

sungguh,dihukum penjara paling lama 12 tahun.

Catatan

Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindkan euthanasia aktif,karena

ada tindakan menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam kaitannya baik dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa

permintaan terdapat ketentuan dalam pasal pasal berikut.

Pasal 388 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja nyawa orang lain,dihukum karena makar

mati,dengan penjara paling lama 15 tahun”.

Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu

menghilangkan nyawa orang lain,dihukum,karena pembunuhan yang

direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara

sementara paling lama 20 tahun

Pasal 359 KUHP

     Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum

penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun

Pasal 345 KUHP

     Barang siapa dengan sengaja mengasut orang lain untuk bunuh

diri,membantunya dalam perbuatan itu,atau memberikan daya upaya itu jadi

Page 17: Makalah Etika Keperawatan Hartono

bunuh diri,dihukum penjara selama lamanya 4 tahun. Kepustakaan menyebutkan

adanya 2 pendapat mengenai hubungan dokter dengan pasien dalam kaitannya

dengan permasalahan mengenai nyawa.pendapat pertama yang di dukung oleh

Van Hamel Noyon Langemayer, Simon, Pompe, dan Hazewinkel Suringa, yang

menyatakan bahwa :

    Niat yang secara sadar tanpa tujuan tertentu untuk membunuh atau

mengakibatkan derita bukan merupakan tujuan dari tindakan medis tertentu yang

dilakukan oleh dokter.

   Pendapat kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan

Fonsdekker yang mengatakan bahwa oleh karenanya maka justru persetujuan dari

orang dirawat yang dipakai sebagai ukuran apakah suatu perbuatan itu

bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua bertujuan pasien merupakan satu

satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang dokter

(Koeswadjie,1996)

  Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa

KUHP,tidak dapat sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-

kesehatan.

    Baik dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern

keluarga.apabila keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter

harus mempunyai bukti berupa sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda

tangan dan saksi dari pihak keluarga apabila keluarga betul-betul menghendaki

tindakan itu misalnya karena alasan ekonomi dan lain lain.

Namun demikian apabila hal itu dilakukan dengan alasan daya

paksa,maka hal tersebut dapat dimanfaatkan berdasarkan pasal48 KUHP, yang

berbunyi:barang siapa yang melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu

kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh dihukum.saat ini kasus euthanasia

masih merupakan suatu dilemma, karena di Indonesia hak untuk mati masih

belum ada.

Page 18: Makalah Etika Keperawatan Hartono

2.7 Hukum Eutanasia di berbagai belahan Negara

A. Belanda

     Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang

mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak

tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di

dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit

menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

    

     Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda

secara formal eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai

perbuatan kriminal.

     

     Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam

majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,

halaman melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda

dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan

mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah

mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan

membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

     Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para

dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi

kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,

sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang

belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus

tertentu tidak akan dihukum.

B. Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September

2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia

setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia

Page 19: Makalah Etika Keperawatan Hartono

diNegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan

eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan

"birokrasi kematian".

Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah

Belanda dan Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari

partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang

tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan

psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan

kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya

C. Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di

dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski

reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima

UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien

terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret

1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

D. Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat

ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit

mengizinkan pasien terminaln ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)

mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997

melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan

UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi

undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia.

Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18

tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan

akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga

kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari

diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi

tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus

Page 20: Makalah Etika Keperawatan Hartono

mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa

pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan

mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk

mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang

dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga

simpanan hari tuanya.

        

         Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di

masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara

bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di

Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon

selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup

(Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya

euthanasia. 

E. Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan

berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari

rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan

tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia

dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana

selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite

hukum Negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut

dihapus dari rancangan tersebut.

F. Cina

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia

diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama

"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap

ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang

melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi

rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun

Page 21: Makalah Etika Keperawatan Hartono

2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada

kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya

eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.

Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan

Page 22: Makalah Etika Keperawatan Hartono

BAB III

ANALISA SITUASI

3.1   Kasus terkait 1

Pada suatu publikasi besar – besaran, persidangan yang digelar di

Massachusetts (Commonwealth v. Anne Capute [1982]), seorang perawat praktik

berlisensi disebuah rumah sakit mendapat tuduhan pembunuhan. Jaksa penuntut

menuduh Perawat Capute berniat membunuh pasien ketika ia memberikan 195mg

morfin sesuai instruksi dokter untuk menghilangkan nyeri pasien pada satu kali

pemberian dalam periode 8 jam. Jaksa penuntut berpendapat bahwa jumlah

morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian pasien dan

bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.

Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita

penyakit terminal yang menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan

dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, jika terbukti bersalah, Capute

menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin untuk membantu

pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien

karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.

Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni

bahwa kematian pasien disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan

bebas dari tuntutan pembunuhan. 

3.2           Kasus terkait 2

Pada 1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters

mengesahkan euthanasia atau yang disebut juga bunuh diri- dibantu (assisted-

suicide). Namun, penetapan hukum pengadilan mengenai hal ini masih ditunda.

Oregon voters berpendapat bahwa dokter atau tenaga medis lain berhak mencari

alternative lain untuk meringankan rasa sakit bagi pasien yang sakit parah dan

memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa pasien berhak

menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan

tindakan euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya.

Page 23: Makalah Etika Keperawatan Hartono

Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan ‘bantuan bunuh diri’

(euthanasia) lebih dari 130 pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk

para juri yang berhasil membebaskan dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan

pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr. Kevorkian memperoleh pengakuan legal

dan etik.

Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan

pengakuan bahwa ia memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan

menunjukan video rekaman bagaimana ia melakukannnya. Pasien tersebut yang

mengidap penyakit Lou Gehrig meminta Dr. Kevorkian untuk membunuhnya.

Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan menandatanganinya. Dr.

Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia waktu itu hanyalah

ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada April

1999 pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua

sehingga dia dijatuhi hukuman dua puluh lima tahun penjara.

Page 24: Makalah Etika Keperawatan Hartono

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pandangan terhadap kasus 1

Penggunaan morfin pada pasien menjelang kematiannya dalam mengatasi

nyeri adalah hal ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang baik adalah

menghilangkan rasa penderitaan nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat

kematian. Tujuan perawat ialah meredakan penderitaan pasien, bukan membunuh

pasien. Efek yang merugikan, yang kemungkinan mempercepat kematian pasien

adalah bahaya yang muncul yang terkandung pada penggunaan obat. Kematian

tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang dapat terjadi. Keta efek

yang baik dan yang berbahaya timbul secara simultan. Risiko mempercepat

kematian muncul pada saat yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas dari

nyeri.

Meringankan penderitaan pasien yang menjelang kematian sangatlah

penting. Tugas utama para pemberi layanan kesehatan adalah membebaskan

pasien dari rasa sakit dan penderitaan ketika usaha untuk menyembuhkan sudah

diupayakan secara maksimal tugas ini merupakan alasan yang cukup untuk

menggunakan morfin dengan dosis berapapun untuk mencapai sasaran yang

diinginkan. Walau itu adalah menghilangkan nyeri pada pasien dengan penyakit

terminal bahkan ketika hal tersebut berisiko memperpendek hidup mereka.

Apa yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas,

walau apa yang dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan

penderitaan pasien untuk menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya.

Memberikan perawatan secara moral memang diijinkan,namun pertimbangan atas

penderitaan yang dialami pasien lebih kepada rasa kemanusiaan serta tugasnya

dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini membantu dalam

menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk

memberikan penghilang rasa nyeri dengan dosis tinggi untuk mengatasi rasa nyeri

pada pasien yang menderita penyakit terminal, bahkan dalam jumlah yang dapat

menyebabkan pasien meninggal lebih cepat.

Page 25: Makalah Etika Keperawatan Hartono

Euthanasia masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan

hukumnya. Sebagian besar dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat

penghilang rasa nyeri dosis tinggi terhadap pasien yang sedang mengahadapi

terminal dengan kondisi yang sangat menyakitkan. Keengganan ini terjadi akibat

rasa takut terhadap hukum karena melanggar kode etik yang berlaku serta gejolak

psikologi yang terjadi dalam diri seorang perawat.

4.2      Pandangan terhadap kasus 2

Banyak kritik yang menentang euthanasia. Walaupun banyak perawat atau

tenaga medis lain yang berpendapat bahwa keluarga pasien koma atau terminal

boleh mencabut respirator, makanan, atau alat medis lainnya, namun mereka

menentang euthanasia aktif. Banyak yang berpendapat bahwa euthanasia dapat

membunuh pasien, bahwa euthanasia dilakukan tanpa keinginan pasien atau

sepengetahuan pasien. Pasien terminal atau koma, tidak punya kemampuan

mengungkapakan keinginannya. Keluarga, dokter, maupun perawat tidak

mengetahui apakah sebenarnya pasien terminal tersebut menginginkan kematian

dan mereka tidak punya hak untuk memutuskan hidup mati pasien tersebut.

Banyak perawat professional dan organisasi kesehatan lainnya yang

menentang euthanasia. ANA (American Nursing Association) telah menyatakan

penentangannya ini kepada public. Begitu pula dengan AMA ( American Medical

Association). Menurut mereka, euthanasia membawa lebih banyak keburukan

daripasa kebaikan. Euthanasia bertentangan dengan peran perawat.

Page 26: Makalah Etika Keperawatan Hartono

BAB IV

PENUTUP

5.1        Kesimpulan

Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 

a. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan

‘thanatos’ yang berarti kematian, sehingga istilah eutanasia secara

singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik’.

b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur euthanasia,

yaitu secara fisik (misalnya dengan pemutusan leher, perusakan

otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi (dengan teknik

inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)

c. Eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa

katagori tertentu.

d. Pada beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah

satu tindakan medis, di beberapa Negara yang lain, euthanasia

masih digolongkan sebagai tindakan criminal, termasuk di

Indonesia.

e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya euthanasia, karena

dianggap mendahului kehendak Tuhan, sebab, hidup dan mati ada

di tangan Tuhan.

5.2       Saran

Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada

niatan baik untuk membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain,

bagaimanapun eutanasia merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang

lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait

dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara holistic

dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana. 

Page 27: Makalah Etika Keperawatan Hartono

DAFTAR PUSTAKA

Helm. Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum.

Jakarta: EGC.

Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5th Ed.

USA: Springhouse Corporation.

Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran

2. Jakarta: Departemen Agama RI.

h ttp://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-

euthanasia-killing-yang-terjadi-di-dunia/.

www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.